PERBEDAAN PRESTASI BELAJAR SISWA ATAS PENGGUNAAN ALAT PERAGA MATEMATIKA BERBASIS METODE MONTESSORI
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar
Disusun Oleh: ULFAH MAYASARI
NIM: 101134135
Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar Jurusan Ilmu Pendidikan
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma
HALAMAN PERSEMBAHAN
Puji syukur Alhamdulillah, peneliti persembahkan karya sederhana ini kepada: 1. Allah SWT yang selalu memberikan kekuatan, kenikmatan dan kemudahan yang
luar biasa dalam setiap langkah yang telah peneliti tempuh. 2. Ibu dan Bapak tercinta atas cinta kasih dan dukungannya. 3. Teman-temanku PGSD 2010.
MOTTO
“Ketika kita sedang tidak mengingat-Nya bahkan Ia selalu ada bersama kita dan
menurunkan anugerah-Nya. Pantaskah kita merusak semua itu??”(Anonim)
“Arti penting manusia bukan terletak pada apa yang ia peroleh melainkan apa yang ia rindukan untuk diraih” (Kahlil Gibran)
“Belajar tentang pikiran dan ilmu pengetahuan tanpa belajar untuk memperkaya
hati sama dengan tak belajar apa-apa” (Aristoteles)
“God gives gifts to everyone .. some can write, some can dance.. He gave me the skill to play football and i am making the most of it” (Ronaldinho)
“Kamu mungkin akan lupa dengan orang yang tertawa denganmu, tapi tak akan lupa dengan orang yang pernah menangis denganmu”(Anonim)
ABSTRAK
Mayasari, Ulfah. (2014). Perbedaan Prestasi Belajar Siswa atas Penggunaan Alat Peraga Matematika Berbasis Metode Montessori. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma.
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh rendahnya prestasi belajar matematika yang dibuktikan oleh PISA dan TIMSS melalui hasil studinya. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan prestasi belajar siswa atas penggunaan alat peraga matematika berbasis metode Montessori. Alat peraga matematika yang digunakan adalah kotak pecahan untuk materi penjumlahan dan pengurangan pecahan.
Jenis penelitian ini adalah quasi-experimental dengan desain nonequivalent control group design. Populasi dalam penelitian ini adalah kelas IV SDN Keceme 1dengan sampel siswa kelas IVA sebagai kelompok kontrol dan siswa kelas IVB sebagai kelompok eksperimen. Data pada penelitian ini diperoleh dari hasil skor pre-test dan post-test pada kelompok kontrol dan eksperimen. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan dua cara yaitu dokumentasi dan observasi. Instrumen penelitian yang digunakan adalah pre-test dan post-test berbentuk 10 soal uraian dan lembar observasi. Prosedur analisis data pada penelitian ini terdiri dari menentukan null hypothesis, mengorganisasi data, menentukan taraf signifikansi, menguji prasyarat analisis, dan menguji hipotesis. Teknik analisis data yang digunakan untuk uji hipotesis adalah independent t-test yang didukung dengan penggunaan Microsoft Exel dan Statistical Product and Service Solution (SPSS).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada perbedaan prestasi belajar siswa atas penggunaan alat peraga matematika berbasis metode Montessori. Secara umum rata-rata skor post-test kelompok eksperimen (M = 31,28; SE = 1,69) lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol (M = 24,46; SE = 1,67). Perbedaan tersebut signifikan t(49) = -2,029 dan memiliki small effect size (r = 0,278; R2 = 7,728%). Peneliti merekomendasikan penggunaan alat peraga matematika berbasis metode Montessori untuk digunakan dalam pembelajaran matematika di sekolah dasar.
ABSTRACT
Mayasari, Ulfah. (2014). The Differences of Student Achievement for Used Montessori Method-based Math Visual Aid. Yogyakarta: Sanata Dharma University.
This study exposed caused by the learning math achievement tiers in still low as evidenced by data of TIMSS and PISA study results. This aims of the study is to find out he differences of student achievement for used visual aid. The visual aid that is used for the fraction box material for the fourth grade students in elementary school. Fraction box used for addition and subtraction of fractions material.
This research is a quasi-experimental with nonequivalent control group design. The population in the researh is grade 4 of Keceme 1 elementary school. Samples of the research are students of 4A for the control group and 4B as the experimental group. Data in this study was obtained by pre-test and post-test on the experimental group and the control group. Pre-test and post-test was performed using 10 essay questions that have been tested for validity, reliability and level of difficulty. Data was collected in two ways, namely documentation and observation. The procedure of data analysis in this study is consisted of determining the hypothesis, data management, determine the level of significance, the classical assumption and tested the classical assumption and hypothesis. Data analysis technique that is used for tested the hypotesis is independent sample t-test that supported by Microsoft Exel and Statistical Product and Service Solutions (SPSS).
The results showed that there was differences of student achievement for used Montessori method-based math visual aid. Post-test experiment‟s group
(M=31,28; SE=1,69) better than control‟s group (M=24,46; SE=1,67). It was indicated by t(49)=-2,029 and have small effect size (r=0,278; R2=7,728%). The Montessori method-based math visual aid effective used for math study in elementary school.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang senantiasa melimpahkan karunia dan hidayah-Nya sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Skripsi yang berjudul “Perbedaan Prestasi Belajar Siswa Atas Penggunaan Alat Peraga Matematika Berbasis Metode Montessori” disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Strata I Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar. Skripsi ini dapat terselesaikan dengan dukungan, bimbingan dan kerjasama yang diperoleh peneliti dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dengan segenap hati peneliti mengucapkan terimakasih kepada:
1. Rohandi,Ph.D., Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma.
2. G. Ari Nugrahanta, SJ, S.S., BST., M.A., Ketua Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
3. E. Catur Rismiati, S.Pd.,MA.,Ed.D., Wakil Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, sekaligus pembimbing I yang telah sangat membantu dalam proses pembuatan karya ilmiah ini.
4. Andri Anugrahana, S.Pd., M.Pd, dosen pembimbing II yang telah memberikan saran yang membangun dalam pembuatan karya ilmiah ini.
5. Walidi, S.Pd. Kepala Sekolah Sekolah Dasar Negeri Keceme I yang telah memberikan dukungan serta ijin kepada peneliti untuk mengadakan penelitian di SDN Keceme I.
7. Supriyati, A.Md. guru kelas IVA Sekolah Dasar Negeri Keceme I yang telah bekerja sama serta memberikan waktu dan tenaganya sebagai guru mitra dalam penelitian kolaboratif.
8. Siswa kelas IVA dan IVB Sekolah Dasar Negeri Keceme I, yang bersedia bekerja sama dan sangat membantu dalam penelitian ini.
9. Ibu dan Bapakku yang selalu memberikan doa, kasih sayang, bimbingan, dan dukungan baik moril maupun materil kepada peneliti.
10.Kakakku tersayang Lina Yuli Nuraini yang selalu memberikan dukungan dan inspirasi.
11.Adikku Intan dan Daffa yang selalu menghibur dan memberikan keceriaan. 12.Alfi Kurniawan yang selalu memberikan kasih sayang, semangat, dan
dukungan kepada peneliti.
13.Teman-teman penelitian kolaboratif eksperimen Montessori (Mbak Ifa, Wulan, Deta, Rasti, Berta, Adit, Putri), yang selalu berbagi pengetahuan, semangat dan keceriaan kepada peneliti.
14.Teman-teman PPL SDN Keceme I (Mbak Ifa, Bang Toyib, Fendi, Pani, Eka), yang memberikan bantuan selama peneliti melaksanakan penelitian di sekolah.
15.Teman-teman PGSD USD kelas C angkatan 2010 yang selalu memberikan inspirasi dalam menyelesaikan karya ilmiah ini.
16.Sekretariat PGSD yang selalu membantu dalam hal administrasi dan segala keperluan untuk menyelesaikan karya ilmiah ini.
Peneliti menyadari masih banyak kekurangan dan kelemahan dalam penulisan karya ilmiah ini. Untuk itu, saran dan kritik yang membangun sangat berguna untuk karya ilmiah ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi pembaca.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN... iv
MOTTO... v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... vii
ABSTRAK ... viii
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Identifikasi masalah ... 7
C. Batasan Masalah ... 8
D. Rumusan Masalah ... 8
E. Tujuan Penelitian ... 8
F. Manfaat Penelitian ... 8
G. Definisi Operasional ... 9
BAB II LANDASAN TEORI ... 11
A. Kajian Pustaka ... 11
B. Kerangka Berpikir ... 38
C. Hipotesis ... 40
BAB III METODE PENELITIAN... 41
A. Jenis Penelitian ... 41
B. Desain Penelitian ... 41
C. Setting Penelitian ... 43
D. Variabel Penelitian ... 45
E. Populasi dan Sampel Penelitian ... 48
F. Teknik Pengumpulan Data ... 50
G. Instrumen Pengumpulan Data ... 51
H. Teknik Pengujian Instrumen ... 55
I. Prosedur Analisis Data ... 71
J. Jadwal Penelitian ... 87
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 88
A. Deskripsi Penelitian ... 88
B. Hasil Penelitian ... 93
C. Pembahasan ... 118
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 123
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Jadwal Pengambilan Data ... 44
Tabel 3.2 Kisi-kisi Soal Pre-test dan Post-test ... 53
Tabel 3.3 Lembar Observasi Proses Pembelajaran di Kelas ... 54
Tabel 3.4 Kriteria Validitas Isi ... 57
Tabel 3.5 Hasil Penilaian Silabus... 57
Tabel 3.6 Hasil Penilaian RPP ... 58
Tabel 3.7 Hasil Penilaian Instrumen Penelitian ... 59
Tabel 3.8 Hasil Revisi Item 1 ... 60
Tabel 3.9 Hasil Revisi Sebelum dan Setelah Validasi Permukaan ... 62
Tabel 3.10 Kisi-kisi Soal Uji Validitas Empiris ... 63
Tabel 3.11 Perbandingan r hitung dan r tabel ... 65
Tabel 3.12 Rincian Soal Sebelum dan Sesudah Validitas Konstruk ... 66
Tabel 3.13 Klasifikasi Koefisien Reliabilitas... 68
Tabel 3.14 Hasil Perhitungan Reliabilitas Item Soal Pre-test dan Post-test ... 68
Tabel 3.15 Kualifikasi Indeks Kesukaran ... 70
Tabel 3.16 Hasil Perhitungan IK ... 71
Tabel 3.17 Jadwal Penelitian... 87
Tabel 4.1 Proses Penelitian ... 90
Tabel 4.2 Deskripsi Hasil Pre-test dan Post-test ... 94
Tabel 4.3 Perbandingan Skor Pre-test dan Post-test Kontrol dan Eksperimen ... 95
Tabel 4.4 Hasil Uji Normalitas Skor Pre-test Kelompok Kontrol ... 97
Tabel 4.5 Hasil Uji Normalitas Skor Pre-test Kelompok Eksperimen ... 99
Tabel 4.6 Hasil Uji Homogenitas Skor Pre-test... 101
Tabel 4.7 Hasil Uji Independent Sample t-test Skor Pre-test ... 103
Tabel 4.8 Hasil Uji Normalitas Skor Post-test Kelompok Kontrol ... 105
Tabel 4.9 Hasil Uji Normalitas Skor Post-test Kelompok Eksperimen ... 106
Tabel 4.10 Hasil Uji Homogenitas Skor Post-test ... 109
Tabel 4.12 Koefisien Korelasi Effect Size ... 114
Tabel 4.13 Hasil Perhitungan Effect Size ... 115
Tabel 4.14 Hasil Uji Paired Sample t-test Kelompok Kontrol ... 117
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Alat Peraga Matematika Montessori Kotak Pecahan ... 24
Gambar 2.2 Skema Penelitian yang Relevan ... 38
Gambar 3.1 Desain Penelitian ... 42
Gambar 3.2 Rumus Product Moment... 64
Gambar 3.3 Rumus Alpha Cronbach ... 68
Gambar 3.4 Rumus Indeks Kesukaran ... 69
Gambar 3.5 Rumus Uji Kolmogorov Smirnov ... 75
Gambar 3.6 Rumus Uji Lavene‟s Test ... 76
Gambar 3.7 Rumus t-test... 78
Gambar 3.8 Rumus Effect Size ... 84
Gambar 3.9 Rumus Koefisien Determinasi ... 84
Gambar 4.1 Grafik Hasil Pre-test dan Post-test... 95
Gambar 4.2 Grafik P-P plot Skor Pre-test Kelompok Kontrol ... 98
Gambar 4.3 Grafik P-P plot Skor Pre-test Kelompok Eksperimen ... 100
Gambar 4.4 Grafik P-P plot Skor Post-test Kelompok Kontrol... 101
Gambar 4.5 Grafik P-P plot Skor Post-test Kelompok Eksperimen ... 103
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Surat Penelitian ... 129
Lampiran 2 Contoh Perangkat Pembelajaran Sebelum Validitas Isi ... 131
Lampiran 3 Contoh Komentar Validitas Isi Perangkat Pembelajaran ... 171
Lampiran 4 Contoh Perangkat Pembelajaran Setelah Validitas Isi ... 175
Lampiran 5 Contoh Instrumen Penelitian Sebelum Validitas Isi ... 201
Lampiran 6 Contoh Komentar Validitas Isi Instrumen Penelitian ... 207
Lampiran 7 Contoh Instrumen Penelitian Setelah Validitas Isi ... 209
Lampiran 8 Hasil Validitas Permukaan ... 215
Lampiran 9 Contoh Pekerjaan Siswa untuk Validitas Konstruk ... 219
Lampiran 10 Tabulasi Data Mentah Hasil Uji Validitas Konstruk ... 230
Lampiran 11 Tabel Koefisien r ... 232
Lampiran 12 Perhitungan Reliabilitas Instrumen Penelitian (dengan SPSS) ... 233
Lampiran 13 Contoh Pekerjaan Pre-test Siswa Kelompok Kontrol ... 236
Lampiran 14 Contoh Pekerjaan Pre-test Siswa Kelompok Eksperimen ... 240
Lampiran 15 Contoh Pekerjaan Post-test Siswa Kelompok Kontrol ... 244
Lampiran 16 Contoh Pekerjaan Post-test Siswa Kelompok Eksperimen ... 248
Lampiran 17 Tabulasi Data Mentah Skor Pre-test dan Post-test Kelompok Kontro ... 252
Lampiran 18 Tabulasi Data Mentah Hasil Pre-test dan Post-test Kelompok Eksperimen ... 256
Lampiran 19 Analisis Skor Pre-test dan Post-test Kontrol dan Eksperimen (SPSS) ... 260
BAB I PENDUHULUAN
Bab ini membahas tentang latar belakang masalah, identifikasi masalah,
batasan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan definisi operasional.
A. Latar Belakang Masalah
Kualitas pendidikan matematika di Indonesia masih kurang membanggakan.
Pernyataan ini diperlihatkan oleh hasil penilaian yang dilakukan PISA
(Programme for International Student Assessment) dan TIMSS (Trends in
International Mathematics and Science Study). PISA merupakan salah satu
lembaga studi tentang literasi membaca, matematika, dan sains yang
diselenggarakan setiap 3 tahun sekali. PISA dikoordinasikan oleh OECD
(Organisation for Economic Cooperation and Develompent) yang berpusat di
Perancis (Kemendikbud, 2011). TIMSS adalah suatu studi bertaraf internasional
yang memiliki tujuan untuk mengukur prestasi matematika dan sains negara
peserta di seluruh dunia yang diselenggarakan setiap empat tahun sekali. TIMSS
dikoordinasi oleh IEA (The International Association for the Evaluation of
Educational Achievement) yang pusatnya ada di Amsterdam Belanda
(Kemendikbud, 2011).
Hasil studi dari PISA menempatkan Indonesia pada peringkat 57 dari 65
negara dengan skor 371 atas kemampuan matematika yang dihasilkan oleh siswa
(Organization for Economic Cooperation and Development, 2009). Pencapaian
prestasi matematika Indonesia yang ditunjukkan oleh hasil studi TIMSS selama
1999 memperlihatkan bahwa prestasi matematika Indonesia berada pada peringkat
32 dari 38 peserta, pada tahun 2003 berada pada posisi 37 dari 46 peserta dan
pada tahun 2007 berada pada peringkat 35 dari 45 negara peserta (Kemendikbud,
2011).
Marpaung (2012: 1) merumuskan beberapa indikator mengenai kualitas
pendidikan matematika di Indonesia yang masih sangat rendah yang sejalan
dengan hasil penilaian PISA dan TIMSS. Indikator-indikator tersebut antara lain:
(1) prestasi yang berhasil dicapai para wakil Indonesia dalam olimpiade dunia
tahun 1995-2007 selalu di bawah median, (2) prestasi yang berhasil dicapai
Indonesia dalam TIMSS tahun 1999 hanya mampu menduduki peringkat 37 dari
82 peserta, dan (3) rata-rata nilai hasil ujian matematika bidang studi matematika
di sekolah dasar tahun 1995-2005 hanya mencapai kurang dari 6. Indikator yang
dirumuskan tersebut memperlihatkan bahwa kualitas pendidikan matematika
memerlukan perbaikan sejak sekolah dasar.
Matematika merupakan bidang studi yang sangat penting bagi siswa sekolah
dasar. Siswa mampu mengasah keterampilan berpikir melalui bidang studi
matematika. Hal ini dikarenakan materi-materi yang terdapat pada bidang studi
matematika banyak dijumpai siswa dan dapat digunakan untuk menyelesaikan
berbagai masalah dalam kehidupan sehari-hari sehingga sangat kontekstual bagi
siswa. Teori yang dikemukakan oleh Piaget menyatakan bahwa anak usia 7-12
tahun atau setara dengan siswa sekolah dasar berada dalam tahapan operasional
konkret. Anak yang berada pada tahap ini membutuhkan sesuatu yang nyata
baik oleh siswa. Siswa sekolah dasar juga membutuhkan suatu hal yang konkrit
untuk mempermudah pemahaman terhadap materi yang dipelajari (Dahar, 2011).
Materi yang abstrak dapat dipahami oleh siswa melalui hal-hal konkret yang
dapat digunakan anak. Hal yang konkret dapat diperoleh siswa melalui
penggunaan alat peraga dalam proses pembelajaran. Alat peraga pembelajaran
merupakan alat bantu yang digunakan dalam proses belajar mengajar yang
dilaksanakan di dalam atau di luar kelas dengan tujuan membangun komunikasi
dan interaksi antara siswa dengan guru (Arsyad, 2007: 7). Arsyad (2007: 26) juga
mengemukakan bahwa penggunaan alat peraga pembelajaran mempunyai manfaat
yang signifikan dalam proses pembelajaran. Manfaat alat peraga pembelajaran
tersebut ialah (1) meningkatkan proses dan hasil belajar karena alat peraga
pembelajaran dapat memperjelas materi atau informasi yang disampaikan dalam
proses pembelajaran, (2) meningkatkan motivasi belajar karena penggunaan alat
peraga dapat menarik perhatian siswa untuk belajar, (3) meningkatkan interaksi
siswa terhadap teman dan lingkungan sekitar, (4) membawa anak pada situasi
sekontekstual mungkin yakni memberi pengalaman yang dapat mereka temukan
dalam kehidupan sehari-hari, dan (5) membuat siswa mandiri dalam memilih
pembelajaran sesuai dengan minat dan kemampuannya. Alat peraga sangat
membantu siswa untuk mengkonkritkan hal-hal atau materi-materi yang abstrak.
Berkaitan dengan materi yang abstrak,Sumantri (2001: 154) juga menyoroti
pentingnya alat peraga pembelajaran yang salah satunya adalah dalam hal
penekanan pada dasar-dasar yang konkrit dari suatu konsep yang abstrak.
pembelajaran dengan penjelasan fungsi alat peraga pembelajaran sebagai berikut:
(1) alat bantu mewujudkan proses belajar mengajar yang efektif, (2) meletakkan
dasar-dasar konkrit atas konsep yang abstrak, (3) memperbaiki mutu
pembelajaran, dan (4) membangkitkan motivasi belajar. Peningkatan motivasi
belajar merupakan salah satu keuntungan penggunaan alat peraga matematika
yang dirumuskan oleh Suherman, keuntungan-keuntungan lain penggunaan alat
peraga di antaranya konsep abstrak matematika dapat tersaji dalam bentuk
konkrit, merangsang keterampilan berfikir siswa, menjadikan siswa aktif dalm
pembelajaran, dan merangsang siswa untuk memecahkan masalahnya sendiri
(Suherman, 2003: 243). Teori pembelajaran yang dikemukakan Jerome Bruner
menyatakan bahwa pengetahuan yang di peroleh sendiri oleh siswa mampu
bertahan lebih lama dan menghasilkan pengetahuan yang paling baik (Dahar,
2011: 79). Kesimpulan yang dapat diambil berdasarkan penjelasan dia atas adalah
alat peraga dapat membangun pengetahuan siswa secara mandiri dan membantu
siswa dalam memahami materi yang disampaikan sesuai dengan tahapan
perkembangannya.
Praktik pendidikan yang berlangsung saat ini menunjukkan pembelajaran
matematika di sekolah dasar yang dilaksanakan belum sesuai dengan tahap
perkembangan siswa sekolah dasar itu sendiri. Pembelajaran matematika dengan
materi yang bersifat abstrak di sekolah dasar masih disampaikan dengan metode
ceramah atau drilling yang membuat siswa cepat bosan dalam pembelajaran
(Sindo, 11 November 2013). Ahmad Fauzy seorang pengajar Program Studi
matematika disebabkan oleh pengaturan kelas yang monoton dan penyampaian
materi yang dilaksanakan secara abstrak (Sindo, 11 November 2013). Guru tidak
menggunakan alat peraga dalam pembelajaran agar siswa dapat terbantu dalam
memahami materi yang sedang dipelajari. Hal ini hanya membuat siswa kurang
dapat menguasai konsep yang terkandung dalam materi. Penggunaan alat peraga
pada siswa sekolah dasar sangat diperlukan dalam proses belajar mengajar bidang
studi matematika karena sesuai dengan tahap perkembangan siswa.
Alat peraga matematika berbasis metode Montessori adalah alat peraga yang
menitikberatkan pada kemandirian belajar siswa dan mengembangkan
kemampuan anak. Metode Montessori merupakan metode pembelajaran yang
dikembangkan oleh Maria Montessori. Maria Montessori merupakan seorang
dokter wanita pertama di Universitas Roma yang lahir pada 31 Agustus 1870 di
Chiaravalle, Italia (Magini, 2013: 7-23). Montessori mengetahui adanya
diskriminasi dan perlakuan tidak selayaknya pada anak-anak tunagrahita pada saat
Ia menjadi seorang asisten sosial di klinik psikiatri rumah sakit Santo Sprito pada
tahun 1896 yang kemudian membuatnya tergugah untuk mencarikan solusi bagi
masalah ini. Montessori terinpirasi untuk mengembangkan sebuah metode
pembelajaran bagi anak-anak tunagrahita. Inspirasi tersebut muncul dari hasil
penelitian yang dilakukan Seguin (1812-1881) dan Ittard (1775-1838) yang
berhasil mendidik anak dengan keterbelakangan mental dan menderita cacat
permanen (Magini, 2013: 24-26).
Pendapat Montessori juga menjelaskan bahwa penggunaan alat peraga pada
berfikir, memberi kebebasan dalam menentukan hal yang ingin dipelajari, dan
membuat anak lebih mandiri serta kreatif dalam belajar (Montessori, 2003: 33).
Montessori juga menjelaskan bahwa alat peraga yang diperlihatkan dan digunakan
akan mempermudah anak sekolah dasar dalam memahami kemampuan dasar ilmu
pengetahuan serta membantu anak untuk berimajinasi (Lillard, 1997: 80). Alat
peraga pembelajaran matematika berbasis metode Montessori memiliki beberapa
kelebihan yang sangat membantu siswa dalam proses pembelajaran di antaranya
alat peraga pembelajaran berbasis metode Montessori memiliki pengendali
kesalahan dalam penggunaannya, kemudian mampu membuat anak terlibat aktif
dalam proses pembelajaran. Alat peraga pembelajaran tersebut juga memiliki daya
tarik karena alat peraga tersusun dari warna dan proporsi yang menarik bagi
anak-anak sehingga memiliki nilai estetika. Alat peraga berbasis metode Montessori
juga dapat mendidik anak agar dapat mandiri dalam pembelajaran (Morrison,
2012: 114).
Penggunaan alat peraga matematika berbasis metode montessori ini dapat
digunakan guru sebagai salah satu terobosan untuk menciptakan pembelajaran
yang konkrit bagi siswa karena siswa dapat menggunakan dan berinteraksi secara
langsung dengan alat peraga pembelajaran tersebut secara langsung.
Wahyuningsih (2011) melakukan penelitian mengenai pengaruh model
pendidikan Montessori terhadap prestasi belajar matematika siswa kelas IV di
Sekolah Dasar Negeri Jati Asih, Bekasi. Hasil penelitian tersbut menunjukkan
bahwa metode pembelajaran Montessori memberikan pengaruh positif pada hasil
pembelajaran yang dapat mengembangkan potensi anak baik secara akademis
maupun non akademis. Pengembangan yang lain adalah anak yang menggunakan
alat peraga Montessori dapat membelajarkan anak secara mandiri serta memiliki
pengendali kesalahan sehingga jika terjadi kesalahan, anak mampu mengetahui
dan memperbaiki sendiri kesalahan yang mereka lakukan.
Alat peraga Montessori sesuai dengan tahapan perkembangan siswa dan
mengkondisikan siswa untuk belajar mandiri dalam pembelajaran. Penelitian yang
dilaksanakan Wahyuningsih (2011) juga menguatkan bahwa alat peraga
Montessori dapat memberi pengaruh yang positif pada hasil belajar matematika.
Peneliti berdasarkan pernyataan di atas, tertarik untuk meneliti perbedaan prestasi
belajar siswa atas penggunaan alat peraga matematika berbasis metode
Montessori.
B. Identifikasi Masalah
Masalah-masalah yang dapat diidentifikasi berdasarkan latar belakang
masalah yang telah disusun ialah sebagai berikut:
1. Prestasi belajar matematika di Indonesia masih tergolong rendah.
2. Materi matematika di sekolah dasar bersifat abstrak.
3. Siswa merasa kesulitan dalam pembelajaran matematika.
C. Batasan Masalah
Batasan masalah pada penelitian ini ialah sebagai berikut:
1. Alat peraga pembelajaran yang digunakan pada kelompok eksperimen
adalah alat peraga pembelajaran berbasis Montessori yakni berupa kotak
pecahan.
2. Prestasi belajar matematika yang dimaksud adalah hasil prestasi yang
dicapai siswa Sekolah Dasar Negeri Keceme 1 kelas IV pada materi
pecahan. Prestasi belajar tersebut dilihat dari perolehan nilai pada test atau
ulangan pada aspek kognitif saja.
3. Materi yang digunakan dalam penelitian ialah pada Standar Kompetensi 6.
Menggunakan pecahan dalam pemecahan masalah dan Kompetensi Dasar
6.3 Menjumlahkan pecahan dan 6.4 Mengurangkan pecahan.
D. Rumusan Masalah
Rumusan masalah pada penelitian ini adalah “Apakah ada perbedaan
prestasi belajar siswa atas penggunaan alat peraga matematika berbasis metode
Montessori?”.
E. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini ialah untuk mengetahui adanya perbedaan prestasi
belajar siswa atas penggunaan alat peraga matematika berbasis metode
Montessori.
F. Manfaat Penelitian
Penelitian ini dapat memberikan pengetahuan dan informasi mengenai alat
1. Siswa dapat memperbaiki prestasi belajar dalam bidang studi matematika.
2. Sekolah dapat termotivasi untuk lebih mengembangkan kualitas pendidikan
matematika melalui alat peraga berbasis Montessori.
3. Peneliti dapat mendalami penggunaan alat peraga pembelajaran berbasis
Montessori dalam proses pengembangan prestasi belajar matematika siswa
dan dapat menerapkannya dalam proses pembelajaran ketika menjadi
seorang guru kelak
G. Definisi Operasional
Beberapa definisi mengenai bahasan-bahasan yang berkaitan dengan
penelitian ini ialah sebagai berikut:
1. Matematika merupakan salah satu bidang studi yang mengandung ilmu yang
tersusun secara sistematis dan mampu meningkatkan kemampuan berpikir
dalam menyelesaikan masalah dalam kehidupan sehari-hari secara logis.
2. Alat peraga merupakan benda yang digunakan untuk memperagakan suatu
konsep atau materi pembelajaran dengan tujuan memberikan sarana
pemahaman anak terhadap pembelajaran.
3. Alat Peraga Matematika merupakan benda yang digunakan untuk
memperagakan kegiatan dalam pembelajaran matematika dengan tujuan
membantu pemahaman siswa terhadap konsep-konsep matematika yang
abstrak.
4. Metode Montessori merupakan metode yang digunakan dalam pembelajaran
dengan memberikan kebebasan pada anak dalam menentukan materi yang
melatih kemampuan sensorial anak dan pengorganisasian panca indera
dalam pelaksanaan pembelajarannya.
5. Alat peraga Montessori adalah benda yang digunakan dalam pembelajaran
yang memiliki pengendali kesalahan, dapat mengembangkan potensi anak
baik secara akademis maupun non akademis, dan mampu menciptakan
kemandirian belajar.
6. Alat peraga matematika berbasis metode montessori adalah material dalam
pembelajaran matematika yang dapat membelajarkan anak secara mandiri
serta memiliki pengendali.
7. Prestasi belajar adalah hasil belajar yang dicapai oleh pembelajar meliputi
perubahan tingkah laku dan pengembangan pengetahuan serta keterampilan
yang diperoleh melalui pengalaman belajar (interaksi dengan lingkungan).
8. Siswa sekolah dasar merupakan siswa yang berada pada rentang usia 7-12
tahun.
9. Pre-test merupakan suatu kegiatan pengukuran yang dilaksanakan pada
awal pembelajaran untuk mengetahui tingkat kemampuan awal yang
dimiliki siswa.
10. Post-test merupakan suatu kegiatan pengukuran yang dilaksanakan pada
akhir pembelajaran untuk mengetahui tingkat pemahaman siswa atas
BAB II
LANDASAN TEORI
Bab ini terdapat pembahasan teori yang terbagi menjadi empat bagian, yaitu
kajian pustaka, kerangka berpikir, dan hipotesis penelitian. Bab ini terdapat
pembahasan teori yang terbagi menjadi empat bagian, yaitu kajian teori, penelitian
yang relevan, kerangka berpikir, dan hipotesis penelitian. Kajian pustaka
membahas tentang teori yang mendukung dan penelitian yang relevan. Kerangka
berpikir berisi tentang rumusan konsep yang didapat dari berbagai kajian teori
yang disusun oleh peneliti. Hipotesis penelitian berisi tentang dugaan sementara
yang terjadi pada penelitian.
A. Kajian Pustaka
Bab kajian pustaka membahas tentang berbagai teori yang berhubungan
dengan penelitian dan mendukung penelitian yang dilaksanakan dan penelitian
yang relevan dengan penelitian yang dilaksanakan peneliti. Teori yang dibahas
yaitu tahapan perkembangan anak sekolah dasar, metode Montessori, dan alat
peraga matematika, pembelajaran matematika, materi penjumlahan pengurangan
pecahan, dan prestasi belajar.
1. Tahapan Perkembangan Anak Sekolah Dasar
Tahapan perkembangan anak pada topik ini akan dibahas menurut dua
tokoh yaitu Piaget dan Maria Montessori. Piaget membagi empat tahapan
perkembangan anak menurut usianya (Hill, 2011: 160-164). Tahapan
perkembangan anak menurut Piaget ialah sensori motor, pra operasional, pra
tahapan yang dilalui anak ketika berusia 0-2 tahun. Pada tahap ini kemampuan
anak barulah mengenali hal-hal yang ditangkap oleh panca inderanya.
Kemampuan lain anak dengan usia 0-2 tahun adalah dapat bergerak refleks yang
merupakan bawaan lahir yang membantu pembentukan perilaku anak pada tahap
selanjutnya. Tahap kedua adalah pra operasional konkret. Anak pada tahap ini
ialah anak dengan usia 2-7 tahun. Anak pada tahapan ini telah dapat
menghubungkan pengalaman yang dilihat pada suatu waktu dengan pengalaman
pribadi yang dialami saat ini. Tahapan selanjutnya adalah operasional konkret.
Anak pada tahapan ini merupakan anak dengan usia 7-12 tahun. Kemampuan
anak pada tahapan ini adalah telah mampu memahami simbol matematis namun
anak belum dapat memahami hal-hal yang abstrak secara menyeluruh. Anak pada
jenjang sekolah dasar termasuk dalam tahapan operasional konkret menurut
Piaget dalam teori perkembangaannya ini. Tahapan terakhir menurut Piaget
adalah operasional konkret. Tahapan ini berlaku pada anak dengan usia di atas 12
tahun. Pada tahapan ini anak telah dapat memecahkan masalah, mampu berpikir
kreatif, dan telah mampu mengaitkan simbol (Hill, 2011: 166-168). Anak sekolah
dasar menurut tahapan perkembangan yang dikemukakan Piaget membutuhkan
pembelajaran yang konkret atau pembelajaran yang benar-benar dekat dengan
anak dan membuat anak aktif dalam pembelajaran.
Tahapan menurut ahli yang kedua merupakan tahapan perkembangan anak
menurut Maria Montessori. Maria Montessori membagi tahapan perkembangan
xii-xiv). Karakteritik dari masing-masing tahapan perkembangan anak menurut
Maria Montessori ialah sebagai berikut:
a. Tahap usia 0-6 tahun
Montessori percaya bahwa setiap anak mempunyai potensi atau kemampuan
yang besar dan unik. Hal demikian dapat dirumuskan karena sejak anak
dilahirkan atau usia 0 tahun sampai 6 tahun, usia ini merupakan usia emas
bagi anak karena pada usia ini mereka mudah sekali menyerap pengetahuan
dan bahasa apapun dari lingkungan mereka. Tahap ini disebut juga periode
masa peka atau sensitif. Tahap pertama ini merupakan tahapan penentu atas
keberhasilan-keberhasilan pada tahap berikutnya.
b. Tahap usia 6-12 tahun
Perkembangan anak pada tahap kedua ini sangat terpengaruh dari
perkembangan anak pada tahap pertama. Anak berhasil melewati tahapan
perkembangan kedua dengan baik apabila anak mampu melalui tahapan
perkembangan awal dengan baik. Tahap ini merupakan periode sensitif pada
logika dan pembenaran. Perkembangan pada tahap ini ditampilkan dalam
kemampuan berimajinasi, kecenderungan untuk berkelompok, penggunaan
kemampuan fisik, dan mengembangkan kemampuan sosial yang cukup luas.
c. Tahap usia 12-18 tahun
Tahap ini merupakan tahap akhir perkembangan anak menurut Maria
Montessori. Anak pada tahap ini perkembangan akan mengarah pada
kematangan fisik, pencarian identitas, pencarian model ideal yang akan
Tahapan ini juga membuat anak menjadikan suatu hal atau model sebagai
acuannya.
Setiap anak menurut Montessori akan melalui tiga tahapan yang berbeda
dan berurutan. Masing-masing tahapan perkembangan anak memiliki
karakteristik-karakteristik yang berbeda-beda. Satu karakteristik yang
menyamakan ketiga tahap tersebut adalah bahwa setiap anak memiliki
kemampuan yang besar dan unik.
Anak sekolah dasar pada umumnya berusia 7 tahun hingga 12 tahun. Piaget
dan Maria Montessori memiliki penjelasan mengenai tahapan perkembangan anak
yang setara dengan usia anak sekolah dasar. Anak sekolah dasar pada tahapan
perkembangan menurut Piaget ada pada tahapan operasional konkret, sedangkan
menurut Montessori berada pada tahapan kedua dimana anak sangat sensitif serta
lebih cenderung pada logika dan pembenaran. Kesimpulan berdasarkan uraian di
atas adalah anak sekolah dasar memerlukan pembelajaran yang konkret dan ada
pembenaran yang sesuai dengan logika anak.
2. Metode Montessori
Topik ini membahas dua bahasan mengenai metode Montessori, yaitu
sejarah dan karakteristik metode Montessori. Penjelasan mengenai dua bahasan
tersebut ialah sebagai berikut:
a. Sejarah metode Montessori
Metode Montessori merupakan inovasi pembelajaran yang lahir atas
pemikiran salah satu tokoh pendidikan dunia Montessori. Maria Montessori
31 Agustus 1870 di Chiaravalle, Italia yang menjadikannya sebagai simbol wanita
modern di Italia pada waktu itu. Montessori aktif dalam kongres wanita
internasional yang menyuarakan kesetaraan antara hak wanita dan hak laki-laki.
Sampai pada tahun 1896 tepatnya di bulan November, Montessori menjadi dokter
pembantu di rumah sakit Santo Sprito yang akhirnya menjadikannya sebagai
asisten sosial di klinik psikiatri yang dimiliki rumah sakit Santo Sprito. Profesi
inilah yang membuat Montessori mengetahui adanya diskriminasi dan perlakuan
tidak selayaknya pada anak-anak tunagrahita yang membuatnya tergugah untuk
mencarikan solusi bagi masalah ini. Montessori terinpirasi untuk mengembangkan
sebuah metode pembelajaran bagi anak-anak tunagrahita. Inspirasi tersebut
muncul dari hasil penelitian yang dilakukan Seguin (1812-1881) dan Ittard
(1775-1838) yang berhasil mendidik anak dengan keterbelakangan mental dan menderita
cacat permanen (Montessori, 2003: 5). Hal ini lah yang menjadi salah satu titik
yang menjadikan Montessori sebagai tokoh pendidik anak.
Montessori memulai metode pedagogi eksperimental selama 2 tahun di
Casa dei Bambini (Rumah Anak-anak). Casa dei Bambini merupakan sekolah
pertama yang Ia dirikan bagi anak-anak di daerah kumuh pinggiran Italia. Sekolah
ini merupakan perwujudan niat Maria Montessori untuk menerapkan metode
pembelajaran bagi anak tunagrahita pada anak-anak normal (Magini, 2013:
25-47). Hal ini merupakan langkah awal Montessori dalam memperbaiki pendidikan
anak-anak kala itu. Pembelajaran dalam sekolah ini diterapkan untuk anak-anak
usia 3-6 tahun. Sekolah penerapan metodenya ini merupakan eksperimen dalam
Montessori terapkan dan kembangkan dalam metodenya di Casa dei Bambini
berhasil sangat sukses (Montessori, 2002: 28-47). Keberhasilan tersebut sangat
mengejutkan dan di luar dugaan sehingga metode tersebut direalisasikan dengan
digunakan dalam praktek pendidikan anak secara lebih luas bahkan hingga saat
ini.
b. Karakteristik metode Montessori
Metode Montessori merupakan metode pembelajaran yang berbeda dengan
metode-metode pembelajaran yang lain. Metode Montessori merupakan metode
yang dilaksanakan dengan selalu menitikberatkan pada kemandirian dan
kebebasan anak dalam menentukan hal yang ingin mereka pelajari (Montessori,
2003: 33). Pembelajaran dengan menggunakan metode Montessori ini akan
membuat anak-anak belajar sambil bermain sehingga anak-anak yang sedang
belajar pun menganggap apa yang mereka lakukan sama halnya seperti bermain
(Holt, 2008: xi). Anak dapat belajar secara terstruktur dan fokus pada sesuatu
sedang mereka kerjakan dengan melibatkan kemampuan sensorial anak yang
dihubungkan pada pengorganisasian saraf, panca indera, serta lingkungan sekitar
anak dalam pembelajaran dengan metode Montessori.
Pembelajaran dengan metode Montessori juga merupakan aktivitas belajar
penemuan melalui alat peraga dengan desain yang eksplisit sehingga mampu
memberikan makna bagi anak (Lillard, 2005: 324-325). Guru dalam pembelajaran
berbasis metode Montessori berperan bukan sebagai pengajar namun sebagai
direktris. Kelas yang menerapkan metode montessori dalam pembelajarannya
menggunakan metode Montessori akan dapat membuat anak menjadi individu
yang mandiri dan memperoleh pembelajaran yang bermakna.
3. Alat Peraga Matematika
Topik ini membahas tiga bahasan mengenai alat peraga matematika yaitu
pengertian alat peraga matematika, alat peraga matematika berbasis metode
Montessori, dan karakteristik alat peraga matematika berbasis metode Montessori.
Penjelasan mengenai tiga bahasan tersebut ialah sebagai berikut:
a. Pengertian alat peraga matematika
Alat peraga merupakan dua kata yang berbeda arti. Kamus Besar Bahasa
Indonesia (2008) mendefinisikan alat sebagai suatu benda yang digunakan untuk
mengerjakan sesuatu untuk mencapai tujuan tertentu, sedangkan peraga adalah
alat media pembelajaran yang digunakan dalam memperagakan sajian
pembelajaran. Alat peraga berdasarkan dua kata tersebut dapat diartikan sebagai
benda yang digunakan untuk memperagakan sajian pembelajaran. Suherman
(2003: 243) menjelaskan bahwa alat peraga matematika merupakan media yang
digunakan dalam pembelajaran yang sekaligus berfungsi sebagai alat untuk
menanamkan konsep materi kepada siswa. Keuntungan yang dapat diperoleh
melalui penggunaan alat peraga matematika antara lain siswa termotivasi untuk
mengikuti kegiatan belajar mengajar, mempermudah siswa dalam pemahaman
konsep materi matematika yang abstrak, mempermudah hubungan antara konsep
abstrak yang diperoleh siswa dengan benda atau kegiatan di lingkungan sekitar,
menjadikan siswa aktif dalam pembelajaran, mengkondisikan siswa untuk
Proses pembelajaran matematika sangat membutuhkan alat peraga
matematika. Hal ini dikarenakan alat peraga matematika sangat berpengaruh
terhadap proses penyerapan dan ingatan siswa mengenai materi atau pengetahuan
matematika (Silver, Brunsting, Walsh, & Thomas, 2013). Materi yang terkandung
dalam matematika merupakan pengetahuan prosedural (Susanto, 2012: 181)
sehingga dapat diserap dengan baik oleh siswa jika menggunakan alat peraga. Hal
ini disebabkan karena terdapat sebuah proses dan interaksi secara langsung antara
siswa dan alat peraga matematika pada saat menggunakan alat peraga matematika
dalam proses pembelajaran.
Alat peraga matematika dapat dipersiapkan sebelum pembelajaran
berlangsung. Proses pembuatan atau pemilihan alat peraga perlu memperhatikan
beberapa hal yang sangat penting antara lain bahan pembuat alat peraga
hendaknya membuat alat peraga tersebut tahan lama, bentuk alat peraga menarik
sehinga dapat memberi perhatian dan kesan pada siswa, dan komposisi warna
yang menarik pula (Suherman, 2003: 244). Suherman (2003: 244) juga
memaparkan bahwa alat peraga yang baik seharusnya mudah digunakan, ukuran
menyesuaikan dengan fisik anak, dan konsep yang dibawa oleh alat peraga
tersebut jelas sehingga mempermudah pemahaman anak. Hal ini sesuai dengan
tujuan awal alat peraga matematika.
Kesimpulan yang dapat diperoleh berdasarkan penjelasan di atas adalah
bahwa alat peraga matematika merupakan benda yang digunakan untuk
memperagakan suatu konsep atau materi dalam pembelajaran matematika yang
yang abstrak. Alat peraga matematika memiliki fungsi yang sangat penting dalam
proses pemahaman siswa dalam proses pembelajaran matematika. Perhatian
khusus sangat diperlukan dalam proses pembuatan, pemilihan, atau penggunaan
alat peraga tersebut agar menghasilkan pembelajaran yang bermakna.
b. Alat peraga matematika berbasis metode Montessori
Maria Montessori merumuskan alat peraga sebagai material yang sengaja
diciptakan dengan desain sederhana, menarik untuk digunakan, dapat dieksplorasi
lebih jauh, membelajarkan siswa secara mandiri, dan membuat anak dapat
memperbaiki kesalahan mereka sendiri.
These materials lend themselves well to the kindergarten encironment that
meets the developmental needs of children. I could use other materials,
however, if they followed similar pronciples in design: simplicity, durability,
beauty, posibility fo creative use and discovery, the presentation of one new
concept at a time, a progresive relationship between materials so that one
leads naturally to the next, and, insofar as posible. (Lillard, 1997: 11)
Kutipan di atas menjelaskan bahwa alat peraga Montessori diciptakan sesuai
perkembangan anak. Alat peraga Montessori juga yang memiliki prinsip
kesederhanaan, keindahan, daya tahan, mengembangkan kreatifitas anak untuk
menciptakan belajar penemuan, dan membuat anak dapat memperbaiki sendiri
kesalahan yang telah dibuatnya.
Alat peraga matematika Montessori merupakan material yang digunakan
bukan hanya sekedar untuk mengajar matematika tetapi untuk mengembangkan
definisi yang terkandung di dalamnya. Kemampuan matematika disini meliputi
memahami perintah, urutan, abstraksi, dan kemampuan untuk mengkonstruksi
pengetahuan yang anak peroleh menjadi suatu konsep baru sehingga terjadi
belajar penemuan (Lillard, 1997: 137).
Pengertian-pengertian di atas dapat memberi simpulan bahwa alat peraga
matematika Montessori merupakan material dalam pembelajaran matematika yang
dapat mengembangkan potensi anak baik secara akademis maupun non akademis.
Pembelajaran yang menggunakan alat peraga Montessori dapat membelajarkan
anak secara mandiri serta memiliki pengendali kesalahan sehingga jika terjadi
kesalahan, anak mampu mengetahui dan memperbaiki sendiri kesalahan yang
mereka lakukan.
c. Karakteristik alat peraga matematika berbasis metode Montessori
Alat peraga matematika berbasis metode Montessori merupakan alat peraga
yang bersifat didaktis (Magini, 2013: 48). Montessori menciptakan alat peraga
melalui proses observasinya pada anak-anak di Casa dei Bambini sehingga alat
peraga Montessori sangat memperhatikan perkembangan anak. Montessori juga
menjadikan alat peraga tersebut sebagai sumber belajar juga guru bagi anak yang
menggunakannya. Guru di sini dapat diartikan bahwa melalui alat peraga tersebut
anak mampu mendapatkan konsep dari sebuah materi yang ia pelajari. Hal inilah
yang membedakan alat peraga Montessori dan alat peraga yang ada pada
umumnya (Montessori, 2003: 36). Alat peraga Montessori juga memiliki lima
1) Menarik (memiliki nilai keindahan)
Setiap alat peraga yang digunakan dalam prmbelajaran memiliki unsur
keindahan baik dari segi warna maupun kecerahannya. Warna dan kecerahan alat
peraga dapat menarik perhatian anak untuk menggunakan alat peraga tersebut.
Warna yang digunakan pada alat peraga Montessori ialah warna yang terang dan
lembut. Warna-warna yang tersusun diharapkan membuat anak merasa tertarik
untuk menggunakan alat peraga tersebut. Jika anak telah merasa tertarik, maka
mereka akan dapat belajar dengan mandiri dan bermakna.
2) Bergradasi
Alat peraga Montessori memiliki unsur gradasi. Gradasi disini merupakan
rasional dari keterlibatan lebih dari satu indera yang anak alami pada saat
penggunaan alat peraga. Alasan lain alat peraga Montessori dikatakan bergaradasi
adalah jiuka dilihat dari segi kontras yang dimiliki alat tersebut. Kontras dalam
alat peraga Montessori dapat dilihat pada warna, ukuran, dan jumlah yang
bertujuan untuk memudahkan anak dalam mengetahui perpedaan. Alat peraga
Montessori juga memiliki makna bertingkat dan konsisten. Bertingkat di sini
dapat diartikan bahwa alat peraga Montessori memiliki ukuran yang jelas dan
dapat diamati oleh siswa. Setiap satu set alat terdapat alat peraga yang sama
memiliki komponen-komponen dengan ukuran yang berbeda namun selalu
konsisten. Konsisten yang dimaksud adalah selalu mempunyai selisih ukuran yang
sama. Gradasi alat tersebut akan melatih kemampuan berlogika siswa dalam
menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh anak. Contohnya satu set alat terdiri
kedua selisih panjangnya 10 cm maka selisih panjang untuk semua tongkat adalah
10 cm semua.
3) Memiliki pengendali kesalahan (auto correction)
Pengendali kesalahan yang dimiliki alat peraga montessori bertujuan
sebagai penunjuk bagi anak apabila terjadi kesalahan tanpa ada orang lain yang
memberitahu. Jika telah mengetahui jika terjadi kesalahan ketika anak sedang
menggunakan alat peraga tersebut, maka anak akan melatih anak untuk
melakukan pembenahan agar ia menggunakan alat peraga tersebut dengan tepat.
Selain itu, melalui alat peraga yang memiliki pengendali kesalahan, anak dapat
membiasakan untuk teratur dalam melakukan sesuatu. Misalnya, dalam
menggunakan incastri solidi, ketika anak melakukan kesalahan pada saat
memasukkan incastri dengan diameter besar pada lubang yang kecil atau
sebaliknya incastri berdiameter kecil pada lubang yang besar maka anak akan
terus mencoba hingga berhasil memasukkan incastri pada lubang yang sesuai,
tidak sempit dan tidak menyisakan ruangan pada lubang incastri.
4) Memiliki nilai kemandirian belajar bagi siswa (auto education)
Alat peraga Montessori dibuat sesuai dengan tahapan perkembangan anak
sehingga dapat digunakan sesuai dengan kebutuhan anak. Anak dapat memilih,
membawa, dan memindahkan sendiri alat peraga yang ingin mereka gunakan
sehingga anak dapat secara bebas dalam menentukan dimana mereka akan
menggunakan alat peraga tersebut. Hal ini dapat membuat anak merasa nyaman
5) Kontekstual
Alat peraga dibuat sedapat mungkin sesuai dengan situasi nyata atau dekat
dengan diri siswa. Sesuatu yang berhubungan, nyata, dan dekat dengan anak dapat
membantu anak dalam memahami dan mendorong anak untuk mengkonstruk atau
membangun pengetahuan yang dimiliki anak dengan menerapkannya dalam
kehidupan sehari-harinya (Riyanto, 2010: 163). Kondisi tersebut dapat lebih
mempermudah siswa dalam mengenal dan menggali pengetahuan dari alat peraga
yang mereka gunakan.
Alat peraga Montessori memiliki keunggulan-keunggulan yang signifikan
seperti yang dijelaskan di atas. Penelitian ini menggunakan alat peraga berbasis
Montessori dengan lima karakteristik berdasarkan penjelasan di atas untuk
melihat pemgaruhnnya terhadap prestasi belajar siswa kelas IV. Nama alat peraga
berbasis metode Montessori yang digunakan dalam penelitian ini adalah kotak
pecahan.
d. Alat peraga kotak pecahan
Alat peraga “Kotak Pecahan” merupakan replikasi dari alat peraga
matematika berbasis metode Montessori yang bernama cut out label of fraction.
Alat ini terdiri dari sebuah kotak bersekat yang berwarna cokelat, kepingan
pecahan berwarna merah yang bernilai hingga , dan kartu soal yang sekaligus
merupakan pengendali kesalahan. Kotak bersekat merupakan tempat untuk
meletakkan kepingan pecahan dan kartu soal. Alat peraga Montessori selalu
memiliki album atau langkah untuk menggunakannya begitupun dengan alat
Gambar 2.1 Alat peraga matematika berbasis metode Montessori kotak
pecahan
Gambar 2.1 merupakan gambar alat peraga matematika berbasis metode
Montessori kotak pecahan yang digunakan dalam penelitian ini. Kotak pecahan
memiliki empat karakteristik yakni menarik, bergradasi, auto education, auto
correction. Alat peraga kotak pecahan menarik dari segi warna. Alat peraga kotak
pecahan berwarna merah terang pada blok pecahannya dan cokelat pada kotaknya.
Gadasi pada alat peraga ini adalah gradasi materi. Alat peraga ini dapat digunakan
dalam berbagai materi yaitu pengurutan, perbandingan, dan perkalian pecahan.
Karakteristik auto education pada alat peraga ini adalah siswa dapat berlatih
sendiri dalam menggunakan alat peraga. Siswa mengerjakan kartu soal dan
mencocokan jawaban sendiri dengan kartu yang ada di balik kartu soal. Siswa
dapat mengetahui kesalahan mereka dalam menjawab kartu soal sendiri karena di
balik kartu soal terdapat jawaban yang benar. Hal ini menunjukkan bahwa
karakteristik auto correction terpenuhi pada alat peraga ini. Alat peraga
siswa dalam kehidupan sehari-hari. Penjelasan di atas menunjukkan bahwa alat
peraga kotak pecahan telah memenuhi empat karakteristik alat peraga matematika
berbasis metode Montessori dan memenuhi karakteristik kontekstual.
4. Pembelajaran Matematika
Pada topik ini terdapat dua bahasan mengenai metode pembelajaran
matematika, yaitu pengertian dan tujuan pembelajaran matematika. Penjelasan
lebih lanjut mengenai dua bahasan tersebut ialah sebagai berikut:
a. Pengertian matematika
Matematika merupakan sebuah kata yang berasal dari bahasa Belanda
“wiskunde” yang berarti ilmu pasti yang kesemuanya berkaitan dengan penalaran
(Depdiknas dalam Susanto, 2012: 184). Ilmu yang terkandung dalam matematika
merupakan pengetahuan yang universal yang melandasi perkembangan teknologi
modern yang pesat di seluruh dunia. Matematika mempunyai peran penting dalam
berbagai disiplin ilmu dan juga kemampuan berpikir manusia. Berbagai kemajuan
ilmu pengetahuan serta teknologi informasi dan komunikasi yang terjadi dewasa
ini merupakan hasil dari perkembangan matematika dalam bidang aljabar, teori
bilangan, teori peluang, analisis, dan matematika diskrit yang semakin pesat pula
(KTSP, 2007). Alasan tersebut membuat matematika dijadikan salah satu bidang
studi yang diberikan pada semua jenjang pendidikan, mulai dari sekolah dasar
hingga perguruan tinggi (Susanto, 2012: 183).
Bidang studi matematika diberikan di sekolah dasar dengan tujuan agar
mampu menguasai dan menciptakan teknologi di masa depan. Melalui bidang
analitis, kritis, dan kreatif serta kemampuan bekerjasama (KTSP, 2006). Sama
halnya dengan Susanto (2012: 185) yang menjelaskan bahwa ilmu matematika
dapat meningkatkan kemampuan berpikir dan berargumentasi. Tujuan lain tentang
matematika adalah dapat membantu anak dalam menyelesaikan masalah dalam
kehidupan sehari-hari karena matematika merupakan ilmu yang kontekstual.
Matematika juga mampu memberi kontribusi dalam pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang semakin pesat.
b. Tujuan pembelajaran matematika
Tujuan umum pembelajaran matematika pada lingkup sekolah dasar menitik
beratkan pada pemberian penalaran dan penanaman sikap terhadap anak dalam
proses pembelajaran matematika (Suherman 2003: 58). Konsep yang berhasil
ditanamkan pada siswa akan berguna pada saat siswa memahami dan
mengerjakan soal matematika. Siswa yang belum mampu menguasai konsep suatu
materi pada pembelajaran matematika akan merasa dan mangalami kesulitan
dalam mengerjakan soal-soalnya.
Tujuan pembelajaran matematika diberikan pada siswa di jenjang
pendidikan sekolah dasar menurut Depdiknas (2006) ialah (1) melakukan operasi
hitung penjumlahan, pengurangan, perkalian, pembagian pada bilangan bulat
maupun pecahan, dan operasi campurannya, (2) menentukan sifat dan unsur
berbagai bangun datar dan bangun ruang sederhana, (3) menentukan sifat simetri,
kesebangunan, dan siste koordinat, (4) menggunakan pengukuran yang meliputi
menafrsirkan data sederhana, dan (6) memecahkan masalah, menalar, dan
mengkomunikasikan gagasan matematika dalam kehidupan sehari-hari .
5. Materi Penjumlahan dan Pengurangan Pecahan
Penelitian ini dilakukan pada bidang studi matematika. Materi yang
digunakan adalah “penjumlahan dan pengurangan pecahan” untuk siswa kelas IV
di semester genap. Standar kompetensi yang digunakan adalah “menggunakan pecahan dalam pemecahan masalah” dan kompetensi dasar “menjumlahkan dan mengurangkan berbagai bentuk pecahan”.
Pecahan yang dipelajari siswa pada jenjang Sekolah Dasar atau Madrasah
Iftidaiah merupakan bagian dari bilangan rasional yang dapat ditulis dalam bentuk
dengan a dan b merupakan bilangan bulat dan b tidak sama dengan nol. Secara
simbolik pecahan dapat dinyatakan sebagai salah satu bentuk dari: (1) pecahan
biasa, (2) pecahan desimal, (3) persen, dan (4) pecahan campuran. Kata pecahan
berasal dari bahasa Latin ”fractio” yang berarti memecah menjadi bagian-bagian yang lebih kecil atau bagian dari keseluruhan. Sebuah pecahan mempunyai 2
bagian yaitu pembilang dan penyebut yang penulisannya dipisahkan oleh garis
lurus (–) dan bukan garis miring (/). Pembilang merupakan bilangan yang menunjukkan banyaknya bagian yang menjadi perhatian atau digunakan atau
diambil pada saat tertentu. Penyebut menunjukkan banyaknya bagian-bagian yang
sama dari suatu benda utuh. Contoh , , dan seterusnya, bukan 1/2, 2/3. Pecahan
biasa adalah lambang bilangan yang dipergunakan untuk melambangkan bilangan
Materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah penjumlahan dan
pengurangan pecahan dengan penyebut sama dan berbeda. Penjumlahan pecahan
yang berpenyebut sama dapat diperoleh hasilnya dengan menjumlah
pembilangnya, sedangkan penyebutnya tetap. Pengurangan pecahan yang
berpenyebut sama dapat diperoleh hasilnya dengan mengurangkan pembilangnya,
sedangkan penyebutnya tetap. Penjumlahan pecahan berpenyebut berbeda maka
bila menjumlah pecahan dengan penyebut tidak sama, supaya dapat memperoleh
hasil maka penyebutnya harus disamakan terlebih dahulu, dengan cara mencari
pecahan senilainya (Pusat Pengembangan Profesi Pendidik Matematika, 2009).
6. Prestasi Belajar
Topik ini membahas empat bahasan mengenai prestasi belajar. Empat
bahasan tersebut adalah teori belajar, pengertian belajar, pengertian presatsi
belajar, dan faktor yang mempengaruhi prestasi belajar. Penjelasan mengenai
empat bahasan secara lebih lanjut ialah sebagai berikut:
a. Teori belajar
Winkel mengemukakan bahwa belajar merupakan perubahan tingkah laku
yang terjadi akibat interaksi dengan lingkungan (Riyanto, 2010: 5). Penjelasan
tersebut dapat memberi arti bahwa proses belajar menekankan pada dua hal, yakni
perubahan tingkah laku dan interaksi dengan lingkungan. Teori-teori belajar yang
mendukung penjelasan tersebut yaitu teori behaviorisme, teori kognitif, dan teori
konstruktivisme. Belajar menurut aliran behaviorisme yang dikemukakan oleh
Gredler merupakan interaksi yang terjadi antara stimulus dan respon yang
laku menurut teori ini disebabkan oleh interaksi atau reaksi yang kompleks antara
stimulus dan respon yang kebanyakan disebabkan oleh pengaruh lingkungan.
Teori behaviorisme menempatkan pembelajar sebagai kertas putih yang belum
memiliki pengetahuan apapun (Riyanto, 2010: 6). Tokoh teori behaviorisme
Torndike mencetuskan hukum-hukum yang berpengaruh pada proses belajar.
Salah satu hukum tersebut adalah hukum primer yang terdiri dari law of
readiness, law of exercise and repetation, dan law of effect. Law of readiness
merupakan timbulnya kesiapan untuk merespon stimulus yang diberikan karena
kepuasan terhadap proses penyesuaian diri terhadap lingkungan. Law of exercise
and repetation adalah kondisi dimana respon dan stimulus akan berkembang
sangat kuat apabila diberikan latihan-latihan yang berulang. Law of effect
merupakan respon akan terus diberikan apabila stimulus yang diberikan memberi
kepuasan. Penjelasan di atas dapat mengartikan belajar menurut Torndike
merupakan respon dan stimulus yang berhubungan satu sama lain. Respon dan
stimulus dalam proses belajar dapat berupa pikiran, perasaan, atau gerakan
(Riyanto, 2010: 6-7). Belajar tidak hanya terdiri dari satu aspek saja tetapi terdiri
dari beberapa aspek yang menjadi sebuah kesatuan yang saling berkaitan satu
sama lain.
Berbeda dengan teori belajar behaviorisme, teori belajar konstruktivisme
bukan hanya menekankan pada hubungan antara stimulus dan respon saja, tetapi
lebih menekankan pada suatu proses yang melibatkan keterampilan berpikir yang
kompleks. Individu pembelajar memperoleh pengetahuan melalui proses interaksi
tidak menganggap anak hanya sebagai kertas putih yang tidak mempunyai
pengetahuan apapun, namun, anak telah mempunyai pengetahuan sebelum
menerima materi atau konsep baru. Salah satu tokoh pemikir pada teori ini adalah
Jean Piaget. Piaget merumuskan tiga tahap yang saling berhubungan dalam proses
belajar, yaitu (1) asimilasi, (2) akomodasi, dan (3) ekuilibrasi. Asimilasi
merupakan proses masuknya pengetahuan baru ke dalam struktur kognitif yang
telah ada dalam diri pembelajar. Struktur kognitif tersebut disesuaikan dalam
kondisi yang baru, proses ini disebut akomodasi. Tahap terakhir adalah ekuilibrasi
yang merupakan proses penyeimbangan antara asimilasi dan akomodasi yang
terjadi secara berkesinambungan. Sebagai contoh, seorang siswa yang akan
belajar materi pembagian (pengetahuan baru). Siswa sudah mengetahui prinsip
pengurangan (pengetahuan awal di struktur kognitif) sehingga proses
memasukkan pengetahuan baru (pembagian) dan mengintegrasikan pada
pengetahuan awal (pengurangan) untuk memperoleh konsep pembagian yang
merupakan pengurangan berulang. Proses inilah yang disebut dengan asimilasi.
Pada saat siswa mengerjakan soal pembagian, kondisi inilah yang disebut
akomodasi. Siswa akan berusaha mengembangkan dan memahami konsep atau
materi yang telah dipelajari dengan menjaga stabilitas pengetahuan yang telah
diterima. Maka, proses ini disebut equilibrasi (Riyanto, 2010: 9-10). Tiga tahap
tersebut merupakan kesatuan dan proses yang saling berkaitan dalam proses
belajar.
Belajar konstruktivisme memiliki lima implikasi dalam pelaksanaannya,
semata, (2) mengutamakan peran aktif siswa dalam proses belajar, (3)
konstruktivisme lebih menekankan pada pengajaran top down, (4) membelajarkan
siswa secara mandiri, dan (5) menempatkan siswa sebagai pembelajar yang
memiliki tanggung jawab terhadap apa yang mereka pelajari (Riyanto, 2010:
151&154). Berbagai penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa aplikasi teori
konstruktivisme dalam proses pembelajaran mementingkan proses konstruksi
pengetahuan baru dengan pengetahuan yang telah dimiliki anak sebelumnya.
Proses konstruksi dalam pembelajaran melalui tiga tahap yakni asimilasi,
akomodasi, dan aquilibrasi yang saling berhubungan satu dengan yang lain.
b. Pengertian Belajar
Hilgard mengemukakan bahwa belajar adalah proses terjadinya reaksi
antara subjek dengan lingkungan yang membuat subjek tersebut mengalami
perubahan. Perubahan-perubahan tersebut di antaranya perubahan pengetahuan,
kecakapan, dan tingkah laku yang subjek peroleh melalui berbagai macam latihan
(Riyanto, 2010: 4-5). Interaksi dan perubahan dalam proses belajar juga
ditekankan Winkel dalam merumuskan pengertian belajar. Winkel merumuskan
belajar sebagai perubahan-perubahan pada pengetahuan, pemahaman,
keterampilan, dan nilai yang tetap dan bertahan lama dalam diri pembelajar yang
merupakan hasil dari aktivitas mental dalam interaksi antara pembelajar dengan
lingkungannya (Susanto, 2012: 4). Kemudian, pengertian belajar yang menitik
beratkan pada terjadinya perubahan juga dikemukakan oleh Slameto (2010: 2)
dengan tujuan untuk memperoleh perubahan secara holistik (keseluruhan) melalui
pengalaman atau interaksi dengan lingkungan.
Belajar menurut Cronbach dalam Riyanto (2010: 5) ialah perubahan
perilaku yang ditunjukkan pembelajar yang merupakan hasil dari pengalaman.
Senada dengan pengertian tersebut, Hamalik (2001: 27) menyatakan bahwa
belajar merupakan suatu proses memodifikasi tingkah laku melalui pengalaman
diperoleh pembelajar dari suatu proses atau kegiatan. Sehingga belajar bukan
semata-mata merupakan hasil atau tujuan melainkan suatu proses atau kegiatan
(Gagne dalam Riyanto, 2010: 5). Jadi, belajar merupakan proses yang dapat
diamati, diubah, atau dikontrol.
Kesimpulan yang dapat diperoleh berdasarkan penjelasan di atas adalah
belajar merupakan suatu proses yang dapat teramati dan terstruktur. Belajar juga
merupakan tempat dimana pembelajar dapat membangun atau mengkonstruksi
pengetahuannya melalui pengalaman. Pengalaman tersebut diperoleh pembelajar
melalui proses interaksi antara pembelajar dengan lingkungannya sehingga terjadi
perubahan tingkah laku yang mencakup pengetahuan, keterampilan, dan nilai
pada diri pembelajar.
c. Pengertian Prestasi Belajar
Prestasi dan belajar merupakan dua kata yang saling berkaitan dalam
konteks pendidikan. Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008) mendefinisikan
prestasi sebagai hasil yang dapat dicapai dari sesuatu yang telah dilaksanakan,
dikerjakan, dan lain sebagainya. Berbicara mengenai hasil, Winkel juga
melakukan sesuatu. Hasil tersebut merupakan kemampuan nyata dan dapat
diamati (Susanto, 2012: 5). Lebih detailnya, Sudjana (2005: 3) merumuskan
prestasi sebagai hasil belajar yang memenuhi kriteria tertentu yang berhasil
dicapai oleh siswa sehingga diperlukan evaluasi belajar untuk mengetahui tingkat
prestasi belajar siswa.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008) merumuskan prestasi belajar
merupakan pencapaian siswa atas penguasaan pengetahuan dan keterampilan yang
dikembangkan dalam mata pelajaran yang pada umumnya ditunjukkan oleh nilai
tes. Senada dengan penjelasan tersebut, Arifin (2009: 12) mengungkapkan bahwa
prestasi belajar adalah hasil yang ditunjukkan setelah mengalami proses belajar
yang pada umumnya berkenaan dengan pengetahuan. Tim Pengembangan MKDP
Kurikulum dan Pembelajaran (2012: 140) merumuskan prestasi belajar sebagai
perubahan tingkah laku yang menyeluruh pada aspek kognitif, afektif, dan
psikomotorik.
Kesimpulan berdasarkan penjelasan di atas menjelaskan bahwa prestasi
belajar merupakan hasil yang dicapai oleh pembelajar meliputi perubahan tingkah
laku dan pengembangan pengetahuan serta keterampilan yang diperoleh melalui
pengalaman belajar (interaksi dengan lingkungan). Prestasi belajar dapat diketahui
melalui tes atau ujian. Prestasi belajar dan belajar itu sendiri saling berhubungan
satu sama lain karena prestasi belajar merupakan hasil dari proses belajar. Prestasi
belajar dapat berupa huruf atau angka yang didapat melalui proses evaluasi