A. Penelitian Relevan
Penelitian mengenai gaya bahasa sebelumnya pernah dilakukan oleh
Rahayu (2011). Rahayu meneliti mengenai “Analisis Gaya Bahasa Pada Album
Musik Klakustik Karya Band Kla Project dan Saran Penerapannya dalam
Pembelajaran Gaya Bahasa di SMA Kelas X Semester 1”.
Penelitian yang dilakukan oleh Rahayu berjudul “Analisis Gaya Bahasa
Pada Album Musik Klakustik Karya Band Kla Project dan Saran Penerapannya
dalam Pembelajaran Gaya Bahasa di SMA Kelas X Semester 1”. Tujuan penelitian
tersebut yaitu: (1) mendeskripsikan jenis gaya bahasa yang terdapat pada album
Klakustik karya Kla Project. (2) menerapkan hasil penelitian analisis gaya bahasa
dalam pembelajaran gaya bahasa di SMA kelas X semester 1. Adapun landasan
teori dalam penelitian tesrebut yaitu: (1) lirik lagu sebagai genre sastra. (2)
pengertian diksi. (3) jenis-jenis gaya bahasa. (4) gaya bahasa dalam konteks sastra.
(5) sastra sebagai sarana pembelajaran. (6) pembelajaran gaya bahasa di SMA kelas
X semester 1. Datanya berupa 5 lirik lagu dalam album musik Klakustik yaitu Tak
Bisa ke Lain Hati, Pasir Putih, Tentang Kita, Belahan Jiwa, dan Semoga.
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya yaitu pada tujuan
penelitian, landasan teori, dan sumber data. Dalam penelitian ini tujuannya adalah
blackberry massenger. Landasan teori dalam penelitian ini adalah (1) bahasa, (2) wacana, dan (3) stilistika. Sumber data dalam penelitian ini adalah display pictureblackberry massenger.
Bertolak dari penelitian tersebut peneliti berasumsi belum ada yang
melakukan penelitian mengenai “Gaya Bahasa pada Display Picture Blackberry
Massenger”. Maka dari itu, peneliti tertarik untuk meneliti hal tersebut.
B. Bahasa
1. Pengertian Bahasa
Melalui bahasa manusia mendapatkan informasi dengan
ungkapan-ungkapan yang terkandung di dalam bahasa. Bahasa terdiri dari unsur-unsur yang
tersusun secara teratur dan berpola, dengan demikian bahasa tersebut akan mudah
dipahami. Menurut Chaer (2012:30), bahasa adalah alat komunikasi yang
digunakan oleh manusia untuk bertukar informasi. bermakna karena di dalamnya
terkandung konsep, gagasan atau ide, serta pikiran. Mulyana (2016:260)
menjelaskanbahasa merupakan simbol yang telah disepakati oleh sekelompok
masyarakat dalam mengungkapkan pemikiran, sehingga masyarakat dapat
memahami gagasan yang terdapat dalam simbol tersebut. Hal tersebut karena
bahasa setiap negara berbeda-beda dengan tata aturan yang berbeda pula. Oleh
karena itu bahasa dapat dikatakan sebagai suatu simbol.
Dari pendapat beberapa ahli di atas dapat disimpulkan bahwa bahasa
merupakan simbol yang hanya dimiliki oleh manusia dan telah disepakati bersama
demikian masyarakat menggunakan bahasa untuk berkomunikasi dan menjalin
hubungan dengan orang lain.
2. Fungsi Bahasa
Fungsi bahasa yang paling umum adalah sebagai sarana komunikasi atau
alat perhubungan antara individu satu dengan lainnya. Melalui bahasa semua orang
dapat menerima atau memberi informasi satu sama lain. Dalam hal ini, bahasa
berfungsi sebagai sarana bertukar informasi. Menurut Keraf (2001:3), secara garis
besar bahasa memiliki empat fungsi, yaitu alat untuk menyatakan ekspresi, alat
komunikasi, alat mengadakan integrasi dan adaptasi sosial, dan alat mengadakan
kontrol sosial.
a. Alat untuk Menyatakan Ekspresi Diri
MenurutKeraf (2001:3), bahasa digunakan untuk mengungkapkan perasaan
atau gagasan yang terdapat di dalam benak manusia. Dengan demikian,
seseorang yang menggunakan bahasa akan diakui keberadaannya karena secara
tidak langsung dia menarik perhatian orang lain atau pendengar sehingga
mengetahui keberdaannya.
b. Alat Komunikasi
MenurutKeraf (2001:4), sebagai alat komunikasi bahasa merupakan sarana
untuk merumuskan maksud pembicara, melahirkan gagasan sehingga terjadi
komunikasi antara satu orang dengan orang lain. Dengan komunikasi semua
gagasan dan pemikiran yang tersimpan dalam benak seseorang dapat
c. Alat Mengadakan Integrasi dan Adaptasi Sosial
MenurutKeraf (2001:5), bahasa digunakan sebagai sarana integrasi
(pembauran) antara individu dengan masyarakat. Melalui bahasa seseorang
tentu akan memahami adat yang terdapat di dalam lingkungan tempat
tinggalnya.
d. Alat Mengadakan Kontrol Sosial
MenurutKeraf (2001:6), kontrol sosial merupakan usaha untuk
mempengaruhi tingkah laku anggota masyarakat. Kegiatan sosial dapat berjalan
dengan baik karena adanya bahasa, dengan menggunakan bahasa diharapkan
pendengar dapat merespon melalui tuturan maupun perbuatan.
C. Wacana
Menurut Douglas (dalam Mulyana, 2005:3), istilah wacana berasal dari bahasa Sansekerta wac/wak/vak,memiliki pengertian „berkata‟, „berucap‟. Kata wac
dalam bidang morfologi bahasa Sansekerta, termasuk kata kerja golongan III
paramaepada(m) yang bersifat aktif, yaitu melakukan tindakan ujar. Seiring perkembangannya kata „wac‟mengalami perubahan menjadi wacana. Bentuk ana
yang muncul di belakang merupakan sufiks (akhiran), yang berfungsi
“membendakan”. Jadi, kata wacana memiliki pengertian „perkataan‟ atau
“tuturan”.Menurut Alwi,dkk. (2003:419), wacana adalah gabungan beberapa
kalimat yang saling berkaitan antara satu dengan lainnya. Menurut Chaer
(2012:267), wacana adalah satuan bahasa yang lengkap, sehingga dalam hierarki
seringkali terdapat konsep, gagasan, ide yang dapat dipahami oleh pendengar
maupun pembaca.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, wacana adalah satuan gramatikal
tertinggi yang terdiri dari beberapa kalimat yang membentuk kesatuan makna.
Dalam wacana terdapat gagasan, ide, pikiran yang ingin disampaikan
pembicara/penulis kepada pendengar/pembaca.
D. Stilistika
Stilistika (stylistic) adalah ilmu mengenai gaya, sedangkan stil (style) secara umum memiliki pengertian yang lebih luas, yaitu bagaimana seseorang
mengungkapkan sesuatu dengan cara yang khas, sehingga tujuan yang dimaksud
dapat dicapai secara maksimal (Ratna, 2013:3). Menurut Shipley (dalam Ratna,
2013:8), stilistika (stylistic) adalah ilmu tentang gaya (style) sedangkan style
berasal dari akar kata stilus (Latin), awalnya memiliki pengertian „alat berujung
runcing‟ yang digunakan untuk menulis bidang berlapis lilin. Menurut Hartoko
(dalam Noor, 2010:116), stilistika adalah gaya atau cara khas seseorang dalam
mengungkapkan suatu maksud dengan memperhatikan aspek bahasa (kata-kata,
kiasan-kiasan, susunan kalimat, nada, dan sebagainya). Sebagai ilmu mengenai
gaya bahasa, stilistika membahas kekhasan seorang pengarang maupun kelompok,
periode, dan aliran tertentu dalam pemakaian bahasa (dalam Ratna, 2013:229).
Berdasarkan pengertian beberapa ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa
stilistika adalah ilmu mengenai gaya bahasa seseorang, kelompok, atau aliran
tertentu dalam mengungkapkan pemikiran atau maksud dengan memperhatikan
E. Gaya Bahasa
1. Pengertian Gaya Bahasa
Gaya atau gaya bahasa dalam retorika sering disebut style. Kata style
diturunkan dari bahasa Latin yaitu stilus. Stilus merupakan alat yang digunakan untuk menulis pada lempengan lilin. Hal tersebut bertujuan untuk mengetahui
jelas tidaknya tulisan tersebut. Seiring perkembangan masyarakat, style berubah maknanya menjadi bagaimana seorang penulis dapat menggunakan kata-kata
yang indah bukan tulisan yang indah. Menurut Ratna (2013:161), gaya bahasa
berkaitan dengan aspek keindahan untuk mencapai nilai estetis. Gaya bahasa
atau style berhubungan diksi atau pilihan kata yaitu bagaimana seorang penulis menggunakan kata, frasa, atau klausa yang mempertimbangkan cocok tidaknya
penggunaan bagian-bagian tersebut di dalam tulisan (Keraf, 2006:112).
Berdasarkan pendapat beberapa ahli di atas, dapat disimpulkan gaya
bahasa merupakan cara penulis mengungkapkan suatu maksud dengan
memperhatikan kecocokan pilihan kata, frasa, atau klausa dalam kalimatnya
untuk mencapai nilai keindahan.
2. Jenis Gaya Bahasa
Gaya bahasa dapat ditinjau dari bermacam-macam sudut pandang. Gaya
bahasa sekurang-kurangnya dapat dibedakan berdasarkan dua segi, yaitu dari
segi bahasa dan non bahasa. Dari segi bahasa dibedakan menjadi empat, yaitu
gaya bahasa berdasarkan pilihan kata, gaya bahasa berdasarkan nada yang
terkandung dalam wacana, gaya bahasa berdasarkan struktur kalimat, dan gaya
menjadi tujuh, yaitu berdasarkan pengarang, berdasarkan masa, berdasarkan
medium, berdasarkan subyek, berdasarkan tempat, berdasarkan hadirin, dan
berdasarkan tujuan (Keraf,2006:115-117). Berdasarkan pembagian gaya bahasa
tersebut, peneliti menggunakan gaya bahasa dari segi bahasa. Gaya bahasa dari
segi bahasa dibedakan berdasarkan titik tolak unsur bahasa yang dipergunakan,
yaitu gaya bahasa berdasarkan pilihan kata, gaya bahasa berdasarkan struktur
kalimat, dan gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna. Berdasarkan
pemaparan di atas, peneliti tidak menggunakan gaya bahasa berdasarkan nada
danpilihan kata. Menurut Keraf (2006, 117-145), jenis gaya bahasa dari segi
bahasa dipaparkan sebagai berikut;
a. Jenis Gaya Bahasa Berdasarkan Struktur Kalimat
Menurut Keraf (2006:124), struktur sebuah kalimat dapat dijadikan patokan
untuk menciptakan suatu gaya bahasa. Struktur kalimat dalam hal ini adalah
tempat unsur kalimat dipentingkan. Ada kalimatyang bersifat periodik, bila
bagian yang dipentingkan terdapat di akhir kalimat. Ada kalimat yang bersifat
kendur, yaitu bila bagian yang dianggap penting terdapat di awal kalimat. Jenis
yang ketiga adalah kalimat berimbang, yaitu kalimat yang terdapat dua bagian
kalimat atau lebih yang kedudukannya sama tinggi dan sederajat. Berdasarkan
struktur kalimat ada lima jenis gaya bahasa, yaitu klimaks, antiklimaks,
paralelisme, antitesis, dan repetisi sebagai berikut;
Menurut Keraf (2006:124), gaya bahasa klimaks merupakan gaya bahasa
yang mengandung urutan-urutan pikiran yang semakin meningkat dari
gagasan-gagasan sebelumnya, sehingga gaya bahasa klimaks mempertegas atau
menguatkan pemikiran sebelumnya yang disampaikan oleh penulis. Misalnya
kalimat (4)“Kesengsaraan membuahkan kesabaran, kesabaran pengalaman,
dan pengalaman harapan”. Pada contoh gaya bahasa klimaks tersebut
memberikan urutan-urutan pemikiran bahwa kesengsaraan memberikan
pengalaman, dan berdasarkan pengalaman-pengalaman seseorang tentu akan
mengetahui dan memahami arti hidup. Berdasarkan pemaparan di atas, gaya
bahasa klimaks bisa diketahui dari urutan-urutan tersebut yang semakin
meningkat.
2) Antiklimaks
Menurut Keraf (2006:125), antiklimaks merupakan gaya bahasa yang
mengurutkan gagasan yang terpenting terlebih dahulu kemudian gagasan
penunjang. Gaya antiklimaks sering kurang efektif karena gagasan yang
penting diletakkan di awal. Pembaca terfokus pada gagasan di awal kalimat dan
mengabaikan penjelasan pada bagian-bagian berikutnya karena pada dasarnya
pembaca hanya terfokus pada penjelasan awal kalimat. Misalnya kalimat(5)
“Pembangunan lima tahun telah dilancarkan serentak di Ibu Kota negara, ibu
kota-ibu kota propinsi, kabupaten, kecamatan, dan semua desa di seluruh
ibu kota negara dan kemudian disusul oleh bagian-bagian yang membawahi ibu
kota dalam sebuah pemerintahan.
3) Paralelisme
Menurut Keraf (2006:126), paralelisme merupakan gaya bahasa yang
berusaha mencapai kesejajaran dengan menggunakan kata-kata atau frasa-frasa
yang menduduki fungsi yang sama dalam bentuk kalimat yang sama. Misalnya
kalimat (6)“Baik golongan yang tinggi maupun golongan yang rendah, harus
diadili kalau bersalah”.Contoh penggalan kalimat tersebut mengandung gaya
bahasa paralelisme karena dalam kalimat tersebut terdapat frasa yang
menduduki fungsi yang sama yaitu golongan yang tinggi dan golongan yang
rendah.
4) Antitesis
Menurut Keraf (2006:126), antitesis merupakan suatu gaya bahasa yang
didalamnya mengandung gagasan yang berlawanan dengan menggunakan kata
atau kelompok kata yang berlawanan atau bertentangan. Misalnya kalimat
(7)“Hingga kini kusimpan engkau mesra dalam lubuk hatiku, tetapi mulai kini
engkau kuenyahkan jauh-jauh bagai musuh kejam”. Penggalan kalimat di atas
menunjukkan pertentangan, yaitu kusimpan dipertentangkan dengan
5) Repetisi
Menurut Keraf (2006:127), repetisi merupakan perulangan bunyi, suku
kata, kata atau bagian kalimat yang dianggap penting sehingga menimbulkan
kesan estetis sesuai dengan konteks yang sesuai. Repetisi yang berbentuk kata
atau frasa atau klausa dianggap memiliki nilai yang lebih tinggi. Misalnya
kalimat (8)“Atau maukah kau pergi bersama serangga-serangga tanah, pergi bersama kecoak-kecoak, pergi bersama mereka yang menyusupi tanah,
menyusupi alam?”. Pada contoh tersebut terdapat perulangan frasa pergi bersama dan kata menyusupi. Pengulangan tersebut bertujuan untuk memberikan tekanan terhadap bagian kalimat yang dianggap penting.
b. Gaya Bahasa Berdasarkan Langsung Tidaknya Makna
Dasar penentuan jenis gaya bahasa ini adalah apakah acuan yang dipakai untuk
mengungkapkan maksud masih mempertahankan makna denotatifnya atau sudah
mengalami penyimpangan dari makna yang sebenarnya. Gaya bahasa berdasarkan
ketidaklangsungan makna biasa disebut trope atau figure of speech. Gaya bahasa tersebut dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu gaya bahasa retoris dan gaya
bahasa kiasan.
1. Gaya Bahasa Retoris
Gaya bahasa retoris adalah gaya bahasa yang merupakan penyimpangan
dari konstruksi biasa untuk mencapai efek tertentu dalam mengungkapkan suatu
maksud yang ingin disampaikan oleh penulis. Misalnya kalimat (9)“Ia memukul
unsur-unsur kelangsungan makna, dengan konstruksi-konstruksi yang umum dalam
bahasa Indonesia. Menurut Keraf (2006, 130-136), gaya bahasa retoris dibedakan
menjadi dua puluh dua, yaitu gaya bahasa aliterasi, asonasi, anastrof, apofasis atau
preterisio, apostrof, asindenton, polisindenton, kiasmus, elipsis, eufemismus,
litotes, histeron proteron, pleonasme dan tautologi, perifrasis, prolepsis atau
antisipasi, erotesis atau pertanyaan retoris, silepsis dan zeugma, koreksio atau
epanortosis, hiperbol, paradoks, dan oksimoron.
a) Aliterasi
Menurut Keraf (2006:130), aliterasi merupakan gaya bahasa yang
didalamnya terdapat perulangan konsonan yang sama. Sedangkan menurut
Pradopo (2014:16) aliterasi merupakan perulangan konsonan yang digunakan
untuk mencapai nilai keindahan. Gaya bahasa aliterasi biasanya banyak
ditemukan dalam puisi dan prosauntuk mencapai efek tertentu dalam sebuah
kalimat. Misalnya kalimat (10)“Takut titik lalu tumpah”. Pada kalimat tersebut terdapat perulangan konsonan/t/.
b) Asonasi
Menurut Keraf (2006:130), asonasi merupakan gaya bahasa yang terdapat
perulangan bunyi vokal yang sama. Pernyataan di atas sejalan dengan pendapat
Pradopo (2014:29), asonasi merupakan perpaduan bunyi vokal sehingga
menimbulkan bunyi yang merdu. Misalnya kalimat (11)“Ini muka penuh luka
c) Anastrof
Menurut Keraf (2006:130), anastrof atau inversi merupakangaya bahasa
yang didalamnya terdapat pembalikan susunan kata yang biasa dalam suatu
kalimat. Misalnya kalimat (12) “Pergilah ia meninggalkan kami, keheranan
kami melihat perangainya”. Pada kalimat tersebut terjadi pembalikan susunan
kalimat, subjek pada kalimat tersebut didahului oleh predikat.
d) Apofasis atau Preterisio
Menurut Keraf (2006:130), apofasis atau preterisio merupakan gaya bahasa
dimana penulis seolah-olah menyembunyikan seseuatu tetapi sebenarnya
memamerkan. Misalnya kalimat (13) “Saya tidak mau mengungkapkan dalam
forum ini bahwa Saudara telah menggelapkan ratusan juta rupiah uang Negara”. Contoh kalimat tersebut memberikan pemaparan bahwa saya tidak
mau membuka aib seseorang dalam sebuah forum tetapi justru orang tersebut
membeberkan aib orang tersebut.
e) Apostrof
Menurut Keraf (2006:131), apostrof merupakan gaya bahasa merupakan
pengalihan amanat dari hadirin kepada seseorang atau sesuatu yang tidak
terdapat di forum tersebut. Misalnya kalimat (14)“Hai kamu dewa-dewa yang berada di surga, datanglah dan bebaskanlah kami dari belenggu penindasan
ini”. Penggalan kalimat tersebut mengungkapkan bahwa mereka berharap dewa
datang meskipun pada kenyataannya dewa-dewa tersebut tidak berada di dekat
f) Asindenton
Menurut Keraf (2006:131), asindenton merupakan gaya bahasa yang
berupa acuan, dimana beberapa kata, frasa, atau klausa yang sederajat tidak
dihubungkan dengan kata sambung tetapi menggunakan pemisah seperti tanda
koma, seperti ucapan terkena dari Julius Caesar: (15) Veni, vidi, vici,”saya datang, saya lihat, daya menang”.
g) Polisindeton
Menurut Keraf (2006:131), polisindeton merupakan suatu gaya bahasa
kebalikan dari asidenton, karena gaya bahasa polisidenton menghubungkan
beberapa kata, frasa, kalusa yang berurutan dengan kata sambung. Misalnya
kalimat (16)“Dan ke manakah burung-burung yang gelisah dan taj berumah
dan tak menyerah pada gelap dan dingin yang bakal merontokan
bulu-bulunya”. Pada contoh kalimat tersebut dihubungkan dengan kata sambung
“dan”.
h) Kiasmus
Menurut Keraf (2006:132), kiasmus (chiasmus) merupakan gaya bahasa
yang terdiri dari dua bagian, baik frasa atau klausa yang sifatnya memiliki
kedudukan yang sama tetapi dipertentangkan antara satu dengan lainnya, tetapi
susunan frasa atau klausanya itu terbalik bila dibandingkan dengan frasa atau
klausa pada umumnya. Menurut Pradopo (2014:101), kiasmus merupakan
“Semua kesabaran kami sudah hilang, lenyap sudah ketekunan kami untuk
melanjutkan usaha itu”. Pada contoh tersebut kata “hilang” dipertentangkan
dengan kata “lenyap” yang memiliki maksud yang sama yaitu tidak ada. Tetapi
dalam contoh wacana di atas, dua kata yang memiliki maksud yang sama
dipertentangkan dalam satu kalimat. Pengunan kata “hilang” dan “lenyap”
bertujuan memberikan pengertian tidak ada gairah untuk melanjutkan usaha.
i) Elipsis
Menurut Keraf (2006:132), elipsis merupakan gaya bahasa yang
menghilangkan unsur kalimat yang dengan mudah dapat ditafsirkan sendiri
oleh pembaca atau pendengar atas penjelasan kata atau frasa atau klausa
sebelumnya. Misalnya kalimat (18)“Masihkah kau tidak percaya bahwa dari
segi fisik engka tak apa-apa, badanmu sehat; tetapi psikis ...”. Pada contoh
tersebut bagian yang dihilangkan “...” dapat ditafsirkan sendiri oleh pembaca.
j) Eufemismus
Menurut Keraf (2006:132), eufemismus merupakan semacam acuan berupa
ungkapan-ungkapan yang tidak menyinggung perasaan orang lain serta
mengganti kata-kata yang cenderung kasar atau menghina dengan bahasa yang
dirasa lebih sopan. Misalnya kalimat (19) “Ayahnya sudah tak ada di tengah-tengah mereka (=mati). Pada penggalan kalimat tersebut untuk memperhalus pengungkapkan, katamati diganti dengan tak ada di tengah-tengah mereka, yang memiliki arti yang sama dengan meninggal.
Menurut Keraf (2006:132), litotes merupakan gaya bahasa yang biasa
dipakai untuk menyatakan sesuatu dengan tujuan merendahkan diri, litotes
dapat dikatakan menyangkal maksud yang terkandung di dalam kalimat.
Misalnya kalimat (20)“Rumah yang buruk inilah yang merupakan hasil usaha
kami bertahun-tahun lamanya”. Pada frasa rumah yang buruk tidak memiliki maksud yang sama dengan apa yang diucapkan. Pengungkapan rumah yang buruk merupakan suatu bentuk merendahkan diri karena apabila dicerna secara logika, seseorang yang bekerja selama bertahun-tahun untuk membuat rumah
tentu saja rumah tersebut dibuat sedemikian rupa sehingga terlihat bagus.
l) Histeron Proteron
Menurut Keraf (2006:133), histeron proteron merupakan gaya bahasayang
menempatkan sesuatu yang terjadi kemudian pada awal peristiwa. Misalnya
kalimat (21)“Bila ia sudah berhasil mendaki karang terjal itu, sampailah ia di
tepi pantai yang luas dengan pasirnya yang putih”. Pada contoh kalimat
tersebut penulis memaparkan terlebih dahulu apa awal peristiwa yaitu apabila
sudah berhasil mendaki karang terjal sebelum dilanjutkan dengan kalimat
selanjutnya yaitu ia dapat melihat pantai dan pasir putih.
m) Pleonasme dan Tautologi
Menurut Keraf (2006:133), gaya bahasa pleonasme dan tautologi adalah
gaya bahasa yang menggunakan kata-kata lebih banyak dari yang diperlukan
untuk mengungkapkan gagasan. Gaya bahasa disebut pelonasme apabila kata
sama.Menurut Pradopo (2014:97), pleonasme merupakan perulangan kata yang
sebenarnya sudah terdapat dalam kata pertama.
Menurut Keraf (2006:133), gaya bahasa tautologi merupakan gaya bahasa
yang berlebihan, sehingga apa yang sudah disampaikan diulang lagi dengan
menggunakan kata yang lain. Sedangkan menurut Pradopo (2014:96), gaya
bahasa tautologi merupakan gaya bahasa pengulangan dua kali untuk
memberikan kesan kepada pembaca atau pendengar. Misalnya kalimat
(22)“Saya telah mendengar hal itu dengan telinga saya sendiri”. Kalimat di
samping merupakan contoh dari pleonasme karena menggunakan kata-kata
yang berlebihan daripada yang diperlukan. Apabila kata-kata tersebut salah satu
dihilangkan misalnya kata telah, saya, atau sendiri maka, tidak akan mengubah
makna yang terkandung didalamnya. Sedangkan pada kalimat (23) “Globe itu
bundar bentuknya”. Contoh kalimat tersebut merupakan contoh tautologi,
karena kata berlebihan pada kalimat tersebut sebenarnya mengulang gagasan
yang sudah tercakup dalam globe karena pada dasarnya globe berbentuk bulat.
n) Perifasis
Menurut Keraf (2006:134), perifasis merupakan gaya bahasa yang hampir
sama dengan pleonasme, yaitu menggunakan kata berlebihan dari kata yang
diperlukan untuk mengungkapkan suatu maksud atau gagasan. Perbedaan yaitu
dalam gaya bahasa perifasis kata-kata yang berlebihan tersebut dapat diganti
dengan satu suku kata saja untuk mengungkapkan maksud dari kata-kata
meninggal). Pada contoh tersebut frasa “beristirahat dengan damai” dapat diganti dengan satu suku kata saja yaitu mati.
o) Prolepsis atau Antisipasi
Menurut Keraf (2006:134), prolepsis atau antisipasi merupakan gaya
bahasa dimana orang menggunakan kata-kata sebelum peristiwa yang
sebenarnya terjadi. Misalnya kalimat (25)“Pada pagi yang naas itu, ia
mengendarai sebuah sedan biru”. Pada contoh kalimat tersebut untuk
mendeskripsikan kapan terjadi kecelakaan, penulis sudah mempergunakan frasa
pagi yang naas itu. Padahal kenaasan baru terjadi kemudian yaitu saat sedang mengendarai mobil sedan.
p) Erotesis, Silepsis, dan Zeugma
Menurut Keraf (2006:134-135), erotesis atau pertanyaan retoris merupakan
semacam pertanyaan yang tidak membutuhkan jawaban, biasanya terdapat
dalam pidato atau tulisan yang bertujuan untuk menekankan maksud atau
tujuan. Misalnya kalimat (26) “Rakyatkah yang harus menanggung akibat
semua korupsi dan manipulasi di negara ini?”. Pada contoh kalimat tersebut,
diakhiri dengan tanda tanya (?) yang berarti menanyakan kepada lawan bicara
dalam sebuah pidato atau tulisan untuk menekankan maksud. Tetapi pada
dasrnya kalimat pertanyaan tersebut, tidak membutuhkan jawaban dari
pendengar atau mitra tutur.
Silepsis dan zeugma merupakan gaya bahasa dimana orang
yang satu dengan kata yang lain padahal hanya salah satu yang mempunyai
hubungan dengan kata pertama. Misalnya kalimat (27)“Ia sudah kehilangan
topi dan semangatnya”. Pada contoh kalimat tersebut kata “semangat” hanya
memiliki hubungan atau keterkaitan dengan kalimat tersebut (Keraf, 2006:135).
q) Koreksio atau Epanortosis
Menurut Keraf (2006:135), koreksio dan epanortosis merupakan gaya
bahasa yang mula-mula menegaskan sesuatu, tetapi tiba-tiba memperbaikinya.
Misalnya kalimat (28)“Sudah empat kali saya mengunjungi daerah itu, ah
bukan, sudah lima kali”. Pada contoh kalimat tersebut mula-mula ia
menegaskan telah mengunjungi daerah itu sebanyak empat kali, kemudian ia
memperbaikinya bahwa bukan empat kali tetapi sudah lima kali.
r) Hiperbola
Menurut Keraf (2006:135), hiperbola merupakan gaya bahasa yang
mengandung pernyataan yang berlebihan dan membesar-besarkan sesuatu
hal.Menurut Waluyo (1995:85) hiperbola merupakan gaya bahasa yang
melebih-lebihkan agar menarik pembaca. Misalnya kalimat (29)
“Kemarahanku sudah menjadi-jadi hingga hampir-hampir meledak aku”. Kata
meledak dalam kalimat tersebut memiliki pengertian marah, tetapi untuk
mempertegas pengungkapan tentang kemarahan tersebut digunakan kata
meledak.
s) Paradoks
Menurut Keraf (2006:136), paradoks adalah gaya bahasa yang
(2014:101), paradoks merupakan gaya bahasa yang menggunakan kata-kata
yang berusaha menjajarkan kata yang berlawanan. Misalnya kalimat
(30)“Musuh sering merupakan kawan yang akrab”. Kata musuh dianggap
sebagai kawan, padahal dua kata tersebut merupakan dua hal yang
bertentangan.
2. Gaya Bahasa Kiasan
Gaya bahasa kiasan merupakan gaya bahasa yang memiliki nilai-nilai
keindahan yang dipergunakan untuk meningkatkan kesan dengan jalan
membandingkan sesuatu dengan sesuatu lainnya yang menunjukkan kesamaan
diantara kedua hal yang dibandingkan. Menurut Keraf (2006:136-145),
macam-macam bahasa kiasan diuraikan sebagai berikut;
a) Persamaan atau Simile
Menurut Keraf (2006:138), persamaan atau simile merupakan
perbandingan yang hendak menyatakan sesuatu yang sama dengan hal
lainnya, kesamaan tersebut dapat dinyatakan dengan kata-kata; seperti,
sama, sebagai, bagaikan, laksana, dan sebagainya. Sedangkan menurut
Pradopo (2014:63), gaya bahasa simile merupakan gaya bahasa kiasan yang
membandingkan satu dengan hal lain. Misalnya kalimat (31)“Matanya
indah seperti berlian”. Pada contoh kalimat tersebut, mata seseorang
dibandingkan dengan berlian.
b) Metafora
Menurut Keraf (2006:139), metafora merupakan gaya bahasa yang
singkat. Sedangkan menurut Ratna (2013:183), metafora merupakan gaya
bahasa yang mengandung dua konsep secara langsung disandingkan untuk
mengungkapkan gagasan. Metafora tidak mempergunakan kata; seperti, bak, bagai, bagaikan, dan sebagainya, sehingga langsung dihubungkan antara kata yang satu dengan kata kedua. Misalnya kata (32) bunga bangsa
memiliki maksud pemuda adalah seperti bunga bangsa, pemuda adalah
bunga bangsa. Pada kata tersebut “pemuda” disamakan dengan
“bunga”,pada umumnya bunga bangsa digunakan untuk menggambarkan
mereka yang gugur di dalam medan pertempuran dan dalam sosok yang
sedang digambarakan, seperti seseorang yang selalu berjuang demi
membela kepentingan bangsa dan negara. Di dalam kehidupan sekarang,
pemuda sebagai bunga bangsa digambarkan dalam sosok pemuda yang
berjuang dalam membela bangsa dan negara di depan mata internasional.
c) Alegori, Parabel, dan Fabel
Menurut Keraf (2006:140), alegori merupakan cerita singkat yang
mengandung kiasan. Nama-nama pelaku dalam alegori tidak nyata tetapi
memiliki tujuan yang jelas karena tersurat dalam cerita tersebut. Sedangkan
menurut Pradopo (2014:72), alegori merupakan gaya bahasa yang
mengandung cerita kiasan.
Menurut Keraf (2006:140), parabel (parabola) merupakan suatu kiasan
singkat dengan tokoh-tokoh manusia yang mengandung pesan moral.
Parabel banyak ditemukan daalam Kitab Suci yang terdapat nilai-nilai
Menurut Keraf (2006:140), fabel merupakan suatu metafora yang
berbentuk cerita mengenai kehidupan binatang yang hidup seperti manusia.
Fabel biasanya bertujuan untuk menyampaikan ajaran moral mengenai
kehidupan.
d) Personifikasi
Menurut Keraf (2006:140), personifikasi atau prosopopoeia merupakan semacam gaya bahasa kiasan yang menggambarkan benda-benda mati
olah memiliki sifat kemanusiaan, sehingga benda-benda mati
seolah-olah dapat bertindak, berbuat, berbicara seperti manusia. Pernyataaan di
atas sejalan dengan pendapat Waluyo (1995:85) personifikasi merupakan
gaya bahasa yang mengganggap benda mati seolah-olah seperti manusia.
Misalnya kalimat (33)“Angin yang meraung ditengah malam yang gelap itu
menambah lagi ketakutan kami”. Pada contoh tersebut kata “angin” seolah-olah dapat berbicara yaitu meraung seperti manusia yang sedang
merasakan kesakitan.
e) Alusi
Menurut Keraf (2006:141), alusi merupakan gaya bahasa yang
berusaha memberikan gambaran kesamaan antara orang, tempat, atau
peristiwa. Biasanya gaya bahasa alusi ini merupakan referensi yang
eksplisit atau implisit terhadap peristiwa-peristiwa, tokoh-tokoh, atau
tempat dalam kehidupan nyata, mitologi, atau dalam sebuah karya sastra
f) Eponim dan Epitet
Menurut Keraf (2006:141), eponim merupakan suatu gaya bahasa yang
sering menghubungkan antara seseorang dengan sifat tertentudan telah
disepakati oleh masyarakat dan diketahui pula oleh masyarakat. Misalnya
kalimat (34)“Jendral Sudirman adalah pahlawan nasional”. Pada contoh
tersebut Jendral Sudirman sering diidentikan dengan pahlawan bangsa
Indonesia.
Menurut Keraf (2006:141), epitet merupakan gaya bahasa yang yang
merupakan acuan dari suatu sifat atau ciri khusus orang atau hal. Misalnya
“lonceng pagi” untuk menyatakan ayam jantan.
g) Sinekdoke
Menurut Keraf (2006:142), sinekdoke adalah bahasa kiasan yang
menggunakan sebagian dari sesuatu hal yang menyatakan keseluruhan
(pars pro toto) atau mempergunakan keseluruhan untuk menyatakan sebagian (totum pro parte). Sedangkan Altenbernd (dalam Pradopo, 2014:80) sinekdoke merupakan gaya bahasa kiasan yang menyebutkan
sebagian untuk menyatakan keseluruhan atau sebaliknya. Misalnya kalimat
(35)“Setiap kepala dikenakan sumbangan sebesar Rp 1000,-“. Pada contoh
tersebut, merupakan pars pro toto karena setiap kepala menunjukkan bagian yang menyatakan kseseluruhan. Sedangkan kalimat (36) “Dalam
dari sesuatu untuk menyatakan sebagian saja. Dalam kalimat di atas
digunakan kata Indonesia, padahal yang dimaksudnya tim sepak bola dari
Indonesia, bukan seluruh bangsa Indonesia.
h) Metonimia
Menurut Keraf (2006:142), metonimia adalah gaya bahasa yang
mempergunakan sebuah kata untuk menyatakan suatu hal yang lain,
misalnya dapat berupa penemu untuk hasil penemuan, akibat untuk sebab,
isi untuk menyatakan kulitnya, dan sebagainya. Sedangkan menurut
Altenbernd (dalam Pradopo, 2014:78), metonimia merupakan gaya bahasa
yang menggunakan objek untuk menyatakan objek yang lain yang saling
berkaitan.Misalnya kalimat (37) “Pena lebih berbahaya dari pedang”.
Contoh kalimat tersebut menyatakan bahwa pernyataan-pernyataan yang
ditulis lebih berbahaya karena mungkin bisa menyakiti perasaan orang lain.
i) Antonomisia dan Hipalase
Menurut Keraf (2006:142), antonomisia adalah sebuah bentuk khusus
dari sinekdoke yang berwujud menggantikan nama diri, atau gelar resmi.
Misalnya kalimat (38) “Yang mulia tidak dapat menghadiri pertemuan
ini”. Pada contoh tersebut, untuk menyatakan nama seseorang dalam
jabatan tertentu digunakan kata“yang mulia”.
Hipalase adalah semacam gaya bahasa dimana sebuah kata
dipergunakan untuk menerangkan sebuah kata, yang seharusnya dikenakan
bantal yang gelisah”. Pada contoh tersebut yang gelisah digunakan untuk
menjelaskan bantal yang gelisah, padahal seharusnya dia (manusia) yang gelisahnya untuk manusia (Keraf, 2006:142).
j) Ironi, Sinisme, dan Sarkasme
Menurut Keraf (2006:143), ironi atau sindiran merupakan gaya bahasa
yang mengatakan sesuatu dengan makna atau maksud yang berlainan dari
apa yang diungkapkannya, sehingga ironi mengalami pergeseran makna
dari makna sebenarnya. Pernyataan di atas sejalan dengan pendapat Waluyo
(1995:86), ironi merupakan gaya bahasa bentuk sindiran dengan
menggunakan kata-kata yang berlawanan. Misalnya kalimat (40) “Saya
tahu Anda adalah seorang gadis yang paling cantik di dunia yang perlu
mendapat tempat terhormat!”. Pada contoh tersebut yang ingin
disampaikan kepada pendengar yaitu menyindir seorang perempuan dengan
menyembunyikan maksud dibalik ucapannya, sehingga apa yang diucapkan
tidak memiliki arti sebenarnya. Hal tersebut merupakan bentuk kemarahan
yang ingin disampaikan kepada seorang perempuan yang ingin dihargai.
Menurut Keraf (2006:144), sinisme merupakan gaya bahasa yang lebih
keras daripada ironi. Terkadang gaya bahasa ironi sulit dibedakan dengan
gaya bahasa sinisme, tetapi apabila contoh gaya bahasa ironi diubah dalam
gaya bahasa sinisme menjadi kalimat (41)“Memang Anda adalah gadis
yang tercantik di seantero jadad ini yang mampu mengahancurkan seluruh
daripada ironi dan sinisme. Sarkasme mengungkapkan maksud dengan
menggunakan bahasa yang sebenarnya dapat memunculkan kegetiran atau
rasa sakit hati. Misalnya kalimat (42) “Lihat sang Raksasa itu (maksudnya
si Cebol)”.
F. Peta Konsep
Analisis gaya bahasa pada display picture blackberry massenger merupakan
penelitian yang menganalisis penggunaan gaya bahasa dalam display picture blackberry massenger. Berdasarkan pemaparan di atas, teori yang peneliti gunakan
dalam penelitian ini adalah bahasa, wacana,dan stilistika. Stilistika merupakan teori
yang mempelajari gaya bahasa, gaya bahasa dapat dibedakan menjadi empat yaitu
gaya bahasa berdasarkan pilihan kata, gaya bahasa berdasarkan struktur kalimat,
gaya bahasa berdasarkan nada, dan gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya
makna. Dalam penelitian ini, peneliti hanya menggunakan dua gaya bahasa yaitu
gaya bahasaberdasarkan struktur kalimatdan gaya bahasa berdasarkan langsung
tidaknya makna. Tiap-tiap bagian gaya bahasa berdasarkan strukturkalimat dan
langsung tidaknya makna dibedakan lagi menjadi beberapa macam gaya bahasa.
Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disederhanakan dalam bagan peta konsep.
Gaya Bahasa padaDisplay Picture Blackberry Massenger
Bahasa
Display PictureBlackberry
Massenger
Peneliti
Gaya Bahasa Stilistika
1. Gaya Bahasa BerdasarkanStruktur Kalimat.
2. Gaya Bahasa