• Tidak ada hasil yang ditemukan

Teori Sosial dan Goerge Ritzer

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Teori Sosial dan Goerge Ritzer"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

Gala Panuga Aziz 0717247530007

Sosiologi Pasca Sarjana Teori Sosial Kontemporer I

“Metateorisasi Sosiologi dan Metateoretis untuk Menganalisis Teori Sosiologi”

Penjelasan mengenai keadaan sosial masyarakat tidak bisa dipisahkan dengan ilmu pengetahuan sosiologi. Permasalahan sosial adalah aspek utama, mengapa teori-teori sosiologi terus bermunculan. Tujuannya adalah sebagai suatu analasis terhadap permasalahan tersebut dan menemukan resolusi konflik dalam masyarakat itu sendiri. konsep-konsep bagaimana para filsuf sosiologi menganalisis suatu teori kedalam suatu penelitian ilmiahnya akan dijelaskan, dalam Goerge Ritzer “Teori Sosiologi (Dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terakhir Postmodern)”. Metateorisasi sosiologi adalah pemahaman teorisasi sosiologi dalam pengumpulan data, penetapan teori, menganalisis data, penelitian karya ilmiah sosiologi, hal ini juga terjadi dibidang akademik lain. Ritzer menjelaskan terdapat 3 metode dalam melakukan analisis data sosiologi. Jenis pertama, metateorisasi sebagai alat untuk mencapai pemahanan teori yang lebih dalam (MU). Jenis kedua, metateorisasi

sebagai sesuatu yang mendahului perkembangan teori (MP). Jenis ketiga,

metateorisasi sebagai sumber berbagai perspektif yang memayungi teori sosiologi (MO)[CITATION Rit12 \p 1137-1138) \l 1033 ]

(2)

menjelaskan pengkajian secara formal maupun informal untuk mengkaji suatu teori sosiologi yang lebih dalam. Dapat dilihat di Tabel 1.

Tabel 1

Internal Eksternal

Intelektua l

 Persoalan yang faktual dan empiris

 Mengidentifikasi kerangka berefikir kognitif utama

 Mengembangkan teori sosiologi lama agar bisa membentuk sebuah teori baru

 Melakukan observasi agar mendapatkan gagasan, alat, konsep, dan teori yang dapat digunakan dalam menganalisis teori sosiologi

 Karakter teori sistem yang multidisipliner, untuk membentuk gagasan dari berbagai bidang akademis

Sosial

 Mempelajari masyarakat secara mikro

 Pengkajian terhadap teoritis sendiri yang menyelidiki afiliasi institusi, pola karier, posisi-posisi lingkup sosiologi, dll

 Mempelajari masyarakat secara makro dan sifat dampaknya pada teorisasi sosiologi

 Dapat mengkombinasikan dua atau lebih MU

Jenis metateorisasi yang kedua MP adalah suatu pendekatan teori yang

secara mendetail dan kajian cermat, reaksi, pada teoritisi yang lain. Contoh yang menggunakan pendekatan ini adalah Karl Marx dimana dalam buku “Economic dan Philosopic Manuscripts of 1844”, Marx mengembangkan teoritisnya menggunakan analisis yang cermat, detail, dan kritik terhadap sejumlah karya para ahli ekonomi, seperti Adam Smith, Jean-Baptiste Say, David Ricardo, dan para filsuf lainnya. Bukan hanya karya itu saja, kebanyakan karya Marx menggunakan metode pendekatan MP dalam menemukan suatu gagasan yang baru.

Dengan kata lain, Marx adalah seorang metateoretisi, yang mungkin paling metateoretis diantaara semua teoretesi sosiologi klasik.

Jenis Metateorisasi yang ketiga MO suatu peerspektif yang berfungsi

untuk memayungi teori lainnya. Contoh metateorisasi yang ketiga ini bisa dilihat dari karya Ritzer dan Gindoff mengenai “relasionisme metodologis” yang berperan untuk melengkapi teori yang sudah ada, yaitu “individualisme metodologis”. Karya relasionisme metodologis muncul dari kajian tentang karya mengenai integrasi makro-mikro dan struktur-agensi maupun berbagai karya dari psikologi sosial [CITATION Rit12 \p 1139-1142 \l 1033 ].

(3)

salah satu dari metateori tersebut akan cenderung tidak tertarik dengan metateori lainnya. Tetapi ada saja para peneliti yang menggunakan ketiganya untuk membentuk sebuah karya sosiologi. Alexander adalah salah satu filsuf yang menggunakan ketiga mode tersebut di karyanya. Dia menciptakan perspektif yang melingkupi (MO) “Theoretical Logic in Sociology”, dan mengembangkan

perspektifnya ke dalam tiga jilid untuk mencapai pemahaman yang maksimal (MU), kemudian membantu teori klasik dengan menciptakan neofungsionalisme,

berfungsi sebagai penerus teori fungsionalisme struktural (MP). begitulah

penjelasan secara singkat mengenai pemahaman ketiga metateorisasi tersebut.

Sosiologi Refleksif dari Pierre Bourdieu

Berbeda dari Ritzer yang mengkelompokan Metateorisasi menjadi subjenis, Bourdieu menyerukan sebuah sosiologi refleksif. “Bagi saya, sosiologi selayaknya menjadi meta, tetapi selalu berhubungan dengan dirinya sendiri. Ia harus menggunakan instrumennya sendiri untuk mengetahui apakah dirinya dan apa yang sedang dilakukannya, berusaha mengetahui lebih baik di mana ia berposisi [CITATION Rit12 \p 1142 \l 1033 ]” ujar Bourdieu. Dia juga menolak beberapa jenis metateorisasi tertentu yang berada di MU (Intelektual-internal,

sosial-internal), yang berpuas diri dan intimis pada pribadi milik sosiolog sendiri

atau menggunakan suatu pencarian atas Zeitgeist1 intelektual yang menghidupkan

karyanya. Dia juga menolak metateorisasi sebagai sebuah otonom2, menjadikan

metateorisasi terpisah dari praktik berteori mengenai dunia sosial [CITATION Rit12 \p 1143 \l 1033 ].

Mengenai perspektif yang diutarakan oleh Bourdieu adalah pengkritikan terhadap pemikiran Ritzer yang mengkotak-kotakan meta-analisis-data sosiologi. Penjelasan Bourdieu sebelumnya membuat saya menyimpulkan bahwa seorang filsuf sosiologi harus menyadari sudah adanya pemikiran orang lain yang bisa

1 Zeitgeist (bahasa Jerman: Zeit yang berarti waktu atau zaman dan Geist yang berarti jiwa) merupakan pemikiran dominan pada suatu masa yang menggambarkan dan mempengaruhi sebuah budaya dalam masa itu sendiri (www.wikipedia.com).

(4)

menjadi referensi dalam menganalisis data. Mengenai penjelasan Refleksif “berusaha mengetahui lebih baik di mana ia berposisi”, saya menganggap hal ini menjelaskan bagaimana para filsuf sosiologi memandang kehidupan pada masanya. Pada saat mereka ingin melakukan suatu analisa sosial, mereka harus paham tentang situasi saat itu. Pemikiran filsuf baru, mungkin saja sudah dipikirkan orang lain sebelumnya, untuk itu para filsuf perlu untuk menghubungkan pemikiran-pemikiran sebelumnya dengan pemikiran mereka. Pemikiran sebelumnya itu digunakan sebagai warisan atau sumbangan masa lalu.

Bourdieu berargumen “sosiolog perlu menghindar menjadi mainan bagi kekuatan-kekuatan sosial dalam praktik sosiologi [mereka]”. Dalam menghindari hal ini Bourdieu memahami penggunaan metateoritis sebagai “sosioanalisis”, tujuannya adalah untuk membebaskan dari semua kekuatan yang menentukan. Meski Bourdieu berusaha untuk membatasi efek-efek eksternal pada karyanya, tetap saja dia tidak bisa terbebas dari kekuatan-kekuatan tersebut. Tetap saja, usaha-usaha Bourdieu sama benarnya dengan usaha metateorisasi secara umum [CITATION Rit12 \p 1144 \l 1033 ]. Bourdieu tidak sepakat untuk memisahkan metateorisasi sebagai disiplin sosiologi tersendiri dari aspek-aspek sosiologi. hal ini disimpulkan oleh Swartz (1997) bahwa Bourdieu dengan Ritzer tidak memiliki visi yang sama untuk menetapkan metateori sebagai subbidang yang sah dalam disiplin sosiologi. Gambaran umum demikian membawa kita untuk meneliti lebih lanjut tentang metateoritis, gagasan-gagasan itu diutarakan oleh filsuf filsafat ilmu yaitu Thomas Kuhn.

Gagasan-gagasan Thomas Kuhn

Buku Thomas Kuhn yang terkenal “The Structure Scientific Revolution (1962)” berisikan tentang penjelasan bagaimana ilmu itu berubah. Dia menganggap bahwa akumulasi memainkan peran dalam kemajuan ilmu, tetapi hasil perubahan yang sesungguhnya didasarkan oleh revolusi. Setiap ilmu itu didominasi dari paradigma3 tertentu, dalam hal ini paradigma adalah gambaran

(5)

dasar dari pokok masalah ilmu. Perkembangan ilmu menuurut Kuhn bisa digambarkan menggunakan diagram berikut:

Gambar 1

Penjelasan mengenai diagram diatas adalah mengenai perkembangan suatu ilmu pengetahuan. Diawali oleh Paradigma I yang memiliki pengaruh besar mulanya, menjadikan paradigma sebagai sebuah ilmu normal bagi manusia, serta dipakai oleh masyarakat untuk menjelaskan sesuatu. Tetapi seiring berjalannya waktu terdapat hal-hal yang kurang dijelaskan oleh paradigma I, akhirnya menimbulkan suatu Anomali atau ketidaksesuaian. Hal itu membentuk suatu pertentangan/krisis bagi para ilmuan, mereka berlomba-lomba untuk membentuk suatu ilmu yang baru. Maka dari itu, gagasan-gagasan baru timbul untuk melengkapi atau mengubah ilmu yang sudah ada, agar bisa terealisasikan di kehidupan diperlukan sebuah revolusi. Setelah disetujui oleh masyarakat umum, timbulah suatu paradigma baru atau yang disebut paradigma II.

Dari penjelasan tersebut, menjelaskan adanya hubungan antara paradigma dan teori. Ritzer menjelaskan bahwa paradigma adalah teori yang luas, karena bisa mencakup dua teori atau lebih. Dan membaginya menjadi sebuah ilmu dengan paradigma Majemuk dalam menganalisis suatu kasus. Ritzer menuliskan adanya tahapan-tahapan guna menggunakan suatu paradigma. Dimana untuk menganalisa sebuah ilmu sosiologi setiap paradigma memiliki empat unsur pokok, yaitu Eksemplar, Gambaran pokok, Metode, Teori, paradigma itu dibagi menjadi tiga bentuk, bisa dilihat dari penjelasan tabel 2:

(6)

Tabel 2 sosial, institusi sosial berskala besar mengidentifikasi suatu masalah. Dilanjutkan penjelasan teori yang berhubungan dengan masing-masing masalah. Selain sifat paradigma majemuk sosiologi, Ritzer menyediakan argumen bagi integrasi paradigma dalam sosiologi. Inti dari paradigma yang terintegrasi adalah gagasan berbagai tingkatan analisis sosial. Nantinya digunakan untuk menghadapi kompleksitas dunia sosial.

Dalam pembangunan paradigma diperlukan suatu tingkatan analisis. Penentuan paradigma tergantung dari bagaimana pandangan kita terhadap tingkatan analisis. Dunia sosial sangatlah rumit, untuk memahaminya kita membutuhkan suatu metode yang sederhana. Terdapat dua kontinum untuk menentukan tingkatan analisis antara lain. Kontinum pertama Mikroskopik dan Makroskopik, Kontinum yang kedua adalah Objektif dan Subjektif. Penjelasan tentang kontinum tersebut bisa kita lihat di gambar berikut:

Gambar 2

(7)

sosial itu tidak dapat dibahas terpisah karena semua fenomena makro-mikro juga bersifat objektif-subjektif. Kesimpulannya adalah terdapat empat level utama dalam analisis sosial, dan sosiologi harus berfokus pada antarhubungan dialektis antara level-level tersebut. Tingkatan analisis sosial berhubungan dengan kebanyakan teoritisi yang mendukung sebuah paradigma. Serta, bermanfaat dalam memahami sebuah teori untuk membandingkannya dengan teori sebelumnya, dan kita harus berusaha menghubungkan sebuah teori dengan tingkatan analisis tersebut.

Kesimpulan

Dalam meneliti ilmu sosiologi diperlukannya suatu metode yang khusus. Ritzer membentuk sebuah suatu skema meta-analisis-data yang berasal dari kesimpulannya atas gagasan-gagasan terdahulu. Pertama, kita harus memahami tentang metateorisasi yang dibagi menjadi tiga oleh Ritzer, yaitu: metateorisasi sebagai alat untuk mencapai pemahanan teori yang lebih dalam (MU),

metateorisasi sebagai sesuatu yang mendahului perkembangan teori (MP),

metateorisasi sebagai sumber berbagai perspektif yang memayungi teori sosiologi (MO). Tetapi hal ini mendapatkan kritik dari Bourdieu karena berbedaan

visi antara keduanya. Setiap ilmu itu didominasi dari paradigma tertentu, dalam hal ini paradigma adalah gambaran dasar dari pokok masalah ilmu. Thomas S. Kuhn yang menganggap hasil perubahan yang sesungguhnya didasarkan oleh revolusi. Dimana untuk menganalisa sebuah ilmu sosiologi setiap paradigma memiliki empat unsur pokok, yaitu Eksemplar, Gambaran pokok, Metode, Teori, paradigma itu dibagi menjadi tiga bentuk. Dalam membangun paradigma diperlukannya tingkatan analisis yaitu berupa kontinum makroskopik-mikroskopik dan kontinum objektifitas-subjektifitas.

Daftar Pustaka

(8)

Gambar

Tabel 1Internal
Gambar 2 adalah suatu level-level utama sebuah analisis sosial, digunakan

Referensi

Dokumen terkait

Teori sosiologi atau paradigma yang peneliti lakukan adalah dengan multi teori yaitu untuk menarik dunia makna dari si pelaku beragama dengan menggunakan

Maas (1996, dalam Shulman 1991), menjelaskan bahwa konsep- konsep dan kajian ilmu lain termasuk ilmu murni seperti sosiologi, psikologi, ekonomi, antropologi,

D itinjau dari paradigma ilmu -ilmu sosial — sosiologi misalnya — pengertian masalah sosial hingga saat ini masih lazim digunakan untuk menunjuk s uatu masalah yang

Teori Sosiologi: Dari Teori Sosial Klasik sampai Perkembangan Muktahir Teori Sosial Postmodern... Sosiologi Ilmu Berparadigma

Menurut teori belajar sosial dasar kognitif dalam proses belajar dapat diringkas dalam

Ilmu sosial dalam paradigma ini lebih dipahami sebagai proses katalisasi untuk membebaskan manusia dari segenap ketidakadilan..

Setelah berkutat dengan buku tulisan dari Ralf Dahrendorf “Konflik dan Konflik Dalam Masyarakat Industri” dan George Ritzer “Teori Sosiologi- dari Sosiologi Klasik Sampai

Empat paradigma itu merupakan cara mengelompokkan cara berpikir seseorang dalam suatu teori sosial dan merupakan alat untuk memahami mengapa pandangan-pandangan