KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan kehadiran Tuhan Yang Maha Esa,karena berkat seluruh
rahmat dan hidayahnya kita masih di beri kesehatan separti saat ini serta karunianya
kami masih di beri kesempatan untuk menyelesaikan tugas Terstruktur ini
Dalam penyusunan makalah ini, kami memperoleh banyak bantuan dari berbagai
pihak. Kami mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dra. Ni Made Noviani Surianti,
M.Pd selaku dosen pembimbing Sosiologi yang telah memberikan bimbingan dan arahan
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini, dan rekan-rekan mahasiswa Universitas
Mataram kelas SHM 23 yang selalu berdoa dan memberikan motivasi kepada kami.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih terdapat kekurangan. Oleh karena itu, kami
mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar makalah ini dapat lebih baik lagi.
Akhir kata kami berharap makalah ini dapat memberikan wawasan dan pengetahuan
kepada para pembaca pada umumnya dan pada kami pada khusunya
Mataram, Oktober 2017
DAFTAR ISI
Kata Pengantar... 1
Daftar Isi... 2
Pendahuluan
...
3
Pembahasan
...5
A.
Teori Interaksionisme Simbolik...5
1.Pengertian...5
2. Tokoh-Tokoh Interaksionisme Simbolik...6
B. Postmodernisme dalam sosiologi...12
1.Pengertian...14
2.Perbedaan modernisme dan postmodernisme...14
3.Perkembangan Sejarah dan tokoh-tokoh postmodern...18
4.Kritik postmodern terhadap narasi-narasi modern...18
5.Tanggapan terhadap postmodern...18
Penutup... 20
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Teori interaksionisme simbolik merupakan teori dalam sosiologi modern. Di dalamnya berintikan pemikiran penting dari berbagai tokoh sosiologi terutama George Herbert Mead. Teori ini memusatkan perhatian lebih kepada individu, tentang bagaimana individu berinteraksi dengan individu lain dengan menggunakan simbol-simbol yang signifikan berupa bahasa.
Interaksionisme simbolik berkembang pesat pada abad 19-20-an di Chicago. Mead merupakan cikal bakal munculnya teori interaksionisme simbolik dengan pemikirannya “The Teorethical
Perspective”. Teori ini berfokus pada tindakan dan makna dalam masyarakat. Setelah memperoleh suatu makna, manusia akan bertindak sesuai dengan makna tersebut.
Teori ini dipengaruhi juga oleh Max Weber dengan teori tindakan sosialnya. Selain itu pemikiran tokoh-tokoh lain seperti Herbert Blumer, Erving Goffman, Charles Horton Cooley dan William I. Thomas.
Dengan pembahasan mengenai teori interaksionisme simbolik diharapkan agar kita dapat lebih mengetahui fenomena sosial dengan pencermatan individu. Sehingga bisa untuk menyelesaikan masalah-masalah sosial dalam masyarakatDalam sejarah manusia, kita kenal tiga era atau zaman yang memiliki ciri khasnya masing-masing yaitu pra-modern, modern dan postmodern. Zaman modern ditandai dengan afirmasi diri manusia sebagai subjek. Apalagi setelah pernyataan Rene Descartes, “cogito ergo sum” yang artinya ‘aku berpikir maka aku ada’. Melalui pernyataan tersebut, manusia dibimbing oleh rasionya sebagai subjek yang berorientasi pada dirinya sendiri sehingga rasio atau akal budi manusia menjadi pengendali manusia terutama tingkah lakunya. Pada masa ini munculah berbagai macam teori yang berlaku sampai sekarang. Pada akhirnya yaitu zaman dimana kita berada sekarang yaitu zaman
postmodern. Pemikiran pada periode ini menamakan dirinya postmodern, memfokuskan diri pada teori kritis yang berbasis pada kemajuan dan emansipasi. Kemajuan dan emansipasi adalah dua hal yang saling berkaitan, seperti yang dinyatakan oleh Habermas bahwa keberadaan demokrasi ditunjang oleh sains dan teknologi.
B.
Rumusan Masalah
2. Apa itu postmodernisme dan tokoh-tokoh didalam postmodernisme juga
perkembangannya ?
C. Tujuan
1. Mengetahui apa itu teori interaksionisme simbolik dan tokoh-tokoh didalam teori
interaksionisme simbolik.
2. Mengetahui apa itu postmodernisme dan tokoh-tokoh didalam postmodernisme
juga perkembangannya.
BAB II
A.
TEORI INTERAKSIONISME SIMBOLIK
1. Pengertian
Dasar pembentukan teori ini adalah filsafat pragmatis dan behaviorisme sosial. Ada 3 hal
penting dalam interaksionisme simbolik menurut filsafat pragmatis :
1. Memusatkan perhatian pada interaksi antar aktor dan dunia nyata.
2. Memandang baik aktor maupun dunia nyata sebagai proses dinamis dan bukan struktur
yang statis.
3. Arti penting yang menghububgkan kepada kemampuan aktor untuk menafsirkan
kehidupan sosial.
Sedangkan pemikiran behavorisme sosial lebih kearah perilaku individu yang diamati.
Teori ini memiliki subtansi yaitu kehidupan bermasyarakat terbentuk melalui proses
interaksi dan komunikasi antar individual dan antar kelompok dengan menggunakan
simbol-simbol yang dipahami maknanya melalui proses dan memberikan tanggapan terhadap
stimulus yang datang dari lingkungannya dan dari luar dirinya. Subtansi dari teori ini
dikemukakan oleh Arnold Rose [dalam buku Ritzer 2003:54]melalui seri asumsi dan
proporsisi umum;
a. Manusia berada dalam lingkungan simbol-simbol memberikan tanggapan terhadap simbol
itu yang berupa fisik manusia memiliki kemampuan untuk menginterpretasikan
simbol-simbol secara verbal melalui pemakaian bahasa serta memahami makna dabalik simbol-simbol itu.
b. Melalui simbol manusia berkemampuan menstimulir orang lain.
c. Melalui komunikasi simbol dapat dipelajari arti dan nilai-nalai serta tindakan orang lain
begitu pula pengetahuan simbol dalam komunikasi dalam mempelajari simbol.
d. Simbol, makna, serta nilai yang berhubungan dengan mereka tidak hanya terfikirkan oleh
mereka dalam bagian-bagian terpisah tetapi selalu dalam bentuk kelompok yang
kadang-kadang luas dan komplek.
e. Berfikir merupakan suatu proses pencarian kemungkinan yang bersifat simbolis dan untuk
mempelajari tindakan-tindakan yang akan datang, menafsir keuntungan dan kerugian relatif
menurut penilaian individual, dimana satu diantaranya dipilih untuk dilakukan.
2
.
Tokoh-Tokoh Teori Interaksionisme Simbolik
Pemikiran-pernikiran Geroge Herbert Mead mula-mula dipengaruhi oleh teori evolusi
Darwin yang menyatakan bahwa organisme terus-menerus terlibat dalam usaha
menyesuaikan diri dengan lingkungannya. George Herbert Mead berpendapat bahwa
manusia merupakan makhluk yang paling rasional dan memiliki kesadaran akan dirinya. Di
samping itu, George Herbert Mead juga menerima pandangan Darwin yang menyatakan
bahwa dorongan biologis memberikan motivasi bagi perilaku atau tindakan manusia, dan
dorongan-dorongan tersebut mempunyai sifat sosial. Di samping itu, George Herbert Mead
juga sependapat dengan Darwin yang menyatakan bahwa komunikasi adalah merupakan
ekspresi dari perasaan George Herbert Mead juga dipengaruhi oleh idealisme Hegel dan
John Dewey. Gerakan adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang dalam
hubungannya dengan pihak lain. Sehubungan dengan ini, George Herbert Mead berpendapat
bahwa manusia mempunyai kemampuan untuk menanggapi diri sendiri secara sadar, dan
kemampuan tersebut memerlukan daya pikir tertentu, khususnya daya pikir reflektif.
Namun, ada kalanya terjadi tindakan manusia dalam interaksi sosial munculnya reaksi
secara spontan dan seolah-olah tidak melalui pemikiran dan hal ini biasa terjadi pada
binatang.
Bahasa atau komunikasi melalui simbol-simbol adalah merupakan isyarat yang
mempunyai arti khusus yang muncul terhadap individu lain yang memiliki ide yang sama
dengan isyarat-isyarat dan simbol-simbol akan terjadi pemikiran (mind). Manusia mampu
membayangkan dirinya secara sadar tindakannya dari kacamata orang lain; hal ini
menyebabkan manusia dapat membentuk perilakunya secara sengaja dengan maksud
menghadirkan respon tertentu dari pihak lain.
Tertib masyarakat didasarkan pada komunikasi dan ini terjadi dengan menggunakan
simbol-simbol. Proses komunikasi itu mempunyai implikasi pada suatu proses pengambilan
peran (role taking). Komunikasi dengan dirinya sendiri merupakan suatu bentuk pemikiran
(mind), yang pada hakikatnya merupakan kemampuan khas manusia.
percakapan antara "aku" dengan "yang lain" di dalam aku. Untuk itu, dalam pikiran saya
memberi tanggapan kepada diri saya atas cara mereka akan memberi tanggapan kepada
saya.
"Kedirian" (diri) diartikan sebagai suatu konsepsi individu terhadap dirinya sendiri dan
konsepsi orang lain terhadap dirinya Konsep tentang "diri" dinyatakan bahwa individu
adalah subjek yang berperilaku dengan demikian maka dalam "diri" itu tidaklah
semata-mata pada anggapan orang secara pasif mengenai reaksi-reaksi dan definisi-definisi orang
lain saja. Menurut pendapatnya diri sebagai subjek yang bertindak ditunjukkan dengan
konsep "I" dan diri sebagai objek ditunjuk dengan konsep "me" dan Mead telah menyadari
determinisme soal ini. Ia bermaksud menetralisasi suatu keberatsebelahan dengan
membedakan di dalam "diri" antara dua unsur konstitutifis yang satu disebut "me" atau
"daku" yang lain "I" atau "aku". Me adalah unsur sosial yang mencakup generalized other.
Teori George Herbert Mead tentang konsep diri yang terbentuk dari dua unsur, yaitu "I"
(aku) dan "me" (daku) itu sangat rumit dan sulit untuk di pahami.
Perkembangan Konsep Diri dan Pengambilan Peran serta Organisasi Sosial
Konsep diri George Herbert Mead menekankan bahwa tahap-tahap yang dilalui
anak-anak itu secara bertahap mereka memperoleh konsep diri yang menghubungkan anak-anak-anak-anak
dengan kehidupan sosial yang sedang berlangsung dalam keluarga dan kelompok- kelompok
yang lain. Identitas anak akan selalu bertambah apabila anak sudah mulai bermain dengan
rekan-rekannya. Pengembangan identitas sosial harus dicapai lewat proses belajar
bermasyarakat dan proses ini disebut sosialisasi.
Menurut Soejono Dirdjosisworo sosialisasi mengandung tiga pengertian dan menurut
Kamanto Sunarto dinyatakan bahwa salah satu teori peranan yang dikaitkan dengan
sosialisasi, yaitu teori yang dikemukakan oleh George Herbert Mead. George Herbert Mead
menguraikan mengenai tahap-tahap pengembangan diri (self) manusia, yaitu
(1) tahap play-stage (tahap bermain),
(2) tahap game-stage (tahap permainan),
dikendalikan orang lain yang digeneralisasikan tersebut. Menurut George Herbert Mead sikap
generalized other adalah sikap masyarakat. Proses sosial mempengaruhi perilaku individu
yang terlibat di dalamnya dan menjalankan proses itu yaitu masyarakat mengontrol tingkah
laku anggotanya.
Teori Interaksionisme simbolik beranggapan bahwa kehidupan bermasyarakat terbentuk
lewat proses interaksi dan komunikasi antarindividual dan antarkelompok dengan
menggunakan simbol-simbol yang dipahami maknanya melalui proses belajar. Konsep
George Herbert Mead tentang masyarakat menekankan pada kekhususan model praxis
manusia di mana dengan menjembatani interaksi manusia dengan alam dan interaksi manusia
dengan manusia lain.
Menurut George Herbert Mead sesungguhnya beberapa jenis aktivitas kerja sama telah
menyebabkan adanya kedirian. Di sana terdapat penghilangan keorganisasian di mana
organisasi itu bekerja sama, dan dengan jenis kerja sama ini maka isyarat individual akan
menjadi stimulasi bagi dirinya sendiri dengan bentuk yang sama sebagaimana bentuk
stimulus yang lain sehingga dengan demikian perbincangan isyarat dapat menghilangkan
karakter individual, dan kondisi semacam itu diduga dalam pengembangan kedirian (self).
Manusia secara aktif menentukan lingkungannya, dan sementara dalam waktu yang
bersamaan lingkungannya juga menentukan manusia. Menurut George Herbert Mead yang
lebih penting yaitu tidak ada bentuk organisasi sosial yang perlu dianggap sebagai sesuatu
yang final.
2). Teori Interaksionisme Simbolik William Issac Thomas
Karya Thomas sangat banyak, tetapi yang dianggap monumental adalah The Polish
Peasant in Europe and America yang berisi penjelasan tentang masalah identitas etnik
sehubungan dengan masalah perubahan sosial. Karya ini juga dianggap sebagai perbaikan atas
karya pertamanya yang berjudul Sex and Society: Studies in the Social Psychology of Sex yang
dianggap banyak mengandung bias biologi maupun bias psikologi. Selanjutnya, tulisannya
yang berjudul The Unadjusted Girl yang membahas tentang 'definisi situasi' dianggap memberi
sumbangan yang sangat penting dalam bidang teori terhadap perkembangan pendekatan
interaksionisme simbolik.
Berdasarkan teori 'definisi situasi', perilaku bukan hanya merupakan respon refleksif
terhadap stimulus yang datang dari lingkungan. Perilaku merupakan buah dari proses definisi
subjektif aktor terhadap stimulus tersebut. Di dalam proses definisi subjektif ini terkandung
tahap pengujian dan pertimbangan atas stimulis yang datang dan respons yang akan
dimunculkan.
3).Teori Interaksionisme Simbolik Herbert Blumer
Herbert Blumer merupakan salah seorang tokoh teori interaksionisme simbolik yang
mewakili aliran pragmatis. Pemikirannya banyak dipengaruhi oleh gurunya George Herbert
Mead, tetapi pada akhirnya dia tetap mampu membangun teorinya sendiri. Dia termasuk orang
yang sangat aktif, tidak saja hanya dalam kegiatan-kegiatan akademik melainkan juga dalam
urusan-urusan administrasi di universitas tempatnya mengajar. Herbert Blumer termasuk sangat
produktif, terbukti dengan banyak hasil karyanya baik yang berupa buku maupun artikel.
Simbolic Interactionism: Perspective and Method yang ditulisnya tahun 1969 sampai saat ini
tetap menjadi acuan bagi kajian-kajian interaksionisme simbolik. Dalam bukunya ini, Blumer
menekankan tentang pentingnya kesadaran aktor dan bagaimana aktor tersebut mendefinisikan
situasinya dan bertindak berdasarkan rasa kepemilikan terhadap dirinya sendiri.
Interaksionisme simbolik itu sendiri menurut Blumer bertumpu pada tiga premis, yaitu
sebagai berikut.
1. Manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna-makna yang ada pada sesuatu itu
bagi mereka;
2. Makna itu diperoleh dari hasil interaksi sosial yang dilakukan dengan orang lain;
Dalam bentuk ketiga premis tersebut sebenarnya terletak bangunan dari ide dasar pemikiran
Blumer, yaitu apa yang disebutnya 'root images'. Images ini merupakan dasar dari cara pandang
interaksionisme simbolik tentang tingkah laku manusia dan masyarakat manusia, serta
kerangka dari pembentukan teori interaksionisme dan interpretasi.
4). Teori Interaksionisme Simbolik Erving Goffman
Interaksionisme simbolik pada hakikatnya (lebih) merupakan bagian dari psikologi sosial
yang menyoroti interaksi antar-individu dengan menggunakan simbol-simbol. Konsep
interaksionisme simbolik Erving Goffman juga menyoroti masalah-masalah yang berhubungan
dengan interaksi antara orang-orang yang juga melibatkan simbol-simbol dan
penafsiran-penafsiran di mana peranan antara the self dan the other mendapat porsi perhatian yang sama
dalam koteks interaksi dimaksud. Interaksionisme simbolik Erving Goffman memang selalu
mengacu kepada konsep-konsep 'impression management', role distance, dan secondary
adjustment di mana ketiganya bertumpu pada konsep dan peranan the self dan the other tadi.
Selain itu, Goffman juga menyoroti masalah face-to-face interaction, yaitu interaksi atau
hubungan tatap muka yang menjadi dasar pendekatan mikrososiologi dalam analisis
sosiologisnya.
Inti dari ajaran Goffman adalah apa yang disebut dengan dramaturgy. Dramaturgy yang
dimaksud Goffman adalah situasi dramatik yang seolah-olah terjadi di atas panggung sebagai
ilustrasi yang diberikan Goffman untuk menggambarkan orang-orang dan interaksi yang
dilakukan mereka dalam kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain, Goffman menggambarkan
peranan orang-orang yang berinteraksi dan hubungannya dengan realitas sosial yang
dihadapinya melalui panggung sandiwara dengan menggunakan skrip (jalan cerita) yang telah
ditentukan. Seperti layaknya sebuah panggung maka ada bagian yang disebut frontstage
(panggung bagian depan) dan backstage (panggung bagian belakang) di mana keduanya
memiliki fungsi yang berbeda. Betapa penting peranan dan fungsi backstage terhadap
keberhasilan penampilan di frontstage, kajian-kajian terhadap hal-hal yang berada di luar
perhitungan benar-benar bertumpu pada sumber daya-sumber daya yang ada pada kedua bagian
tersebut. Di samping itu, konsep dramaturgy Goffman juga dipakai oleh beberapa ahli sosiologi
seperti Kennen dan Collins dalam melakukan studi yang menyangkut interaksi antara
orang-orang yang menjadi kajian mereka.
interaksi tatap muka yang ordonya dimulai dari skala yang terkecil atau terendah menuju skala
terbesar atau tertinggi, yaitu yang terdiri dari persons, contact, encounters, platform
performances, dan celebrations. Meskipun hampir sebagian besar analisis Goffman tidak
menyertakan konsep penting interaksionisme simbolik, yaitu self interaction, namun bagi
Goffman, seorang aktor yang berada 'di atas panggung' itu harus mampu menafsirkan,
memetakan, mengevaluasi, dan mengambil tindakan sehingga atas dasar kemampuannya itu
manusia dikategorikan sebagai makhluk yang aktif. Bagi Goffman, sebagai makhluk yang
aktif, manusia itu justru harus mampu untuk memanipulasi situasi yang dihadapinya. Hal inilah
yang mendasari pandang Goffman bahwa seorang sosiolog harus mampu melakukan analisis
secara mandiri atas kondisi-kondisi sosial yang dihadapinya.
5). Teori Interaksionisme Simbolik Peter L. Berger
Peter L. Berger sebenarnya bukanlah tokoh interaksionisme simbolik murni. Ajarannya
memang lebih condong ke arah fenomenologi meskipun di dalamnya, konsep-konsep
dramaturgi, realitas sosial, dan hubunagan tatap muka (face-to-face interaction) masih menjadi
sorotannya di mana hal ini konsisten dengan konsep-konsep yang menjadi dasar acuan di
dalam interaksionisme simbolik.
Dramaturgi Berger memang 'agak sedikit' berbeda dengan miliknya Goffman. Para pelaku
atau aktor di dalam dramaturgi Berger 'menciptakan' dan 'mengembangkan' sendiri skrip atau
jalan cerita yang akan 'dimainkannya', sedangkan pada dramaturginya Goffman para pelaku
atau aktor itu 'hanya' tinggal menjalankan atau memainkan skrip (jalan cerita), di mana skrip
itu 'ditulis' dan 'dikembangkan' oleh orang lain. Realitas sosial bagi Berger haruslah terdiri dari
unsur-unsur subjektif dan objektif di mana keseimbangan kedua unsur itu harus tercipta demi
keseimbangan realitas sosial itu sendiri. Seperti halnya Goffman, Berger juga menerapkan
konsep hubungan antarmanusia yang disebutnya sebagai hubungan inter subjektif. Bagi Berger,
face-to-face interaction atau hubungan tatap muka merupakan hubungan manusia yang
sesungguhnya. Pemikiran Berger (juga Luckman) mengacu kepada realitas subjektif dan
objektif yang keduanya itu dijadikan kerangka pemikiran untuk melakukan pendekatan secara
mikrososiologis.
kembali realitas yang sudah ada, sedangkan objektivasi maksudnya adalah suatu proses di
mana orang-orang itu dapat menangkap dan memahami realitas. Di sini peranan bahasa sangat
penting karena bahasa merupakan alat untuk memahami realitas sosial. Sedangkan internalisasi
artinya (proses) melihat setiap orang sebagaimana adanya, sebagai orang itu sendiri. Di dalam
internalisasi ini sesungguhnya terdapat proses reifikasi yang secara konseptual memiliki makna
a dehumanized world artinya dunia yang (sudah) dimanusiawikan
.
B.
Postmodernisme Dalam Sosiologi
1.
Pengertian
Untuk memudahkan memahami postmodernisme, ada baiknya kita mengkontraskan ‘isme’ ini dengan lawan sejarah dan nuansa berpikirnya, yakni modernisme. Mengkontraskan kedua ‘isme’ tersebut dipandang perlu karena postmodernisme, dalam banyak hal, bisa dikatakan sebagai reaksi dan kritik terhadap modernisme.
a). Modernisme
Secara etimologis modern (adj.) bermakna, ‘pertaining to recent or present time’. Dalam sub bab yang bertemakan postmodernisme, Romo Tom Jacob mengartikan ‘modern’ sebagai: (1) terbaru, mutakhir; (2) sikap dan cara berpikir serta bertindak sesuai dengan tuntutan zaman.
Sedangkan menurut Kant menyebutnya sebagai pencapaian transendentalisasi jauh dari imanensi manusia. Sehingga manusia bisa mencapai tingkat yang paling tinggi.
Kemampuan rasio inilah yang menjadi kunci kebenaran pengetahuan dan kebudayaan modern. Di samping Kant, sejarah kematangan kebudayaan modern ditunjukkan oleh Frederich Hegel. Melalui kedua pemikir inilah nilai-nilai modernisme ditancapkan dalam alur sejarah dunia. Kant dengan ide-ide absolut yang sudah terberi (kategori). Hegel dengan filsafat identitas (idealisme absolut) (Ahmad Sahal, 1994: 13). Konstruksi kebudayaan modern kemudian tegak berdiri dengan prinsip-prinsip rasio, subjek, identitas, ego, totalitas, ide-ide absolut, kemajuan linear, objektivitas, otonomi, emansipasi serta oposisi biner.
manusia’. Semangat ini dilandasi oleh keyakinan yang sangat optimistik dari kamum modernis akan kekuatan rasio manusia.
Di era ini rasio dipandang sebagai kekuatan yang dimiliki oleh manusia untuk memahami realitas, untuk membangun ilmu pengetahuan dan teknologi, moralitas, dan estetika. Pendek kata, rasio dipandang sebagai kekuatan tunggal yang menentukan segala-galanya.
Pengakuan atas kekuatan rasio dalam segenap aktivitas manusia, berarti pengakuan atas harkat dan martabat manusia. Manusia dengan rasionya, --tentu saja sebagai subjek; pemberi bentuk dan warna pada realitas-- adalah penentu arah perkembangan sejarah. Kenyataannya, modernisme adalah salah satu bentuk dari humanisme. Narasi-narasi besar modernisme yang berasal dari kapitalisme, eksistensialisme, liberalisme, idealisme, tidak bisa lain membuktikan hal itu.
Modernisme juga bisa diartikan sebagai semangat untuk mencari dan menemukan kebenaran asasi, kebenaran esensial, dan kebenaran universial. Rasio manusia dianggapa mampu menyelami kenyataan faktual untuk menemukan hukum-hukum atau dasar-dasar yang esensial dan universal dari kenyataan.
b). Postmodernisme
Secara etimologis Postmodernisme terbagi menjadi dua kata, post dan modern. Kata post, dalam Webster’s Dictionary Library adalah bentuk prefix, diartikan dengan ‘later or after’. Bila kita menyatukannya menjadi postmodern maka akan berarti sebagai koreksi terhadap modern itu sendiri dengan mencoba menjawab pertanyaan pertanyaan yang tidak dapat terjawab di jaman modern yang muncul karena adanya modernitas itu sendiri. Sedangkan secara terminologi, menurut tokoh dari postmodern, Pauline Rosenau (1992) mendefinisikan Postmodern secara gamblang dalam istilah yang berlawanan antara lain: Pertama, postmodernisme merupakan kritik atas masyarakat modern dan kegagalannya memenuhi janji-janjinya. Juga postmodern cenderung mengkritik segala sesuatu yang diasosiasikan dengan modernitas.Yaitu pada akumulasi pengalaman peradaban Barat adalah industrialisasi, urbanisasi, kemajuan teknologi, negara bangsa, kehidupan dalam jalur cepat. Namun mereka meragukan prioritas-prioritas modern seperti karier, jabatan, tanggung jawab personal, birokrasi, demokrasi liberal, toleransi, humanisme, egalitarianisme, penelitian objektif, kriteria evaluasi, prosedur netral, peraturan impersonal dan rasionalitas. Kedua, teoritisi postmodern cenderung menolak apa yang biasanya dikenal dengan
pandangan dunia (world view), metanarasi, totalitas, dan sebagainya.
identitas diri. Hal ini senada dengan definisi dari Friedrich Wilhelm Nietzsche sche (1844-1900) dikenal sebagai nabi dari postmedernisme. Dia adalah suara pionir yang menentang rasionalitas, moralitas tradisional, objektivitas, dan pemikiran-pemikiran Kristen pada umumnya. Nietzsche sche berkata, “Ada banyak macam mata. Bahkan Sphinx juga memiliki mata; dan oleh sebab itu ada banyak macam kebenaran, dan oleh sebab itu tidak ada kebenaran.”
Menurut Romo Tom Jacob, kata ‘postmodern’ setidaknya memiliki dua arti: (1) dapat menjadi nama untuk reaksi terhadap modernisme, yang dipandang kurang human, dan mau kembali kepada situasi pra-modernisme dan sering ditemukan dalam fundamentalisme; (2) suatu perlawanan terhadap yang lampau yang harus diganti dengan sesuatu yang serba baru dan tidak jarang menjurus ke arah sekularisme.
2.
Perbedaan Modernisme Dan Postmodernisme
Pemikir evalengical, Thomas Oden, berkata bahwa periode modern dimulai dari runtuhnya Bastille pada tahun 1789 (Revolusi Perancis) dan berakhir dengan kolapsnya komunisme dan runtuhnya tembok berlin pada tahun 1989. Modernisme adalah suatu periode yang mengafirmasi keeksistensian dan kemungkinan mengetahui kebenaran dengan hanya menggunakan penalaran manusia. Oleh karena itu, dalam arti simbolik penalaran menggantikan posisi Tuhan, naturalisme menggantikan posisi supernatural. Modernisme sebagai pengganti dinyatakan sebagai penemuan ilmiah, otonomim manusia, kemajuan linier, kebenaran mutlak (atau kemungkinan untuk
mengetahui), dan rencana rasional dari social order Modernisme dimulai dengan rasa optimis yang tinggi.
Sedangkan postmodernisme adalah sebuah reaksi melawan modernisme yang muncul sejak akhir abad 19. Dalam postmodernisme, pikiran digantikan oleh keinginan, penalaran digantikan oleh emosi, dan moralitas digantikan oleh relativisme. Kenyataan tidak lebih dari sebuah
konstruk sosial; kebenaran disamakan dengan kekuatan atau kekuasaan. Identitas diri muncul dari kelompok. Postmodernisme mempunyai karakteritik fragmentasi (terpecah-pecah menjadi lebih kecil), tidak menentukan (indeterminacy), dan sebuah ketidakpercayaan terhadap semua hal universal (pandangan dunia) dan struktur kekuatan.
3.
Perkembangan Sejarah Dan Tokoh-Tokoh Postmodern
Pada awalnya, kata postmodern tidak muncul dalam filsafat ataupun sosiologi. Wacana postmodern ini pada awalnya muncul dalam arsitektur dan kemudian juga dalam sastra. Arsitektur dan sastra ‘postmodern’ lebih bernafaskan kritik terhadap arsitektur dan sastra ‘modern’ yang dipandang sebagai arsitektur totaliter, mekanis dan kurang human. Akhirnya, kritik terhadap seni arsitektur dan sastra modern ini menjadi kritik terhadap kebudayaan modern pada umumnya yang dikenal sebagai era postmodern.
Benih posmo pada awalnya tumbuh di lingkungan arsitektur. Charles Jencks dengan bukunya The Language of Postmodern Architecture (1975) menyebut post modern sebagai upaya mencari pluralisme gaya arsitekture setelah ratusan terkukung satu gaya. Postmodernisme lahir di St. Louis, Missouri, 15 Juli 1972, pukul 3:32 sore. Ketika pertama kali didirikan, proyek rumah Pruitt-Igoe di St. Louis di anggap sebagai lambang arsitektur modern. Yang lebih penting, ia berdiri sebagai gambaran modernisme, yang menggunakan teknologi untuk menciptakan masyarakat utopia demi kesejahteraan manusia. Tetapi para penghuninya menghancurkan bangunan itu dengan sengaja. Pemerintah mencurahkan banyak dana untuk merenovasi bangunan tsb. Akhirnya, setelah menghabiskan jutaan dollar, pemerintah menyerah. Pada sore hari di bulan Juli 1972, bangunan itu diledakkan dengan dinamit. Menurut Charles Jencks, yang dianggap sebagai arsitek postmodern yang paling berpengaruh, peristiwa peledakan ini menandai kematian modernisme dan menandakan kelahiran postmodernisme
Akhirnya, pemikiran postmodern ini mulai mempengaruhi berbagai bidang kehidupan, termasuk dalam bidang filsafat, ilmu pengetahuan, dan sosiologi. Postmodern akhirnya menjadi kritik kebudayaan atas modernitas. Apa yang dibanggakan oleh pikiran modern, sekarang dikutuk, dan apa yang dahulu dipandang rendah, sekarang justru dihargai.
Postmodern sebagai Filsafat
Filsafat postmodern pertama kali muncul di Perancis pada sekitar tahun 1970-an, terlebih ketika Jean Francois Lyotard menulis pemikirannya tentang kondisi legitimasi era postmodern, dimana narasi-narasi besar dunia modern (seperti rasionalisme, kapitalisme, dan komunisme) tidak dapat dipertahankan lagi.
Seperti yang telah diterangkan diatas, pada awalnya lahir dari kritik terhadap arsitektur modern, dan harus kita akui kata postmodern itu sendiri muncul sebagai bagian dari modernitas. Ketika postmodern mulai memasuki ranah filsafat, post dalam postmodern tidak dimaksudkan sebagai sebuah periode atau waktu, tetapi lebih merupakan sebuah konsep yang hendak
melampaui segala hal modern. Konsep postmodernitas yang sering disingkat sebagai postmodern ini merupakan sebuah kritik atas realitas modernitas yang dianggap telah gagal dalam
melanjutkan proyek pencerahannya.
bagi narasi-narasi kecil, lokal, tersebar, dan beranekaragam untuk bersuara dan menampakkan dirinya.
C.S. Lewis ketika ia berkata, ketika memperjelas pandangan Nietzsche sche “My good is my good, and your good is your good” (kebaikanku adalah kebaikanku, dan kebaikanmu adalah kebaikanmu), atau kalau orang Jakarta bilang, “gue ya gue, lo ya lo”. Jadi di sini tidak ada standar absolut tentang benar atau salah dalam postmodern. Mungkin Anda juga pernah
mendengar orang berkata “Mungkin itu benar bagimu, tetapi tidak bagiku” atau “Itu adalah apa yang kamu rasa benar.” Kebenaran, bagi generasi postmodern adalah relatif, tidak absolut.
b.
Tokoh-Tokoh postmodern dan Ajarannya
Tokoh-tokoh pemikir postmodern ini terbagi ke dalam dua model cara berpikir yakni dekonstruktif dan rekonstruktif. Para filsuf sosial berkebangsaan Prancis lebih banyak mendukung cara berpikir postmodern dekonstruktif ini. Para pemikir Perancis itu antara lain: Friedrich Wilhelm Nietzsche sche, ean Francois Lyotard, Jacques Derrida, Michel Foucault, Pauline Rosenau, Jean Baudrillard ,dan Richard Rorty. sementara pemikiran postmodern rekonstruktif dipelopori oleh Teori Kritis Mazhab Frankfurt seperti: Max Horkheimer, Theodor W Adorno, yang akhirnya dilengkapi oleh pemikiran Jurgen Habermas.
1). Friedrich Wilhelm Nietzsche sche (1844-1900)
Lahir di Rochen, Prusia 15 Oktober 1884. Pada masa sekolah dan mahasiswa, ia banyak berkenalan dengan orang-orang besar yang kelak memberikan pengaruh terhadap pemikirannya, seperti John Goethe, Richard Wagner, dan Fredrich Ritschl. Karier bergengsi yang pernah didudukinya adalah sebagai Profesor di Universitas Basel.
Menurutnya manusia harus menggunakan skeptisme radikal terhadap kemampuan akal. Tidak ada yang dapat dipercaya dari akal. Terlalu naif jika akal dipercaya mampu memperoleh kebenaran. Kebenaran itu sendiri tidak ada. Jika orang beranggapan dengan akal diperoleh pengetahuan atau kebenaran, maka akal sekaligus merupakan sumber kekeliruan.
2). Jacques Derrida (Aljazair, 15 Juli 1930–Paris, 9 Oktober 2004)
Seorang filsuf Prancis keturunan Yahudi dan dianggap sebagai pendiri ilmu
ke 20 dan ke 21. Istilah-ilstilah falsafinya yang terpenting adalah dekonstruksi dan différance. a. Dekonstruksi
Istilah dekontruksi untuk pertama kalinya muncul dalam tulisan-tulisan Derrrida pada saat ia mengadakan pembacaan atas narasi-narasi metafisika Barat.
Jacques Derrida menunjukkan bahwa kita selalu cenderung untuk melepaskan teks dari konteksnya. Satu term tertentu kita lepaskan dari konteks (dari jejaknya) dan hadir sebagai makna final. Inilah yang Derrida sebut sebagai logosentrisme . Metode dekonstruksi merupakan proyek filsafat yang berskala raksasa karena Derrida sendiri menunjukkan bahwa filsafat barat seluruhnya bersifat logosentris. Dengan demikian, dekonstruksi mengkritik seluruh proyek filsafat barat.
b. Differance
Dalam karyanya, Of Grammatology, Derrida berusaha menunjukkan bahwa struktur penulisan dan gramatologi lebih penting dan bahkan “lebih tua” ketimbang yang dianggap sebagai struktur murni kehadiran diri (presence-to- self), yang dicirikan sebagai kekhasan atau keunggulan lisan atau ujaran.
Derrida menyatakan bahwa signifikasi selalu merujuk ke tanda-tanda lain dan kita tidak akan pernah sampai ke suatu tanda yang hanya merujuk ke dirinya sendiri. Maka, tulisan bukanlah tanda dari sebuah tanda, namun lebih benar jika dikatakan bahwa tulisan adalah tanda dari semua tanda-tanda. Dan proses perujukan yang tidak terhingga (infinite) dan tidak habis-habisnya ini tidak akan pernah sampai ke makna itu sendiri. Inilah pengertian “tulisan” yang ingin ditekankan Derrida. Derrida menggunakan istilah arche-writing, yakni tulisan yang merombak total
keseluruhan logika tentang tanda. Jadi, tulisan yang dimaksud Derrida bukanlah tulisan (atau tanda) sederhana, yang dengan mudah dianggap mewakili makna tertentu.
Dilihat dengan cara lain, tulisan merupakan prakondisi dari bahasa, dan bahkan telah ada sebelum ucapan oral. Maka tulisan malah lebih “istimewa” daripada ujaran. Tulisan adalah bentuk permainan bebas dari unsur-unsur bahasa dan komunikasi. Tulisan merupakan proses perubahan makna terus-menerus dan perubahan ini menempatkan dirinya di luar jangkauan kebenaran mutlak (logos).
Jadi, tulisan bisa dilihat sebagai jejak, bekas-bekas tapak kaki, yang harus kita telusuri terus-menerus, jika ingin tahu siapa si empunya kaki (yang kita anggap sebagai makna yang mau dicari). Proses berpikir, menulis dan berkarya berdasarkan prinsip jejak inilah yang disebut Derrida sebagai differance.
Proses differance ini menolak adanya petanda absolut atau “makna absolute,” makna transendental, dan makna universal, yang diklaim ada oleh De Saussure dan oleh pemikiran modern pada umumnya.
Menurut Derrida, penolakan ini harus dilakukan karena adanya penjarakan (spacing), di mana apa yang dianggap sebagai petanda absolut sebenarnya hanyalah selalu berupa jejak di belakang jejak. Selalu ada celah atau kesenjangan antara penanda dan petanda, antara teks dan maknanya. Celah ini membuat pencarian makna absolut mustahil dilakukan. Setelah “kebenaran” ditemukan, ternyata masih ada lagi jejak “kebenaran” lain di depannya, dan begitu seterusnya. Jadi, apa yang dicari manusia modern selama ini, yaitu kepastian tunggal yang “ada di depan,” tidaklah ada dan tidak ada satu pun yang bisa dijadikan pegangan. Karena, satu-satunya yang bisa dikatakan pasti, ternyata adalah ketidakpastian, atau permainan. Semuanya harus ditunda atau ditangguhkan (deferred) sembari kita terus bermain bebas dengan perbedaan (to differ). Inilah yang ditawarkan Derrida, dan posmodernitas adalah permainan dengan
ketidakpastian.
4. Kritik postmodern terhadap narasi-narasi modern
a. Postmodern dan Kapitalisme
Kapitalisme atau modernisme, menurut teori ini, menyebabkan manusia dipandang sebagai barang yang bisa diperdagangkan – nilainya (harganya) ditentukan oleh seberapa besar yang bisa dihasilkannya
Menurut para pemikir postmodern, modernitas itu ditandai dengan sifat totaliternya akal budi manusia yang menciptakan sistem-sistem seperti sistem ekonomi, sosial, politik, dsb. Sistem-sistem itu akhirnya memenjarakan manusia sendiri sebagai budak dari Sistem-sistem yang tidak menghargai sama sekali ‘dunia kehidupan’.
b. Postmodern dan Positivisme
objek itu hanyalah sekedar interpretasi. (ST. Sunardi,1999:67-68)
Banyak pernyataan bahwa Nietzsche tidak percaya bahwa kita bisa mengetahui kebenaran. Fakta kebenaran itu tidak ada, yang ada hanyalah interpretasi dan dan perspektif. Maka dengan dengan sendirinya tidak ada kebenaran universal yang tunggal. Penafsiran itu tidak itu tidak menghasilkan makna final, yang ada hanyalah pluralitas. (ST. Sunardi,1999:180) sehingga bagi Nietzsche , kebenaran adalah suatu kekeliruan yang berguna untuk mempertahankan arus hidup.
5. Tanggapan Terhadap Postmodern
Konsepsi epistemologis post-modern yang belum jelas merupakan persoalan yang cukup mendasar. Tidak dapat disangkal lagi bahwa dalam interpretasi, setiap orang mempunyai sudut pandang dan perspektif sendiri-sendiri (berbeda-beda). Dalam perpektif, subjek-subjek tertentu bisa dianggap benar, namun bisa jadi keliru bagi perspektif subjek yang lain.
lingkup ajaran iman agama, teologi, ataupun narasi-narasi besar lainnya, namun juga terjadi di setiap bidang kehidupan.
Rasionalisme universal manusia modern dengan cita-cita penyempurnaan manusia oleh manusia sendiri menemui keterbatasannya secara sangat spektakuler dalam abad ini. Rasionalitas universal itu seolah-olah ambruk.
BAB III
PENUTUPAN
A. Kesimpulan
1. Interaksionisme simbolik merupakan teori dengan kajian utamanya individu. Teori ini
membahas tentang interaksi manusia dengan menggunakan simbol-simbol. Simbol-simbol
yang digunakan adalah simbol signifikan seperti bahasa. Dengan menggunakan
simbol-simbol tersebut akan menghasilkan suatu makna yang akhirnya bisa dimengerti orang lain.
2.
Postmodern yang lahir pertama-tama sebagai reaksi dan kritik terhadap modernisme yang penuh akankesalahan dan kegagalan di berbagai bidang (walaupun beberapa tidak sepenuhnya gagal). Postmodernisme adalah pandangan dunia yang menyangkal semua pandangan dunia. Singkatnya, postmodernisme mengatakan bahwa tidak ada kebenaran universal yang valid untuk setiap orang. Individu terkunci dalam persepktif terbatas oleh ras, gender, dan grup etnis masing-masing.
Berbeda dengan filsafat sebelum zaman modern yang mendasari metodenya dengan rasionalitas. Pada zaman ini seakan-akan tak ada lagi standar kebenaran.
Kritik post-modern terhadap modern bukanlah gugatan ilmiah dan teoritik, melainkan lebih bersifat emosional. Ia tak membawa konsep yang jelas, hanya mengkritik konsep lama, tidak memperbaharuinya, dan hanya phenomenon politik saja yang melatarbelakangi kemunculannya, yakni perang dunia kedua.