9
2.1 Pengertian Ilmu Pengetahuan Alam (IPA)
IPA dapat disebut juga dengan natural science yaitu istilah yang digunakan yang merujuk pada rumpun ilmu di mana obyeknya adalah
benda-benda alam dengan hukum-hukum yang pasti dan umum, berlaku kapan pun dan
di mana pun.Menurut Fowler (Trianto, 2014:136) “IPA adalah pengetahuan yang
sistematis yang dirumuskan, yang berhubungan dengan gejala-gejala kebendaan
dan didasarkan terutama atas pengamatan dan deduksi”. Wahyana(dalam Trianto,
2012:136) mengatakan bahwa “IPA adalah suatu kumpulan pengetahuan tersusun
secara sistematis, dan dalam penggunaanya secara umum terbatas pada
gejala-gejala alam”. Beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa Ilmu Pengetahuan Alam atau IPA merupakan ilmu pengetahuan yang membahas
tentang gejala-gejala kebendaan, ilmu tentang dunia zat, ilmu tentang kealaman
yang sudah tersusun secara sistematis dan diperoleh dari hasil pengamatan dari
gejala-gejala yang timbul dari alam. Sehingga hasil dari pengamatan dari alam
membentuk suatu pengetahuan baru yang dapat dipelajari dan dikembangkan.
Hakikatnya IPA dibangun atas dasar produk ilmiah, proses ilmiah, dan
sikap ilmiah (Trianto, 2014:137). Sebagai produk, IPA merupakan sekumpulan
pengetahuan dan sekumpulan konsep dan bagan konsep. Sebagai suatu proses,
IPA merupakan proses yang dipergunakan untuk mempelajari objek studi,
menemukan dan mengembangkan produk-produk sains, dan sebagai aplikasi,
teori-teori IPA akan melahirkan teknologi yang dapat memberikan kemudahan
bagi kehidupan. Marsetio Donosepoetro (dalam Trianto, 2010: 137) memandang
IPA sebagai “proses, sebagai produk dan sebagai prosedur”. Sebagai proses
diartikan semua kegiatan ilmiah untuk menyempurnakan pengetahuan tentang
sebagai hasil proses, berupa pengetahuan yang diajarkan dalam sekolah atau di
luar sekolah ataupun bahan bacaan untuk penyebaran pengetahuan. Sebagai
prosedur dimaksudkan adalah metodologi atau cara yang dipakai untuk
mengetahui sesuatu (riset pada umumnya) yang lazim disebut metode ilmiah
(scientific method). Beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan yaitu IPA adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari peristiwa-peristiwa yang terjadi di alam
sehingga menghasilkan pengetahuan yang baru atau mengembangkan produk
sains yang sudah ada dengan berbantuan metode-metode ilmiah, sehingga dari
proses itu menjadi sebuah inovasi pengetahuan tentang alam yang dapat dipelajari
dalam instansi pendidikan formal maupun non formal.
Mata pelajaran IPA di SD menurut KTSP Standar Isi 2006 bertujuan agar
peserta didik memiliki kemampuan-kemampuan sebagai berikut,
1. Memperoleh keyakinan terhadap kebesaran Tuhan YME berdasarkan keberadaan, keindahan, dan keteraturan dlam ciptaan-Nya.
2. Mengembangkan pengetahuan dan pemahaman konsep-konsep IPA yang bermanfaat dan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
3. Mengembangkan rasa ingin tahu, sikap positif dan kesadaran tentang adanya hubungan yang saling mempengaruhi antara IPA, lingkungan, teknologi dan masyarakat.
4. Mengembangkan keterampilan proses untuk menyelidiki alam sekitar memecahkan masalah dan membuat keputusan.
5. Meningkatkan kesadaran untuk berperan serta dalam memelihara, menjaga dan melestarikan lingkungan alam.
6. Meningkatkan kesadaran untuk menghargai alam dan segala keteraturannya sebagai salah satu ciptaan Tuhan.
7. Memperoleh bekal pengetahuan, konsep dan keterampilan IPA sebagai dasar untuk melanjutkan pendidikan ke SMP/MTS.
IPA merupakan ilmu yang dapat dipelajari disemua jenjang pendidikan.
Melalui IPA kita dapat mengetahui dan menikmati keindahan alam semesta yang
diciptakan oleh Tuhan. Dengan perkembangan teknologi, dapat membantu
menggali pengetahuan yang lebih banyak tentang IPA. Alam dapat membantu
kita dalam belajar menemukan sesuatu yang mampu berguna untuk kehidupan.
2.1.1 Fungsi dan Sifat IPA
Fungsi dan sifat Ilmu Pengetahuan Alam menurut Surjani
Wonorahardjo (2010) adalah sebagai berikut:
a. Membantu manusia berpikir dalam pola sistematis.
b. Dapat menjelaskan gejala alam serta hubungan satu sama lain antar gejala alam.
c. Dapat digunakan untuk meramalkan gejala alam yang akan terjadi berdasarkan pola gejala alam yang dipelajari.
Secara khusus fungsi dan tujuan IPA berdasarkan kurikulum
berbasis kompetensi (Depdiknas, 2003:2) adalah sebagai berikut :
1. Menanamkan keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. 2. Mengembangkan keterampilan, sikap dan nilai ilmah.
3. Mempersiapkan siswa menjadi warga negara yang melek sains dan teknologi.
4. Menguasai konsep sains untuk bekal hidup di masyarakat dan melanjutkan pendidikan kejenjang yang lebih tinggi.
Dilihat dari hakikat, fungsi dan tujuannya, IPA bukan sekedar ilmu
atau pengetahuan yang dipelajari tetapi perlu dikembangkan melalui
berbagai metode ilmiah. Sehingga, IPA dapat membentuk watak anak
lebih mencintai alam karena mereka belajar mengenai alam itu sendiri,
melalui pembelajaran IPA juga diharapkan siswa dapat mengembangkan
keterampilan, sikap dan nilai ilmiah serta mempersiapkan diri terhadap
perkembangan jaman yang semakin maju dan canggih. Oleh karena itu,
IPA perlu dipelajari dan dihayati sehingga menjadi bekal hidup dalam
kehidupan di masyarakat.
Secara umum IPA meliputi tiga bidang ilmu dasar, yaitu biologi,
fisika, dan kimia, merupakan salah satu cabang dari IPA, dan merupakan
ilmu yang lahir dan berkembang lewat langkah-langkah observasi,
perumusan masalah, penyusunan hipotesis, pengujian hipotesis melalui
eksperimen, penarikan kesimpulan, serta penemuan teori dan konsep.
Dapat dikatakan bahwa hakikat IPA adalah ilmu pengetahuan yang
mempelajari gejala-gejala melalui serangkaian proses yang dikenal dengan
sebagai produk ilmiah yang tersusun atas tiga komponen terpenting berupa
konsep, prinsip, dan teori yang berlaku secara universal.
2.1.2 Nilai-Nilai IPA
Ilmu Pengetahuan Alam juga mempunyai karakteristik sebagai
dasar untuk memahaminya. Karakteristik tersebut menurut Jacobson dan
Bergman (dalam Ahmad, 2013: 170), meliputi :
a. IPA merupakan kumpulan konsep, prinsip, hukum dan teori b. Proses ilmiah dapat berupa fisik dan mental, serta mencermati
fenomena alam, termasuk juga penerapannya
c. Sikap keteguhan hati, keingintahuan, dan ketekunan dalam menyikapi rahasia alam
d. IPA tidak dapat membuktikan semua akan tetapi hanya sebagian atau beberapa saja
e. Kebenaran IPA bersifat subjektif dan bukan kebenaran yang bersifat objektif
Diambil dari karakteristik IPA tersebut, IPA merupakan suatu
kumpulan konsep, prinsip, hukum, dan teori. Cara memahaminya dengan
melalui kegiatan ilmiah berupa fisik dan mental untuk membuktikan
kebenaran yang bersifat subjektif serta mencermati fenomena alam
termasuk penerapannya.
2.1.3 Pembelajaran IPA SD
Ilmu Pengetahuan Alam dalam penerapannya dimasyarakat sangat
penting namun harus sesuai dengan tingkat perkembangan kognitif anak.
IPA untuk anak-anak didefinisikan oleh Paolo dan Marten (dalam
Irliawati, 2010:25) sebagai berikut :
1. Mengamati apa yang terjadi.
2. Mencoba memahami apa yang diamati.
3. Mempergunakan pengetahuan baru untuk meramalkan apa yang akan terjadi.
4. Menguji ramalan-ramalan di bawah kondisi-kondisi untuk melihat apakah ramalan tersebut benar.
Dapat disimpulkan IPA untuk anak anak adalah ilmu yang dipelajari anak
dan menganalisis apa yang dilihat, mencari pengetahuan yang baru dengan
menguji kebenaran hasil analisa.
Menurut Oemar Hamalik (2008: 25) pembelajaran merupakan suatu proses
penyampaian pengetahuan, yang dilaksanakan dengan menuangkan pengetahuan
kepada siswa. Proses tersebut dimulai dari merencanakan progam pengajaran
tahunan, semester dan penyusunan persiapan mengajar (lesson plan) berikut persiapan perangkat kelengkapannya antara lain berupa alat peraga dan alat-alat
evaluasinya. Pernyataan di atas dapat disimpulkan pembelajaran adalah suatu
proses atau rangkaian upaya yang disusun oleh guru untuk kegiatan siswa belajar
dari tidak tahu menjadi tahu pengetahuan baru yang disusun dalam program yang
sudah terencana dan dilaksanakan di dalam kelas maupun di luar kelas.
Ilmu Pengetahuan Alam merupakan mata pelajaran di SD yang
dimaksudkan agar siswa mempunyai pengetahuan, gagasan dan konsep yang
terorganisasi tentang alam sekitar, yang diperoleh dari pengalaman melalui
serangkaian proses ilmiah antara lain penyelidikan, penyusunan dan penyajian
gagasan-gagasan. IPA berhubungan dengan cara mencari tahu tentang alam secara
sistematis, sehingga IPA bukan hanya penguasaan kumpulan sistematis dan IPA
bukan hanya penguasaan kumpulan pengetahuan yang berupa fakta-fakta,
konsep-konsep atau prinsip-prinsip saja, tetapi juga merupakan suatu proses penemuan
(Sulistyorini, 2007: 39).
Pembelajaran IPA adalah kegiatan yang disusun guru dalam mempelajari
ilmu yang mempelajari peristiwa-peristiwa yang terjadi di alam berdasarkan teori
dengan metode yang sistematis yaitu observasi, eksperimen, penyimpulan,
penyusunan teori tentang alam sekitar untuk menemukan pengetahuan yang baru.
Mata pelajaran IPA memberikan bekal bagi siswa untuk melanjutkan kejenjang
pendidikan lebih lanjut, dengan membekali siswa berbagai keterampilan untuk
memecahkan masalah-masalah yang berhubungan dengan IPA dalam
kehidupannya. Selain itu membekali siswa untuk lebih kreatif dan inovatif dalam
melatih sikap menghargai dan menjaga kelestarian lingkungan sekitar siswa.
Untuk mempelajari IPA dapat menggunakan berbagai model dan metode
pembelajaran agar pembelajaran IPA lebih bervariasi.
2.2 Model Pembelajaran
2.2.1 Model PembelajaranProblem Solving
Teori Piaget memandang bahwa proses berpikir anak sebagai aktivitas
gradual dari fungsi intelektual dari konkret menuju abstrak. Menurut Piaget,
pertumbuhan kapasitas mental memberikan kemampuan-kemapuan mental yang
sebelumnya tidak ada. Pertumbuhan intelektual adalah tidak kuantitatif,
melainkan kualitatif. Menurut Hergenhahn & Olson (2008) Jean Piaget
menjelaskan tahap-tahap perkembangan kognitif, yaitu sebagai berikut :
1. Tahapsensory – motor,yakni perkembangan ranah kognitif yang terjadi pada usia 0-2 tahun, Tahap ini diidentikkan dengan kegiatan motorik dan persepsi yang masih sederhana.
2. Tahappre – operational, yakni perkembangan ranah kognitif yang terjadi pada usia 2-7 tahun. Tahap ini diidentikkan dengan mulai digunakannya symbol atau bahasa tanda, dan telah dapat memperoleh pengetahuan berdasarkan pada kesan yang agak abstrak.
3. Tahapconcrete – operational, yang terjadi pada usia 7-11 tahun. Tahap ini dicirikan dengan anak sudah mulai menggunakan aturan-aturan yang jelas dan logis. Anak sudah tidak memusatkan diri pada karakteristik perseptual pasif.
4. Tahap formal – operational, yakni perkembangan ranah kognitif yang terjadi pada usia 11-15 tahun. Ciri pokok tahap yang terahir ini adalah anak sudah mampu berpikir abstrak dan logisdengan menggunakan pola pikir “kemungkinan”.
Piaget memandang proses adaptasi seseorang dengan lingkungannya
terjadi secara simultan melalui dua bentuk proses, asimilasi dan akomodasi.
Asimilasi terjadi jika pengetahuan baru yang diterima seseorang cocok dengan
struktur kognitif yang telah dimiliki seseorang tersebut. Sebaliknya, akomodasi
terjadi jika struktur kognitif yang telah dimiliki seseorang harus direkonstruksi /
dikode ulang disesuaikan dengan informasi yang baru diterima. Model
Sebagai metode pembelajaran, metode pembelajaran berbasis masalah sangat baik
bagi pembinaan sikap ilmiah pada siswa sesuai dengan tahap perkembangan
kognitif siswa. Dengan metode ini, para siswa belajar memecahkan suatu masalah
menurut prosedur kerja ilmiah.
W.Gulo (2004:111) menyatakan bahwa Problem Solving adalah metode yang mengajarkan penyelesaian masalah dengan memberikan penekanan pada
terselesaikannya suatu masalah secara menalar. Djamarah (2010 : 103)
mengatakan Model pembelajaran Problem Solving (metode pemecahan masalah) bukan hanya sekedar metode mengajar tetapi juga merupakan suatu metode
berfikir, sebab dalam Problem Solving dapat menggunakan metode lain yang dimulai dari mencari data sampai kepada menarik kesimpulan. Model
pembelajaran Problem Solving siswa dilatih untuk menalar suatu permasalahan yang akan dipecahkan. Yang dimulai dari mengumpulkan data , mengolah data,
menganalisis data sampai menarik kesimpulan. Menurut Suprijono (2013:46)
ialah pola yang digunakan sebagai pedoman dalam merencanakan pembelajaran di
kelas maupun tutorial.
Kesimpulan dari peneliti model pembelajaran Problem Solving adalah metode pembelajaran yang melatih siswa untuk berfikir atau menelaah dalam
menghadapi berbagai masalah individu maupun kelompok dan dapat mencari
pemecahan masalah atau solusi dari permasalahan itu sesuai dengan prosedur
ilmiah. Sumber yang dapat digunakan untuk membantu menyelesaikan masalah
dapat diambil dari buku dan pengalaman siswa dalam kehidupan sehari-hari.
Eggen dan Kauchak (dalam Said dkk, 2015:120) mengatakan
pembelajaran berbasis masalah memiliki tiga karakteristik sebagai berikut:
1. Pelajaran fokus pada masalah.
2. Tanggung jawab untuk memecahkan masalah bertumpu pada siswa.
Karakteristik pembelajaran berbasis masalah yaitu siswa harus mampu
mencari masalah dan menyelesaikan masalah dengan baik. Siswa harus bekerja
sama mencari solusi dari masalah yang diberikan guru. Guru hanya sebagai
fasilitator, membantu ketika siswa kurang memahami tentang masalah yang
dihadapi.
2.2.1.1 Langkah-langkah Model PembelajaranProblem Solving
Dalam pembelajaran dengan model Problem Solving terdapat beberapa tahapan atau langkah-langkah yang harus disiapkan mulai dari mempersiapkan
masalah sampai cara memecahkan masalah atau solusi dari masalah tersebut.
Djamarah (2010: 91-92) mengemukakan langkah-langkah penggunaan metode
Problem Solving, langkah pertama yaitu adanya masalah yang jelas untuk dipecahkan. Masalah ini harus tumbuh dari siswa sesuai dengan taraf
kemampuannya. Langkah yang kedua, mencari data atau keterangan yang dapat
digunakan untuk memecahkan masalah yang muncul. Misalnya dengan jalan
membaca buku-buku, meneliti, bertanya, dan berdiskusi. Langkah yang ketiga,
menetapkan jawaban sementara dari masalah tersebut. Dugaan jawaban tentu saja
didasarkan pada data yang telah diperoleh pada langkah kedua. Langkah yang
keempat, menguji kebenaran jawaban sementara tersebut sehingga batul-betul
yakin bahwa jawaban tersebut betul-betul cocok. Langkah yang terakhir yaitu
menarik kesimpulan. Artinya siswa harus sampai pada kesimpulan terakhir
tentang jawaban dari masalah tadi. Sedangan langkah-langkah memecahkan
masalah menurut John Dewey (dalam Djamarah, 2010:18) adalah merumuskan
dan menegaskan masalah, mencari fakta pendukung dan merumuskan hipotesis,
mengevaluasi alternatif pemecahan yang dikembangkan dan mengadakan
pengujian atau verifikasi. Wankat dan Oreovocz ( dalam Wena, 2012:57)
mengemukakan tahap-tahap strategi operasional dalam Problem Solving yaitu (1) saya mampu/bisa (I can): tahap membangkitkan motivasi dan membangun/menumbuhkan keyakinan diri siswa. (2) Mendefinisikan (Define): membuat daftar hal yang diketahui dan tidak diketahui, menggunakan gambar
merangsang siswa untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan membimbing
untuk menganalisis dimensi-dimensi permasalahan yang dihadapi. (4)
Merencanakan (Plan): mengembangkan cara berpikir logis siswa untuk menganalisis masalah dan menggunakan flochart untuk mengambarkan
permasalahan yang dihadapi. (5) Mengerjakan (Do it): membimbing siswa secara sistematis untuk memperkiraan jawaban yang mungkin untuk memecahkan
masalah. (6) Mengoreksi kembali (Check): membimbing siswa untuk mengecek kembali jawaban yang dibuat, mungkin ada beberapa kesalahan yang dilakukan.
(7) Generalisasi (Generalize): membimbing siswa untuk mengajukan pertanyaan. Solso (dalam Wena, 2012:56) mengatakan terdapat enam tahap dalam Problem Solving, yaitu identifikasi permasalahan, representasi permasalahan, perencanaan pemecahan, menerapkan/ mengimplementasikan perencanaan, menilai
perencanaan, dan menilai hasil pemecahan.
Peneliti menyimpulkan dari pendapat para ahli di atas bahwa langkah
pertama penggunaanProblem Solving yaitu dengan menumbuhkan keyakinan diri siswa dalam merumuskan masalah yang jelas untuk dipecahkan yang sesuai
dengan taraf kemampuannya. Langkah kedua yaitu membuat daftar pertanyaan
tentang hal yang tidak diketahui dan mencari data atau keterangan yang dapat
digunakan untuk memecahkan masalah yang muncul berdasarkan fakta
pendukung. Misalnya dengan jalan membaca buku-buku, meneliti, bertanya, dan
berdiskusi. Langkah ketiga, memberikan dugaan jawaban sementara dari masalah
tersebut. Dugaan jawaban tentu saja didasarkan pada data yang telah diperoleh
dan mengevaluasi jawaban utama. Selanjutnya memeriksa kembali dan menguji
kebenaran jawaban sementara tersebut sehingga yakin bahwa jawaban tersebut
benar-benar cocok. Langkah terakhir yaitu menarik kesimpulan setelah yakin
dengan hasil uji jawaban utama.
2.2.2 Model Pembelajaran Kooperatif
Salah satu model pembelajaran yang didasarkan pada pandangan
kontruktivisme adalah pembelajaran kooperatif. Pembelajaran kooperatif yang
Pelaksanaan model pembelajaran kooperatif dengan benar berdampak untuk
peserta didik dalam mengelola kelas menjadi lebih efektif. Menurut Lie (dalam
Wena, 2012:189) pembelajaran kooperatif adalah sistem pembelajaran yang
memberi kesempatan kepada siswa untuk bekerja sama dengan sesama siswa
dalam tugas-tugas yang terstruktur, dan dalam sistem ini guru bertindak sebagai
fasilitator. Abdurrahman dan Bintoro (dalam Wena, 2012:190) mengatakan
pembelajaran kooperatif adalah pembelajaran yang secara sadar dan sistematis
mengembangkan interaksi yangsilih asah, silih asih, dan silih asuh antar sesama siswa sebagai latihan hidup di dalam masyarakat nyata. Pembelajaran kooperatif
merupakan salah satu strategi belajar yang menekankan sikap kerja sama dalam
menyelesaikan suatu konsep. Sikap kerja sama ini sangat dibutuhkan karena setiap
individu dalam setiap kelompok harus dapat memahami setiap konsep yang
hendak diselesaikan. Menurut Lie (2002:12), mendefinisikan pembelajaran
kooperatif atau pembelajaran bergotong royong merupakan sistem pembelajaran
yang memberikan kesempatan pada siswa untuk bekerjasama sesamanya pada saat
mengerjakan tugas terstruktur. Menurut Roger, dkk dalam Huda (2011:29)
pembelajaran kooperatif merupakan aktivitas pembelajaran kelompok yang
diorganisir oleh satu prinsip bahwa pembelajaran harus didasarkan pada
perubahan informasi secara sosial di antara kelompok-kelompok belajar yang di
dalamnya setiap pembelajar bertanggung jawab atas pembelajarannya sendiri dan
didorong untuk meningkatkan pembelajaran anggota-anggota yang lain.
Pembelajaran kooperatif adalah kegiatan belajar mengajar siswa dibentuk
menjadi kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari 4-5 orang yang memiliki
kemampuan yang berbeda-beda, setiap anggotanya diharapkan dapat bekerjasama
dan bertanggung jawab atas tugasnya masing-masing sehingga materi yang
disampaikan guru dapat lebih dipahami oleh setiap individu. Setiap siswa harus
ikut terlibat aktif pada proses pembelajaran sehingga memberikan dampak
terhadap kualitas pembelajaran yang menimbulkan interaksi dan komunikasi antar
siswa sehingga dapat memotivasi siswa untuk lebih aktif sehingga tujuan belajar
Pembelajaran kooperatif bertujuan agar siswa mampu bekerjasama dengan
siswa yang lain yang berbeda dalam hal pengetahuan, kemampuan, keterampilan ,
ras dan kelas sosial. Dari perbedaan antar siswa, siswa belajar untuk saling
membantu jika ada salah satu siswa yang kurang paham dalam menyelesaikan
suatu konsep. Pada akhirnya dari kerja kelompok ini terjadi interaksi antar siswa
dalam bertukar pengalaman dan pengetahuan baru. Selain itu, siswa belajar untuk
lebih menghargai pendapat orang lain, memancing teman untuk bertanya dan
membantu teman saat mengalami kesulitan. Sehingga siswa menjadi lebih aktif
dan hasil akhir pada suatu pembelajaran akan meningkat. Namun terkadang
dengan dibentuknya kelompok kerja (team work) siswa kurang memperhatikan. Sehingga banyak model-model pembelajaran kooperatif yang dapat diterapkan
untuk meningkatkan kerjasama yang lebih efisien.
2.2.3 Metode PembelajaranNumbered Heads Together(NHT)
Metode Pembelajaran NHT mengacu pada teori Ausubel. Menurut
Ausubel dan Robinson ( dalam Slameto, 2010: 24) ada empat macam tipe belajar
: (1) Belajar menerima bermakna (meaningful receptioning learning), (2) Belajar menerima bermakna (meaningful receptioning learning), (3) Belajar penemuan bermakna (meaningful discovery learning) dan (4) Belajar penemuan yang tidak bermakna (discovery learning). Belajar menerima bermakna yaitu materi pelajaran yang tersusun secara logis disampaikan kepada siswa sampai bentuk
akhir, kemudian pengetahuan yang baru dikaitkan dengan pengetahuan yang dia
miliki.. Belajar menerima yang tidak bermakna adalah siswa berusaha menerima
dan menguasai bahan yang diberikan oleh guru atau yang dibaca tanpa makna.
Belajar penemuan bermakna adalah mengaitkan pengetahuan yang ia miliki
dengan pengetahuan yang sudah ada, sedangkan belajar penemuan yang tidak
bermakna adalah pelajaran yang ia temukan sendiri tanpa mengaitkan dengan
pengetahuan yang ada dan ia hanya menghafalkan. Ausubel menaruh perhatian
besar pada siswa di sekolah, dengan memperhatikan/memberikan tekanan-tekanan
learning). Menurut Ausubel supaya proses belajar siswa menghasilkan sesuatu yang bermakna, tidak harus siswa menemukan sendiri semuanya. Belajar
dikatakan menjadi bermakna (meaningful learning) bila informasi yang akan dipelajari peserta didik disusun sesuai dengan struktur kognitif yang dimiliki
peserta didik itu sehingga peserta didik itu mampu mengaitkan informasi barunya
dengan struktur kognitif yang dimilikinya. Belajar bermakna menurut Ausubel
adalah suatu proses belajar di mana peserta didik dapat menghubungkan informasi
baru dengan pengetahuan yang sudah dimilikinya dan agar pembelajaran
bermakna, diperlukan 2 hal yakni pilihan materi yang bermakna sesuai tingkat
pemahaman dan pengetahuan yang dimiliki siswa dan situasi belajar yang
bermakna yang dipengaruhi oleh motivasi (Dahar, 2011: 95) . Salah satu metode
yang dapat digunakan guru untuk memotivasi siswa yaitu metode Numbered Heads Together(NHT).
Menurut Trianto (2010:62), NHT (Numbered Heads Together) merupakan jenis metode pembelajaran kooperatif yang dirancang untuk mempengaruhi pola
interaksi siswa dan sebagai alternatif terhadap struktur kelas tradisional. Agus
Suprijono (2013:92) mengatakan NHT adalah pembelajaran yang diawali dengan
Numbering, dibagi menjadi kelompok-kelompok kecil mendiskusikan pertanyaan dari guru untuk menemukan jawaban sebagai pengetahuan yang utuh.
Pembelajaran kooperatif tipe NHT merupakan salah satu tipe
pembelajaran kooperatif yang menekankan pada struktur khusus yang dirancang
untuk mempengaruhi pola interaksi siswa dan memiliki tujuan untuk
meningkatkan penguasaan akademik. Pembelajaran NHT merupakan metode
pembelajaran yang lebih inovatif untuk menumbuhkan semangat belajar siswa
dengan membentuk suatu tim atau kelompok diskusi yang dibentuk oleh guru.
Guru memberikan nomor di kepala untuk memberikan tanda setiap kelompok.
Guru menunjuk siswa tanpa memberi tahu terlebih dahulu siapa yang akan
mewakili kelompok. Sehingga setiap siswa memiliki tanggung jawab didalam
2.2.3.1 Langkah-Langkah Metode Pembelajaran NHT
Menurut Trianto (2007:63) dalam mengajukan pertanyaan kepada seluruh
kelas, guru menggunakan empat fase sebagai sintaks dari NHT yaitu :
1) Fase 1 : Penomoran. Pada tahap ini guru membagi siswa ke dalam kelompok yang terdiri dari 3 sampai 5 orang dan kepada setiap anggota kelompok diberi nomor antara 1 sampai 5.
2) Fase 2 : Mengajukan pertanyaan. Guru mengajukan sebuah pertanyaan yang bervariasi kepada setiap siswa atau berbentuk arahan.
3) Fase 3 : Berpikir bersama. Siswa menyatukan semua jawaban dari pertanyaan dan meyakinkan setiap anggota dalam timnya terhadap pendapat jawabannya.
4) Fase 4 : Menjawab. Guru memanggil satu nomor tertentu, kemudian siswa yang nomornya sesuai mengacungkan tangannya dan mencoba menjawab pertanyaan.
Langkah-langkah metode pembelajaran kooperatif tipe Numbered Heads Together (NHT)dalam Lia LM dan Wahyudi (2013:11-24) adalah 1) Penomoran, 2) Mengajukan pertanyaan, 3) Berpikir bersama, 4) Menjawab Pertanyaan.
Peneliti menyimpulkan beberapa pendapat ahli di atas, langkah-langkah
dalam metodeNumbered Heads Together(NHT) sebagai berikut: 1) Penomoran
Guru membagi siswa menjadi kelompok-kelompok dengan anggota 3-5
siswa dan memberikan penomoran kepada setiap siswa.
2) Mengajukan Pertanyaan
Guru memberikan pertanyaan yang bervariasi kepada setiap siswa.
3) Berpikir Bersama
Semua siswa berpikir mencari jawaban kemudian menyatukan dan
yakin dengan jawaban masing.-masing siswa.
4) Menjawab Pertanyaan
Guru mengacak nomor tertentu, dan nomor yang terpilih menjawab
2.2.3.2 Kelebihan dan Kelemahan Metode Pembelajaran NHT
Metode pembelajaran kooperati tipe NHT (Numbered Heads Together)
mempunyai kelebihan dan kelemahan. Menurut Firdaus (2010:65) kelebihan dan
kelemahan metode pembelajaran kooperatif tipe NHT adalah sebagai berikut :
a. Kelebihan pembelajaran kooperatif metode NHT
1. Setiap siswa menjadi siap semua.
2. Dapat melakukan diskusi dengan sungguh-sungguh.
3. Siswa yang pandai dapat mengajari siswa yang kurang pandai.
b. Kelemahan pembelajaran kooperatif metode NHT
1. Kemungkinan nomor yang dipanggil, akan dipanggil lagi oleh
guru.
2. Tidak semua anggota kelompok dipanggil oleh guru.
Kelebihan NHT dalam pembelajaran yaitu menjadikan setiap siswa
menjadi lebih siap dan fokus terhadap pembelajaran karena setiap siswa akan
mendapat giliran untuk menjawab di depan kelas saat guru mengacak nomor,
sehingga semua siswa harus siap saat guru menyebutkan angka yang keluar.
Kelebihan yang lain adalah siswa akan berdiskusi dengan sungguh-sungguh
karena masing-masing siswa mempunyai tanggung jawab untuk menyelesaikan
soal yang diberikan guru dan harus mempresentasikannya di depan kelas.
Masing-masing anak akan mengeluarkan pendapatnya masing-masing dan akan
bekerja sama untuk mengambil keputusan terakhir untuk menjawab. Dalam
diskusi ini siswa yang pandai dapat membantu menjelaskan pertanyaan maupun
jawaban pada siswa yang kurang pandai.
NHT mempunyai kelemahan yaitu nomor siswa yang sudah dipanggil
kemungkinan akan dipanggil lagi jika pertanyaan masih sisa atau siswa yang
sudah dipanggil nomornya membantu temannya yang tidak bisa menjawab.
Untuk mengatasi hal ini, guru perlu menginstruksikan dengan jelas peraturan
menyiapkan soal sesuai dengan jumlah anggota dalam kelompok. Kelemahan
yang lain yaitu jika waktu pembelajaran tidak mencukupi, maka tidak semua
anggota kelompok dipanggil oleh guru. Guru perlu membatasi waktu untuk
membahas setiap pertanyaan, sehingga semua pertanyaan dapat terjawab dengan
tepat waktu dan setiap anggota kelompok dapat mempresentasikan hasil di depan
kelas.
2.2.4 Hubungan Antara Model Pembelajaran Problem Solving Dipadukan Metode Numbered Heads Together (NHT) dan Hasil Belajar Ilmu Pengetahuan Alam (IPA)
Model pembelajaran Problem Solving adalah metode pembelajaran yang melatih siswa untuk berpikir atau menelaah berbagai masalah individu maupun
kelompok dan dapat mencari pemecahan masalah atau solusi dari permasalahan
itu sesuai dengan prosedur ilmiah. Model Pembelajaran ini menuntut siswa untuk
berpikir kritis dalam menyelesaikan suatu permasalahan.
Metode pembelajaranNumbered Heads Together (NHT) adalah salah satu tipe pembelajaran kooperatif yang menekankan pada struktur khusus yang
dirancang untuk mempengaruhi pola interaksi siswa dan memiliki tujuan untuk
meningkatkan penguasaan akademik dengan memberi tanda nomor pada setiap
kelompok atau siswa. Metode ini merupakan suatu cara yang efektif untuk
melaksanakan pembelajaran yang mampu mampu membuat siswa untuk aktif
belajar. Dalam metode pembelajaran ini siswa dituntut aktif dan siap setiap saat
ketika ditunjuk oleh guru untuk menjawab sehingga tidak bergantung pada siswa
yang lainnya. Sehingga siswa harus mampu bertanggung jawab terhadap diri
sendiri dan siswa juga harus percaya diri dan yakin dalam menyelesaikan
masalah.
Penelitian ini akan memadukan kedua model pembelajaran kooperatif
meyenangkan. Adapun langkah-langkah perpaduan antara model Problem Solving
dengan NHT yaitu :
1. Menentukan kelompok secara heterogen dengan beranggotakan 3-5
siswa dan setiap siswa diberi tanda penomoran.
2. Memberikan pertanyaan berupa kasus atau masalah yang harus
dijawab oleh siswa.
3. Berdiskusi dan mencari referensi atau keterangan yang dapat
menunjang untuk mendapatkan jawaban.
4. Menetapkan jawaban sementara.
5. Menguji kebenaran jawaban.
6. Mengacak nomor, dan nomor yang bersangkutan mengangkat tangan
dan menjawab.
7. Menarik kesimpulan bersama-sama.
Model pembelajaran Problem Solving dapat dipadukan dengan NHT karena jika keduanya dipadukan akan menciptakan inovasi pembelajaran yang
lebih menekankan pada proses berpikir kritis pada anak secara berkelompok
sehingga antara siswa yang satu dengan yang lain mampu bekerja sama untuk
berpikir bersama untuk menyelesaikan suatu permasalahan. Tentunya dengan
kondisi dan suasana belajar yang menyenangkan dengan memakai alat peraga topi
bernomor sehingga memotivasi anak untuk berpartisipasi aktif dalam
pembelajaran, melatih percaya diri, dan bertanggung jawab. Perpaduan antara
model pembelajaran Problem Solving dan Numbered Heads Together (NHT) dalam proses pembelajaran khususnya pada mata pelajaran IPA, dapat melatih
siswa untuk menyelesaikan permasalahan IPA sesuai dengan prosedur ilmiah
sehingga mampu mengembangkan pengetahuan dan pengalaman siswa untuk
lebih aktif mempelajari alam sekitar siswa. Kondisi kelas yang menerapkan
perpaduan kedua model ini dapat menumbuhkan motivasi dan kesiapan siswa
dalam proses belajar mengajar. Dengan demikian, jika siswa terlibat aktif dan
mengikuti proses secara langsung maupun tidak langsung, pada evaluasi
2.3 Hasil Belajar
Hasil belajar merupakan bagian terpenting dalam pembelajaran. Nana
Sudjana (2009:3) mendefinisikan hasil belajar siswa pada hakikatnya adalah
perubahan tingkah laku sebagai hasil belajar dalam pengertian yang lebih luas
mencakup bidang kognitif, afektif, dan psikomotorik. Sudjana (2009:22)
mengemukakan bahwa hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan yang
dimiliki siswa setelah ia menerima pengalaman belajarnya.
Berdasarkan pengertian yang telah dikemukakan oleh para ahli di atas
dapat ditarik kesimpulan bahwa hasil belajar adalah kemampuan siswa yang
dipelajari dari pengalaman-pengalaman siswa dalam kegiatan belajar. Hasil
belajar tersebut dapat berupa angka-angka atau skor setelah diberikan tes oleh
guru. Hasil belajar yaitu suatu perubahan yang terjadi pada individu yang belajar,
bukan hanya perubahan mengenai pengetahuan, tetapi juga untuk membentuk
kecakapan, kebiasaan, pengertian, penguasaan, dan penghargaan dalam diri
seseorang yang belajar.
Benyamin S. Bloom (Anni, 2009:86) ada tiga ranah (domain) hasil belajar,
yaitu:
1. Ranah kognitif: berkenaan dengan hasil intelektual yang terdiri dari 6 aspek yaitu pengetahuan, pemahaman, penerapan, analisis, sistesis, dan penilaian.
2. Ranah afektif: berkenaan dengan sikap dan nilai. Ranah afektif meliputi lama jenjang kemampuan yaitu menerima, menjawab atau reaksi, menilai, organisasi dan karakteristik dengan suatu nilai atau kompleks nilai.
3. Ranah psikomotorik: meliputi keterampilan motorik, manipulasi benda-benda, koordinasineuromuscular(menghubungkan dan mengamati).
Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan belajar menurut Slameto
(2010:54) ada dua faktor yang mempengaruhi keberhasilan belajar, yaitu faktor
intern dan faktor ekstern.
1. Faktor Intern terdiri dari:
a. Faktor Jasmaniah antara lain, faktor kesehatan, dan cacat tubuh.
b. Faktor Psikologi yaitu, intelegensi, perhatian, minat, bakat, motivasi,
c. Faktor Kelelahan sanagat mempengaruhi hasil belajar, agar siswa dapat
belajar dengan baik haruslah menghindari jangan sampai terjadi kelelahan
dalam belajarnya.
2. Faktor Ekstern terdiri dari:
a. Faktor Keluarga, seperti cara orang tua mendidik, relasi antar anggota
keluarga, suasana rumah, keadaan ekonomi keluarga, pengertian orang tua,
dan latar belakang kebudayaan.
b. Faktor Sekolah, seperti metode mengajar, kurikulum, relasi guru dengan
siswa, relasi antar siswa, disiplin sekolah, alat pembelajaran, waktu
sekolah, standar pelajaran di atas ukuran, keadaan gedung sekolah, metode
belajar siswa, dan tugas rumah.
c. Faktor Masyarakat, seperti kegiatan siswa dalam masyarakat, media
massa, teman bergaul, dan bentuk kehidupan bermasyarakat.
Berdasarkan kesimpulan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa perubahan
tingkah laku yang diperoleh sebagai hasil dari belajar adalah sebagai berikut:
1. Perubahan yang terjadi secara sadar. Maksudnya adalah bahwa individu yang
menyadari dan merasakan telah terjadi adanya perubahan yang terjadi pada
dirinya.
2. Perubahan yang terjadi relatif lama. Perubahan yang terjadi akibat belajar atau
hasil belajar yang bersifat menetap atau permanen, maksudnya adalah bahwa
tingkah laku yang terjadi setelah belajar akan bersifat menetap.
3. Perubahan yang terjadi mencakup seluruh aspek tingkah laku. Perubahan yang
diperoleh individu dari hasil belajar adalah meliputi perubahan keseluruhan
tingkah laku baik dalam sikap kebiasaan, keterampilan dan pengetahuan.
2.3.1 Tipe Penilaian Hasil Belajar
Tujuan pendidikan yang ingin dicapai dapat dikategorikan menjadi tiga
bidang yakni: bidang kognitif (penguasaan intelektual), bidang afektif
(berhubungan dengan sikap dan nilai), serta bidang psikomotor
tapi merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan, bahkan membentuk
hubungan hirarki. Sebagai tujuan yang hendak dicapai, ketiganya harus Nampak
sebagai hasil belajar siswa di sekolah. Oleh sebab itu ketiga aspek tersebut, harus
dipandang sebagai hasil belajar siswa, dari peoses pengajaran. Hasil belajar
tersebut nampak dalam perubahan tingkah laku, secara teknik dirumuskan dalam
sebuah pernyataan verbal melalui tujuan pengajaran (tujuan instruksional).
Dengan kata lain tumusan tujuan pengajaran berisikan hasil belajar yang
diharapkan dikuasai siswa yang mencakup ketiga aspek tersebut.
a. Bidang Kognitif
Ranah kognitif adalah ranah yang mencakup kegiatan mental
(otak). Aspek kognitif berhubungan dengan kemempuan berfikir termasuk
di dalamnya kemampuan memahami, menghafal, mengaplikasi,
menganalisis, mensintesis dan kemampuan mengevaluasi. Cakupan yang
diukur dalam ranah kognitif adalah: Ingatan (C1), Pemahaman (C2),
Penerapan (C3), Analisis (C4), Sintesis (C5), dan Evaluasi (C6). Penilaian
ranah kognitif dapat dilakukan dengan memberikan tes pada siswa
sehingga guru dapat mengukur pemahaman siswa secara individu maupun
secara berkelompok.
b. Bidang Afektif
Ranah afektif adalah ranah yang berkaitan dengan sikap dan nilai.
Ranah afektif mencakup watak perilaku seperti perasaan, minat, sikap,
emosi, dan nilai. Ranah afektif dijabarkan menjadi lebih rinci lagi ke
dalam lima jenjang, yaitu: menerima (receiving), merespon (responding), menilai (valuing), organisasi (organization), dan karakterisasi dari nilai
atau kelompok nilai (characterization by value or calue complex). Secara teknis penilaian ranah afektif dilakukan melalui dua hal yaitu: a) laporan
diri oleh siswa melalui angket, b) pengamatan sistematis yang dilakukan
guru dengan mengisi lembar pengamatan.
Ranah psikomotor merupakan ranah yang berkaitan dengan
keterampilan (skill) atau kemampuan bertindak setelah seseorang
menerima pengalaman belajar tertentu. Ranah psikomotor adalah ranah
yang berhubungan dengan aktivitas fisik, misalnya lari, melompat,
melukis, menari, memukul, dan sebagainya. Hasil belajar keterampilan
(psikomotor) dapat diukur melalui: (1) pengamatan langsung dan penilaian
tingkah laku peserta didik selama proses pembelajaran praktik
berlangsung, (2) sesudah mengikuti pembelajaran, yaitu dengan jalan
memberikan tes kepada peserta didik untuk mengukur pengetahuan,
keterampilan, dan sikap, (3) beberapa waktu sesudah pembelajaran selesai
dan kelak dalam lingkungan kerjanya. Tes untuk mengukur ranah
psikomotor adalah tes untuk mengukur penampilan atau kinerja
(performance) yang telah dikuasai peserta didik. Tes tersebut dapat berupa tes paper and pencil, tes identifikasi, tes simulasi, dan tes unjuk kerja.Hasil belajar merupakan umpan balik dari kegiatan proses belajar
mengajar, hasil belajar adalah beberapa bentuk prinsip perpaduan pola
tingkah laku dan nilai-nilai ideal dalam arti fakta-fakta, kecakapan yang
dicapai dan keterampilan. Keberhasilan suatu kegiatan belajar dapat dilihat
dari hasil belajar setelah mengikuti usaha belajar. Hasil belajar merupakan
dasar yang digunakan untuk menentukan tingkat keberhasilan siswa dalan
menguasai suatu materi pelajaran. Menurut Djamarah (2010: 45), hasil
adalah prestasi dari suatu kegiatan yang telah dikerjakan, diciptakan, baik
secara individu maupun kelompok. Hasil tidak akan pernah diciptakan
selama orang tidak melakukan sesuatu. Dimyati dan Mudjiono (2009:3)
mengemukakan hasil belajar adalah hasil dari suatu interaksi tindak belajar
dan mengajar . Oleh guru tindakan mengajar diakhiri dengan proses
evaluasi hasil belajar, dan hasil belajar merupakan puncak proses belajar
oleh siswa.
Berdasarkan pengertian yang telah dikemukakan oleh para ahli di atas
siswa setelah mendapat atau melakukan kegiatan belajar. Hasil belajar tersebut
dapat berupa angka-angka atau skor setelah diberikan tes oleh guru. Hasil belajar
yaitu suatu perubahan yang terjadi pada individu yang belajar, bukan hanya
perubahan mengenai pengetahuan, tetapi juga untuk membentuk kecakapan,
kebiasaan, pengertian, penguasaan, dan penghargaan dalam diri seseorang yang
belajar. Pada ranah psikomotor berhubungan dengan hasil belajar yang
pencapaiannya melalui keterampilan manipulasi yang melibatkan otot dan
kekuatan fisik. Ranah psikomotor adalah ranah yang berhubungan aktivitas fisik,
misalnya menulis, memukul, melompat dan lain sebagainya. Ranah kognitif
berhubungan erat dengan kemampuan berfikir, termasuk di dalamnya kemampuan
menghafal, rnemahami, mengaplikasi, menganalisis, mensintesis dan kemampuan
mengevaluasi. Sedangkan ranah afektif mencakup watak perilaku seperti sikap,
minat, konsep diri, nilai dan moral. Hasil belajar dapat diketahui dengan
melakukan evaluasi dan tes. Evaluasi pendidikan adalah kegiatan engendalian,
penjamin, dan penetapan mutu pendidikan terhadap berbagai komponen
pendidikan pada setiap jalur, jenjang dan jenis pendidikan sebagai bentuk
pertanggungjawaban penyelenggara pendidikan (UU No 22 Tahun 2003,
Sisdiknas). Seseorang dapat dikatakan berhasil dalam belajar apabila telah terjadi
perubahan tingkah laku dalam dirinya.
Menurut Djamarah (2010:96) indikator dari proses belajar mengajar itu
dianggap berhasil adalah:
1. Daya serap terhadap bahan pelajaran yang diajarakan mencapai prestasi
tinggi, baik secara individual maupun kelompok.
2. Prilaku yang digariskan dalam Tujuan Belajar Khusus (TPK) telah
dicapai oleh anak didik baik secara individual maupun kelompok
Dalam hal ini Djamarah juga menjelaskan beberapa tingkat keberhasilan
dari suatu proses belajar mengajar yaitu:
2. Baik sekali (optimal). Apabila sebagian besar (76%-94%) bahan pelajaran dikuasai anak didik.
3. Baik (minimal). Apabila bahan pelajaran dikuasai anak didik hanya 66%-75%
4. Kurang. Apabila bahan pelajaran dikuasai anak didik kurang dari 65%.
Kriteria penilaian hasil belajar ranah kognitif, afektif, dan psikomotor:
10,0 : istimewa
7,6-9,9 : baik sekali
6,6-7,5 : baik
0-6,5 : kurang
2.4 Kajian Hasil Penelitian yang Relevan
Penelitian ini tidak terlepas dari penelitian-penelitian terkini yang relevan
dilaksanakan saat ini. Penelitian yang dilakukan oleh Putu Menaka Dewi tahun
2016 dengan judul Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Numbered
Head Together (NHT) Untuk Meningkatkan Hasil Belajar IPA Siswa Kelas IV
Semester I SD No 5 Selat Kecamatan Sukasada Kabupaten Buleleng Tahun
Pelajaran 2015/2016. Jenis Penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas yang
dilaksanakan dalam dua siklus terdiri atas tahap perencanaan, tahap pelaksanaan
tindakan, tahap observasi/evaluasi, tahap refleksi. Subjek penelitian adalah siswa
kelas IV semester I Tahun pelajaran 2015/2016, yang berjumlah 20 orang. Objek
penelitian adalah Hasil belajar IPA dan Penerapan Model NHT. Metode
pengumpulan data yang digunakan adalah tes isian. Data dalam penelitian ini
dianalisis dengan analisis deskriptif kuantitatif. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa dengan Penerapan Model pembelajaran NHT dapat meningkatkan hasil
belajar IPA pada siswa kelas IV semester I SD No 5 Selat Kecamatan Sukasada,
Kabupaten Buleleng. Hasil belajar pada siklus I menunjukkan 66,75% dengan
rata-rata nilai hasil belajar siswa meningkat menjadi 88,25% dengan tingkat hasil
belajar berada pada kategori tinggi. Berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat
disimpulkan bahwa penerapan model pembelajaran NHT dapat meningkatkan
hasil belajar IPA pada siswa kelas IV semester I SD No 5 Selat Kecamatan
Sukasada, Kabupaten Buleleng Tahun Pelajaran 2015/2016.
Penelitian yang dilakukan oleh Florianus Yorisno pada tahun 2013 dengan
judul Upaya Peningkatan Hasil Belajar IPA dengan Menggunakan Model
Pembelajaran Kooperatif Tipe NHT (Numbered Heads Together) Siswa Kelas 4
SDN Randuacir 02 Salatiga Semester 2 Tahun Pelajaran 2012/2013. Tujuan
penelitian ini adalah untuk meningkatkan hasil belajar siswa dengan
menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe NHT (Numbered Head
together) pada mata pelajaran IPA. Penelitian dilaksanakan selama 2 bulan yaitu
bulan April sampai dengan bulan Mei 2013. Subjek penelitian ini adalah siswa
kelas 4 SD Negeri Randuacir 02, Kecamatan Argomulyo, Kota Salatiga pada
semester 2 Tahun Pelajaran 2012/2013, dengan jumlah siswa 28 orang yang
terdiri dari 16 siswa laki-laki dan 12 siswa perempuan. Penelitian ini berhasil jika
85% siswa tuntas dengan hasil belajar diatas KKM. Penelitian tindakan kelas ini
terdiri dari dua siklus, masing-masing siklus terdiri dari empat tahap yaitu:
Perencanaan, Pelaksanaan, Pengamatan dan Refleksi. Pelaksanaan penelitian
melibatkan guru kelas sebagai pengamat. Sumber data yang diperoleh melalui
teknik tes dan observasi. Analisis data yang dilakukan dengan melihat
peningkatan hasil belajar prasiklus, siklus 1 dan siklus 2. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe NHT dapat
meningkatkan hasil belajar siswa yaitu nilai rata-rata kelas pada prasiklus 61
dengan ketuntasan belajar 64%, pada siklus 1 nilai ratarata kelas menjadi 75
dengan ketuntasan belajar 82%, kemudian pada siklus 2 nilai rata-rata kelas
menjadi 83 dengan ketuntasan belajar 100% tuntas. Dengan demikian hipotesis
yang diajukan peneliti dapat dibuktikan kebenarannya, dengan penggunaan model
pembelajaran kooperatif tipe NHT dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Saran
dari penulis adalah model pembelajaran kooperatif tipe NHT (Numbered Heads
kelas, karena dengan menggunakan model pembelajaran NHT (Numbered Heads
Together) dalam proses belajar mengajar dapat meningkatkan hasil belajar siswa.
Penelitian yang dilakukan oleh Merry Sonya pada tahun 2013 dengan
judul Upaya Peningkatan Minat dan Hasil Belajar IPA Melalui Penerapan
Numbered Heads Together (NHT) pada Siswa Kelas IV SDN Asinan 02
Kecamatan Bawen Semester II Tahun 2013/2014. Hasil penelitian
mengungkapkan bahwa upaya peningkatan minat dan hasil belajar IPA
menggunakan pembelajaran Numbered Heads Together pada siswa kelas IV SDN
Asinan 02 Kecamatan Bawen Semester 2 Tahun 2013/2014 berhasil. Hal ini
dibuktikan dengan hasil analisis yang menyatakan bahwa sebelum tindakan, siswa
yang tuntas belajar adalah2 (16,67%) dari 12 siswa. Pada siklus I, siswa yang
tuntas menjadi 8 (66,67%). Pada siklus II, ketuntasan belajar siswa menjadi 12
(100%). Selain itu ada peningkatan minat belajar siswa. Pada siklus I minat
belajar siswa dalam mengikuti pembelajaran Numbered Heads Together berada
pada kategori sedang (83,75%). Pada siklus II, minat belajar siswa dalam
mengikuti pembelajaran NHT berada pada kategori tinggi (93,1%). Sekolah dan
guru disarankan menggunakan pembelajaran Numbered Heads Together / NHT
dalam pembelajaran, tidak hanya dalam mata pelajaran IPA saja. Siswa
disarankan saling bekerjasama, berbagi pengetahuan dan saling memahami
karakteristik yang berbeda.
Penelitian yang dilakukan oleh Dwinta Sri Wahyuni pada tahun 2016 dengan
judul Peningkatan Hasil Belajar Siswa Dengan Menggunakan Model Pembelajaran
Problem Solving Pada Mata Pelajaran IPA Di Kelas IV SD Negeri Bandar Setia T.A
2015/2016. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui terjadinya peningkatan
hasil belajar siswa pada mata pelajaran IPA dengan menggunakan model pembelajaran
Problem Solving di kelas IV SD Negeri Bandar Setia. Penelitian ini adalah penelitian
tindakan kelas (PTK). Subjek dalam penelitian ini siswa kelas IV SD Negeri 101765
Bandar Setia Tahun Ajaran 2015/2016 sebanyak 1 kelas yaitu 31 orang siswa yang terdiri
dari 15 orang siswa laki-laki dan 16 orang siswa perempuan. Pelaksanaan tindakan
dilakukan selama 2 siklus, dimana setiap siklus dilakukan dua kali pertemuan. Jadi, dalam
2 siklus ada 4 kali pertemuan. Dalam setiap siklus dilakukan 4 tahap yaitu Perencanaan,
hasil tes dan lembar observasi. Dari temuan hasil Pre Test (test awal) yang berjumlah 31
siswa, siswa masih memiliki tingkat ketuntasan di bawah 65 (<65), siswa yang tuntas
hasil belajarnya yaitu sebanyak 8 orang siswa dengan persentase 25,80% dan 23 orang
siswa yang belum tuntas dengan persentase 74,20%, rata-rata kelas 47,09, sehingga baik
secara individu maupun secara klasikal kemampuan awal (Pre Test) siswa masih
tergolong belum tuntas. Dari perolehan hasil pretest tersebut, peneliti menindak lanjuti
dan melanjutkan ke Post Test siklus I. Pada siklus I terdapat 20 orang siswa yang telah
tuntas dengan persentase 64,52% dan 11 orang siswa yang belum tuntas dengan
persentase 35,48%, rata-rata kelas 69,51. Maka dapat diketahui bahwa kemampuan siswa
dalam memahami materi energi panas dan sifatnya berdasarkan tingkat keberhasilan
secara klasikal masih tergolong belum berhasil. Peneliti melanjutkan ke Post Test siklus
II, pada siklus II sebanyak 29 orang siswa yang telah tuntas dalam belajar dengan
persentase 93,55% dan terdapat 2 orang siswa yang belum tuntas dalam belajar dengan
persentase 6,45% dengan nilai rata-rata kelas 80,97. Dari hasil observasi pada
pembelajaran guru (Peneliti) menggunakan model pembelajaran Problem Solving di kelas
IV pada masing-masing pertemuan siklus I mendapatkan nilai 63,46 dengan kategori
kurang baik, maka guru melakukan refleksi dan pada masing-masing pertemuan siklus II
hasil observasi pada pembelajaran guru dalam penggunaan model pembelajaran Problem
Solving terjadi peningkatan menjadi 88,46 dengan kategori baik. Adapun hasil observasi
pada kegiatan siswa dari aspek afektif dan psikomotor pada masing-masing pertemuan
Siklus I mendapatkan nilai rata-rata kelas 70,40 dengan kategori cukup baik, kemudian
setelah dilakukan refleksi pada masing-masing pertemuan siklus II terjadi peningkatan
nilai rata-rata kelas dari aspek afektif dan psikomotor menjadi 80,24 dengan kategori
baik. Dari hasil yang diperoleh maka dapat disimpulkan bahwa dengan
menggunakan model pembelajaran Problem Solving dapat meningkatkan hasil
belajar siswa pada mata pelajaran IPA materi pokok Energi Panas dan Sifatnya di
kelas IV SD Negeri 101765 BandarSetia Tahun Ajaran 2015/2016.
Penelitian yang dilakukan oleh Aprina Ninda Savitri pada tahun 2014
dengan judul Peningkatan Keaktifan dan Hasil Belajar IPA Melalui Penerapan
Metode Problem Solving untuk Siswa Kelas 4 Sekolah Dasar Negeri Candirejo 01
Desa Candirejo Kecamatan Tuntang Tahun Ajaran 2013-2014. Tujuan penelitian
ini adalah untuk meningkatkan keaktifan dan hasil belajar IPA melalui penerapan
solving dalam meningkatkan keaktifan dan hasil belajar IPA siswa kelas 4 SD
Negeri Candirejo 01. Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas
menggunakan model Kemmis dan Mc Taggart dengan menggambarkan adanya
empat langkah pada setiap siklus yang meliputi perencanaan, implementasi
tindakan, observasi dan interpretasi, serta analisis dan refleksi. Siklus I dan siklus
II masing –masing terdiri dari 3 pertemuan. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif kuantitatif untuk menganalisis hasil
belajar berupa nilai tes dan data hasil observasi yang terdiri dari data observasi
terhadap aktivitas guru, dan keaktifan belajar siswa. Kemudian peneliti melakukan
teknik analisis deskriptif komparatif yakni dengan membandingkan data yang
diperoleh selama prasiklus, siklus I, dan siklus II. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa penerapan metode problem solving dapat meningkatkan keaktifan dan hasil
belajar IPA siswa kelas 4 SD Negeri Candirejo 01 yang ditunjukkan dengan
peningkatan keaktifan dan hasil belajar IPA dari kondisi prasiklus, siklus I, dan
siklus II. Peningkatan persentase keaktifan siswa pada siklus I pertemuan pertama
dengan persentase 68,3%. Kemudian meningkat pada siklus I pertemuan kedua
meningkat persentase 76,7%. Setelah itu, pada siklus II pertemuan pertama
dengan pencapaian persentase 81,7% dan meningkat pada siklus II pertemuan
kedua persentase mencapai 91,7%. Peningkatan hasil belajar pada prasiklus yang
semula jumlah siswa yang mencapai KKM sebanyak 30 siswa dengan persentase
78,9% dan memperoleh rata–rata 72,8. Pada siklus I meningkatan dengan jumlah siswa yang mencapai KKM sebanyak 33 siswa dengan persentase 86,8% dan
memperoleh rata –rata 74,3. Pada siklus II terjadi peningkatan dari siklus I yaitu jumlah siswa yang mencapai KKM sebanyak 35 siswa dengan persentase 92,1%
dan memperoleh rata – rata 83,1.berdasarkan persentase keaktifan dan hasil belajar tiap siklus diatas, maka dapat disimpulkan bahwa dengan menerapkan
metode pembelajaran Problem Solving pada pelajaran IPA kelas 4 di SD Negeri
Candirejo 01 dapat meningkatkan keaktifan dan hasil belajar peserta didik.
Penelitian yang dilakukan oleh Lipina pada tahun 2013 dengan judul
Upaya Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Dalam Mata Pelajaran IPA
dikelas 5 SDN Randusari Boyolali Semester 2 Tahun Ajaran 2012/2013.
Penelitian ini mengacu dari fakta bahwa siswakelas 5 SDN Randusari Boyolali
hasil belajar mata pelajaran IPA rendah.Penyebab hal ini adalah guru cenderung
menggunakan metode mengajar dengan berceramah saja.Pengujian hasil belajar
siswa menunjukkan bahwa hanya 12 siswa yang memenuhi KKM dan 8 siswa
lainya tidak memenuhi KKM. Berdasarkan pada kenyataan ini, penelitian ini
menawarkan model pembelajaran yang berbeda yaitu problem solving
(pemecahan masalah). Rumusan masalah dalam penelitian tindakan kelas ini
adalah “apakah pembelajaran dengan menggunakan model problem solving
(pemecahan masalah) dapat meningkatkan hasil belajar siswa pada mata pelajaran
IPA sesuai dengan standar kompentensi bagi siswa kelas 5 SDN Randusari
Boyolali?”, “bagaimanakah penerapan model pembelajaran problem solving
(pemecahan masalah) dapat meningkatkan hasil belajar siswa pada mata pelajaran
IPA bagisiswa kelas 5 SDN Randusari Boyolali?”. Dengan tujuan penelitian yaitu “meningkatkan hasil belajar siswa dalam mata pelajaran IPA bagi siswa kelas 5 SDN Randusari Boyolali”, “mengetahui penerapan model pembelajaran problem
solving(pemecahan masalah) dalam meningkatkan hasil belajar IPA siswa kelas 5
SDN Randusari Boyolali”. Penelitian inidilaksanakan dari bulan Januari 2013 sampai Mei 2013 di SDN Randusari Boyolali pada siswa kelas 5 sebagai subjek
penelitian. Pendekatan yang digunakan ialah metode penelitian tindakan kelas
(PTK), berlangsung 2 siklus setiap siklusnya melalui tahap perencanaan,
pelaksanaan, pengamatan dan refleksi.Metode pengumpulan data dilakukan
dengan metode dokumentasi, metode observasi, dan metode tes.Metode analisis
data penelitian menggunakan analisis kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa pembelajaran dengan melalui model pembelajaran problem
solving(pemecahan masalah) dapat meningkatkan hasil belajar IPA siswa kelas 5
SDN Randusari Boyolali. Terbukti dengan perolehan nilai hasil belajar dilihat dari
pra siklus yaitu rata-rata kelas 66, 2pada siklus 1 meningkat menjadi 72, 05 dan
siklus 2, meningkat menjadi 76,35. Dan peningkatan pembelajaran menggunakan
model problem solvingdilihat dari lembar observasi guru pada siklus 1 perolehan
81 atau 94,47% dengan kriteria baik. Disimpulkan bahwa melalui penerapan
model pembelajaran problem solving (pemecahan masalah), dapat meningkatkan
hasil belajar IPA siswa kelas 5 SDN Randusari Boyolali. Maka, penerapan model
ini perlu dikembangkan sebagai variasi dalam model pembelajaran IPA. Dengan
hasil ini maka disarankan untuk guru dapat menggunakan model pembelajaran
problem solving(pemecahan masalah) untuk meningkatkan hasil belajar IPA
siswa. Model pembelajaran problem solving (pemecahan masalah) dapat
diterapkan pada mata pelajaran lain, tentu dengan harapan yang sama bahwa ini
demi meningkatkan hasil belajar siswa pada mata pelajaran yang diajarkan.
Beberapa penelitian yang diuraikan di atas menjelaskan bahwa model
pembelajaranProblem Solvingyang digunakan peneliti-peneliti terdahulu terbukti dapat meningkatkan hasil belajar siswa pada mata pelajaran IPA. Selain
menggunakan model pembelajaran Problem Solving peneliti juga menggunakan metode Numbered Heads Together (NHT). Metode ini juga terbukti dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Pembelajaran akan lebih menyenangkan dengan
permainan kepala bernomor dalam memecahkan suatu permasalahan. Sehingga
peneliti akan memadukan model pembelajaran Problem Solving dan metode
Numbered Heads Together (NHT) agar siswa berpartisipasi aktif dalam pembelajaran, sehingga diharapkan hasil belajar siswa dapat meningkat dari
sebelumnya. Peneliti akan menerapkan model pembelajaran yang lebih inovatif
dan belum pernah diterapkan sebelumnya, yaitu dengan menggabungkan kedua
metode pembelajaran yaitu Problem Solving dan NHT yang sudah terbukti
mampu meningkatkan hasil belajar siswa serta mengembangkan metode
2.5 Kerangka Pikir
Berdasarkan kajian teori yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa
penerapan model pembelajaran Problem Solving yang dipadukan dengan metode
Numbered Heads Together(NHT) dapat meningkatkan hasil belajar siswa.
Penggunaan model pembelajaranProblem Solvingyang dipadukan dengan metodeNumbered Heads Together(NHT) pada mata pelajaran IPA untuk kelas V diharapkan siswa mampu meningkatkan hasil belajar yang awalnya rendah akan
menjadi tinggi. Dengan penggunaan model pembelajaran yang baru siswa juga
diharapkan lebih termotivasi lagi untuk belajar lebih giat sehingga mendapatkan
nilai yang memuaskan.
Model pembelajaran Problem Solving yang dipadukan dengan metode
Numbered Heads Together (NHT) ini diharapkan mampu membantu siswa untuk berpikir kritis, bertanggung jawab, serta bekerjasama dalam kelompok dalam
menyelesaikan tugas masing-masing. Siswa belajar untuk bekerjasama dengan
baik antar siswa yang ada di kelas. Adanya model pembelajaran yang baru ini
siswa juga dapat mengeksplor materi yang ada untuk dipelajari bersama-sama
Gambar 2.1
Bagan Kerangka Pikir Penelitian Perpaduan Metode NHT denganProblem Solving
Hasil Belajar IPA meningkat
Kognitif : Nilai IPA siswa mencapai KKM.
Afektif : Siswa menjadi lebih aktif, berani, jujur, disiplin, bertanggung jawab, cermat, teliti, dan mau bekerja sama.
2.6 Hipotesis Tindakan
Diduga model pembelajaran Problem Solving yang dipadukan dengan metode Numbered Heads Together (NHT) dapat meningkatkan hasil belajar IPA