• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mencuatnya Isu The Comfort Women di Indo

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Mencuatnya Isu The Comfort Women di Indo"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

MENCUATNYA ISU “THE COMFORT WOMEN”

DI INDONESIA PADA TAHUN 1993 BESERTA JUSTIFIKASINYA

DARI SEGI HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL

1. Pendahuluan

1.1 Latar Belakang Masalah

Seiring meluasnya ekspansi militer Jepang pada masa Perang Dunia II antara tahun 1942-1945, mereka menerapkan kebijakan rumah bordil militer. Kebijakan ini berkembang dari dalam Jepang sendiri hingga ke negara koloni termasuk Indonesia. Selain untuk memberikan izin istirahat bagi tentara militer Jepang, alasan pemerintah Jepang dalam mendirikan rumah bordil militer yakni agar loyalitas tentara Jepang meningkat dan juga dengan dalih bahwa akan lebih mudah bagi mereka untuk mengatur penyebaran penyakit kelamin yang menjangkiti para tentara tersebut. Hal ini dibenarkan oleh seorang ahli sejarawan bernama Yoshiaki Yoshimi, "The Japanese Imperial Army feared most that the simmering discontentment of the soldiers could explode into a riot and revolt. That is why it provided women." 1

Pada tahap awal perang, pemerintah Jepang melakukan proses perekrutan wanita penghibur melalui cara-cara yang konvensional. Mereka membuat iklan yang menawarkan pekerjaan tersebut di koran-koran. Banyak wanita dibohongi dan ditipu untuk bergabung ke rumah bordil militer bahkan ada pula yang diculik. Menurut kesaksian para korban kebijakan wanita penghibur yang masih hidup, mereka menggambarkan rumah bordil Jepang sebagai tempat yang mengerikan. Wanita dibagi menjadi tiga atau empat kategori, tergantung pada lamanya pelayanan. Wanita yang paling baru datang dan memiliki kemungkinan kecil mengidap penyakit kelamin ditempatkan di kategori tertinggi. Namun dengan seiring berjalannya waktu, para wanita penghibur yang tadinya berada di kategori tertinggi kemudian diturunkan kategorinya karena mereka memiliki kemungkinan besar mengidap penyakit kelamin. Ketika mereka dianggap telah terjangkit penyakit

Korean Times, 2007, Comfort Women Used to Prevent Military Revolt During War. Diakses dari http://

1

www.koreatimes.co.kr/www/news/nation/2015/10/117_14697.html pada tanggal 5 November 2015.

(2)

kelamin secara serius, nasib mereka diabaikan. Banyak wanita melaporkan uterus mereka membusuk oleh penyakit yang diperoleh dari ribuan lelaki dalam kurun waktu beberapa tahun. 2

Lebih parahnya lagi, ketika posisi Jepang mengalami kemunduran, perlahan mereka pun meninggalkan daerah jajahannya lalu wanita penghibur ditinggalkan. Mereka mati kelaparan di pulau-pulau yang berjarak ribuan mil dari rumah mereka dan hanya beberapa saja yang dapat kembali ke tempat asalnya. Tindakan semena-mena pemerintah Jepang tersebut tentu saja dapat dikategorikan sebagai kejahatan perang dan pelanggaran HAM berat. Oleh sebab itu, makalah ini akan menganalisa lebih dalam bagaimana hal tersebut akhirnya dilabelkan pada pemerintah Jepang dan berakhir dengan penuntutan di meja pengadilan Internasional setelah para mantan Comfort Women memberanikan diri untuk membuka suara di hadapan dunia internasional dengan dibantu oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang berkecimpung di bidang pembelaan Hak Asasi Perempuan.

1.2 Rumusan Masalah

“Bagaimana justifikasi kejahatan perang Jepang berkaitan dengan kebijakan militernya pada masa Perang Dunia II tentang pengadaan wanita penghibur atau The Comfort Women di negara koloni seperti Indonesia jika dilihat dari Hukum Humaniter Internasional yang berlaku dan apa penyebab mencuatnya isu kebijakan militer Jepang The Comfort Women pada tahun 1993 setelah bungkamnya para korban?”

1.3 Argumen

Kebijakan militer Pemerintah Jepang pada masa kependudukannya di Indonesia antara tahun 1942 sampai dengan tahun 1945 tentang pengadaan wanita penghibur bagi para tentara militer Jepang merupakan suatu bentuk kejahatan perang. Peristiwa kelam tersebut jelas melanggar Hak Asasi Manusia dan tidak sesuai dengan Hukum Humaniter Internasional. Para korban dari kebijakan The Comfort Women yang bungkam satu per satu mulai berani mengeluarkan suara mereka atas penyiksaan seksual yang mereka alami selama masa kependudukan Jepang. Mencuatnya kembali isu ini setelah tahun 1995 ditengarai adanya kesadaran masyarakat Internasional akan Hukum HAM dan menjamurnya Lembaga Swadaya Masyarakat pada masa itu.

Adelstein, Jake, 2014, The Uncomfortable Truth about Comfort Women. Diakses dari http://

2

www.japantimes.co.jp/news/2014/11/01/national/media-national/uncomfortable-truth-comfort-women/ #.VjtynLfhCUl pada tanggal 5 November 2015.

(3)

2. Landasan Teori

Berikut ini adalah landasan teori yang penulis gunakan untuk menganalisa bagaimana sistem “The Comfort Women” dalam kebijakan militer Jepang pada masa Perang Dunia II kemudian dapat dijustifikasi ke dalam salah satu pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat serta merupakan kejahatan perang yang berlandaskan pada jender.

2.1 Hubungan antara Hukum Humaniter Internasional dengan Hak Asasi Manusia

Tujuan Hukum Humaniter Internasional dan Hak Asasi Manusia adalah bersama-sama memberikan perlindungan kepada manusia. Hukum Humaniter Internasional diterapkan saat konflik bersenjata atau perang terjadi sedangkan Hak Asasi Manusia diterapkan setiap saat dalam segala aspek kehidupan manusia. Secara singkat dapat dikatakan bahwa Hukum Humaniter Internasional diciptakan khusus untuk melindungi dan memelihara hak asasi korban konflik bersenjata atau perang, baik kombatan maupun non-kombatan. Di sisi lain, Hak Asasi Manusia melindungi hak-hak manusia dengan tujuan agar manusia dapat hidup dengan harmonis dan damai sepanjang masa.

2.2 Teori Mengenai Kejahatan Perang Berbasis Jender

Pasca Perang Dunia II, pihak yang kalah perang harus mempertanggungjawabkan perbuatan atas dampak dari penghancuran, pembunuhan, dan segala bentuk tindakan perang mereka pada negara-negara jajahan. Pertanggungjawaban ini difasilitasi oleh dua buah pengadilan ad-hoc yang berbentuk tribunal pada tahun 1946 yang bernama International Military Tribunal for the Far East

dan International Military Tribunal for the Europe. Kemudian melalui pengadilan inilah, dicetuskan sebuah istilah ‘Kejahatan Perang’ atau War Crimes. Hai ini dicantumkan dalam Pasal 6 huruf (b)

Charter of The International Military Tribunal:

War Crimes: namely, violations of the laws on customs of war. Such violations shall include but not be limited to, murder, ill-treatment or deportation to slave labor or for any other purpose of civillian population of or in occupied territory, murder or ill-treatment or prisoners of war of persons on the season killing of hostages, plunder of public on private property, want on destruction of cities, towns or villages, or devastation not justified by military necessity. 3

Dalam hukum internasional, kejahatan perang diklasifikasikan sebagai bagian kejahatan berat atau grave breaches yang dicantumkan dalam Statuta Roma International Criminal Court.

The Trial of German Major War Criminals, 1946, Proceedings of the International Military Tribunal sitting 3

at Nuremberg, Germany, Part 22 (22nd August ,1946 to 1st October, 1946), p. 16. Diakses dari http:// crimeofaggression.info/documents/6/1946_Nuremberg_Judgement.pdf pada tanggal 27 November 2015.

(4)

Ada empat kejahatan berat yang didefenisikan dalam Statuta Roma International Criminal Court

ini, yakni: genosida atau genocide, kejahatan terhadap kemanusiaan atau crimes against humanity,

kejahatan perang atau war crimes, dan kejahatan agresi atau the crime of agression. Dapat dikatakan bahwa Statuta Roma 1998 merupakan salah satu instrumen pembangun Hukum Humaniter Internasional. Menurut Statuta Roma 1998, beberapa tindakan seperti pemerkosaan, perbudakan seks, pemaksaan prostitusi, pemaksaan kehamilan dan bentuk-bentuk kekerasan seks lainnya dapat dikategorikan ke dalam kejahatan perang berbasis jender yang secara spesifik diatur dalam pasal 7 dan pasal 8. Pasal 7 mengatur tentang apa-apa saja yang dikategorikan sebagai kejahatan kemanusiaan atau crimes against humanity sedangkan Pasal 8 mengatur tentang definisi-definisi yang dimasukkan ke dalam daftar kejahatan perang atau war crimes. 4

Di dalam Statuta Roma juga dicantumkan secara eksplisit bahwa kejahatan yang berupa serangan seksual sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang. Beberapa tindakan yang dapat dimasukkan dalam dua kategori ini adalah: perkosaan, perbudakan seksual, prostitusi yang dipaksakan, kehamilan yang dipaksakan, sterilisasi yang dipaksakan, atau bentuk lain dari kekerasan seksual yang memiliki bobot yang setara atau disebut dengan equal gravity. 5

Di dalam perkembangannya di zaman modern ini, kejahatan perang juga diartikan sebagai suatu kejahatan yang dilakukan berdasarkan suatu target tertentu yang telah ditetapkan dalam suatu rencana (plan) atau kebijakan (policy), atau yang dilakukan sebagai bagian dari pelaksanaan suatu kegiatan berskala besar yang telah ditetapkan terlebih dahulu. Artinya, kejahatan tersebut memang dipersiapkan secara sistematis dengan fasilitas penunjang. Denis J dalam 6 Canada’s Crimes against Humanity and War Crimes Act on Trial menambahkan kekerasan seksual yang dilakukan pada masa konflik bersenjata adalah bagian dari kejahatan perang melalui pengertian sebagai berikut:

A‘serious bodily or mental harm’ which, he states, can be caused by ‘physical or mental torture; inhumane or degrading treatment; rape; sexual violence; persecution’. 7

Rome Statute of the International Criminal Court, 2002, pp. 3-10. Diakses dari https://www.icc-cpi.int/ 4

nr/rdonlyres/ea9aeff7-5752-4f84-be94-0a655eb30e16/0/rome_statute_english.pdf pada tanggal 5 November 2015.

Wiranata, Agung Y., 2014, Tentang “Pengadilan HAM” Internasional. Diakses dari http:// 5

referensi.elsam.or.id/2014/09/tentang-pengadilan-ham-internasional/ pada tanggal 11 Desember 2015. LBH Apik, 2002, Sekilas Tentang International Criminal Court (ICC), Lembar Info Seri 49. Diakses dari 6

http://www.lbh-apik.or.id/penyelesaian-91-seri-49-sekilas-tentang-international-criminal-court-icc.html

pada tanggal 27 November 2015.

Lafontaine, Fannie, 2010, An Analysis of the Munyaneza Case. Canada’s Crimes against Humanity and 7

War Crimes Act on Trial. Journal of International Criminal Justice, Universite Laval, pp. 278. Diakses dari

http://jicj.oxfordjournals.org pada tanggal 5 November 2015.

(5)

He opines that ‘[t]he following acts, among others, are considered sexual violence: (a) forcing a person to undress in public; (b) sexual penetration; (c) rape; (d) sexual molestation’.52 Aside from his strange omission of the many other acts of sexual violence now codified in the ICC Statute,53 considering the aims of this article, two brief comments will be made as regards this characterization of sexual violence

Lebih jauh lagi, Pasal 3 dan 7 ayat ke 2 (f) dalam Konvensi Jenewa 1949 pun mengatur bentuk pelanggaran hukum serius yang dilakukan dalam konflik bersenjata internasional terhadap tawanan perang dalam konteks sexual violation yakni berupa: pemerkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemaksaan pemandulan, serta bentuk-bentuk perbuatan pelanggaran seksual lainnya. 8

Diakses dari http://www.landasanteori.com/2015/10/konvensi-jenewa-1949-tentang-korban.html pada 8

tanggal 11 Desember 2015.

(6)

3. Pembahasan

Menurut Nursyahbani Katjasungkana, objektifikasi wanita merupakan hal yang lumrah terjadi dalam kisah perebutan kekuasaan sebagaimana halnya perang. Di dalam berbagai macam legenda diceritakan bagaimana wanita kerap dijadikan ‘upeti’ kepada sang penguasa yang telah menaklukan dan menguasai daerah jajahannya. Hal yang sama pun kembali berulang lagi pada saat penjajahan, mereka tidak saja menaklukan wilayah negara atau kota-kota, tetapi juga membunuh kaum laki-lakinya, memperkosa kaum wanitanya dan merampas harta bendanya. 9

Isu comfort women merupakan salah satu bukti nyata adanya aksi penindasan terhadap wanita, bahwa paradigma wanita sebagai alat atau benda dalam persepsi perang sangatlah melekat erat. Para wanita bekas negara jajahan Jepang hanya dilihat tidak lebih sebagai alat atau objek yang dapat memuaskan nafsu biologis para tentara Jepang. Pada bab pembahasan ini, penulis menganalisa bahwa apa yang menimpa para wanita penghibur dapat dinilai sebagai sebuah kejahatan perang terhadap kemanusiaan yang berbasis jender. Lebih lanjut lagi, penulis mengungkapkan bagaimana kemudian isu ini mencuat di Indonesia, khususnya pada tahun 1990an, setelah para korban dari kebijakan the comfort women yang bungkam satu per satu akhirnya mulai berani mengeluarkan suara mereka atas penyiksaan seksual yang mereka alami selama masa kependudukan Jepang. Hal tersebut kemudian penulis hubungkan dengan kesadaran masyarakat Indonesia terhadap Hukum HAM dan menjamurnya Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) pada masa itu.

3.1 Pengertian Comfort Women

Selama Perang Dunia II, pemerintah Jepang memaksa ribuan wanita yang berasal dari negara Asia Pasifik seperti Korea, Filipina, Cina, dan Indonesia untuk dijadikan budak seksual tentara mereka. Dalam praktiknya, terminologi untuk para wanita ini kemudian dipopulerkan dengan istilah comfort women. Mereka menjalani sistem perbudakan paksa yang diterapkan oleh 10 pemerintah Jepang yakni dalam hal melayani kebutuhan seksual tentara Jepang. Kegiatan pemaksaan ini dilakukan secara sistematis dan massif melalui komando militer selama perang Asia-Pasifik tahun 1937-1945.

Katjasungkana, Nursyahbani, 1998, Militer dan Kekerasan Terhadap Perempuan, Negara Membiarkan 9

Kekerasan Oleh Masyarakat, Journal Perempuan.

Johnson, Nathalie I., 2001, Justice For Comfort Women: Will The Alien Tort Claims Act Bring The 10

Remedies They

Seek?, Dickinson School of Law.

(7)

Istilah tersebut diterjemahkan secara harafiah dari bahasa Jepang yaitu Jugun Ianfu yang diartikan sebagai para wanita yang memberikan kenyamanan atau hiburan bagi tentara Jepang di lokalisasi yang dibangun oleh pemerintah Jepang yang disebut dengan comfort stations. Di lokalisasi inilah para wanita tersebut mengalami kekerasan seksual. Lokalisasi ini berada di 11 dalam barak-barak militer yang dibangun di sekitaran markas tentara Jepang selama perang Asia-Pasifik berlangsung.

Pada saat isu comfort women berkembang, pemerintah Jepang berdalih bahwa hal itu merupakan bentuk pelacuran dari para wanita yang bersedia memberikan dirinya dengan sukarela. Pemerintah Jepang juga mengatakan bahwa para wanita tersebut sengaja memperkerjakan diri sebagai pelacur dengan motif mencari keuntungan atau uang. Namun berdasarkan pengkajian 12 mendalam yang dilakukan oleh Maia Juminingsih, comfort women tidak dapat dikategorikan ke dalam bentuk pelacuran sebab terdapat tiga indikator yang tidak ditemukan dalam fenomena tersebut yakni: pembayaran, promiskuitas (hubungan seksual sesaat yang dilakukan dengan siapa saja), dan ketidakterlibatan emosional. Berdasarkan kajian tersebut dapat dinyatakan bahwa 13 comfort women benar-benar berbeda dengan pelacur sebab mereka melayani kebutuhan seksual tentara Jepang bukan atas kemauan dirinya sendiri, melainkan karena dipaksa, ditipu, dan bukan untuk mendapatkan upah. Perlakuan yang menimpa comfort women tidak lain merupakan sebuah hubungan seksual yang dilakukan tanpa adanya kerelaan, melainkan dengan paksaan. Hal ini dapat dimasukkan ke dalam bentuk kekerasan seksual. 14

3.2 Sejarah dan Pengelolaan Comfort Women di Indonesia

Comfort women merupakan sebuah kebijakan militer pemerintah Jepang guna memperkuat militernya selama perang berlangsung yang diawali dengan dibangunnya comfort stations di seluruh wilayah jajahan Jepang mulai tahun 1931 yang meliputi: Cina, Manchuria, Taiwan, Filipina,

Parker, See K. and and Jennifer F. Chew, 1994. Compensation for Japan’s World War II War-Rape 11

Victims. Hastings International and Comparative Law Review 17, pp. 498-510.

Juminingsih, Maia, 1999, Dampak Kekerasan Seksual Pada Jugun Ianfu, Yogyakarta: Ford Foundation 12

PPK-UGM. hal 6.

Juminingsih, Maia. Ibid. 13

Juminingsih, Maia. Ibid. 14

(8)

Singapura, Myanmar, Korea, Malaysia, Jepang, dan bahkan sampai ke Indonesia. Hal ini 15 disebabkan karena pemerintah Jepang memiliki kepedulian yang tinggi terhadap kesehatan para tentaranya sejak sebagian besar dari para tentara mereka mengidap penyakit kelamin usai menduduki kota Nanking pada tahun 1932 sebagai akibat dari pemerkosaan massal yang mereka lakukan secara brutal terhadap wanita di Cina saat kependudukannya. Mereka memperkosa lebih dari 20.000 warga sipil wanita di Nanking dari segala umur dalam kurun waktu enam minggu. 16 Pemerintah Jepang mempercayai dengan adanya penyebaran penyakit kelamin ini nantinya dapat berdampak terhadap lemahnya kekuatan militer Jepang di China dan menggagalkan upaya kolonialisasi Jepang di berbagai negara. 17

Indonesia sebagai salah satu wilayah jajahan Jepang di Asia Pasifik saat itu pun tidak lepas dari kebijakan pengadaan comfort women. Pada tahun 1941, seorang dokter militer yang juga kepala biro medis Kementerian Perang, Setsuzo Kinbara, menganjurkan agar comfort stations juga didirikan di Indonesia. Pada tahun 1942, sekitar 50 18 comfort women yang tidak lain adalah merupakan warga sipil wanita Indonesia dikirim ke Borneo. Bahkan salah seorang Polisi Khusus Angkatan Laut yang bernama Tai Tokei menerapkan kebijakan comfort women dengan cara menempatkan buruh-buruh wanita yang bekerja di perusahaan Jepang ke dalam fasilitas perbudakan seksual yang dikelilingi kawat berduri untuk mencegah agar mereka tidak dapat melarikan diri dengan mudah. Tai Tokei juga menelanjangi dan memaksa para wanita tersebut menjalani pemeriksaan keperawanan secara medis dan lalu memaksa mereka menjadi comfort women. Ada pun sejumlah wanita lainnya yang ditangkap di jalan-jalan, lalu dimasukkan secara paksa ke dalam

comfort stations. 19

Pendirian comfort stations juga terjadi di Balikpapan dan Ambon. Pemerintah Jepang berdalih pengadaan fasilitas tersebut demi mencegah perbuatan tentara dan pegawai sipil Angkatan Laut Jepang menyerang warga sipil wanita. Menurut cerita Yasumasa Sakabe, juru bayar yang

Arakawa, Maki, 2001, A New Forum for Comfort Women: Fighting Japan in the United States Federal 15

Court. Berkeley Journal of Gender, Law, and Justice, Vol.16 Article 6, pp.177. Diakses dari http:// scholarship.law.berkeley.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1174&context=bglj pada tanggal 12 Desember 2015.

Hindrati, Eka. Jalan Panjang Perjuangan Panjang Jugun Ianfu di Indonesia. Diakses dari http:// 16

www.sekitarkita.com pada tanggal 1 Desember 2015. Arakawa, Maki. Ibid.

17

Komnas HAM, 2013. Pengadilan Kejahatan Perang Internasional Terhadap Perempuan Keputusan 4 18

Desember 2001, Komnas HAM, hlm. 95.

Komnas HAM, hlm. 96. 19

(9)

bekerja di Markas Besar Pangkalan Pasukan Khusus ke-25, setelah comfort women Jepang dipulangkan ke negaranya, markas besar berencana membuka empat stasiun baru yang berisi sekitar 100 orang wanita pribumi. Mereka menyeleksi wanita yang paling menarik dan yang tidak terkena penyakit kelamin. Perwira ini mengenang kesedihan dan rasa tertekannya mendengar teriakan dan tangisan para wanita pribumi tersebut saat berada di comfort stations. 20

Di daerah Sulawesi sendiri terdapat 27 comfort stations berisi sekitar 281 wanita pribumi baik yang masih berusia di bawah umur maupun yang telah dewasa. Angkatan Laut Jepang berperan mengawasi dan menanggung seluruh pengeluaran untuk makanan dan pakaian mereka. Pada umumnya mereka dipaksa menjadi budak seks di sekitar daerahnya sendiri, namun ada juga sejumlah mereka yang dikirim ke berbagai pulau lainnya di Indonesia. Beberapa dari mereka juga dikirim ke Burma dan Filipina. 21

Kebijakan militer yang dinamakan comfort women ini yang memiliki tujuan untuk: (1) mencegah penyerangan balik dari penduduk sekitar dimana warga sipil wanitanya diperkosa oleh tentara Jepang, (2) mengontrol penyebaran penyakit kelamin, (3) melindungi dan meningkatkan kekuatan perang Jepang, (4) meningkatkan moral dan sebagai bentuk hadiah kepada tentara atas kewajiban patriotiknya, dan (5) mencegah kepentingan nasional dari praktek mata-mata. Sue R. 22 Lzee mengemukakan bahwa kebijakan comfort women diterapkan melalui tiga metode pemaksaan yaitu dengan kekerasan fisik, ancaman, dan penipuan. Berbagai macam kasus yang ditemui sebagai bentuk diaplikasikannya metode tersebut antara lain: (1) meminta kepala kampung untuk menyerahkan wanita yang berusia di bawah 15 tahun untuk dijanjikan bermacam-macam pekerjaan seperti pemain sandiwara, pelayan restoran, dan bahkan untuk disekolahkan, (2) menculik wanita usia remaja, (3) mengancam langsung kepada keluarga si wanita, jika tidak diberikan maka mereka akan dibunuh. 23

Tidak hanya itu saja, tentara Jepang sengaja memilih wanita berusia muda sekitar 14 tahun hingga 18 tahun dan belum menikah dengan asumsi bahwa mereka belum mengidap penyakit

Lzee, Sue R. 2003. Comforting The Comfort Women: Who Can Make Japan Pay? Journal of International 23

Law, Vol. 2 Article 4. University of Pennsylavania. Diakses dari http://scholarship.law.upenn.edu/cgi/ viewcontent.cgi?article=1256&context=jil pada tanggal 12 Desember 2015.

Lzee, Sue R. Ibid. 24

(10)

alasan tingkat pendidikan yang rendah sehingga sangat kecil kemungkinan mereka untuk memberontak di kemudian hari. Dalam praktiknya, sebagian besar 25 comfort women didapatkan dari proses perekrutan yang berjalan secara sistematis dan tidak saja diprakarsai oleh militer dan sipil Jepang namun juga malah dilakukan oleh para pejabat lokal atau aparat desa dari mana mereka berasal, seperti bupati, camat, lurah dan RT. 26

Usai proses perekrutan, para wanita ini kemudian langsung ditempatkan di comfort stations

yang berada di dalam markas tentara Jepang di seluruh wilayah jajahannya, baik di dalam negeri maupun luar negeri. Sesampainya di tempat markas tujuan, para wanita tersebut kemudian diperiksa oleh seorang dokter untuk memastikan bahwa mereka tidak terjangkit penyakit kelamin. Adanya perangkat dan fasilitas tersebut membuktikan bahwa keberadaan comfort women merupakan sebuah rangkaian sistem yang terencana. Selanjutnya mereka dimasukkan ke dalam kamar yang diberi nomor dan dipanggil dengan nama panggilan Jepang.

3.3 Kesaksian Comfort Women dari Indonesia

Para mantan comfort women yang berasal dari Indonesia antara lain yang bernama Mardiyem diberikan nama panggilan Momoye, Aminah menjadi Shinju, Suharti menjadi Miki, Emah Kastimah menjadi Miyoko, Kasinem menjadi Yako, Sumirah menjadi Kimiko, Sutarbini menjadi Miniko, Siti Neng Itjuh menjadi Ruriko, Omoh Salamah menjadi Midori, Lantrah menjadi Toyoko dan puluhan ribu orang lainnya berada di comfort stations di mana mereka ditampung dan dipekerjakan secara paksa. Mereka dipaksa menjadi pelacur dan diperkosa mulai hari pertama tiba. Dalam satu hari, mereka diwajibkan untuk melayani 10 hingga 15 orang tentara Jepang. 27

Pada tahun 1942, saat masih berusia 13 tahun, Mardiyem dipaksa menjadi comfort woman.

Menurut pengakuan dari Mardiyem, para pengguna comfort women diberikan karcis dan kondom tradisional yang disebut kaputjes ketika ingin masuk ke dalam comfort stations. Meskipun begitu, 28 tidak semua para pengguna comfort women mau menggunakan kondom. Jika terjadi kehamilan, comfort women dibawa ke klinik yang telah dipersiapkan untuk menggugurkan kandungannya. Pada masa itu pengguguran kandungan dilakukan dengan menggunakan peralatan seadanya yang

Komnas HAM, hlm. 107. 25

Komnas HAM, hlm. 113 - 114. 26

“Ianfu” Indonesia: Laporan, Temuan dan Advokasi. Diakses dari http://ianfuindonesia.webs.com/ pada 27

tanggal 11 Desember 2015.

Komnas HAM, hlm. 98 - 165. 28

(11)

juga justru malah beresiko terhadap kesehatan jasmani para korban. Selain dipaksa bekerja selama hampir 10 jam dan terkadang sampai sepanjang malam, Mardiyem mengalami pengguguran kandungan secara paksa pada saat usianya baru 14 tahun yang lalu disusul dengan pendarahan hebat. 29

Salah seorang mantan comfort women lainnya bernama Suhanah. Pada tahun 1942, saat ia masih berusia 16 tahun, enam tentara Jepang mendekatinya saat ia sedang berada di kebun belakang rumahnya, mereka menawarkan pekerjaan dan sekolah kepadanya. Ia menolak tawaran mereka. Dan akibatnya, dijambak dan dinaikkan paksa ke dalam jip tentara, dibawa ke sebuah comfort stations yang berjarak dua kilometer dari rumahnya. Cukup banyak perempuan yang sudah terkumpul di tempat itu. Tiga hari setelah penculikannya, Suhanah menjalani pemeriksaan medis, dan ketika ia menolak memenuhi keinginan seksual tentara Jepang, ia diperkosa serta dicambuki. Ia dipaksa melayani seks sejumlah tentara setiap harinya, termasuk dokter yang memeriksanya. Tindak kekerasan seksual yang dialaminya kerap disertai dengan penghinaan dan perlakuan brutal lainnya. Hingga Suhanah menderita penyakit kelamin sebagai akibat dari perkosaan-perkosaan tersebut. 30

Berdasarkan kesaksian para mantan comfort women di Pengadilan Internasional Kejahatan dalam Perang untuk Kasus Perbudakan Seksual oleh Militer Jepang Selama Perang Dunia II, atau The Tokyo Tribunal, pada tanggal 8-12 Desember 2000, banyak tentara Jepang juga melakukan kekerasan fisik seperti penganiayaan. Comfort stations dijaga ketat oleh pengurusnya agar mereka tidak melarikan diri. Hingga kini, penderitaan yang dialami oleh mantan comfort women masih terasa secara fisik maupun mental. Mantan comfort women yang selamat seusai perang berlangsung mengalami penderitaan baik itu masalah kesehatan pada reproduksi seksual, kecacatan seumur hidup maupun trauma yang mendalam. Kebanyakan dari mereka harus menjalani kenyataan hidup bahwa mereka tidak bisa memiliki anak atau keturunan yang diakibatkan oleh rusaknya organ reproduksi mereka selama penganiyaan tersebut berlangsung. 31

Sky. 2015. Mardiyem Suarakan Luka Abadi Perbudakan Seks Perang Dunia II. Diakses dari http:// 29

www.langitperempuan.com/2015/08/mardiyem-suarakan-luka-abadi-perbudakan-seks-perang-dunia-ii/

pada tanggal 11 Desember 2015.

Komnas HAM, hlm. 110 – 150. 30

Park, Shellie K., 2002, Broken Silence: Redressing the Mass Rape and Sexual Enslavement of Asian 31

Women

by the Japanese Government in an Appropriate Forum,

Asian Pasific Law & Policy Journal, Vol. 3 Issue 1. Diakses dari http://blog.hawaii.edu/aplpj/files/ 2011/11/APLPJ_03.1_park.pdf pada tanggal 13 Desember 2015.

(12)

3.4 Justifikasi Comfort Women dari segi Hukum Humaniter Internasional.

Pengenalan perkosaan sebagai kekerasan berbasis jender dan pengakuannya sebagai suatu kejahatan perang digawangi oleh pengadilan ad hoc International Criminal Tribunal Yugoslavia dan Rwanda. Yugoslavia Tribunal mengakui perkosaan sebagai kategori penyiksaan. Sedangkan Rwanda Tribunal memperkenalkan perkosaan sebagai bagian dari genosida. Hingga akhirnya 32 persidangan internasional mengakui kekerasan seksual sebagai bagian dari kejahatan berat yang juga harus dipertanggungjawabkan.

Pasal 7 Statuta Roma menekankan tentang kejahatan terhadap kemanusiaan dan tinjauan kekerasan reproduksi dan seksual serta kategorisasi ke dalam kejahatan terhadap kemanusiaan sedangkan Pasal 8 Statuta Roma berisi mengenai pemahaman kejahatan perang berbasis jender sekaligus menggarisbawahi bahwa kejahatan perang yang meliputi perkosaan perbudakan seksual, pelacuran yang dipaksakan, pemaksaan kehamilan, hingga pemaksaan kemandulan, dan bentuk kekerasan seksual lain dapat dikategorikan sebagai kejahatan berat (grave breaches) . Lebih lanjut 33 lagi di dalam Statuta Roma, terminologi jender dipahami sebagai dua jenis kelamin yaitu laki-laki dan perempuan seperti yang dipahami dalam konteks masyarakat dan kata jender tidak menunjukkan arti selain yang telah disebut diatas.

Bentuk-bentuk kejahatan perang terhadap warga sipil yang dialami oleh para comfort women

sesuai dengan kesaksian mereka dan beberapa mantan pejabat militer Jepang pada masa itu yang meliputi tindakan sebagai berikut: pembudakan, pemindahan penduduk secara paksa, pengurungan atau penghalangan kemerdekaan fisik secara bengis yang melanggar aturan-aturan dasar hukum internasional, penyiksaan, pemerkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, kehamilan secara paksa, pemandulan secara paksa, penindasan dan peniadaan terhadap suatu kelompok tertentu (genosida) berdasarkan jender, perbuatan tidak manusiawi yang mengakibatkan penderitaan yang besar, luka serius terhadap tubuh dan mental, serta kesehatan fisik seseorang adalah sesuai dengan yang telah didefiniskan sebagai bentuk sexual violation oleh Pasal 3 dan 7 ayat ke 2 (f) dalam Konvensi Jenewa 1949.

Praktek comfort women bukan saja mengenai terjadinya perkosaan dan perbudakan seksual, tetapi juga mencakup berbagai bentuk dan perilaku tidak manusiawi lainnya. Lebih jauh lagi, melalui pemahaman terkait dengan kekerasan berbasis jender sebagai bagian dari kejahatan berat,

Copelon, Rhonda, 2000, Gender Crimes as War Crimes: Integrating Crimes against Women, McGill Law 32

Journal, pp. 217-240.

Statuta Roma Pasal 8 Ayat 2 Huruf b (xxii). 33

(13)

dapat disepakati bersama bahwa kejahatan terhadap perempuan dapat pula digolongkan sebagai kejahatan kemanusiaan, kejahatan genosida ataupun kejahatan perang. Praktek comfort women juga dapat dikategorikan sebagai sebuah kejahatan kemanusiaan karena telah meliputi unsur-unsur kejahatan yang ada pada Statuta Roma Pasal 7 dan dapat pula dikatakan sebagai kejahatan perang berdasarkan pernyataan yang tercantum di dalam Statuta Roma Pasal 8. Sehingga terbukti bahwa kebijakan militer Jepang yakni comfort women tergolong ke dalam bentuk kejahatan perang dengan pelanggaran berat serta kekerasan berbasis jender dalam perang.

3.5 Mencuatnya isu Comfort Women di Indonesia pada Tahun 1993

Pada tahun 1991 isu comfort women mencuat ke permukaan dan disebarkan oleh media setelah adanya pengakuan dari seorang mantan comfort women dari Korea Selatan yang bernama Kim Hak Soon atas kekejaman militer Jepang terhadap dirinya ke ranah publik. Setelah itu pada 34 tahun 1993 isu comfort women di Indonesia terbongkar dan satu persatu korban berbagi suara. Termasuk kisah ibu Mardiyem dari kota Yogyakarta yang dituangkan ke dalam sebuah buku karya Eka Hindra dan Koichi Kimura yang berjudul “Momoye: Mereka Memanggilku”. Para korban 35 yang tadinya dibungkam karena dianggap sebagai aib negara kemudian memberanikan diri untuk mengungkapkan apa yang pernah mereka alami selama kependudukan Jepang di Indonesia pada masa perang tahun 1942 sampai tahun 1945. Pembungkaman tidak lain karena disebabkan oleh adanya rezim pemerintah orde baru yang defensif dan represif terhadap permasalahan HAM di Indonesia. Di bawah rezim Soeharto, penghormatan kepada HAM berada dalam titik terendah. Pada masa itu, perkembangan HAM mengalami kemunduran karena HAM tidak lagi dihormati, dilindungi, dan ditegakkan. Pemerintah Indonesia bahkan menganggap HAM adalah produk dari dunia Barat sehingga tidak sesuai dengan nilai luhur budaya bangsa yang telah termaktub dalam Pancasila. 36

Walaupun perkembangan HAM di lingkungan pemerintah mengalami kemunduran, sebaliknya pemikiran dan perkembangan HAM di kalangan masyarakat terus bergulir. Hal ini dibuktikan dengan makin maraknya pembentukan lembaga swadaya masyarakat (LSM). Menjelang

Soh, C. Sarah. 2003. Asian Women's Fund for "Comfort Women". Pacific Affairs, Vol. 76 No. 2, University 34

of British Columbia, pp. 209-233.

Hindra, Eka dan Koichi Kimura, 2007, Momoye Mereka Memanggilku, Esensi Erlangga Grup. 35

Budi, Frans, 2015, Pelaksanaan HAM pada Masa Orde Baru dan Orde Reformasi. Diakses dari http:// 36

www.kompasiana.com/filsufkampung/pelaksanaan-ham-pada-masa-orde-baru-dan-orde-reformasi_550d8383a33311231e2e3be0 pada tanggal 13 Desember 2015.

(14)

tahun 1990-an, pemerintah mulai peduli akan penegakan nilai-nilai HAM di Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan dibentuknya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) berdasarkan Keppres No. 50 Tahun 1993. Komisi inilah yang nantinya mendampingi para korban 37 comfort women dalam melakukan tuntutan terhadap pihak pemerintah Jepang di pengadilan internasional.

Beberapa poin penting yang dituntut oleh para korban adalah agar pemerintah Jepang masa kini harus mengakui secara resmi dan meminta maaf bahwa perbudakan seksual dilakukan secara sengaja oleh negara Jepang selama perang Asia Pasifik dari tahun 1931 hingga tahun 1945. Para korban juga mengharapkan santunan sebagai korban perang untuk kehidupan yang sudah dihancurkan oleh militer Jepang. Selain itu, mereka menuntut dimasukkannya sejarah gelap The Comfort Women atau Jugun Ianfu ke dalam kurikulum sekolah di Jepang agar generasi muda Jepang mengetahui kebenaran sejarah Jepang. 38

Tuntutan ini mendapatkan respon dari pemerintah Jepang dengan dibentuknnya Asian Women’s Fund (AWF) didirikan oleh organisasi swasta Jepang pada Juli 1995. Di masa pemerintahan Soeharto Tahun 1997 Menteri Sosial Inten Suweno menerima dana santunan dari AWF yang diperuntukkan bagi para korban dari kebijakan comfort women yakni sebesar 380 juta yen yang diangsur selama 10 tahun. Namun banyak para korban menyatakan bahwa mereka tidak pernah menerima santunan tersebut. 39

Perjuangan para mantan comfort women untuk mendapatkan hak mereka tidak pernah surut. Banyak organisasi non-pemerintah atau LSM terus memperjuangkan nasib para mantan comfort women tersebut dan tidak berhenti melakukan lobi ke tingkat internasional untuk menekan pemerintah Jepang agar menyelesaikan kasus perbudakan seksual ini. Kemudian juga, upaya penelitian masih terus dilakukan untuk memperjelas sejarah comfort women di Indonesia. Kenyataan lain yang terjadi adalah masih banyak mantan comfort women Indonesia yang masih hidup maupun yang sudah meninggal dunia tetapi belum diketahui keberadaannya. Mereka yang masih hidup rata-rata sudah berusia 80 tahun. Ada yang tinggal sendiri dan mendapat bantuan dari keluarga dan tetangga. Upaya penelitian masih terus dilakukan untuk memperjelas sejarah buram

Diakses dari http://www.komnasham.go.id/dasar-landasan-hukum pada tanggal 13 Desember 2015. 37

Komnas HAM dan Jaringan Advokasi Jugun Ianfu Indonesia, 2010, Menggugat Negara Indonesia Atas 38

Pengabaian Hak-Hak Asasi Manusia (Pengabaian) Jugun Ianfu Sebagai Budak Seks Militer dan Sipil Jepang Tahun 1942-1945, Komnas HAM, hlm. 3-6.

The “Comfort Women” Issue and the Asian Women’s Fund, pp. 40. Diakses dari www.awf.or.jp/pdf/ 39

0170.pdf pada tanggal 14 Desember 2015.

(15)

comfort women di Indonesia. Tidak sedikit masyarakat yang merendahkan dan menyisihkan para korban dari pergaulan sosial serta memberikan stigma kepada para korban sebagai pelacur komersial seperti yang pernah dituturkan oleh ibu Mardiyem.

Sayangnya dibalik mencuatnya isu comfort women, banyak pihak-pihak oportunis yang berkedok membela kepentingan Jugun Ianfu dan mengatasnamakannya dengan proyek kemanusiaan. Mereka adalah oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab dan berniat untuk mengkorupsi dana santunan yang seharusnya diterima oleh para korban comfort women. Hal ini memperparah keadaan para korban sebab hingga saat ini mereka juga belum mendapatkan perhatian yang berarti dari negara. Komnas HAM bahkan menyatakan pemerintah Indonesia tidak cukup serius menanggapi isu comfort women ini dan bahkan menganggapnya sudah selesai. 40

Berdasarkan perkembangan isu comfort women yang terbaru, masyarakat internasional selalu berupaya mendesak pemerintah Jepang dan pada akhirnya pada tahun 2000 Tribunal Tokyo digelar guna menuntut pertanggungjawaban Kaisar Hirohito dan pihak militer Jepang atas praktek perbudakan seksual yang mereka lakukan selama berlangsungnya perang Asia Pasifik. Pada tahun 2001 Tribunal The Haque pun mengeluarkan keputusan final dan pada oktober 2007 kongres Amerika Serikat mengeluarkan resolusi tidak mengikat yang menekan pemerintah Jepang untuk memenuhi tanggung jawab politik atas masalah ini. Meski demikian pemerintah Jepang sampai hari ini belum mengakui apa yang telah diperbuat terhadap ratusan ribu perempuan di Asia dan Belanda pada masa perang Asia Pasifik. 41

Komnas HAM dan Jaringan Advokasi Jugun Ianfu Indonesia, hlm.48. 40

Soh, Sarah C., 2001. Japan's Responsibility Toward Comfort Women Survivors, Japan Policy Research 41

Institute Working Paper No. 77. Diakses dari http://www.jpri.org/publications/workingpapers/wp77.html

pada tanggal 14 Desember 2015.

(16)

4. Kesimpulan

Perang dalam sejarah umat manusia selalu menimbulkan penderitaan dan kerugian yang luar biasa. Seiring dengan perkembangan peradaban manusia, perang kemudian dimaknai sebagai bentuk kekejaman yang bertentangan dengan harga diri dan martabat manusia. Berdasarkan fakta dan sejarah yang menyakitkan, manusia belajar dari hal tersebut untuk mengurangi kebrutalan dan korban yang disebabkan oleh perang. Perang banyak memakan korban yang bermacam-macam, baik laki-laki maupun wanita, yang tua maupun yang muda. Kedudukan wanita yang seringkali dianggap sebagai warga negara kelas dua semakin menempatkan wanita dalam posisi yang lemah dan seringkali dimanfaatkan sebagai obyek kekerasan dalam perang. Bahkan ketika perang sudah usai terjadi, kedudukan wanita yang pernah menjadi korban kekejaman perang kemudian berubah menjadi obyek yang tersudutkan oleh stigmatisasi dari masyarakat.

Selama perang Asia Pasifik berlangsung, para wanita yang berada di wilayah negara jajahan Jepang mengalami tindakan perkosaan yang dilakukan oleh tentara militernya. Bahkan tindakan ini akhirnya diubah ke dalam sebuah bentuk kebijakan militer pengadaan wanita penghibur bagi para tentara Jepang yang dinamakan dengan istilah Jugun Ianfu atau The Comfort Women. Adanya bentuk dominasi kekuatan pemerintah Jepang untuk menindas kaum wanita dalam bentuk perkosaan kemudian dipahami sebagai bentuk kekerasan yang berbasiskan jender dalam perang.

Kebijakan comfort women di Indonesia sendiri berlangsung dari tahun 1942 hingga 1945. Berdasarkan kesaksian para mantan comfort women di Indonesia dan juga pejabat pemerintahan Jepang sendiri, kebijakan comfort women meliputi beberapa metode yakni pemaksaan, penculikan, penipuan, penyiksaan dan perendahan martabat. Tidak hanya mengalami perbudakan seksual, para

comfort women juga mengalami penyiksaan yang tidak manusiawi selama ditempatkan di dalam

comfort stations.

Berdasarkan karakteristiknya, kebijakan militer comfort women dapat dikategorikan sebagai bentuk sistem perbudakan seksual yang terorganisir. Tahapan-tahapan dalam sistem tersebut yakni: kontrol dan pengaturan militer atas sistem yang bersangkutan, adanya metode perekrutan, serta disediakannya fasilitas penyokong kebijakan. Menurut Pasal 3 dan 7 ayat ke 2 (f) dalam Konvensi Jenewa 1949, Pasal 7 dan Pasal 8 Statuta Roma, kebijakan militer Jepang yakni comfort women

digolongkan ke dalam bentuk sexual violation atau kekerasan berbasis jender dalam tindak kejahatan perang yang memiliki pelanggaran berat. Kebijakan comfort women memuat perkosaan dan perbudakan seksual yang tersistematik dan semuanya merupakan rangkaian dari pelanggaran berat terhadap hukum humaniter dan dikategorikan sebagai kejahatan perang.

(17)

Perkosaan massal yang dilakukan oleh para tentara militer Jepang kemudian mendapat perhatian yang serius dari dunia internasional setelah pada tahun 1990an para korban comfort women memberanikan diri untuk bersuara. Di Indonesia sendiri, isu ini mencuat pada tahun 1993. Hal ini memiliki latar belakang keterkaitan dengan berkembangnya kesadaran masyarakat Indonesia akan Hukum HAM yang setelah sekian lama terkungkung dalam rezim orde baru yang represif dan menjamurnya Lembaga Swadaya Masyarakat yang bergerak di bidang perlindungan HAM pada masa itu.

(18)

5. Daftar Pustaka

Adelstein, Jake, 2014, The Uncomfortable Truth about Comfort Women. Diakses dari http://www.japantimes.co.jp/ news/2014/11/01/national/media-national/uncomfortable-truth-comfort-women/#.VjtynLfhCUl pada tanggal 5 November 2015.

Arakawa, Maki, 2001, A New Forum for Comfort Women: Fighting Japan in the United States Federal Court. Berkeley Journal of Gender, Law, and Justice, Vol.16 Article 6, pp.177. Diakses dari http://scholarship.law.berkeley.edu/ cgi/viewcontent.cgi?article=1174&context=bglj pada tanggal 12 Desember 2015.

Budi, Frans, 2015, Pelaksanaan HAM pada Masa Orde Baru dan Orde Reformasi. Diakses dari http:// www.kompasiana.com/filsufkampung/pelaksanaan-ham-pada-masa-orde-baru-dan-orde-reformasi_550d8383a33311231e2e3be0 pada tanggal 13 Desember 2015.

Copelon, Rhonda, 2000, Gender Crimes as War Crimes: Integrating Crimes against Women, McGill Law Journal, pp. 217-240.

Dasar Landasan Hukum. Diakses dari http://www.komnasham.go.id/dasar-landasan-hukum pada tanggal 13 Desember

2015.

Hindra, Eka dan Koichi Kimura, 2007, Momoye Mereka Memanggilku, Esensi Erlangga Grup.

Hindrati, Eka. Jalan Panjang Perjuangan Panjang Jugun Ianfu di Indonesia. Diakses dari http://www.sekitarkita.com pada tanggal 1 Desember 2015.

“Ianfu” Indonesia: Laporan, Temuan dan Advokasi. Diakses dari http://ianfuindonesia.webs.com/ pada tanggal 11

Desember 2015.

Johnson, Nathalie I., 2001, Justice For Comfort Women: Will The Alien Tort Claims Act Bring The Remedies They Seek?, Dickinson School of Law.

Juminingsih, Maia, 1999, Dampak Kekerasan Seksual Pada Jugun Ianfu, Yogyakarta: Ford Foundation PPK-UGM. hal 6.

Katjasungkana, Nursyahbani, 1998, Militer dan Kekerasan Terhadap Perempuan, Negara Membiarkan Kekerasan Oleh Masyarakat, Journal Perempuan Online.

Komnas HAM, 2013. Pengadilan Kejahatan Perang Internasional Terhadap Perempuan Keputusan 4 Desember 2001, Komnas HAM, hlm. 95.

Komnas HAM dan Jaringan Advokasi Jugun Ianfu Indonesia, 2010, Menggugat Negara Indonesia Atas Pengabaian Hak-Hak Asasi Manusia (Pengabaian) Jugun Ianfu Sebagai Budak Seks Militer dan Sipil Jepang Tahun

1942-1945, Komnas HAM, hlm. 3-6.

Konvensi Jenewa 1949 Tentang Korban Perlindungan Perang, Tehadap Warga Sipil dalam Konflik Bersenjata Menurut

Hukum Humaniter Internasional. Diakses dari

http://www.landasanteori.com/2015/10/konvensi-jenewa-1949-tentang-korban.html pada tanggal 11 Desember 2015.

Korean Times, 2007, Comfort Women Used to Prevent Military Revolt During War. Diakses dari http:// www.koreatimes.co.kr/www/news/nation/2015/10/117_14697.html pada tanggal 5 November 2015.

Lafontaine, Fannie, 2010, An Analysis of the Munyaneza Case. Canada’s Crimes against Humanity and War Crimes Act on Trial. Journal of International Criminal Justice, Universite Laval, pp. 278. Diakses dari http://

jicj.oxfordjournals.org pada tanggal 5 November 2015.

LBH Apik, 2002, Sekilas Tentang International Criminal Court (ICC), Lembar Info Seri 49. Diakses dari http:// www.lbh-apik.or.id/penyelesaian-91-seri-49-sekilas-tentang-international-criminal-court-icc.html pada tanggal 27 November 2015.

(19)

Lzee, Sue R. 2003. Comforting The Comfort Women: Who Can Make Japan Pay? Journal of International Law, Vol. 2 Article 4. University of Pennsylavania. Diakses dari http://scholarship.law.upenn.edu/cgi/viewcontent.cgi? article=1256&context=jil pada tanggal 12 Desember 2015.

Park, Shellie K., 2002, Broken Silence: Redressing the Mass Rape and Sexual Enslavement of Asian Women by the Japanese Government in an Appropriate Forum, Asian Pasific Law & Policy Journal, Vol. 3 Issue 1. Diakses dari http://blog.hawaii.edu/aplpj/files/2011/11/APLPJ_03.1_park.pdf pada tanggal 13 Desember 2015.

Parker, See K. and and Jennifer F. Chew, 1994. Compensation for Japan’s World War II War-Rape Victims. Hastings

International and Comparative Law Review 17, pp. 498-510.

Rome Statute of the International Criminal Court, 2002, pp. 3-10. Diakses dari https://www.icc-cpi.int/nr/rdonlyres/ ea9aeff7-5752-4f84-be94-0a655eb30e16/0/rome_statute_english.pdf pada tanggal 5 November 2015.

Sky. 2015. Mardiyem Suarakan Luka Abadi Perbudakan Seks Perang Dunia II. Diakses dari http://

www.langitperempuan.com/2015/08/mardiyem-suarakan-luka-abadi-perbudakan-seks-perang-dunia-ii/ pada tanggal 11 Desember 2015.

Soh, Sarah C., 2003. Asian Women's Fund for "Comfort Women". Pacific Affairs, Vol. 76 No. 2, University of British Columbia, pp. 209-233.

Soh, Sarah C., 2001. Japan's Responsibility Toward Comfort Women Survivors, Japan Policy Research Institute

Working Paper No. 77. Diakses dari http://www.jpri.org/publications/workingpapers/wp77.html pada tanggal 14

Desember 2015.

Statuta Roma Pasal 8 Ayat 2 Huruf b (xxii).

The “Comfort Women” Issue and the Asian Women’s Fund, pp. 40. Diakses dari www.awf.or.jp/pdf/0170.pdf pada

tanggal 14 Desember 2015.

The Trial of German Major War Criminals, 1946, Proceedings of the International Military Tribunal sitting at Nuremberg, Germany, Part 22 (22nd August ,1946 to 1st October, 1946), p. 16. Diakses dari http:// crimeofaggression.info/documents/6/1946_Nuremberg_Judgement.pdf pada tanggal 27 November 2015.

Wiranata, Agung Y., 2014, Tentang “Pengadilan HAM” Internasional. Diakses dari http://referensi.elsam.or.id/2014/09/ tentang-pengadilan-ham-internasional/ pada tanggal 11 Desember 2015.

Referensi

Dokumen terkait

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber... Latar

Gambar 4 menunjukkan bahwa pada setiap setiap proses dengan pengadukan dan tanpa pengadukan, penjerapan ion logam Pb 2+ meningkat seiring dengan peningkatan bobot

Diagnosis penyakit dengan menggunakan teknologi mobile communication akan mencatat gejala-gejala dari pasien dan akan mendiagnosis jenis penyakitnya yang berbasis

Sedangkan kekurangan dan hambatan dalam pelaksanaan kebijakan ini antara lain dari SDM dengan kualifikasi yang dibutuhkan masih kurang, masih ada pelaksana yang belum

MENYELESAIKAN PERMASALAHAN KONTEKSTUAL DI KELAS VIII SMP NEGERI 1 LEUWIMUNDING KABUPATEN MAJALENGKA. Cirebon: Fakultas Tarbiyah, Tadris Matematika, Institut Agama Islam

Wartawan pemaknaan Jurnalistik Islam di Kalangan Wartawan ( Harian Republika) an metode fenomenoli gi dengan pendekatan konstruktivi sme dimaknai sebagai sesuatu

Lepas dari khilaf dan segala kekurangan, penulis merasa sangat bersyukur telah menyelesaikan skripsi yang berjudul “Strategi Divisi Manajemen Sumber Daya Manusia untuk

Secara garis besar, adapun luaran yang telah dicapai dalam kegiatan ini adalah: (1) Melalui kegiatan ini, pelaku UMKM di Desa Sangsit dapat memahami pentingnya