6.1 Sebaran Perkebunan dan Produksi
6.1.1 Perkebunan
Perkebunan Kopi Arabika di Kecamatan Kintamani diusahakan secara tumpang sari dengan jenis tanaman yang lainnya. Tanaman tumpangsari di daerah penelitian yaitu tanaman kehutanan seperti albesia, jati, dan tanaman kehutanan lainnya. Selain itu, perkebunan kopi diusahakan secara tumpang sari dengan perkebunan jeruk. Sistem tumpang sari dapat dilakukan karena tanaman kopi merupakan tanaman yang memerlukan naungan dari tanaman lainnya, seperti tersaji pada Gambar 6.1.
a. Perkebunan kopi terintegrasi dengan tanaman kehutanan
b. Perkebunan kopi terintegrasi dengan perkebunan jeruk
Gambar 6.1
Perkebunan Kopi dengan Sistem Tumpang Sari di Kecamatan Kintamani
untuk memperoleh hasil yang optimal. Hasil pemetaan sebaran perkebunan kopi arabika di kecamatan kintamani tersebar di wilayah barat bagian utara Kecamatan Kintamani dan sedikit di bagian selatan. Desa-desa yang menjadi sentra perkebunan kopi arabika meliputi Satra, Bantang, Sukawana, Manikliyu, Suyakin, Dausa, Selulung, Belantih, Mengani, Matu Kaang, Pengejaran, Catur, Ulian, Belanga, Dan Suter. Secara geografis, desa-desa tersebut terletak pada suatu kawasan di Barat Laut Kecamatan Kintamani seperti disajikan pada Gambar 5.7.
Data periode 2007 s.d. 2010 menunjukkan terjadi penurunan luas lahan perkebunan kopi Arabika pada beberapa desa setra produksi seperti Desa Satra dan Desa Sukawana. Namun penurunan tersebut tidak signifikan (Tabel 6.1. dan Gambar 6.2). Dalam penelitian ditemukan adanya pertanian tanaman hortikultura seperti Cabai Merah dibudidayakan secara intensif dibeberapa desa oleh petani. Menurut keterangan nara sumber penelitian, beberapa petani memanfaatkan lahannya untuk pertanian holtikultura seperti yang terjadi di kawasan Dausa dan Selulung (Gambar 6.3).
Gambar 6.2
Tabel 6.1
Perkembangan Perkebunan pada Desa-desa Sentra Produksi
No Desa
Salah Satu Pemanfaatan Lahan Perkebunan untuk Tanaman Hortikultura di Kecamatan Kintamani.
Keterangan:
Lokasi penelitian
Sumber: Perda RTRWP (2010)
Gambar 6.4
Peta Arahan Strutur dan Pemanfaatan Ruang Provinsi Bali Tahun 2010
6.1.2 Produksi
Berdasarkan data Dinas Perkebunan Provinsi Bali, produksi kopi mengalami puncak pada tahun 1997 dan tahun 2000. Sejak tahun 2000 terus mengalami penurunan hingga tahun 2006. Namun sejak tahun 2007, produksi kopi arabika di Kecamatan Kintamani mengalami peningkatan. Peningkatan produksi tersebut seiring dengan peningkatan luas tanaman menghasilkan (TM). Apabila dilihat dari kemampuan tanaman untuk menghasilkan, produktivitas tertinggi dicapai pada tahun 2010, yaitu sebesar 554,29 kg/ha. Rata-rata produksi tersebut masih dalam katagori sedang. Najiyati dan Danarti (2007; 17, 18)
yaitu 450 kg s.d. 500 kg kopi beras/ha/th. Produksinya dapat ditingkatkan hingga 15-20 ku/ha/th dengan rendemen 18%, dengan budidaya yang intensif. Rata-rata produksi kopi arabika di Kecamatan Kintamani tahun 2007 s.d. tahun 2010 dapat dilihat pada Tabel 6.2.
Tabel 6.2
Rata-rata Produksi Kopi Arabika di Kecamatan Kintamani Tahun 2007 s.d. Tahun 2010
No Tahun Rata-rata produksi
1 2007 523,73
2 2008 514,56
3 2009 543,01
4 2010 554,29
Berdasdarkan data curah hujan pada periode produksi tahun 2010. Bulan kering terjadi pada bulan Juni hingga September dan beberapa hujan kiriman pada bulan Oktober dan Nopember tahun 2009. Hal ini sependapat dengan Najiati dan Danarti (2007, 17, 18), yaitu Kopi Arabika menghendaki mendapat bulan kering 3 bulan /tahun secara berturut-turut,tetapi sesekali mendapat hujan kiriman (hujan yang turun di musim kemarau).
curah hujan sangat tinggi seperi disajikan pada Gambar 5.2. Memperhatikan kondisi curah hujan tersebut, maka proses penyerbukan akan mengalami kegagalan, sehingga produksi pada tahun 2011 akan terganggu. Hai ini diperkuat dari hasil wawancara dengan narasumber penelitian yang mengungkapkan produksi kopi pada tahun 2011 mengalami penurunan sangat drastis. Curah hujan yang tinggi menyebabkan penyerbukan banyak yang tidak berhasil.
Tabel 6.3
Curah Hujan dan Hari Hujan dari Tahun 2007 s.d. Tahun 2010
Bulan
akan dapat menurunkan produksi kopi arabika di Kecamatan Kintamani. Hari hujan dan curah hujan tahun 2007 s.d. tahun 2010 disajikan pada Tabel 6.3.
6.2 Lokasi Pabrik
6.2.1 Kesesuaian lahan
Lokasi pabrik Dari hasil analisis kelas kesesuaian lokasi untuk mendirikan pabrik, diperoleh 67 area lokasi pada kelas I, 278 kelas II, 258 kelas III dan masing-masing 1 lokasi untuk kelas IV dan V. sebagian besar lokasi daerah penelitian berada pada kelas II yaitu 294.973.777 ha. sedangkan untuk lokasi kelas I seluas 70.680.381 ha. lokasi kelas I merupakan kelas kesesuaian lahan yang diharapkan dengan bobot skor total 80 s.d. 100. Lokasi kelas I tersebar kedalam 67 lokasi, dan dilakukan analisis lebih lanjut. Sedangkan lokasi kelas II, II, III, IV, dan V tidak dilakukan analisis lanjutan. Tidak dilakukan analisis lanjutan disebabkan apabila dibangun pada daerah tersebut, maka akan menimbulkan biaya yang lebih besar, baik biaya Ekonomi maupun Lingkungan.
Dari 67 lokasi yang yang diperoleh dari analisis overly, maka dilakukan survei lapangan, untuk kesesuaiannya. Hasil pengamatan lapangan menunjukkan sebagian besar daerah dapat layak sebagai lokasi pabrik. Namun demikian terdapat beberapa daerah yang harus dihilangkan karena lokasinya tidak sesuai, atau tidak layak baik secara lingkungan maupun ekonomi. Daerah hasil analisis
overly yang harus dikeluarkan dari kesesuaian lahan untuk pembangunan pabrik
demikian dari 67 lokasi kelas I tersebut diperoleh 16 lokasi yang dapat direkomendasikan sebagai lokasi pembangunan pabrik dengan luas total 2.623.78 ha (Gambar 6.5). Daerah-daerah lokasi pabrik tersebut terletak di beberapa desa seperti Desa Catu, Belantih, Mengani, Selulung, Pengejaran, Bantang, dan Satra untuk wilayah barat dan utara Kecamtan Kintamani. Wilayah tengan terdapat di Desa Awan, Serahi, Manikliyu, dan Kintamani. Sedangkan untuk wilayah selatan terdapat di Desa Bayung Gede dan Suter. Pada daerah-daerah tersebut memiliki produksi 14.307 ton/tahun s.d. 260.224 ton/tahun.
Keterangan:
No Luas (ha) No Luas (ha) No Luas (ha) No Luas (ha)
1 1625.01 5 44.31 9 17.34 13 2.63
2 365.95 6 40.92 10 16.05 14 2.56
3 356.52 7 23.21 11 10.92 15 1.91
4 86.49 8 23.07 12 5.09 16 1.82
Gambar 6.5
6.2.2 Existing pabrik
Pada saat dilakukan penelitian sudah terdapat beberapa pabrik pengolahan kopi dengan sistem wet process (WP). Skala pengolahan dari yang berskala besar hingga kecil. Selain pengolahan menggunakan mesin-mesin besar, penanganan pascapanen dengan sistem WP juga dilakukan dengan peralatan sederhana. Beberapa peralatan pengolahan sistem WP di lokasi penelitian disajikan pada Gambar 6.6.
Gambar 6.6
Pengolahan sekala besar dilakukan di PTP mengani dengan kapasitas produksi 1000 ton s.d. 1500 ton gelondong merah. Sedangkan, pengolahan lainnya bersekala kecil yang dilakukan oleh subak abian, dan juga perorangan. Sistem pengolahan yang berbeda menyebabkan mekanismen perolehan bahan baku (kopi gelondong merah) yang berbeda. Dalam penelitian ini ditemukan dua model rantai pemasaran bahan baku (gelondong merah) kopi Arabika di Kecamatan Kintamani yaitu.
1. Petani (anggota Subak) pabrik pengolahan 2. Petani Pengepul pabrik pengolahan
Rantai pemasaran 1 ditemui pada pengolahan sekala kecil yang dilakukan oleh subak abian. Anggota subak dapat menjual kopi gelondong merah kepada pabrik pengolahan yang dikelola subak. Pabrik pengolahan subak atau pengolahan yang bersekala besar juga memperoleh bahan baku (kopi gelondong merah) dari pedagang perantara, dengan sistem komisi. Pedangang perantara akan mendapatkan komisi atau imbalan Rp. 100,00/kg untuk setiap bahan baku.
6.3 Zone Pengelolaan
387,22 ha belum menghasilkan. Dengan rata-rata produksi 609,86 kg/ha. maka setiap tahunnya tersedia bahan baku sebanyak 1.091.752,77 kg (1.091,75 ton).
Zone III terdiri dari delapan desa yang membentang dari wilayah tengah membentang hingga selatan. zone III memiliki luas perkebunan pada tahun 2010 seluas 461,18 ha. Rata-rata produksi zone III yaitu 524,63 kg/ha, dengan tanaman menghasilkan 387,75 ha, maka tersedia bahan baku sebesar 126,36 ton tiap tahunnya. Pada zone III dibutuhkan pabrik dengan kapasitas produksi 126,36 ton/tahun yang dapat dibangun di beberapa desa yang memiliki kesesuaian lahan untuk lokasi pembangunan pabrik dengan luas total 359.08 ha di dua lokasiyaitu di seperti Desa Serahi, Manikliyu, dan Kintamani, serta Desa Awan dan Gunungbau. Pada zone III telah berdiri pabrik pengolahan bersekala kecil yang terletak di Desa Manikliyu dan Gunungbau. Kedua pengolahan tersebut merupakan pengolahan bersekala kecil yang dikelola Subak. Lokasi pengolahan di Desa Manikliyu dibangun pada lahan yang sesuai untuk pembangunan pabrik, sedangkan pengolahan di desa Gunungbau diluar lahan yang direkomendasikan. Berdasarkan hasil pengamatan lapangan, pengolahan di Desa Gungunbau terletak di tengah-tengah pemukiman. Untuk menentukan kebutuhan pabrik tambahan guna memenuhi kebutuhan pengolahan, maka perlu dilakukan penyesuaian dengan kapasitas pabrik yang telah ada.
beroperasi satu unit pengolahan bersekala kecil yang dikelola subak di Desa Buahan. Untuk menentukan kebutuhan pabrik tambahan guna memenuhi kebutuhan pengolahan pada zona IV, maka perlu dilakukan penyesuaian dengan kapasitas pabrik yang telah beroperasi.