• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peran Media Massa dalam Demokrasi Menuru

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Peran Media Massa dalam Demokrasi Menuru"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

PAPER

Peran Media Massa dalam Demokrasi Menurut Pandangan

Teori Sistem Autopoiesis Niklas Luhmann

NAMA : PUTRI WEDASARI

NIM : 13/359887/psp/4993

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK

UNIVERSITAS GADJAH MADA

(2)

BAB I

PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG

(3)

yakni penguatan fungsi media massa (pers) melalui berbagai kebijakan, untuk menopang kekuatan pers sebagai pilar demokrasi dalam tugasnya menjalankan kontrol sosial dan kekuasaan.

BAB II

LANDASAN TEORI

Setiap bidang ilmu mempunyai penganutnya, demikian pula dengan teori sistem. Teori sistem mempunyai sejarah yang bervariasi dalam sosiologi. Teoritisi penganut sistem ini adalah Walter Buckley dan Niklas Luhmann. Keduanya mempunyai sumbangan yang besar terhadap perkembangan teori sistem sehingga teori ini dikenal luas dalam ilmu pengetahuan, khususnya sosiologi.

Penjelasan tentang teori sistem yang terdapat dalam buku berjudul Teori Sosiologi Modern

(Ritzer dan Goldman, 2008) ini dimulai dengan beberapa pemikiran awal Walter Buckley tentang sifat dari teori sistem. Menurut Buckley, sifat-sifat umum dari teori sistem antara lain :

1. Bersifat aplikatif karena diturunkan dari ilmu pasti (hard sciences), sehingga dapat diaplikasikan ke semua ilmu sosial dan behavioral.

2. Teori sistem mengandung banyak tingkatan

3. Teori sistem tertarik pada keragaman hubungan dari berbagai aspek dunia sosial dan karenanya beoperasi terhadap berbagai analisis dunia sosial.

4. Pendekatan sistem cenderung menganggap melihat semua aspek sistem sosiokultural dari segi proses, khususnya sebagai jaringan informasi dan komunikasi.

5. Teori sistem secara inheren bersifat integratif.

Ada berbagai manfaat yang diambil dari teori sistem sosiologis Buckley, termasuk kosakata umum antar berbagai ilmu alam dan ilmu sosial, kemampuannya untuk diaplikasikan

(applicability) pada level mikro maupun makro analisis dunia sosial secara keseluruhan, fokus

pada proses, perspektif integratif, dan orientasi dinamis. Lebih lanjut, variasi dari prinsip-prinsip teori sistem didiskusikan, termasuk sejauh mana sistem itu terbuka atau tertutup, cenderung surut

(entropy), cenderung mengelaborasi struktur (negentropy), dicirikan oleh umpan balik (

(4)

tumbuh (morphogenesis). Buckley mengaplikasikan teori sistem untuk kesadaran, interaksi, dan domain sosiokultural.

Teoritisi sistem paling terkemuka dewasa ini adalah Niklas Luhmann. Luhmann antara lain melihat sistem sebagai self-referencing (referensi diri), sebagai kontingen (contingent) dan selalu kurang kompleks daripada lingkungan. Sebagai referensi diri berarti kemampuan masyarakat untuk merujuk pada dirinya sendiri adalah penting untuk memahaminya sebagai sebuah sistem. Lebih lanjut, kunci untuk memahami apa yang disebut Luhmann dengan sistem dapat ditemukan dalam perbedaan antara sistem dan lingkungannya. Pada dasarnya, perbedaan antara keduanya adalah pada kompleksitas (Complexity). Suatu sistem selalu kurang kompleks ketimbang lingkungannya. Hal yang demikian ini memunculkan kontingensi yang juga berarti resiko (risk). Implikasi dari kontingensi ini adalah munculnya fakta bahwa segala seuatu mungkin bisa menjadi berbeda. Meskipun sistem tidak pernah sekompleks lingkungannya, sistem mengembangkan subsistem-subsistem baru dan membangun berbagai hubungan antara subsistem untuk menangani lingkungan secara efektif. Jika tidak, sistem akan dikuasai oleh kompleksitas lingkungan.

Kontribusi Luhmann yang terpenting adalah pemahamannya tentang sistem sebagai autopoietic. Konsep autopoietic ini merujuk pada diversitas atau keragaman sistem-sistem dari sel biologis sampai ke seluruh masyarakat dunia. Luhmann menggunakan istilah ini untuk menunjuk pada sistem-sistem seperti, antara lain ekonomi, hukum, politik, saintifik, dan birokrasi. Sistem

autopoietic memiliki empat karakteristik sebagai berikut:

1. Sebuah sistem autopoietic menghasilkan elemen-elemen dasar yang menyusun sistem itu sendiri. 2. Sistem-sistem autopoietic mengorganisasikan diri (self-organizing) dalam dua cara- mereka

mengorganisasikan batas-batasnya sendiri, dan mengorganisasikan struktur internalnya.

3. Sistem autopoietic adalah self-referential. Misalnya, sistem ekonomi menggunakan harga sebagai cara untuk mengacu pada dirinya sendiri. demikian pula, sistem hukum mempunyai undang-undang yang mengacu pada sistem legal.

(5)

merespon dengan baik pada kebutuhan dan keinginan material orang kaya, tetapi merespon secara buruk kepada kebutuhan dan keinginan orang miskin.

Luhmann berargumen bahwa masyarakat adalah sistem autopoietic. Ia memenuhi empat karakteristik yang dikemukakan di atas, yaitu masyarakat menghasilkan elemen-elemen dasarnya sendiri, membangun struktur dan batas-batasnya, self-referential, dan tertutup.

Pandangan sistem sebagai autopoietic dan tertutup terhadap lingkungan inilah yang membedakan pendekatan Luhmann dari teoritisi sistem pendahulunya. Dua sistem dipilih Luhmann untuk analisisnya, yakni sistem sosial dan sistem psikis. Sistem sosial terkena problem kontingensi ganda (double contingency), yakni setiap komunikasi harus mempertimbangkan bagaimana komunikasi itu diterima, tetapi bagaimana dia diterima akan tergantung kepada estimasi penerima terhadap si komunikator. Karena itu, Luhmann berargumen bahwa komunikasi dapat dikatakan “mustahil”, tetapi struktur sosial telah dikembangkan untuk membuat komunikasi menjadi hal yang mungkin. Sedangkan sistem psikis merujuk pada kesadaran individu.

Sistem sosial dan psikis mempunyai properti yang sama. Keduanya bersandar pada makna

(meaning). Makna terkait erat dengan pilihan yang dibuat sistem. Sistem seperti sistem psikis

(6)

solusi tertentu adalah yang paling mudah untuk menstabilkan, atau dengan kata lain, solusi yang paling mudah untuk mereproduksi struktur yang stabil dan tahan lama. Dalam sistem sosial,

stabilisasi ini biasanya menyangkut jenis diferensiasi baru yang memerlukan penyesuaian dari

semua bagian sistem kepada solusi baru. Proses evolusioner akan mencapai akhir temporer hanya ketika stabilisasi telah selesai. Hal ini dapat dilihat dari evolusi yang terjadi di masyarakat, termasuk sistem-sistem di dalamnya.

Dari sudut pandang teori Luhmann, ciri utama dari masyarakat modern adalah meningkatnya proses diferensiasi sistem sebagai cara menghadapi kompleksitas lingkungannya. Diferensiasi di dalam sistem adalah cara penanganan perubahan dalam lingkungan. Proses diferensiasi ini berarti meningkatkan kompleksitas sistem, karena setiap subsistem dapat membuat hubungan yang berbeda-beda dengan sistem lainnya. Ia lebih banyak menghasilkan variasi di dalam sistem untuk merespon variasi di dalam lingkungan. Lebih banyak variasi yang dihasilkan oleh diferensiasi bukan hanya akan menghasilkan respon yang lebih baik terhadapa lingkungan, tetapi ia juga mempercepat evolusi. Ingat bahwa evolusi adalah proses seleksi dari variasi. Semakin banyak variasi yang tersedia, semakin baik evolusinya.

Diferensiasi ini meningkatkan kompleksitas dari sistem melalui repetisi diferensiasi antara sistem dan lingkungan di dalam sistem. Luhmann mengidentifikasi empat bentuk diferensiasi, yaitu :

1. Segmentasi.

Diferensiasi segmentasi ini membagi bagian-bagian dari sistem berdasarkan kebutuhan untuk memenuhi fungsi-fungsi yang identik secara terus-menerus.

2. Stratifikasi.

Diferensiasi ini adalah diferensiasi vertikal berdasarkan urutan atau status dalam sistem yang dibayangkan sebagai hierarki. Setiap urutan memenuhi fungsi yang khusus dalam sistem.

3. Pusat-pingiran (center-periphery)

Diferensiasi ini merupakan kombinasi antara segmentasi dan stratifikasi. 4. Fungsional

(7)

Yang terakhir inilah bentuk diferensiasi yang paling kompleks. Ia menghasilkan fleksibilitas yang lebih besar, tetapi jika satu sistem yang didiferensiasi secara fungsional gagal melakukan fungsinya, sistem secara keseluruhan mungkin akan ambruk. Lebih jauh adalah mungkin bahwa masyarakat tidak akan memiliki subsistem yang terdiferensiasi secara fungsional yang mampu

(capable) menangani problem-problem penting. Karena Luhmann membayangkan masyarakat

sebagai sistem yang serba meliputi (all-encompassing), ia dapat diamati hanya dari dalam sistem itu. Tidak ada sistem fungsional yang memiliki perspektif yang benar sendiri, semua perspektif adalah sah. Meski demikian, Luhmann berusaha memprioritaskan pada pengetahuan sosiologis dengan mengatakan bahwa tugasnya adalah mempelajari observasi pertama terhadap masyarakat (legenda, mitos, dan sebagainya). Ringkasnya, teori Luhmann tentang masyarakat modern dan konsepnya tentang masyarakat merupakan alat analitik yang sangat maju yang membuat sosiologi dapat memperoleh perspektif segar tentang problem di masyarakat (di dalam sosiologi) dewasa ini. Teori umum evolusi dan diferensiasi, dan pemikiran Luhmann tentang sistem spesifik seperti sains dan ekonomi, membuka arah dan riset baru. perbedaan dasar antara sistem dan lingkungan membuka kemungkinan riset interdisipliner baru yang didasarkan pada asumsi bahwa kompleksitss adalah problem besar yang menghubungkan bidang-bidang terpisah dari ilmu manusia dan ilmu alam.

BAB III

PEMBAHASAN

Demokrasi dalam Perspektif Sistemik Luhmann

(8)

Massenmedien (1996). Dalam karyanya ini, Luhmann melihat media massa sebagai bagian dari sistem sosial di mana masyarakat bercermin dan menyandarkan referensi dirinya.

Luhmann berpendapat bahwa sistem media massa adalah seperangkat rekursif, yakni semacam proses pendefinisian objek dengan diri sendiri sebagai cerminan. Alih-alih dideterminasi oleh nilai-nilai eksternal seperti kebenaran, objektivitas, dan kontrol sosial, media massa menurut Luhmann justru menerapkan kode internal dari dalam dirinya sendiri. Media massa kemudian menciptakan batas tentang mana yang disebut informasi dan non-informasi, mereka menyeleksi informasi menurut kriteria yang diciptakan dari lingkungan sendiri dan mengkomunikasikan informasi tersebut menurut kriteria refleksif mereka sendiri. Ciri inilah yang menguatkan argumentasi bahwa media massa adalah sistem autopoietic.

Sebelum berbicara banyak tentang media massa sebagai sistem autopoietic, ada baiknya disampaikan karakteristik sistem autopoietic menurut Niklas Luhmann. Luhmann menyebutkan empat karakteristik dalam sistem autopoietic, seperti yang disebutkan oleh Ritzer & Goodman (2007, 244-246). Pertama, sistem autopoietic menghasilkan elemen-elemen dasar yang membentuknya sendiri (self-creation). Kedua, sistem autopoietic mengorganisasikan diri (

self-organizing), mengorganisasikan batas-batas dan struktur internalnya sendiri. Ketiga, sistem

autopoietic mengacu pada dirinya sendiri dengan menetapkan nilai yang relevan bagi dirinya

(self-referential). Keempat, sistem autopoietic adalah sistem tertutup, artinya sistem tidak ada

kaitan langsung dengan lingkungannya.

Empat karakteristik inilah yang menegaskan bahwa sistem bersifat autopoietic, yakni memproduksi elemen, mengorganisasi batas dan struktur, mengacu pada nilai yang ia ciptakan sendiri, serta tidak terkait secara langsung dengan lingkungannya. Karakteristik ini kemudian dibawa oleh Luhmann untuk membaca realitas media massa. Jika demikian, apa yang terjadi di dalam media massa dengan sistemnya yang autopoietic jika dikaitkan dengan sistem demokrasi. Sementara, dalam sistem demokrasi seperti Indonesia, media massa dianggap memiliki posisi penting dalam menjalankan fungsi kontrol sosial. Oleh sebab itu, tulisan ini bermaksud melihat fenomena autopoietic media massa tersebut dalam sistem negara demokrasi.

(9)

Kode Media Massa, di mana Publik dan Demokrasi?

Luhmann memakai istilah kode (code) untuk membedakan elemen-elemen yang termasuk dalam sistem dan yang tidak termasuk di dalamnya. Menurut Luhmann, kode dipakai untuk menetapkan kemungkinan dan membatasi bentuk komunikasi dalam sistem, sehingga bentuk komunikasi tersebut bisa dilihat sebagai sebuah seleksi. Luhmann membahasakannya demikian:

Code taken as an artificial duplication of possibilities with the consequence that every element

can be presented as a selection. Kode dalam hal ini, juga bisa berarti sebuah bahasa atau “ide

pokok” yang dipakai oleh sebuah sistem, sehingga sistem tersebut berbeda dengan sistem-sistem yang lain. Dalam sistem sains misalnya, kode yang dipakai adalah kebenaran (kontra ketidakbenaran), sistem ekonomi memakai kode pembayaran (kontra non pembayaran), dan hukum memakai kode legal (kontra illegal). Luhmann (2000: 17) menyebut bahwa kode dalam sistem media massa terkait dengan pemisahan apa yang disebut informasi dan non informasi, yang memungkinkan media massa memilih informasi dan mengkomunikasikannya menurut kriteria mereka sendiri. Kode ini yang kemudian mendasari kerja media massa di dalam masyarakat, informasi selanjutnya menjadi “positive value” yang memberi arahan bagi media massa sebagai sebuah sistem dalam mereduksi kompleksitas terhadap lingkungannya. Dalam artian, sebagai sebuah sistem, media massa telah melakukan simplifikasi atas kompleksitas lingkungan. Luhmann berpendapat bahwa sistem punya kehendak sendiri dan selalu tidak lebih kompleks dari lingkungannya (faktor eksternal) (Ritzer & Goodman, 2007: 243). Dalam melihat sistem, adanya lingkungan (faktor eksternal) tidaklah bisa diabaikan. Jika membaca kembali pada karya The Reality of Mass Media (2000), Luhmann menyebutkan bab yang diberi judul

The Public”. Menariknya bab ini juga membahas secara sederhana dalam memahami apa yang

(10)

dengan produk-produk informasi media massa, Luhmann menyebutkan tiga kategori, News and

In-depth Reporting, Entertainment, Advertising.

Secara ideal dan tidak ada keraguan, bahwa tugas media massa adalah untuk berpihak pada kepentingan publik. Maka, tidak heran jika media massa (pers) dianggap sebagai pilar ke empat dalam demokrasi. Akan tetapi, kecenderungan autopoietic dalam sistem media massa, publik ditempatkan relevansinya hanya sejauh mereka berhubungan dengan kode media massa (informasi/non-informasi), dan sebagai sistem yang relatif “bebas” media massa pun berhak menentukan mana yang ia anggap layak dan tidak layak untuk dijadikan informasi. Sampai di sini, kita sudah memahami bahwa media massa sebagai sistem autopoietic memiliki kode tersendiri (informasi/non-informasi), serta dalam kaitannya dengan publik sebagai lingkungannya, media massa punya kehendak untuk membatasi diri dari kompleksitasnya terhadap publik sejauh hal itu relevan dengan kode mereka.

Dalam melihat kecenderungan informasi media massa dalam mewacanakan demokrasi, media massa di Indonesia menurut Subono, dkk (2012) cenderung mewacanakan tradisi demokrasi yang libertarian, dan inilah sebab di mana demokrasi di Indonesia tidak berbanding lurus dengan capaian untuk menciptakan kesejahteraan bagi publik (masyarakat). Dalam studinya itu, Oposisi

Demokratik di Era Mediasi-Massal Demokrasi (2012), Subono, dkk, melihat bahwa informasi

tentang demokrasi yang di mediasi oleh media massa, lebih mirip retorika belaka, dan justru menunjukkan betapa gagalnya demokrasi (wacana yang dimediasi media massa) dalam mengupayakan kesejahteraan. Dari pemaparan ini, bila dikaitkan bahwa media massa telah mereduksi kompleksitas lingkungan (publik) sejauh hal itu relevan dengan kode mereka. Maka, fenomena yang terjadi di media massa di Indonesia seperti yang diungkapkan, adalah reduksi tentang kesejahteraan yang seharusnya menjadi bagian penting dalam wacana demokrasi yang dimediasi oleh media massa. Jadi, sebagai sistem autopoietic, media massa telah menetapkan kode tentang informasi, dan agar media massa tidak menjadi sekompleks lingkungannya (publik), tentu sejumlah reduksi pun dilakukan. Sayangnya, dalam negara demokrasi seperti Indonesia, media massa justru melakukan reduksi pada hal yang sangat penting bagi publik, yakni “kesejahteraan”.

(11)

bagaimana masyarakat menggunakan media untuk mengetahui segala bentuk realitas, padahal realitas di dalam media itu belum tentu terpercaya. Praktek konstruksi realitas di media itulah, yang nampaknya melibatkan reduksi-reduksi tertentu. Maka, di dalam kecenderungan media massa sebagai sistem autopoietic, yang terjadi justru adanya reduksi atas nilai demokrasi.

Demokrasi di Tengah Tumpang Tindih Orientasi Media Massa

Ketika memasuki era pasca Orde Baru hingga hari ini, ada semacam perayaan meriah atas kebebasan pers dari belenggu rezim penguasa. Dulu, pers dituntut untuk bersikap santun dan dilarang menyinggung perasaan rezim. Saat ini, pers begitu bebas mengungkapkan apapun, tidak ada larangan untuk kritis bahkan marah kepada pemerintah. Dulu, kita masih bisa menyebut pers dengan predikat-predikat heroik, tentu bagi mereka yang berani mengkritik kekuasaan rezim, sebab saat itu asosiasi atas common enemy bagi pers masih begitu tampak, siapa lagi jika bukan rezim penguasa. Dalam pandangan sosiolog, Briyan S. Turner (2006: 115-118), sistem

autopoietic dalam pemikiran Luhmann, telah menunjukkan bahwa sistem itu sendiri telah

(12)

melihat faktor-faktor lain yang mungkin relevan dalam melihat kecenderungan media massa yang mereduksi nilai-nilai demokrasi.

BAB IV

KESIMPULAN

Niklas Luhmann secara cerdas telah menyajikan skema analisis dalam sistem masyarakat modern, dalam melihat keadaannya yang serba berkehendak berdiri sendiri atau autopoietic, sehingga tampaklah adanya kekacauan dalam sistem masyarakat modern. Akan tetapi, Luhmann sebenarnya juga banyak dikritik karena analisisnya itu tidak membantu dalam mengupayakan perbaikan atas kecenderungan yang dia perlihatkan sendiri. Luhmann, paling tidak telah membantu dalam menganalisis adanya kekacauan dalam kondisi media massa di tengah sistem demokrasi. Ketika kita masih percaya bahwa ada upaya-upaya yang mungkin dilakukan dalam memperbaiki keadaan masyarakat di tengah demokrasi, maka media massa sebagai unit yang tidak bisa diabaikan, harus dilibatkan dalam upaya itu. Secara ideal dalam iklim demokrasi, media massa punya peran penting dalam mengupayakan terselenggaranya “market place of

ideas”. Terminologi itu bukan berarti ide-ide yang bersifat semena-mena mengacu pada konsep

(13)

kepentingan oknum politik tertentu, bukan berarti kemudian media harus dikuasai oleh negara, akan tetapi negara pun harus punya tindakan tegas dalam menyikapi hal ini. Prinsip terpentingnya adalah, bagaimana mencari sintesis riil yang tepat untuk mencari keseimbangan antara kepentingan masyarakat dan kemandirian media secara ekonomi, sebab itu tindakan tegas dan berani menjadi penting, negara dan masyarakat haruslah terlibat secara sinergis. Keadaan ini menjadi semacam pertaruhan atas nasib publik, sebab dari hari ke hari kepentingan publik terus digerus oleh perilaku media massa yang keluar dari hakikat tugas dan fungsinya dalam negara demokratis.

SARAN

a. Usaha yang kemudian relevan untuk mengupayakan adanya demokratisasi media. Menyebutkan sejumlah indikator dalam demokratisasi media, diantaranya: akuntabilitas,

adequacy, dan akses. Akuntabilitas berarti tanggungjawab media atas pemenuhan kepentingan

publik. Sedangkan Adequacy, adalah kesanggupan media untuk menyiarkan informasi yang berguna bagi publik (well information). Sementara akses, adalah jaminan atas jangkauan publik terhadap media, baik mendapatkan informasi atau melakukan interaksi kritis-dialogis atas informasi tersebut. Indikator-indikator ini boleh dibilang ideal, akan tetapi ia tidak akan cukup berguna tanpa adanya upaya riil dalam memperbaiki realitas media massa.

b. Dengan membatasi modal atau kepemilikan, maka diharapkan akan terjadi persaingan yang sehat di dalam sistem dan konstelasi media massa. Pada gilirannya, keadaan ini akan menghadirkan angin segar bagi demokratisasi media di mana prinsip diversity of ownership

(keberagaman kepemilikan) dan diversity of content (keberagaman isi) diterapkan.

KRITIK

(14)

DAFTAR PUSTAKA

Butsch, Richard (Ed.). 2007. Media and Public Sphere. New York: Macmillan.

Curran, James. 2002. Media and Power. London: Rouletdge

Luhmann, Niklas. 2000. The Reality of the Mass Media (Trans. Kathleen Cross). Cambridge: Polity Press.

Ritzer, George and Douglas J. Goodman. , 2008. Modern Sociological Theory, 6th Edition (Translated by Alimandan of Modern Sociological Theory, 6th Edition). Jakarta: Kencana

Subono, Imam, dkk. 2012. Oposisi Demokratik, di Era Mediasi-Massal Demokrasi. Jakarta: UI Press.

Suseno, Franz Magnis. 2008. Etika Kebangsaan, Etika Kemanusiaan. Yogyakarta: Impulse.

Syahputra, Iswandi. 2013. Rezim Media: Pergulatan Demokrasi, Jurnalisme, dan Infotainment

dalam Industri Televisi. Jakarta: Gramedia

Referensi

Dokumen terkait

Dari uji statistik korelasi Spearman’s diperoleh bahwa ada hubungan antara kadar TSH dengan kadar FT4, korelasi yang terjadi adalah hubungan berlawanan arah yang

FAI Universitas Muhammadiyah Palembang 33 STAI

Kurnia Aneka Gemilang yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan laporan penelitian ini.. Seluruh staff administrasi Jurusan Teknik Industri, Bang Mijo, Bang Ridho,

komposisi cairan tubuh, nutrisi dan nilai phase angle, tanpa rasa sakit pada

Dalam menjalankan kegiatan bisnisnya, perusahaan ini masih menggunakan semi komputerisasi dimana hanya penginputan transaksi di Jakarta yang menggunakan sistem yang

Selanjutnya, peserta geladi dan KP mengolah dan menganalisis data yang diperoleh untuk mengidentifikasi permasalahan inti yang dialami oleh setiap UKM

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh protease ekstraseluler bakteri halofilik isolat bittern tambak garam Madura dan menentukan pengaruh garam monovalen (NaCl dan KCl)

Bahan tambahan pangan (BTP) adalah bahan kimia alami atau sintetis, yang mempunyai atau tidak mempunyai nilai gizi, yang ditambahkan dalam makanan pada waktu pengolahan..