MODEL KEBIJAKAN DISTRIBUSI BAWANG MERAH DAN PUTIH
DI WILAYAH EKS KARESIDENAN SURAKARTA
DENGAN
SUPPLY CHAIN MANAGEMENT
Soepatini1, Imronudin Muhammad2,Setyawan Anton3, Nugroho Sidiq4 Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Muhammadiyah Surakarta
soepatini@ums.ac.id
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pola pembentukan harga dan distribusi bawang putih dan bawang merah di kawasan eks karesidenan Surakarta. Rerangka analisis yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah rerangka manajemen rantai pasok (supply chain management). Bawang putih dan bawang merah adalah komoditas penting yang fluktuasi harganya memberikan kontribusi bagi tingkat inflasi di beberapa wilayah di Indonesia. Kawasan eks karesidenan Surakarta adalah salah satu wilayah yang terkena dampak dari fluktuasi harga bawang merah dan bawang putih. Bawang merah dan bawang putih merupakan salah satu komoditas penyumbang inflasi yang cukup besar di wilayah Eks Karesidenan Surakarta. Kebutuhan bawang merah dan bawang putih di wilayah Eks Karesidenan Surakarta masih bergantung dari impor dari daerah lain maupun dari luar negeri. Produksi Bawang merah di eks karisidenana Surakarta berada di wilayah Boyolali dan Karang anyar. Ketergantungan pasokan bawang merah dan bawang putih dan panjangnya jalur distribusi ini juga mempunyai dampak negatif, yaitu harga komoditas ditetapkan oleh para tengkulak atau pedagang yang menyalurkan bawang merah dan putih dari para produsen ke konsumen. Tingginya permintaan kedua komoditas tersebut apabila harga komoditas bawang merah dan bawang putih sedikit mengalami kenaikan, dapat menyumbang inflasi yang cukup besar. Harga jual hasil panen bawang merah di level petani antar Rp 8.000 sampai Rp 9.000 kemudian dikirim kepada Pedagang Besar yang berada di wilayah lain. Distributor menjual kepada pedagang eceran dengan harga Rp 11.000 sampai Rp 12.000 dan untuk konsumen bisnis dengan harga Rp 16.000 sampai dengan Rp 18.000. Dari Pedagang eceran dijual kepada konsumen akhir RP 13.00 hingga Rp 14.000. Harga jual bawang putih dari importir dengan dua jenis yaitu cating antara Rp 11.600 sampai Rp 11.700 dan cincau antar Rp 9.000 sampai Rp 10.000 kemudian dikirim kepada Agen. Agen menjual kepada distributor yang berada di wilayah lain dengan harga cating antara Rp 11.700 sampai Rp 11.800 dan cincau Rp 10.1100. Kemudian untuk harga jual kepada Pedagang eceran yang ditentukan oleh distributor dengan harga cataing Rp 12.000 dan cincau Rp 12.000. selanjutnya harga jual untuk konsumen bisnis dari distributor dengan harga Rp 16.000 untuk kating dan cincau Rp 18.000.
Kata kunci :Bawang merah, Bawang putih, Rantai pasok, Inflasi
1. PENDAHULUAN
Penelitian tentang harga merupakan sebuah kajian penting yang terkait dengan inflasi, stabilisasi makro ekonomi dan juga aspek distribusi komoditas. Inamura et al., (2011) mengemukakan bahwa perubahan harga komoditas saat ini mempunyai kontribusi besar terhadap indeks harga konsumen. Chenet al., (2008) pada sisi lain menemukan bahwa harga komoditas bisa
berdampak secara tidak langsung pada nilai tukar mata uang.
putih merupakan salah satu komoditas penyumbang inflasi yang cukup besar di wilayah Eks Karesidenan Surakarta. Dengan bobot inflasi sebesar 0,41% untuk bawang merah dan 0,34% untuk bawang putih (data BPS) dengan nilai konsumsi per tahun untuk bawang merah sebesar 22.527 ton sehingga apabila harga komoditas bawang merah dan bawang putih sedikit mengalami kenaikan, dapat menyumbang inflasi yang cukup besar.
Pada tahun 2012, konsumsi bawang merah di wilayah Eks Karesidenan Surakarta mencapai 22.527 ton sedangkan tingkat produksi mencapai 41.325 ton dengan daerah penghasil terbesar adalah Kabupaten Boyolali diikuti Karanganyar dan Sragen (data surplus defisit bahan pangan Soloraya, 2013). Namun demikian, bawang merah yang ada di pasar-pasar di wilayah Eks Karesidenan Surakarta rata-rata berasal dari luar wilayah Eks Karesidenan Surakarta. Berdasarkan informasi yang didapatkan oleh KPw BI Solo, petani bawang merah di daerah Boyolali misalnya, tidak bisa langsung masuk ke pasar yang berada di wilayah Eks Karesidenan Surakarta melainkan harus melalui pihak distributor di Jawa Timur terlebih dahulu.
Hal tersebut menandakan bahwa kebutuhan bawang merah dan bawang putih di wilayah Eks Karesidenan Surakarta masih bergantung dari impor dari daerah lain maupun dari luar negeri meskipun sebenarnya jumlah produksinya masih surplus. Sehingga apabila terjadi gangguan dalam pengiriman pasokan bawang merah dari daerah lain maka akan menyebabkan kelangkaan komoditas bawang yang dapat berakibat kenaikan harga.
Ketergantungan pasokan bawang merah dan bawang putih dan panjangnya jalur distribusi ini juga mempunyai dampak negatif, yaitu harga komoditas ditetapkan oleh para tengkulak atau pedagang yang menyalurkan bawang merah dan putih dari para produsen ke konsumen. Sehingga terkadang petani lokal di daerah Boyolali, Sragen maupun Karanganyar juga tidak
mempunyai bargaining power terhadap penentuan harga bawang.
Dengan mekanisme tersebut diatas, apabila harga bawang merah itu naik maka pihak yang menikmati keuntungannya adalah tengkulak. Karena harga di petani biasanya akan tetap stabil dan tengkulak serta distributor dapat memainkan harganya di pasar. Lain halnya apabila terjadi panen raya dan harga bawang sedang turun, maka petani harus mengalami dampak langsungnya sehingga mereka harus mau menjual produksi hasil taninya dengan harga yang relatif rendah.
Penelitian ini untuk menganalisis pembentukan harga dan bentuk distribusi bawang merah dan bawang putih. Kerangka dari penelitian ini menggunakan Supply
Chain Management(SCM). Tujuan dari
penelitian ini adalah
1. Menganalisis dan memetakan rantai distribusi dan pemasaran bawang merah dan bawang putih di wilayah Eks Karesidenan Surakarta
2. Menganalisis pembentukan harga komoditas bawang merah dan bawang putih di wilayah Eks Karesidenan Surakarta.
3. Menyusun rekomendasi kebijakan kepada Pemda dan stakeholder lainnya dalam rangka pengendalian harga komoditas bawang merah dan bawang putih terhadap inflasi serta untuk melindungi para petani bawang.
4. Menganalisis disamping
ketersediaan pasokan, apakah ada faktor lain yang mempengaruhi fluktuasi harga bawang merah dan bawang putih.
2. KAJIAN LITERATUR
Rerangka Analisis dengan Supply Chain Management
Menurut Simchi-Levi, et
al. (2003),Supply Chain
Management(SCM) merupakan
sehingga produk dihasilkan dan didistribusikan dengan kuantitas yang tepat, lokasi dan waktu yang tepat untuk memperkecil biaya serta memuaskan kebutuhan pelanggan. SCM bertujuan untuk membuat seluruh sistem menjadi efisien dan efektif; minimasi biaya system total, dari transportasi dan distribusi sampai inventorybahan mentah, bahan dalam proses dan produk jadi. Berdasarkan tujuan tersebut, penekanan
SCM tidak hanya sebatas
meminimalisasikan biaya transportasi atau mengurangiinventory, tetapi lebih kepada melakukan pendekatan untuk SCM. SCM bergerak disekitar integrasi pemasok, pabrik, gudang dan toko-toko secara efisien, mencakup aktivitas-aktivitas
perusahaan dari level strategis, taktis sampai operasional.
Sebuah rantai pasok mempunyai empat ukuran kinerja, yaitu efisiensi biaya, kualitas fleksibilitas dan waktu pengiriman. Keberhasilan sebuah sistem manajemen rantai pasok tergantung pada seberapa cepat produk atau jasa sampai ke tangan konsumen dengan kualitas terjaga dengan harga yang bisa diterima. Dalam sebuah sistem rantai pasok, maka titik kritis sangat penting. Titik kritis adalah sebuah bagian dari proses rantai pasok yang paling menentukan dari sisi efisiensi waktu-biaya dan standar kualitas yang terjaga. Gambar dibawah ini menunjukkan rerangka analisis supply chain
management.
Pasokan produk pertanian juga merupakan sistem ekonomi yang mendistribusikan manfaat maupun risiko antar partisipan. Dengan demikian,
Supply Chain mendorong pemberlakuan
mekanisme internal serta
mengembangkan insentif sepanjang rantai untuk memastikan jadwal produksi dan komitmen penghantaran tepat waktu (Iyer & Bergen, 1997, Lambert & Cooper, 2000. Individu pemasok, produsen dan pemasar yang berasosiasi melalui suatu Supply Chain
akan mengkoordinasikan nilainya masing-masing untuk menciptakan kegiatan bersama, sehingga nilai yang terakumulasi menjadi lebih besar
dibandingkan jika setiap mata rantai tersebut beroperasi secara independen. Dalam manajemen rantai pasok pada komoditas bawang merah dan putih yang memiliki risiko penurunan nilai karena mudah busuk dalam jangka waktu relatif singkat, sehingga pembatasan persediaan dan aliran barang yang lebih cepat atau pendek akan meningkatkan efisiensi dalam rangkaian pasokan.
Identifikasi Anggota Supply Chain
Pelaksanaan SCM meliputi pengenalan anggota Supply Chain
dengan tiap anggota inti dan jenis penggabungan apa yang diterapkan pada tiap proses hubungan tersebut.
Tujuannya adalah untuk
memaksimalkan persaingan dan keuntungan bagi perusahaan dan seluruh anggotanya, termasuk pelanggan akhir. Anggota Supply Chain meliputi semua perusahaan dan organisasi yang berhubungan dengan perusahaan inti baik secara langsung maupun tidak langsung melalui pemasok dan pelanggannya daripoint of
originhinggapoint consumption.Prima
ry members(anggota primer) adalah
semua perusahaan atau unit bisnis strategi yang benar-benar menjalankan aktivitas operasional dan manajerial dalam proses bisnis yang dirancang untuk menghasilkan keluaran tertentu bagi pelanggan atau pasar.Secondary
members(anggota sekunder) adalah
perusahaan-perusahaan yang menyediakan sumberdaya, pengetahuan, utilitas atau aset-aset bagi anggota primer. Melalui definisi anggota primer dan anggota sekunder diperoleh
pengertianthe point of
origin dari supply chain adalah titik
dimana tidak ada pemasok primernya. Semua pemasok adalah anggota sekunder, sedangkanthe point
consumptionadalah titik dimana tidak
ada pelanggan utama (Miranda dan Tunggal, 2005). Dalam penelitian ini dalam anggota inti rantai suplai adalah 1. Importir adalah
Pengusaha yang melakukan pembelian bawang merah dan putih dari luar negeri untuk didistribusikan kepada konsumen untuk memenuhi permintaan dalam negeri
2. Agen importir (Fungsi)
Orang/pengusaha sebagai representasi dari importir yang berada di suatu lokasi pasar yang bertugas menyediakan informasi pasokan bawang putih dan bawang merah 3. Petani
Perorangan yang melakukan pengolahan tanah yang ditanami bawang merah
dan putih untuk menghasil produk dalam jumlah yang lebih banyak 4. Pengepul (Fungsi)
Pengumpul merupakan pedagang yang memasarkan hasil panenan petani atau mencari barang dagangan untuk distributor pasar dan pedagang pasar. Pedagang pengumpul
biasanya mencari petani yang sedang panen, kemudian tawar-menawar dalam harga.
5. Distributor
Distributor merupakan pedagang yang menerima barang dari petani ataupun importir, dengan kemampuan modal besar. Modal besar yang dimiliki Distributor ini dapat mendatangkan bawang merah dan putih dari berbagai daerah, sesuai permintaan pasar.
6. Pengecer
Pedagang yang melakukan pembelian dari petani maupun distributor untuk dijual kembali kepada konsumen akhir
7. Konsumen Bisnis
Perorangan ataupun badan hukum yang menggunakannya dalam proses produksi menjadi produk akhir
Kebijakan Harga
Levy et al., (2004) menyebutkan
bahwa strategi harga disebabkan oleh beberapa hal antara lain struktur biaya, persaingan, strategi komunikasi dengan konsumen dan strategi pemasaran secara umum. Pasar oligopoli bisa mendorong adanya disparitas pembagian keuntungan antara lembaga perantara dengan produsen. Harga pada level konsumen bisa jadi lebih banyak disebabkan karena disparitas informasi. Ferreira dan Ferreira (2010) menunjukkan dalam kajiannya bahwa struktur pasar oligopoli bisa menguntungkan pihak yang mempunyai informasi untuk mengambil keuntungan lebih banyak dalam sebuah jalur distribusi.
tidak hanya ditentukan dengan rumusan sederhana yaitu struktur biaya ditambah dengan ekspektasi pemasar terhadap tingkat keuntungan. Penentuan harga juga bisa ditentukan dari berbagai aspek yaitu struktur pasar, karakteristik konsumen, pola distribusi dan strategi pemasaran.
Harga keseimbangan terbentuk dari supply-demand process dimana jumlah barang yang diminta sama dengan yang ditawarkan (Nicholsen, 2005).
1. Demand Qd = D (P,a) dimana a merupakan parameter yang mempengaruhi pergeseran kurva permintaan, seperti pendapatan konsumen, harga produk lain atau perubahan preferensi.
2. Supply Qs=S (P,ß), dimana ß merupakan parameter penggeser kurva penawaran yang antara lain disebabkan oleh faktor harga input, perubahan teknis atau harga produk lainnya.
Beberapa faktor pembentuk harga:
1. Variabel input dan faktor produksi lainnya yang digunakan dalam proses produksi untuk menjadi output.
2. Variabel non-produksi, seperti biaya distribusi, biaya pemasaran, margin keuntungan.
3. Struktur pasar yang mencerminkan derajat persaingan dan kemampuan mempengaruhi harga.
Agen ekonomi dapat memperoleh keuntungan dengan melakukan salah satu dari tiga bentuk kegiatan penambahan nilai ekonomis suatu komoditas. Namun, kegiatan distribusi tetap menjadi ujung tombak dari semua kegiatan tersebut karena berhubungan langsung dengan pengguna akhir atau konsumen. Untuk beberapa jenis komoditas pertanian seperti sayuran, bahkan tidak perlu melalui kegiatan pengubahan bentuk dan penyimpanan karena terkait dengan karakteristik komoditas maupun cita rasanya. Selain itu, sifat komoditas yang perishable
membuat kegiatan distribusi untuk menyampaikan komoditas tersebut
kepada konsumen menjadi lebih dominan.
Harga komoditas yang terbentuk pada tingkat akhir atau level pengguna/konsumen sangat tergantung pada efisiensi dari kegiatan distribusi tersebut. Efisiensi dari kegiatan distribusi komoditas atau dikenal dengan istilah ‘tata niaga’ sangat dipengaruhi oleh panjang mata rantai distribusi dan besarnya marjin keuntungan yang ditetapkan oleh setiap mata rantai distribusi.
Struktur Pasar dan Strategi Bisnis
Penjelasan dari struktur pasar didasarkan atas jumlah dan ukuran perusahaan yang berada pada suatu industri dalam menyediakan dan menjual suatu produk kepada pasar atau sekumpulan pembeli. Pengamatan terhadap struktur pasar dilakukan dengan melihat karakteristik pasar terutama tentang perilaku penjual dan pembeli ketika melakukan transaksi perdagangan. Perilaku perusahaan berkaitan dengan penetapan target penjualan, aset, dan laba, serta penetapan metode persaingan yang digunakan. Struktur pasar didefinisikan sebagai kumpulan faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kompetensi di pasar dipengaruhi oleh tingkat penguasaan teknologi, elastisitas permintaan terhadap suatu produk, lokasi, hambatan masuk ke pasar dan tingkat efisiensi. Untuk mengukur perilaku perusahaan, produsen maupun penjual, dalam menjalankan strategi bisnis untuk mencapai pertumbuhan pangsa pasar (market share). Ukuran pangsa pasar dapat digunakan untuk mengukur rasio konsentrasi dan indeks Herfindahl. Rasio konsentrasi mengukur derajat horizontal market power. Ukuran lain yang digunakan untuk mengetahui dinamika struktur pasar yaitu ada atau tidaknya hambatan masuk ke pasar
(barriers to entry).
Informasi tentang market
untuk mengetahui kondisi structural pasar yaitu:
1. Apakah sejumlah perusahaan yang memiliki market power berpeluang melakukan kolusi atau bersaing bebas
2. Adakah ada dominasi oleh satu atau beberapa perusahaan (posisi dominan)
3. Adakah kesulitan bagi calon pesaing untuk bergabung masuk pasar
Persaingan yang efektif berdasarkan struktur pasar tertentu akan menentukan tingkat persaingan. Kategori persaingan pasar, selain ditentukan oleh tingkat market power, biasanya didasarkan atas jenis produk dan jangkauan geografis. Dalam teori mikroekonomi ada 6 kategori pasar berdasarkan tingkat persaingan yang diindikasikan oleh penguasaan pangsa pasar yaitu:
1. Pure monopoly : satu perusahaan
menguasai pangsa pasar 100%
2. Dominant firm : satu perusahaan
menguasai pangsa pasar 40-99%
3. Tight oligopol y: empat perusahaan
menguasai pangsa pasar lebih 60%
4. Loose oligopoly: empat perusahaan
menguasai pangsa pasar kurang dari 60%
5. Monopolistic competition : banyak
perusahaan bersaing dengan masing-masing memiliki market power yang tidak sama
6. Pure competition : banyak
perusahaan bersaing dengan masing-masing tidak memiliki market power
Atas kegiatan produksi, perubahan bentuk, penyimpanan dan distribusi yang dilakukan, para agen ekonomi menetapkan marjin keuntungan. Besarnya marjin keuntungan yang dapat ditetapkan oleh para agen ekonomi sangat dipengaruhi oleh struktur pasar dari komoditas yang diperdagangkan. Struktur pasar ditentukan oleh beberapa kriteria, yaitu (i) jumlah perusahaan/agen/penjual yang beroperasi
di pasar tersebut; (ii) ada tidaknya hambatan bagi perusahaan/agen/penjual untuk masuk dan keluar dari pasar; dan (iii) karakteristik dari komoditas yang diperdagangkan. Struktur pasar tersebut berpengaruh terhadap kekuatan dari para agen/penjual di dalamnya untuk mempengaruhi harga pasar. Secara teoritis, struktur pasar dapat berbentuk pasar monopoli, duopoli, oligopoli, persaingan monopolistik (monopolictic
competition), dan persaingan sempurna
(perfect competition).
3. METODE PENELITIAN Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan desain penelitian kuantitatif survey dan kualitatif in depth interview. Desain penelitian survey dipergunakan untuk menganalisis data tentang struktur biaya, tingkat keuntungan dandelivery time dari masing-masing lembaga dalam jalur rantai pasok. Desain kualitatif dengan in depth
interview dipergunakan untuk
menganalisis perilaku lembaga perantara dalam rantai pasok bawang putih dan bawang merah.
Populasi dan Sampel
Populasi dari penelitian ini adalah semua pihak yang terlibat dalam rantai pasok bawang putih dan bawang merah, yang terdiri dari petani, tengkulak, koperasi, pedagang besar, pedagang eceran moderen dan tradisional, konsumen bisnis dan konsumen akhir yang ada di wilayah eks karesidenan Surakarta. Penelitian ini menggunakan metode pengambilan sampel kombinasi
dari purposive random sampling dan
quota sampling untuk survey.
Karakteristik khusus dari responden adalah mereka merupakan petani, pedagang, pelaku distribusi dan konsumen bisnis dengan skala bisnis menengah sampai besar. Quota
sampling terkait dengan kondisi spasial
jumlah responden adalah 210 responden. Penentuan responden sebagai narasumber in depth interview dengan menggunakan snow ball sampling yaitu satu responden kunci memberikan
informasi tentang responden kunci lain dalam satu jalur rantai pasok.
Variabel dan Pengukuran
Variabel yang diukur dalam penelitian ini adalah:
Tabel 1. Struktur Biaya dan Harga dari Petani, Pengepul, Distribusi, Pedagang Eceran
Petani Pengepul
Struktur Biaya Harga Jual Pada Level Petani
e. Biaya tenaga kerja. c. Harga terendah
(tergantung musim) d.Harga jual pada
perantara
a. Harga kulakan dari petani b. Biaya tenaga
kerja. d. Harga jual pada
pedagang besar...
Distributor Pedagang Eceran
Struktur Biaya Harga Jual Pada Level Petani
Struktur Biaya
Harga jual pada level Pengepul a.Harga kulakan dari
pengepul
b. Biaya tenaga kerja. d. Harga jual pada
pedagang besar...
Tabel diatas menunjukkan struktur biaya dan pembentukan harga pada masing-masing level. Informasi diatas menunjukkan tentang bagaimana petani, distributor, Distributor, Pedagang Eceran membagi keuntungan mereka. Struktur biaya pada level petani bawang merah mempunyai struktur biaya paling kompleks dibanding dengan level yang lain.
Alat Analisis
Alat analisis yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah Data
Envelopment Analysis(DEA).
DEA dipergunakan dalam penelitian ini untuk mengkaji efisiensi dari lembaga dalam rantai pasok mulai dari petani sampai dengan konsumen bisnis. Efisiensi dari setiap perusahaan diukur dengan persamaan berikut:
es = uiyis / vixis, dimana i= 1,….,m dan j= 1,….,n,
Dalam persamaan (1) diatas yis adalah jumlah output yang dihasilkan perusahaan, xis, adalah input yang digunakan oleh perusahaan. Rasio efisiensi (es) ini kemudian di maksimumisasi dengan menggunakan persamaan (2):
uiyir/vjxir1,
untuk r = 1,……N dan uiserta vj0 (2)
Persamaan ini memastikan bahwa rasio efisiensi harus lebih besar atau sama dengan 1 dan bernilai positif. Dalam perhitungan menggunakan software
WDEA rasio yang dipergunakan adalah
1-100 sehingga penggunaan sumber daya bisa dikatakan efisien apabila hasil yang ada menunjukkan angka 100.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN Survey ini dilakukan di kawasan Eks Karesidenan Surakarta yang meliputi 7 Kabupaten/Kota. Responden yang direncanakan dalam survey ini sejumlah 210 responden, namun demikian hanya 208 responden yang melengkapi jawaban dari pertanyaan dalam kuesioner. Respon rate dalam penelitian ini mencapai 99%.
Gambar 1
Dalam penelitian ini sampel responden yang di survei adalah 208 responden diambil sampel dari 7 Kabupaten/Kota di Eks Karesidenan Surakarta. Komposisi dari resoponden adalah petani sebesar 20,67%, importir sebanyak 0,96%, agen penjualan sebesar 1,44%, distributor 20,67%, sedangkan
pengecer sebesar 37,50% dan konsumen bisnis 19,71%
Gambar 2
Bawang putih yang beredar di pasar eks Karesidenan Surakarta sebagain besar dikirim dari importir di Surabaya. Bawang putih tersebut 90% di impor berasal dari Tiongkok. Pemerintah pusat hanya membuka untuk pintu masuk impor bawang putih di pelabuhan Tanjung Perak Surabaya dan pelabuhan Belawan di Medan Sumatra Utara. Impor bawang putih yang masuk ke wilayah Indonesia tersedia sepanjang tahun. Jenis bawang putih impor ada 2 macam yaitu Cating dan Cincau. Dari importir di Surabaya, bawang putih didistribusikan ke Pasar Legi di Surakarta kemudian didistribusikan ke beberapa pasar-pasar di seluruh eks Karisidenana Surakarta. Selain dikirim ke pasar di eks Karisidenan Surakarta bawang putih di kirim keluar daerah yaitu ke daerah Ungaran, Ambarawa dan Salatiga.
Komoditas bawang putih lokal hanya ada pada bulan Mei saja karena terkait dengan musim. Biaya yang muncul adalah pupuk, tenaga kerja, bibit, obat anti hama dan transportasi yang dihitung per musim tanam (70-80 hari). Jenis bawang putih lokal yang ditanam lebih kecil daripada jenis impor. Biaya termasuk untuk pengelolaan diversifikasi tanaman yaitu lombok dan sayuran. Penjualan bawang putih lokal pada pengepul yang juga tetangga sendiri dan dijual ke pasar Ngargoyoso. Bawang putih lokal dari petani di daerah Magelang dan Temanggung di kirim ke pasar Boyolali, sedangkan hasil panen dari petani Ngargoyoso, Kemuning dan Tawang Mangu dikirim ke pasar di Kabupaten Karang Anyar dan Pasar Bunder Sragen.
Gambar 3. Rantai Suplai Bawang Merah
Petani di kawasan Cepogo berkonsentrasi menanam bawang merah. Kategori bawang merah ada 3 jenis. Penentuan harga berdasarkan keputusan pengepul dengan range harga antara Rp 8000 sampai dengan Rp 20.000. Biaya yang muncul antara lain biaya pupuk, biaya tenaga kerja, biaya pengadaan bibit dan biaya transportasi yang dihitung per musim tanam. Harga bawang merah sebagai bibit Rp 14.000 per kilogram (1 kg bibit menghasilkan 3 kg bawang merah basah).
Dari sentra penghasil bawang merah lokal di wilayah Karang Pandan dan Tawang Mangu harga jual per kg Rp 8000 - Rp 20.000 penentu harga berasal dari pasar. Harga ini adalah harga setengah kering. Rata-rata hasil panen per 1000 meter persegi adalah 600 kg. Per 1 kg bibit menghasilkan 6 - 8 kg bawang merah. Pupuk yang digunakan adalah pupuk kandang dan kimia. Pengadaan bibit yang digunakan oleh petani berasal dari hasil panenan musim tanam yang lalu. Bawang Merah yang dihasilkan oleh petani di wilayah Tawang Mangu dan di daerah Karang
Pandan sebagian besar dikirim ke wilayah Sragen, Karanganyar dan Wonogiri untuk dikirim kembali ke Wilayah Pacitan dan Ponorogo di Jawa Timur. Khusus bawang merah dari petani Mangu Colomadu dikirim ke pedagang di Pasar Kartasura Sukoharjo dan pasar Mangu Colomadu karena jumlah hasil panen yang sangat sedikit
Pasokan bawang merah lokal di wilayah Eks Karesidenan Surakarta berasal dari petani luar daerah yaitu dari Nganjuk, Purwodadi, Malang, Demak, Brebes dan Ngawi dan juga dari Impor. Untuk bawang merah impor didatangkan dari Tanjung Perak Surabaya hanya pada Bulan Januari sampai Maret. Sedangkan untuk bawang merah impor, petani di Indonesia bisa menghasilkan sendiri meskipun harus bersaing dengan bawang merah yang diimpor dari Vietnam, Thailand, Filipina, dan sebagian kecil lainnya dari India. Bawang merah dari Pasar Legi di Surakarta kemudian di distribusikan ke pasar-pasar di seluruh eks Karesidenan Surakarta.
Analisis Dea Efisiensi Rantai Pasok Bawang Merah Dan Bawang Putih
Analisis Data Envelopment
Analysis dilakukan untuk menganalisis
tingkat efisiensi pelaku ekonomi pada setiap tahapan rantai pasok. Analisis DEA ini menggunakan model matematis input output. Input dari model DEA
dalam kajian ini adalah biaya total dan biaya tenaga kerja, sedangkan output dalam model DEA ini adalah omzet penjualan dalam Rupiah dan total penjualan dalam kilogram. Hasil analisis DEA untuk rantai pasok bawang putih di Solo Raya adalah sebagai berikut:
Tabel 2.Hasil Analisis DEA Pelaku Usaha Bawang Putih di Solo Raya
No Unit Usaha Nilai Efisiensi Keputusan
1 Importir 1 100,00 Efisien
2 Importir 2 76,57 Tidak efisien
3 Importir 3 90,52 Tidak efisien
4 Distributor 1 100,00 Efisien
5 Distributor 2 7,82 Tidak Efisien
6 Distributor 3 12,95 Tidak efisien
7 Distributor 4 72,56 Tidak efisien
8 Distributor 5 44,64 Tidak efisien
9 Pedagang eceran 1 2,53 Tidak efisien
10 Pedagang eceran 2 5,58 Tidak efisien
11 Pedagang eceran 3 7,51 Tidak efisien
12 Pedagang eceran 4 1,79 Tidak efisien
13 Pedagang eceran 5 2,39 Tidak efisien
Hasil analisis DEA menunjukkan bahwa dalam rantai pasok bawang putih di Eks Karesidenan Surakarta, sebagian besar pelaku dalam rantai pasok mempunyai proses bisnis yang tidak efisien. Ketidak efisienan ini disebabkan oleh mekanisme alokasi biaya transportasi, biaya simpan dan biaya tenaga kerja yang tidak efisien. Pelaku rantai pasok yang mempunyai proses bisnis paling tidak efisien adalah pedagang eceran, efisiensi mereka kurang dari 10%.
Kondisi berbeda terjadi pada ditributor dan importir, meskipun hanya satu importir dan pedagang besar yang beroperasi secara efisien, rata-rata efisiensi importir dan distributor sudah mencapai 75%. Berdasarkan pola ini, maka rantai pasok bawang putih di kawasan Solo Raya mempunyai masalah inefisiensi yang serius.
Selanjutnya dilakukan analisis terhadap efisiensi rantai pasok bawang merah. Hasil analisis DEA dari rantai pasok bawang merah diringkas dalam tabel 2.
Tabel 3. Hasil Analisis DEA Rantai Pasok Bawang Merah di Solo Raya
No Unit Usaha Nilai Efisiensi Keputusan
1 Petani 1 3.45 Tidak efisien
2 Petani 2 16.67 Tidak efisien
3 Petani 3 24.00 Tidak efisien
4 Petani 4 24.00 Tidak efisien
5 Petani 5 20.00 Tidak efisien
6 Distributor 1 100.00 Efisien
7 Distributor 2 100.00 Efisien
9 Distributor 4 91.70 Tidak efisien
10 Distributor 5 86.78 Tidak efisien
11 Pedagang eceran1 8.57 Tidak efisien
12 Pedagang eceran 2 3.45 Tidak efisien
13 Pedagang eceran 3 60 Tidak efisien
14 Pedagang eceran 4 13.69 Tidak efisien
15 Pedagang eceran 5 32.88 Tidak efisien
Sumber : Analisis DEA
Hasil analisis DEA untuk raantai pasok bawang merah di Eks Karesidenan Surakarta menunjukkan hanya distributor yang mempunyai proses bisnis yang efisien, yaitu mencapai 100 persen. Petani dan pedagang eceran ternyata mempunyai proses bisnis yang tidak efisien.
Tingkat efisiensi pada level petani berada di bawah 30%. Ketidakefisienan ini disebabkan alokasi biaya bibit, biaya pupuk dan biaya tenaga kerja. Petani bawang merah di kawasan Tawang Mangu bisa memperoleh keuntungan karena ada produk turunan dari bawang merah yaitu daun dan bunga. Tanpa penjualan daun dan bunga, petani bawang merah di Tawang mangu mengalami kerugian rata-rata Rp 4 juta setiap musim tanam.
Penentuan Harga Bawang Merah
Harga jual hasil panen bawang merah di level petani antar Rp 8.000 sampai Rp 9.000 kemudian dikirim kepada Pedagang Besar yang berada di wilayah lain. Distributor menjual kepada pedagang eceran dengan harga Rp 11.000 sampai Rp 12.000 dan untuk konsumen bisnis dengan harga Rp 16.000 sampai dengan Rp 18.000. Dari Pedagang eceran dijual kepada konsumen akhir RP 13.00 hingga Rp 14.000.
Penentuan Harga Bawang Putih
Harga jual bawang putih dari importir dengan dua jenis yaitu cating antara Rp 11.600 sampai Rp 11.700 dan cincau antar Rp 9.000 sampai Rp 10.000 kemudian dikirim kepada Agen. Agen menjual kepada distributor yang berada di wilayah lain dengan harga cating antara Rp 11.700 sampai Rp 11.800 dan cincau Rp 10.1100. Kemudian untuk harga jual
kepada Pedagang eceran yang ditentukan oleh distributor dengan harga cataing Rp 12.000 dan cincau Rp 12.000. selanjutnya harga jual untuk konsumen bisnis dari distributor dengan harga Rp 16.000 untuk kating dan cincau Rp 18.000.
5. SIMPULAN:
1. Fluktuasi Harga Untuk Bawang Merah disebabkan karena:
a. Musim tanam dan
perubahan iklim.
b. Kualitas bibit dan penguasaan pasar bibit. c. Kartel perdagangan
bawang merah pada berbagai tingkatan.
d. Bulan-bulan tertentu musim hajatan.
2. Fluktuasi Harga untuk Bawang Putih disebabkan karena:
a. Ketergantungan impor yang mencapai 90 persen.
b. Jumlah importir sedikit (hanya 91 perusahaan).
c. Hanya ada 2 pintu pelabuhan impor (Surabaya dan Medan).. 3. Pembentuk harga paling dominan
dari bawang merah adalah biaya transportasi, sedangkan pembentuk harga paling dominan dari bawang putih adalah biaya tenaga kerja. 4. Faktor lain yang mempengaruhi
fluktuasi harga dari bawang merah dan putih adalah biaya transportasi yang disebabkan oleh pasokan yang harus didatangkan dari luar daerah (Brebes, Malang, Demak, Purwodadi, Kudus, Ngawi) dan prasarana jalan yang kurang baik.
1. Bawang putih impor dalam mekanisme tataniaga sudah berjalan dengan baik, dengan catatan 91 importir tersebut tidak menjadi kartel dengan pengawasan pemerintah melalui dinas pertanian, mengenai pelaporan jumlah impor dan tujuan distribusi
2. Fluktuasi harga bawang merah di pasar terjadi karena adanya kartel di setiap sentra pertanian bawang merah dan juga pada level perdagangan besar. Pemerintah perlu melakukan perbaikan tata kelola dengan memberdayakan lembaga ekonomi di tingkat pedesaan untuk mengurangi pengaruh kartel.
3. Informasi tentang pergerakan harga dan jumlah pasokan serta tingkat kebutuhan bawang merah dan putih akan memberikan dampak pada pengambilan kebijakan dalam menjaga kestabilan harga dan pasokan.
4. Penyumbang kenaikan harga juga disebabkan oleh kelayakan infrastruktur (jalan dan jumlah armada) yang kurang mendukung sehingga pemerintah melalui dinas terkait perlu melakukan perbaikan maupun pembenahan di sektor transportasi.
5. Bawang merah menunjukkan gejala yang sama dengan sektor pertanian lainnya yaituinefisiensi.
6. Pengendalian harga bawang merah dan putih akan memiliki peran penting dalam pengendalian inflasi, namun karakteristiknya yang
inelastic terhadap kebijakan
pengendalian harga tidak bisa secara langsung mempengaruhi pergerakan harga tersebut.
7. DAFTAR PUSTAKA
Chen, Yu-Chin and Rogoff, Kenneth and Rossi, Barbara, Can Exchange Rates Forecast Commodity Prices? (June
29, 2008). Economic Research Initiatives at Duke (ERID) Working Paper No. 1.68
F.A. Ferreira, and F. Ferreira, “Environmental policies in an international mixed duopoly,” in Applications of Mathematics in Engineering and Economics, edited by George Venkov et al., AIP Conference Proceedings 1184, American Institute of Physics, New York, 269–276 (2009).
Inamura, Y, Kimata, T , Kimura, T, Muto, T, (2011), “Recent Surge in Global Commodity Prices, Impact of financialization of commodities and globally accommodative monetary conditions,” Bank of Japan Review,March 2011
Iyer, A.V. & M.E. Bergen. 1997. Quick response in manufacturer-retailer Channels”, ManagementScience, Vol.43, No. 4, pp. 559-570.
Lambert D.M., Cooper M.C., 1998, "Issues in supply chain management’’. Industrial MarketingManagement. 29, 65-83.
Levy, Daniel, Shantanu Dutta, and Mark Bergen (2002), “Heterogeneity in Price Rigidity:
Nicholson, W. (2004), Microeconomic Theory: Basic Principles and Extensions, 9th edition.
nomics 60, 133-169.