BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Struktur Bangunan Gedung
Setiap bangunan gedung memiliki struktur yang berbeda – beda dikarenakan
oleh beberapa faktor antara lain : fungsi bangunan yang berbeda – beda, tampilan
arsitektur yang bervariasi, dan juga lokasi yang tersedia. Dalam peraturan SNI –
1726 – 2002 disebutkan struktur gedung ada dua yaitu struktur gedung beraturan dan
struktur gedung yang tidak beraturan. Struktur gedung ditetapkan sebagai struktur
gedung beraturan, apabila memenuhi ketentuan sebagai berikut :
- Tinggi struktur gedung diukur dari taraf penjepitan lateral tidak lebih dari 10
tingkat atau 40 m.
- Denah struktur gedung adalah persegi panjang tanpa tonjolan dan kalaupun
mempunyai tonjolan, panjag tonjolan tersebut tidak lebih dari 25% dari
ukuran terbesar denah struktur gedung dalam arah tonjolan tersebut.
- Denah struktur gedung tidak menunjukkan coakan sudut dan kalaupun
mempunyai coakan sudut, panjang sisi coakan tersebut tidak lebih dari 15%
dari ukuran terbesar denah struktur gedung dalam arah sisi coakan tersebut.
- Sistem struktur gedung terbentuk oleh subsistem-subsistem penahan beban
lateral yang arahnya saling tegak lurus dan sejajar dengan sumbu – sumbu
utama orthogonal denah struktur gedung secara keseluruhan.
- Sistem struktur gedung tidak menunjukkan loncatan bidang muka dan
kalaupun mempunyai loncatan bidang muka, ukuran dari denah struktur
dari 75% dari ukuran terbesar denah struktur bagian gedung sebelah
bawahnya. Dalam hal ini, struktur rumah atap yang tingginya tidak lebih dari
2 tingkat tidak perlu dianggap menyebabkan adanya loncatan bidang muka.
- Sistem struktur gedung memiliki kekakuan lateral yang beraturan, tanpa
adanya tingkat lunak. Yang dimaksud dengan tingkat lunak adalah suatu
tingkat, di mana kekakuan lateralnya adalah kurang dari 70% kekakuan
lateral tingkat di atasnya atau kurang dari 80% kekakuan lateral rata – rata 3
tingkat di atasnya. Dalam hal ini, yang dimaksud dengan kekakuan lateral
suatu tingkat adalah gaya geser yang bila bekerja di tingkat itu menyebabkan
satu simpangan antar tingkat.
- Sistem struktur gedung memiliki berat lantai tingkat yang beraturan, artinya
setiap lantai tingkat memiliki berat yang tidak boleh lebih dari 150% dari
berat lantai tingkat di atasnya atau di bawahnya. Berat atap atau rumah atap
tidak perlu memenuhi ketentuan ini.
- Sistem struktur gedung memiliki unsur – unsur vertical dari sistem penahan
beban lateral menerus, tanpa perpindahan titik beratnya, kecuali bila
perpindahan tersebut tidak lebih dari setengah ukuran unsure dalam arah
perpindahan tersebut.
- Sistem struktur gedung memiliki lantai tingkat yang menerus, tanpa lubang
atau bukaan yang luasanya lebih dari 50% luas seluruh lantai tingkat.
Kalaupun ada lantai tingkat dengan lubang atau bukaan seperti itu, jumlahnya
tidak boleh melebihi 20% dari jumlah lantai tingkat seluruhnya.
Apabila struktur gedung yang akan direncanakan tidak sesuai dengan
dikategorikan ke dalam struktur gedung tidak beraturan. Selain tidak
memenuhi syarat dari struktur gedung beraturan menurut SNI – 1726 – 2002,
suatu bangunan gedung dikategorikan juga sebagai struktur bangunan gedung
tidak beraturan apabila konfigurasi atau bentuk bangunan gedung tersebut
berbentuk L, T, dan bentuk – bentuk lain yang tidak simetris, seperti yang
ditunjukkan pada gambar 2.1.
Gambar 2.1 Denah struktur bangunan tidak simetris
Struktur bangunan gedung tidak beraturan seharusnya di desain secara
terpisah yaitu dengan melakukan dilatasi pada bangunan. Di mana dilatasi adalah
suatu garis pemisah antar dua bangunan yang memiliki massa yang berbeda dan
bentuk konfigurasi bangunan yang tidak simetris. Menurut jurnal “Pelajaran dari
gempa; Tinjauan kerusakan Bangunan akibat Pengaruh Torsional dan Soft/Weak
Story”, oleh Daniel Rumbi Teruna dan Robert Panjaitan, pengaruh tidak regular
bangunan akan menimbulkan peningkatan gaya geser pada komponen pemikul gaya
lateral seperti kolom, sehingga bila kolom tidak memiliki kekuatan yang memadai
serta tidak dikekang dengan baik akan menimbulkan kerusakan dan bahkan dapat
beraturan baik dalam arah horizontal maupun arah vertikal agar memiliki respons
yang mudah diprediksi akibat gaya gempa.
II.2 Perencanaan Struktur Beton Bertulang
Menurut buku “ Struktur Beton Bertulang “ karangan Istimawan Dipohusodo
, beton didapat dari pencampuran bahan-bahan agregat halus dan kasar yaitu pasir,
batu, batu pecah atau bahan semacam lainnya, dengan menambahkan secukupnya
bahan perekat semen, dan air sebagai bahan pembantu guna keperluan reaksi kimia
selama proses pengerasan dan perawatan beton berlangsung. Agregat halus dan
kasar, disebut sebagai bahan susun kasar campuran, merupakan komponen utama
beton. Nilai kekuatan serta daya tahan ( durability ) beton merupakan fungsi dari
banyak faktor, di antaranya adalah nilai banding campuran dan mutu bahan susun,
metode pelaksanaan pengecoran, pelaksanaan finishing, temperature, dan kondisi
perawatan pengerasannya.
Nilai kuat tekan beton relatif tinggi dibandingkan dengan kuat tariknya, dan
beton merupakan bahan yang bersifat getas. Nilai kuat tariknya hanya berkisar 9% -
15% dari kuat tekannya. Pada umumnya sebagai komponen dari sebuah struktur
bangunan, beton diperkuat dengan tulangan baja sebagai bahan yang dapat bekerja
sama dan mampu membantu kelemehan beton dalam menahan gaya tarik. Dengan
demikian terjadi sebuah pembagian tugas, di mana tulangan baja bertugas menahan
gaya tarik, sedangkan beton hanya diperhitungkan menahan gaya tekan. Komponen
struktur beton dengan kerja sama seperti itu disebut sebagai struktur beton bertulang.
a. lekatan sempurna antara batang tulangan baja dengan beton yang
membungkusnya sehingga tidak terjadi penggilinciran di antara
keduanya;
b. beton yang mengelilingi tulangan baja bersifat kedap sehingga mampu
melindungi dan mencegah terjadinya karat baja;
c. angka muai kedua bahan hampir sama.
Dalam perencanaan struktur beton bertulang, hal yang harus diperhatikan
adalah perilaku komponen struktur beton bertulang pada waktu menahan berbagai
beban diantaranya adalah gaya aksial, lenturan, geser, puntiran, ataupun merupakan
gabungan dari gaya-gaya tersebut. Secara umum dapat dipahami bahwa perilaku
tersebut tergantung pada hubungan regangan-tegangan yang terjadi di dalam beton
dan juga jenis tegangan yang dapat ditahan. Karena sifat beton yang mempunyai
nilai kuat tarik yang relatif rendah, maka pada umumnya hanya diperhitungkan kuat
desak yang bekerja pada daerah tekan pada penampangnya, dan hubungan
tegangan-regangan yang timbul karena pengaruh gaya tekan tersebut digunakan sebagai bahan
pertimbangan. Menurut SNI – 03 – 2847 – 2002, Modulus elastisitas beton Ec =
4700 x f'c dan menurut SNI – 03 – 1726 – 2002, modulus elastisitas baja Ecs = 200 GPa.
Adapun struktur pendukung untuk rumah dan gedung adalah sebagai berikut :
1. Plat
Plat lantai menerima beban yang bekerja tegak lurus terhadap permukaan
plat. Berdasarkan kemampuannya untuk menyalurkan gaya akibat beban, pelat lantai
a. plat satu arah yaitu plat yang didukung pada kedua tepi sisi yang
berhadapan sehingga lenturan timbul pada arah tegak lurus terhadap arah
dukungan tepi;
b. plat dua arah yaitu plat yang didukung pada keempat sisinya yang
dibatasi oleh dua balok induk pada sisi pendeknya dan dua balok anak
pada sisi panjangnya.
Plat lantai yang dirancang adalah plat lantai dua arah yang didukung pada keempat
sisinya. Untuk memudahkan perancangan akan digunakan tabel dari grafik dan
hitungan beton bertulang berdasarkan SNI – 03 – 2847 - 2002.
Menurut SNI-03-2847-2002 ayat 11.5.3.3 , tebal pelat lantai adalah :
a) Tidak boleh kurang dari nilai
ℎ=
𝑙𝑙𝑙𝑙 �0,8 + 1500𝑓𝑓𝑓𝑓 � 36 + 5𝛽𝛽(𝛼𝛼𝛼𝛼 −0,2)
atau
ℎ=
𝑙𝑙𝑙𝑙 �0,8 +1500𝑓𝑓𝑓𝑓 � 36 + 9𝛽𝛽
b) Tetapi tidak boleh lebih dari (SK SNI T-15-1991-03 ayat 3.2.5 butir 3):
ℎ=
𝑙𝑙𝑙𝑙 �0,8 + 𝑓𝑓𝑓𝑓 1500� 36
dimana: h = tebal pelat
ln = panjang bentang bersih balok dalam arah melintang
β = perbandingan antara bentang bersih dalam arah memanjang
αm = nilai rata-rata dari α
α = Ecb . Lb Ecs . Ls
Ecb = modulus elastis pada beton
Ecs = modulus elastis pada pelat.
Dalam segala hal tebal pelat minimum tidak boleh kurang dari nilai berikut :
• αm < 2, tebal pelat minimum 120 mm
• αm ≥ 2, tebal pelat minimum 90 mm.
2. Balok
Bentangan plat tidak dapat panjang karena ada ketebalan tertentu (termasuk
berat sendiri), karena akan menghasilkan struktur yang tidak hemat dan praktis. Oleh
karena itu banyak dikembangkan jenis sistem struktur plat yang bertujan untuk
mendapatkan bentang sepanjang mungkin. Salah satunya adalah sistem balok anak
dan balok induk serta kolom sebagai penopang struktur keseluruhan.
Analisis dan perencanaan balok yang dicetak menjadi satu kesatuan monolit
dengan pelat lantai atau atap didasarkan pada anggapan bahwa antara pelat dengan
balok terjadi interakasi saat menahan momen lentur positif yang bekerja pada balok.
Interaksi antara plat dan balok yang menjadi satu kesatuan pada penampangnya
membentuk huruf T sehingga dinamakan sebagai balok T. plat akan berlaku sebagai
lapis sayap (flens). Flens juga harus direncanakan dan diperhitungkan tersendiri
terhadap balok pendukungnya.
3. Kolom
Menurut pasal 10.8 SNI-03-2847-2002, kolom adalah salah satu komponen
suatu bentang terdekat dari lantai atau atap yang ditinjau. Sebagai bagian dari suatu
kerangka bangunan, kolom menempati posisi penting didalam sistem struktur
bangunan. Kegagalan kolom akan berakibat langsung pada runtuhnya komponen
struktur lain yang berhubungan dengannya atau bahkan merupakan batas runtuh total
keseluruhan bangunan.
Pada umumnya keruntuhan atau kegagalan kolom sebagai komponen tekan
tidak diawali dengan tanda peringatan yang jelas, bersifat mendadak. Oleh karena
itu, dalam merencanakan struktur kolom harus memperhitungkan secara cermat
dengan memberikan kekuatan lebih tinggi daripada komponen struktur lainnya.
Dalam prakteknya kolom tidak hanya bertugas menahan beban aksial vertikal,
definisi kolom diperluas mencakup untuk menahan kombinasi beban aksial dan
momen lentur,dengan kata lain kolom juga diperhitungkan untuk menyangga beban
aksial tekan dengan eksentrisitas tertentu.
4. Momen
Berdasarkan kondisi dilapangan serta beban yang menyebabkan terjadinya,
momen dibedakan menjadi dua jenis, yaitu:
a. Momen Lentur
Beban yang bekerja pada struktur, baik yang berupa beban gravitasi,
beban hidup, beban angin, berat sendiri dari struktur tersebut maupun
beban-beban yang lain menyebabkan terjadinya lentur dan deformasi pada elemen
struktur. Lentur pada balok merupakan akibat dari regangan yang timbul
karena adanya beban. Apabila bebannya bertambah maka akan terjadi
regangan tambahan yang menyebabkan timbulnya retak lentur disepanjang
Momen merupakan beban yang berbanding lurus dengan jarak. Akibat
adanya momen, balok mengalami lenturan pada balok dan mengakibatkan
retak pada balok. Mengingat sifat beton hanya tahan terhadap gaya tekan
saja, maka diperlukan adanya tulangan baja untuk dapat menahan tegangan
tarik yang terjadi.
b. Momen Torsi (puntir)
Gaya torsi terjadi pada saat suatu komponen memikul beban gaya
sedemikian sehingga terpuntir terhadap sumbu memanjangnya. Momen
puntir ini sering menyebabkan tegangan geser yang cukup besar. Gaya torsi
cendrung terjadi pada batang yang berpenampang bukan bulat. Gaya torsi
yang timbul mengakibatkan retak tarik diagonal seperti yang diakibatkan oleh
gaya geser lentur.
Selain terjadi pada elemen struktur beton bertulang seperti pada
balok, momen putir juga terjadi pada bangunan itu sendiri. Pada balok, untuk
mengurangi resiko akibat momen torsi, diperlukan tulangan baja yang
dipasang melintang dengan arah retakan, umumnya dipasang pada arah
memanjang balok. Pada bangunan, untuk menghindari terjadinya torsi maka
harus menjaga agar pusat rotasi dan pusat massanya berhimpit dan sebaiknya
menghindari bentuk struktur bangunan yang tidak beraturan seperti yang
disebutkan dalam SNI – 03 - 1726 – 2002 pasal 4.2 dan juga menghindari
konfigurasi bangunan yang tidak beraturan seperti gambar 2.1.
5. Gaya Lintang
Gaya lintang merupakan gaya yang tegak lurus sumbu bagian konstruksi
terjadinya lenturan, balok juga menahan gaya geser. Dalam konsep beton bertulang,
apabila gaya geser yang bekerja sangat besar sehingga beton tidak mampu
menahanya, maka diperlukan tulangan tambahan untuk dapat menahan gaya yang
tejadi.
Tegangan geser dan lentur akan timbul disepanjang komponen struktur
tempat bekerjanya gaya geser dan momen lentur. Terjadinya lentur ditahan oleh
tulangan longitudinal sedangkan untuk gaya geser, ditahan oleh tulangan tambahan
berupa sengkang. Adapun mekanisme perlawanan geser sebagai berikut:
a. adanya perlawanan geser beton sebelum terjadi retak;
b. adanya gaya ikatan antar agregat;
c. timbulya aksi pasak tulangan longitudinal sebagai perlawanan terhadap
gaya transversal yang harus ditahan;
d. terjadinya perlengkungan pada balok yang relatif tinggi;
e. adanya perlawanan penulangan geser yang berupa sengkang vertikal
ataupun miring (untuk balok bertulangan geser).
6. Gaya Normal
Gaya normal merupakan gaya yang sejajar sumbu konstruksi yang ditinjau.
Pada stuktur bangunan, yang mengalami gaya normal atau aksial paling besar adalah
kolom. Pada kolom gaya aksial sangat dominan sehingga keruntuhan sangat sulit
dihindari. Apabila beban ditambah, maka retak akan terjadi diseluruh badan kolom
tersebut dan apabila bebannya terus bertambah, maka akan terjadi tekuk (buckling)
yang ditandai dengan lepas atau hancurnya selimut beton kemudian diikuti dengan
kolom diusahakan tidak terlalu panjang/tinggi dan penulangan kolom harus sangat
diperhatikan, baik tulangan memanjang maupun sengkangnya.
7. Lendutan
Komponen struktur beton bertulang yang mengalami lentur harus
direncanakan agar mempunyai kekakuan yang cukup untuk membatasi lendutan atau
deformasi apapun yang dapat memperlemah kekuatan ataupun mengurangi
kemampuan layan struktur pada beban kerja.
Besar lendutan yang terjadi dapat diatasi dengan meningkatkan inersia
tampang tersebut. Untuk konstruksi dua arah, semua lendutan yang dihitung dengan
menggunakan formula standar atau cara lain tidak boleh melebihi nilai lendutan izin
maksimum yang ditetapkan dalam tabel 2.1 yang sesuai dengan peratuan SNI
03-2847-2002.
Tabel 2.1 Lendutan izin maksimum [ BSN, SNI-03-2847, 2002 ]
Jenis komponen struktur Lendutan yang
diperhitungkan Batas Lendutan
Atap datar yang tidak menahan atau tidak disatukan dengan komponen nonstruktural
yang mungkin akan rusak oleh lendutan yang besar
Lendutan seketika akibat
beban hidup ( L ) 180
a
l
Lantai yang tidak menahan atau tidak disatukan dengan komponen nonstruktural
yang mungkin akan rusak oleh lendutan yang besar
Lendutan seketika akibat
beban hidup ( L ) 360
l
Konstruksi atap atau lantai yang menahan atau disatukan dengan komponen nonstruktural
yang mungkin akan rusak oleh lendutan yang besar
Bagian dari lendutan total yang terjadi setelah pemasangan komponen nonstruktural ( jumlah dari lendutan jangka panjang,
akibat semua beban tetap 480 b
Konstruksi atap atau lantai yang menahan atau disatukan dengan komponen nonstruktural
yang mungkin tidak akan rusak oleh lendutan yang besar
yang bekerja, dan lendutan
seketika, akibat penambahan beban hidup )
c
240 d
l
a Batasan ini tidak dimaksudkan untuk mencegah kemungkinan penggenangan air. Kemungkinan penggenangan air harus diperiksa dengan melakukan perhitungan lendutan, termasuk lendutan tambahan akibat adanya penggenangan air tersebut, dan mempertimbangkan pengaruh jangka panjang dari beban yang selalu bekerja, lawan lendut, toleransi konstruksi dan keandalan sistem drainase.
b Batas lendutan boleh dilampaui bila langkah pencegahan kerusakan terhadap komponen yang ditumpu atau yang disatukan telah dilakukan.
c Lendutan jangka panjang harus dihitung berdasarkan ketentuan, tetapi boleh dikurangi dengan nilai lendutan yang terjadi sebelum penambahan komponen non-struktural. Besarnya nilai lendutan ini harus ditentukan berdasarkan data teknis yang dapat diterima berkenaan dengan karakteristik hubungan waktu dan lendutan dari komponen struktur yang serupa dengan struktur yang ditinjau.
d Tetapi tidak boleh lebih besar dari toleransi yang disediakan untuk komponen non-struktur. Batasan ini boleh dilampaui bila ada lawan lendut yang disediakan sedemikian hingga lendutan total dikurangi lawan lendut tidak melebihi batas lendutan yang ada.
Rumus-rumus standar untuk untuk perhitungan lendutan diberikan dalam
buku-buku mekanika teknik. Rumus lendutan δ untuk tengah-tengah bentang sebuah
balok tertumpu bebas dengan panjang l dan EI konstan, serta letak beban terpusat
ditengah bentang adalah
δ= M . l² 12 EI
Untuk balok yang mendapatkan beban terbagi rata sepanjang balok, lendutan
di tengah-tengah bentang adalah
δ=5M .l² 48 EI
Sedangkan lendutan dari pelat pada umumnya dapat dihitung dengan rumus
δ=c .M .l
2
EI
atau
δ= c . w . l 4 EI
II.3 Kuat rencana
Menurut SNI – 03 – 2847 – 2002, kuat rencana suatu komponen struktur,
sambungannya dengan komponen struktur lain, dan penampanganya, sehubungan
dengan perilaku lentur, beban normal geser dan torsi harus diambil sebagai hasil kali
kuat nominal, yang dihitung berdasarkan peraturan.
Faktor reduksi kekuatan
φ
sesuai peraturan SNI – 03 – 2847 – 2002 adalahsebagai berikut :
1. Lentur, tanpa beban aksial
φ
= 0,82. Beban aksial, dan beban aksial dengan lentur
a. Aksial tarik dan aksial tekan dengan lentur,
φ
= 0,8b. Aksial tekan dan aksial tekan dengan lentur
• Komponen struktur dengan tulangan spiral,
φ
= 0,7• Komponen struktur lainnya,
φ
= 0,65• Kecuali untuk nilai aksial tekan yang rencah, nilai
φ
bolehditingkatkan berdasarkan aturan berikut :
Untuk komponen struktur di mana fy tidak melampaui 400 MPa,
kurang dari 0,70, maka nilai
φ
boleh ditingkatkan secara linearmenjadi 0,80 seiring dengan berkurangnya nilai
φ
Pn dari 0,10 fc’Ag ke nol. Untuk komponen struktur beton bertulang yang lain,
nilai
φ
boleh ditingkatkan secara linear menjadi 0,80 seiringdengan berkurangnya nilai
φ
Pn dari nilai terkecil antara 0,10 fc’Ag dan Pb ke nilai nol.
3. Geser dan torsi,
φ
= 0,75Kecuali pada struktur yang bergantung pada sistem rangka pemikul momen
khusus atau sistem dinding khusus untuk menahan pengaruh gempa:
a. Faktor reduksi untuk geser pada komponen struktur penahan gempa
yang kuat geser nominalnya lebih kecil dari pada gaya geser yang
timbul sehubungan dengan pengembangan kuat lentur nominalnya,
φ
= 0,55.
b. Faktor reduksi untuk geser pada diafragma tidak boleh melebihi faktor
reduksi minimum untuk geser yang digunakan pada komponen
vertikal dari sistem pemikul beban lateral.
c. Geser pada hubungan balok – kolom perangkai yang diberi tulangan
longitudinal,
φ
= 0,80.4. Tumpuan pada beton kecuali unutk daerah pengangkuran pasca tarik,
φ
=0,65
6. Penampang lentur tanpa beban aksial pada komponen struktur pratarik di
mana panjang penanaman strand-nya kurang dari panjang penyaluran yang
ditetapkan,
φ
= 0,757. Perhitungan panjang penyaluran sesuai dengan pasal 14 tidak memerlukan
faktor reduksi
φ
8. Faktor reduksi kekuatan
φ
untuk lentur, tekan, geser, dan tumpu pada betonpolos structural ( Pasal 24 ) harus diambil sebesar 0,55
II.4 Konsep Perencanaan Bangunan Terhadap Pengaruh Gaya Gempa
II.4.1 Pemakaian gaya horizontal akibat gaya gempa
Ketika gempa bumi terjadi tanah akan bergetar dan bangunan akan
bergoyang. Setelah mengalami sejarah yang panjang, goyangan massa bangunan
kemudian dianalogikan sebagai akibat dari adanya beban horizontal dinamik yang
bekerja pada massa bangunan yang bersangkutan. Hal ini dapat dilihat pada Gambar
2.2 dan gambar 2.3 di mana m = massa bangunan, W = berat bangunan, k =
kekakuan, H = gaya horizontal, dan V = gaya geser. Prinsip ini sudah diketahui
sejak awal abad ke-20 tepatnya setelah gempa San Fransisco USA (1906) dan gempa
Messina-Regio Italia (1908).
Gambar 2.2 Struktur SDOF dengan beban gempa
m
k
W
g
Gambar 2.3 Beban horizontal Ekuivalen
Pada saat itu efek beban dinamik pada struktur bangunan belum sepenuhnya
dikuasai terutama secara analitik. Suatu komisi yang terdiri para ahli yang bertugas
mempelajari perilaku bangunan gedung tahan gempa yang pada akhirnya
menghasilkan dua rekomendasi yang berbeda yaitu bangunan diisolasi terhadap
tanah dengan dukungan roll sementara rekomendasi yang lain bangunan disatukan
secara rigid dengan fondasi,yang pada akhirnya rekomendasi kedua inilah yang
diambil sebagai keputusan akhir. Efek beban dinamik terhadap bangunan kemudian
disederhanakan yaitu menjadi beban ekivalen statik yang bekerja pada massa
bangunan yang bersangkutan. Kemudian pada tahun 1909 disetujui bahwa suatu
bangunan harus didisain dengan beban horisontal paling tidak 1/12 dari berat total
bangunan. [ UII Press, Respons Dinamik Struktut Elastis, 2001 ]
II.4.2 Analisis beban ekivalen
Perkembangan beban yang berkaitan dengan gempa bumi terus mengalami
banyak perubahan, kemudian banyak gempa besar terjadi misalnya gempa El Centro
1994, gempa Taft 1952, gempa Perlu 1940, gempa Chile 1943, yang mendorong
untuk memperbaiki konsep beban horisontal akibat gempa.
m
k
W H
Beban ekivalen statik adalah suatu representasi dari beban gempa setelah
disederhanakan dan dimodifikasi, yang mana gaya inersia yang bekerja pada suatu
massa akibat gempa disederhanakan menjadi ekivalen beban statik. Jadi beban statik
ekuivalen adalah beban yang ekuivalen dengan beban gempa yang membebani
bangunan dalam batas-batas tertentu sehingga tidak terjadi overstresspada bangunan
yang bersangkutan. Sedangkan untuk tujuan pembebanan yang lebih teliti guna
memperoleh jaminan yang lebih besar, maka harus dipakai konsep beban yang lain,
misalnya dengan cara dinamik analisis. [ UII Press, Respons Dinamik Struktut
Elastis, 2001 ]
Bergetarnya bangunan akibat gempa kemudian disederhanakan seolah-olah
terdapat gaya horisontal yang bekerja pada massa bangunan. Apabila bangunan
mempunyai banyak massa maka terdapat banyak gaya horisontal yang
masing-masing bekerja pada massa-massa tersebut. Sesuai dengan prinsip keseimbangan
maka dapat dianalogikan seperti adanya gaya horisontal yang bekerja pada dasar
bangunan yang kemudian disebut Gaya Geser Dasar V. Gaya geser dasar ini secara
keseluruhan membentuk keseimbangan dengan gaya horisontal yang bekerja pada
tiap-tiap massa bangunan tersebut.
Beban geser nominal, V yang bekerja pada bangunan menurut SNI - 03 –
1726 - 2002 dapat dihitung dengan :
V =
C1 I RW
tDimana : V = Beban geser nominal static ekivalen
C1= Nilai faktor respon spectrum
I = Faktor keutamaan bangunan
R = Faktor reduksi gempa
Dinamik karakteristik bangunan adalah massa, kekakuan, dan redaman.
Dalam konsep ekivalen statik hanya massa yang diperhitungkan, dan inilah yang
menjadi perbedaan utama antara konsep statik dan konsep dinamik. Apabila terdapat
simpangan horisontal akibat gempa maka simpangan horisontal y tersebut
seolah-olah adalah akibat dari adanya gaya horisontal H. Konsep adanya gaya horizontal H
akibat gempa kemudian menjadi lebih jelas pada stick model pada gambar 2.4
sehingga terdapat keseimbangan antara gaya geser dasar V dengan gaya horisontal H
yang bekerja pada massa.
Gambar 2.4 Gaya geser dasar
Di setiap tempat lokal maupun global biasanya mempunyai kondisi geologi,
topografi dan kondisi tanah yang berbeda. Pada tempat-tempat tersebut juga
mempunyai frekuensi kejadian, mekanisme kejadian, ukuran gempa, dan
kemungkinan daya rusak gempa yang berbeda-beda. Faktor pertama yang
mempengaruhi koefisien gempa dasar C yaitu apabila terjadi gempa, maka daerah
tersebut akan mempunyai respon dan juga resiko gempa yang berbeda pula. Faktor
yang kedua adalah berhubungan dengan kondisi tanah setempat (tanah lokal).
m
EI k
EI k
h
y
EI
M1
M2
h M1
h M2
h M1
h M2
y
Pengalaman dari beberapa kejadian gempa bumi menunjukkan bahwa kondisi tanah
local yang ditunjukkan oleh jenis, properti dan tebal lapisan tanah berpengaruh
terhadap respon tanah dan kerusakan bangunan. Jenis tanah menurut SNI
03-1726-2002 adalah tanah keras, tanah sedang, dan tanah lunak. Untuk semua daerah gempa,
ketiga jenis tanah tersebut akan berpengaruh terhadap nilai koefisien gempa dasar C.
Faktor ketiga yang mempengaruhi koefisien gempa dasar C adalah periode getar T
struktur. Dengan demikian untuk memperoleh koefisien gempa dasar C umumnya
terdapat tiga pertanyaan yang harus dijawab yaitu dimana bangunan akan dibangun,
jenis tanah dimana bangunan akan didirikan, dan periode getar struktur.
Agar perencanaan struktur beton dapat dilakukan dengan cara yang sederhana
(analisis statis ekivalen) tanpa melakukan analisis yang rumit (analisis dinamik) dan
prilaku struktur diharapkan sangat baik bila dilanda gempa, maka tata letak struktur
sangat penting untuk diatur. Tentunya tidak ada suatu bentuk struktur yang sangat
ideal memenuhi semua syarat-syarat yang diijinkan tetapi beberapa pedoman dasar
dibawah ini dapat dipakai sebagai acuan dalam merencanakan tata letak struktur
antar lain :
1. bangunan harus mempunyai bentuk yang sederhana;
2. bentuk yang simetris;
3. tidak terlalu langsing baik pada denahnya maupun potongannya;
4. distribusi kekuatan sepanjang tinggi bangunan seragam dan menerus;
5. kekakuan yang cukup;
6. terbentuknya sendi plastis harus terjadi pada elemen-elemen horisontal
Indonesia merupakan zona patahan lempeng bumi, dimana lempeng tersebut
sering terjadi patahan, lipatan, yang mengakibatkan terjadinya getaran sehingga
menjadikan Indonesia daerah yang rawan gempa. Namun tidak semua daerah
Indonesia memiliki kekuatan getaran gempa yang sama. Oleh karena itu, SNI – 02 –
1726 – 2002 membagi Indonesia menjadi enam wilayah gempa yaitu mulai dari
wilayah yang gempa paling rendah hingga wilayah gempa yang paling tinggi. Peta
gempa setiap saat dapat berubah seiring dengan berjalannya waktu, dalam
perkembangannya terdapat peta wilayah gempa yang dikembangkan oleh Tim Revisi
Peta Hazard Gempa dan Tim Pengembangan Peta Gerak Tanah Gempa Resiko
Tertarget untuk Indonesia. Kemudian dalam menentukan grafik respon spectra, peta
tersebut kemudian dikembangkan oleh Wayan Sengara, Andri Mulia, Masyhur
Irsyam, M. Asrurifak, dan Kelompok Keahlian Geoteknik - Fakultas Teknik Sipil
dan Lingkungan dan Pusat Penelitian Mitigasi Bencana) Institut Teknologi Bandung
Gambar 2.5 Peta wilayah gempa berdasarkan program Spektra Indo v1.0 beta
II.4.3 Kondisi tanah
Indonesia terletak pada daerah patahan aktif, akibat terjadnya patahan pada
lempeng bumi Indonesia menjadi kawasan yang rawan gempa. Tiap-tiap wilayah
gempa mempunyai spektrum respons sendiri-sendiri. Dengan menggunakan software
Spektra Indo v1.0 beta, grafik respon spektrum untuk setiap wilayah Indonesia dapat
ditentukan berdasarkan koordinat wilayah masing – masing pada peta wilayah gempa
2011 yang telah dikembangkan oleh Tim Revisi Peta Hazard Gempa dan Tim
Pengembangan Peta Gerak Tanah Gempa Resiko Tertarget untuk Indonesia.
Berdasarkan SNI - 03 - 1726 - 2002 jenis tanah ditetapkan sebagai tanah
keras, tanah sedang dan tanah lunak, apabila untuk lapisan setebal maksimum 30 m
paling atas dipenuhi syarat-syarat yang tercantum dalam tabel 2.2 antara lain
kecepatan rambat gelombang geser rata- rata, nilai penetrasi standar rata- rata, dan
kuat geser niralir rata - rata.
Tabel 2.2 Jenis-jenis tanah [ BSN, SNI-03-1726, 2002 ]
Jenis tanah Kecepatan rambat
gelombang geser
rata-rata, Vs ( m/det )
Nilai hasil Test
Penetrasi Standar
rata-rata N
Kuat geser niralir
rata-rata Su ( kPa )
Tanah keras ≥350
s
V N ≥50 Su ≥100
Tanah sedang 175≤ <350 s
V 15≤ N <50 50≤Su <100
Tanah lunak <175 s
V N <15 Su <50
Atau, setiap profil dengan tanah lunak yang tebal total lebih dari 3 m
dengan PI > 20, Wn ≥ 40% dan Su < 25 kPa
Dimana untuk menentukan N� = ∑ ti
m i=1
∑ ti
Ni
�
m i=1
Dengan : ti = tebal lapisan tanah ke-i
Ni = nilai hasil test penetrasi standart ke-i
Nilai N didapat dari tes penetrasi standar. Berbeda dengan Amerika Serikat
yang menggunakan SPT (Standart Penetration Test) untuk mendapatkan nilai
perlawanan tanah, di Indonesia percobaan SPT jarang digunakan, umumnya yang
digunakan adalah alat Sondir (Dutch Penetrometer Test), karena lebih sesui dengan
kondisi tanah di Indonesia dan juga hasilnya lebih dapat dipercaya. Untuk itu,
diperlukan adanya suatu konversi dari nilai hasil sondir ke N-SPT. Menurut prof.
weasley dalam bukunya yang berjudul mekanika tanah seperti pada grafik 2.1,
dinyatakan bahwa nilai N-SPT = qc/4, dimana qc = perlawanan penetrasi konus (nilai
sondir), di mana absis pada grafik 2.1 adalah lebar pondasi ( meter ) dan ordinatnya
menyatakan tekanan yang diperbolehkan ( kg/cm2 ). Untuk nilai p = qc = 40, maka
nilai N – SPT = qc/4 = 40/4 = 10 kg/cm2
Berdasarkan SKBI-1.3.53.1987 menyebutkan bahwa untuk pemakaian
pedoman ini suatu struktur gedung harus dianggap berdiri di atas tanah bawah yang
lunak, apabila struktur gedung tersebut terletak di atas endapan-endapan tanah
dengan kedalaman-kedalaman yang melampaui nilai-nilai yang disebut dibawah ini :
a. Untuk tanah kohesif dengan kekuatan geser pada kadar air tetap rata-rata
tidak lebih dari 0,5 kg/cm2 : 6 m
b. Untuk setiap tempat dimana lapisan yang menutupinya terdiri dari tanah
kohesif dengan kekuatan geser pada kadar air tetap ratarata tidak lebih dari 1
kg/cm2 atau terdiri dari tanah butiran yang sangat padat : 9 m
c. Untuk tanah kohesif dengan kekuatan geser pada kadar air tetap rata-rata
tidak lebih dari 2 kg/cm2 : 12 m
d. Untuk tanah butiran terikat yang sangat padat : 20 m
Kedalaman harus diukur dari tingkat dimana tanah mulai memberikan
penjepitan lateral yang efektif kepada struktur gedung. Tanah bawah yang lebih
dangkal dari pembatasan-pembatasan di atas harus dianggap sebagai tanah keras.
Analisis beban statik ekivalen juga dipengaruhi atas beberapa faktor, yaitu sebagai
berikut :
1). Faktor Keutamaan Bangunan (I)
Setiap bangunan umumnya didirikan dengan maksud pemakaian tertentu.
Pada tiap-tiap jenis pemakaian, suatu bangunan harus mempunyai kemampuan
minimum untuk melindungi pemakainya. Mengingat hal tersebut, maka
pengamanan bangunan dengan cara mengurangi resiko terhadap kerusakan
bangunan merupakan sesuatu yang penting. Pengamanan bangunan tersebut
keutamaan bangunan I untuk berbagai jenis bangunan dapat dilihat pada tabel
2.3
Tabel 2.3 Faktor keutamaan I untuk berbagai kategori gedung dan bangunan
[ BSN, SNI-03-1726, 2002 ]
Kategori gedung Faktor Keutamaan
1
I I2 I
Gedung umum seperti untuk penghunian, perniagaan dan
perkantoran 1,0 1,0 1,0
Monumen dan bangunan monumental 1,0 1,6 1,6
Gedung penting pasca gempa seperti rumah sakit, instalasi air bersih, pembangkit tenaga listrik, pusat penyelamatan dalam keadaan darurat, fasilitas radio dan televisi
1,4 1,0 1,4
Gedung untuk menyimpan bahan berbahaya seperti gas,
produk minyak bumi, asam, bahan beracun 1,6 1,0 1,6
Cerobong, tangki di atas menara 1,5 1,0 1,5
Dalam tugas akhir ini faktor I digunakan sebesar 1,0
2). Faktor Reduksi Gempa (R)
Faktor reduksi gempa adalah untuk menjadikan beban gempa tersebut
menjadi beban gempa nominal sesuai dengan faktor daktalitas yang dipilih untuk
struktur bangunan tersebut. Adapun persamaan faktor reduksi gempa sebagai
berikut:
2,2 ≤ R = µ . 𝑓𝑓1≤𝑅𝑅𝛼𝛼
Dalam persamaan diatas, R = 2,2 adalah faktor reduksi gempa untuk
bangunan gedung yang berprilaku elastik, sedangkan 𝑅𝑅𝛼𝛼 adalah faktor reduksi
gempa maksimum yang terdapat dalam tabel 2.3.
Nilai 𝑓𝑓1≈ 1,6
bangunan gedung. Dalam perencanaan struktur bangunan gedung dapat dipilih
menurut kebutuhan, tetapi tidak boleh diambil melebihi nilai factor daktalitas
maksimum 𝜇𝜇𝛼𝛼 yang dapat dikerahkan oleh masing-masing sistem atau
subsistem struktur bangunan gedung seperti yang dijelaskan dalam tabel 2.4
Tabel 2.4 Faktor daktalitas maksimum, faktor reduksi gempa maksimum, faktor
tahanan lebih struktur dan faktor tahanan lebih total beberapa jenis sistem dan
subsistem bangunan gedung. [ BSN, SNI-03-1726, 2002 ]
Sistem dan subsistem
struktur gedung Uraian sistem pemikul beban gempa µm Rm F
1.Sistem dinding penumpu ( Sistem struktur yang tidak memiliki rangka ruang pemikul beban gravitasi secara lengkap. Dinding penumpu atau sistem bresing memikul hampir semua beban gravitasi. Beban lateral dipikul dinding geser atau rangka bresing )
1.Dinding geser beton bertulang 2,7 4,5 2,8
2.Dinding penumpu dengan rangka baja
ringan dan bresing tarik 1,8 2,8 2,2
3.Rangka bresing di mana bresingnya memikul beban gravitasi
a. Baja 2,8 4,4 2,2
b. Beton bertulang ( tidak untuk
wilayah 5 & 6 )
1,8 2,8 2,2
2.Sistem rangka gedung ( Sistem struktur yang pada dasarnya memiki rangka ruang pemikul beban gravitasi secara lengkap. Beban lateral dipikul dinding geser atau rangka bresing )
1. Rangka bresing eksentris baja ( RBE ) 4,3 7,0 2,8
2.Dinding geser beton bertulang 3,3 5,5 2,8
3.Rangka bresing biasa
a. Baja 3,6 5,6 2,2
b. Beton bertulang ( tidak untuk
wilayah 5 & 6 ) 3,6 5,6 2,2
4.Rangka bresing konsentrik khusus
a. Baja 4,1 6,4 2,2
5.Dinding geser beton bertulang
berangkai daktail 4,0 6,5 2,8
6.Dinding geser beton bertulang
kantilever daktail penuh 3,6 6,0 2,8
7.Dinding geser beton bertulang
kantilever daktail parsia 3,3 5,5 2,8
3.Sistem rangka pemikul momen ( Sistem struktur yang pada dasarnya memiliki rangka ruang pemikul beban gravitasi secara lengkap. Beban
1. Rangka pemikul momen khusus ( SRPMK )
a. Baja 5,2 8,5 2,8
b. Beton bertulang 5,2 8,5 2,8
2.Rangka pemikul momen menengah
pemikul momen terutama melalui mekanisme lentur )
SPRMB )
a. Baja 2,7 4,5 2,8
b. Beton bertulang 2,1 3,5 2,8
4.Rangka batang baja pemikul momen
khusus ( SRBPMK ) 4,0 6,5 2,8
4.Sistem ganda ( Terdiri dari : 1) rangka ruang yang memikul seluruh beban gravitasi; 2) pemikul beban lateral berupa dinding geser atau rangka bresing dengan rangka pemikul momen. Rangka pemikul momen harus direncanakan secara terpisah mampu memikul sekurang-kurangnya 25% dari seluruh beban lateral; 3) kedua sistem harus direncanakan untuk memikul secara bersama –
sama seluruh beban lateral dengan memperhatikan interaksi/sistem ganda)
1.Diding geser
a.Beton bertulang dengan SRPMK
beton bertulang 5,2 8,5 2,8
b.Beton bertulang dengan SPRMB baja 2,6 4,2 2,8
c.Beton bertulang dengan SRPMM
beton bertulang 4,0 6,5 2,8
2.RBE baja
a. Dengan SRPMK baja 5,2 8,5 2,8
b. Dengan SRPMB baja 2,6 4,2 2,8
3.Rangka bresing biasa
a. Baja dengan SRPMK baja 4,0 6,5 2,8
b. Baja dengan SRPMB baja 2,6 4,2 2,8
c. Beton bertulang dengan SRPMK
beton bertulang (tidak untuk wilayah 5 & 6 )
4,0 6,5 2,8
d. Beton bertulang dengan SRPMM
beton bertulang (tidak untuk wilayah 5 & 6 )
2,6 4,2 2,8
4.Rangka bresing konsentrik khusus
a. Baja dengan SRPMK baja 4,6 7,5 2,8
b. Baja dengan SRPMB baja 2,6 4,2 2,8
5.Sistem struktur gedung kolom kantilever ( Sistem
struktur yang memanfaatkan kolom
kantilever untuk memikul beban lateral )
Sistem struktur kolom kantilever
1,4 2,2 2
6.Sistem interaksi dinding geser dengan rangka
Beton bertulang biasa ( tidak untuk
wilayah 3,4,5 & 6 ) 3,4 5,5 2,8
7.Subsistem tunggal ( Subsistem struktur bidang yang membentuk struktur
gedung secara keseluruhan )
1.Rangka terbuka baja 5,2 8,5 2,8
2.Rangka terbuka beton bertulang 5,2 8,5 2,8
3.Rangka terbuka beton bertulang dengan balok beton pratekan ( bergantung pada indeks baja total )
3,3 5,5 2,8
4.Dinding geser beton bertulang
berangka daktail penuh ) 4,0 6,5 2,8
5.Dinding geser beton bertulang
kantilever daktail parsial 3,3 5,5 2,8
Dalam tugas akhir ini struktur bangunan termasuk dalam sistem rangka pemikul
momen menengah yaitu pada bagian 3.2 pada tabel 2.4 sehingga Rm yang dipakai
II.4.4 Analisis gempa secara dinamik
Untuk gedung yang bentuk konfigurasi bangunannya tidak simetris dan yang
tidak memenuhi syarat struktur gedung beraturan menurut SNI 03 – 1726 - 2002 ,
maka perencanaan gaya gempanya harus dilakukan secara analisis dinamik. Analis
dinamik ada dua jenis yaitu :
1. Analisis Ragam Spektrum respons
Metode analisis ini merupakan penyederhanaan dari analisis respon
dinamik waktu, di mana kita menggunakan spectrum respons gempa rencana
sebagai dasar untuk menentukan responsnya. Dalam hal ini, analisis respons
spektrum hanya dipakai unutk menentukan gaya geser tingkat nominal
dinamik akibat pengaruh gempa rencana. Gaya-gaya internal dalam unsur
struktur gedung didapat dari analisis 3 dimensi biasa berdasarkan
beban-beban gempa statik ekuivalen.
2. Analisis Respons Dinamik Riwayat Waktu
Dalam analisis ini, faktor I adalah untuk memperhitungkan kategori
gedung yang ada, sedangkan faktor R adalah untuk menjadikan pembebanan
gempa tersebut menjadi pembebanan gempa nominal. Yang lebih ditekankan
pada percepatan tanah yang disimulasikan sebagai gerakan gempa.
II.4.5 Eksentrisitas rencana
Pusat massa lantai tingkat suatu struktur merupakan titik tangkap resultan
beban-beban yang bekerja pada lantai tingkat struktur tesebut. Pusat rotasi lantai
tingkat suatu struktur adalah suatu titik pada lantai tingkat tersebut yang bila terjadi
Antara pusat massa dan pusat rotasi lantai tingkat harus ditinjau suatu
eksentrisitas rencana ed. apabila ukuran horizontal terbesar denah struktur gedung
pada lantai tingkat itu diukur tegak lurus arah pembebanan gempa, dinyatakan
dengan b, maka eksentrisitas rencana ed harus ditentukan sebagai berikut :
1. Untuk 0 < e ≤ 0,3 b
ed = 1,5 e + 0,005 b
atau
ed = e – 0,05 b
dan pilih diantara keduanya yang pengaruhnya paling menentukan untuk
unsure subsistem struktur gedung yang ditinjau.
2. Untuk e > 0,3 b
ed = 1,33 e + 0,1 b
atau
ed = 1,17 e – 0,1 b
serta pilih diantara keduanya yang pengaruhnya paling menentukan untuk unsur
subsistem struktur gedung yang ditinjau.
II.4.6 Pembatasan penyimpangan lateral
Menurut SNI 03 1726 – 2002 pasal 8, simpangan antar tingkat pengaruh
gempa nominal dibedakan menjadi dua macam yaitu :
- Kinerja Batas Layan ( KBL ) struktur gedung yang besarnya dibatasi
hi R
03 , 0
≤ atau ≤ 30 mm. Pembatasan ini bertujuan unutk mencegah
terjadinya pelelehan baja dan peretakan beton yang berlebihan di samping
- Kinerja Batas Ultimit ( KBU ) struktur gedung akibat gempa rencana untuk
struktur gedung beraturan dibatasi sebesar ≤0,7 R x ( KBL ) atau ≤ 0,02 hi. ,
sedangkan untuk struktur gedung tidak beraturan dibatasi sebesar ≤0,7 R x (
KBL ) dibagi faktor skala atau ≤ 0,02 hi, di mana faktor skala = 0.8 Vek/Vs
.Pembatasan ini bertujuan untuk membatasi kemungkinan terjadi keruntuhan
struktur yang dapat menimbulkan korban jiwa manusia dan untuk mencegah
benturan berbahaya antar gedung.
II.5 Konsep Strong Column Weak Beam
Dalam perencanaan struktur beban di daerah gempa perencanaan Limit States
designnya disebut capacity design yang berarti bahwa ragam keruntuhan struktur
akibat beban gempa yang besar ditentukan lebih dahulu dengan elemen-elemen
kritisnya dipilih sedemikian rupa agar mekanisme keruntuhannnya dapat
memencarkan energi yang sebesar-besarnya.
Agar elemen-elemen kritis dapat dijamin pembentukannya secara sempurna
maka elemen-elemen lainnya harus direncanakan khusus, agar lebih kuat
dibandingkan elemen-elemen kritis. Salah satu filsafat yang dikenal dalam
perencanaan capacity disebut Strong Column Weak Beam atau kolom kuat balok
lemah.
Dalam SNI – 03 – 1726 - 2003 pasal 4.5 dijelaskan bahwa struktur bangunan
gedung harus memenuhi persyaratan kolom kuat balok lemah, artinya ketika struktur
bangunan gedung memikul pengaruh gempa rencana, sendi-sendi plastis dalam
struktur bangunan gedung tersebut hanya boleh terjadi pada ujung-ujung balok dan
struktur beton dan strutur baja ditetapkan dalam standar beton dan standar baja yang
berlaku.
Join diantara batang-batang seperti pertemuan balok dengan kolom sangat
peka terhadap keretakan awal dibandingkan dengan batang-batang yang
didukungnya akibat kerusakan-kerusakan pada semua joinnya. Untuk menghindari
hal ini maka perencanaan join dilakukan dengan konsep desain kapasitas dan dua
mekanisme yang terjadi yakni strut mekanisme dan truss mekanisme diperhitungkan
dalam menahan kelebihan beban. Dalam peraturan-peraturan beton yang baru di
seluruh dunia belum ada kesepakatan dalam perencanaan. Kesepakatan yang belum
dapat disatukan adalah tentang ragam keruntuhan yang dapat diterima pada join
balok kolom. Ada yang mengharapkan join balok kolom tetap dalam keadaan elastis,
ada yang memperkenankan terjadinya kerusakan-kerusakan pada join balok kolom
asal perilakunya masih sangat daktail.
II.6 Pendetailan kolom dan balok yang baik
Banyak ahli struktur mengatakan bahwa dalam perencanaan bangunan
didaerah gempa pendetailan struktur sama pentingnya dengan analisa struktur bahkan
lebih penting karena beban gempa itu sangat sulit diperkirakan dan dihitung
distribusi gayanya. Kerusakan-kerusakan yang terjadi akibat kurang baiknya
pendetailan adalah
a. Penampang kurang daktail
b. Kerusakan akibat penjangkaran yang kurang panjang
c. Strut dan Tie models yang tidak diperhitungkan dalam pendetailan
Karena peranan daktilitas sangat besar pada kemampuan struktur untuk
memancarkan energi pada waktu terjadinya gempa besar maka pendetailan yang baik
sangat penting sekali dalam perencanaan struktur beton.
Menurut SNI 03 – 2847 - 2002 pasal 23.3(1) balok merupakan salah satu
komponen pemikul lentur, juga memikul beban gempa. Pada pendetailan ini
direncanakan untuk wilayah gempa 3 dan 4. Adapun syarat-syarat yang harus
dipenuhi adalah:
a. Kuat lentur positif komponen struktur lentur pada muka kolom tidak boleh
lebih kecil dari sepertiga kuat lentur negatifnya pada muka tersebut. Baik
kuat lentur negative maupun kuat lentur positif pada setiap irisan penampang
di sepanjang bentang tidak boleh kurang dari seperlima kuat lentur yang
terbesar yang disediakan pada kedua muka-muka kolom di kedua ujung
komponen struktur tersebut.
b. Pada kedua ujung komponen struktur lentur tersebut harus dipasang sengkang
sepanjang jarak dua kali tinggi komponen struktur diukur dari muka
perletakan ke arah tengah bentang. Sengkang pertama harus dipasang pada
jarak tidak lebih daripada 50 mm dari muka perletakan. Spasi maksimum
sengkang tidak boleh melebihi ;
1. d/4;
2. delapan kali diameter tulangan longitudinal terkecil;
3. 24 kali diameter sengkang; dan
c. Sengkang harus dipasang di sepanjang bentang balok dengan spasi tidak
melebihi d/2
Menurut SNI 03 – 2847 – 2002 pasal 23.10, pendetailan kolom dalam
bangunan gedung harus memenuhi syarat sebagai berikut :
1. Spasi maksimum sengkang ikat yang dipasang pada rentang 𝑙𝑙𝑙𝑙 dari muka
hubungan balok kolom adalah so. Spasi so tersebut tidak boleh melebihi:
a. delapan kali diameter tulangan longitudinal terkecil;
b. 24 kali diameter sengkang ikat;
c. setengah dimensi penampang terkecil komponen struktur; dan
d. 300 mm.
Panjang lo tidak boleh kurang daripada nilai terbesar berikut ini:
a. seperenam tinggi bersih kolom;
b. dimensi terbesar penampang kolom; dan
c. 500 mm.
2. Sengkang ikat pertama harus dipasang pada jarak tidak lebih daripada 0,5 𝑠𝑠0 dari muka hubungan balok-kolom.
3. Tulangan hubungan balok-kolom harus memenuhi 13.11(2). Yaitu pada
sambungan-sambungan elemen portal ke kolom harus disediakan tulangan
lateral dengan luas tidak kurang daripada yang disyaratkan dalam persamaan
berikut 75�𝑓𝑓′𝑐𝑐
1200 𝑓𝑓𝑓𝑓𝑏𝑏𝑤𝑤𝑠𝑠 dan dipasang didalam kolom sejauh tidak kurang
daripada tinggi bagian sambungan paling tinggi dari elemen portal yang
sistem utama penahan beban gempa, yang dikekang pada keempat sisinya
oleh balok atau pelat yang mempunyai ketebalan yang kira-kira sama.
4. Spasi sengkang ikat pada sebarang penampang kolom tidak boleh melebihi
2𝑠𝑠0.
Konsep daktilitas struktur adalah kemampuan suatu gedung utnk mengalami
simpangan pasca-elastik yang besar secara berulang kali dan bolak-balik akibat
gempa hingga terjadinya pelelehan pertama, sambil mempertahankan kekuatan dan
kekakuan yang cukup sehingga struktur masih dapat berdiri walaupun telah
diambang keruntuhan. Untuk mendapatkan konsep daktilitas pada struktur,
elemen-elemen struktur tersebut harus didesain secara khusus. Adapun persyaratan
penulangan daktilitas pada kolom pada SNI – 03 -2847 - 2002 pasal 23.4 :
1. Jumlah tulangan tranversal harus dipenuhi berdasarkan :
a. Rasio volumetrik tulangan spiral atau sengkang cincin, dimana :
ρs > 0.45 �
𝐴𝐴𝑔𝑔
𝐴𝐴𝑐𝑐 − 1�
𝑓𝑓′𝑐𝑐
𝑓𝑓𝑓𝑓 atau 0,12
𝑓𝑓′𝑐𝑐
𝑓𝑓𝑓𝑓
b. Luas total penampang sengkang tertutup persegi tidak boleh kurang dari :
Ash = 0,3 ( shc f’c / f yh ) [( Ag / Ach )-1] dan
Ash = 0,09 ( shc f’c / f yh )
c. Tulangan tranversal harus berupa sengkang tunggal atau tumpuk.
Tulangan pengikat silang dengan diameter dan spasi yang sama dengan
diameter dan spasi sengkang tertutup boleh digunakan. Tiap ujung
tulangan pengikat silang harus terkait pada tulangan longitudinal terluar.
Pengikat silang yang berurutan harus ditempatkan secara berselang-seling
d. Bila kuat rencana pada bagian inti komponen struktur telah memenuhi
ketentuan kombinasi pembebanan termasuk pengaruh gempa maka
persamaan Ash = 0,3 ( shc f’c / f yh ) [( Ag / Ach )] tidak perlu diperhatikan.
e. Bila tebal selimut beton di luar tulangan tranversal pengekang melebihi
100mm, tulangan tranversal tambahan perlu dipasang dengan spasi tidak
melebihi 300 mm. tebal selimut di luar tulangan tranversal tambahan
tidak boleh melebihi 100 mm.
Gambar 2.6 Penulangan daktilitas pada kolom.
2. Tulangan tranversal harus diletakkan dengan spasi lebih daripada :
a. ¼ dimensi terkecil komponen struktur
b. 6 x diameter tulangan utama
c. Sx = 100 +
350 −ℎ𝑥𝑥 3
Dimana 100 mm < Sx >150 mm.
dua pengikat silang berurutan yang mengikat tulangan longitudinal yang sama harus mempunyai kait 900 yang dipasang selang - seling
6db (≥75mm)
6db
mm x≤350
x
3. Tulangan pengikat silang tidak boleh dipasang dengan spasi lebih dari 350
mm dari sumbu ke sumbu dalam arah tegak lurus sumbu komponen struktur.
4. Tulangan tranversal yang sesuai dengan diatas harus dipasang sepanjang lo
(panjang minimum diukur dari muka join sepanjang sumbu komponen
struktur., dimana harus disediakan tulangan tranversal) pada kedua sisi dari
setiap penampang yang berpotensi membentuk leleh lentur akibat deformasi
lateral inelastik struktur rangka. Panjang lo ditentukan tidak kurang dari :
a. Tinggi penampang komponen struktur pada muka hubungan balok kolom
atau pada segmen yang berpotensi membentuk leleh lentur.
b. 1/6 bentang bersih komponen struktur.
c. 500 mm.
5. Bila gaya-gaya aksial terfaktor pada kolom akibat beban gempa melampaui
Ag f’c / 10 dan gaya-gaya aksial tersebut berasal dari komponen struktur
lainnya yang sangat kaku yang didukungnya, misalnya dinding. Maka kolom
tersebut harus diberi tulangan tranversal sejumlah yang ditentukan diatas
pada seluruh tinggi kolom.
6. Bila tulangan tranversal yang ditentukan diatas tidak dipasang diseluruh
panjang kolom maka pada daerah sisanya harus dipasang tulangan spiral atau
sengkang tertutup dengan spasi sumbu ke sumbu tidak lebih daripada nilai
terkecil dari 6 x diameter tulangan longitudinal kolom atau 150 mm.
II.7 Program finite element method
II.7.1 Sistem sumbu koordinat
terjadi. Semua sistem koordinat yang digunakan dalam pemodelan dinyatakan
terhadap satu sistem koodinat global, sedangkan setiap bagian ( nodal, element, atau
constraint ) dapat memiliki sistem sumbu koordinat tersendiri ( koodinat local ).
Sistem koordinat yang digunakan adalah sistem koordinat tiga dimensi
persegi ( Cartesion ) yang mengacu pada kaidah tangan kanan. Dengan tangan kanan
( ibu jari, telunjuk, dan jari tengah ) membentuk garis yang saling tegak lurus satu
sama lain, dan arah yang ditunjukkan oleh ketiga jari tangan kanan menunjukkan
arah positif sistem sumbu koordinat. Di mana ibu jari sebagai sumbu X, telunjuk
sebagai sumbu Y, dan jari tengah sebagai sumbu Z.
Translasi atau gaya mempunyai arah positif jika selaras dengan sistem sumbu
koordinat arah positif. Sedangkan untuk rotasi dan momen yang berarah positif.
Sedangkan untuk rotasi dan momen yang berarah positif, ditentukan dengan bantuan
tangan kanan juga. Untuk menjelaskan rotasi atau momen, tangan kanan yang
digunakan diminta dalam posisi menggenggam dan ibu jari mengarah ke luar, seperti
diperlihatkan pada gambar sistem koordinat Cartesian dalam buku Aplikasi Rekayasa
Konstruksi karangan Wiryanto ( 2008 ). Arah jempol menunjukkan arah sumbu
putaran, sedangkan arah yang ditunjukkan oleh keempat jari – jari yang
menggenggam menunjukkan arah putaran momen dan rotasi.
Program finite element method selalu menganggap sumbu Z terletak vertikal
dengan sumbu +Z ke atas. Sistem koordinat lokal dari nodal, element, atau akselerasi
tanah dinyatakan terhadap sumbu vertikal tersebut. Berat sendiri struktur ( self
weight loading ) arahnya selalu mengarah ke bawah dalam arah sumbu –Z. Bidang
bidang horizontal diukur dari sumbu positif X dengan sudut bernilai positif jika
membentuk arah berlawanan dengan arah jarum jam ( jika dilihat dari atas pada
bidang X-Y ).
Sistem koordinat global disebut juga sebagai sistem koordinat tetap karena
digunakan untuk menetapkan semua geometri model struktur secara keseluruhan.
Nodal, element, atau constraint model struktur dapat mempunyai sistem koordinat
tersendiri yang disebut sebagai sistem koordinat lokal yang diberi nama sumbu 1,2,
dan 3. Tetapan default, sistem koordinat sumbu lokal 1-2-3 dari suatu nnodal adalah
identik dengan sistem koordinat global X-Y-Z.
II.7.2 Metode Matrik Kekakuan
Dalam program finite element method, teori penyelesaian yang digunakan
adalah metode matrik kekakuan, di mana suatu persamaan keseimbangan struktur
dapat ditulis dalam bentuk matrik sebagai
[ ]{ } { }
K δ = F , di mana :[ ]
K adalah matrik kekakuan{ }
δ adalah vektor perpindahan atau deformasi ( translasi atau rotasi ) struktur{ }
F adalah vektor gaya atau momen yang dapat berbentuk beban pada titik nodalbebas atau gaya reaksi tumpuan pada titik nodal yang di restraint.
Dari persamaan matrik di atas dapat disimpulkan bahwa besarnya deformasi
berbanding lurus dengan gaya yang diberikan, di mana matrik
[ ]
K adalah besarnyagaya yang diperlukan untuk menghasilkan perpindahan ( deformasi ) sebesar satu
II.7.3 D.O.F ( Degree of Freedom )
Joint atau nodal mempunyai peran sangat penting pada pemodelan analisa
struktur. Nodal merupakan titik di mana elemen – element batang bertemub dan
terhubung ( menyatu ) sehingga mempunyai bentuk yang bermakna, yaitu geometri
struktur itu sendiri. Selain itu, juga digunakan sebagai lokasi untuk mengetahui
besarnya deformasi yang terjadi dari struktur. Pada waktu menggambar geometri
struktur rangka dengan antarmuka grafis pada program finite element method, nodal
otomatis dibuat dan ditempatkan pada ke-2 ujung element frame. Degree of freedom
( d.o.f ) adalah jumlah derajat kebebasan suatu titik nodal untuk mengalami
deformasi yang dapat berupa translasi ( perpindahan ) maupun rotasi ( perputaran )
terhadap tiga sumbu pada orientasi ruang atau 3D. Jadi suatu nodal dapat terjadi 6
bentuk deformasi jika berada pada suatu kondisi ruang bebas, yaitu tiga translasi
(
δx,δy,δz)
dan tiga rotasi(
θx,θy,θz)
seperti yang ditunjukkan pada gambar 2.7.Suatu nodal yang tidak bebas berdeformasi ( tertahan ) karena diberi restraint
yang menyebabkan θ = 0 atau δ = 0 disebut tumpuan. Sedangkan nodal yang
mempunyai kondisi yang dapat berdeformasi sampai pada batas tertentu, disebut
sebagai tumpuan elastic ( spring support ), seperti pondasi pada tanah lunak,
tumpuan balok anak ke balok induk, dan lain sebagainya.
Gambar 2.7 Deformasi pada nodal
Rotasi z
y
x Translasi
z
y
Gambar 2.8 Tumpuan sbegai nodal dengan d.o.f ditahan
Pada gambar 2.8 menunjukkan suatu nodal yang tidak bebas berdeformasi (
tertahan ) karena diberi restraint yang menyebabkan θ = 0 atau δ = 0 disebut
tumpuan. Seperti pada gambar 2.10 titik nodal 1 merupakan sendi di mana δx,δy,δz
ditahan, titik nodal 2 merupakan rol di mana δz ditahan, titik nodal 3 merupakan
jepit di mana δx,δy,δz,θx,θy,θzditahan, sedangkan nodal 4 merupakan tumpuan
elastik ( spring support ) yang mempunyai kondisi yang dapat berdeformasi sampai
pada batas tertentu, seperti pondasi pada tanah lunak, tumpuan balok anak ke balok
induk, dan lain sebagainya.
II.7.4 Element frame pada program finite element method
Element frame pada program finite element method telah disiapkan untuk
memodelkan struktur yang dapat diidealisasikan sebagai rangka ( elemen garis atau
elemen satu dimensi ) dalam orientasi ruang atau 3D.
1. Truss element
Sendi
Rol Jepit
Spring
1
2 3
4 5
6 7
Truss element adalah element frame yang hanya dapat menghitung
gaya aksial saja. Karena hanya memperhitungkan pengaruh aksial, maka pada
elemen ini tidak ada pengaruh deformasi geser, dan merupakan elemen matrik
yang paling sederhana.
Gambar 2.9 D.O.F truss element
Formulasi matrik
[ ]
k yang digunakan adalah :[ ]
−
− =
L AE L
AE
L AE L
AE
k
2. Beam element
Beam element adalah element frmae yang hanya memperhitungkan
gaya transversal saja.
Gambar 2.10 D.O.F beam element
L
1 2
u1 u2
y
x z
u1
u2
1
x z
v1
v2
L y
2
1
z
θ
2
z
Formulasi matrik
[ ]
k yang digunakan adalah :Jika deformasi terhadap gaya geser diabaikan, rumusan matrik kekauan
[ ]
kmenjadi
3. Plane frame element
Plane frame element adalah elemen yang dapat menerima gaya aksial
sehingga dapat memanjang atau memendek dan dapat juga menerima beban
transversal berupa gaya atau momen sehingga akan mengalami lentur dan geser.
Gambar 2.11 D.O.F Plane frame element
Formulasi matrik
[ ]
k yang digunakan adalah :[ ]
Jika deformasi terhadap gaya geser diabaikan, rumusan matrik kekauan
[ ]
k[ ]
4. Grid element
Grid element hampir mirip dengan struktur plane frame element.
Bedanya hanya pada pembebanan, yaitu tegak lurus bidang, tidak ada
deformasi aksial tetapi ada torsi pada balok.
Gambar 2.12 D.O.F grid element
Formulasi matrik
[ ]
k yang digunakan adalah :(
)
Jika deformasi terhadap gaya geser diabaikan, rumusan matrik kekauan
[ ]
kmenjadi
5. Space frame element
Gambar 2.13 D.O.F space frame element
Formulasi matrik
[ ]
k yang digunakan adalah :[ ]
Av/ky adalah luas efektif geser untuk deformasi geser transversal arah
y, di mana untuk penampang persegi solid Av = b d dan ky = 1,2 . Jika penampang
semakin langsing maka φy ≅nol. Sedangkan Av/kz adalah luas efektif geser untuk
deformasi geser transversal arah z. Kemudian untuk menghitung modulus geser
diperlukan nilai modulus elastisitas E dan poisson ratio
υ
, di mana rumusnya adalahII.7.5 Element shell.
Element shell merupakan elemen m.e.h paling popular yang digunakan
seorang insinyur sipil untuk memodelkan struktur setelah element frame.
Berdasarkan gaya – gaya atau momen yang dapat diwakili element shell terdiri dari
element membrane dan element plate. Element membrane hanya memperhitungkan
gaya – gaya sebidang atau momen drilling ( momen yang berputar pada sumbu yang
tegak lurus bidangnya ). Momen drilling akan diantisipasi oleh gaya – gaya kopel
pada bidang elemen. Sedangkan element plate hanya memperhitungkan momen dan
gaya transversal yang dihasilkan oleh gaya – gaya yang bekerja tegak lurus bidang
elemen. Sehingga yang dinamakan element shell adalah elemen yang mempunyai
kemampuan element membrane dan element plate sekaligus.
Penyusunan element shell ditentukan dari titik nodal yang dihubungkan. Jika
dipakai empat nodal ( j1, j2, j3, dan j4 ) , jadilah element Quadrilateral ( segiempat ).
Sedangkan jika tiga titik nodal ( j1, j2, dan j3 ), maka jadilah element Triangular (
segitiga ). Seperti gambar element shell dari buku Aplikasi Rekayasa Konstruksi
karangan Wiryanto ( 2008 ), sumbu 3 ( lokal ) selalu tegak lurus ( normal ) terhadap
element shell. Jika titik penghubung j1-j2-j3 dalam arah jam terbalik, maka sumbu 3
positif akan mengarah ke kita. Bentuk ideal dari element Quadrilateral adalah
berbentuk bujur sangkar. Meskipun bisa berbentuk segiempat sembarang, tetapi ada
pembatasan yaitu perbandingan sisi panjang dibagi sisi pendek < 4 dan sudutnya
antara 450 – 1350. Formulasi element triangular cukup baik, tetapi dalam
menampilkan gaya atau tegangan internalnya relatif kurang akurat dibanding