• Tidak ada hasil yang ditemukan

B. Pemahaman Falsafah Hidop Orang Basudara - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Teologi Orang Basudara: Rancang Bangun Teologi Lokal GPM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "B. Pemahaman Falsafah Hidop Orang Basudara - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Teologi Orang Basudara: Rancang Bangun Teologi Lokal GPM"

Copied!
47
0
0

Teks penuh

(1)

BAB IV

DUNIA ORANG MALUKU

A. Pengantar

Bab ini berisikan data penelitian, baik itu data hasil wawancara di lokasi penelitian dan juga data pustaka yang diteliti oleh penulis terkait dengan topik yang dikaji. Untuk tempat penelitian, bertempat di wilayah Maluku (Ambon). Metode penelitian yang digunakan untuk membahas isi dalam bab ini adalah metode penelitian kualitatif, sehingga dalam pembahasan pada bab ini, penulis berusaha untuk mendiskripsikan secara jelas pemahaman masyarakat Maluku tentang falsafah hidop orang

basudara, nilai-nilai yang terkandung di dalam falsafah hidop orang

basudara dan pemaknaan falsafah hidop orang basudara dalam

kehidupan keagamaan dan sosial.

B. Pemahaman Falsafah Hidop Orang Basudara

Dalam dunia orang Maluku, ada sebuah falsafah hidup yang telah menjadi kosmologi1 manusia Maluku. Disebut sebagai kosmologi manusia Maluku, karena falsafah hidup tersebut tidak hanya sekedar menjadi pandangan hidup yang berlaku dalam teritori atau clan-clan tertentu di Maluku, namun berlaku dalam pandangan dunia masyarakat Maluku yang

1

(2)

tak terbatas pada teritori maupun clan-clan tertentu. Kosmologi hidup tersebut dikenal dengan sebutan falsafah hidop orang basudara.2

Falsafah hidop orang basudara bukanlah sebuah pandangan hidup

dunia Maluku yang tiba-tiba ada dari kekosongan, melainkan lahir dari ide abstrak yang tidak terlepas dari kesadaran manusia Maluku untuk dapat hidup bersama dalam konteks Maluku yang begitu majemuk. Awal jejak-jejak kesadaran tersebut dapat dijumpai dalam unit yang lebih kecil dalam struktur masyarakat, yaitu keluarga.

Mengapa keluarga? Karena tak dapat dipungkiri bahwa sebagai sebuah unit terkecil dalam struktur masyarakat, keluarga membentuk begitu banyak perbedaan dalam anggota keluarga, bahkan membentuk sebuah hierarkhi tanpa disadari. Taruhlah sebagai contoh, sebuah keluarga memiliki tiga orang anak, itu berarti dalam keluarga tersebut ada yang disebut anak sulung, anak tengah dan anak bungsu yang hidup dengan perilaku mereka masing-masing.

Proses hidup bersama ketiga anak tersebut tentunya berbeda-beda sesuai dengan perilaku mereka masing-masing. Bahkan terkadang, akibat perbedaan perilaku tersebut, kerapkali terjadi gesekan hidup antara adik-kakak dalam keluarga. Di samping itu, sebenarnya penyebutan anak

2

(3)

sulung, anak tengah dan anak bungsu sendiri melahirkan suatu bentuk hierarkhi pada ketiga anak tersebut, meskipun penyebutan tersebut didasari pada waktu kelahiran mereka. Hierarkhi tersebut lebih jelas terasa ketika anak pertama selalu diprioritaskan dalam segala hal, dan hal ini tentu menimbulkan sebuah perbedaan kesenjangan yang mana jika dibiarkan terus-menerus maka akan terjadi konflik di dalam keluarga.

Untuk mengatasi masalah tersebut (dalam konteks orang Maluku), maka digagaslah sebuah ide orang basudara. Dengan adanya gagasan

orang basudara, maka meskipun di dalam keluarga terbentuk sebuah

perbedaan dan hierarkhi (diantara anak) yang kemudian membeda-bedakan mereka, namun mereka dapat hidup bersama. Oleh sebab itu, gagasan orang basudara menjadi sebuah bingkai dalam mencapai keinginan manusia Maluku untuk dapat hidup bersama di dalam perbedaan, baik dalam keluarga maupun lingkungan sosial dan agama. Hal ini juga ditegaskan oleh Rony Tamaela bahwa, hidop orang basudara menjadi sebuah bingkai untuk menata hidup bersama di Maluku.3

Di satu sisi, ide orang basudara yang digagas dengan kesadaran penuh tersebut kemudian diwujudkan lewat pranata-pranata lokal seperti;

3

(4)

Gandong,4 Kalwedo,5 Duan-Lolat,6 dan Ain Ni Ain7 sebagai wujud nyata dari ide abstrak manusia Maluku yang ingin hidup bersama dalam konteks dunianya yang begitu majemuk. khususnya Maluku Tengah yang bersifat komunal. Bahkan menurut bahasa asli negeri-negeri di Maluku Tengah, pela memang bisa diartikan sebagai sahabat (sahabat yang dipercaya) atau saudara karena mereka yang berada di dalam ikatan pela menganggap satu dengan yang lain, tanpa memandang usia dan kedudukan, sebagai sahabat, bahkan lebih dari sekedar sahabat yaitu sebagai saudara. Dengan demikian, pela selalu dipahami sebagai sebuah nama dari ikatan atau hubungan yang dibangun antara dua (atau lebih) negeri. Jozef Hehanussa, Pela dan Gandong: Sebuah Model Untuk Kehidupan Bersama Dalam Konteks Pluralisme Agama di Maluku, Gema Teologi, Jurnal Teologi Kontekstual Vol 33 No 1 UKDW (2009), 4-5. yang didasarkan pada hubungan geneologis di antara klan-klan atau kampung-kampung sekutu. Dengan mengangkat sumpaah ikatan itu diformalkan untuk seluruh kampung dan sejak saat itu mereka dianggap sebagai satu pela penuh. (3) Pela tempat sirih yaitu suatu hubungan yang tidak diikat lewat pengangkatan sumpah tetapi melalui ritual tukar menukar tempat sirih dan makan sirih. Dieter Bartels, di Bawah Naungan Gunung Nunusaku, Jilid I (Kebudayaan), (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2017), 182-183.

Namun ada satu ikatan pela yang belum disebutkan oleh Bartels, yaitu pela kaweng (nikah). Pela kaweng merupakan salah satu bentuk pela yang terdapat di wilayah Maluku Tengah, dan hanya tiga negeri (kampung) saja yang mempraktekkan pela ini, yaitu Noloth, Haruku, dan Sameth. Memang pada dasarnya pela melarang negeri

(kampung) yang berpela untuk saling menikah, karena negeri (kampung) tersebut merupakan saudara. Namun pela kaweng (nikah) merupakan salah satu bentuk pela yang menginjinkan bahkan mengharuskan negeri (kampung) yang mempunyai ikatan pela ini menikah. Sejarah terbentuknya pela ini, ketika akan diadakan pernikahan antara Markus Risaluang Huliselan dari negeri (kampung) Noloth dengan Ayu Horepati Ferdinandus dari negeri (kampung) Haruku, tiba-tiba Ayu Horepati Ferdinandus meninggal. Kendati

(5)

Untuk membuktikan bahwa gagasan orang basudara benar-benar menjadi sebuah ide yang diwujudkan dalam pranata-pranata lokal tersebut, Jamez Pakniany menegaskan bahwa, Kalwedo sebagai pranata lokal

5

Aholiab Watloly, menegaskan bahwa kata Kalwedo pada dasarnya tidak memiliki akar kata dalam Bahasa asli di Maluku Barat Daya (MBD) tetapi sebuah kata sifat murni yang berarti SELAMAT, DAMAI, dan hidup BAE-BAE (baik-baik) dalam segala hal. Jadi watak kebudayaan MBD adalah Kalwedo, yaitu budaya tanpa kekerasan (un violence), budaya keramahan, kelemahlembutan hidup, budaya saling menjaga dan menghidupkan, (sintesis bipolar), budaya hidup (honoly atau hioly) sebagai saudara (inanara-amasiali). Aholiab Watloly, Menggali Nilai Filsafat Kalwedo, Bulletin Kanjoli Vol.6 No. 5 (2012), 10-12.

6

Max Syauta dalam tulisannya tentang Duan-Lolat dalam perspektif sosial, etik, dan teologi menulis bahwa, Duan-Lolat merupakan sebuah sistem kekerabatan di wilayah Maluku Tenggara Barat (MTB). Duan-Lolat sendiri terdiri dari dua entitas, yaitu Duan

(tuan) dan Lolat (hamba). Di satu sisi, dalam perkawinan Duan menjadi pemberi perempuan dan Lolat menjadi peneriman perempuan. Dalam prakteknya Duan-Lolat

sangat menekankan aspek saling melengkapi dan membutuhkan antara Duan

(tuan/pemberi perempuan) dan Lolat (hamba/penerima perempuan). Oleh sebab itu, dengan sikap saling melengkapi dan membutuhkan tersebut, Duan-Lolat telah menjadi perekat kehidupan bagi masyarakat MTB dengan perbedaanya. Max Chr. Syauta, Duan-Lolat dalam perspektif sosial, etik, dan teologi dalam buku Delapan Dekade GPM, (Salatiga: Satya Wacana University Press dan Gereja Protestan Maluku (GPM), 2015), 188-201.

7

Elly Esra Kudubun, menulis bahwa nilai budaya Ain Ni Ain yang dimiliki

orang Kei (Maluku Tenggara) setara maknanya dengan “persatuan” yang menjadi ruh sila

ketiga Pancasila, sekaligus menjadi fabric of society kepulauan Kei. Ain dalam Bahasa

Kei berarti “satu”, namun bukan dalam pengertian satu yang tunggal melainkan satu yang

jamak. Hal ini dikarenakan dalam Bahasa Kei, satu (tunggal) adalah “sa”. Sedangkan Ni

berarti “punya atau memiliki”. Dengan demikian Ain Ni Ainsecara harafiah berarti “satu

memiliki satu”. Seseorang atau sekelompok orang menempatkan/memandang orang lain (liyan) sebagai saudaranya. Atau dengan makna lain, Ain yang sudah ada (yang asli) menempatkan menerima dan menempatkan Ain (yang datang) sebagai saudaranya, bahkan sebagai saudara kandung. Elly Esra Kudubun, AIN NI AIN: Kajian Sosio-Kultural Masyarakat Kei Tentang Konsep Hidup Bersama Dalam Perbedaan, Cakrawala Vol 5 No 2 (2016), 169.

(6)

masyarakat Maluku Barat Daya (MBD) memiliki nilai-nilai kebersamaan yang mampu untuk menyatukan masyarakat ditengah perbedaan. Nilai-nilai kebersamaan tersebut merujuk pada cara hidop orang basudara.8 Di samping itu, bagi Tari, Duan-Lolat sebagai pranata lokal Maluku Tenggara Barat (MTB) juga memiliki gagasan orang basudara, karena

Duan-Lolat pada dasarnya mengandung esensi dasar dari cara hidop orang

basudara yaitu saling memberi dan saling menerima.9

Di satu sisi, Tjak Sapulette menegaskan bahwa Pela-gandong sebagai pranata lokal masyarakat Maluku Tengah, juga mengandung gagasan

orang basudara. Hal ini dapat dijumpai dalam nilai-nilai yang terkandung

di dalam Pela-gandong yang merujuk pada kesetaraan sebagai dasar dari

hidop orang basudara.10 Bahkan bagi Haurissa April, gagasan orang

basudara juga terdapat di dalam Ain Ni Ain sebagai pranata lokal

masyarakat Maluku Tenggara. Gagasan tersebut dapat dijumpai dalam nilai-nilai dan juga praktek hidop orang basudara dalam bingkai Ain Ni

Hasil wawancara dengan Tari via telfon di Salatiga, tanggal 30 Oktober 2017, pukul 15.00 WIT.

10

Hasil wawancara dengan pdt Tjak Sapulette via telfon di Salatiga, tanggal 31 Oktober 2017, pukul 17.00 WIT.

11

(7)

Berdasarkan beberapa penjelasan di atas, dapat dikemukakan bahwa gagasan orang basudara sebagai sebuah ide abstrak yang digagas secara sadar untuk dapat hidup bersama dalam konteks Maluku yang begitu kompleks, benar-benar diwujudnyatakan dalam pranata-pranata lokal pada masing-masing daerah di Maluku, dan wujud nyata tersebut kemudian menjelma menjadi sebuah habitat atau karakter manusia Maluku yang dikenal dengan falsafah hidop orang basudara. Hal ini juga ditegaskan oleh Aholiab Watloly dan kawan-kawan bahwa falsafah hidop orang

basudara adalah sebuah tabiat, karakter atau habitus asli orang Maluku

yang telah menjadi sebuah tenaga budaya dalam kesadaran kolektif yang terus diturunkan dari generasi ke generasi sebagai identitas orang Maluku.12

Dari pernyataan di atas, ada dua hal menarik yang ditemukan;

pertama, jika bertolak dari pemikiran Durkheim tentang kesadaran kolektif,13 maka falsafah hidop orang basudara adalah sebuah fakta sosial nonmaterial14 yang berfungsi sebagai sebuah pegangan atau prinsip hidup yang dapat merangkul dan mempersatukan manusia Maluku yang begitu kompleks, baik agama, suku, budaya dan status sosial. Hal tersebut

Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern”, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2014), 19.

14

(8)

ditegaskan oleh Aholiab Watloly bahwa falsafah hidop orang basudara menjadi semacam rukun atau pilar dan prinsip essensial manusia Maluku, untuk membangun kerukunan internal agama maupun antar komunitas yang berbeda agama, pulau dan bahasa. Oleh sebab itu, falsafah hidop

orang basudara berfungsi untuk merangkul dan menyinergikan aneka

kehidupan yang otonom dalam sebuah sistim pengertian dalam rahim Kemalukuan.15

Kedua, falsafah hidop orang basudara menjadi sebuah identitas manusia Maluku yang tidak terlepas dari habitus hidup manusia Maluku, sehingga manusia Maluku pada dasarnya mempunyai identitas sebagai

orang basudara. Penegasan identitas manusia Maluku sebagai orang

basudara juga ditegaskan oleh Rudi Fofit bahwa, cara hidup orang

basudara pada dasarnya memang ada di setiap wilayah di dunia (cara

hidup yang universal). Meskipun demikian, secara tradisi, sudah lama orang Maluku hidup dengan cara hidup orang basudara yang terbingkai dalam falsafah hidop orang basudara, dan itu berarti orang Maluku mempunyai identitas sebagai orang basudara.16

15

Abidin Wakano, “Maluku dan Keindahan Sejarahnya, Harmoni Kehidupan Masyarakat Maluku Yang Berbasis Kearifan Lokal” dalam Menggali Sejarah dan Kearifan Lokal Maluku, (Jakarta: Cahaya pineleng, 2012), 115.

16

(9)

Sebagai penyandang identitas orang basudara, manusia Maluku kemudian mewujudkan identitas tersebut dalam cara hidop orang

basudara. Cara hidop orang basudara digambarkan oleh Abidin Wakano

sebagai cara hidup yang sangat menghargai perbedaan, baik itu suku, agama maupun golongan, bahkan cara hidup persaudaraan ini bersifat proeksistensi, karena sama-sama merasa memiliki dan punya tanggung jawab terhadap yang lain.17 Berdasarkan pernyataan Abidin Wakano, cara

hidop orang basudara yang merupakan perwujudan dariidentitas manusia

Maluku sebagai orang basudara, telah menjadi sebuah budaya manusia Maluku yang sangat menjunjung nilai-nilai kesetaraan, bahkan agama, suku, serta golongan, tidak dilihat sebagai suatu penghalang untuk dapat merealisasikan nilai-nilai kesetaraan di Maluku. Hal ini juga ditegaskan oleh Jacky Manuputty bahwa, falsafah hidop orang basudara mencerminkan nilai-nilai kesetaraan, bahkan di dalam proses relasi yang dibangun pun merujuk pada suatu pola relasi yang setara.18

Nilai kesetaraan tersebut juga ditegaskan oleh Aholiab Watloly bahwa, falsafah hidop orang basudara adalah sebuah ideologi kultural yang lahir dari tuntutan adanya keinginan yang besar untuk hidup bersama dalam tatanan kehidupan yang damai dan rukun antar sesama manusia di

17

Abidin Wakano, “Maluku dan Keindahan Sejarahnya, Harmoni Kehidupan Masyarakat Maluku Yang Berbasis Kearifan Lokal” dalam Menggali Sejarah dan Kearifan Lokal Maluku, (Jakarta: Cahaya pineleng, 2012), 6.

18

(10)

Maluku. Tuntutan hidup tersebut kemudian diwujudkan dengan sikap hidup yang saling menghormati, saling menghargai dan saling mengakui perbedaan-perbedaan manusia Maluku sebagai ade-kaka (adik-kakak), bahkan sikap hidup ini telah menjadi sebuah ritus (perilaku sakral yang dirayakan setiap hari) yang bersifat mengikat.19

Bertolak dari pernyataan di atas, penulis mendapati empat hal menarik; pertama, untuk menjawab kebutuhan masyarakat Maluku yang begitu kompleks demi tercapainya suatu tatanan hidup yang setara, maka kebutuhan tersebut diwujudkan dalam sikap-sikap hidup positif seperti; saling menghargai, saling menghormati, serta saling mengakui perbedaan-perbedaan manusia Maluku, baik itu agama, suku, budaya dan juga status sosial. Oleh sebab itu, sikap-sikap hidup tersebut wajib dilakukan oleh manusia Maluku demi terciptanya suatu tatanan hidup yang setara.

Kedua, sebagai masyarakat yang begitu kompleks dari struktur sosial, agama, dan juga budaya, dalam proses berelasi dan berinteraksi antar sesama manusia di Maluku, selalu saja ada gesekan-gesekan yang dipengaruhi oleh kekompleksan dari struktur masyarakat Maluku. Karena itu, untuk mengatasi gesekan-gesekan yang terjadi akibat kekompleksan tersebut, manusia Maluku kemudian mulai mengkonsepkan dan

19

(11)

menyepakati nilai20 dan norma21 yang terkristalisasi di dalam falsafah

hidop orang basudara sebagai pengendali manusia Maluku di dalam

proses berelasi dan berinteraksi di dalam lingkungan agama maupun sosial.

Di satu sisi, apa yang dilakukan oleh manusia Maluku untuk mengatasi realitas struktur masyarakat yang begitu kompleks, juga diusulkan oleh Peter M Blau yang adalah seorang sosiolog. Bagi Blau, nilai dan norma yang disepakati bersama menjadi media kehidupan sosial dan mata rantai yang menghubungkan transaksi sosial. Keduanya membuat pertukaran sosial menjadi mungkin, dan mengatur proses integrasi sosial serta diferensiasi dalam struktur sosial kompleks maupun perkembangan organisasi sosial reorganisasi yang ada di dalamnya.22

Lebih jauh untuk mempertegas nilai dan norma yang telah disepakati oleh masyarakat Maluku sebagai pengendali dalam proses berelasi dan interaksi yang terkristalisasi di dalam falsafah hidop orang

basudara, Nus Sahertian menggambarkan nilai yang merupakan gagasan

ideal tersebut dengan sikap hidup yang terbentuk dalam cara hidup orang

20

Sebuah gagasan ideal yang dikonsepkan oleh masyarakat dan diwujudkan dalam tindakan konkrit.

(12)

basudara, yaitu: hidup yang saling membantu, saling menyayangi, saling menghargai dan saling mengasihi.23 Di samping itu, norma dalam falsafah

hidop orang basudara digambarkan oleh Dieter Bartels lewat pranata

lokal pela-gandong sebagai wujud nyata dari falsafah hidop orang

basudara. Bagi Bartels, karena pela-gandong diyakini sebagai

persaudaraan yang kekal, bahkan ikatan pela-gandong dibentuk melalui sumpah yang sangat kuat dengan disokong oleh kutukan bagi yang melanggar sumpah tersebut, maka pela-gandong memiliki norma (aturan/kaidah) hidup yang harus diikuti, salah satunya larangan untuk menikah antar kampung yang mengangkat sumpah pela-gandong, dan jika aturan/kaidah hidup ini dilanggar maka pelanggar tersebut mendapat hukuman yang terdiri dari sakit, kesialan, bahkan kemandulan.24

Oleh sebab itu, falsafah hidop orang basudara bukanlah sebuah kerangka filosofi hidup manusia Maluku yang kosong dan tidak bernilai, melainkan merupakan sebuah kerangka filosofi hidup manusia Maluku yang sangat bernilai serta berisikan nilai dan norma-norma hidup yang dibentuk dan disepakati bersama oleh Manusia Maluku untuk menjadi sebuah dasar hidup dalam realitas manusia Maluku yang begitu kompleks. Dengan begitu, manusia Maluku mengakui realitas Kemalukuannya

23

Hasil wawancara dengan bapak Nus Sahertian di Wayame, tanggal 20 Agustus 2017, pukul 10:50 WIT.

24

(13)

sebagai manusia Maluku yang begitu kompleks dan menunjukan keinginan Kemalukuannya untuk hidup bersama dalam kekompleksan tersebut.

Ketiga, dengan adanya pernyataan dari Aholiab Watloly yang mengatakan bahwa, sikap hidup yang terkristalisasi di dalam falsafah

hidop orang basudara telah menjadi sebuah ritus yang bersifat sakral dan

dirayakan setiap hari, menunjukan bahwa wilayah sakral bagi manusia Maluku tidak hanya terbatas pada hubungan manusia dengan Tuhan semata melainkan lebih dari itu. Bahkan jika bertolak dari tesis Emile Durkheim yang mengatakan bahwa masyarakatlah yang kemudian mengkonsepkan yang sakral dan yang profan dalam agama,25 maka semestinya masyarakat Maluku hanya mengkonsepkan hal sakral di dalam

habitus agama yang di dalamnya manusia berhubungan dengan Tuhan

saja. Namun kenyataannya tidak seperti itu.

Konsep sakral bagi manusia Maluku tidak hanya terbatas di dalam

habitus agama di mana manusia dapat berjumpa dan berhubungan dengan

Tuhan. Namun, lebih jauh manusia Maluku juga mengkonsepkan yang sakral di dalam habitus sosial lewat sikap hidup yang telah menjadi ritus-ritus kesakralan berlandaskan nilai serta norma-norma di dalam falsafah

25

George Ritzer dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi “Dari Teori

Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern”,

(14)

hidop orang basudara. Oleh sebab itu, wilayah sakral bagi manusia Maluku tidak hanya sebatas hubungan manusia dengan Tuhan yang dipagari dengan dogma-dogma agama, melainkan hubungan manusia dengan manusia di dalam lingkungan sosial juga merupakan sesuatu yang sakral.

Keempat, ritus sakral di dalam falsafah hidop orang basudara, dipraktekan dalam sikap hidup seperti saling menyayangi, saling menolong, saling menghargai dan menerima, terbingkai di dalam pranata-pranata lokal adat masyarakat seperti; akta perjanjian Pela-Gandong,

Kalwedo, Duan-Lolat dan Ain Ni Ain yang mengikat kelompok-kelompok

berbeda menjadi satu. Akan tetapi, pengikatan tersebut tidak membuat sehingga kekhasan (kepercayaan, budaya, suku, dan status sosial) yang dimiliki oleh masing-masing kelompok tersebut menjadi hilang, namun kelompok-kelompok yang berbeda tersebut dapat menyatu dalam sebuah ikatan tanpa harus melepaskan kekhasan masing-masing kelompok. Hal ini juga didukung oleh Aholiab Watloly dengan menegaskan bahwa, bentuk dan ragam kearifan lokal berbeda-beda dalam aneka permainan Bahasa dan cara pengungkapan pada setiap kelompok adat, namun memiliki ide-ide dan amanat-amanat keluruhan yang sama, seperti

Gandong hati tuang, ain ni ain (kita adalah satu dari satu), ita rua kay-way

(15)

bahwa hidop orang basudara adalah pusaka kemanusiaan orang Maluku, yang diabadikan dalam tradisi adatnya.26

Di samping itu, bagi ketua sinode Gereja Protestan Maluku,

falsafah hidop orang basudara merupakan suatu kebenaran Ilahi yang

ditemukan oleh generasi masa lampau Maluku, yang mana di dalam kebenaran Ilahi tersebut terdapat imogodei (gambar ALLAH). Oleh karena itu falsafah hidop orang basudara adalah penegasan imagodei masyarakat Maluku, bahwa karena semua masyarakat Maluku adalah gambar ALLAH, maka masyarakat Maluku adalah manusia yang setara dan bersaudara satu dengan yang lainnya.27

Apa yang disampaikan oleh ketua sinode GPM tentang imogodei sebagai penegasan falsafah hidop orang basudara dari kacamata kekristenan, semakin mempertegas mengenai wilayah sakral bagi manusia Maluku. Oleh sebab itu, karena manusia Maluku pada utuhnya adalah imogodei itu sendiri, maka setiap relasi yang terbentuk dalam ruang-ruang sosial manusia Maluku bersifat sakral dan mampu untuk mengakomodir realitas manusia Maluku yang begitu kompleks.

26 Abidin Wakano, “Maluku dan keindahan sejarahnya, harmoni kehidupan

masyarakat Maluku yang berbasis kearifan lokal” dalam Menggali Sejarah dan Kearifan Lokal Maluku, (Jakarta: Cahaya pineleng, 2012), 112-113.

27

(16)

Karena itu bagi Jacky Manuputty, falsafah hidop orang basudara membentuk sebuah pola relasi seimbang bukan paradoks dalam proses berelasi di lingkungan agama maupun sosial. Dengan relasi seimbang tersebut, manusia Maluku secara sadar dapat mengakui kelebihan dan kelemahannya serta harus saling menerima kelemahan dan kekurangannya masing-masing di dalam kosmologi manusia Maluku sebagai orang basudara.28

Lebih jauh, Jacky Manuputty menganalogikan relasi seimbang tersebut seperti dua utas tali berbeda yang diikat menjadi satu. Tali yang berbeda merujuk pada sebuah realitas manusia Maluku yang begitu kompleks, baik budayanya, kepercayaannya, status sosialnya dan juga sukunya, yang merupakan kekhasan dari manusia Maluku itu sendiri. Proses mengikat merujuk pada suatu keinginan tali yang berbeda yang adalah realitas manusia Maluku yang begitu kompleks untuk menjalin hubungan menjadi saudara seperti kosmologi Manusia Maluku sebagai manusia bersaudara. Gumpalan dari proses ikatan itu sendiri menunjukan bahwa meskipun realitas manusia Maluku yang begitu kompleks telah menjalin relasi, namun relasi tersebut tidak menggeneralisasikan kekhasan dari realitas manusia Maluku tertentu sebagai sebuah kekhasan yang harus diikuti oleh semua orang Maluku. Akan tetapi kekhasan dari realitas

28

(17)

masing-masing manusia Maluku menjadi kekhasan yang tak terlepas dari dirinya sendiri dan tidak boleh menjadi kekhasan yang harus diikuti oleh manusia Maluku lain di dalam relasi yang dibangun.29 Dengan demikian, pola relasi biner tersebut mampu untuk mengakomodir realitas manusia Maluku yang begitu kompleks, sehingga manusia Maluku menjadi manusia yang setara tanpa harus melepaskan yang khas dari manusia Maluku yang begitu kompleks, baik kepercayaannya, budayanya, status sosialnya dan juga sukunya.

Bertolak dari pemahaman falsafah hidop orang basudara di atas, maka secara sederhana dapat dikatakan bawa falsafah hidop orang

basudara adalah suatu kosmologi hidup yang bersifat sakral, dan telah

menjadi paradigma hidup yang terkonsep di dalam kesadaran kolektif manusia Maluku dari generasi ke generasi. Kosmologi hidup tersebut beirisikan aturan-aturan hidup yang terpatri di dalam nilai-nilai dan norma-norma hidup yang dilandasi oleh motif dasar etika yaitu cinta kasih, etika bersama, rasa senasib dan sepenanggunan yang bertujuan untuk meruntuhkan tembok-tembok kekompleksan demi menyetarakan manusia Maluku, serta membawa nilai-nilai inspirasi yang kreatif yang dapat membangun manusia Maluku menuju ke arah yang lebih baik yang dipraktekan lewat tindakan saling membantu, saling menghargai dan

29

(18)

saling menerima yang terbentuk di dalam pranata-pranata lokal seperti; akta perjanjian Pela-Gandong, Kalwedo, Duan-Lolat danAin Ni Ain.

Di samping pemahaman falsafah hidop orang basudara yang disederhanakan oleh penulis di atas, ada tiga hal menarik juga yang dapat disimpulkan dari uraian di atas tentang falsafah hidop orang basudara:

1. Falsafah hidop orang basudara adalah kesadaran koletif manusia

Maluku.

Di sebut sebagai kesadaran kolektif, karena falsafah hidop orang

basudara merupakan sebuah cetakan budaya yang terus diturunkan dari

generasi ke generasi sebagai suatu kosmologi manusia Maluku, yang selalu mengingatkan manusia Maluku untuk selalu melangkah pada suatu tatanan hidup yang setara, karena pada dasarnya manusia Maluku adalah

orang basudara. Hal ini ditegaskan oleh sekum GPM dengan mengatakan

bahwa, falsafah hidop orang basudara sudah ada di dalam struktur memori setiap manusia Maluku, tinggal bagaimana manusia Maluku kembali mengingatkan atau memanaskan struktur memori yang sudah ada tersebut serta menanggapinya.30

30

(19)

2. Falsafah hidop orang basudara merupakan sesuatu yang sakral.

Falasafah hidop orang basudara bersifat sakral karena pandangan

imagodei dari kacamata Kristen yang ada di dalam falsafah hidop orang

basudara yang melihat semua manusia Maluku pada utuhnya adalah

gambar ALLAH yang hidup itu sendiri. Oleh sebab itu, hubungan-hubungan yang dibangun maupun relasi-relasi yang dijalin di wilayah sosial antar sesama manusia Maluku yang tercermin di dalam sikap hidup merupakan suatu hal yang suci atau sakral.

Lebih jauh di dalam buku perdamaian berbasis adat orang

basudara, Aholiab Watloly dan kawan-kawan melihat sikap hidup yang

terbentuk di dalam falsafah hidop orang basudara merupakan tabiat atau karakter suci yang selalu dijunjung dan dimuliakan untuk memuliakan hidup secara bersama. Bahkan bagi mereka pola pikir dan lakon hidop

orang basudara mencirikan sebuah kesakralan dan kesalehan hidup yang

sangat fundamental, yang begitu dihargai dalam adat (aturan hidup) orang

basudara.31 Dengan demikian, sikap hidup di dalam falsafah hidup orang

basudara yang sakral itu mampu untuk menyetarakan semua manusia

Maluku.

31

(20)

3. Dalam falsafah hidop orang basudara, terdapat pola relasi seimbang yang dapat menyetarakan manusia Maluku.

Pada umumnya dalam satu wilayah yang terdiri dari realitas manusia yang begitu kompleks, baik itu kepercayaannya, sukunya, budayanya dan juga status sosialnya, tentu sangat sulit untuk dapat menciptakan suatu relasi yang setara diantara kekompleksan tersebut. Bahkan jika kekompleksan tersebut dipetakan di dalam dua sub mayoritas dan minoritas, cenderung sub mayoritas lah yang selalu memegang kendali di dalam proses berelasi. Namun hal tersebut berbeda dengan wilayah Maluku yang manusianya hidup dengan berlandaskan kosmologi

falsafah hidop orang basudara.

Bagi manusia Maluku yang hidup dengan falsafah hidup orang

basudara sebagai kosmologi hidupnya, selalu melihat realitas manusia

Maluku yang begitu kompleks sebagai suatu realitas yang khas dan tidak terpisahkan dari diri manusia Maluku secara utuh. Oleh karena itu di dalam proses berelasi, manusia Maluku yang hidup dengan kosmologi

falsafah hidop orang basudara tidak berusaha untuk melepas kekhasan

(21)

bagian dari dirinya tanpa harus melepaskan kekhasan tersebut atau pun memaksa kekhasan tertentu bagi manusia lain di dalam proses berelasi. Dengan demikian relasi yang terbentuk di dalam falsafah hidop orang

basudara adalah relasi yang seimbang. Hal ini juga ditegaskan oleh Jacky

Manuputty bahwa falsafah hidop orang basudara membentuk sebuah pola relasi seimbang di dalam proses berelasi. Dengan relasi seimbang tersebut, manusia Maluku secara sadar dapat mengakui kelebihan dan kelemahannya serta harus saling menerima kelemahan dan kekurangannya masing-masing di dalam kosmologi manusia Maluku sebagai orang

basudara.32

Di satu sisi secara teologi, jika teologi barat dalam kurun waktu yang begitu lama selalu bersifat esklusif, serta melihat yang sakral hanya terdapat di dalam habitus kekristenan semata, maka falsafah hidop orang

basudara berbicara sebaliknya. Dalam falsafah hidop orang basudara

ketika manusia yang adalah imagodei itu bersepakat untuk mempercayai yang Ilahi dalam habitus kepercayaan mereka, maka habitus kepercayaan mereka itu kemudian merupakan hal sakral yang adalah kekhasan mereka yang tidak sama dengan yang sakral dalam kekhasan yang lain. Oleh sebab itu falsafah hidop orang basudara bersifat inklusif untuk saling

32

(22)

mengakui dan menerima habitus sakral dalam kepercayaan tertentu sebagai suatu hal yang khas.

Di sisi lain, pandangan falsafah hidop orang basudara yang bersifat inklusif untuk mengakui dan menerima yang sakral di dalam

habitus kepercayaan tertentu, juga merupakan pandangan yang sedang

dikembangkan oleh teolog-teolog saat ini untuk mengakui dan menerima realitas dari habitus kepercayaan lain yang merupakan yang khas dari mereka. Bahkan jauh sebelum para teolog mengembangkan pandangan untuk saling menerima di dalam proses berteologi, falsafah hidop orang

basudara telah mengaktualisasikannya di dalam tindakan dan pikiran

manusia Maluku yang lahir dalam kosmologi falsafah ini.

C.Kandungan Nilai Dalam Falsafah Hidop Orang Basudara.

Berdasarkan uraian di atas tentang pemahaman falsafah hidop

orang basudara, terlihat dengan jelas bahwa sebagai kosmologi hidup

(23)

basudara mengandung nilai-nilai positif seperti; saling melindungi, saling mengasihi, dan saling mendamaikan.33

Di sisi lain bagi Hery Siahaya, falsafah hidop orang basudara mengandung suatu tatanan hidup yang saling menghargai serta menghilangkan sifat-sifat kecemburuan.34 Hal yang mendasari sehingga Hery Siahaya mengeluarkan pernyataan seperti ini, dikarenakan dalam realitas manusia Maluku yang begitu kompleks, tentu ada perbedaan yang terbentuk dalam kelebihan dan kekurangan yang dipengaruhi oleh kekompleksan tersebut. Oleh sebab itu, nilai yang terkandung di dalam

falsafah hidop orang basudara mampu untuk membuat manusia Maluku

saling mengakui kelemahan masing-masing dan menghargainya serta tidak mencemburui kelebihan masing-masing, karena kelemahan dan kelebihan tersebut merupakan sebuah bagian yang tak terpisahkan dari realitas manusia Maluku sesuai dengan kekhasannya masing-masing.

Lebih jauh, untuk menegaskan bahwa falsafah hidop orang

basudara pada dasarnya bukanlah sebuah kosmologi hidup Maluku yang

kosong, melainkan mengandung nilai positif, Aholiab Watloly dalam tulisannya tentang memperkuat falsafah hidop orang basudara dalam buku berlayar dalam ombak, berkarya bagi negeri menjelaskan bahwa,

33

Aholiab Watloly dkk, Perdamaian Berbasis Adat Orang Basudara, (Yogyakarta: Kanisius, 2017), 106.

34

(24)

hidop orang basudara menegaskan nilai-nilai solidaritas, kekerabatan, persaudaraan, dan sikap pengorbanan yang luhur-suci demi basudara sebagai bentuk kebenaran demi kebaikan hidupnya secara bersama.35

Penegasan Aholiab Watloly dan informan lainnya di atas, semakin mempertegas bahwa falsafah hidop orang basudara adalah sebuah kosmologi hidup manusia Maluku yang mengandung banyak nilai positif. Nilai positif tersebut kemudian membentuk sikap hidup yang dapat mengantarkan manusia Maluku agar dapat membangun hidup dalam realitasnya yang kompleks. Oleh sebab itu, penulis mencoba untuk menampilkan sikap hidup tersebut lewat empat hal mendasar:

Pertama, falsafah ini membentuk sikap hidup yang bertoleran untuk membuka diri dan menerima, serta menghargai dan menghormati perbedaan-perbedaan yang dimiliki oleh semua manusia Maluku, baik itu individu maupun komunitas tertentu sebagai suatu realitas hidup manusia Maluku yang begitu kompleks, baik itu perbedaan budaya, suku, kepercayaan, dan juga status sosial.

Kedua, ketika manusia Maluku telah bertoleransi dan membuka diri untuk menerima perbedaan-perbedaan yang ada sebagai suatu realitas hidup manusia Maluku, maka ada keinginan yang timbul untuk

35 Aholiab Watloly “

(25)

membangun hubungan intim yang berbasis keluarga di dalam perbedaan tersebut. Artinya, walaupun manusia Maluku berbeda karena kekompleksannya, namun nilai yang terkandung di dalam falsafah hidop

orang basudara mendorong manusia Maluku untuk dapat membentuk

sebuah hubungan intim di dalam kekompleksan tersebut. Hubungan intim yang dapat mengakui dan menerima kekompleksan tersebut sebagai bagian yang tak terpisahkan dan yang khas dari masing-masing manusia Maluku, dan hubungan yang mampu melakukannya hanya jika hubungan tersebut didasarkan pada hubungan yang berbasis persaudaraan.

Ketiga, falsafah ini mencerminkan sikap hidup yang bertanggung jawab. Artinya, setelah manusia Maluku membangun sebuah hubungan yang berbasis pada persaudaraan di dalam kekompleksan manusia Maluku, maka manusia Maluku mempunyai tanggung jawab untuk tetap menjaga hubungan yang telah dibangun dengan baik. karena itu di dalam

falsafah hidop orang basudara mengandung banyak nilai-nilai positif

sebagai aktualisasi dari proses tanggung jawab terhadap hubungan persaudaraan yang dibangun.

(26)

melainkan manusia Maluku melihat dan turut merasakan apa yang dirasakan oleh saudaranya, baik itu merasakan penderitaan maupun kesenangan. Bahkan, jika itu merupakan persoalan maupun penderitaan, maka manusia Maluku secara bersama akan mencari jalan keluar untuk mengatasi persoalan maupun penderitaan yang dialami oleh saudaranya.

Berdasarkan empat sikap hidup hasil pembentukan nilai dalam

falsafah hidop orang basudara yang telah penulis tampilkan di atas,

memperjelas bahwa falsafah hidop orang basudara sebagai kosmologi hidup manusia Maluku mengandung begitu banyak nilai positif yang dapat mengarahkan, bahkan dapat membawa manusia ke tahapan hidup yang lebih baik di dalam realitas manusia Maluku yang begitu kompleks. Namun di satu sisi, penulis mendapati bahwa nilai yang terkandung di dalam falsafah hidop orang basudara, bukanlah nilai yang berdiri sendiri atau otonom, melainkan nilai tersebut berkolerasi dengan sifat yang melekat pada nilai itu. Oleh sebab itu berdasarkan hasil penelitian, penulis telah memetakan beberapa sifat dari nilai yang terkandung di dalam

(27)

1. Nilai yang terkandung di dalam falsafah hidop orang basudara bersifat terbuka.

Sifat terbuka yang disandang oleh falsafah hidop orang basudara merujuk pada wilayah penggunaan nilai dalam falsafah tersebut. Jika pada umumnya penggunaan nilai dalam suatu bangunan falsafah hidup hanya tertuju bagi manusia yang terikat secara langsung di dalam bangunan falsafah tersebut, maka apa yang ditampilkan oleh falsafah hidop orang

basudara sebagai kosmologi hidup manusia Maluku berbeda.

Sebagai kosmologi hidup manusia Maluku, nilai yang terkandung di dalam falsafah hidop orang basudara membuka diri untuk dapat digunakan bukan saja oleh manusia Maluku sebagai manusia yang dilahirkan dengan kosmologi hidup tersebut, tetapi juga dapat digunakan oleh manusia lain yang tidak dilahirkan dalam kosmologi hidup falsafah

hidop orang basudara. Hal ini ditegaskan oleh Erik bahwa, ketika

membangun hidup dalam suatu tempat yang begitu plural di Maluku,

falsafah hidop orang basudara mampu untuk menyatukan perbedaan yang

ada, sehingga yang ada bukanlah orang plural tetapi orang basudara.36

Lebih jauh diceritakan oleh Wahyudi bahwa, sebagai seorang pendatang asal Jawa Timur yang membangun hidup di Maluku, falsafah

36

(28)

hidop orang basudara mampu untuk mendorong masyarakat lainnya untuk menerima keberadaan Wahyudi tanpa ada diskriminasi. Bahkan setelah menikah dengan orang ambon yang mempunyai kosmologi

falsafah hidop orang basudara, Wahyudi kemudian terlebur di dalam

kosmologi tersebut, namun tidak menghilangkan kekhasannya sebagai seorang Jawa Timur yang beragama Islam.37

Informasi di atas menegaskan bahwa, pada dasarnya Maluku adalah wilayah yang sangat plural, baik dari segi agama, budaya, suku, status sosial, bahkan juga manusia yang membangun hidup di Maluku, dalam artian manusia asli Maluku dan para pendatang. Namun ketika proses membangun hidup dimulai, falsafah hidop orang basudara membuka diri untuk dapat dipakai oleh para pendatang yang tidak menyandang falsafah hidop orang basudara sebagai kosmologi hidupnya, sehingga baik orang asli Maluku dan pendatang sama-sama terlebur di dalam hidop orang basudara dan dari peleburan tesebur, mereka bukan lagi dua entitas yang berbeda (orang asli dan pendatang) tetapi orang basudara.

Di satu sisi, Sifat terbuka yang disandang oleh falsafah hidop

orang basudara ini, digambarkan oleh Dieter Bartels yang diwujudkan

37

(29)

dalam soa. Soa merupakan budaya manusia Maluku, khususnya Maluku Tengah. Soa merupakan pembagian kelompok atau klan dalam negeri atau kampung tertentu. Di kemudian hari, ada juga banyak kampung yang menciptakan soa terpisah yang disebut soa pendatang untuk menghimpun semua pendatang di kampung tanpa memperhitungkan waktu kedatangan mereka di kampung.38

Izak Lattu dalam desertasinya tentang “Orality and Interreligious Relationships the Role of Collective Memory in Christian-Muslim Engagements

in Maluku, Indonesia” juga menjelaskan soa yang diciptakan khusus untuk

menghimpun pendatang dari luar yang hendak tinggal di dalam kampung. Penggambaran tersebut digambarkan oleh Izak Lattu lewat sistim soa

Erang dalam struktur negeri Soya.39 Lebih jauh, Izak Lattu menjelaskan

Izak Lattu, “Orality and Interreligious Relationships the Role of Collective

Memory in Christian-Muslim Engagements in Maluku, Indonesia”, PhD. Diss., Graduate Theological Union, 2014, 125.

40

Negeri Adat di Ambon. 41

(30)

menghimpun semua pendatang yang datang dari luar dan hendak tinggal di negeri Soya.42

2. Nilai yang terkandung di dalam falsafah hidop orang basudara bersifat universal.

Ada begitu banyak nilai positif yang terkandung di dalam falsafah

hidop orang basudara, seperti saling mengasihi, saling menolong, saling

memaafkan, saling menghargai, saling menjaga dan lain sebagainya. Nilai-nilai yang terkandung di dalam falsafah tersebut, bagi penulis bersifat universal, karena nilai-nilai tersebut dapat ditemukan di semua wilayah Maluku yang beragam dan juga wilayah di luar Maluku, bahkan juga ditemukan di dalam ajaran-ajaran agama. Hal ini ditegaskan oleh Sintia Sangadji bahwa, nilai-nilai di dalam falsafah hidop orang basudara seperti; saling menyayangi, mengasihi, dan saling membantu, pada dasarnya juga ada di dalam setiap ajaran agama. Bahkan setiap agama mengajarkan nilai-nilai tersebut.43

Informasi di atas menegaskan bahwa, nilai yang terkandung di dalam falsafah hidop orang basudara bersifat universal. Oleh sebab itu, ketika manusia Maluku yang begitu kompleks ingin menjalin relasi dengan manusia yang berasal dari dalam atau luar Maluku dengan

42

Izak Lattu, “Orality and Interreligious, 125.

43

(31)

menggunakan falsafah ini, maka relasi tersebut berjalan dengan baik, karena nilai-nilai yang terkandung di dalam falsafah hidop orang

basudara juga ada di dalam kekompleksan masing-masing manusia yang

berasal dari dalam atau luar Maluku.

3. Nilai yang terkandung di dalam falsafah hidop orang basudara bersifat mengikat tanpa meninggalkan kekhasan masing-masing.

Ketika manusia Maluku ingin bersepakat untuk membangun relasi yang berbasis pada persaudaraan dengan sesama manusia Maluku yang lain dalam konstelasi realitas manusia Maluku yang begitu kompleks, maka tentu saja manusia Maluku yang bersepakat tersebut diikat dengan nilai hidup yang terkandung di dalam falsafah hidop orang basudara sebagai landasan berelasi. Proses pengikatan itu sendiri tidak membuat sehingga manusia Maluku yang bersepakat terlepas dari kekhasannya masing-masing, namun meskipun diikat dengan nilai yang terkandung di dalam falsafah hidop orang basudara, kekhasan dari masing-masing manusia Maluku yang bersepakat tersebut tetap menjadi bagian yang tak terpisahkan dari diri mereka. Sehingga di dalam proses berelasi sebagai

orang basudara, manusia Maluku dapat menghayati dan

mengaktualisasikan nilai yang terkandung di dalam falsafah hidop orang

basudara dengan kekompleksannya masing-masing. Oleh sebab itu, di

(32)

relasi dengan orang Islam Maluku serta mengaktualisasikan nilai-nilai yang ada di dalam falsafah hidop orang basudara sebagai landasan di dalam proses berelasi tanpa harus menjadi orang Islam Maluku, dan juga sebaliknya.

Nilai yang bersifat mengikat tersebut digambarkan oleh sekum GPM dengan menceritakan kesan saat GPM melakukan sidang MPL di Teluti.44 Ketika GPM melakukan sidang MPL di Teluti, para pendeta diberi tempat tinggal di rumah-rumah basudara muslim. Oleh sebab itu selama sidang berlangsung, para pendeta yang adalah orang Kristen, hidup bersama dengan bapa piara dan mama piara45 yang muslim. Dalam disandang oleh falsafah hidop orang basudara tanpa meninggalkan kekhasan dari masing-masing manusia Maluku. Ketika para pendeta tinggal di rumah muslim, mereka terikat di dalam pusaran arus orang memberikan tempat untuk ditinggali dengan sebutan bapa piara (kepala rumah tangga) dan mama piara (ibu rumah tangga).

46

(33)

basudara, meskipun demikian para pendeta tetap kristen dan tuan rumah tetap muslim. Bahkan ketika para pendeta berdoa Bapa Kami bagi seisi rumah, seisi rumah tersebut tidak berubah menjadi kristen, melainkan tetap kristen dan muslim.

Bahkan lebih jauh, Elifas Tomix Maspaitela dalam Carita Orang

Basudara “kisah-kisah perdamaian dari Maluku” menceritakan bahwa,

ketika Sumanto AL-Qurtuby yang adalah seorang muslim asal Jawa datang meneliti di Ambon dan tinggal bersama dengan Elifas yang seorang kristen, proses tinggal bersama itu kemudian membuat Elifas mengakui Sumanto adalah saudaranya dan sebaliknya.47 Proses pengakuan ini merupakan sebuah perwujudan praksis dari falsafah hidop orang

basudara yang mengikat tetapi tidak meninggalkan kekhasan Elifas

sebagai seorang kristen dan Sumanto sebagai seorang muslim.

4. Nilai yang terkandung di dalam falsafah hidop orang basudara bersifat aktif bukan pasif.

Nilai di dalam falsafah ini bersifat aktif, karena nilai di dalam falsafah ini tidak hanya sekedar menjadi simbol kosmologi hidup manusia Maluku untuk sekedar diketahui oleh masyarakat luas semata, melainkan nilai di dalam falsafah ini mampu menggerakan manusia Maluku dengan

47

(34)

sebuah kekuatan yang bersifat melakukan (doing) dan bukan bersifat tidak melakukan (no doing) yang implementasikan lewat tindakan dan pikiran yang kreatif dan kritis untuk menanggapi segala sesuatu. Aholiab Watloly menyebut kekuatan penggerak itu sebagai (invisible hand)48 yang mendorong manusia Maluku untuk melakukan serta mengupayakan yang baik ketika terjadi hal-hal yang tidak baik.

Untuk mempertegas nilai di dalam falsafah hidop orang basudara bersifat aktif dan bukan pasif, Rico Rikumahu menegaskan bahwa,

falsafah hidop orang basudara mengajarkan suatu cara

mempersembahkan hidup kepada orang lain. Bahkan cara hidup tersebut membuat manusia Maluku seperti ada di dalam kompetisi yang berlomba-lomba untuk melakukan sesuatu kepada orang lain sebelum orang lain melakukan sesuatu kepada kita, karena orang lain tersebut adalah saudara kita.49

Berdasarkan uraian tentang nilai yang terkandung di dalam

falsafah hidop orang basudara dan sifat yang disandang olehnya sebagai

sebuah bagian yang tak terpisahkan, maka dapat terlihat bahwa nilai-nilai yang terkandung di dalam falsafah hidop orang basudara bukan hanya

48 Aholiab Watloly “Memperkuat Falsafah Hidop Orang Basudara” dalam

Berlayar Dalam Ombak, Berkarya Bagi Negeri, eds by Abidin Wakano dkk, (Ambon: Ralahalu Institut, 2012), 246.

49

(35)

berupa kerangka teori, namun berupa implementasi langsung yang terbentuk di dalam pikiran dan perbuatan yang dapat mengantarkan manusia Maluku ke situasi hidup yang lebih baik di tengah-tengah realitas manusia Maluku yang begitu kompleks. Bahkan sebagai kosmologi hidup manusia Maluku, nilai-nilai yang terkandung di dalam falsafah ini dapat menyetarakan manusia Maluku di dalam kekompleksannya.

D. Pemaknaan Masyarakat Maluku Tentang Falsafah Hidop Orang

Basudara Dalam Lingkungan Agama dan Sosial

Sebelum penulis mendeskripsikan bagaimana masyarakat Maluku memaknai falsafah hidop orang basudara dalam lingkungan agama dan sosial, penulis akan mendeskripsikan pemaknaan orang basudara di dalam kerangka falsafah hidop orang basudara terlebih dahulu, karena pemaknaan orang basudara mempengaruhi pemaknaan dan pengunaan

falsafah hidop orang basudara, baik di dalam lingkungan agama maupun

sosial. Berdasarkan hasil penelitian, penulis menemukan bahwa masyarakat Maluku memahami orang basudara dalam tiga poin:

1. Orang basudara dimaknai berdasarkan ikatan geneologis

Berdasarkan hasil penelitian, penulis menemukan bahwa orang

basudara kerapkali dimaknai dalam kerangka mata air gen. Artinya

(36)

beberapa komunitas tertentu yang memiliki ikatan darah yang sama/gandong. Hal ini ditegaskan oleh sekum GPM ketika menegaskan pemaknaan orang basudara dalam ikatan gandong. Bagi sekum GPM, orang basudara dalam pemaknaan gandong dipahami karena sama-sama lahir dari satu rahim dan dibesarkan dari satu air susu ibu yang sama.50

Bertolak dari penjelasan di atas, maka penulis menyadari bahwa pada umumnya manusia sebagai makhluk sosial sangat membutuhkan manusia lain untuk dapat melanjutkan hidup. Bahkan lebih intim lagi, manusia lain itu sering dipahami sebagai sesama manusia yang mempunyai hubungan latar belakang yang sama, yaitu hubungan gen. Oleh sebab itu hampir di semua wilayah Maluku, istilah orang basudara sering dipahami dalam keterkaitannya dengan hubungan gen.

Di sisi lain, M. Noor Tawainela dalam tulisannya tentang Ketika Hati Nurani Bicara didalam buku Carita Orang Basudara. Dalam tulisan ini, dia menceritakan bahwa pada saat atap kuburan moyangnya di Tulehu akan diganti, keluarga dari negeri Waai datang dan turut bersama dalam

50

(37)

proses penggantian atap tersebut, bahkan saat itu tidak ada Islam atau Nasrani, yang ada hanya ialah basudara dari satu mata air gen.51

Tulisan dari M Tawainela di atas, semakin mempertegas bahwa istilah orang basudara sering dimaknai dalam konstelasi genetika. Oleh sebab itu, wilayah penggunaan dari falsafah hidop orang basudara kerapkali hanya meliputi beberapa individu, maupun komunitas tertentu di Maluku yang mempunyai hubungan genetika, dan tidak dapat keluar dari konstelasi genetika tersebut.

2. Orang basudara dimaknai berdasarkan kultur dan teritori

Berdasarkan hasil penelitian, penulis juga mendapatkan bahwa pemaknaan orang basudara sering didasarkan pada kultur dan teritori tertentu. Yang dimaksud dengan didasarkan pada kultur dan teritori ialah,

orang basudara dipahami sebagai kumpulan nilai-nilai moral yang

terkandung di dalam warisan budaya (kultur) yang diturunkan oleh orang tua-tua yang hidup di wilayah Maluku (teritori) pada masa lampau. Oleh sebab itu, karena semua manusia Maluku hidup dalam teritori yang sama dan dengan kultur yang sama, maka manusia Maluku pada dasarnya adalah orang basudara. Hal ini ditegaskan oleh Kanes Amanupunjo bahwa:

51

(38)

Secara adat-istiadat, orang Maluku ni samua orang basudara, karena ada keterkaitan-keterkaitan adat. Selain itu karena katong juga satu

wilayah Maluku jadi katong di Maluku ni orang basudara (secara

adat-istiadat, orang Maluku ini semua orang bersaudara, karena ada keterkaitan-keterkaitan adat. Selain itu karena kami juga berada disatu wilayah Maluku jadi kami di Maluku ini orang bersaudara).52

Dari penegasan di atas, penulis mendapati bahwa nilai yang terkandung di dalam hidop orang basudara telah terpatri di dalam adat istiadat yang berakar di wilayah Maluku. Sehingga sebagai manusia Maluku yang hidup di wilayah Maluku, manusia tersebut harus mendukung adat istiadat yang berisikan hidop orang basudara yang berakar di wilayah Maluku. Oleh sebab itu, ketika manusia Maluku mengaktualisasikan nilai yang berakar di dalam adat istiadat manusia Maluku, dengan sendirinya nilai-nilai yang diaktualisasikan tersebut menghubungkan pelaku-pelaku pengaktualisasian tersebut menjadi orang

sudara.

Di satu sisi, pemaknaan falsafah hidop orang basudara yang terbatas pada kultur dan teritori Maluku, juga ditegaskan oleh Aholiab Watloly. Dalam tulisannya tentang memperkuat falsafah hidop orang

basudara di dalam buku Berlayar Dalam Ombak, Berkarya Bagi Anak

Negeri, Aholiab Watloly menegaskan bahwa falsafah ini, hidup dan bertumbuh, serta dewasa dan matang dalam basis-basis geneologis,

52Theovania Matatula “Hidop Orang Basudara Suatu Kajian Teologi

(39)

teritorian dan sosio-kultural.53 Dengan kedua informasi di atas, maka

falsafah hidop orang basudara kerapkali juga dimaknai dalam kultur dan

teritori Maluku. Oleh sebab itu, wilayah penggunaan falsafah hidop orang

basudara juga terbatas bagi individu dan komunitas yang lahir dan

bertumbuh dengan budaya Maluku.

3. Orang basudara dimaknai keluar dari ikatan gen, kultur dan juga

teritori.

Berdasarkan hasil penelitian, penulis juga mendapati bahwa pemaknaan orang basudara dapat melampaui ikatan gen, kultur dan juga teritori. Zairin Salampessy dalam Carita Orang Basudara “kisah-kisah

perdamaian dari Maluku” menceritakan bahwa, tempat lorong (gang)

rumah miliknya, ditempati oleh orang yang berbeda agama, meskipun demikian mereka tidak pernah mempermasalahkan hal tersebut. Bahkan Zairin menegaskan bahwa di lorong sempit itu, mereka semua tinggal dalam relasi kekeluargaan yang akrab, dengan falsafah hidop orang

basudara tanpa memandang dari mana asal daerah, suku, atau pun

agamanya.54

53 Aholiab Watloly “Memperkuat Falsafah Hidop Orang Basudara” dalam

Berlayar Dalam Ombak, Berkarya Bagi Negeri, eds by Abidin Wakano dkk, (Ambon: Ralahalu Institut, 2012), 249.

54

(40)

Bertolak dari informasi di atas, terlihat dengan jelas bahwa masyarakat Maluku lambat laun mulai menyadari dirinya sebagai makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri dan terpisah dengan manusia lain yang juga adalah sesama makhluk sosial. Oleh sebab itu, rasa sebagai makhluk sosial itu kemudian mendorong manusia Maluku yang untuk keluar dari zona nyamannya dan menjalin relasi orang basudara dengan manusia lain tanpa dipengaruhi oleh ikatan gen, kultur dan teritori.

Bahkan pemaknaan orang sodara yang jauh melampaui ikatan gen, kultur dan teritori, juga disampaikan oleh Hery Siahaya bahwa, orang

basudara adalah suatu cara hidup yang saling mengasihi dan saling

membantu, meskipun tidak berada di dalam satu rumpun agama tertentu, bahkan melampaui batas-batas teritori genetika, suku dan golongan tertentu.55 Dengan penjelasan pemaknaan orang basudara dari informan, maka wilayah penggunaan falsafah hidop orang basudara sudah tidak terbatas pada ikatan gen, kultur dan juga teritori, melainkan lebih dari itu.

Di satu sisi, pemaknaan orang basudara dapat mempengaruhi wilayah penggunaan falsafah hidop orang basudara tersebut. Sehingga, ketika manusia Maluku memaknai orang basudara lebih dari ikatan gen, kultur dan juga teritori, maka manusia Maluku tidak terpenjara ketika

55

(41)

menggunakan falsafah hidop orang basudara di dalam menjalin relasi. Oleh sebab itu, dari uraian di atas, penulis akan memetakan pemaknaan masyarakat Maluku terhadap falsafah hidop orang basudara di dalam lingkungan sosial dan lingkungan agama, sebagai dua lingkungan sensitif yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia.

Berdasarkan hasil penelitian, penulis mendapatkan bahwa masyarakat Maluku memaknai falsafah hidop orang basudara dalam lingkungan sosial dan lingkungan agama sebagai pemersatu di dalam perbedaan, sehingga memungkinkan terciptanya relasi hidup bersama. Karena ketika masyarakat Maluku yang begitu kompleks ingin menjalin relasi, mereka tidak hanya membawa diri mereka di dalam proses berelasi, namun juga membawa kekhasan yang melekat dalam diri mereka, baik itu kepercayaan, suku, budaya, dan juga status sosial yang selalu terikat dengan mereka dalam lingkungan sosial dan juga agama.

Oleh sebab itu, di dalam perbedaan tersebut, falsafah hidop orang

basudara kemudian bertindak untuk menyatukan mereka, sehingga di

(42)

falsafah hidop orang basudara mampu untuk menyatukan perbedaan yang ada, sehingga yang ada bukanlah orang plural tetapi orang basudara.56

Dari informasi di atas terlihat jelas bahwa manusia Maluku adalah manusia yang begitu plural akibat kekhasan yang disandang oleh masing-masing manusia Maluku. Oleh sebab itu, dalam usaha untuk membangun suatu hidup yang baik, falsafah hidop orang basudara berfungsi sebagai suatu pemersatu yang mampu untuk menyatukan realitas manusia Maluku yang begitu plural, sehingga masyarakat Maluku dapat membangun hidup yang baik dalam konteks yang begitu pluralis, baik di lingkungan sosial maupun agama.

Di sisi lain, dalam proses membangun relasi, baik di dalam lingkungan agama dan juga sosial, tentu ada perbedaan-perbedaan yang didapati. Perbedaan-perbedaan tersebut merupakan kekhasan yang tidak terlepas dari habitus agama dan juga sosial. Namun, kerapkali perbedaan yang merupakan kekhasan dalam lingkungan agama dan sosial tersebut dapat menjadi gesekan-gesekan di dalam proses berelasi yang jika tidak secara cepat dan tepat ditangani, maka akan menimbulkan konflik. Oleh sebab itu, masyarakat Maluku juga memaknai falsafah hidop orang

basudara di dalam lingkungan sosial dan agama sebagai suatu jalan untuk

56

(43)

mengakui perbedaan sebagai suatu fakta yang ada, dan dari fakta itu bagaimana falsafah hidop orang basudara kemudian menjadi sebuah kemauan untuk dapat mengelola perbedaan yang ada menjadi sebuah kekayaan. Hal ini ditegaskan oleh Hery Siahay bahwa, falsafah hidop

orang basudara mampu menyadarkan kita bahwa perbedaan itu adalah

fakta sosial, dan perbedaan itu kemudian harus dikelola sebagai kekayaan di dalam proses hidup bersama sebagai orang basudara.57

Lebih jauh, Rico Rikumahu menegaskan bahwa nilai-nilai yang terkandung di dalam falsafah hidop orang basudara dapat menjadi sebuah model untuk menjalin relasi di dalam lingkungan agama dan lingkungan sosial.58 Bahkan Jacky Manuputty menyebut model relasi yang ditawarkan oleh falsafah ini ialah model relasi seimbang.59

Bertolak dari penjelasan di atas, terlihat bahwa falsafah hidop

orang basudara juga dimaknai oleh masyarakat Maluku dalam lingkungan

sosial dan agama bukan saja sebagai jalan untuk mengakui perbedaan, melainkan juga menawarkan relasi seimbang dalam proses membangun relasi di lingkungan sosial dan juga agama dengan perbedaan-perbedaan habitus masing-masing yang khas.

57

Hasil wawancara dengan pdt Hery Siahay di Poka, tanggal 23 Agustus 2017, pukul 12:52 WIT.

58

Hasil wawancara dengan pdt Rico Rikumahu, di Kantor klasis pulau Ambon, tanggal 25 Agustus 2017, pukul 13.22 WIT.

59

(44)

Berdasarkan pemaknaan masyarakat Maluku terhadap falsafah

hidop orang basudara di dalam lingkungan sosial dan agama, ada tiga hal

penting yang didapati:

1. Falsafah hidop orang basudara dimaknai sebagai jalan untuk mengakui

perbedaan yang ada

Ketika manusia Maluku yang begitu kompleks berinteraksi di dalam lingkungan agama dan lingkungan sosial, mereka bukan saja membawa diri mereka, namun juga kekhasan mereka masing-masing yang terbentuk di dalam kepercayaan, suku, budaya dan juga status sosial. Di tengah kekompleksan tersebut, falsafah hidop orang basudara dimaknai sebagai jalan yang membuka ruang untuk saling mengakui perbedaan sebagai kekhasan masing-masing, dan saling menghargai kekhasan masing-masing sebagai bagian yang tak terpisahkan.

2. Falsafah hidop orang basudara dimaknai sebagai pemersatu di dalam

perbedaan, tanpa meninggalkan kekhasan masing-masing.

Setelah ada pengakuan bahwa manusia Maluku yang berelasi dalam lingkungan sosial dan agama selalu membawa kekhasan mereka sebagai bagian yang tak terpisahkan dari mereka, maka pengakuan tersebut kemudian fakta di dalam proses berelasi. Falsafah hidop orang

(45)

membuat hidup manusia Maluku lebih baik, karena itu falsafah hidop

orang basudara kemudian mendorong manusia Maluku untuk dapat

menjalin relasi melampaui fakta-fakta itu, tanpa melepaskan atau meniadakan fakta-fakta tersebut. Oleh sebab itu, falsafah hidop orang

basudara bertindak sebagai rotor yang mempersatukan manusia Maluku

yang begitu kompleks dalam lingkungan sosial dan agama tanpa meninggalkan kekhasan mereka yang merupakan fakta itu sendiri.

3. Falsafah hidop orang basudara dimaknai sebagai sebuah landasan relasi

hidup bersama dalam lingkungan sosial dan agama.

Setelah manusia Maluku yang begitu kompleks mengakui perbedaan yang ada sebagai sebuah fakta dari kekhasan mereka masing-masing, dan mereka kemudian disatukan untuk dapat menjalin relasi tanpa meninggalkan kekhasan mereka, maka mereka melandaskan relasi mereka dalam relasi hidop orang basudara yang terkandung di dalam falsafah

hidop orang basudara. Karena ketika mereka melandaskan relasi yang

(46)

E. Kesimpulan

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa falsafah

hidop orang basudara adalah suatu kosmologi hidup yang bersifat sakral,

yang telah menjadi paradigma hidup dan telah membatin di dalam diri manusia Maluku dari generasi ke generasi. Kosmologi hidup tersebut beirisikan aturan-aturan hidup yang terpatri di dalam nilai-nilai dan norma-norma hidup yang dilandasi oleh motif dasar etika yaitu cinta kasih, etika bersama, rasa senasib dan sepenanggunan yang bertujuan untuk meruntuhkan tembok-tembok kekompleksan demi menyetarakan manusia Maluku, serta membawa nilai-nilai inspirasi yang kreatif yang dapat membangun manusia Maluku menuju ke arah yang lebih baik yang dipraktekan lewat tindakan saling membantu, saling menghargai dan saling menerima yang terbentuk di dalam pranata-pranata lokal seperti; akta perjanjian Pela-Gandong, Kalwedo danAin Ni Ain.

Di samping itu, sifat dari nilai yang terkandung dalam falsafah

hidop orang basudara, yaitu: Bersifat terbuka; artinya falsafah hidop

orang basudara juga dapat digunakan oleh manusia yang tidak lahir di

dalam kosmologi manusia Maluku, sehingga para pendatang yang datang dan menetap di Maluku dapat berelasi dan terlebur dalam hidop orang

basudara. Bersifat universal; artinya nilai dalam falsafah hidop orang

(47)

menghargai, saling menerima dan mengakui kekurangan dan kelebihan, saling menjaga dan nilai positif lainnya juga dapat ditemukan di semua wilayah Maluku yang beragam dan juga wilayah di Luar Maluku, bahkan lebih jauh juga dapat di temukan dalam ajaran-ajaran agama. Bersifat mengikat tanpa meninggalkan kekhasan masing masing; artinya falsafah

hidop orang basudara dapat digunakan untuk menjalin sebuah ikatan yang

Gambar

gambar ALLAH, maka masyarakat Maluku adalah manusia yang setara
gambar ALLAH yang hidup itu sendiri. Oleh sebab itu, hubungan-

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan hubungan pemberian ASI eksklusif dengan status gizi anak usia 1-2 tahun di Posyandu Pala VII Notoprajan Yogyakarta bahwa diantara

Motivasi yang kurang dari tenaga kesehatan khususnya bidan dapat menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi pemilihan terhadap kontrasepsi IUD di

Biasanya umum ditemukan di dataran rendah dan perbukitan sulawesi serta pulau- pulau lepas pantai, menghuni hutan primer dan sekunder yang tinggi dan tepi hutan juga lahan

Partisipan dalam penelitian ini adalah ibu yang melaksanakan terminasi kehamilan di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta, dengan usia kehamilan yang berbeda-beda, usia ibu

Jelaskan mengapa komunikasi non verbal penting dipahami pekerja sosial ketika berkomunikasi dengan

Rencana pengembangan ini telah selaras dengan rencana strategis Universitas dan secara rinci akan dijabarkan dalam rencana operasional oleh program studi yang ada di lingkungan

The International Archives of the Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information Sciences, Volume XLII-2/W3, 2017 3D Virtual Reconstruction and Visualization of

Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui kemampuan sosial media dalam membentuk identitas kolektif yang muncul dari hastag #SaveRisma ini. Yang dianalisa