BAB V
MENUJU TEOLOGI ORANG BASUDARA
A. Pengantar
Dalam proses berteologi, GPM memahami betapa pentingnya
berteologi sesuai konteks. Karena itu, GPM kemudian mengusung tema
eklesiologi “gereja orang basudara” sebagai respon iman GPM dalam proses berteologi. Namun, untuk dapat menjadi gereja orang basudara, GPM memerlukan sebuah teologi yang dapat menjadi landasan eklesiologi
tersebut. Demi menjawab kebutuhan GPM, maka penulis akan
mengkonstruksikan sebuah teologi lokal GPM. Karena itu, pembahasan
pada bab ini terdiri dari; konstruksi teologi lokal GPM, menuju teologi
orang basudara sebagai sebuah teologi lokal GPMdan kesimpulan.
B. Konstruksi Teologi Lokal GPM
Dalam proses berteologi, GPM menyadari dua hal; pertama, GPM menyadari dengan sungguh bahwa teologi barat yang selama telah
diadopsi oleh GPM yang sangat bersifat kaku dan ekslusif sudah tidak lagi
relevan dengan konteks berteologi GPM yang begitu kompleks. Bahkan
bagi ketua sinode GPM, teologi barat atau ajaran protestantisme yang
tahun 1999, sehingga teologi atau ajaran protestantisme tersebut memang
sudah tidak relevan untuk tetap diadopsi.1
Kedua, GPM menyadari bahwa proses berteologi selalu terikat dengan konteks lokal tertentu di mana manusia mendengar suara Tuhan
dan merasakan kehadiran Tuhan yang tersembuyi. Tentu konteks lokal
tersebut bukanlah konteks lokal yang kosong melainkan konteks lokal
yang berisikan budaya, suku, kepercayaan dan juga status sosial yang
begitu kompleks. Dalam konteks lokal Maluku tempat di mana GPM
bertumbuh dan berkarya, juga bukanlah konteks lokal yang kosong,
namun konteks lokal yang begitu kompleks.
Berdasarkan kesadaran GPM untuk berteologi sesuai konteks,
maka GPM mengusung eklesiologi “gereja orang basudara”, tetapi di
satu sisi GPM memerlukan landasan teologi yang kuat untuk menjadi
landasan ekelsiologi GPM. Oleh sebab itu, penulis akan memakai pikiran
Clemens Sedmark sebagai pintu masuk untuk mengkonstruksikan teologi
lokal GPM, dengan empat poin usulan Sedmark yang telah
disederhanakan oleh penulis:
1
1. Wadah lokal sebagai konteks teologi lokal dibangun
Bagi Sedmark kapan pun teologi dilakukan, teologi harus
dilakukan dari suatu tempat,2 dan bagimana pun tempat itu adalah
lingkungan kerja teologi yang berkaitan dengan situasi manusia.3 Oleh
sebab itu, di dalam proses mengkonstruksikan sebuah teologi lokal, sang
teolog memerlukan konteks lokal tertentu yang adalah situasi manusia itu
sendiri.
Karena itu, ada dua hal mendasar yang membuat sehingga untuk
mengkonstruksikan sebuah teologi lokal, sang teolog memerlukan suatu
konteks lokal tertentu; pertama, sumber daya-sumber daya yang dapat dipakai untuk mengkonstruksikan sebuah teologi lokal terdapat di dalam
konteks lokal tersebut, sehingga jika ingin mengkonstruksikan sebuah
teologi lokal, maka harus berangkat dari konteks lokal tertentu yang
memiliki sumber daya-sumber daya yang dapat digunakan dalam
pengkonstruksian teologi lokal. Pernyataan ini didukung oleh C.S. Song
yang menawarkan paham berteologi yang dikonstruksi dari cerita
2
Clemens Sedmark, Doing Local Theology, (Maryknoll, New York: Orbis Books, 2002), 3.
“cermin” yang merupakan sumber daya lokal yang terdapat dalam konteks
lokal Cina.4
Oleh sebab itu dalam poin pertama, Maluku dengan segala
kekhasannya menjadi konteks lokal teologi lokal GPM dikonstruksikan.
Mengapa demikian? Karena Maluku sebagai konteks lokal memiliki
sumber daya-sumber daya yang dapat dipakai oleh penulis untuk
mengkonstruksikan sebuah teologi lokal, dan sumber daya tersebut ialah
falsafah hidop orang basudara sebagai kosmologi manusia Maluku yang terbentuk di dalam budaya manusia Maluku.
Kedua, konteks lokal tertentu sangat diperlukan di dalam mengkonstruksikan teologi lokal dikarenakan konteks lokal tersebut
menjadi wadah tempat teologi lokal dikonstruksikan, karena tidak
mungkin teologi lokal dikonstruksikan di awan-awan. Di samping itu,
konteks lokal tertentu diperlukan sebagai wadah untuk mengaktualisasikan
teologi lokal yang telah dikonstruksikan.
Karena itu dalam poin kedua ini, Maluku menjadi wadah lokal
tempat dikonstruksinya teologi lokal, dan karena teologi lokal yang
dikonstruksikan akan menjadi sebuah teologi lokal GPM yang kemudian
diimplementasikan oleh GPM, dan GPM sendiri berada dalam konteks
4
wilayah Maluku, maka Maluku dengan kekhasannya menjadi konteks
lokal untuk implementasi dari teologi lokal dibawah naungan GPM.
2. Sumber daya untuk membangun teologi lokal
Menurut Sedmark untuk mengkonstruksikan sebuah teologi lokal,
maka teologi tersebut memerlukan sumber daya dan materi-materi lokal
yang terdapat di dalam kelokalan tertentu untuk membangun teologi lokal,
misalnya patung-patung dan drama-drama.5 Sehingga menurut Sedmark,
melakukan teologi lokal seperti memasak dengan bahan-bahan lokal.6
Dalam konteks Maluku sebagai wadah lokal tempat teologi lokal
GPM dikonstruksikan, mengandung begitu banyak sumber daya-sumber
daya yang dapat digunakan untuk mengkonstruksikan sebuah teologi
lokal, seperti; narasi-narasi, tradisi-tradisi, nyanyian-nyanyian, tari-tarian,
budaya dan juga falsafah hidup. Dari sekian banyak sumber daya lokal
tersebut, penulis memakai falsafah hidop orang basudara yang adalah kosmologi hidup manusia Maluku sebagai bahan lokal untuk
menkonstruksikan sebuah teologi lokal GPM yang menjawab kebutuhan
GPM dalam mengusung tema eklesiologi gereja orang basudara.
5
Clemens Sedmark, Doing Local Theology, (Maryknoll, New York: Orbis Books, 2002),12.
Mengapa falsafah hidop orang basudara? Karena sebagai kosmologi hidup manusia Maluku, falsafah ini telah menjadi sebuah
kesadaran kolektif (collective Conscience)7 yang mampu untuk
mempersatukan masyarakat Maluku menjadi satu kebenaran sosial.
Bahkan kesadaran kolektif di dalam falsafah hidup ini kemudian menjadi
cetakan hidup yang lahir, membatin dan bertumbuh bukan hanya bersama
manusia Maluku melainkan juga bersama gereja Protestan Maluku.
Sehingga ketika GPM mengusung tema gereja orang basudara, tentunya pengusungan tema tersebut tidak terlepas dari falsafah hidop orang basudara itu sendiri yang tumbuh dan hidup bersama dalam kosmologi hidup manusia Maluku dan GPM.
Bahkan sekum GPM menegaskan bahwa falsafah hidop orang basudara sebagai sebuah kebudayaan lokal, harus menjadi material teologi GPM berkaitan dengan konsep gereja orang basudara.8 Dari
penegasan tersebut dapat dilihat bahwa sekum GPM menyadari dengan
sungguh sebagai gereja yang hidup dan bertumbuh dalam konteks lokal
Maluku yang begitu kaya dengan kebudayaan, GPM di dalam konsepnya
untuk menjadi gereja orang basudara mesti melihat falsafah hidop orang
7
George Ritzer dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi “Dari Teori Sosiologi
Klasik Sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern”, (Yogyakarta: Kreasi
Wacana, 2014), 19. 8
basudara yang terkandung didalam budaya Maluku sebagai sebuah material untuk mengkonstruksikan sebuah landasan teologi untuk pijakan
GPM sebagai gereja orang basudara di Maluku. Ditambahkan juga oleh Rico Rikumahu bahwa, jika teologi yang menjadi tempat pijakan GPM
untuk mengkonsepkan dirinya sebagai gereja orang basudara tidak
dibangun dari falsafah hidop orang basudara yang merupakan nilai-nilai luhur manusia Maluku maka konsep dari gereja orang basudara hanya menjadi sebuah utopia semata.9
Bertolak dari dua penjelasan informan di atas, maka untuk
mengkonstruksikan sebuah teologi lokal GPM yang dapat menjawab
kebutuhan GPM untuk menjadi gereja orang basudara dalam konteks lokal Maluku, maka teologi tersebut harus dibangun di atas dasar falsafah hidop orang basudara yang merupakan sebuah kosmologi hidup manusia Maluku. Karena ketika teologi sebagai dasar pijakan gereja orang basudara dibangun dari falsafah hidop orang basudara, maka gereja
orang basudara bukan merupakan sebuah konsep kosong, melainkan gereja orang basudara merupakan implementasi dari kosmologi hidup manusia Maluku yang hidup, membatin dan bertumbuh sebagai sebuah
kesadaran kolektif bersama dalam konteks lokal Maluku yang begitu
kompleks dengan kekhasannya.
9
3. Menilai kembali sumber daya lokal yang akan dipakai untuk
mengkonstruksikan teologi lokal dan menemukan pesan Yesus di
dalam sumber daya lokal tersebut
Bagi Sedmark, setelah menemukan sumber daya dan materi-materi
lokal di dalam konteks lokal yang akan digunakan untuk
mengkonstruksikan teologi lokal, maka sang teolog perlu menilai kembali
sumber daya dan materi-materi lokal tersebut untuk menemukan pesan
Yesus yang terkandung di dalamnya, dan dari pesan Yesus tersebut, sang
teolog dapat mengkonstruksikan sebuah teologi lokal yang membawa
relevansi secara langsung bagi kehidupan masyarakat lokal tersebut.10
Apa yang dikatakan oleh Sedmark untuk menilai kembali sumber
daya lokal yang telah ditemukan untuk bahan konstruksi teologi lokal
adalah hal yang penting. Mengapa demikian? Karena jika bertolak dari
pemikiran Eben Nuban Timo, ALLAH sudah lebih dulu berkarya di dalam
budaya manusia, 11 oleh sebab itu penting untuk sang teolog menemukan
pesan Yesus di dalam sumber daya lokal tersebut dan menjadikannya
sebagai sebuah nilai yang dapat dipakai sebagai landasan pembentukan
teologi lokal.
10
Clemens Sedmark, Doing Local Theology, (Maryknoll, New York: Orbis Books, 2002), 44.
11
Namun yang menjadi perhatian juga adalah, nilai yang menjadi
pesan Yesus tersebut harus dapat memberikan relevansi12 secara langsung
bagi manusia yang menyandang budaya tersebut maupun juga bagi
manusia lain yang tidak menyandang budaya tersebut dalam proses hidup
bersama. Oleh sebab itu pada tahap ini sang teolog kembali perlu menilai
apakah sumber daya lokal yang akan dipakai tersebut mengandung pesan
Yesus yang memberikan dampak yang baik bukan hanya bagi orang yang
menyandang budaya tersebut melainkan juga bagi orang lain yang tidak
menyandang budaya tersebut. Karena gereja bukan hanya ada untuk orang
yang menyandang budaya tertentu saja, melainkan gereja ada untuk semua
orang yang menyandang budaya yang berbeda-beda.
Bertolak dari uraian di atas, maka penulis mencoba untuk
memaparkan pesan Yesus di dalam falsafah hidop orang basudara. Berdasarkan hasil wawancara dan penelitian yang penulis lakukan, penulis
menemukan bahwa ada begitu banyak pesan Yesus di dalam falsafah hidop orang basudara. Aholiab Watloly dan kawan-kawan dalam buku Perdamaian Berbasis Adat Nusantara menggambarkan pesan Yesus dalam
12
falsafah hidup ini terbentuk di dalam suatu tatanan hidup yang saling
melindungi, saling mengasihi, dan saling mendamaikan.13
Untuk menegaskan bahwa sikap hidup tersebut memang ada di
dalam falsafah hidop orang basudara, Aholiab Watloly menegaskan bahwa, falsafah hidop orang basudara adalah sebuah ideologi kultural yang lahir dari tuntutan adanya keinginan yang besar untuk hidup bersama
dalam tatanan kehidupan yang damai dan rukun antar sesama manusia di
Maluku. Tuntutan hidup tersebut kemudian diwujudkan dengan sikap
hidup yang saling menghormati, saling menghargai dan saling mengakui
perbedaan-perbedaan manusia Maluku sebagai ade-kaka (adik-kakak), bahkan sikap hidup ini telah menjadi sebuah ritus (perilaku sakral yang
dirayakan setiap hari) yang bersifat mengikat.14
Di satu sisi, jika mengikuti pesan Yesus di dalam falsafah hidop orang basudara yang terbentuk di dalam sikap hidup yang telah penulis sebutkan di atas, maka sebenarnya sikap hidup tersebut bertujuan untuk
dapat membentuk suatu kehidupan yang setara dalam konteks lokal
Maluku yang begitu kompleks. Dengan demikian, menurut penulis esensi
yang paling mendasar dari pesan Yesus di dalam falsafah hidop orang basudara sebagai sebuah kosmologi hidup manusia Maluku, ialah
13
Aholiab Watloly dkk, Perdamaian Berbasis Adat Orang Basudara, (Yogyakarta: Kanisius, 2017), 106.
14Theovania Matatula “Hidop Orang Basudara “Suatu Kajian Teologi
kesetaraan hidup. Hal ini juga ditegaskan oleh ketua sinode bahwa
pandangan Imagodei dari kacamata Kekristenan yang terkandung di dalam
falsafah hidop orang basudara sebagai kosmologi hidup manusia Maluku, membuat sehingga semua manusia terkhususnya manusia Maluku itu
setara, karena manusia Maluku itu merupakan gambar ALLAH yang
hidup.15 Ditambahkan oleh Jacky Manuputty bahwa, sebagai manusia
yang setara, manusia Maluku mempunyai relasi seimbang yang terdapat di
dalam falsafah hidop orang basudara. Disebut relasi seimbang karena relasi dalam falsafah ini mampu menyatukan semua perbedaan yang
begitu kompleks menjadi satu tanpa meninggalkan kekhasan
masing-masing.16
Di satu sisi, untuk membuktikan bahwa nilai yang ditemukan
dalam falsafah hidop orang basudara selaras dengan iman Kristen, maka penulis memakai Injil (Alkitab) sebagai bingkai untuk melihat keselarasan
tersebut. Setelah melihat keselarasan antara nilai yang ditemukan dan Injil,
ternyata nilai kesetaraan dalam falsafah hidop orang basudara, juga terdapat di dalam Injil (Alkitab) sebagai identitas Kristen.
15
Hasil wawancara dengan ketua sinode Gereja Protestan Maluku, pdt Ates Werinusa di Ambon, tanggal 21 Agustus tahun 2017, pukul 16:00 WIT.
16
Hal ini nampak dalam ajaran Yesus untuk mengasihi sesama
manusia seperti dirimu sendiri.17 Dengan demikian, nilai yang didapatkan
di dalam falsafah hidop orang basudara memang benar-benar merupakan pesan Yesus (Injil) yang mengingkarnasi di dalam kosmologi hidup
manusia Maluku. Oleh sebab itu, nilai tersebut selaras dengan iman kristen
dan dapat menjadi sebuah titik acuan untuk mengkonstruksi teologi lokal
GPM.
Bertolak dari uraian di atas, maka terlihat dengan jelas bahwa ada
pesan Yesus yang terkandung di dalam falsafah hidop orang basudara. Bahkan pesan Yesus tentang hidup yang setara tersebut mempunyai
relevansi bagi manusia Maluku untuk bagaimana dapat membangun hidup
yang setara dalam konteks lokal Maluku yang begitu kompleks, baik dari
kepercayaan, suku, budaya dan juga status sosial. Bahkan lebih jauh,
menurut penulis, pesan Yesus tentang hidup yang setara dalam falsafah hidop orang basudara di satu sisi juga mempunyai relevansi bukan hanya bagi manusia Maluku yang menyandang falsafah hidop orang basudara
sebagai kosmologi hidup manusia Maluku, namun juga bagi manusia
bukan Maluku yang tidak menyandang falsafah hidop orang basudara
sebagai sebuah kosmologi hidup dalam upaya membangun hidup bersama
di Maluku.
17
4. Teologi lokal yang dibangun bertujuan untuk melayani konteks lokal
tertentu
Karena teologi lokal yang dibangun bertujuan untuk melayani
konteks lokal tertentu, maka menurut Sedmark, teologi lokal dibentuk
untuk meresponi iman komunitas lokal dan gereja lokal tertentu.18 Oleh
sebab itu, apakah dalam konteks Maluku yang begitu kompleks, teologi
lokal GPM dapat membantu untuk merespon dan melayani iman Kristen
dalam konteks lokal Maluku yang begitu kompleks? Jawabannya sudah
tentu dapat.
Dalam konteks Maluku, manusia Maluku telah lama hidup dengan
melandasakan falsafah hidop orang basudara sebagai kosmologi hidup manusia Maluku. Karena itu, bagi Rico Rikumahu, falsafah hidop orang basudara sebagai sebuah kosmologi hidup manusia Maluku merupakan sesuatu yang telah membatin dalam diri tiap manusia Maluku.19 Oleh
sebab itu, sebagai sesuatu yang membatin, tentu falsafah hidop orang basudara telah menjadi sebuah bagian yang tidak terlepas dari manusia Maluku, bahkan menjadi satu dengan kekhasan yang juga melekat di
dalam diri manusia Maluku, baik itu kepercayaan, suku, budaya dan juga
status sosial.
18
Clemens Sedmark, Doing Local Theology, (Maryknoll, New York: Orbis Books, 2002), 97.
19
Karena itu di dalam relasi-relasi yang dibangun baik dalam
lingkungan agama dan juga sosial, disamping membawa diri dan kekhasan
masing-masing dari manusia Maluku, manusia Maluku juga membawa
falsafah hidop orang basudara sebagai bagian yang tidak terlepas dari manusia Maluku yang lahir dan hidup di Maluku. Sehingga di dalam
proses berelasi, dogma-dogma agama dan pagar-pagar sosial yang ada di
dalam habitus agama dan sosial tidak dapat menjadi penghalang di dalam proses berelasi, karena falsafah hidop orang basudara sebagai kosmologi hidup manusia Maluku memampukan manusia Maluku untuk dapat
berelasi tanpa harus dibatasi dengan penjara habitus agama dan sosial, dan relasi yang dibangun merujuk pada suatu hidup yang setara.
Oleh sebab itu, jika teologi lokal GPM yang dibangun sebagai
landasan tema eklesiologi gereja orang basudara yang diusung oleh GPM berdiri diatas pijakan falsafah hidop orang basudara, maka tentu teologi lokal tersebut mampu untuk memberikan relevansi bagi GPM untuk
membantu merespon iman Kristen manusia Maluku sesuai dengan konteks
lokal Maluku yang begitu kompleks. Bahkan lebih jauh, teologi lokal
tersebut dapat memberi wajah baru bagi GPM di dalam pemahamannya,
sehingga GPM dapat keluar dan berjumpa dengan realitas lain di luar
dari GPM yang juga turut lahir dan bertumbuh dalam kosmologi manusia
Maluku yang tercetak di dalam falsafah hidop orang basudara.
Dengan bertolak dari langkah-langkah yang diusulkan oleh
Sedmark untuk merancang sebuah teologi lokal, maka falsafah hidop orang basudara yang terkandung di dalam sumber daya konteks lokal Maluku dapat dipakai untuk mengkonstruksikan sebuah teologi lokal
GPM demi menjawab kebutuhan GPM. Hal ini bermanfaat untuk
menjawab kebutuhan GPM dalam mendukung eklesiologi gereja orang basudara.
C. Menuju Teologi Orang Basudara Sebagai Teologi Lokal GPM
Pada umumnya, sebuah tema eklesiologi harus didasarkan pada
sebuah teologi tertentu. Karena itu ketika GPM mengusung tema
eklesiologi gereja orang basudara, tentunya eklesiologi GPM tersebut harus mempunyai dasar teologi sebagai landasan eklesiologi GPM. Oleh
sebab itu, penulis ingin menawarkan sebuah teologi lokal yang dibangun
berdasarkan falsafah hidop orang basudara yang adalah sumber daya lokal Maluku sebagai landasan berdirinya eklesiologi GPM.
Di satu sisi, karena teologi lokal yang ditawarkan oleh penulis
sebutan teologi orang basudara. Tentunya penamaan teologi ini juga tidak terlepas dengan pemahaman manusia Maluku tentang orang basudara itu sendiri.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh penulis,
masyarakat Maluku memaknai orang basudara dalam 3 kategori;
pertama, orang basudara dalam ikatan gen, kedua, orang basudara
dalam ikatan kultur dan teritori, ketiga, orang basudara yang melampaui ikatan gen, kultur dan teritori.20
Bertolak dari pemaknaan orang basudara di atas, penulis memakai pemaknaan ketiga untuk memaknai kata orang basudara di dalam teologi
orang basudara, sehingga teologi orang basudara dapat membentuk gereja orang basudara sebagai eklesiologi GPM yang tidak terbatas pada ikatan gen, kultur dan teritori. Supaya eklesiologi GPM benar-benar dapat
merespon iman Kristen sesuai dengan konteks lokal Maluku yang begitu
kompleks, yang mana dalam situasi Maluku yang begitu kompleks tidak
hanya terdapat manusia yang menyandang falsafah hidop orangbasudara
sebagai kosmologi hidupnya, namun juga terdapat manusia yang tidak
menyandang falsafah hidop orang basudara sebagai kosmologi hidupnya. Oleh sebab itu, teologi orang basudara memiliki beberapa hal penting:
a. Teologi orang basudara berdiri di atas pijakan Imagodei sebagai landasan berteologi
Sebuah teologi yang dikonstruksikan tentu memiliki landasan
teologis sebagai landasan konseptual dari sebuah kontruksi teologi.
Teologi orang basudara yang dikonstruksikan menggunakan falsafah hidop orang basudara sebagai sumber daya konstruksi juga mempunyai landasan teologis yang terkandung di dalam falsafah hidop orang basudara yang digambarkan oleh Eben Nuban Timo sebagai sidik jari ALLAH yang sudah lebih dulu berkarya dalam hidup manusia,21
terkhususnya manusia Maluku.
Berdasarkan usulan Sedmark untuk menilai kembali sumber daya
lokal dan menemukan pesan Yesus di dalam sumber daya tersebut,22 maka
penulis menemukan bahwa di dalam falsafah hidop orang basudara
terdapat begitu banyak pesan Yesus, salah satunya yang digambarkan oleh
Abidin Wakano bahwa nilai di dalam falsafah hidop orang basudara
sangat menghargai perbedaan, baik itu suku, agama maupun golongan dan
21
Eben Nuban Timo, Pemberita Firman Pecinta Budaya, (Jakarta: Gunung Mulia, 2006).
22
bersifat proeksistensi, karena sama-sama merasa memiliki dan punya
tanggung jawab terhadap yang lain.23
Lebih jauh, Aholiab Watloly dan kawan-kawan dalam buku
Perdamaian Berbasis Adat Nusantara menggambarkan nilai-nilai di dalam
falsafah hidop orang basudara sebagai pesan Yesus terbentuk di dalam suatu tatanan hidup yang saling melindungi, saling mengasihi, dan saling
mendamaikan.24 Bahkan semua pesan Yesus yang terbetuk di dalam sikap
hidup dan nilai-nilai positif yang ditegaskan oleh informan di atas dan
Abidin Wakano merujuk pada satu esensi dasar, yaitu kesetaraan hidup.
Bagi penulis, kesetaraan hidup yang adalah pesan Yesus tersebut
merupakan sidik jari ALLAH yang telah berkarya bagi manusia Maluku
melalui falsafah hidop orang basudara sebagai kosmologi hidup manusia Maluku, dan itu adalah teologis. Namun di satu sisi penulis
bertanya-tanya, mengapa Yesus menginginkan agar manusia Maluku yang begitu
kompleks harus setara?
Dari kacamata Kekristenan, pertanyaan ini dapat dijawab jika
disinkronisasikan dengan pemahaman Imagodei yang terkandung di dalam
23
Abidin Wakano, “Maluku dan Keindahan Sejarahnya, Harmoni Kehidupan
Masyarakat Maluku Yang Berbasis Kearifan Lokal” dalam Menggali Sejarah dan
Kearifan Lokal Maluku, eds by Josep Antonius Ufi dkk, (Jakarta: Cahaya pineleng, 2012), 6.
24
falsafah hidop orang basudara. Untuk menegaskan pemahaman Imagodei yang terkandung dalam falsafah hidop orang basudara, ketua sinode GPM menegaskan bahwa sebagai suatu kebenaran Ilahi yang ditemukan oleh
generasi masa lampau Maluku, falsafah hidop orang basudara
mengandung imogodei (gambar ALLAH).25 Oleh sebab itu, karena semua
manusia Maluku dilahirkan dan bertumbuh dalam kosmologi falsafah hidop orang basudara, maka pada dasarnya manusia Maluku adalah gambar ALLAH yang hidup, dengan demikian manusia Maluku harus
hidup setara, dan itu adalah sebuah landasan teologis. Karena itu,
penegasan Imagodei sebagai nilai teologis di dalam falsafah hidop orang basudara harus menjadi landasan teologis atau landasan konseptual bagi teologi orang basudara.
Di satu sisi, tema gereja orang basudara sebagai eklesiologi GPM tentu harus mempunyai landasan teologis yang kuat untuk dapat
mengaktualisasikan gereja orang basudara sebagai eklesiologi GPM dalam konteks Maluku yang begitu kompleks. Karena di dalam proses
aktualisasi gereja orang basudara, GPM tidak hanya menjadi gereja orang basudara bagi orang Kristen saja di Maluku, namun juga bagi orang yang bukan Kristen. Oleh sebab itu, eklesiologi GPM harus berdiri pada
landasan teologi orang basudara yang berpijak pada landasan teologis
25
Imagodei, sehingga GPM dapat menjadi gereja orang basudara juga bagi orang yang bukan Kristen di Maluku bukan hanya karena kekuatan
budaya, namun karena GPM memahami bahwa orang yang bukan Kristen
di Maluku juga adalah Imagodei sama seperti orang Kristen Maluku.
Dengan demikan, eklesiologi GPM sebagai gereja orang basudara
mempunyai dasar teologis yang jelas.
b. Teologi orang basudara mengandung pola relasi seimbang yang menyetarakan
Proses berteologi selalu terjadi di ruang yang memiliki konteks
tertentu, bahkan tidak menutup kemungkinan untuk terjadi dalam konteks
yang begitu kompleks, baik kepercayaan, suku, budaya dan juga status
sosial. Oleh karena itu, tentunya proses teologi selalu mengalami
gesekan-gesekan di dalam konteks tertentu akibat situasi konteks yang begitu
kompleks.
Untuk mengatasi gesekan-gesekan tersebut, para teolog kemudian
mengkonstruksi sebuah pola relasi yang sesuai di dalam proses berteologi,
sehingga muncullah pola relasi pluralis misalnya dan lain-lain. Teologi
bahwa falsafah hidop orang basudara membentuk sebuah pola relasi seimbang bukan paradoks dalam proses berelasi di lingkungan agama
maupun sosial. Karena dengan relasi seimbang, manusia Maluku secara
sadar dapat mengakui kelebihan dan kelemahannya serta harus saling
menerima kelemahan dan kekurangannya masing-masing di dalam
kosmologi manusia Maluku sebagai orang basudara.26 Karena itu, relasi setara yang ditawarkan oleh teologi orang basudara memungkinkan untuk suatu proses berteologi di dalam sebuah konteks yang begitu kompleks
dapat berjalan dengan baik.
Pola relasi seimbang pada dasarnya memahami bahwa manusia
selalu menyandang hal yang kompleks, baik itu kepercayaan, suku,
budaya dan juga status sosial di dalam hidupnya sebagai suatu bagian
yang khas dan tidak dapat dilepaskan dari hidup manusia. Oleh sebab itu,
pola relasi seimbang adalah suatu bentuk relasi yang menekankan proses
saling mengakui dan menerima masing-masing kekhasan, serta dapat
berelasi dengan kekhasan yang menjadi bagian dari masing-masing
manusia tanpa harus melepaskan kekhasan tersebut atau tidak memaksa
kekhasan tertentu sebagai dasar di dalam proses berelasi.
26
Pola relasi seimbang yang dikandung oleh teologi orang basudara
secara sederhana dianalogikan oleh Jacky Manuputty seperti dua utas tali
berbeda yang terikat. Tali yang berbeda merujuk pada sebuah realitas
manusia yang begitu kompleks, baik budayanya, kepercayaannya, status
sosialnya dan juga sukunya, yang merupakan kekhasan dari
masing-masing manusia. Proses mengikat merujuk pada suatu keinginan tali yang
berbeda yang adalah realitas manusia yang begitu kompleks untuk
menjalin sebuah hubungan yang intim. Gumpalan dari proses ikatan itu
sendiri menunjukan bahwa meskipun realitas manusia yang begitu
kompleks telah menjalin relasi, namun relasi tersebut tidak
menggeneralisasikan kekhasan dari realitas manusia tertentu sebagai
sebuah kekhasan yang harus diikuti oleh semua orang di dalam proses
berelasi. Akan tetapi kekhasan dari realitas masing-masing manusia
menjadi kekhasan yang tak terlepas dari dirinya sendiri dan tidak boleh
menjadi kekhasan yang harus diikuti oleh manusia lain di dalam relasi
yang dibangun.27
Di satu sisi, tentu konsep eklesiologi tidak dapat berdiri sendiri
tanpa penyandangan tertentu, dan salah satunya adalah pola untuk
mengaktualisasikan konsep eklesiologi tersebut. Oleh karena itu,
eklesiologi GPM sebagai gereja orang basudara pun harus memiliki
27
sebuah pola di dalam mengaktualisasikan eklesiologinya, dan bagi penulis
landasan pola untuk mengaktualisasikan eklesiologi GPM sebagai gereja
orang basudara dalam konteks Maluku yang begitu kompleks yaitu pola relasi seimbang di dalam teologi orang basudara. Mengapa demikian?
Karena ketika GPM ingin menjadi gereja orang basudara, berarti GPM harus keluar dari zona nyaman GPM dan berjumpa serta
membangun relasi dengan realitas lain di Maluku yang berbeda dengan
GPM. Dalam proses berjumpa dan membangun relasi, tentu GPM tidak
dapat memaksakan kekhasan GPM sebagai dasar berelasi atau pun
sebaliknya, karena jika demikian maka akan terjadi gesekan yang
menimbulkan konflik dan eklesiologi GPM tidak dapat terwujud. Akan
tetapi, jika eklesiologi GPM sebagai gereja orang basudara berdiri diatas pola relasi seimbang dalam teologi orang basudara, maka di dalam proses perjumpaan dan relasi yang dibangun tidak akan terjadi gesekan, karena
GPM mengakui dan menerima realitas lain di Maluku dengan
kekhasannya masing-masing sebagai sebuah kekhasan yang tidak dapat
dipisahkan dan juga sebaliknya. Dengan demikian, ketika eklesiologi
GPM memakai pola relasi seimbang dalam teologi orang basudara
sebagai landasan untuk berelasi, maka GPM dapat mewujudkan
Di satu sisi, ketika GPM mengaktualisasikan eklesiologi GPM
sebagai gereja orang bersaudara dengan berdiri di atas pijakan relasi setara dalam teologi orang basudara, maka GPM sebagai lembaga keagamaan di Maluku akan mampu untuk mengakomodir kehidupan yang
multikultur di Maluku. Di sisi lain, GPM dengan sendirinya dapat
menjawab tantangan agama yang ditegaskan oleh Abidin Wakano, bahwa
agama haruslah mampu untuk mengakomodir kehidupan yang multikultur
sebagai pemberian ALLAH.28
Lebih jauh, dengan pola relasi seimbang sebagai aktualisasi
eklesiologi GPM sebagai gereja orang basudara, maka GPM dapat menjadi sebuah pintu masuk untuk mengembangkan sebuah paham
berteologi yang lebih bersifat antrophosentris. Artinya titik pusat
pemahaman berteologi bukan lagi bersifat vertikal melainkan juga bersifat
horizontal yang diwujudkan dengan tindakan praksis yaitu kesetaraan
dalam merespon iman kepada ALLAH dengan mengimani bahwa manusia
lain di dunia, terkhususnya Maluku merupakan imagodei ALLAH yang
hidup sesuai dengan yang ditegaskan ole ketua sinode GPM.29
28
Abidin Wakano, “Maluku dan Keindahan Sejarahnya, Harmoni Kehidupan
Masyarakat Maluku Yang Berbasis Kearifan Lokal” dalam Menggali Sejarah dan
Kearifan Lokal Maluku, eds by Josep Antonius Ufi dkk, (Jakarta: Cahaya pineleng, 2012),
29
c. Teologi orang basudara memiliki nilai-nilai teologis yang merujuk pada sebuah nilai kesetaraan
Teologi orang basudara sebagai sebuah teologi lokal yang dikonstruksikan dari falsafah hidop orang basudara, mengandung nilai-nilai teologi seperti; saling mengasihi, saling menolong, saling
memaafkan, saling menghargai, saling mengakui dan menerima
perbedaan, saling menguatkan dan juga saling melindungi. Bahkan lebih
jauh, semua nilai-nilai teologi yang terkandung tersebut merujuk pada
suatu esensi nilai yang paling tinggi, yaitu nilai kesetaraan30 yang juga
merupakan sebuah nilai yang sangat ditekankan oleh Yesus di dalam
Alkitab.31
Di satu sisi, nilai teologi yang terkandung di dalam teologi orang basudara dapat menolong GPM untuk mengaktualisasikan konsep eklesiologinya sebagai gereja orang basudara di Maluku. Mengapa demikian? Karena ketika GPM mengusung tema eklesiologi gereja orang basudara, tema tersebut bukanlah sebuah tema yang kosong, melainkan harus mengandung nilai-nilai teologis yang dapat diimplementasikan
sebagai bentuk yang praksis dari eklesiologi GPM. Oleh sebab itu, ketika
eklesiologi GPM berdiri diatas nilai-nilai teologi yang terdapat dalam
teologi orang basudara, maka eklesiologi GPM memiliki konsep nilai yang jelas dan dapat diimplementasikan sebagai sebuah bentuk praksis
dari eklesiologi GPM sebagai gereja orang basudara di Maluku.
D. Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dilihat bahwa teologi orang basudara yang dikonstruksikan dari falsafah hidop orang basudara
sebagai sebuah teologi lokal yang ditawarkan oleh penulis untuk menjadi
landasan eklesiologi GPM, dapat menolong GPM untuk merespon
panggilan GPM demi menjadi gereja orang basudara di Maluku yang begitu kompleks. Karena teologi orang basudara memiliki landasan teologis, pola relasi dan nilai yang dapat menolong eklesiologi GPM
dalam mengaktualisasikan eklesiologi GPM sebagai gereja orang