INDONESIA DALAM PEMAHAMAN PENDETA
GEREJA PROTESTAN MALUKU (GPM)
TESIS
Diajukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains
Oleh:
YUSTI WENRY LEWERISSA
752011022
PROGRAM STUDI MAGISTER SOSIOLOGI AGAMA
FAKULTAS TEOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
KATA PENGANTAR
Terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, “Tuhannya Orang Indonesia,” sebab atas
penyertaan dan belas kasih-Nya, maka penulisan tesis ini bisa dirampungkan dan menandai
berakhirnya proses studi penulis pada Program Studi Pascasarjana Magister Sosiologi Agama,
Fakultas Teologi, Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga. Pada dasarnya, setiap warga
negara Indonesia (WNI) tentunya memiliki pemahaman tentang Indonesia sebagai sebuah
nation-state yang sementara dihidupinya. Hal ini pun berlaku pula bagi seorang Pendeta pada Gereja Protestan Maluku (GPM). Karena itu, penelitian terhadap tesis ini dilakukan dan
kemudian dideskripsikan di bawah judul: INDONESIA DALAM PEMAHAMAN PENDETA
GEREJA PROTESTAN MALUKU (G.P.M).
Pengalaman belajar di program studi ini merupakan momentum yang datang tanpa
pernah penulis duga sebelumnya. Ada rasa kebanggaan tersendiri, tatkala berkenalan dengan
para pendidik yang brilian, dengan berbagai pendekatan keilmuan mereka yang tak pernah
kehilangan daya tarik. Semua itu dijalani di tengah rindangnya “kampus hijau Indonesia Mini”
UKSW. Tidak bisa dipungkiri, bahwa hiruk-pikuk pembelajaran di kampus inilah yang telah
membuat penulis serasa benar-benar belajar sebagai orang Indonesia. Karena itu, pada
kesempatan ini patutlah penulis mengucapkan rasa terima kasih yang mendalam kepada:
1. Pdt. Prof. Drs. John A. Titaley, Th.D., selaku Rektor UKSW beserta seluruh staf rektorat,
yang sedianya telah mengizinkan penulis untuk belajar dengan menggunakan semua fasilitas,
v
2. Dr. David Samiyono, MTS, MSLS., selaku Kepala Program Studi Magister Sosiologi Agama
beserta seluruh staf pengajar dan pegawai tata usaha, yang sedianya telah mengakomodasi
seluruh kebutuhan belajar penulis selama berstudi.
3. Pdt. Prof. Drs. John A. Titaley, Th.D., selaku Pembimbing I, dan Dr. Flip P. B. Litaay, SH,
MS., selaku Pembimbing II. Rasa terima kasih yang mendalam patut penulis ucapkan kepada
kedua orang guru besar ini, karena inspirasi untuk menulis tentang tema “Indonesia,” justru
datang ketika penulis berkenalan dengan gagasan-gagasan keindonesiaan yang diperkenalkan
oleh kedua orang hebat ini, pada PPs. Magister Sosiologi Agama. Penulis amat berhutang
ilmu dan teladan dari mereka, karena pengalaman belajar dan dibimbing oleh kedua sosok
brilian ini serasa telah menjadi titik kehidupan baru bagi penulis. Harapan penulis, umur
panjang kiranya tetap dirahmati oleh Tuhan Orang Indonesia bagi Pak John dan Pak Flip
sekeluarga, supaya setiap semaian benih-benih ilmu dan pengetahuan yang telah disemai
sepanjang usia, selalu bertumbuh subur dan berguna untuk menghidupi banyak orang.
4. Pdt. Dr. Thobias A. Messakh., selaku penguji, yang bersama-sama Pak John dan Pak Flip,
telah menjadi “tiga raksasa Indonesia” di PPs. Magister Sosiologi Agama. Rasa terima kasih
yang tidak kalah mendalam patut penulis ucapkan, karena sesungguhnya beliau bukan hanya
seorang penguji tetapi juga seorang pembimbing. Kiranya Tuhan Orang Indonesia itu
senantiasa merahmati kehidupan Pak Thoby sekeluarga.
5. Staf pengajar di Program Pascasarjana Magister Sosiologi Agama UKSW, masing-masing:
Pdt. Prof, Drs. John A. Titaley, Th.D., Dr. David Samiyono, MTS, MSLS., Pdt. Daniel
Nahumara, M.Th, Ed.D., Pdt. Dr. Dra. Dien Sumiyatiningsih, GD.Th, MA., Pdt. Dr. Thobias
A. Messakh., Dr. Flip P. B. Litaay, SH, MS., Pdt. Yusak B. Setyawan, MATS, Ph.D., Pdt.
vi
Retnowati, M.Si. Terima kasih untuk setiap ilmu dan pengetahuan yang dibagikan, dan
tetaplah menghebatkan kehidupan ini melalui orang-orang hebat yang bapak-ibu ajari.
6. Terima kasih untuk ke-29 orang Pendeta GPM, yang telah bersedia membagikan pemahaman
dan pengalaman sebagai orang Indonesia yang melayani Tuhan dan umat-Nya di Maluku,
masing-masing: Pdt. Ny. J. Putirulan/Tetelepta (Pendeta Jemaat GPM Tuhaha), Pdt. Y. P. N. Peea (Ketua PHMJ Jemaat GPM Ullath), Pdt. Ny. J. Ritawaimahu/Papilaja (Ketua PHMJ Jemaat GPM Pia), Pdt. Ny. J. Bernard/Hattu (Ketua PHMJ Jemaat GPM Nolloth), Pdt. Y.
Putirulan (Ketua PHMJ Jemaat GPM Tuhaha), Pdt. Ny. Th. Usmany/Effendy (Ketua PHMJ
Jemaat GPM Galala-Hative Kecil), Pdt. H. Lesnussa (Ketua PHMJ Jemaat GPM Toisapu),
Pdt. W. S. S. Lopulalan (Ketua PHMJ Jemaat GPM Hunuth), Pdt. T. J. Erlely (Ketua PHMJ
Jemaat GPM Waai), Pdt. P. Tupamahu (Ketua PHMJ Jemaat GPM Halong), Pdt (Em). A. Z.
J. Pattinaja (Mantan Ketua Klasis Kota Ambon, Ketua PB AMGPM, dan Dir. LPJ GPM), Pdt. F. Nahusona (Ketua PHMJ Jemaat GPM Latuhalat), Pdt. W. Lesbassa (Pendeta Jemaat GPM Aboru), Pdt. D. Picauly (Ketua PHMJ Jemaat GPM Aboru), Pdt. Nn. Ch. Tetelepta
(Ketua PHMJ Jemaat GPM Nania), Pdt. M. Takaria (Sek. Umum PB AMGPM dan Kabiro Pemuda Sinode GPM), Pdt. (Em). A. Lopulalan (Mantan Ketua PHMJ GPM Silo), Pdt. H. Pesiwarissa (Ketua PHMJ Jemaat GPM Silo), Pdt. P. Refialy (Ketua PHMJ Jemaat GPM Rumahtiga), Pdt. Ny. L. Likumahuwa (Kabiro Hubungan Oikumenis, Departemen Keesaan
Sinode GPM), Pdt. (Em). H. Leleury (Wakil Ketua BPH Sinode GPM 2000-2005), Pdt. Ny.
A. Samallo (Ketua PHMJ Jemaat GPM Nusaniwe Erie), Pdt. I. W. J. Hendriks (Ketua BPH
vii
(Ketua MPH Sinode GPM 2005-2010 & 2010-2015), Pdt. H. Hetharie (Ketua Klasis Kota Ambon), Pdt. S. Maskikit (Kabiro Pekabaran Injil, Departemen PIKOM Sinode GPM dan
Mantan Ketua PHMJ GPM Sinar). Tuhan orang Indonesia memberkati pelayanan bapak-ibu!
7. Kepada keluarga onco Ete Tupamahu dan Angky Tupamahu di Porto, keluarga bapa Teko dan mama Min Lewerissa serta anak-cucu, uwa Mike Lewerissa dan keluarga, dan keluarga bapa Opes dan mama Nety Lewerissa serta anak-cucu di Saparua, keluarga bapa Ven dan
mama Ade Patty di Ullath, keluarga bapa Tos dan mama Nel Pattipeiluhu di Pia, teman
terkasih Lely Metekohy, S.Si Teol dan keluarga di Nolloth, adik Enca Lesnussa, S.Si Teol,
teman terkasih Benny Kastera, S.Si Teol dan keluarga di Waai, adik Syan Pattipeiluhu, S.Si
Teol, teman terkasih Aldrin Hunila, S.Si dan keluarga, dan teman terkasih Ny. Zepty
Tehupuring, S.Si dan keluarga di Latuhalat, keluarga bapa Buce Sinay di Aboru, teman
terkasih Dastien Salampessy, S.Si dan keluarga, keluarga bapa Dan dan mama Ni
Salampessy, teman terkasih Winda de Wanna, S.Si dan keluarga, dan teman terkasih Ema
Tahiya dan keluarga di Ambon. Terima Kasih atas segala bantuan dan partisipasinya dalam
mendukung proses penelitian bagi penulisan ini, baik selama di Saparua, di Haruku, maupun
di Ambon. Tuhan Orang Indonesia merahmati kehidupan basudara sekalian!
8. Teman-teman seperjuangan alumni Fakultas Teologi UKIM Angkatan 2004, yang juga telah
berjuang bersama-sama dalam studi di Salatiga: Agnes Lokollo, M.Si., Jalvins Soulisa,
M.Si., Gelsa Siahaya, S.Si dan Yandri Lawalatta, S.Si., Welly Pattipeilohy, S.Si Teol, M.M.,
Mario Manjaruni, S.Si Teol, M.Cs., Herfin Siahaya, S.Si Teol., Yulia Pattiradjawane, S.Si
Teol., dan lain-lain; serta vikariat Benny Soumokil, S.Si, di tanah Papua, bu Weslly
viii
Angkatan 2004 yang telah berkarya di ruang gumul masing-masing. “Mau mati, mati!!!”
[Tapi selama masih diberikan hidup oleh Tuhan, hiduplah untuk menghidupi orang lain].
9. Khusus untuk Benny, Dastien, dan Aldrin, “kalian tidak akan tergantikan sebagai sahabat!”
10.Teman-teman PPs. Magister Sosiologi Agama UKSW Angkatan 2011, baik yang telah
berkarya sebagai magister di ruang gumul masing-masing, maupun yang masih berjuang
menuntaskan studinya di almamater yang mengesankan ini, semoga Tuhan orang Indonesia
merahmati kehidupan dan pelayanan kalian.
11.Terima kasih khusus bagi teman-teman yang berkesan, selama belajar di almamater yang
mengesankan ini: “The Teletubies” Rona Wenno, M.Si., Taya Pattipeiluhu, M.Si., dan Pepy
Anmama, M.Si. “Semoga Tuhan orang Indonesia itu merahmati hidup dan pelayanan kita,
untuk menjadi orang Indonesia yang menghidupi sesama kita di Indonesia ini!”
12.Terima kasih khusus bagi teman-teman Hexa Twig: kk Acid Pattipeilohy, kEka Wattimury, Linda Wattimury, Bey Saimima, Wilter Rumahpasal, dan Ocy Tupamahu; dan teman-teman
BOJUN: Rio Bojun Liliefna, Alland Bojun Thecher, Kiki Bojun Gerrits, Cherrish Gerrits, Oky Bojun Latuihamallo, dan lain-lain). “Tetaplah melayani di dalam Tuhan tanpa harus
berkompromi dengan hal-hal yang tidak perlu dikompromikan!”
13.Dan kepada teman-teman sepelayanan di AMGPM Ranting 6 Gatik, terima kasih untuk
dukungan doa dan harapannya! Semoga katong bisa lebih giat lagi melayani di dalam Tuhan! 14.Terima kasih khusus juga kepada teman-teman sepelayanan di Jemaat GPM Galala-Hative
Kecil, Klasis Pulau Ambon. Kepada bunda tersayang: Pdt. Ny. Ella Usmany-Effendy, M.Th,
dan kepada kedua ibu terkasih: Pnt. Ny. Von Joel/Maelissa dan Dkn. Ny. Vera Saimima,
terima kasih yang mendalam atas doa, semangat dan dukungannya terhadap proses studi
ix
bu Rinto Yadera, S.Si dan semua calon vikariat, Dkn. Ny. Tati Nanlohy/Tanamal, Pnt. Max Soselissa, Dkn. Ny. Sin Joseph, Pnt. Ny. Henny Gerrits/Patty, Pnt. Wem Lawalatta, dan yang
lainnya. Tete Manis memberkati pelayanan bapak-ibu sekalian!
15.Semua teman-teman “orang Ambon” eks-kost Cungkup 466 yang telah berjuang dalam studi
bersama-sama di “tanah rantau” Salatiga ini: Pdt. Andrew Palijama, S.Si., M.Pd, Pdt. Donny
Toisuta, S.Si, M.Pd., Randy Gerrits, S.H dan kekasih: Nn. Vicky Hutasoit, S.Psi, om Semmy Warela, S.E, Endhyck Boro, Yani Sipahelut, Denai Siwalette, bu Sonny Joltuwu, S.E., Willy Paays, om Ebin Naroly, S.PdAK; teman-teman Cungkup Ceria: kaka Vandha Engel, S.Si.,
kaka Olive Tikupadang, S.Si., Omel Tikupadang; dan yang lainnya, Tuhan tetap menyertai!
16.Terima kasih khusus juga kepada para senior di GPM sekaligus alumnus PPs. MSA UKSW:
bu Steve Gaspersz dan usi Nancy sekeluarga, serta bu Elly Maspaitella, yang sedianya telah meluangkan waktu untuk berbagi pengetahuan dan gagasan-gagasan, lebih khusus terhadap
tema yang digarap di dalam tesis ini, melalui diskusi-diskusi yang dilakukan, baik di Ambon
maupun di Salatiga. “Tuhan Orang Indonesia senantiasa merahmati kehidupan bu dan usi deng keluarga masing-masing, supaya tetap berkarya dan jadi berkat voor sesama!”
17.Keluarga besar Lewerissa dan Tupamahu di Ambon, Saparua, Porto, Tuhaha, Amahai,
keluarga besar bapa guru Sam Aludin dan anak-cucu, dan bapa Letek Risakotta di Ambon, serta kedua kaka terkasih, Popy dan Ace Risakotta di Bogor. Terima Kasih untuk dukungan doa dan semangat dari kalian semua! Keberhasilan ini juga dipersembahkan untuk kalian!
x
19.Untuk mereka-mereka yang “kuyakini” akan menjadi bagian dari kehidupanku masa depan:
papa Beby, mama Welly, Lia, dan Nona Valencia Lokollo, serta opa Ucu dan oma Dika Lopulalan. “Katong dua Nanes dipertemukan oleh Dia Yang Maha Kuasa, apalagi kalau
bukan untuk membanggakan dong samua. Tete Manis mau sayang dong samua jua!”
20.Special thanks, yang terutama tentu saja untuk kedua pilar kehidupanku: papa dan mama.
“Harus voor sapa lai, kalau bukang voor papa Max deng mama Min, kebanggaan ini harus
beta persembahkan!!! Beta akan tarus menunjukkan, kalau beta selalu bisa jadi seperti yang dong dua harapkan!! Tete Manis mau sayang papa deng mama s‟lalu sepanjang usia. . .”
21.Dan kepada adik-adikku tersayang: Fanny, Dessy, dan Michael. “Semoga berkat dan
kesuksesan yang kaka Uti raih, bisa membuka pintu sukses dan berkat juga voor dong tiga!
Tete Manis sayang dong tiga di setiap pilihan jalan hidup yang akan ditempuh.”
22.Special thanks, yang paling special dipersembahkan untuk AGNESSIA LOKOLLO, M.Si.,
“sang belahan jiwa” yang kepadanya cinta telah membawaku ke Salatiga. Tidak ada untaian
kata yang sedapatnya dipersembahkan kepada dia, hanyalah: “Mari katong dua wujudkan
katong pung „tema‟ dan „sub-tema‟ itu, karena cuma deng ale saja „jecky‟, beta mau belajar menjadi Orang Maluku, sekaligus juga menjadi Orang Indonesia!!!”
23.Akhirnya, terima kasih kepada semua pihak yang tak sempat disebutkan namanya, tetapi
yang telah menjadi bagian dari proses studi di PPs. MSA 2011 dan perampungan proses
penulisan tesis ini. Harapan penulis, hanya Tuhan pemberi hidup ini saja yang senantiasa
akan merahmati kehidupan basudara samua, baik di Maluku, di Indonesia, dan di mana saja!
Salatiga, medio Februari 2013
xi
Datang ke kota ini, “Salatiga,” adalah hal yang tak pernah „ku pikirkan sebelumnya, sebab untuk mengais remah-remah kehidupan di kota Ambon saja,
butuh energi ekstra dan kemauan yang tanpa batas. Dan itu sulit!
Namun, kesempatan untuk merengkuh segenggam ilmu dan pengetahuan di suatu dunia yang asing seperti UKSW Salatiga, aku yakini sebagai
“a part of God‟s plan” untuk hidupku yang “uncompromised” ini. Dan itu nyata!
Mungkin nyata, karena kesakitanku telah di perhitungkan-Nya. . . Mungkin pula nyata, karena kesetiaanku telah di dihargai-Nya. . .
Dan mungkin itu nyata, karena ketidakkompromianku diganti-Nya dengan belas kasih. . .
Karena itu, terima kasih wahai Engkau, “Tuhan Orang Indonesia,” ade Fanny, Dessy, Michael, Onco, Angky, dan bapa guru Sam. . .
. . .dia, Agnessia, belahan jiwa dan cinta terbaikku. . . . . .dan Tuhan yang di Sorga, yang aku yakini sebagai
xv
C. Pengalaman Indonesia: suatu penyimpangan terhadap kesepakatan bersama . . . 118
D. Penyelenggara Negara dan Inkonsistensi Konsensus Nasional . . . 125
E. Latar Belakang Pemahaman Pendeta GPM . . . 128
xvi
2. Pengalaman sebagai Pendeta dan Warga Negara . . . 130
F. Indonesia sebagai Rahmat: Suatu Upaya Berteologi . . . 134 G. Rangkuman . . . 137
BAB V – PENUTUP
A. Kesimpulan . . . 140 B. Saran . . . 142
KEPUSTAKAAN
xvii
Abstrak
Menurut catatan sejarah, Maluku ditetapkan sebagai provinsi (19 Agustus 1945) hanya berselang dua hari setelah negara Republik Indonesia diproklamasikan (17 Agustus 1945). Wilayah Maluku merupakan ruang lingkup pelayanan bagi Gereja Protestan Maluku (GPM), sejak awal gereja itu dibentuk (6 September 1935). Oleh sebab itu, maka sebagai orang Maluku, Pendeta GPM termasuk warga negara Indonesia (WNI). Di mana sebagai orang Kristen-Maluku, Pendeta GPM sementara hidup dengan dua mayoritas di Indonesia, yakni: Jawa dari sisi suku, dan Islam dari sisi agama.
Dalam hubungan itu, maka tulisan ini hendak mengkaji bagaimana pemahaman Pendeta GPM tentang Indonesia; sebagai suatu nation-state yang sedang dihidupi. Untuk mendapatkan data empiris di lapangan, maka proses wawancara telah dilakukan terhadap 29 orang Pendeta GPM (aktif dan non-aktif); yang tersebar pada tiga klasis di sekitaran pusat Sinode GPM, masing-masing: Klasis Pulau Ambon, Klasis Kota Ambon, dan Klasis Pulau-pulau Lease.
Dari hasil penelitian yang dilakukan telah diperoleh data, bahwa pemahaman Pendeta GPM tentang Indonesia berhubungan dengan dua hal mendasar, yakni: 1). hakekat (esensi) Indonesia dalam pemahaman Pendeta GPM, dan 2). pengalaman berbangsa di Indonesia menurut Pendeta GPM. Mengenai hakekat (esensi) Indonesia diketahui, bahwa Pendeta GPM menyadari Indonesia sebagai suatu nation-state, yang dipahami sebagai: a). unifikasi pluralitas dan diversitas, yang b). diakui sebagai rahmat Tuhan, dan c). merupakan lokus pelayanan bergereja. Pemahaman tentang hakekat (esensi) Indonesia ini sejalan dengan gagasan Ernest Renan, Ernest
Gellner, dan Benedict Anderson tentang “bangsa.” Dengan memahami hakekat (esensi) Indonesia sebagaimana yang disebutkan tadi, maka secara tidak langsung Pendeta GPM pun mengakui, bahwa Indonesia sebagai bangsa telah dibangun di atas dasar kehendak (will) dan kesepakatan (conscent) bersama. Sedangkan mengenai pengalaman berbangsa, Pendeta GPM menggambarkannya di dalam sejumlah realitas paradoksal yang dipandang sementara menggejala di Indonesia, antara lain seperti: a). hegemoni sektarian Islam, yang kemudian b). berakibat pada gejala degradasi kebebasan beragama, c). praktek korupsi (dan KKN) yang semakin “menggurita,” dan d). kerentanan stigmatisasi dan politisasi atas nama wacana RMS di Maluku. Kesemua hal ini dapat dipandang sebagai bentuk penyimpangan (inkonsistusi) terhadap konsensus nasional sebagai bangsa.
Selanjutnya, tanpa disadari sebenarnya pemahaman Pendeta GPM tentang eksperimen berbangsa di Indonesia, tampaknya begitu dipengaruhi oleh mindset dikotomi “mayoritas
-minoritas.” Cara berpikir semacam ini agaknya telah didorong oleh hegemoni sektarian Islam, yang cenderung berlaku diskriminatif dan intimidatif melalui berbagai praktek pelanggengan terhadap kepentingan-kepentingan sektarian. Padahal, ideologi dan konstitusi negara sendiri
sejak awalnya telah menjamin “kesetaraan” hak-hak hidup dan beragama, bagi segenap rakyat
Indonesia. Oleh karena itu, tanggung jawab pemerintah sebagai “pengemban amanat konstitusi” sudah sepatutnya dipertanyakan kembali.