• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pengaruh Budaya Patriarki Terhadap Partisipasi Politik Perempuan Di Dprd Kabupaten Nias Pada Pemilihan Legislatif Tahun 2014

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pengaruh Budaya Patriarki Terhadap Partisipasi Politik Perempuan Di Dprd Kabupaten Nias Pada Pemilihan Legislatif Tahun 2014"

Copied!
47
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Budaya patriarki yang mengakar dan sistem politik yang didominasi oleh laki-laki memiliki dampak negatif yang besar bagi upaya perempuan untuk mendapatkan hak dalam partisipasi politiknya.Hubungan patriarki tidak hanya terjadi dalam lingkup kekerabatan saja, tetapi juga dalam semua aspek kehidupan manusia seperti ekonomi, politik, sosial, dan keagamaan, bahkan seksualitas.Akibatnya, kaum perempuan selalu berada di bawah kuasa kaum laki-laki dalam pembuatan keputusan publik.

Setiap kekuasaan dalam masyarakat yang menganut sistem patriarki dikontrol oleh laki-laki.Perempuan hanya memiliki sedikit pengaruh dalam masyarakat atau bisa dikatakan tidak memiliki hak pada wilayah-wilayah umum dalam masyarakat.Mereka secara ekonomi, sosial, politik, dan psikologi tergantung pada laki-laki, khususnya dalam institusi pernikahan.Sehingga dalam keluarga maupun masyarakat perempuan diletakkan pada posisi subordinat atau

inferior.Budaya patriarki memosisikan perempuan pada peran-peran domestik

(2)

dunia laki-laki.Apabila perempuan masuk kepanggung politik kerap dianggap sesuatu yang kurang lazim atau tidak pantas bahkan arena politik dianggap dunia yang keras, sarat dengan persaingan bahkan terkesan sangat ambisius.1

Bila dicermati kancah perpolitikan perempuan di Indonesia dari segi keterwakilan perempuan baik di tataran eksekutif, yudikatif, maupun legislatif sebagai badan yang memegang peranan kunci menetapkan kebijakan publik, pengambil keputusan, dan penyusun berbagai piranti hukum, perempuan masih jauh tertinggal bila dibandingkan dengan laki-laki.Sejak reformasi tahun 1999, jumlah anggota dewan perempuan sebenarnya mengalami peningkatan. Pada tahun 1999 hanya 9,2% kursi DPR RI yang diduduki perempuan. Tahun 2004 jumlahnya meningkat menjadi 11,81%. Pada tahun 2009 jumlahnya kembali meningkat menjadi 18%. Lalu pada tahun 2014 justru turun menjadi 17,32%.2

1

Romany Sihite. 2007. Perempuan, Kesetaraan, keadilan : Suatu Tinjauan Berwawasan Gender. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. hal.158.

Namun peningkatan dari tahun 1999 sampai pada tahun 2014 tidaklah signifikan Peran dan keterwakilan perempuan dalam proses pembuatan kebijakan publik selama ini masih dirasa kurang. Untuk itu dilakukan berbagai upaya untuk mendorong peran dan keterwakilan perempuan melalui penerapan kuota minimal 30% bagi perempuan di parlemen. Agar tujuan tersebut tercapai, dibuatlah UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilu.Yaitu Pasal 8 ayat 2 e “ menyertakan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen) keterwakilan perempuan padakepengurusan

2

(3)

partai politik tingkat pusat” Kemudian Pasal 55 “Daftar bakal calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 memuat paling sedikit 30% (tiga puluh persen)keterwakilan perempuan.”3Namun Jika kita lihat pada pemilihan umum legislatif terakhir pada 09 April 2014 hasilnya masih belum menunjukan perubahan yang signifikan. Bahkan tidak mencapai kuota 30% sebagaimana tercermin pada Gambar 1.1 dan 1.2 dibawah ini.

Gambar 1.1

Komposisi Anggota DPR RI 2014-2019 Berdasarkan Jenis Kelamin4

Dari tabel tersebut, PDI-P menjadi partai yang paling banyak menempatkan anggota dewan perempuan dengan jumlah 21 orang.Sementara yang paling sedikit adalah PKS hanya memiliki satu orang anggota dewan perempuan.

3

Undang-undang No. 8 Tahun 2012 pasal 8 dan 53.

(4)

Gambar 1.2

Persentase Anggota DPR RI 2014-2019 dari Tiap Partai Politik Berdasarkan Jenis Kelamin.5

Gambaran partisipasi politik perempuan diatas memperlihatkan bahwa secara formal adanya minoritas yang cukup besar untuk perempuan berpatisipasi aktif dalam politik yang legal.Menurut Harmona daulaybila di telusurikendala yang dapat dijelaskan dari kondisi ini adalahPertama, sistem negara yang patriarki. Kedua, Sistem politik yang sangat patriarkhis dan sangat identik dengan nilai maskulin.Ketiga, Berlanjut pada partai politik yang hanya melihat

Tabel di atas menunjukkan, bahwa tidak ada satu pun partai politik yang memenuhi kuota keterwakilan perempuan sebesar 30% di parlemen seperti yang diharapkan (menyentuh garis biru) atau mencapai 30%. Yang paling tinggi adalah PPP dengan 25,6% kursi, lalu diikuti dengan Partai Demokrat dan PKB dengan 21,3% kursi. Sedangkan yang paling rendah adalah PKS dengan hanya 2,5% kursi.

5

(5)

perempuan sebagai pengumbul suara.Keempat, Sistem sosial budaya yang sangat seksis, misalnya perempuan tertinggal dalam pendidikan, lemahnya persiapan mental untuk berkompetisi, diskriminasi, stereotip sosial dan marginalisasi di partai dan institusi lainnya.6

Perempuan harus sadar bahwa ketika mereka tidak peduli kepada politik mereka telah menggantungkan hidup mereka pada keputusan Negara yang sangat bias gender karena diputuskan total oleh laki-laki atau oleh perempuan yang belum sensitif gender. Eksistensi politik terwujud dalam aspek kehidupan bersama pada tingkat lokal dan kepekaan terhadap masalah yang ada.Asumsi pentingnya perempuan berpatisipasi dalam politik maka kaum perempuan sendiri memang Undang-undangpemilu yang disahkan tentang kuota 30% perempuan telah memberikan pencerahan terhadap partisipasi politik perempuan dalam legislatif. Namun kerja keras dalam mendongkrat kualitas perempuan untuk tampil di politik,untuk bisa mempunyai posisi tawar yang seimbang dengan partai serta untuk merubah paradigma politik Indonesia yang syarat dengan ukuran laki-laki bukanlah pekerjaan yang sederhana. Kuota yang diberikan bukan menjadi sisi yang membuat politisi laki-laki terpaksa memberikan ruang untuk perempuan atau disiasati dengan memilih perempuan yang gampang diatur dan tetap pada isu mengangkat perempuan karena unsur kasihan dan unsur kuantitas yang besar yang wajib didengar aspirasinya sebagai pengumpul suara.

6

(6)

harus berjuang untuk bisa melawan pada kondisi, sistem sosial masyarakat, sistem politik, sistem negara dan partai politik yang sangat kental nilai patriarki.7

Ada beberapa alasan yang penting bagi perempuan untuk berpatisipasi dalam politik, yaitu :Pertama, Perempuan memiliki pengalaman khusus yang dipahami dan dirasakan oleh perempuan. Seperti isu diskriminasi, marginalisasi, kesehatan reproduksi, isu kekerasan dalam rumah tangga, isu kekerasan seksual dan lain-lain.Kedua, Partisipasi perempuan diharapkan bisa mencegah kondisi yang tidak menguntungkan perempuan dalam mengatasi permasalahan stereotip terhadap perempuan, diskriminasi dibidang hukum, kehidupan sosial dan kerja,marginalisasi di dunia karier dan eksploitasi yang terjadi pada perempuan.Ketiga, Partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan politik dapat berpengaruh pada pengambilan keputusan politik yang mengutamakan perdamaian.

Partisipasi perempuan dalam politik secara aktif, menyumbangkan pemikiran sampai kepada kepekaan yang tinggi terhadap permasalahan politik sangatlah diperlukan.

8

Kabupaten Nias merupakan salah satu daerah yang sangat kental dengan kehidupan budaya yang patriarki. Dalam adat Nias, terikat kuatoleh adanya sistem kekerabatan yang seringdisebut dengan marga.Marga adalah sebuahsilsilah keluarga yang menjadi identitas suku Nias sejak lahir. Dalam suatu keluargasetiap

7

Ibid. hal.31-32.

8

(7)

anak akan mengikuti marga dari ayahyang diperoleh sang ayah dari leluhur-leluhursebelumnya.Marga merupakan identitas penting bagi masyarakat Nias.Dengan adanya marga maka suku Nias dapatmengetahui hubungan kekerabatan dan statuskekerabatan mereka.Hal inilah yang menjadiawal pembentukan budaya patriarki dalamsuku Nias.Dimulai dari pengambilan garis keturunan ayah atau marga ayah yang akan menjadi marga anak, pembagian harta dan sampai pada adat istiadat pernikahan.

Contoh lainya Budaya patriarki Nias adalah membuat semua pesta yang dilaksanakan selalu dalam konteks kebutuhan kaum laki-laki.Puncak dari semua pesta yang harus ditunaikan oleh laki-laki Nias adalah Owasa, pesta terbesarnya.Meskipun pelakunya harus menanggung resiko ekonomi yang serius, demi harga diri pesta itu harus ditunaikan. Dampak sosial pelaksanaan Owasa tersebut sangat berdampak pada pelapisan sosial seorang laki-laki yang akan menikah.Oleh karena itu peran dominasi laki-laki sangat tampak dan didukung oleh budaya patriarki masyarakat yang semakin membuat peran perempuan menjadi minoritas dan terkurung dalam peran domestik, mengurus anak dan dapur.Urusan politik, hubungan dengan masyarakat diserahkan kepada laki-laki.

(8)

medapatkan kursi, tidak seorang pun yang mewakili kaum perempuan semuanya di dominasi laki-laki atau dengan kata lain 100% anggota DPRD terpilih kabupaten nias adalah laki-laki. Tidak jauh berbeda pada pemilihan umum tahun 2009 silam yang hasilnya hanya 2 orang perempuan yang berhasil duduk di kursi legislatif dari 40 orang yang lolos menjadi anggota dewan. Hal ini menunjukan bahwa minoritas kaum perempuan di DPRD kabupaten Nias tidak hanya terjadi pada pemilihan umum tahun 2014 melainkan juga pada pemilihan umum tahun 2009 silam. Padahal Jika dibandingkan berdasarkan berita acara Nomor 156/BA/VI/2014 tentang rekapitulasi daftar pemilih tetap (DPT) di kabupaten nias maka di peroleh hasil DPT perempuan di kabupaten nias sebanyak 47.222 dan DPT laki-laki adalah 42.759 yang tersebar dalam 10 kecamatan.9

9

KPU Kabupaten Nias.2014. Berita Acara nomor 156/BA/VI/2014 Tentang Rapat pleno rekapitulasi penentapan daftar pemilih tetap (DPT) 2014.

(9)

terhadap partisipasi politik perempuan di DPRD kabupaten Nias pada pemilihan umum legislatif tahun 2014.

B. Perumusan Masalah

Perumusan masalah adalah usaha untuk menyatakan secara tersurat pertanyaan-pertanyaan penelitian yang perlu dijawab dan dicarikan jalan pemecahannya dan perumusan masalah merupakan konteks dari penelitian dimana memberikan arah terhadap penelitian yang dilakukan.Berdasarkan pemaparan pada bagian latar belakang diatas maka dapat dirumuskan masalah dalam penelitian ini yaitu, Bagaimana pengaruh budaya patriarki di kabupaten Nias terhadap partisipasi politik perempuan di DPRD kabupaten Nias pada pemilihan umum tahun 2014?

C. Pembatasan Masalah

Pembatasan masalah adalah usaha untuk menetapkan masalah dalam batasan penelitian yang akan diteliti. Batasan masalah ini berguna untuk mengidentifikasi faktor mana saja yang tidak termasuk kedalam ruang penelitian tersebut.Maka untuk memperjelas dan membatasi ruang lingkup penelitian dengan tujuan menghasilkan uraian yang sistematis diperlukan adanya batasan masalah. Adapun masalah yang ingin diteliti dalam penelitian ini adalah :

(10)

2. Bagaimana Pengaruh Budaya patriarki terhadap Partisipasi Politik perempuan di DPRD kabupaten nias pada pemilihan legislatif tahun 2014?

D. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Untuk mengeksplorasi budaya patriarki yang berkembang dalam kehidupan bermasyarakat di kabupaten nias.

2. Untuk menganalisis pengaruh budaya patriarki terhadap partisipasi politik perempuan di DPRD kabupaten Nias pada pemilihan legislatif tahun 2014

E. Manfaat Penelitian

Penelitian ini dilakukan agar mampu memberikan manfaat sebagai berikut:

• Secara Teoritis, Penelitian ini merupakan kajian ilmu politik yang dapat memberikan kontribusi pemikiran mengenai pengaruh budaya terhadap partisipasi politik.

(11)

• Bagi Masyarakat, penelitian ini diharapkan mampu membantu masyarakat kabupaten Niassecara khusus dalam memahami pengaruh budaya patriarki terhadap keterwakilan politik perempuan.

F. Kerangka Teori

Dalam sebuah penelitian, teori-teori merupakan alat atau “tool”untuk menjelaskan fenomena yang akan diteliti. Teori-teori yang digunakan harus mampu untuk menjelaskan gejala-gejala yang terjadi dalam sebuah peristiwa dalam hal ini adalah peristiwa politik. Menurut Miriam Budiardjo, teori adalah bahasan dan renungan atas tujuan kegiatan, cara-cara mencapai tujuan, kemungkinan-kemungkinan atau prediksi dan kewajiban yang diakibatkan oleh tujuan.10

Partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk ikut secara aktif dalam kehidupan politik, yaitu dengan jalan memilih pemimpin negara dan secara langsung atau tak langsung mempengaruhi kebijakan pemerintah (Public Policy). Kegiatan ini mencakup tindakan seperti memberi suara dalam pemelihan umum, menghadiri rapat umum, mengadakan hubungan (

contacting) atau lobbying dengan pejabat pemerintah atau anggota parlemen,

menjadi anggota partai atau salah satu gerakan sosial dengan direct actionnya, dan sebagainya.

F.1Partisipasi Politik

11

10

Miriam Budiardjo. 1998. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka. Hal. 30.

11

Ibid. hal. 367.

(12)

keterlibatan secara aktif (the active angagement) dari individu atau kelompok ke dalam proses pemerintahan. Keterlibatan ini mencakup keterlibatan dalam proses pengambilan keputusan maupun berlaku oposisi terhadap pemerintahan. 12

• Partisipasi aktif, yaitu partisipasi yang berorientasi pada proses input dan output. Artinya setiap orang memiliki kesadaran politik dan kepercayaan kepada pemerintah tinggi. Warga negara secara aktif mengajukan usul mengenai kebijakan publik, mengajukan alternatif kebijakan publik yang berlainan dengan kebijakan pemerintah, mengajukan kritik dan perbaikan untuk meluruskan kebijakan umum, memilih pemimpin pemerintah dan lain-lain.

F.1.1 Bentuk-bentuk Partisipasi Politik

Secara umum bentuk-bentuk partisipasi sebagai kegiatan dibedakan sebagai berikut :

• Partisipasi pasif, yaitu partisipasi yang berorientasi hanya pada output, dalam arti hanya mentaati peraturan pemerintah, menerima dan melaksanakan saja setiap keputusan pemerintah.

• Golongan putih (golput) atau kelompok apatis, karena menganggap sistem politik yang ada telah menyimpang dari apa yang di cita-citakan.

Michael Rush dan Philip Althoffmengidentifikasi bentuk-bentuk partisipasi politik sebagai suatu tipologi politik. Hirarki tertinggi dari partisipasi politik menurut Rush dan Althoff adalah menduduki jabatan politik atau

12

(13)

administratif. Sedangkan hierarki yang terendah dari suatu partisipasi politik adalah orang yang apati secara total, yaitu orang yang tidak melakukan aktivitas politik apapun secara total. Semakin tinggi hierarki partisipasi politik maka semakin kecil kuantitas dari keterlibatan orang-orang, seperti yang diperlihatkan oleh Bagan Hierarki Partisipasi Politik, dimana garis vertikal segitiga menunjukkan hierarki, sedangkan garis horizontalnya menunjukkan kuantitas dari keterlibatan orang-orang.13

Menduduki jabatan politik atau administrasi.

Bentuk dan hierarki partisipasi politik itu sendiri dalam kerangka konsep

Rush dan Althoff, secara berturut-turut adalah:

Gambar 1.3 Hierarki Partisipasi Politik

Mencari jabatan politik atau administrasi,

Keanggotaan aktif suatu organisasi politik

Keanggotaan pasif suatu organisasi politik,

Keanggotaan aktif suatu organisasi semu

politik(quasi political),

Keanggotaan pasif suatu organisasi semu

politik (quasi political),

Partisipasi dalam rapat umum

Ikut serta dalam diskusi politik informal minat

umum dalam politik

Voting (pemberian suara),

Apati total

Sumber : Damsar. 2010. Pengantar Sosiologi Politik. Jakarta: Kencana Prenada Media. hal. 185.

13

(14)

Samuel P.Huntington dan Juan M.Nelsonjuga menemukan bentuk-bentuk partisipasi politik yang berbeda. Adapun bentuk-bentuk partisipasi politik meliputi :

• Kegiatan Pemillihan, mencakup suara, juga sumbangan-sumbangan untuk kampanye, bekerja dalam suatu pemilihan, mencari dukungan bagi seoranng calon, atau setiap tindakan yang bertujuan mempengaruhi hasil proses pemilihan.

• Lobbying, mencakup upaya perorangan atau kelompok untuk menghubungi pejabat-pejabat pemerintah dan pemimpin-pemimpin politik dengan maksud mempengaruhi keputusan politik mereka mengenai persoalan-persoalan yang menyangkut sejumlah besar orang.

• Kegiatan organisasi menyangkut partisipasi sebagai anggota atau pejabat dalam suatu organisasi yang tujuannya yang utama adalah mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah.

• Mencari koneksi, merupakan tindakan peorangan yang ditujukan terhadap pejabat-pejabat pemerintah dan biasanya dengan maksud memperoleh manfaat bagi hanya satu atau segelintir orang.

• Tindak kekerasan, merupakan upaya untuk mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah dengan jalan menimbukan kerugian fisik terhadap orang-orang atau harta benda14

14

(15)

Gabriel A. Almondjugamembedakan partisipasi atas dua bentuk, yaitu :

• Partisipasi Politik konvensional, yaitu suatu bentuk partisipasi politik yang “normal“ dalam demokrasi modern.

• Partisipasi politik nonkonvensional, yaitu suatu bentuk partisipasi politik yang tidak lazim dilakukan dalam kondisi normal, bahkan dapat berupa kegiatan illegal, penuh kekerasan dan revolusioner.15

Adapun rincian dari pandangan Almond tentang dua bentuk partisipasi dapat dilihat pada Gambar 1.4berikut :

Gambar 1.4

• Komunikasi Individual dengan pejabat politik dan administratif

• Pengajuan Petisi • Demonstrasi • Konfrontasi • Mogok

• Tindak kekerasan politik terhadap

benda (Perusakan,Pembakaran)

• Tindak kekerasan Politik terhadap

Manusia(Penculikan, Pembunuhan • Perang Gerilya dan Revolusi

Sumber : Damsar. 2010. Pengantar Sosiologi Politik. Jakarta: Kencana Prenada Media. hal.189

15

(16)

F.1.2 Alasan Partisipasi Politik

Menurut Max weber terdapat empat alasan mengapa masyarakat ikut berpatisipasi politik yaitu:

• Alasan Rasional nilai, yaitu alasan yang didasarkan atas penerimaan secara rasional akan nilai-nilai suatu kelompok.

• Alasan emosional afektif, yaitu alasan yang didasarkan atas kebencian atau sukacita terhadap suatu ide,organisasi, partai atau individu.

• Alasan tradisional, yaitu alasan yang yang didasarkan atas penerimaan norma tingkah laku individu atau tradisi tertentu dari suatu kelompok sosial. Pada kelompok tertentu tradisi dijunjung tinggi, misalnya kaum laki-laki yang hanya dibolehkan aktif diranah publik,sedangkan perempuan diharapkan lebih mendominasi ranah domestik, sehingga mempengaruhi pola partisipasi politik mereka.

• Alasan rasional instrumental, yaitu alasan yang didasarkan atas kalkulasi untung rugi secara ekonomi. 16

F.2 Budaya Politik

Almond dan Verba mendefinisikan budaya politik sebagai suatu sikap

orientasi yang khas warga negara terhadap sistem politik dan aneka ragam

bagiannya, dan sikap terhadap peranan warga negara yang ada di dalam sistem

itu.17

16

Op.cit. hal 193-198.

17

Gabriel A. Almond & Sidney Verba. 1990. Budaya Politik. Jakarta: Bumi Aksara hal. 16.

(17)

sistem politik serta keterikatanya. Dalam hal ini, budaya politik terlihat dari

bagaimana sikap individu terhadap sistem politik dan bagaimana pula sikapnya

terhadap individu didalam sistem politik.Sementara itu, Almond dan

Verba dengan lebih komprehensif mengacu pada apa yang dirumuskan Parsons

dan Shils tentang klasifikasi tipe-tipe orientasi, bahwa budaya politik mengandung

tiga komponen obyek politik sebagai berikut.

Orientasi kognitif : yaitu berupa pengetahuan tentang dan kepercayaan

pada politik, peranan dan segala kewajibannya serta input dan

outputnya.Orientasi afektif : yaitu perasaan terhadap sistem politik, peranannya,

para aktor dan pe-nampilannya.Orientasi evaluatif : yaitu keputusan dan pendapat

tentang obyek-obyek politik yang secara tipikal melibatkan standar nilai dan

kriteria dengan informasi dan perasaan. Objek Orientasi Politik dapat digolongkan

dalam beberapa unsur. Pertama, adalah sistem politik secara umum. Kedua,

adalah pribadi sebagai aktor politik yang meliputi dan kualitas, norma-norma

kewajiban politik seseorang, serta isi dan kualitas kemampuan diri setiap orang

dalam berhadapan dengan sistem politik.Ketiga, adalah Peranan atau struktur

khusus seperti badan legislatif, eksekutif atau birokrasi yudikatif. Kemudian

Pemegang jabatan dan kebijakan timbal balik yang dapat diklasifikasikan dalam

proses atau input politik dan proses administratif atau output politik.18

18

(18)

F.2.1 TIPE-TIPE BUDAYA POLITIK

F 2.1.1 Budaya Politik Parokial

Budaya Politik parokialmerupakan tipe budaya politik yang paling rendah,

yang didalamnya masyarakat bahkan tidak merasakan bahwa mereka adalah warga

negara dari suatu negara, mereka lebih mengidentifikasikan dirinya pada perasaan

lokalitas. Tidak terdapat kebanggaan terhadap sistem politik tersebut. Mereka tidak

memiliki perhatian terhadap apa yang terjadi dalam sistem politik, pengetahuannya

sedikit tentang sistem politik, dan jarang membicarakan masalah-masalah

politik.Budaya politik ini juga mengindikasikan bahwa masyarakatnya tidak

memiliki minat maupun kemampuan untuk berpartisipasi dalam politik. Perasaan

kompetensi politik dan keberdayaan politik otomatis tidak muncul, ketika

berhadapan dengan institusi-institusi politik. Oleh karena itu terdapat kesulitan untuk

mencoba membangun demokrasi dalam budaya politik parokial, hanya bisa bila

terdapat institusi-institusi dan perasaan kewarganegaraan baru. Budaya politik ini

bisa dtemukan dalam masyarakat suku-suku di negara-negara belum maju, seperti di

Afrika, Asia, dan Amerika Latin.

F.2.1.2 Budaya Politik Subjek

Budaya Politik subyek lebih rendah satu derajat dari budaya

politikpartisipan. Masyarakat dalam tipe budaya ini tetap memiliki pemahaman yang

sama sebagai warga negara dan memiliki perhatian terhadap sistem politik, tetapi

(19)

berita-berita politik, tetapi tidak bangga terhadap sistem politik negaranya dan perasaan

komitmen emosionalnya kecil terhadap negara. Mereka akan merasa tidak nyaman

bila membicarakan masalah-masalah politik.

Demokrasi sulit untuk berkembang dalam masyarakat dengan budaya politik

subyek, karena masing-masing warga negaranya tidak aktif. Perasaan berpengaruh

terhadap proses politik muncul bila mereka telah melakukan kontak dengan pejabat

lokal. Selain itu mereka juga memiliki kompetensi politik dan keberdayaan politik

yang rendah, sehingga sangat sukar untuk mengharapkan artisipasi politik yang

tinggi, agar terciptanya mekanisme kontrol terhadap berjalannya sistem politik.

F.2.1.3 Budaya Politik Partisipan

Masyarakat dalam budaya politik partisipanmengerti bahwa mereka

berstatus warga negara dan memberikan perhatian terhadap sistem politik. Mereka

memiliki kebanggaan terhadap sistem politik dan memiliki kemauan untuk

mendiskusikan hal tersebut. Mereka memiliki keyakinan bahwa mereka dapat

mempengaruhi pengambilan kebijakan publik dalam beberapa tingkatan dan

memiliki kemauan untuk mengorganisasikan diri dalam kelompok-kelompok protes

bila terdapat praktik-praktik pemerintahan yang tidak fair.

Budaya politik partisipan merupakan lahan yang ideal bagi tumbuh suburnya

demokrasi. Hal ini dikarenakan terjadinya harmonisasi hubungan warga negara

dengan pemerintah, yang ditunjukan oleh tingkat kompetensi politik, yaitu

(20)

karena mereka merasa memiliki setidaknya kekuatan politik yang ditunjukan oleh

warga negara. Oleh karena itu mereka merasa perlu untuk terlibat dalam proses

pemilu dan mempercayai perlunya keterlibatan dalam politik. Selain itu warga

negara berperan sebagai individu yang aktif dalam masyarakat secara sukarela,

karena adanya saling percaya (trust) antar warga negara. Oleh karena itu dalam

konteks politik, tipe budaya ini merupakan kondisi ideal bagi masyarakat secara

politik.19

a. Budaya politik subyek-parokial (the parochial- subject culture)

Namun dalam kenyataan tidak ada satupun negara yang memiliki budaya

politik murni partisipan, pariokal atau subyek. Melainkan terdapat variasi campuran

di antara ketiga tipe-tipe tersebut, ketiganya menurut Almond dan Verba tervariasi

ke dalam tiga bentuk budaya politik, yaitu

Tipe budaya politik ini sebagian besar penduduknya menolak

tuntutan-tuntutan ekslusif (khusus) masyarakat kesukuan atau desa atau otoritas feodal

dan telah mengembangkan kesetiaan terhadap sistem politik yang kompleks

dengan struktur-struktur pemerintahan pusat yang bersifat khusus.Budaya ini

merupakan peralihan dari budaya Parokial menuju budaya Subyek.

b. Budaya politik subyek-partisipan (the subject-participant culture)

Tipe budaya ini sebagian besar penduduk telah memperoleh

orientasi-orientasi input yang bersifat khusus dari serangkaian orientasi-orientasi sebagai seorang

aktivis, sementara itu penduduk lainnya terus diorientasikan kea rah suatu struktur

pemerintahan otoritarian dan secara relatif memiliki orientasi pribadi yang pasif.

19

(21)

c. Budaya politik parokial-partisipan (the parochial-participant culture)

Tipe budaya ini banyak terdapat pada negara-negara berkembang yang

sedang melaksanakan pembangunan politik. Disejumlah negara ini pada umumnya

buday politik yang dominan adalah budaya parokial. Norma-norma struktural yang

diperkenalkan biasanya bersifat partisipan, dan demi keselarasan mereka menuntut

suatu budaya partisipan Persoalan yang muncul adalah sering kali terjadi

ketimpangan antara struktur yang yang menghendaki sifat partisipan dengan budaya

alamiah yang masih bersifat parokial. Oleh karena itu satu hal yang harus

ditanggulangi adalah upaya mengembangkan orientasi input dan output secara

perlahan sehingga tidak mengherankan jika sistem politik ini berjalan tidak stabil,

yang suatu ketika kearah otoritarian, namun saat yang lain ke arah demokrasi.20

Aliran Fungsional struktural atau sering disebut aliran Fungsionalisme, adalah mazhab arus utama (mainstream) dalam ilmu sosial yang dikembangkan oleh Rober Merton dan Talcott Parsons. Teori ini memang tidak secara langsung menyinggung kaum perempuan.Namun keyakinan mereka bahwa masyarakat adalah suatu sistem yang terdiri atas bagian dan saling berkaitan (Agama, pendidikan, struktur politik sampai keluarga) dan masing-masing bagian secara terus menerus mencari keseimbangan.(equilibrium) dan harmoni dalam F.3 Teori Feminisme

F.3.1 Paradigma Fungsionalisme dalam Feminisme

20

(22)

menjelaskan posisi mereka tentang kaum perempuan. Interelasi itu terjadi karena konsensus. Pola yang nonnormatif dianggap akan melahirkan gejolak. Jika hal tersebut terjadi, maka masing-masing bagian berusaha secepatnya menyesuaikan diri untuk mencapai keseimbangan kembali.Bagi penganut teori ini masyarakat berubah secara evolusioner.Konflik dalam suatu masyarakat dilihat sebagai tidak berfungsinya integrasi sosial dan keseimbangan.Oleh karena itu harmoni dan integrasi dipandang sebagai fungsional bernilai tinggi dan harus ditegakan sedangkan konflik harus dihindarkan.Teori ini menolak setiap usaha yang menggoncangkan status quo, termasuk berkenan dengan hubungan antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat.Pengaruh fungsionalisme ini dapat kita lihat pada pemikiran Feminisme Liberal.

Feminisme Liberalis

(23)

keterampilan “serta” kebijakan yang dapat meningkatkan kaum perempuan sehingga mampu berpartisipasi dalam pembangunan.

F.2.2 Paradigma Konflik dalam Feminisme

Paradigma konflik percaya bahwa setiap kelompok masyarakat memiliki kepentingan (interest) dan kekuasaan ( power) yang adalah pusat dari setiap hubungan sosial termasuk hubungan kaum laki-laki dan perempuan. Yang termasuk dalam paradigm konflik yaitu:

Feminisme Radikal

Munculnya aliran ini dilatarbelakangi oleh adanya kultur diskriminasi sosial berdasarkan jenis kelamin di barat pada tahun 60-an.Penganut aliran ini muncul sebagai bentuk perlawanan atas kekerasan seksual dan pornografi yang terjadi pada waktu itu21

Sejumlah penganut feminis radikal, menyebutkan ada dua sistem kelas sosial: pertama, sistem kelas ekonomi didasarkan pada hubungan produksi,

kedua, Sistem kelas seks yang didasarkan pada hubungan reproduksi. Sistem

kelas seks dianggap menyebabkan penindasan terhadap perempuan.Konsep patriarki menunjuk pada kekuasaan atas kaum perempuan oleh kaum laki-laki, yang didasarkan pada pemilikan dan control laki-laki atas kapasitas reproduksi perempuan.Para penganut feminism radikal tidak melihat adanya perbedaan atara tujuan personal dan politik, unsur-unsur sosial atau biologis, sehingga dalam

.

21

(24)

melakukan analisis tentang penyebab penindasan terhadap kaum perempuan oleh laki-laki, akar permasalahannya pada jenis kelamin laki-laki itu sendiri beserta ideology patriarkinya.Berasal dari pemahaman ini, aliran feminism menganggap bahwa penguasaan fisik perempuan oleh laki-laki, seperti hubungan seksual, adalah bentuk penindasan terhadap kaum perempuan.Lebih lanjut aliran feminism radikal, menyebutkan bahwa patriarki adalah sumber ideologi penindasan yang merupakan sistem hierarki seksual dimana laki-laki memiliki kekuasaan superior dan privilege ekonomi.22

Feminisme Marxis

Kelompok ini menolak keyakinan kaum feminis radikal yang menyatakan

biologis sebagai dasar pembedaan gender.Bagi kaum ini penindasan perempuan

adalah bagian dari penindasan kelas dalam hubungan produksi. Menurut marx,

hubungan antara suami dan istri serupa dengan hubungan antara proletar dan

borjuis, serta tingkat kemajuan masyarakat dapat diukur dari status

perempuannya.

Adapun Engels mengulas masalah ini dalam sejarah prakapitalisme, yang

menjelaskan bahwa sejarah terpuruknya status perempuan bukan disebabkan oleh

perubahan teknologi, melainkan karna perubahan organisasi kekayaan.Oleh

karena sejak awal, laki-laki mengontrol produksi untuk perdagangan, maka

mereka mendominasi hubungan sosial dan politik dan perempuan direduksi

menjadi bagian dari property belaka.Sejak itulah dominasi laki-laki dimulai.

22

(25)

Pada zaman kapitalisme, penindasan perempuan malah dilanggengkan

oleh berbagai cara dan alasan karena mengutungkan. Pertama, eksploitasi pulang

kerumah, yaitu suatu proses yang diperlukan guna membuat laki-laki yang

dieksploitasi di pabrik bekerja lebih produktif. Buruh laki-laki yang dieksploitasi

oleh kapitalis ini, setelah sampai dirumah terlibat hubungan kerja dengan

istrinya. Dalam analisis ini sistem dan struktur hubungan antara kapitalis,buruh,

dan istrinya akhirnya menguntungkan pihak kapitalis. Kedua, Kaum perempuan

dianggap bermanfaat bagi sistem kapitalisme dalam reproduksi buruh

murah.Ketiga, Masuknya perempuan sebagai buruh juga dianggap oleh mereka

menguntungkan sistem kapitalisme karena dua alasan, yaitu upah buruh

perempuan sering kali lebih rendah daripada upah buruh laki-laki.Rendahnya

upah buruh perempuan ini lebih diperparah karena adanya anggapan masyarakat

bahwa perempuan pekerja tidak berupah (unpaid worker).Selain itu masuknya

permpuan dalam sektor perburuhan juga menguntungkan sistem kapitalisme,

karena perempuan dianggap sebagai tenaga cadangan yang tak

terbatas.Akibatnya, posisi tawar buruh semakin rendah, dan sekaligus

mengancam solidaritas kaum buruh, dan akhirnya akumulasi kapital menjadi

semakin cepat.Sehingga banyak analisis yang menyimpulkan bahwa salah satu

musuh kapitalisme adalah feminisme.23

Oleh karena itu, menurut feminism marxis, penindasan perempuan

merupakan kelanjutan dari eksploitasi yang bersifat struktural.Aliran ini

23

(26)

menganggap sistem kapitalisme sebagai penyebab penindasan perempuan.Maka

emansipasi perempuan tejadi jika perempuan terlibat dalam produksi dan

berhenti mengurus rumah tangga. Perubahan struktur kelas inilah yang disebut

sebagai revolusi

Feminisme Sosialis

Aliran ini menurut melakukan sintesa antara metode historis materialistik Marx dan Engels dengan gagasan personal is political (kaum radikal).24

G. Hipotesis

Bagi mereka penindasan perempuan terjadi di kelas manapun, dan tidak serta merta menaikkan posisi perempuan (pandangan ini lahir dari 2 tipe gerakan sebelumnya yang secara tidak langsung saling berkesinambungan atau simbiosis mutualisme) karena tanpa kesadaran kelas juga menimbulkan masalah (dari tipe Marx). Oleh karena itu kedua tipe sebelumnya perlu dikawinkan yaitu analisis patriarki dan analisis kelas, dengan demikian kritik terhadap eksploitasi kelas dari sistem kapitalisme harus dilakukan pada saat yang sama dengan disertai kritik ketidakadilan gender yang mengakibatkan dominasi, subordinasi dan marginalisasi atas kaum perempuan.

Hipotesis adalah pernyataan yang bersifat dugaan sementara atau tentative

answer yang hendak dibuktikan kebenaranya melalui suatu penelitian. Adapun

hipotesis dalam penelitian ini adalah :

24

(27)

• Adanya pengaruh budaya patriarki terhadap partisipasi politik perempuan di DPRD Kabupaten Nias tahun 2014

Maka hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini untuk membuktikannya yaitu:

Hipotesis Nol (Ho) : Pernyataan yang menyatakan tidak ada hubungan budaya patriarki (Variabel x) dengan partisipasi politik perempuan di DPRD (Variabel y) yang akan diteliti, atau Variabel independen tidak mempengaruhi variable dependen.

Hipotesis alternative (Ha) : Pernyataan yang menyatakan terdapat hubungan antara budaya patriarki (Variabel x) dengan partisipasi politik perempuan di DPRD (Variabel y) atau variabel independen mempengaruhi variabel dependen.

H. Metode Penelitian

(28)

dapat di lakukan sehingga dapat menghasilkan suatu kesimpulan yang belaku umum di dalam suatu parameter.

H.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis penelitian deskriptitif.Jenis penelitian deskriptif adalah jenis penelitian yang bertujuan untuk menjelaskan hal ihwal masalah atau objek tertentu secara rinci.Penelitian deskriptif dilakukan untuk menjawab sebuah atau beberapa pertanyaan mengenai keadaan objek atau subjek amatan secara rinci.25

Populasi adalah keseluruhan objek penelitian yang mempunyai karakteristik tertentu dalam suatu penelitian atau keseluruhan gejala/satuan yang ingin di teliti.Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh Penduduk Perempuan kabupaten Nias yang memiliki kartu tanda penduduk (KTP). Berdasarkan data daftar pemilih tetap dari Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Nias tahun 2014, maka jumlah DPT perempuan di kabupaten nias berjumlah 47.222 orang yang tersebar di sepuluh kecamatan.

H.2 Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian dalam penelitian ini adalah di Kabupaten Nias, yang terdiri dari 10 kecamatan.

H.3 Populasi dan Sampel

25

(29)

H.4 Sampel Penelitian

Sampel merupakan bagian terkecil dari populasi yang menjadi contoh ataupun yang dapat mewakili keseluruhan populasi.Oleh karena itu,sampel harus dilihat sebagai suatu pendugaan terhadap populasi dan bukan populasi itu sendiri.Dalam penelitian ini pengambilan sampel menggunakan metode penarikan sampel stratified random sampling atau metode acak terlapis, untuk menentukan jumlah responden pada 10 kecamatan yang tersebar di kabupaten nias, kemudian akan dilakukan teknik Quota samplinguntuk memilih sampel dari masing-masing kecamatan, teknik sampel quota ini adalah teknik yang sama dengan stratified

random samplinghanya saja bedanya penarikan sampel secara yang

berartisampeldapat terpilih karena berada pada waktu, situasi dan tempat yang tepat, dalam arti siapa saja yang kebetulan bertemu dengan peneliti dapat digunakan sebagai sampel bila dipandang orang yang ditemui itu cocok sebagai sumber data. 26

Banyak metode yang dapat digunakan untuk menghitung besarnya sampel, dalam artikel ini akan dibahas cara menghitung besar sampel dengan metode yang

dikembangkan oleh Isaac danMichael.Metode yang dikembangkan oleh Isaac

dan Michael adalah cara untuk menentukan jumlah sampel yang memenuhi syarat berikut:

26

(30)

(1) diketahui jumlah populasinya;

(2) pada taraf kesalahan (significance level) 1%, 5% dan 10%; dan

(3) cara ini khusus digunakan untuk sampel yang berdistribusi normal, sehingga cara ini tidak dapat digunakan untuk sampel yang tidak berdistribusi normal, seperti sampel yang homogen.

Cara menggunakan metode ini sangat praktis, cukup dengan mencocokkan jumlah

populasi dengan taraf kesalahan (significance level) yang dikehendaki.27

Tabel 1.1

Penentuan jumlah sampel dari populasi tertentu Dengan taraf kesalahan, 1, 5, dan 10 %

Sumber 20.00 wib.

(31)

Dikarenakan Jumlah populasinya adalah 47.222 maka sampel yang diambil adalah sebanyak 270 orang ( dengan tingkat kesalahan sebesar 10% dan tingkat kepercayaan adalah 90 %.)

Dari hasil perhitungan dengan menggunakan rumus table Isaac dan

Michael maka diperoleh sampel sebanyak 270 orang. Tetapi karena kabupaten

nias yang populasinya 47.222 orang terdiri dari 10 kecamatan , maka dilakukan lagi penentuan jumlah sampel pada tiap-tiap kecamatan. Penentuan jumlah sampel ini menggunakan teknik stratified random sampling atau metode acak terlapis ini disebabkan populasi yang hendak diteliti bersifat heterogen atau bervariasi. Dari jumlah tersebut , maka akan diperoleh jumlah responden dari masing-masing kecamatan dengan menggunakan rumus:

𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆 1 = 𝑃𝑃𝑃𝑃𝑆𝑆𝑃𝑃𝑆𝑆𝑆𝑆𝑃𝑃𝑃𝑃 1

𝐽𝐽𝑃𝑃𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆ℎ𝑃𝑃𝑃𝑃𝑆𝑆𝑃𝑃𝑆𝑆𝑆𝑆𝑃𝑃𝑃𝑃 𝑥𝑥𝑇𝑇𝑃𝑃𝑇𝑇𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆

1. Kecamatan bawolato

𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆 1 = 7868

47222𝑥𝑥 270

=44.98 dibulatkan menjadi 50

2. Kecamatan Botomuzoi

𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆 1 = 2987

47222𝑥𝑥 270

(32)

3. Kecamatan Gido

𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆 1 = 6876

47222𝑥𝑥 270

= 39.31 dibulatkan menjadi 39 4. Kecamatan Hiliduho

𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆 1 = 3249

47222𝑥𝑥 270

= 18.57 dibulatkan menjadi 19 5. Kecamatan Hiliserangkai

𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆 1 = 4727

47222𝑥𝑥 270

= 27.02 dibulatkan menjadi 27 6. Kecamatan Idanogawo

𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆 1 = 8822

47222𝑥𝑥 270

= 50.44 dubulatkan menjadi 51 7. Kecamatan Ma’u

𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆 1 = 3531

47222𝑥𝑥 270

= 20.28 dibulatkan menjadi 20 8. Kecamatan Sogae’adu

𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆 1 = 3580

47222𝑥𝑥 270

(33)

9. Kecamatan Somolo-molo

𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆 1 = 2118

47222𝑥𝑥 270

= 12.16 dibulatkan menjadi 12 10.Kecamatan Ulugawo

𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆 1 = 3464

47222𝑥𝑥 270

= 19.80 dibulatkan menjadi 20 Jumlah sampel tiap-tiap kecamatan dapat juga dilihat pada Tabel 1.2

Tabel 1.2

Jumlah Sampel Tiap Kecamatan

No Kecamatan Populasi Sampel

1 Bawolato 7868 50

2 Botomuzoi 2987 17

3 Gido 6876 39

4 Hiliduho 3249 19

5 Hiliserangkai 4727 27

6 Idanogawo 8822 51

7 Ma’u 3531 20

8 Sogaeadu 3580 20

9 Somolo-molo 2118 12

10 Ulugawo 3464 20

Total 47222 270

(34)

Setelah mendapatkan jumlah sampel tiap-tiap kecamatan dengan menggunakan teknik stratified random sampling atau metode acak terlapis, maka selanjutnya pemilihan sampel berdasarkan kuota hasil perhitungan, dengan menggunakan teknik Quota Sampling atau sampel Quota. Teknik penarikan sampel kuota merupakan teknik penarikan sampel yang sejenis dengan teknik penarikan sampel stratifikasi. Perbedaannya adalah ketika menarik anggota sampel dari masing-masing lapisan, tidak menggunakan cara acak melainkan melalui cara aksidental. Sampel berada pada waktu, situasi dan tempat yang tepat.

H.5 Defenisi Konsep

Defenisi konsep merupakan proses yang digunakan untuk menunjukan secara tepat tentang apa yang kita maksudkan bila kita menggunakan suatu istilah tertentu. 28

Budaya Patriarki

Untuk mendapatkan batasan istilah yang jelas dari masing-masing konsep yang diteliti, maka defenisi konsep dalam penelitian ini adalah:

Secara umum patriarki dapat didefenisikan sebagai suatu sistem yang bercirikan laki-laki (ayah).Dalam sistem ini, laki-laki yang berkuasa untuk menentukan dan mengambil keputusan. Ada yang meyakini bahwa budaya patriarki sebagai suatu sistem yang bertingkat, yang telah dibentuk oleh suatu

28

(35)

kekuasaan yang mengontrol dan mondominasi pihak lain. Pihak lain ini adalah kelompok miskin,lemah, rendah, tidak berdaya, juga lingkungan hidup dan perempuan.29

Patriarki dikonstruksikan, dilembagakan, dan disosialisasikan lewat institusi-institusi seperti keluarga, sekolah, masyarkat, agama, tempat kerja hingga kebijakan negara. Patriarki merupakan bentuk cara pandang yang umum dan membudaya di masyarakat Indonesia, yang kemudian dikenal dengan istilah ideologi atau budaya patriarki. Ideologi ini merupakan sebuah sistem yang dikendalikan oleh laki-laki.Pemahaman atas laki-laki dan perempuan di sini,tidak mengacu pada jenis kelamin namun lebih pada peran gender.Gender adalah sebuah bentuk perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan yang lebih bersifat perilaku (behavioral differences) yang dikonstruksi secara sosial dan kultural dan berlangsung dalam sebuah proses yang panjang. Jadi, gender merupakan bentukan sosial, maka penempatannya selalu berubah dari waktu ke waktu dan tidak bersifat universal, artinya antara masyarakat yang satu dengan yang lain mempunyai pengertian yang berbeda-beda dalam memahami gender. Gender berbeda dengan istilah seks.Seks merujuk pada perbedaan jenis kelamin yang secara biologis melekat pada diri perempuan dan laki-laki.30

29

Nunuk P Murniati. 2004. Getar Gender. Magelang: Yayasan Indonesia Tera hal.80.

30

(36)

• Perbedaan dan pembagian gender yang mengakibatkan, termanifertasi dalam posisi subordinasi kaum perempuan dihadapan laki-laki. Subordinasi ini berkaitan dengan politik terutama menyangkut soal proses pengambilan keputusan dan pengendalian kekuasaan. Meskipun jumlah penduduk dunia, perempuan seimbang dengan penduduk laki-laki. Subordinasi tersebut tidak saja secara khusus terdapat dalam birokrasi pemerintahan, masyarakat atau di masing-masing rumah tangga, tetapi juga secara global.

• Secara ekonomis, perbedaan dan pembagian gender juga melahirkan proses marginalisasi perempuan. Proses marginalisasi perempuan terjadi dalam kultur, birokrasi maupun program-program pembangunan.

(37)

• Membuat kaum perempuan bekerja lebih keras karena berperan ganda yaitu mengurusi pekerjaan rumah dan pekerjaan nya di luar rumah.

• Melahirkan kekerasan dan penyiksaan terhadap kaum perempuan baik secara fisik maupun mental.31

Partisipasi Politik Perempuan di DPRD

Partisipasi Politik politik perempuan di DPRD adalah ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, yang secara langsung mempengaruhi kebijakan pemerintah.Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi politik adalah faktor Rasional, emosional, tradisional,Rasional instrumental.

H.6 Defenisi Operasional

Defenisi operasional merupakan pengambaran prosedur untuk memasukan unit-unit analisis kedalam kategori-kategori tertentu dari tiap-tiap variabel.32

a. Variabel Independen ( Budaya Patriarki) yaitu variabel yang sering juga disebut sebagai variabel prediktor ialah ialah variabel yang mempengaruhi variabel dependen baik secara positif maupun negatif. Budaya patriarki di kabupaten Nias dilihat dari sistem adat dan pola hidup masyarakat kabupaten Nias.

. Dalam penelitian ini terdapat dua variabel yang diteliti yaitu:

31

Ibid. hal.147-151.

32

(38)

Implikasi dari Budaya patriarki sebagai variabel independen yaitu :

• Subordinasi perempuan. Subordinasi ini berkaitan dengan politik terutama menyangkut soal proses pengambilan keputusan dan pengendalian kekuasaan.

• Marginalisasi perempuan. Proses marginalisasi perempuan terjadi dalam kultur, birokrasi maupun program-program pembangunan.

• Membentuk Stereotip. Stereotip merupakan satu bentuk penindasan ideologi dan kultural, yakni pemberian label yang memojokan kaum perempuan sehingga berakibat kepada posisi dan kondisi kaum perempuan. Misalnya stereotip perempuan sebagai ibu rumah tangga, sangat merugikan mereka. Akibatnya jika mereka hendak aktif dalam kegiatan yang dianggap sebagai bidang kegiatan laki-laki seperti kegiatan politik, bisnis ataupun di pemerintahan maka dianggap bertentangan atau tidak sesuai dengan kodrat perempuan.

• Peran ganda. Budaya patriarki Membuat kaum perempuan bekerja lebih keras karna mempunyai peran ganda yaitu mengurusi pekerjaan rumah dan pekerjaan nya di luar rumah.

(39)

b. Variabel dependen ( Partisipasi politik perempuan di DPRD) yaitu variabel yang sering juga disebut variabel kriteria ( criterion variable) adalah variabel yang nilai atau valuenya dipengaruhi oleh nilai variabel lain.33

Partisipasi politik perempuan di DPRD sebagai variabel dependen dipengaruhi oleh:

• Rasional nilai, yaitu alasan yang didasarkan atas penerimaan secara rasional akan nilai-nilai suatu kelompok.

• Emosional afektif, yaitu alasan yang didasarkan atas kebencian atau sukacita terhadap suatu ide,organisasi, partai atau individu.

• Tradisional, yaitu alasan yang yang didasarkan atas penerimaan norma tingkah laku individu atau tradisi tertentu dari suatu kelompok sosial. Pada kelompok tertentu tradisi dijunjung tinggi, misalnya kaum laki-laki yang hanya dibolehkan aktif diranah publik,sedangkan perempuan diharapkan lebih mendominasi ranah domestik, sehingga mempengaruhi pola partisipasi politik mereka.

• Rasional instrumental, yaitu alasan yang didasarkan atas kalkulasi untung rugi secara ekonomi

33

(40)

Tabel 1.3 Alur Pemikiran

H.7 Teknik Pengumpulan Data

• Penelitian Lapangan

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teknik wawancara sistematik dan penyebaran kuosioner kepada penduduk perempuan kabupaten Nias berdasarkaran kriteria penelitian.Data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder.

(41)

Wawancara (interview), yaitu teknik pengumpulan data dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan secara langsung dan terbuka kepada informan atau pihak yang berhubungan dan memiliki relevansi terhadap masalah yang berhubungan dengan penelitian.

b. Data Sekunder, yaitu data yang diperoleh baik yang belum diolah maupun telah diolah, baik dalam bentuk angka maupun uraian yang terdapat dalam buku,jurnal, surat kabar dan lain sebagainya.

H.8 Pengukuran Variabel Penelitian

Skala pengukuran yang digunakan dalam penelitian ini adalah modifikasi skala Likert, yaitu dari 1 sampai 4. Adapun penggunaan skala 1 sampai 4 untuk setiap jawaban responden selanjutnya di bagi kedalam empat kategori yakni :

• Sangat Setuju (SS) diberi skor 4

• Setuju (S) diberi skor 3

• Tidak Setuju (TS) diberi skor 2

• Sangat Tidak Setuju (STS) diberi skor 134

I. Teknik Analisa Data

Dalam peneletian ini tekniki analisa data yang dilakukan adalah teknik kuantitatif dengan menggunakan bantuan software SPSS.Untuk menguji

(42)

pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat. Adapun metode pengujian yang digunakan adalah :

I.1 Analisis Tabel Frekuensi

Analisis tabel frekuensi merupakan suatu analisis yang dilakukan dengan membagi-bagi variabel kedalam kategori-kategori yang dilakukan atas dasar frekuensi.Tabel-tabel frekuensi merupakan langkah awal atau bahan dasar untuk analisi selanjutnya.Tabel frekuensi biasanya memuat dua kolom, terdiri dari frekuensi dan presentasi untuk setiap kategori.35

Korelasi product moment adalah istilah yang menyatakan derajat hubungan linear ( searah bukan timbal balik) antara dua variabel atau lebih. I.2 Korelasi Product Moment

36

35

Nasruddin MN & Eddy Marlianto. 2008. Statistika. Medan: USU Press hal. 9.

36Ibid. hal. 145.

Untuk menyatakan ada atau tidaknya hubungan antara variabel X (Budaya Patriarki) dengan variabel Y ( Partisipasi Politik Perempuan di DPRD), yaitu variabel bebas dan variabel terikat yang berskala interval – SPSS menyebutnya

scale. Korelasi dapat menghasilkan angka positif (+) atau negatif (-).Jika korelasi

(43)

variabel terikat kecil.Pada korelasi ini kriteria penerimaan atau penolakan hipotesis dalam SPSS adalah sebagai berikut:

• Tolak HO jika nilai probabilitas yang dihitung < probabilitas yang ditetapkan sebesar 0.1 ( sig.2-tailed < α 0.1).

• Terima HO jika nilai probabilitas yang dihitung > probabilitas yang ditetapkan sebesar 0.1 ( sig.2-tailed > α 0.1).

I.3 Uji Asumsi Klasik

• Uji Normalitas

Pengujian normalitas data dilakukan untuk melihat apakah dalam model regresi, variabel independen dan dependennya memiliki distribusi normal atau tidak.Pengertian normal secara sederhana dapat dianalogikan dengan sebuah kelas.Dalam kelas siswa yang bodoh sekali dan pandai sekali jumlahnya hanya

sedikit dan sebagian besar berada pada kategori sedang atau rata-rata.Jika kelas

tersebut bodoh semua maka tidak normal, atau sekolah luar biasa.Dan sebaliknya

jika suatu kelas banyak yang pandai maka kelas tersebut tidak normal atau

merupakan kelas unggulan.37

Distribusi dikatakan normal jika Pertama, data yang mendekati nilai rata-rata (mean) jumlahnya terbanyak, setengah data memiliki nilai lebih kecil dan setengah data memiliki nilai lebih besar.Kedua, data yang memiliki nilai ekstrim (terlalu besar/terlalu kecil) tidak terlalu

(44)

banyak.Pengamatan data yang normal akan memberikan nilai ekstrim rendah dan ekstrim tinggi yang sedikit dan kebanyakan mengumpul di tengah.Jika data menyebar disekitar garis diagonal dan mengikuti arah garis diagonal dan mengikuti arah garis diagonal maka model regresi memenuhi asumsi Normalitas.

• Uji Heterogenitas

Uji heterogenitas digunakan untuk menguji apakah dalam model regresi,terjadi ketidaksamaan varians dari residual dari suatu pengamatan yang lain. Jika variasi residual dari satu pengamatan kepengamatan yang lain tetap, maka disebut homokedastisitas, dan jika varians berbeda disebut heterokedastisitas.

I.4 Analisi Regresi Sederhana

Analisi regresi sederhana dilakukan dengan bantuan Sofware SPSS dengan tujuan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat.38

38

Op.Cit. hal.163.

Model regresi linear sederhana yaitu:

Y= a + bx

Keterangan:

Y = Variabel Partisipasi politik perempuan

(45)

a = Konstanta

b = Koefisien regresi

I.5 Koefisien Determinasi

Korelasi determinasi atau digunakan untuk mengetahui bagaimana variasi nilai variabel terikat dipengaruhi oleh variasi nilai variabel bebas.Besarnya koefisien determinasi adalah antara 0 hingga 1 (0 < R2< 1).Analisis digunakan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh variabel bebas (Budaya patriarki) terhadap variabel terikat (Partisipasi Politik perempuan di DPRD).39

Uji T (uji parsial) dilakukan untuk melihat secara individual pengaruh secara positif dan signifikan dari variabel bebas (variabel) yaitu X terhadap variabel terikat (dependen) yaitu Y dengan asumsi bahwa variabel lain dianggap konstan, dengan tingkat keyakinan 90 % (𝛼𝛼 = 0,1).

I.6 Pengujian Hipotesis

a. Uji T

40

Terima HO Jika nilai probabilitas ( sig> α 0,1) Kriteria penilaian:

Tolak HO jika nilai probabilitas ( sig ≤ α 0,1)

39

Op.Cit. Hal. 73.

40

(46)

b. Uji F

Uji F dilakukan untuk melihat bagaimanakah pengaruh semua variabel bebasnya secara bersama-sama terhadap variabel terikatnya.Atau untuk menguji apakah model regresi telah baik/ signifikan atau tidak baik/nonsignifikan.41

a. Tolak HO jika probabilitas yang dihitung ≤ probabilitas yang ditetapkan sebesar 0,1 (sig. ≤ α 0.1

Kriteria penerimaan /penolakan hipotesis adalah sebagai berikut:

b. Terima HO jika nilai probabilitas yang dihitung > probabilitas yang ditetapkan

sebesar 0,1 (sig. > α 0,1)

J. Sistematika Penulisan

BAB I: PENDAHULUAN

Bab ini menguraikan dan menjelaskan mengenai latar belakang masalah, perumusan dan pembatasan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kerangka teori, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II: PROFIL KABUPATEN NIAS,DPRD DAN BUDAYA PATRIARKI

41

(47)

Bab ini menjelaskan deskripsi singkat mengenai Profil kabupaten Nias,Profil DPRD dan budaya patriarki.

BAB III: PENGARUH BUDAYA PATRIARKI TERHADAP

PARTISIPASI POLITIK PEREMPUAN DI DPRD KABUPATEN NIAS TAHUN 2014

Bab ini berisi penyajian data dan analisis data-data yang diperoleh yang diperoleh dari lapangan mengenai Budaya patriarki dan pengaruhnya terhadap partisipasi politik perempuan di DPRD

BAB IV: PENUTUP

Gambar

Gambar 1.1
Gambar 1.2
Gambar 1.3
Gambar 1.4 Bentuk Partisipasi Politik
+4

Referensi

Dokumen terkait

Sebuah skripsi yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana pada Fakultas Pendidikan Olahraga dan Kesehatan. © Putu Anastasya Nurfitri Matahari 2014

FAKTJ'-TAS PtrTERNAI'{N UNIVERSITAS

respondents who were able to make monthly payment in. terms of the amount of their monthly income and

diketahui nilai korelasi Kendall-Tau adalah p value 0,002 &lt; 0,05 yang menunjukkan bahwa Ha diterima dan Ho ditolak, sehingga ada hubungan yang bermakna antara

Penelitian Ks bambu kuning dilakukan pada 6 perlakuan, yaitu lapisan epider mis dan endoder mis t idak dikikis (C1); lapisan epider mis dan endodermis dikikis sampai setebal 0,5 cm

Hasil penelitian ini juga sesuai dengan teori menurut Mottaghipur dan Bickerton (2005, dalam Nazara,2006), psikoedukasi merupakan suatu tindakan yang dilakukan pada

Tujuan penelitian ini adalah; (1) Untuk mengetahui motivasi belajar bahasa Arab siswa sebelum menggunakan model CTL , (2) Untuk mengetahui motivasi belajar bahasa

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh waktu pemaparan cuaca ( weathering ) terhadap karakteristik komposit HDPE–sampah organik berupa kekuatan bending dan