• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Penerapan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika Terhadap Tindak Pidana Permufakatan Jahat Jual Beli Narkotika (Analisis Putusan Pengadilan Negeri No. 675/Pid.B/2010/PN.Mdn dan Putusan No. 1.366/Pid.B/201

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Penerapan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika Terhadap Tindak Pidana Permufakatan Jahat Jual Beli Narkotika (Analisis Putusan Pengadilan Negeri No. 675/Pid.B/2010/PN.Mdn dan Putusan No. 1.366/Pid.B/201"

Copied!
38
0
0

Teks penuh

(1)

. BAB 1 PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Narkotika atau sering distilahkan sebagai drug adalah sejenis zat. Zat

narkotik ini merupakan zat yang memiliki ciri-ciri tertentu. Narkotika adalah zat

yang bisa menimbulkan pengaruh-pengaruh tertentu bagi mereka yang

menggunakannya dan memasukkannya ke dalam tubuh. Pengaruh tersebut

berupa pembiusan, hilangnya rasa sakit, rangsangan semangat, dan halusinasi

atau timbulnya khayalan-khayalan. Sifat-sifat tersebut yang diketahui dan

ditemukan dalam dunia medis bertujuan untuk dimanfaatkan bagi pengobatan

dan kepentingan manusia, seperti dibidang pembedahan, menghilangkan rasa

sakit dan lain-lain. Namun dikemudian diketahui pula bahwa zat-zat narkotik

memiliki daya pencanduan yang bisa menimbulkan si pemakai bergantung

hidupnya kepada obat-obat narkotik itu. Hal tersebut dapat dihindarkan apabila

pemakaianya diatur menurut dosis yang dapat dipertanggungjawabkan secara

medis dan farmakologis. Untuk itu pemakaian narkotika memerlukan

pengawasan dan pengendalian. Pemakaian di luar pengawasan dan

pengendalian dinamakan penyalahgunaan narkotika yang akibatnya sangat

membahayakan kehidupan manusia baik perorangan maupun masyarakat dan

negara. Untuk pengawasan dan pengendalian penggunaan narkotika dan

pencegahan, pemberantasan dalam rangka penanggulangannya diperlukan

(2)

kehadiran hukum yaitu hukum narkotika yang sarat dengan tuntutan

perkembangan zaman.2

Istilah narkotika yang dipergunakan di sini bukanlah “narcotics” pada

farmacologie(farmasi), melainkan sama artinya dengan “drug”, yaitu sejenis zat

yang apabila dipergunakan akan membawa efek dan pengaruh-pengaruh tertentu

bagi tubuh si pemakai, yaitu:

3) menimbulkan halusinansi (pemakainya tidak mampu

membedakan antara khayalan dan kenyataan, kehilangan kesadaran akan waktu dan tempat).

Pengertian lain dari narkotika mungkin bisa dipaparkan sebagai

bahan-bahan yang tidak dapat dipergunakan dengan sembarangan sebab bisa memberi

pengaruh pada kesadaran, badan dan tingkah laku manusia.3

Sehubungan dengan pengertian narkotika ada beberapa pendapat yang

memberikan pengertian/pembatasan seperti yang terbaca di bawah ini.

Menurut Sudarto, dalam bukunya Kapita Selekta Hukum Pidana

mengatakan bahwa, “Perkataan narkotika berasal dari perkataan Yunani

“Narke”, yang berarti terbius sehingga tidak merasakan apa-apa.4

2

Soedjono Dirdjosisworo, Hukum Narkotika Indonesia, Alumni, Bandung, 1986, halaman 3-4.

3

Susi Adisti, Belenggu Hitam Pergaulan “Hancurnya Generasi Akibat Narkoba”, Restu Agung, Jakarta, 2007, halaman 25-26.

4

(3)

Sedangkan Smith Kline dan Freech Clinical Staff mengemukakan definisi

tentang narkotika

Narcotics are drugs which product insensibility or stuporduce to their depressant offer on the central nervous system, included in this definition are opium-opium derivativis (morpine, codein, methadone).

(Artinya adalah zat-zat atau obat yang dapat mengakibatkan

ketidaksadaran atau pembiusan dikarenakan zat-zat tersebut berkerja mempengaruhi susunan syaraf sentral. Dalam definisi narkotika ini

sudah termasuk candu, zat-zat yang dibuat dari candu (morphine,

codein, methadone).5

Definisi lain dari Biro Bea dan Cukai Amerika Serikat dalam buku

“Narcotics Identification Manual”, sebagaimana dikutip Djoko Prakoso,

Bambang Riyadi, dan Mukhsin dikatakan. Bahwa yang dimaksud dengan

narkotika ialah candu, ganja, kokain, zat zat yang bahan mentahnya diambil dari

benda-benda tersebut, yakni morphine, heroin, codein, hasisch, cocain. Dan

termasuk juga narkotika sintesis yang menghasilkan zat-zat, obat-obat yang

tergolong dalam Hallucinogen dan Srimulant.6 Sedangkan menurut

Verdoovende Middelen Ordonantie Staadblaad 1972 No.278 jo. No. 536 yang

telah diubah dan ditambah, yang dikenal sebagai undang-undang obat bius

narkotika adalah “bahan-bahan yang terutama mempunyai efek kerja

pembiusan, atau yang dapat menurunkan kesadaran. Di samping menurunkan

kesadaran juga menimbulkan gejala-gejala fisik dan mental lainnya apabila

dipakai secara terus-menerus dan liar dengan akibat antara lain terjadinya

ketergantungan pada bahan-bahan tersebut”.7 Merugikan dan Membahayakan Negara, Bina Aksara, Jakarta, 2005, halaman 480.

7

(4)

Narkotika pada Pasal 4 V.M.O. staatblad 1972 No. 278 jo. No. 536 adalah

untuk tujuan pengobatan atau ilmu pengetahuan. Obat bius kecuali candu

olahan, cocainekasar, codeinehanya dapat diolah dan dikeluarkan oleh mereka

yang ditentukan undang-undang, yaitu:

1. apoteker dan ahli kedokteran

2. dokter hewan

3. pengusaha pabrik obat

Dalam undang-undang obat bius tersebut, yang dikategorikan sebagai

narkotika ternyata tidak hanya obat bius saja melainkan disebut juga candu,

ganja, kokain, morphin, heroin, dan zat-zat lainya yang membawa pengaruh atau

akibat pada tubuh. Zat-zat tersebut berpengaruh karena bergerak pada hampir

seluruh sistem tubuh. Terutama pada syaraf otak dan sumsum tulang belakang.

Selain itu karena mengkonsumsi narkotika akan meyebabkan lemahnya daya

tahan serta hilangnya kesadaran.8

Setelah berbicara mengenai pengertian narkotika diatas maka sampailah

kita pada pembahasan tentang akibat penggunaan narkotika,

Yang dimaksud dengan penggunaan narkotika adalah penggunaan secara

tidak benar, ialah untuk kenikmatan yang tidak sesuai dengan pola kebudayaan

yang normal. Penggunaan narkotika untuk pengobatan guna menghilangkan rasa

nyeri dan penderitaan tidak termasuk dalam pembicaraan ini.

Penggunaan narkotika secara berkali-kali membuat seseorang dalam

keadaan tergantung pada narkotika. Ketergantungan ini bisa ringan dan bisa

8

(5)

berat. Berat ringannya ketergantungan ini diukur dengan kenyataan seberapa

jauh ia bisa melepaskan diri dari penggunaan itu.

Ketergantungan-ketergantungan yang dapat disebabkan akibat penggunaan

narkotika, yaitu :

a. Ketergantungan psikis

Salah satu akibat penggunaan narkotika ialah timbulnya suatu “keadaaan

lupa” pada si pemakai, sehingga ia tidak dapat melepaskan diri dari suatu

konflik. Ia melarikan diri dari suatu situasi yang tidak dapat ia atasi. Akan tetapi

sebab dari kesulitan ini sendiri tidak dapat ia hilangkan, persoalannya tetap

menjadi persoalan yang tidak terpecahkan. Penggunaan narkotika itu kerap kali

memperlebar ketegangan antara orang itu dengan masyarakat sekitarnya, karena

ia makin tidak dapat sesuai atau menyesuaikan diri dengan sekitarnya, sehingga

makin besar dirasakan kesulitannya itu dan dengan demikian makin besar pula

rasa kebutuhannya akan narkotika. Itulah yang disebut dengan ketergantungan

psikis (psychological dependence). Kebutuhannya itu untuk memperoleh

perasaan senang (euphorie).

b. Ketergantungan fisik

Penggunaan narkotika selama beberapa waktu menimbulkan kepekaan

terhadap bahan itu, badan menjadi terbiasa sehingga sampai pada tingkat

kekebalan atau tolerance. Misalnya dalam penggunaan morfin, dosis yang

digunakan itu makin lama harus makin banyak untuk mencapai effek yang

(6)

Akhirya effek itu tidak tercapai meskipun dosis pun ditambah terus.

Sebaliknya jika penggunaannya itu dihentikan sama sekali, maka terjadilah

malapetaka yang berlangsung lama dan apabila tidak ditolong oleh dokter dapat

mendatangkan kematian.ketergantungan ini bersifat fisik (physical dependence).

Dapat dipahami, bahwa ketergantungan psikis maupun fisik apabila itu

berlangsung bersama-sama menimbulkan keadaan kecanduan yang besar sekali.9

Penyalahgunaan narkotika inilah yang membahayakan, Karena di samping

akan membawa pengaruh terhadap diri pribadi si pemakai di mana ia akan

kecanduan dan hidupnya akan tergantung kepada zat-zat narkotika, yang bila

tidak tercegah (terobati), jenis narkotika yang akan digunakan semakin kuat dan

semakin besar dosisnya, sehingga bagi dirinya akan semakin parah. Bila hal ini

terjadi maka si pecandu untuk memenuhi kebutuhannya, akan berbuat apa saja

asal ketagihannya bisa terpenuhi, kalau kebetulan si pemakai keuangannya

cukup, mungkin mungkin tidak akan membawa efek-efek lain di luar pribadinya

bahkan si pecandu bisa tidak ketahuan (masih dapat bersembunyi) tetapi apabila

pecandu-pecandu narkotika tidak memiliki uang yang cukup untuk memenuhi

ketagihannya secara terus-menerus maka akibatnya akan meluas, tidak saja

terhadap diri pribadinya juga terhadap masyarakat, karena sipecandu yang di

saat ketagihan tidak dapat memenuhi kebutuhannya dari uang atau barang milik

sendiri, dia akan berusaha dengan berbagai cara, yang tidak mustahil dapat

melakukan tindakan-tindakan yang termasuk kejahatan.10

9

Sudarto, op.cit., halaman 39-40. 10

Soedjono Dirdjosisworo, Narkotika dan Remaja, Aumni, Bandung, 1983,

(7)

Efek dari penggunaan nerkotika adalah sebagai berikut :

a. Depresant yaitu mengendurkan atau mengurangi aktivitas atau

kegiatan susunan syaraf pusat, sehingga dipergunakan untuk

menenangkan syaraf seseorang untuk dapat tidur/istirahat

b. Stimulant yaitu meningkatkan keaktifan susunan syaraf pusat,

sehingga merangsang dan meningkatkan kemampuan fisik

seseorang

c. Halusinogen yaitu menimbulkan perasaan-perasaan yang tidak riil

atau khayalan-khayalan yang menyenangkan. Akibat yang

ditimbulkan adalah akibat kecanduan antara lain :

- Lemahnya fisik, moral dan daya pikir

- Timbul kecendrungan melakukan penyimpangan social dalam

masyarakat, seperti berbohong, berkelahi, seks bebas, dan lain

sebagainya

- Timbulnya kegiatan/aktivitas dis-sosial seperti mencuri,

monodong, merampok dan sebagainya untuk mendapatkan

uang guna membeli narkotika yang jumlah dosisnya semakin

tinggi.

Adapun fase penggunaan narkotika sejak awalnya adalah dimulai dari

coba-coba (expremental use), yaitu memakai narkotika dengan tujuan untuk

memenuhi rasa ingin tahu. Apabila pemakaian beranjut, maka tingkat

penggunaan meningkat ke tahap yang lebih berat yaitu untuk tujuan

(8)

pemakaian situasional, yaitu memakai narkotika saat mengalami keadaan

tertentu seperti pada waktu menghadapi keadaan tegang, sedih, kecewa, dan lain

sebagainya. Tingkatan terparah apabila sipemakai tidak juga berhenti dari

menggunakan narkotika adalah tahapan abuse/penyalahgunaan karena

ketergantungan yang diindikasikan dengan tidak lagi mampu menghentikan

konsumsi narkotika yang akhirnya bias menimbulkan gangguan fungsional atau

occupational dengan timbulnya prilaku agresif dan dis-sosial (terganggunya

hubungan sosial).

Dari berbagai penelitian yang dilakukan oleh para ahli, setidaknya ada

beberapa faktor yang menyebabkan timbulnya penyalahgunaan narkotika di

antaranya sebagai berikut.

a. Faktor individu, terdiri dari aspek kepribadian, dan

kecemasan/depresi. Yang termasuk dalam aspek kepribadian antara

lain kepribadian yang ingin tahu, mudah kecewa, sifat tidak sabar

dan rendah diri. Sedangkan yang termasuk dalam

kecemasan/depresi adalah karena tidak mampu menyelesaikan

kesulitan hidup, sehingga melarikan diri dalam penggunaan

narkotika dan obat-obat terlarang.

b. Faktor sosial budaya, terdiri dari kondisi keluarga dan pengaruh

teman. Kondisi keluarga di sini merupakan kondisi yang

dis-harmonis seperti orang tua yang bercerai, orang tua yang sibuk dan

jarang dirumah serta perekonomian keluarga yang serba berlebihan

(9)

pengaruh teman misalnya karena berteman dengan seseorang

ternyata pemakai narkoba dan ingin diterima dalam suatu

kelompok.

c. Faktor lingkungan, lingkungan yang tidak baik maupun tidak

mendukung dan menampung segala sesuatu yang menyangkut

perkembangan psikologis anak dan kurangya perhatian terhadap

anak, juga bisa mengarahkan seseorang anak untuk menjadi

user/pemakai narkotika.11

Di Indonesia trend perkembangan penyalahgunaan Narkotika dan

obat-obatan terlarang semakin hari semakin marak dan menunjukkan peningkatan

dari tahun ke tahun. Makin meningkatnya penyalahgunaan obat-obat (terlarang)

oleh sementara generasi muda dan kalangan remaja khususnya, semakin

mencemaskan mengingat intensitas penyalahgunaan obat akhir-akhir ini selain

makin marak, juga makin meluas sehingga dapat membahayakan.12

Penggunaan Narkotika pada dewasa ini tidak lagi digunakan untuk tujuan

kepentingan pengobatan atau kepentingan ilmu pengetahuan melainkan

bertujuan unuk memperoleh untung yang besar. Tujuan tersebut diatas tercapai

melalui lalu lintas perdagangan Narkotika illegal baik transaksi yang bersifat

transnasional maupun transaksi yang bersifat internasional. Transaksi

transnasional ialah transaksi lintas batas di antara dua Negara atau lebih Negara,

11

AR. Sujono dan Bony Daniel, Komentar dan Pembahasan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Sinar Grafika, Jakarta timur, 2011, halaman 6-7.

12

(10)

sedangkan transaksi internasional ialah bentuk transaksi yang sudah bersifat

global baik lingkup maupun jaringannya.

Indonesia merupakan salah satu Negara kepulauan terbesar di dunia,

kurang lebih meliputi tiga belas ribu pulau dan perairan Indonesia meliputi

kurang lebih tujuh buah selat yang sangat penting bagi pelayaran internasional.

Ketujuh buah Selat ini adalah, Selat Malaka, Selat Singapura, Selat Sunda, Selat

Lombok, Selat Ombai, Selat Wetar, dan Selat Makasar.

Luas tersebut di atas telah menempatkan Indonesia sebagai keududukan

yang sangat strategis baik dari dilihat kepentingan ketahanan nasional pada

umumnya maupun dilihat dari kepentingan penegakan hukum (pidana) nasional

pada khusunya, apalagi Indonesia terletak diantara benua Asia dan Australia.

Letak geografis ini juga, secara tidak langsung telah meningkatkan

perkembangan tindak pidana transnasional pada umumnya dan pada khusunya,

tindak pidana narkotika.13

Begitu pula tindak pidana narkotika sekarang ini tidak lagi dilakukan

secara perseorangan melainkan melibatkan banyak orang yang secara

bersama-sama, bahkan merupakan satu sindikat yang terorganisasi dengan jaringan yang

luas yang bekerja secara rapi dan sangat rahasia baik di tingkat nasional maupun

internasional.14

13

Romli Atmasasmita, Tindak Pidana Narkotika Transnasional dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, halaman 1-2.

14

(11)

Berikut beberapa kasus peredaran jual beli narkotika yang terjadi di tingkat

nasional saat ini adalah Sat Res Narkoba Polres Metro Jakarta Pusat berhasil

menangkap seorang tersangka yang diduga sebagai bandar narkoba pada hari

senin 5 Maret 2012 sekitar jam 11.30 WIB di Jl. Kemenangan no. 5 kec. Taman

Sari jakarta barat, Berdasarkan hasil pemeriksaan, pelaku mendapat pasokan

narkotika dari seorang bandar di atasnya yang berinisial MC (sedang buron),

setelah mendapat pasokan barang, tersangka menjual kepada para pemesan

(Pengedar yang ada di bawahnya) baik yang ada di Jakarta maupun yang ada di

luar Jakarta sampai ke Sumatera dan Kalimantan. Modus Operandi, Pengiriman

barang dilakukan melalui TIKI setelah uang ditransfer yang dilakukan dengan

cara mengemas Narkotika dalam mainan anak – anak maupun dalam kotak

Handphone15, kemudian kasus jual-beli narkoba lewat internet pernah dilakukan

oleh putra angkat aktor terkenal Indonesia yang kini menjabat wakil gubernur

Banten, Rano Karno, yaitu Raka Widyarma dan rekannya Karina Andetia

dibekuk aparat di sebuah rumah di Jalan Perkici Raya EB2 No.2, Bintaro Jaya,

Jakarta Selatan, pada 6 Maret 2012, sekitar pukul 15.00 WIB, Keduanya

ditangkap saat menerima paket berisi lima butir pil ekstasi yang dipesan via

online dari Malaysia.Penangkapan terhadap Raka berwal saat petugas beacukai

mencurigai paket berukuran tidak terlalu besar dari Malaysia itu melewati mesin

x-ray di Bandara Soekarno-Hatta. Setelah paket dibuka, di dalamnya ditemukan

(12)

selaku salah satu Narapidana LP Narkotika Nusakambangan pada tanggal 8

Maret 2011 silam. Operasi itu merupakan kerjasama antara Badan Narkotika

Nasional (BNN) dan Polres Cilacap. Kasus Hartoni terkuak, setelah ia digerebek

oleh satuan Narkoba Polres Cilacap, pertengahan Maret tahun 2011. Barang

bukti yang didapat adalah shabu sebesar 380 gram17,serta kasus peredaran

narkotika yang terungkap di balik tembok penjara. Kali ini 3 (tiga) narapidana

dan seorang petugas sipir Lapas Kelas IIA Pekanbaru yang dicokok karena ikut

membuka jalan mulus distribusi narkotika di tempat yang membatasi ruang

gerak para terpidana tersebut18, Kemudian kasus penyalahgunaan narkotika bagi

diri sendiri juga marak terjadi saat ini seperti Tragedi yang terjadi pada awal

Tahun 2012, sebuah kecelakaan lalu lintas disekitar Tugu Tani Jakarta yang

menelan sembilan korban jiwa dimana pengemudinya mengonsumsi Narkoba

adalah gambaran bahwa bahaya dari penyalahgunaan Narkoba sangatlah

destruktif. Tidak hanya memberikan efek yang buruk terhadap penyalahguna,

akan tetapi juga dapat merugikan orang lain dan kepentingan publik. Dari

contoh kasus tersebut mengindikasikan bahwa bahaya Narkoba juga

memberikan efek buruk di setiap lini tidak terkecuali para pengguna jalan raya19,

dan kasus penangkapan TKI di malaysia yang dilakukan Anggota Satuan

Narkoba (Satnarkoba) Polres Banyuwangi yang membawa sabu-sabu untuk di

konsumsi pribadi dengan berat seitar 7,94 gram. Bisa dibilang, tangkapan

sabu-sabu tersebut merupakan yang paling besar pada awal Tahun 2012 ini. Sejak

17

(13)

Januari 2012 lalu, Polisi memang sering menangkap Tersangka Kasus Narkoba.

Beberapa di antaranya adalah Kasus Narkotika jenis sabu-sabu. Namun, sejauh

ini barang bukti yang disita relatif sedikit, yakni sekitar nol koma sekian gram

hingga satu gram lebih. kali ini barang bukti yang disita hampir mencapai 8

(delapan) gram. Di pasar gelap, barang bukti sebanyak itu diperkirakan bernilai

sekitar Rp 15.000.000,- (lima belas juta rupiah) 20 begitu pula Di Semarang

polisi menggerebek enam oknum mahasiswa yang tengah menikmati sabu-sabu

di sebuah kamar kos salah seorang diantara mereka, Di Surabaya, seorang

perwira polisi juga kedapatan mengkonsumsi narkoba di sebuah kamar hotel

saat di grebek aparat TNI kodam V Brawijaya, Di Bali seorang oknum polisi

harus mendekam 15 (lima belas bulan) penjara karena tertangkap basah

menyalahgunaan narkoba bersama seorang oknum anggota DPR daerah dan

seorang warga sipil, Di sebuah sekolah SMP, ketika secara mendadak dilakukan

razia oleh guru BP sekolah itu ditemukan macam-macam jenis narkoba di dalam

tas sejumlah siswa, bahkan didapati juga alat kontrasepsi dan beberapa keping

VCD porno21, Begitu pula Data pada United Nation Drug Control Program

(UNDP), saat ini lebih dari 200 juta orang di seluruh Indonesia telah

menyalahgunakan narkoba, yang mencengangkan dari jumlah itu 3,4 juta

diantaranya adalah orang Indonesia. Lebih mencengangkan lagi karena lebih

dari 80%-nya adalah remaja, dan bahkan telah merambah pula pada usia yang

tergolong pada usia anak-anak.

20

http://www.kabarbanyuwangi.com/kernet-truk-bawa-sabu.html (diakses pada Minggu, 1 April 2012)

21

Tina Afiatin, Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba Dengan Program AJI, Gadjah

(14)

Sehubungan dengan itu untuk mencegah dan memberantas

penyalahgunaaan dan peredaran gelap narkotika yang sangat merugikan dan

membahayakan kehidupan masyarkat, bangsa, dan negara maka diperlukan

perubahan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 untuk mengatur upaya

pemberantasan terhadap tindak pidana narkotika melalui ancaman sanksi pidana

yaitu berupa pidana penjara, pidana seumur hidup atau pidana mati. Di samping

itu Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 juga mengatur mengenai

pemanfaatan Narkotika untuk kepentingan pengobatan dan kesehatan serta

mengatur tentang rahabilitasi medis dan sosial, Untuk lebih mengeefektifkan

pencegahan dan pemberantasan peredaran gelap Narkotika dan Prekusor

Narkotika, diatur mengenai penguatan kelembagaan yang sudah ada yaitu Badan

Narkotika Nasional (BNN). BNN tersebut didasarkan pada Peraturan Presiden

Nomor 83 Tahun 2007 tentang Badan Narkotika Nasional (BNN), Badan

Narkotika Provinsi, dan Badan Narkotika Kabupaten/Kota. BNN tersebut

merupakan lembaga nonstruktural yang berkedudukan di bawah dan

bertanggung jawab langsung kepada Presiden, yang hanya mempunyai tugas dan

fungsi melakukan koordinasi. Dalam Undang-Undang ini BNN tersebut

ditingkatkan menjadi lembaga pemerintah nonkementriatan (LPNK) dan

diperkuat kewenangannya untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan.22

Berdasarkan tindak pidana narkotika yang dilakukan dengan melibatkan

banyak orang yang secara bersama-sama, bahkan merupakan satu sindikat yang

terorganisasi dengan jaringan yang luas yang bekerja secara rapi dan sangat

22

(15)

rahasia baik di tingkat nasional maupun internasional yang telah disebutkan di

atas maka membuat penulis tertarik untuk mengakaji dan meneliti lebih

mendalam bagaimana penerapan Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009

terhadap Tindak Pidana Permufakatan Jahat Jual Beli Narkotika yang marak

terjadi di tingkat nasional saat ini. Oleh karena hal tersebut, maka tulisan ini

diberi judul “Penerapan Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika

terhadap Tindak Pidana Permufakatan Jahat Jual-Beli Narkotika (Analisis

Putusan Pengadilan Negeri : No. 675/Pid.B/2010/PN.MDN dan Putusan No.

1.366/Pid.B/2011/PN.MDN)”.

B. Permasalahan

Dari uraian latar belakang di atas, maka yang menjadi permasalahan di

dalam skripsi ini adalah ;

1. Bagaimana Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika didalam

Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dari Perspektif Kebijakan

Hukum Pidana?

2. Bagaimana Penerapan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang

Natkotika terhadap Tindak Pidana Permufakatan jahat Jual Beli narkotika

(Analisis Putusan Pengadilan Negeri No.675/Pid.B/2010/PN.Mdn dan

Putusan No.1.366/Pid.B/2011/PN.Mdn)?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

(16)

1. Untuk mengetahui tindak pidana Penyalahgunaan Narkotika didalam

Undang Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dari Perspektif

Kebijakan Hukum Pidana.

2. Untuk mengetahui Penerapan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009

Tentang Narkotika terhadap Tindak Pidana Permufakatan jahat Jual Beli

narkotika (Analisis Putusan Pengadilan Negeri No.675/Pid.B/2010/PN.Mdn

dan Putusan No.1.366/Pid.B/2011/PN.Mdn).

Adapun manfaat penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

1. Secara Teoritis

Untuk memperkaya khasanah imu pengetahuan, menambah dan melengkapi

perbendaharaan dan koleksi karya ilmiah serta memberikan kontribusi

pemikiran tentang tindak pidana permufakatan jahat jual beli narkotika,

sehingga menjadikan suatu kajian ilmiah bagi para mahasiswa maupun

praktisi hukum.

2. Secara Praktis

a. Dengan mempelajari tindak pidana permufakatan jahat jual beli

narkotika , maka pengetahuan hukum masyarakat mengenai hal tersebut

di atas akan bertambah luas dan masyarakat tentunya akan menilai

apakah suatu proses penegakan hukum telah sesuai dengan

Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dalam melakukan

(17)

b. Bagi aparat penegak hukum agar dapat menerapkan Undang-Undang No.

35 Tahun 2009 tentang Narkotika terhadap Tindak Pidana Permufakatan

Jahat Jual-Beli Narkotika.

D. Keaslian Penulisan

Skripsi yang berjudul Penerapan Undang-Undang No. 35 Tahun 2009

tentang Narkotika terhadap Tindak Pidana Permufakatan Jahat Jual-Beli

Narkotika (Analisis Putusan Pengadilan Negeri : No.

675/Pid.B/2010/PN.Mdn dan Putusan No. 1.366/Pid.B/2011/PN.Mdn) adalah

benar karya penulis. Sehubungan dengan keaslian judul skrisi, Penulis telah

melakukan pengecekkan pada perpustakaan Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara untuk membuktikan bahwa judul skripsi tersebut belum ada atau

belum terdapat di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Ditinjau dari materi Permasalahan yang ada dan materi Penulisan Skripsi

ini, sejauh ini belum pernah didapati dan dilihat kesamaan masalah seperti pada

penulisan skripsi ini. Dalam menyusun karya ilmiah ini pada prinsipnya Penulis

membuatnya dengan dasar-dasar yang sudah ada baik melalui literatur yang

Penulis peroleh dari perpustakaan ditambah menelaah studi kasus Putusan

Pengadilan Negeri Medan.

Bila ternyata di kemudian hari di temukan skripsi yang sama sebelum

(18)

E. Tinjauan Pustaka

1. Tindak Pidana dan Pemidanaan

Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana

Belanda yaitu strafbaar feit. Walaupun istilah ini terdapat dalam Wet Boek Van

Strafrecht voor Nederlands Indie, akan tetapi tidak ada penjelasan resmi tentang

apa yang dimaksud dengan straafbaar feit itu. Karena itu, para ahli hukum

berusaha memberi arti dari istilah tersebut walau sampai saat ini belum ada

kesegaraman pendapat.23

Kata strafbaarfeit kemudian diterjemahkan dalam berbagai terjemahan

dalam bahasa Indonesia. Beberapa kata yang digunakan untuk menterjemahkan

kata strafbaarfeit oleh sarjana-sarjana Indonesia antara lain : tindak pidana,

delik, perbuatan pidana. Sementara dalam berbagai perundang-undangan sendiri

digunakan berbagai istilah untuk menunjuk pada pengertian kata strafbaarfeit.24

Istilah yang digunakan dalam undang-undang di atas antara lain :25

1. Peristiwa pidana, istilah ini antara lain digunakan dalam Undang-Undang

Dasar Sementara Tahun 1950 khususnya dalam Pasal 14.

2. Perbuatan pidana, istilah ini digunakan dalam Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1951 tentang Tindakan Sementara untuk meyelenggarakan kesatuan

susunan, kekuasaan dan acara pengadilan-pengadilan sipil.

Tongat, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia Dalam Perspektif Pembaharuan,

UMM Press, Malang, 2009, halaman 101. 25

(19)

3. Perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum, istilah ini digunakan dalam

Undang-Undang Darurat Nomor 2 Tahun 1951 tentang Perubahan

Ordonantie Tijdelijke Byzondere Strafbepalingen.

4. Hal yang diancam dengan hukum, istilah ini digunakan dalam

Undang-Undang Darurat Nomor 16 Tahun 1951 tentang Penyelesaian Perselisihan

Perburuhan.

5. Tindak Pidana, istilah ini digunakan dalam berbagai undang-undang,

misalnya :

a. Undang-Undang Darurat Nomor 7 Tahun 1953 tentang Pemilihan

Umum.

b. Undang-Undang Darurat Nomor 7 Tahun 1953 tentang Pengusutan,

Penuntutan dan peradilan tindak pidana ekonomi.

c. Penetapan Presiden Nomor 4 Tahun 1964 tentang Kewajiban Kerja Bakti

Dalam Rangka Pemasyarakatannya bagi Terpidana karena melakukan

tindak pidana yang merupakan kejahatan.

Mengenai apa yang diartikan “strafbaar feit”, para sarjana Baratpun,

memberikan pengertian/pembatasan yang berbeda, antara lain sebagai berikut :26

a. Perumusan Simons

Simons merumuskan : “Strafbaar feit” adalah suatu handeling

(tindakan/perbuatan) yang diancam dengan pidana oleh undang-undang,

26

(20)

bertentangan dengan hukum (onrechtmatig) dilakukan dengan kesalahan

(schuld) oleh seseorang yang mampu bertanggungjawab.

b. Perumusan Van Hamel

Van Hamel merumuskan : “Strafbaar feit” itu sama dengan yang

dirumuskan oleh Simons, hanya ditambahkannya dengan kalimat “tindakan

mana bersifat dapat dipidana”.

c. Perumusan Vos

Vos merumuskan : “Strafbaar feit” adalah suatu kelakuan (gedraging)

manusia yang dilarang dan oleh undang-undang diancam dengan pidana.

d. Perumusan Pompe

Pompe merumuskan : “Strafbaar feit” adalah suatu pelanggaran kaidah

(penggangguan ketertiban hukum ) terhadap mana pelaku mempunyai kesalahan

untuk mana pemidanaan adalah wajar untuk menyelenggarakan ketertiban

hukum dan menjamin kesejahteraan umum.

Tindak pidana mengadung unsur-unsur sebagai berikut :27

a. Perbuatan

b. Yang dilarang (oleh aturan hukum)

c. Ancaman pidana (bagi yang melanggar)

Dari uraian unsur tindak pidana diatas, maka yang diarang adalah

perbuatan manusia, yang melarang adalah aturan hukum. Berdasarkan uraian

kata perbuatan pidana, maka pokok pengertian adalah perbuatan itu, tetapi tidak

dipisahan dari orangnya. Ancaman (diancam) dengan pidana menggambarkan

27

Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, Pradyana Paramitha,

(21)

bahwa seseorang itu dipidana karena melakukan perbuatan yang dilarang oleh

hukum.

Berdasarkan Pasal 1 Ayat (1) KUHP seseorang yang melakukan tindak

pidana dapat dihukum apabila memenuhi hal-hal berikut :

a. Ada norma pidana tertentu

b. Norma pidana tersebut berdasarkan undang-undang

c. Norma pidana itu harus telah berlaku sebelum perbuatan terjadi

Dengan perkataan lain, bahwa tidak seorangpun karena suatu perbuatan

tertentu, bagaimnapun bentuk perbuatan tersebut dapat dihukum kecuali telah

ditentukan suatu hukuman berdasarkan undang-undang terhadap perbuatan itu.

Jadi syarat utama dari adanya “perbuatan pidana” adalah kenyataan bahwa ada

aturan hukum yang melarang dan mengancam dengan pidana barang siapa yang

melanggar larangan tersebut.

Istilah pidana sering disamakan dengan istilah hukuman yang berasal dari

kata straft.Namun, ada pula yang menyebutkan bahwa istilah pidana tidak sama

dengan hukuman. Menurut Andi Hamzah, hukuman adalah suatu pengertian

umum, sebagai suatu sanksi yang menderitakan atau nestapa yang sengaja

ditimpakan kepada seseorang. Sedangkan pidana merupakan siatu pengertian

khusus yang berkaitan dengan hukum pidana.28

Berbicara mengenai tindak pidana tentu tidak terlepas dari pembicaraan

mengenai pemidanaan. Pemidanaan berasal dari kata “pidana” yang sering

(22)

diartikan pula dengan hukuman. Jadi pemidanaan dapat pula diartikan dengan

penghukuman.

Pemidanaan atau pengenaan pidana berhubungan erat dengan kehidupan

seseorang di dalam masyarakat terutama apabila menyangkut kepentingan benda

hukum yang paling berharga bagi kehidupan di masyarakat, yaitu nyawa dan

kemerdekaan atau kebebasannya.29

Sehubungan dengan pengertian pemidanaan ada beberapa pendapat yang

memberikan pengertian/pembatasan seperti yang terbaca di bawah ini.

Sudarto mengatakan bahwa :

“Perkataan pemidanaan sinonim dengan istilah ‘penghukuman’.

Penghukuman sendiri berasal dari kata ‘hukum’, sehingga dapat diartikan sebagai menetapkan hukum atau memutuskan tentang hukumannya

(berechten). Menetapkan hukum ini sangat luas artinya, tidak hanya dalam lapangan hukum pidana saja tetapi juga bidang hukum lainnya. Oleh karena istilah tersebut harus disempitkan artinya, yakni penghukuman dalam perkara pidana yang kerap kali sinonim dengan pemidanaan atau

pemberian atau penjatuhan pidana oleh hakim”.30

Berdasarkan pendapat Sudarto tersebut, dapat diartikan bahwa pemidanaan

dapat diartikan sebagai penetapan pidana dan tahap pemberian pidana. Tahap

pemberian pidana dalam hal ini ada dua arti, yaitu dalam arti luas yang

menyangkut pembentuk undang-undang yang menetapkan stelsel sanksi hukum

pidana. Arti konkret, yang menyangkut berbagai badan yang mendukung dan

melaksanakan stelsel sanksi hukum pidana tersebut.

29

Djoko Prakoso dan Nurwachid, Studi Tentang Pendapat-Pendapat Mengenai Efektivitas Pidana Mati Di Indonesia Dewasa Ini, Ghalia Indonesia, Jakarta Timur, 1985, halaman. 13.

30

(23)

Menurut Jan Remmelink, pemidanaan adalah pengenaan secara sadar dan

matang azab oleh instansi penguasa yang berwenang kepada pelaku yang

bersalah melanggar suatu aturan hukum.31

Ted Honderich dalam Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Berkatullah

berpendapat, pemidanaan harus memuat tiga unsur, yaitu :32

a. Pemidanaan harus mengandung kehilangan (deprivation) atau

kesengsaraan (distress), yang biasanya secara wajar dirumuskan

sebagai sasaran dari tindakan pemidanaan. Unsur ini merupakan kerugian atau kejahatan yang derita oleh subjek yang menjadi korban akibat tindakan subjek lain. Tindakan subjek lain tersebut dianggap telah mengakibatkan penderitaan bagi orang lain dan melawan hukum yang berlaku sah.

b. Pemidanaan datang dari institusi yang berwenang secara hukum. Jadi pemidanaan tidak merupakan konsekuensi alamiah suatu tindakan, melainkan sebagai hasil keputusan pelaku personal suatu lembaga yang berkuasa, oleh karena itu pemidanaan bukan tindakan balas dendam terhadap pelanggar hukum yang mengakibatkan penderitaan.

c. Penguasa yang berwenang, berhak untuk menjatuhkan pidana hanya kepada subjek yang telah terbukti secara sengaja melanggar hukum atau peraturan yang berlaku dalam masyarakatnya.

Pada dasarnya terdapat tiga pokok pemikiran tentang tujuan yang ingin

dicapai dengan suatu pemidanaan, yaitu :33

a. Memperbaiki pribadi dari penjahatnya itu sendiri

b. Membuat orang menjadi jera melakuan kejahatan-kejahatan

c. Membuat penjahat-penjahat tertentu menjadi tidak mampu untuk

melakukan kejahatan-kejahatan yang lain, yakni penjahat-penjahat

yang dengan cara-cara lain sudah tidak dapat diperbaiki kembali.

Salah satu cara untuk mencapai pemidanaan/tujuan hukum pidana adalah

“menjatuhkan pidana terhadap seseorang yang telah melakukan tindak pidana”

31

Jan Remmelink, Hukum Pidana, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003, halaman 7. 32

Marlina, Hukum Penitensier, Refika Aditama, Bandung, 2011, halaman 34-35. 33

(24)

dan pidana itu dasarnya adalah merupakan “suatu penderitaan atau nestapa yang

disengaja dijatuhkan negara kepada mereka atau seseorang yang telah

melakukan tindak pidana”.34

Untuk memperoleh pembenaran terhadap sistem pemidanaan maka harus

diberikan ukuran apakah perbuatan pemidanaan itu dapat dibenarkan atau dapat

dihindarkan. Cara yang tepat adalah dengan menunjukan fakta bahwa perbuatan

itu adalah benar atau perbuatan itu tidak benar. Sebagai contoh, pemidanaan

terhadap pembunuhan dalam keadaan perang, atau pada waktu terjadi hura-hura

berdarah, maka dalam hal ini tidak diperlukan dasar pembenaran. Akan tetapi

lain halnya jika terjadi pembunuhan karena ada dendam atau terhadap lawan

politik, maka secara fakta harus dicari dasar pembenaran atas pemidanaannya.

Dengan demikian sepanjang pemidanaan dapat menunjukkan adanya

kepentingan, maka pemidanaan dapat dikatakan dasar pembenarannya. Tetapi

sepanjang tidak dapat menunjukkan kepentingannya, maka pemidanaan

dikatakan tidak berguna (useless).35

Dalam hukum pidana yang berkaitan dengan tujuan pemidanaan terdapat

beberapa teori yaitu :36

a. Teori absolut atau mutlak

Menurut teori absolut ini, setiap kejahatan harus diikuti dengan pidana,

tidak boleh tidak, tanpa tawar menawar. Seseorang mendapat pidana kerana

telah melakukan kejahatan. Tidak dilihat akibat-akibat apa apapun yang

34 Ibid.

35

Soejono, Kejahatan dan Penegakan Hukum Di Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, 1996, halaman. 36.

36

(25)

mungkin timbul dari dijatuhkannya pidana. Tidak dipedulikan, apaah mungkin

dengan demikian masyarakat mungkin akan dirugikan. Hanya dilihat ke masa

lampau, tidak dilihat ke masa depan.

Hutang pati, nyaur pati; hutang lara, nyaur lara yang berarti : si

pembunuh harus dibunuh, si penganiaya harus dianiaya.

b. Teori relatif atau nisbi

Menurut teori ini, suatu kejahatan tidak mutlak harus diikuti dengan suatu

pidana. Untuk itu, tidaklah cukup adanya suatu kejahatan, tetapi harus

dipersoalkan perlu dan manfaatnya suatu pidana bagi mayarakat, atau bagi si

penjahat sendiri. Tidak saja dilihat pada masa lampau, tetapi juga pada masa

depan.

Dengan demikian, harus ada tujuan lebih jauh daripada hanya menjatuhkan

pidana saja. Dengan demikian, teori ini juga dinamakan dengan teori “tujuan”

(doel theorien). Tujuan ini pertama-tama harus diarahkan kepada upaya agar

kemudian hari kejahatan yang telah dilakukan itu tidak terulang lagi (prevensi).

Prevensi ini ada dua macam, yaitu prevensi khusus atau special dan

prevensi umum atau general. Keduanya berdasar atas gagasan bahwa mulai

dengan ancaman akan dipidana dan kemudian dengan dijatuhkannya pidana

orang akan takut menjalankan kejahatan.

Dalam prevensi khusus, hal membuat takut ini ditujukan kepada si

penjahat, sedangkan dalam prevensi umum diusahakan agar para oknum semua

juga takut akan menjalankan kejahatan.37

37

(26)

Jika menurut teori relatif atau teori tujuan ini menjatuhkan pidana

bergantung kepada pemanfaatannya kepada masyarakat, maka terdapat

konsekuensi sebagai berikut.

Untuk mencapai tujuan prevensi atau “memperbaiki si penjahat”, tidak

hanya secara negatif, maka tidaklah layak dijatuhkan pidana tetapi secara positif

dianggap baik bahwa pemerintah mengambil tindakan yang tidak bersifat

pidana. 38

Tindakam ini misalnya berupa mengawasi saja stindak-tanduk si penjahat

atau menyerahkannya kepada suatu lembaga swasta dalam bidang sosial untuk

menampung orang-orang yang perlu dididik menjadi anggota masyarakat yang

berguna (beveilingings maatregelen).39

c. Teori gabungan

Di samping teori absolut dan teori relatif tentang hukum pidana, kemudian

muncul teori ketiga yang di satu pihak mengakui adanya unsur “pembalasan”

(vergelding) dalam hukum pidana. Akan tetapi di pihak lain, mengakui pula

unsur prevensi dan unsur memperbaiki penjahat yang melekat pada tiap

pidana.40

Teori ini merupakan gabungan dari teori pertama dengan teori kedua.

Pemidanaan dijatuhkan kepada pelaku dengan melihat pada unsur-unsur

prevensi dan unsur memperbaiki penjahat yang melekat pada tiap-tiap

(27)

pidana lebih dari apa yang semestinya, seimbang dengan berat ringannya

kejahatan.41

2. Narkotika dan Penggolongan Narkotika

Narkotika atau obat bius ialah semua bahan-bahan obat, baik yag berasal

dari bahan alam ataupun yang sintesis yang mempunyai effek kerja yang pada

umumnya :

a. Membiuskan (dapat menurunkan kesadaran)

b. Merangsang (menimbulkan kegiatan-kegiatan/prestasi kerja)

c. Ketagihan (ketergantungan, mengikat)

d. Mengkhayal (menimbulkan daya khayalan, halusinasi)

Semua narkotika termasuk obat-obat keras/berbahaya, kerena daya

kerjanya keras dan dapat memberi pengaruh merusak terhadap fisik dan psikis

manusia (bahkan sangat membahayakan manusia) jika disalahgunakan. Oleh

karena itu penggunaan obat-obat tersebut untuk keperluan pengobatan haruslah

dengan resep dokter.42

Narkotika merupakan zat atau obat yang sangat bermanfaat dan

diperlukan untuk pengobatan penyakit tertentu. Namun jika disalahgunakan atau

digunakan tidak sesuai dengan standar pengobatan dapat menimbukan akibat

yang sangat merugikan bagi perorangan atau masyarakat khususnya generasi

muda. Hal ini akan lebih merugikan jika disertai dengan penyalahgunaan dan

41

Soejono, op.cit., halaman. 38.

42

(28)

peredaran gelap narkotika yang dapat mengakibatkan bahaya yang lebih besar

bagi kehidupan dan nilai-nilai budaya bangsa yang pada akhirnya dapat

melemahkan ketahanan nasional.

Untuk mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap

narkotika yang sangat merugikan dan membahayakan kehidupan masyarakat,

bangsa, dan Negara, pada Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat

Republik Indonesia Nomor VI/MPR/2002 telah merekomendasikan kepada

Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Presiden Republik Indonesia

untuk melakukan perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997

menjadi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009.

Perubahan undang-undang tersebut dikarenakan tindak pidana narkotika

tidak lagi dilakukan secara perseorangan, melainkan melibatkan banyak orang

yang secara bersama-sama, bahkan merupakan satu sindikat yang terorganisasi

dengan jaringan yang luas yang bekerja secara rapi dan sangat rahasia baik di

tingkat nasional maupun internasional, hal ini juga untuk mencegah adanya

kecendrungan yang semakin meningkat baik secara kuantatif maupun kualitatif

dengan korban yang meluas terutama di kalangan anak-anak, ramaja, dan

generasi muda pada umumnya, selain itu, untuk melindungi masyarakat dari

bahaya penyalahgunaan narkotika dan mencegah serta memberantas peredaran

gelap narkotika, dalam undang-undang ini diatur juga mengenai prekusor

narkotika kerena prekusor narkotika merupakan zat atau bahan pemula atau

bahan kimia yang dapat digunakan dalam pembuatan narkotika .43

43

(29)

Dalam ketentuan umum Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009, definisi

narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman,

baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau

perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa

nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam

golongang-golongan sebagaimana terlampir dalam undang-undang tersebut.

Sedangkan prekursor narkotika adalah zat atau bahan pemula atau bahan kimia

yang dapat digunakan dalam pembuatan narkotika yang dibedakan dalam tabel

sebagaimana terlampir dalam Undang- Undang tersebut.

Narkotika dibagi dalam tiga golongan yaitu : narkotika golongan I,

narkotika golongan II, dan narkotika golongan III. Penggolongan ini ditetapkan

dan dijadikan sebagai lampiran yang tidak terpisahkan dari undang-undang

tersebut. Dikemudian hari masih memungkinkan adanya perubahan golongan

narkotika yang penetapannya diatur dengan Peraturan Menteri Kesehatan.

Narkotika golongan I dilarang digunakan untuk kepentingan pelayanan

kesehatan. Dalam jumlah terbatas, narkotika golongan I dapat digunakan untuk

kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dan untuk

reagensia diagnostik, serta reagensia laboratorium setelah mendapatkan

persetujuan Menteri Kesehatan atas rekomendasi Kepala Badan Pengawas Obat

dan Makanan.

Sedangkan narkotika golongan II dan III dapat digunakan untuk kepentingan

medis yang penggunaannya diatur melalui Peraturan Menteri Kesehatan. Oleh

(30)

dokter dapat memberikan narkotika golongan II atau golongan III dalam jumlah

terbatas dan sediaan tertentu kepada pasien sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan. Sehubungan dengan upaya pengobatan, pasien dapat

memiliki, menyimpan, dan/atau membawa narkotika untuk dirinya sendiri dan

harus mempunyai bukti yang sah bahwa narkotika yang dimiliki, disimpan,

dan/atau dibawa untuk digunakan diperoleh secara sah sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan.44

3. Kebijakan penanggulangan Kejahatan

Secara gradual dan fundamental, terminologi “kebijakan” berasal dari

istilah policy (inggris) atai politiek (belanda). Terminologi itu dapat diartikan

sebagai prinsip-prinsip umum yang berfungsi untuk mengarahkan pemerintah

(dalam arti luas termasuk penegak hukum) dalam mengelolah, mengatur atau

menyelesaikan urusan-urusan publik, masalah-masalah mayarakat atau

bidang-bidang penyusunan peraturan perundang-undangan dan mengalokasikan

hukum/peraturan dengan suatu tujuan (umum) yang mengarah pada upaya

mewujudkan kesejahteraan atau kemakmuran masyarakat (warga negara).45

Kejahatan atau tindak kriminil merupakan salah satu bentuk dari “prilaku

meyimpang” yang selalu ada dan melekat pada tiap bentuk masyarakat. terhadap

masalah kemanusiaan dan masalah kemasyarakatan yang tertua ini telah banyak

usaha-usaha penanggulangan yang dilakukan dengan berbagai cara. Salah satu

44

http://gunarta.blogdetik.com/2010/05/04/konsekuensi-bagi-pelaku-penyalahgunaan-narkotika-dan-prekursor-narkotika/ (diakses pada Selasa, 04 Mei 2010) 45

(31)

usaha pencegahan dan pengendalian kejahatan itu ialah menggunakan hukum

pidana dengan sanksinya yang berupa pidana.46

Sudarto menyebutkan bahwa kebijakan penanggulangan kejahatan dapat

disebut dengan kebijakan kriminal, kebijakan kriminal itu mempunyai tiga arti

yaitu :47

a. Dalam arti sempit, ialah keseluruhan asas dan metode yang menjadi

dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana;

b. Dalam arti luas, ialah keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum,

termasuk di dalamnya cara kerja pengadilan dan polisi;

c. Dalam arti paling luas (yang beliau ambil dari Jorgen Jopesen) islah

keseluruhan kebijakan, yang dilakukan melalui perundang-undangan dan

badan-badan resmi, yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma

sentral dari masyarakat.

Beliau juga memberikan pengertian singkat bahwa kebijkan kriminal

merupakan “suatu usaha yang rasional dari masyarakat dalam menanggulangi

kejahatan”.

Kebijakan atau upaya penanggulangan kejahatan pada hakikatnya

merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social defence)

dan upaya mencapai kesejahteraan masyarakat (social walfare). Oleh kerena itu

dapat dikatakan, bahwa tujuan akhir atau tujuan utama dari politik kriminal ialah

“perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat”. Dengan

(32)

demikian dapatlah dikatakan, bahwa politik kriminal pada hakikatnya juga

merupakan bagian dari integral sosial (yaitu kebijakan atau upaya untuk

mencapai kesejahteraan sosial).48

Kebijakan penanggulangan kejahatan dapat dilakukan melalui dua

pendekatan, yaitu pendekatan penal (penerapan hukum pidana) dan pendekatan

non penal (pendekatan di luar hukum pidana). Integrasi dua pendekatan ini

diisyaratkan dan diusulkan dalam United Nations Congress on the Prevention of

Crime and the Treatment of Offenders. Hal ini dilatarbelakangi bahwa kejahatan

adalah masalah sosial dan masalah kemanusiaan. Oleh karenanya upaya

penanggulangan kejahatan tidak hanya dapat mengandalkan penerapan hukum

pidana semata, tetapi juga melihat akar lahirnya persoalan kejahatan ini dari

persoalan sosial, sehingga kebijakan sosial juga sangat penting dilakukakan.49

Berikut akan dijelaskan dua pendekatan kebijakan penanggulangan

kejahatan di atas adalah sebagai berikut :

1. Kebijakan Non-Penal (Non-Penal Policy)

Kebijakan Penanggulangan Kejahatan lewat jalur “non penal” lebih

bersifat tindakan pencegahan sebelum terjadinya kejahatan. Oleh karena, itu

sasaran utamanya adalah menangani faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya

kejahatan yang berpusat pada masalah-masalah atau kondisi-kondisi sosial yang

secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan atau menumbuh

suburkan kejahatan. Dengan demikian dilihat dari kebijakan penanggulangan

48

Ibid., halaman 2. 49

(33)

kejahatan, maka usaha-usaha non penal ini mempunyai kedudukan yang

strategis dan memegang peranan kunci yang harus diintensifkan dan

diefektifkan.50

Usaha-usaha non-penal ini misalnya penyantunan dan penyelidikan sosial

dalam rangka mengembangkan tanggung jawab sosial warga masyarakat,

penggarapan kesehatan jiwa masyarakat melalui pendidikan moral, agama dan

sebagainya, peningkatan usaha-usaha kesejahteraan anak dan remaja, kegiatan

pratoli dan pengawasan lainnya secara kontiniu oleh polisi dan aparat keamanan

lainnya dan sebagainya.

Tujuan utama dari usaha-usaha non-penal itu adalah memperbaiki

kondisi-kondisi sosial tertentu.

Dengan pendekatan integral inilah diharapkan agar perencenaan kondisi

sosial benar-benar dapat berhasil. Dan dengan demikian diharapkan pula

tercapainya hakekat tujuan kebijakan sosial yang tertuang dalam rancana

pembangunan nasional yaitu “kualitas lingkungan hidup yang sehat dan

bermakana.”.51

2. Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy)

Istilah “kebijakan” berasal dari bahasa Inggris “policy” atau bahasa

Belanda “politiek” istilah ini dalam bahasa Indonesia sering diterjemahkan

dalam kata “politik”, oleh karena itu kebijakan hukum pidana biasa disebut juga

dengan politik hukum pidana. Berbicara mengenai politik hukum pidana, maka

tidak terlepas dari pembicaraan mengenai politik hukum secara keseluruhan

50

Ibid., halaman 55.

51

(34)

karena hukum pidana adalah salah satu bagian dari ilmu hukum. Oleh karena itu

sangat penting utuk dibicarakan tentang politik hukum.52

Ruang lingkup kebijakan hukum pidana ini sesungguhnya meliputi

masalah yang cukup luas, yaitu meliputi evaluasi terhadap substansi hukum

pidana yang berlaku saat ini untuk pembaharuan substansi hukum pidana pada

masa yang akan datang, dan bagaimana penerapan hukum pidana ini melalui

Komponen Sistem Peradilan Pidana, serta tidak kalah pentingnya adalah upaya

pencegahan terhadap kejahatan. upaya pencegahan ini berarti bahwa hukum

pidana juga harus menjadi salah satu instrumen pencegah kemungkinan

terjadinya kejahatan. Upaya pencegahan ini juga berarti bahwa penerapan

hukum pidana harus mempunyai pengaruh yang efektif untuk mencegah

sebelum suatu kejahatan terjadi.53

Ada dua masalah sentral dalam kebijakan penanggulangan kejahatan

dengan menggunakan sarana penal (hukum pidana) ialah masalah penentuan :

a. Perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana

b. Sanksi apa yang sabaiknya digunakan atau dikenakan kepada si

pelanggar

Penganalisaan terhadap dua masalah di atas tidak dapat dilepaskan dari

konsepsi bahwa kebijakan penanggulangan kejahatan merupakan bagian integral

dari kebijakan sosial. Ini berarti bahwa pemecahan masalah-masalah tersebut di

52

Mahmud Mulyadi ,op.cit., halaman 65. 53

(35)

atas harus pula diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu dari kebijakan

sosial yang telah ditetapkan.54

Tujuan-tujuan tertentu yang dimaksudkan di atas adalah tujuan akhir dari

kebijakan penanggulangan kejahatan ialah “perlindungan masyarakat” untuk

mencapai tujuan utama yang sering disebut dengan berbagai istilah misalnya

“kebahagiaan warga masyarakat/penduduk”, kehidupan kultural yang sehat dan

menyegarkan, kesejahteraan masyarakat atau untuk mencapai keseimbanagan.

Dengan memperhatikan tujuan-tujuan tersebut, maka wajarlah apabila

kebijakan penanggulangan kejahatan merupakan bagian integral dari rencana

pembangunan nasional.55

F. Metode Penelitian

Metode dapat diartikan sebagai suatu jalan atau cara mendapat sesuatu.

Adapun metode penelitian hukum yang digunakan penulis dalam mengerjakan

skripsi ini meliputi :

1. Jenis penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian hukum

normatif. Dalam penelitian hukum normatif dengan menganalisis peraturan

perundang-undangan yang mengatur tentang tindak pidana permufakatan jahat

jual beli narkotika dan menganalisis putusan pengadilan.

2. Jenis Data dan Sumber Data

54

Muladi dan Barda Nawawi, op. cit., halaman 160. 55

(36)

Data yang digunakan dalam penulisan ini adalah data sekunder, Data

sekunder diperoleh dari :

a. Bahan hukum primer, antara lain : Undang-Undang Nomor 35

Tahun 2009 tentang Narotika, Kitab Undang-undang Hukum Acara

Pidana (KUHAP), Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)

dan Peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan

Narkotika.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu berupa buku yang berkaitan dengan

permasalahan di dalam skripsi, buku-buku yang berkenaan dengan

teori-teori dan kebijakan penanggulangan kejahatan dan studi yang

diperoleh dari Pengadilan Negeri Medan, yaitu putusan No.

675/Pid.B/2010/PN.Mdn dan Putusan No.

1.366/Pid.B/2011/PN.Mdn serta dari berbagai literatur, majalah,

internet yang kiranya dapat mendukung tulisan penulis.

c. Bahan hukum tersier, yakni bahan hukum yang memberikan

petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer an

sekunder. Bahan hukum tersier yang penulis gunakan seperti

kamus hukum, majalah, serta bahan-bahan di luar bidang hukum

yang relavan dan dapat digunakan untuk melengkapi data yang

diperlukan dalam penulisan skripsi ini.

3. Alat Pengumpul Data

Penggumpulan data yang dilakukan oleh penulis dalam menyelesaikan

(37)

Data yang dipergunakan berupa data sekunder dengan mempelajari literatur dan

putusan pengadilan yang berkaitan dengan permasalahan dalam skripsi.

4. Analisis Data

Bahan sekunder yang telah disusun secara sistematis kemudian dianalisa

dengan menggunakan metode deduktif dan induktif. Metode deduktif dilakukan

dengan membaca, menafsirkan dan membandingkan, sedangkan metode induktif

dilakukan dengan menerjemahkan berbagai sumber yang berhubungan dengan

topik skripsi ini, sehingga diperoleh kesimpulan yang sesuai dengan tujuan

penelitian yang dirumuskan.

G. Sistematika Penelitian

Untuk dapat menguraikan skripsi ini, Penulis telah membuat sistematika

dengan mengadakan pembagian materinya atas empat bab dan tiap-tiap babnya

dibagi lagi atas bagian-bagian yang lebih kecil (sub-sub bab) sehingga

mencerminkan suatu kesatuan materi Skripsi ini dengan sebagai berikut.

BAB I : PENDAHULUAN

Didalam Bab Pendahuluan ini memuat Latar Belakang, Perumusan

masalah, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Keaslian Penulisan,

Tinjauan Pustaka, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan.

BAB II : Diuraikan mengenai Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika

dalam Undang-Undang No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika dari

(38)

berkaitan dengan Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika

sebelum lahirnya Undang-Undang No.35 Tahun 2009 dan Tindak

Pidana Penyalahgunaan Narkotika dari Perspektif Kebijakan

Hukum Pidana.

BAB III : Di dalam Bab.III dibahas mengenai Penerapan Undang-Undang

Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika terhadap Tindak Pidana

Permufakatan Jahat Jual Beli Narkotika yakni Tindak Pidana

Permufakatan Jahat Jual Beli Narkotika sebagai Bentuk Tindak

Pidana Penyalahgunaan Narkotika Menurut UU No.35 Tahun 2009

tentang Narkotika, Kasus, dan Analisa Kasus.

BAB IV : Kesimpulan dan Saran. Di dalam Bab ini Penulis mengemukakan

kesimpulan yang dipetik dari uraian bab terdahulu yang telah diuji

keabsahannya melalui data-data yang diperoleh. Selanjutnya dalam

Bab ini Penulis memberikan saran yang kiranya dapat berguna

Referensi

Dokumen terkait

Untuk mengatasi hal tersebut sangat dibutuhkan alat bantu yang dapat mempermudah dalam melayani pendaftar kursus dan memperlancar tugas. Salah satu alat bantu yang dapat

Sistem penjualan barang rietail ini memerlukan peranan komputer beserta software untuk mencapai hasil yang optimal, dalam hal ini laporan penjualan yang dibuat oleh kasir untuk manager

• Potongan-potongan kertas tersebut ditulisi kendala-kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan pembelajaran tematik.. • Peserta berhimpun dalam

Dalam hal ini ppenulis mencoba menulis dan membuat suatu alat yang banyak digunakan masyarakat, yaitu tentang jam melayang sebagian orang mungkin akan bertanya bagaimana sebenarnya

- Tabel ini berisi informasi mengenai perkiraan jumlah biaya sekolah (pengembangan dan operasional) dalam kurun 4 tahun mendatang - Inputlah jumlah peserta yang akan dilatih

Sedangkan pengertian mengenai kebudayaan sendiri yaitu sistem pengetahuan yang meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam

Penelitian ini dilatar belakangi oleh adanya peningkatan jumlah nasabah dari tahun 2005 sampai dengan tahun 2009. Adanya kenaikan jumlah nasabah pada tiap tahunnya disebabkan

Hasil penelitian dapat disimpul- kan sebagai berikut: tngkat pendidikan remaja yang marriage diusia muda mayoritas berpendidikan rendah, yaitu SD ke bawah, tingkat pendidikan orang