• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemimpin dan Kepemimpinan peran pemimpin

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Pemimpin dan Kepemimpinan peran pemimpin "

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

Pemimpin dan Kepemimpinan

Oleh Aprinus Salam

Kepala Pusat Studi Kebudayaan UGM

Substansi dan nilai-nilai kepemimpinan itu tidak berubah, yang berubah adalah

konteks dan situasi kepemimpinan dan masyarakat yang dipimpin. Inilah persoalan

yang menjadi masalah ketika kita masih bermimpi, memiliki persepsi,

e uha ka sesuatu ya g dia ggap ideal, se e tara eda da rua g kepemimpinan mengalami banyak perubahan sehingga banyak nilai tidak mampu

beradaptasi dengan konteks dan situasi yang berubah.

Bedasarkan sejarah dan pengalaman, nilai-nilai kepemimpinan dan pemimpin yang

kita bayangkan ideal antara lain keberanian, keteguhan, kejujuran, kewaskitaan,

kebijaksanaan, di satu sisi, dan sederhana atau bersahaja, tidak egois, tidak

rakus/tamak, pekerja keras, dan bersedia hidup seperti masyarakat yang

dipimpinannya, di satu sisi yang lain. Hal pertama lebih sebagai nilai, hal kedua

lebih pantas disebut karakter. Kedua kategori itu masih kita pegang hingga hari ini.

Bukan saja nilai tersebut sejalan dengan ajaran atau keyakinan yang universal, pun

sudah pasti menjadi bagian yang terintegrasi dengan agama-agama.

Dulu, ketika asyarakat elu seko pleks da seru it sekara g, ketika asalah kependudukan belum menjadi sesuatu yang mendesak untuk diatasi, ketika

sumber-sumber ekonomi masih belum sangat diperebutkan, ketika kondisi

keagamaan, etnisitas, dan batas-batas wilayah belum menjadi masalah yang

genting, ketika pengetahuan dan teknologi belum sangat canggih, nilai-nilai dan

karakter kepemimpinan dan pemimpin dapat hadir secara lebih berdaya guna.

Itulah sebabnya, di sisi lain, banyak pemimpin kemudian menjadi tokoh dan

(2)

Kondisi yang kondusif itu dimaksudkan bahwa ada konteks dan situasi yang sangat

mendukung, yakni masyarakat yang dipimpin oleh kepemimpinan tertentu belum

secanggih sekarang. Tentu kita pun tahu, bahwa sangat banyak pemimpin yang

tidak sukses, baik dalam kategori nilai, lebih-lebih kategori karakter. Apalagi, dulu,

proses menjadi pemimpi da kepe i pi a elu sede okratis sekara g. Cukup banyak pemimpin dan kepemimpinan karena faktor genetik atau

berdasarkan alur kesejarahan tertentu.

Pada masa dulu itu juga, konstruksi sosial terhadap nilai dan tatanan kehidupan

yang berlaku untuk setiap lokal-lokal masih sangat menghegemoni masyarakat

sehingga varisasi gejolak dan dinamika hubungan pemimpin dan masyarakat yang

dipimpin tidak cukup banyak. Apalagi hal itu didukung oleh kondisi-kondisi ekonomi

dan sosial yang tidak dalam kondisi yang mencemaskan. Tentu setiap masa selalu

ada gejolaknya, ada konflik dan kekerasan.

Akan tetapi, khususnya di Indonesia, kesan bahwa masa lalu sebagai satu masa

yang ayem tentrem, loh jinawi, suatu masa yang eksotik, tenang, dan damai, kadang seperti suatu kenangan yang membekas.

Akan tetapi, itu dulu. Kira-kira lima puluh tahun hingga enam puluh tahun

belakangan ini, semuanya berubah. Penduduk bertambah besar, ketersediaan dan

akses terhadap sumber-sumber ekonomi semakin dirasakan terbatas, ilmu

pengetahuan kritis semakin berkembang terhadap upaya pembongkaran kooptasi

kekuasaan dan kepemimpinan yang tidak etis, dan teknologi informasi telah

mengantarkan manusia untuk dengan mudah mengetahui banyak hal terhadap

hubungan-hubungan kepemimpinan, khususnya hubungan kekuasaan terhadap

sumber-sumber ekonomi.

Dalam tubuh masyarakat, dalam pengertian yang lebih luas, muncullah

kesadaran-kesadaran baru, khususnya strategi atau cara-cara untuk bertahan dan menguasai

sumber-sumber ekonomi. Cara-cara tersebut bisa saja melalui jalur-jalur formal

dan legal, tetapi tidak tertutup kemungkinan cara-cara yang tidak lazim dan sangat

(3)

disepakati bersama, dan jalur-jalur yang tidak cukup lazim bahkan illegal biasa

disebut sebagai kriminalisasi politik.

Sampai sejauh itu, berbagai masalah masih cukup terkontrol jika negara dalam

posisi kuat sehingga segala aturan main dan dinamika yang terdapat di dalamnya

masih dapat diantisipasi oleh aparatus atau kekuatan negara, apakah itu bernama

militer, kepolisian, jaksa, dan sebagainya. Tentu jalannya demokrasi selalu

dipertanyakan jika intervensi negara demikian kuat. Akan tetapi, hal itu memang

soal pilihan sejarah sejauh proses-proses menjadi pemimpin dan kepemimpinan

telah berjalan sesuai dengan faktor-faktor dominan yang terjadi di dalamnya.

Kekuatan adalah pengetahuan yang menjadi kebenaran itu sendiri.

Itu pula sebabnya, pada masa Orde Baru, misalnya, proses menjadi pemimpin dan

kepemimpinan dikuasai oleh satu rezim kekuatan tertentu yang bersifat personal

dan kebetulan personal tersebut seorang militer. Tidak mengherankan jika proses

dan jalur pemimpin da kepe i pi a ersifat iliteristik . Ber agai ele e politik, seperti partai-partai politik, dewan-dewan atau badan-badan perwakilan

rakyat, dan berbagai elemen pendukung politik lainnya, sepenuhnya dalam kontrol

kekuatan personal kepemimpinan tersebut.

Kriminalisasi politik tentu tentu saja ada, tetapi tidak berkembang karena adanya

se a a ketakuta terte tu terhadap kekuata kepe i pi a . Hal itu terjadi karena ada efek-efek yang kemudian bersifat panoptik terhadap mereka yang mencoba mempersoalkan pemimpin dan kepemimpinan dengan tindakan-tindakan

kekerasan yang dilakukan oleh negara. Kekerasan tersebut bisa bersifat

terselubung, tetapi bisa saja bersifat terbuka. Negara Orde Baru, dengan model

kepemimpinan tersebut, berjalan kokoh hingga tiga puluh tahun lebih.

Akan tetapi, sekali lagi, banyak yang terjadi dalam tubuh masyarakat, banyak hal

yang terakumulasi seiring perjalanan waktu. Hal yang paling signifkan adalah

bertambahkan modalitas simbolik masyarakat, yang berjalan seiring dengan

semakin banyaknya kelas menengah di Indonesia (dalam perspektif modalitas

(4)

pemimpin dan kepemimpinan yang telah berjalan kokoh tiga puluh tahun tumbang,

dan mucullah era baru yang kemudian disebut era reformasi.

Kenyataannya, proses reformasi erjala ha pir ke segala arah dan nyaris tanpa bentuk. Akan tetapi, efek ke segala arah dan nyaris tanpa bentuk itu, salah satu

dimensi yang paling banyak dipersoalkan adalah proses menjadi pemimpin dan

persoalan kepemimpinan dalam frame apa yang kemudian disebut sebagai mempersoalkan kembali demokrasi.

Banyak nilai dan ideologi yang bertarung, baik terbuka maupun tertutup, untuk

memberikan sumbangan yang dianggap paling penting dalam pembangunan

demokrasi. Nilai-nilai dan ideologi tersebut, bisa saja atas nama agama, atas nama

etnisitas, atau atas nama mayoritas, dan sebagainya, suatu hal yang pada masa

Orde Baru, cukup tabu untuk dikemukakan.

Partai politik, lembaga perwakilan aspirasi dan politik masyarakat yang dinggap

paling absah dalam memunculkan pemimpin, juga memainkan jurus-jurus tanpa

bentuk dan campur-baur demi kepentingan yang bersifat pragmatis. Walaupun

reformasi tentu saja masih berjalan, tetapi reformasi semakin mengarah pada satu

bentuk yang tidak berbentuk, tidak memiliki kendali nilai, dan nyaris tidak memiliki

karater yang bisa dipercaya.

Implikasinya, pemimpin yang muncul seperti hasil permainan judi, bisa muncul

seperti yang diharapkan, dan dimenangkan oleh sepihak dengan mengalahkan yang

lain. Akan tetapi, seperti halnya permainan judi, banyak hal yang muncul tidak

sesuai harapan.

Itulah sebabnya, siapapun yang menjadi pemimpin dan memegang kendali

kepemimpinan, dalam segala levelnya, tingkat keberterimaannya menjadi

masalah,. Hal itu disebabkan oleh prosesnya sudah keliru dari awal. Banyak pihak

yang kemudian akan mempersoalkan hasil, bukan proses itu sendiri. Akan banyak

pihak yang memanfaatkan segala cara untuk melakukan pembenaran walau hal

(5)

Artinya, menjadi pemimpin dalam konteks yang pilihan ruangnya sudah terlanjur

bermasalah, akan melahirkan pemimpin yang bermasalah. Kondisi itu diperburuk

dengan ruang atau tubuh masyarakat yang kompleksitasnya semakin campur-baur.

Campur baur dalam pengertian terjadinya politisasi agama, etnisitas, ras, bahkan

gender. Bahkan kondisi itu diperparah dalam ruang-ruang kecil dalam dunia maya,

oleh apa yang kemudian begitu merebaknya berita-berita atau

pernyataan-pernyataan yang kadar hoax—nya mencapai 99 persen. Kognisi publik kita penuh dengan kepalsuan dan salahkaparah.

Tak pelak, saat ini kita memasuki suatu kondisi bak benang kusut. Perlu kekuatan di

tingkat negara, yang mampu berperan, dan diberi peran, untuk mengurai satu per

satu alur benang kusut tersebut. Kita memerlukan satu kesepakatan ulang paling

tidak untuk memilih bukan ruang perjudian, tetapi ruang permainan yang

menggembirakan. Ruang permainan yang saya maksud adalah ruang permainan

yang sesuai dengan nilai-nilai dan karakter kebudayaan kita. Hal itu sudah tersedia,

yakni ruang permainan panjat pinang.

Permainan panjat pinang adalah suatu permainan yang demokratis dan tahu diri,

saling mendukung, untuk mencapai tujuan bersama, yakni hadiah kesejahteraan

atau kemakmuran. Kriminalisasi tidak dimungkinkan karena bukan saja porsesnya

akan gagal, tetapi tujuan juga tidak akan tercapai. Sayangnya, hal itu pun menjadi

sulit karena kita lebih gandrung sepak ola . Dala sepak ola , segala ara

ha pir di olehka sejauh tidak ketahua , u tuk tujua ya g pe ti g e a g.

Tulisan ini hanya bersifat semacam pengantar bagaimana peta konteks kita saat ini

dalam mempersoalkan salah satu pilar dalam kehidupan bermasyarakat,

berbangsa, dan bernegara, yakni persoalan pemimpin dan kepemimpinan. Tentu

butuh waktu dan pemikiran serius bagaimana menjawabnya. Saya yakin, kita bisa

Referensi

Dokumen terkait

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Bapa atas rahmatNya yang melindungi, memberkati, memberikan kekuatan, dan semangat dalam penyusunan skripsi ini sehingga penulis

Techniques on Teaching and Learning English for the Fourth Year Students of “St. Aloysius”

Menurut Marshal (1989), terdapat beberapa aspek penting dalam mengevaluasi kemampuan pemecahan masalah. Aspek pertama adalah penguasaan pengetahuan faktual yang relevan

(a) Nyatakan satu tabiat yang boleh mengganggu proses hidup manusia.. (i) Nyatakan tabiat buruk yang dilakukan oleh

Negara Selandia Baru memiliki batas negara Sebelah barat daya Samudra Pasifik; sebelah tenggara Australia, seberang Laut Tasman; dan sebelah selatan kepulauan

Akan tetapi, dari berbagai pertemuan tersebut, telah menegaskan bahwa hubungan Muslim- Kristiani telah terjadi dalam dunia akademis, tidak saja ditunjukkan

siswa pada sekolah berbasis pesantren di SMP Thoriqotun Najah Singosari Kabupaten Malang adalah 1 Media pembelajaran yang kurang memadai menjadi problem dalam mengembangkan

Persepsi pelanggan pada kualitas produk diakibatkan oleh bagaimana produk itu disesuaikan dengan spesifikasi dan sesuai dengan apa yang akan digunakan, sehingga