• Tidak ada hasil yang ditemukan

ORMAS MILISI ELEKTORASI LOKAL BALI DAN M

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "ORMAS MILISI ELEKTORASI LOKAL BALI DAN M"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

ORMAS MILISI, ELEKTORASI LOKAL BALI

DAN MASA DEPAN DEMOKRASI

Nazrina Zuryani1, Tedi Erviantono2 dan Muhammad Ali Azhar2

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Udayana, Sudirman Campus, Denpasar, BALI

Department of Sociology1 and Department of Political Sciences2

{nazrinazuryani@unud.ac.id} {erviantono2@unud.ac.id} dan {aliazhar23mr@yahoo.co.id}

ABSTRAK

Peran milisi di tingkat lokal memiliki kontribusi penting dalam penguatan demokrasi atau

justru sebaiknya melemahkan demokrasi. Kontestasi yang terjadi akan dilihat melalui studi

perilaku elektoral yang ditampilkan dalam masa pilkada atau pasca pilkada serta peristiwa

tertentu yang patut dicatat. Fenomena munculnya milisi dan bagaimana mereka berkontribusi

dalam mengambil manfaat dalam berjalannya demokrasi sudah banyak dilakukan. Kajian tim

peneliti memperhatikan sisi

institusionalism choice theory

sebagaimana milisi menggunakan

kalkulasi untung rugi berdasarkan benefit yang kemudian diakomodasi menjadi struktur

bagian dalam birokrasi. Kajian utama Ormas Milisi lokal Bali ini memiliki perbedaan dengan

daerah lain misalnya FPI dan Forum Betawi Rembuk di Jakarta karena tulisan ini juga akan

mengkaji pada sisi genealogi internal milisi dan bagaimana mereka menyikapi demokrasi.

Proses premanisme yang sedang dalam posisi tiarap di Bali sejak tahun 2016 menunjukkan

sudah tidak ada lagi kata ‘preman narsis’ yaitu foto figur orang kuat lokal yang dipajang di

Baliho yang marak di kota/kabupaten di Bali sebagai sarana kampanye. Temuan riset dengan

jenis kualitatif deskriptif analitis ini lebih mengutamakan strategi observasi dan wawancara

mendalam yang dilakukan oleh tim penulis selama rentang tahun 2016-2017. Data penelitian

menunjukkan bahwa kelompok-kelompok milisi di Bali ternyata justru memiliki performa

yang cukup menarik yang belum terpotret oleh kajian-kajian sebelumnya. Hal ini adalah

munculnya fenomena mimikri yaitu fenomena kemunculan ormas milisi baru yang tidak lain

adalah pecahan dari induk ormas milisi yang sudah ada sebelumnya. Ormas milisi baru ini

terkadang hadir mengadopsi sistem nilai yang sudah ada sebelumnya atau justru sama sekali

baru termasuk dalam orientasi dukungan politiknya dalam elektorasi Pemilukada atau

Pilgub. Perilaku Ormas Milisi di Bali ini berpengaruh pada masa depan demokrasi apa bila

hukum positif Undang-Undang Ormas tidak mengakomodasi budaya setempat dan lokalitas

yang laten.

Kata-kata kunci : kelompok milisi, kontestasi, elektorasi lokal, dan pemilu

A. Latar Belakang

Tulisan ini mengkaji bagaimana peran Milisi di tingkat lokal wilayah Bali memiliki kontribusi penting dalam penguatan demokrasi atau justru sebaiknya melemahkan demokrasi setelah dua dekade reformasi Indonesia. Kontestasi ini akan dilihat melalui peran Ormas Milisi dalam proses elektorasi maupun posisi tawar dengan lingkar kekuasaan formal. Fenomena munculnya Milisi dan bagaimana mereka berkontribusi dalam mengambil manfaat dalam berjalannya demokrasi sudah banyak dilakukan. Beberapa kajian Bakker (2016) di Sudan Selatan dan Nairobi terkait kelompok Milisi yang menggunakan basis sekuritisasinya guna mengkonstruksi ancaman diskursif sebagai otoritas legitimitatif bagi kelompok kepentingan politik tertentu dapat dijadikan rujukan.

(2)

organisasi masyarakat (Ormas) yang tunduk di bawah regulasi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang No 2 tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Perppu Ormas). Hanya saja, Ormas di Bali menjalankan salah satu tugas pokok fungsinya adalah sebagai penjaga keamanan dan ketertiban di kawasan pariwisata dan hiburan, sehingga kerap diidentikan sebagai Milisi.

Pada kajian Milisi di Indonesia, beberapa penulis seperti Ian Wilson yang menunjukkan hadirnya kelompok-kelompok militer sipil (Milisi) lumrah terjadi pada realitas kehidupan sosial politik masyarakat Indonesia pasca orde baru. Ian Wilson (2015) mengkaji bagaimana strategi dan taktik Forum Betawi Rempug (FBR) dalam melakukan lobby sekaligus kelompok penekan di dunia bisnis maupun politik di tingkat lokal Jakarta. Khusus di Bali, kajian Milisi dilakukan secara sporadic (Suryawan, 2012; Nordholt, 2010; Alit & Azhar, 2017 dan Azhar & Mastini, 2016). Sementara tulisan ini memperhatikan sisi institusionalism choice theory dalam arti bagaimana Milisi menggunakan kalkulasi untung rugi berdasarkan benefit yang kemudian diakmodasi menjadi struktur yang menjadi penyokong pendulangan suara dalam elekotorasi lokal bahkan menjadi pintu masuk dalam lingkaran birokrasi.

Tulisan ini akan mengkaji hampir sama dengan tulisan diatas, yaitu Milisi lokal di Bali dengan perbedaan ruang kajian pada sisi genealogi internal Milisi dan bagaimana mereka menyikapi demokrasi. Kehadiran Milisi adalah hal lumrah dalam sistem politik. Hal ini karena golongan ini merupakan pihak yang tidak masuk dalam lingkar kekuasaan formal, bisa jadi aktor atau kelompok yang tersisih (tidak unggul) dalam berlangsungnya proses elektorasi di negara ataupun lokalitas bersangkutan. Pada tataran teoritik, seperti pada teori sistem Easton (Haryanto, 1989), idealnya kelompok Milisi seharusnya bisa menjelma pada dua kemungkinan yaitu menjadi kelompok pendukung atau kelompok penekan dalam proses lahirnya kebijakan yang dihasilkan kekuatan kekuasaan formal.

Riset kualitatif ini menggunakan strategi observasi dengan teknik wawancara yang dilakukan oleh tim penulis selama rentang 2016-2017, menunjukkan bahwa kelompok-kelompok Milisi di Bali ternyata justru memiliki performa yang tidak jauh berbeda dengan kajian-kajian yang sudah ada sebelumnya. Hanya saja ada hal yang cukup menarik dimana belum terpotret oleh kajian-kajian sebelumnya. Munculnya fenomena mimikri yaitu fenomena kemunculan Ormas Milisi baru yang tidak lain adalah pecahan dari induk Ormas Milisi yang sudah ada sebelumnya. Ormas Milisi baru ini terkadang hadir mengadopsi sistem nilai yang sudah ada sebelumnya atau justru sama sekali baru termasuk dalam orientasi dukungan politiknya.

Proses inilah yang disebut sebagai mimikri, pemaknaan yang dipinjam dalam prespektif teori sociologi institusionalism. Hal yang dikedepankan pada perspektif ini adalah konsep kepantasan dimana organisasi cenderung mengimitasi organisasi lain yang dianggap lebih superior atau lebih sukses (Scott dalam Kurniawan, 2009:23)1

B. Proses Elektoral

Ruang demokrasi di Indonesia semakin semarak dengan hadirnya infrastruktur politik baru dalam Pemilu. Hal itu ditandai dengan munculnya perilaku kontestasi Milisi/Ormas dalam Pemilu. Infrastruktur politik baru ini barangkali sebelumnya tidak pernah ditemukan. Bahkan Easton (1955) sendiri dalam general theory system tidak pernah membayangkan hadirnya lembaga infrastruktur politik ini kedalam mekanisme sistem politik manapun. Lembaga politik atau infrastruktur politik baru itu atau yang sering dikenal dengan istilah Milisi atau Ormas sekarang kerap muncul dalam pesta demokrasi di negeri ini.

Dalam kajian ilmu politik munculnya perilaku Milisi atau Ormas dalam Pemilu merupakan fenomena baru. Karena merujuk pada infrastruktur politik sebagaimana Easton maksudkan perilaku pilih memilih Milisi atau Ormas hanya bisa dilakukan dengan melakukan afiliasi politik dengan partai politik dan kelompok (kepentingan dan penekan). Dengan kata lain secara normatif keikut sertaan Milisi atau Ormas kedalam proses politik hanya dapat dikenali melalui lembaga-lembaga demokrasi seperti partai politik atau kelompok afiliatif kepentingan dan penekan.

(3)

Namun, munculnya perilaku elektoral Milisi dewasa ini tidak demikian yang terjadi, saat ini Milisi telah secara terang-terangan beraksi di lapangan melalui upaya penggiringan massa pada waktu masa kampanye untuk mendukung calon yang diusungnya dalam Pemilu dan Pilkada.

Kampanye politik yang dilakukan oleh salah satu calon Bupati yang terjadi beberapa waktu lalu di Kabupaten Badung dapat dikatakan sebagai perilaku elektoral Milisi yang diperlihatkan oleh Ormas tertentu yang ada di Provinsi Bali. Milisi atau Ormas tersebut bisa melakukan apa saja termasuk malakukan teror terhadap pemilih hanya untuk memperlihatkan kepada loyalitas pada salah satu calon2.

Lewat tulisan singkat ini beberapa pertanyaan yang diajukan, pertama bagaimana perilaku elektoral Milisi atau Ormas-Ormas di Bali dalam Pemilu? Kedua, apakah ada perbedaan perilaku kelompok-kelompok Milisi di Bali dengan daerah lain di Indonesia? Ketiga, apakah dalam era institusionalisasi Pemilu sekarang ini, perilaku elektoral dari Ormas atau Milisi di Bali bisa memperkuat atau memperlemah demokrasi yang dibangun selama ini.

1. Menurunnya Pamor Partai Politik

Munculnya perilaku ‘unjuk taring’ Milisi dalam Pilkada ini sebenarnya tidak dapat dihindari berasal dari menurunnya pamor partai politik. Sebelumnya juga pernah kita menyaksikan bagaimana relawan bisa menjadi saluran alternatif dalam demokrasi tidak lain karena menurunya pamor partai politik dalam Pemilu.

Pamor partai politik yang semakin buram ini tidak bisa dilepaskan karena menurunnya peran ideologi parpol saat ini dalam menciptakan calon-calon pemimpin. Fenomena ini kemudian memunculkan kekuatan alternatif baru yang ada sekarang dikenal dengan munculnya kekuatan sosok dalam Pemilu. Sosok lebih mengungguli kekuatan partai politik, dari pada partai politik itu sebagai institusi dalam negara demokrasi.

Dengan menggunakan istilah figur dari munculnya sosok dalam Pemilu, Yulima (2015) menyatakan alasan bahwa dengan kepopuleran dan pencitraanya figur menjadi sangat pengaruh pada Pemilu. Dengan popularitas seorang figur masyarakat bisa menentukan keterpilihan seseorang, dan elektabilitas seorang figur membantu calon legislatif untuk memenangkan perolehan suara dalam Pemilu3.

Alasan ini yang kini sangat berpengaruh mengapa Ormas atau Milisi menjadi begitu penting dalam Pemilu, karena Milisi atau Ormas melihat munculnya kekuatan sosok dalam Pemilu sekarang menjadi peluang kemunculan kader calon legislator dari kandidat-kandidat mereka dalam pemilihan umum. Figur personal atau profil per-orangan dapat menempatkan posisi sangat sentral dalam pandangan Ormas atau Milisi karena rujukan pemilih dalam Pemilu bukan lagi partai politik akan tetapi pilihan mereka tertuju pada nama calon.

2. Kuasa Jalanan Milisi di Indonesia

Dalam sejarah perjalanan panjang Milisi di Indonesia terpetakan menjadi dua tahapan perilaku Milisi dalam politik demokrasi. Tahapan pertama perilaku Milisi yang dilakukan diluar masa Pemilu dan Pilkada, dalam kajian ini perilaku mereka ditampakan sebagai wujud eksistensi mereka dalam lanskap politik.

Salah satu bingkai perspektif teori analisis yang paling mendekati perilaku Milisi pada tahap ini

adalah mempertontonkan aksi kekerasan kelompok ini sebagai

aksi vigilante atau vigilantism.Vigilantism adalah praktik-praktik kekerasan yang dilakukan oleh sekelompok orang untuk rnengontrol perilaku warga yang menyimpang di luar jalur hukum4.

Dalam perkembangannya vigilantism didefinisikan dengan mengambil beberapa ukuran: pertama rnerupakan sebuah fenomena kekerasan; kedua, vigilantism bangkit berlandaskan ketidakpercayaan masyarakat terhadap kinerja aparat penegak hukum dalam kondisi lemahnya sistem

2 Bali Pos, Badung Merah

3 Faktor Figur Dalam Keterpilihan Anggota DPRD Studi Kasus: Keterpilihan Anggota DPRD Dari Partai Gerindra Kabupaten Klungkung Pada Pemilu 2014. Skripsi belum terpublikasikan

(4)

pemberlakuan hukum; dan ketiga, sifat masyarakat yang otonom dan merasa bertanggung jawab atas penegakan hukum maupun tatanan sosial yang telah ada.

Selain itu, diasumsikan bahwa vigilantism : pertama, kegiatan ini pada dasarnya akan memihak dan membela kepentingan dan tatanan sosial yang telah terbentuk (agama, budaya, adat- sosial, kasta, ekonomi dan politik), vigilante ada bukan untuk membangun kepentingan dan tatanan sosial yang revolusioner; dan kedua, kegiatan ini akan memiliki sebuah dilema yang self-contradiction, yaitu dalam kegiatan para vigilante untuk menegakkan hukum akan bertentangan atau melanggar juga hukum yang ingin mereka bela5.

Ciri selajutnya dari vigilantism atau kekerasan vigilante, mereka selalu melakukan aksi main hakim sendiri, melakukan aksi kekerasan pada pihak yang mereka anggap melanggar hukum dan nilai-nilai moralitas publik versi mereka, nilai-nilai kultural (agama, sosial, politik dan budaya) yang dianggap sudah mapan. Aksi-aksi kekerasan yang mereka lakukan sudah jelas melewati batas ambang, seolah menjadi aparat yang memiliki wewenang.

Tahapan kedua, adalah perilaku Milisi yang dilakukan dalam masa pemilihan. Dalam pandangan yang sama Jefrey dan Ihsan Ali Fauzi (2016), Milisi marak dalam politik demokrasi. Kajian ini menurut keduanya berawal dari perilaku Milisi dalam Pilkada dapat diredam oleh logika persaingan sesama mereka dengan calon kandidat6.

Dalam bahasanya yang lain menurut Jefrey dan Fauzi (2016) dikenal dengan cairnya aliansi politik karena perebutan patronase. Meski banyak kelompok Milisi berawal dari masa Orde Baru, orientasi mereka dalam politik demokrasi tidak didasarkan pada loyalitas lama. Aliansi yang dibentuk Milisi semasa Pemilu dan Pilkada tergolong cair, lebih didasarkan pada kebutuhan akan patronase calon perseorangan, bukan karena kesamaan dengan agenda politik tertentu. Secara khusus, keduanya menemukan Milisi lebih mungkin mengisyaratkan dukungan eksplisit terhadap calon tertentu di daerah-daerah di mana persaingan antar-organisasi dalam memperebutkan akses terhadap dana negara cukup sengit7.

Para pemimpin kelompok Milisi itu menyebut imbalan material dan non-material sebagai salah satu faktor yang memengaruhi pilihan mereka mendukung salah satu calon. Di antara imbalan dukungan yang sering disebut adalah akses terhadap Bansos, status khusus dalam penawaran proyek infrastruktur, dan lapangan pekerjaan bagi para anggota lewat penentuan kontrak parkir dan keamanan. Di luar itu, para Milisi juga mengharapkan “kedekatan” simbolik dengan para calon.

Mengamati fenomena seperti ini hal yang menarik dari perebutan patronase terhadap keterlibatan Milisi dalam Pilkada, adalah hubungan Milisi dengan calon atau kepala daerah hanyalah sebagai perantara yang menyediakan akses terhadap sumber daya negara buat kepentingan mereka.

3. Pemilu dan Peran Milisi

Sebagaimana dijelaskan diatas, muncul dan lahirnya Ormas atau Milisi di Bali tidak ditentukan oleh adanya otonomi Milisi yang bersangkutan, akan tetapi kebanyakan disengaja dilakukan bahkan dipelihara oleh negara demi keuntungan-keuntungan pihak-pihak tertentu.

Dua kajian menarik yang terdapat di Bali yang akan dikenalkan dalam tulisan ini, mengenai kontestasi elektoral Ormas dalam Pemilu, pertama mengangkat penelitian yang dilakukan di Buleleng, dengan topik mobilisasi massa yang dilakukan oleh salah satu Ormas atau Milisi pada massa Pemilu legislatif 2014.

Kedua mengangkat hasil penelitian yang dilakukan di Badung dengan topik Ormas dalam Pusaran Politik Studi tentang relasi Ormas dan calon kepala daerah dalam Pilkada serentak 2015.

Penelitian pertama dengan mengambil lokasi penelitian di Desa Sidetapa Kabupaten Buleleng, perilaku elektoral Milisi atau Ormas dapat dikenali lewat perannya dalam meningkatkan tingginya angka partisipasi pemilih yang ada di desa tersebut pada Pemilu legisltif 2014. Temuan yang bisa

5 ibid

6 Kuasa jalanan: Milisi dan Pilkada di Indonesia,

http://www.paramadina-pusad.or.id/publikasi/kuasa-jalanan-Milisi-dan-politik-Pilkada-di-indonesia.html di Unduh tanggal 4 Februari 2018

(5)

dijelaskan melalui kontestasi elektoral Milisi disini bahwa terjadinya peningkatan angka partisipasi pemilih yang terjadi di desa ini tidak lepas dari tindakan dan aksi yang dilakukan oleh Milisi atau Ormas Buleleng Dogen atau lebih dikenal dengan Buldog dalam Pemilu legslatif taun 2014.

Bagaimana aksi jalanan Milisi yang terjadi dalam masa pemilihan ini temuan penelitian ini menyatakan, bahwa, Milisi atau lebih tepatnya dikenal dengan istilah Ormas Buldog, dimanfaatkan oleh calon untuk memobilisasi massa agar mendukungnya atau memilihnya dalam Pemilu legislatif.

Hal ini tidak lepas dari anggapan calon bahwa dengan menggerakan Milisi ini dia akan mendapatkan manfaat dan keuntungan bagi dirinya dan Milisi itu sendiri. Buldog merupakan sebuah organisasi masa yang berada di Kabupaten Buleleng yang memiliki masa cukup besar. Anggotanya tidak hanya di Buleleng melainkan memiliki jaringan yang tersebar di setiap kabupaten ataupun kota yang ada di Bali, angggota Buldog bisa diperkirakan mencapai empat belas ribu orang.

Dua hal yang dilakukan oleh Milisi ini, pertama, melakukan mobilisasi masa yang dilakukan melalui beberapa cara, seperti membangun relasi antara aktor dan organisasi. Selain itu adanya bentuk-bentuk pengarahan yang dilakukan kepada pemilih, yang terbagi dalam dua kategori, yakni bantuan-bantuan, dan penciptaan hubungan emosional. Kedua, anggotanya dengan melibatkan diri kedalam tim sukses calon, panitia pelaksana Pemilu, ikut serta dalam kampanye, berada didalam organisasi kePemiluan dan menjadi calon anggota legislatif.

Sekilas perilaku elektoral seperti ini menunjukkan kompleksitas yang diperankan oleh suatu Milisi tertentu dalam perilaku elektoralnya, demi memenangkan calon-calon yang diusungnya dalam Pemilu atau Pemilukada, mereka berusaha menunjukkan diri mulai dari memobilisasi masa menjadi penyelenggara Pemilu tim sukses sampai langsung menjadi calon legislatif hanya untuk membloking perolehan suara dalam perburuan suara dengan pihak lawan.

Perilaku elektoral lain yang diperlihatkan Milisi ini di desa Sidetapa yakni memanfaatkan anggotanya yang banyak tersebar diberbagai tempat di seluruh wilayah Bali, Milisi ini mengharapkan agar semua anggotanya yang berasal dari desa ini pulang dan kompak untuk memilih calon yang diusung oleh Milisi ini.

Penelitian kedua, mengangkat hasil penelitian yang dilakukan di Badung yakni relasi Ormas dan calon Kepala Daerah pada Pilkada Serentak 2015.

C. Kontestasi Makna Demokrasi : Oligarki Milisia?

Memaknakan relevansi keberadaan Milisi dan kontribusinya bagi perkembangan (atau bahkan kemunduran) demokrasi sangat kontestatif. Demokasi senantiasa mencari makna seiring perkembangannya pada tataran normatif prosedural maupun empirik. Hanya saja, saat negara, warga maupun kelompok diluar keduanya saling berinteraksi, maka salah satu alternatif gagasan yang perlu dipahami adalah memberi makna demokrasi pada bingkai paradigma teoritik analisa wacana (discourse analysis) hegemoni yang dikemukakan Laclau dan Mouffe. Bagi Laclau dan Mouffe, hegemoni merupakan praktik artikulasi yang membangun nodal points (titik temu sebuah rangkaian) yang secara parsial memperbaiki makna sosial pada sebuah sistem difference yang terorganisasi.8

Misalnya, memahami diskursus demokrasi yang sedang berjalan di Indonesia makna dominan yang menyertai adalah demokrasi di bawah kendali oligarki. Makna ini didasarkan pada proses artikulasi antar elemen yang berlangsung di dalamnya. Elemen pemaknaan Jeffry Winters didasarkan teori sumber kekuasaan yang memiliki rentangan pemeringkatan kuantum dari sangat sedikit (sangat tidak berpengaruh) hingga sangat besar (sangat berpengaruh). Pemeringkatannya adalah kekuasaan hak politik formal, kekuasaan posisi resmi (di dalam maupun di luar pemerintahan), kekuasaan koersif, kekuasaan mobilisional, dan kekuasaan material .9

8 Laclau, Ernesto & Mouffe, Chantal. Hegemony and Socialist Startegy. Towards a Radical Democratic Politics : Second Edition. P.175 serta lihat pula . Laclau, Ernesto. Democracy and The Question of Power. Constellations Volume 8, Number 1, 2001. P.8

(6)

Empat kekuasaan pertama, jika didistribusikan secara eksklusif dan terkonsentrasi merupakan basis politik elit. Sedangkan terakhir kekuasan material adalah basis bagi oligarki yang justru mendominasi wacana dalam perkembangan diskursus demokrasi kontemporer saat ini. Oligarki adalah aktor yang menjadi sangat berkuasa karena kekayaan.Tantangan bagi semua oligarki adalah membela diri terhadap ancaman dan mempertahankan kekayaan yang terkonsentrasi dan melakukan ancaman, sekaligus mengevaluasi sumber kekuasaan orang lain dalam bertindaknya. Saat artikulasi kekuasaan material ini dominan (ditinjau dari pengalaman berjalannya proses elektoral, pilpres, pileg maupun Pilkada) maka di konteks inilah momen nodal points demokrasi diisi (terkooptasi) oleh elemen oligarki dalam memaknai diskursus demokrasi di Indonesia.10

Konteks ini sangat berkaitan erat dengan keberadaan Ormas Milisi di Bali. Milisi menjadi tumpuan harapan bagi para politisi sebagai pendulang dukungan bagi suara. Begitu sebaliknya, politisi juga dijadikan tumpuan harapan kepastian akan masa depan para Ormas Milisi untuk mengartikulasikan kepentingannya. Kalaupun dipahami, mekanisme sistem politik David Easton maupun Gabriel Almond sebenarnya sudah berjalan sebagaimana mestinya.

Hanya saja, di saat melihat fenomena kemunculan Ormas-Ormas Milisi yang menjamur jelang proses elektorasi di tingkat lokal salah satunya melalui proses mimikri, maka sesuai perspektif sociological institusionalisme, penjelasaannya adalah kemunculan Ormas-Ormas baru, --yang diistilahkan terlalu prematur sebagai oligarki Milisia--, intinya ingin mengulang apa yang sudah diraih Ormas induk yang menaungi atau bahkan ditinggalkannya. Jadi kalaupun pertanyaannya apakah bermanfaat atau merugikan bagi demokrasi, keduanya serba terkontestasi.

Realitasnya berjalan pada perpektif historical institusionalism dengan path dependency-nya. Bahwa apa yang dilakukan oleh aktor-aktor yang ada pada saat ini merupakan cerminan yang ada di masa lalu. Hal ini sama ketika Benda mempersepsikan bahwa berkomentar soal baik buruknya demokrasi yang berjalan sekarang tidak pernah bisa dilepaskan dari realitas sejarah yang melingkupinya.11 Meminjam terminologi Benda, bangunan demokrasi Indonesia sangat dipengaruhi dan bergantung pada pengalaman historis yang dijalaninya. Dua konsep sejarah yang diyakini Benda yaitu realitas kekinian dan realitas lintasan sejarah yang dibekukan, dimandegkan, atau terdistorsi oleh pengalaman kolonialisme, sama-sama menentukan nasib demokrasi kita saat ini. Tidak hanya lupa pada sejarah harus dilawan, pun ingatan pada aksi vigilante menuai objek baru dalam memaknai demokrasi yang telah terbeli. Ormas Milisi di Bali telah membelah cell hidupnya. Misalnya Laskar Bali pecah menjadi dua (Baladika) yang kemudian proses mimikri menghasilkan anak kandung Pemuda Bali Bersatu.

1. Laskar Bali, Baladika dan Pemuda Bali Bersatu

Sejarah terbentuknya Laskar Bali/LB dimulai tahun 2001, Ormas ini sempat pecah kongsi dengan Baladika yang lahir lebih dahulu sebagai kelompok suka duka anak muda Bali pada tahun 70an. LB berbeda dengan Baladika yang fokus menjalankan bisnis pengamanan, jasa parkir dan hanya merekrut warga Bali saja (walaupun pemegang kekerasan atau tukang pukulnya berasal dari kelompok etnik

RoutledgeCurzon : London. P.191).

10 Lane, Max. 2017. Kuliah S3 DPP FISIPOL UGM September 2017 mengungkapkan ketidaksetujuan pandangan Winters, karena kekuasaan material merupakan achievement individu/ kelompok dan sudah menjadi gejala umum dalam praktek demokrasi di Indonesia. Jadi bagi Lane, oligarki dianggap belum mengisi nodal point demokrasi dan dirinya masih sangat meyakini meski perubahan politik di Indonesia secara historis, un-predict, namun nodal point demokrasi suatu saat segala bentuk perubahan masih berpusat pada perjuangan buruh yang saat ini masih berkutat pada masalah keprofesionalitasan kelembagaannya.

(7)

Flobamora atau Flores, Bajawa, Timor dan Alor ) tetapi hingga kini anggotanya mencapai 25 ribu orang. Berbeda dengan Baladika, LB oleh situs Rocketnews24 disitir Merdeka.com disebutkan sebagai salah satu geng berbahaya. Sekjen Laskar Bali, menyebut bahwa organisasinya legal dan terdaftar sebagai organisasi kemasyarakatan (Ormas) dan bukan gangster. Sebelum sampah visual kota Denpasar dibersihkan oleh Kapolda baru tahun 2016 lalu, wajah Sekjen LB ini sering menghiasi berbagai Baliho di seluruh kabupaten/kota se-Bali. Kata-kata sindiran ‘preman narsis’ sering terdengar dari mulut kaum tua atau tokoh masyarakat dan kaum terdidik di kota Denpasar. Figur pemimpin Ormas Milisi yang gemar menyanyi dan mengadakan berbagai pertunjukan musik,berdampak pada LB memiliki keanggotaan muda dan tua dari berbagai lapis suku, agama dan afiliasi profesi kelas Satpam hingga anggota Dewan Perwakilan Rakyat pada tingkat provinsi, kabupaten dan kota (lihat gambar).

Wawancara dengan Koordinator Wilayah/Korwil LB di suatu kawasan wisata cukup terkenal di Bali, yang bersangkutan mengundang dengan pesan singkat elektronik agar anggota hadir. Hanya dalam waktu lima menit beberapa anak buahnya berdatangan dengan kaos berwarna hitam, bunyi motor yang meraung dan sikap siaga untuk membentengi Korwil yang tengah diwawancarai itu. Nampak dalam sistem komando ini tata kelola organisasi dan gaya kepemimpinan sang Korwil sangat penting dalam membawahi dua Korlap/koordinator lapangan beranggotakan 350 orang milisi yang dijadikan pasukannya. Jumlah Korlap di Bali diatas 200an dan menjadi anggota LB harus melalui berbagai screening dan latihan, sehingga semua anggota bukan hanya memiliki KTA/Kartu Tanda Anggota tetapi ukiran segitiga tattoo di ruas tangan atas sebelah kiri atau kanan setelah masa screening terlalui dan dianggap sebagai anggota syah Ormas LB. Tatoo ini disimbolkan sebagai lambang persaudaraan menjaga Bali. Semua anggota Ormas Milisi memiliki atribut kesetiaan. LB menggunakan tattoo pada tangannya, Baladika mematangkan anggotanya dengan berbagai acara inisiasi begitu juga Pemuda Bali Bersatu maupun Sanur Bersatu yang lokasi utama Dewan Pimpinan Pusat/DPPnya berlokasi di wilayah kota Denpasar, Gianyar dan Badung yaitu wilayah ‘basah’ dari sudut pemasukan pariwisata.

(8)

diasuh lama oleh Puri Pemecutan di Denpasar (Diwpayana, 2005) serta yang bersangkutan pernah menjadi sekretaris ketua DPP Laskar Bali12. Ketua PBB telah memiliki massa di desanya dengan sistem arisan dan baju kaos seragamnya menguatkan anggota ranting PBB yang berprofesi lebih terdidik. Kebanyakan anggota PBB berprofesi pengacara hukum, dokter hingga doktor sebagai bidang garapan PBB. Setiap ranting kepengurusan bersinergi dengan cabang/PC yang bila berkumpul menurut ketua PBB mencapai 90.000 anggota.

2. Genealogi Internal Ormas dan Institusi Lain di Bali

Tahun 2018 ini peta percaturan pemilihan kepala daerah mengusung dua kutub kandidat gubenur dan wakil gubernur yang berbeda afiliasi yaitu calon dari warna dan kasta brahmana kota Denpasar serta warna dan kasta puri Gianyar, tepatnya dari Ubud. Kandidat ini sama kuatnya dan penetrasi ke tingkat nasional menorehkan luka korupsi mega proyek tingkat nasional yang terjadi saat salah satu kandidat gubernur Bali itu menjadi wakil rakyat di DPR. Kedua calon kuat Bali ini dalam keseharian berkontak rohani dengan seluruh komponen Ormas Milisi dan saling berkawan. Oleh sebab itu, kekerasan yang pernah terjadi antara Ormas Milisi di Bali seberapa sadisnya-pun mudah diselesaikan pada tingkat elit Ormas Milisi maupun pejabat kantor pemerintahan daerah serta wakil rakyat. Ini semua akibat pola asuh ‘hard power’ dan ‘soft power’ yang menjaga Bali. Walaupun pesan utama pihak kepolisian untuk premanisme di Bali harus tetap tiarap. Artinya Kepala Polisi Daerah/Kapolda yang menjabat sejak tahun 2016 telah berhasil melakukan tindakan tegas pada premanisme, pungutan liar dan penyalah-gunaan NAPZA (Narkotika, psikotropika dan zat adiktif) dalam koridor tugasnya. Namun perlu dijawab apakah penguatan demokrasi tengah berlangsung atau sebaliknya terjadi pelemahan demokrasi internal.

(9)

Walaupun demikian, Laskar Bali, Baladika serta kelompok milisi baru lainnya dengan genealogi internal yang berbeda misalnya sekelas Buldog terus berkembang yang menjadi bagian dari mimikri politik dalam kontestasi makna demokrasi di Bali. Penulis buku yang cukup berani, Bonnela, Kathryn (2009) menyebut persaingan dunia gemerlap Bali hingga hitamnya sel tahanan dalam bukunya tentang Lapas Kerobokan13 memberi bau tidak sedap pada gerakan Ormas Milisi di Bali. Proses mimikri politik Ormas masih berlanjut misalnya berlaku pula sebagai raket pengaman pada wilayah pariwisata ‘gedongan’ di Sanur. Kelompok baru ini menyebut diri sebagai Sanur Bersatu. Pentolan ‘griya’ atau keluarga brahmana di wilayah Sanur ikut memengaruhi perilaku Ormas Milisi yang lebih santun dan mendukung ekonomi pariwisata Bali saat bisnis ini terpuruk. Misalnya akhir tahun 2017 hingga kini, akibat dari erupsi gunung Agung yang masih menyisakan pertanyaan pada lambannya kedatangan kembali wisatawan ke Bali. Ormas Milisi yang telah ‘bertiarap’ itu memperlihatkan kedermawanan dengan bakti sosial ke tenda-tenda pengungian korban erupsi. Di wilayah Badung yang dikuasai oleh Ormas Milisi Baladika yang dalam Pilkada lalu telah memobilisasi hanya satu calon bupati terpilih. Di wilayah ini lahir kelompok baru bernama ‘Angker’ yang merupakan pelesetan dari Anak Kerobokan sebagai tandingan peristiwa di Lapas Kerobokan tahun 2016 lalu. Gambaran ini melengkapi mozaik ‘injustice electoral process’ yang melemahkan makna demokrasi akibat mengentalnya kekuatan Ormas Milisi dengan campur tangannya pada elektorasi lokal Bali yaitu Pemilukada dan Pilgub.

Penutup

Pemilukada dan pemilihan gubernur sebagai arena pemilihan calon kepala daerah dan wahana elektorasi lokal Bali sudah barang tentu didalamnya akan terjadi kontestasi yang sengit diantara aktor-aktor yang terlibat didalamnya. Program, rencana dan aksi tentunya telah dirancang oleh Ormas Milisi di Bali dalam event ini. Kontestasi pertama secara terang-terang milisi ini melakukan deklarasi dukungan kepada pasangan calon kepala daerah tertentu kemudian menyiapkan syarat sebagai pemilih, para anggota untuk saling menyebarkan dukungan sesama anggota, keluarga, tetangga dan kepada siapapun.

Melihat kedekatan antara calon kepala daerah yang diusung, dan garis komando yang dimiliki, serta pernyataan elit-elit Ormas Milisi yang dapat dipetakan, kontestasi atau perilaku milisi dapat dicatat beberapa hal yang menarik. Pada tahun 2015 sebagai contoh, dalam Pilkada wilayah Badung, Ormas Milisi telah berhasil melemahkan makna demokrasi tingkat lokal. Pertama, milisi mencalonkan anggotanya langsung sebagai calon kepala daerah, sehingga merasa berkewajiban untuk memenangkan calonnya. Menurut hemat mereka (milisi) kemenangan calonnya merupakan kemenangan milisi ini juga. Kedua, adanya garis komando yang keras mempertegas posisi milisi dalam pemilukada tingkat kabupaten itu memastikan berada pada pihak calon tunggal tersebut. Ketiga, solidnya dukungan yang diikuti oleh kuatnya garis komando yang dimulai dari atas, menyiratkan secara jelas bahwa kontestasi milisi ini dalam Pilkada serentak di Bali begitu jelas. Seluruh anggota dari milisi ini berdatangan dari pelosok Bali berjuang pernuh terhadap kemenangan calon yang diusungnya.

Mampukah Ormas Milisi di Bali diberantas? Mungkin tidak ada yang mampu melakukannya. Namun akselerasi menuju dasar hukum positif keOrmasan yang tidak kontradiktif di lapangan sangat dibutuhkan. Agar masa depan demokrasi di Bali masih terjaga dan kondusif sebagai destinasi pariwisata paling unggul di kawasan Asia.

DAFTAR PUSTAKA

(10)

Adian, Donny Gahral. Teori Militansi : Esai Esai Politik Radikal. (Depok : Penerbit Koekoesan; 2011).

Aspinal, Edward dan Mada Sukmajati. Politik Uang di Indonesia : Patronase dan Klientilisme pada Pemilu Legislatif 2014 (Yogyakarta : Polgov UGM; 2015).

Bungin, Burhan.. Metodelogi Penelitian Kualitatif. (Jakarta: Rajawali Press; 2001).

Dwipayana, Ari, AA GN Globalism Pergulatan Politik Representasi atas Bali. (Denpasar: Uluangkep Press; . 2005).

Faisal, Sanapiah. Format-format Penelitian Sosial, (Jakarta : Rajawali Press; 1992).

Forsyth, D.R.. An introduction to group dynamics. (California:Brooks/Cole Publishing Company; 1983).

Hefner. Robert W. Politik Multikultutalisme : Menggugat Realitas Kebangsaan. (Yogyakarta : Penerbit Kanisius; 2007).

Heywood, Andrew. Politik. (Yogyakarta : Pustaka Pelajar; 2013).

Jacky, M, Dr. Sosiologi Konsep Teori dan Metode. (Surabaya : Mitra Wacana Media; 2015).

Kurniawan, Nanang Indra, Globalisasi dan Negara Kesejahteraan. Perspektif Institusionalisme. (Yogyakarta: Lab. Jurusan Ilmu Pemerintahan UGM, 2009

Nordholt, Henk Schulte, Bali Benteng Terbuka : Otonomi Daerah, Demokrasi Elektoral dan Identitas Defensif (Denpasar: Putaka Larasan & KITLV Jakarta; . 2010).

Okamoto, dkk.

Kelompok kekerasan dan Bos Lokal di Era reformasi.

(Yogyakarta: IRE

Press; 2006).

Paskarina, Carolina.. Berebut Kontrol atas Kesejahteraan : Kasus Kasus Politisasi Demokrasi di Tingkat Lokal (Yogyakarta: Polgov UGM; 2015).

Roskin, Michael G. Pengantar Ilmu Politik. (Jakarta : Kencana Media; 2016).

Samadhi, Willy Purna. Blok Politik Kesejahteraan Merebut Kembali Demokrasi (Yogyakarta : : Polgov UGM ; . 2016).

Satriani, Septi. Dinamika Peran Elit Lokal Pasca Orde Baru (Banten : Mahara Publishing; 2015).

Situmorang, Abdul Wahab. Gerakan Sosial : Teori dan Praktik, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar; 2013).

Suryawan, I Ngurah. Sisi dibalik Bali Politik Identitas Kekerasan dan Interkoneksi Global. (Denpasar: Udayana University Press, 2012).

(11)

Jurnal :

Hasan, Yudha. 2012. Premanisme dan Politik Lokal Studi tentang Peran Blandhong dalam Politik Lokal di Kabupaten Blora yang termuat di .Journal of Politic and Government Studies Vol 1, No 1 tahun 2012.

Kurniawan, Iwan. Uang dan Massa, Jurnal Filsafat Driyarkara, Massa dan Kuasa Refleksi bersama Elias Canettti Th XXIX No.1 tahun 2007.

Santoso, Purwo. Demokrasi Terpimpin Wacana Refleksi Epistemik, Menolak Kemandegan, dalam Jurnal Prisma Jakarta : LP3ES, Edisi 1 Volume 36 Tahun 2017

Sjafri Sairin dan Irwan Abdullah, artikel “Tatanan Sosial: Sebuah Usulan Kerangka Analisis

Kekerasan Dari Kasus Amerika, Afrika, Dan Indonesia”. Jurnal Ilmiah Humaniora Volume 17, No. 1, Februari 2005

Skripsi :

Mastini, Komang. 2017. Partisipasi Politik Masyarakat Buleleng dalam Pemilukada Tahun 2016. Program Studi Ilmu Politik FISIP Unud : 2017

Prameswari. 2015. Penelitian Skripsi Studi Kasus Organisasi Masyarakat Laskar Bali dalam Pemilu Gubernur Tahun 2013 . http://journal.unair.ac.id/download-fullpapers-jpm3247d10b50full.pdf

Yulima, Permatasari. Faktor Figur Dalam Keterpilihan Anggota DPRD Studi Kasus: Keterpilihan Anggota DPRD Dari Partai Gerindra Kabupaten Klungkung Pada Pemilu 2014. Denpasar: Skripsi belum terpublikasikan, 2015

Surat Kabar dan Media Web :

Bali Tribune. 2015. Baladika Bali Deklarasi Relawan Giri-Asa. Diakses melalui

https://pilkadabali.com/index.php/read/2015/09/11/389/Baladika-Bali-Deklarasi-Relawan-GiriAsa.html pada 08 Januari 2018

Kuasa jalanan: Milisi dan Pilkada di Indonesia,

http://www.paramadina-pusad.or.id/publikasi/kuasa-jalanan-milisi-dan-politik-pilkada-di-indonesia.html

di Unduh

tanggal 4 Februari 2018

Harian Bali Post, 18 Desember 2015;4 Juni 2016; 24 Desember 2012;

Harian Radar Bali, 22 April 2016; 6 Mei 2016; 29 Januari 2013; dan

Harian Pos Bali, 23 Januari 2017

Kabarnusa.com 7 Mei 2017

Merdeka.com, 04 Februari 2018, https://www.merdeka.com/peristiwa/disebut-geng-kriminal-berbahaya-di-pulau-dewata-laskar-bali-berang.html

MetroBali.com dalam artikel Baladika Bali Dukung Penuh Giriyasa, tanggal 19 Oktober 2015

(12)

Sumber Foto Sampul :

http://www.boombastis.com/laskar-bali/85482

http://www.imgrum.org/user/halo.bali/13546311/1270898027981472758_13546311 http://kathrynbonella.com/books/snowing-in-bali/

Referensi

Dokumen terkait

dilakukan memerlukan biaya yang cukup besar, maka pengeluaran tersebut diperlakukan sebagai pengeluaran modal dan harus dikapitalisasi dengan menghapuskan harga perolehan

Pertumbuhan ekonomi di era globalisasi ditandai dengan semakin berkembangnya dunia usaha di segala bidang. Sehingga dalam hal ini menuntut adanya sistem pemasaran yang

pemahaman lingkungan Ekosentris berada pada kategori “sangat paham ”, hal tersebut dikarenakan pengunjung sangat memahami bahwa manusia adalah bagian dari ekosistem

Pembuatan dengan teknik tangan dapat terlihat dari adanya bekas jari-jari pada permukaan gerabah serta ketebalan yang tidak merata, teknik pijit dipadukan dengan tatap

Adalah keadaan perekonomian secara keseluruhan, dalam hal ini kondisi perekonomian secara umum dan kondisi pada sektor usaha debitur perlu untuk diteliti. Artinya bank

dilaksanakan oleh guru mata pelajaran matematika untuk mengatasi kesulitan belajar peserta didik dalam mencapai ketuntasan belajar matematika di SMP Negeri 1

Kecelakaan dapat ditekan dengan melakukan gerakan bertanggungjawab untuk membatasi prilaku beresiko dimulai dari manajemen , tenaga kerja dan organisasi..  Kesadaran

Untuk mempertahankan loyalitas konsumennya, maka suatu perusahaan harus mempertahankan image nya agar konsumen tetap loyal dan tidak berpindah operator seluler karena citra