• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN TERHADAP PENYALURAN KREDIT PERBAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "KAJIAN TERHADAP PENYALURAN KREDIT PERBAN"

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN TERHADAP PENYALURAN KREDIT PERBANKAN UNTUK USAHA KECIL DAN MENENGAH (UKM) DI SULAWESI SELATAN

Oleh:

Anas Iswanto Anwar

Fakultas Ekonomi Universitas Hasanuddin

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Penyaluran kredit usaha kecil acap kali menjadi perhatian utama lapisan

masyarakat dalam kaitan dengan paradigma percepatan dan pemerataan pembangunan

di Indonesia maupun di Sulawesi Selatan. Permasalahan yang sangat sering

mengemuka adalah kebutuhan dana/modal bagi para pengusaha kecil dan menengah

walaupun ini bukan satu-satunya masalah.

Pada masa pemulihan ekonomi permasalahan tersebut mulai bergeser dan

terfokuskan pada adanya gap atau jarak yang relatif besar antara jumlah dana pihak

ketiga (DPK) atau dana masyarakat yang dihimpun perbankan dibandingkan dengan

jumlah penyaluran dana dalam bentuk kredit kepada para pengusaha kecil. Asumsi

tersebut menunjukkan bahwa masyarakat mulai mengharapkan agar perbankan lebih

optimal menyalurkan kebutuhan kredit kepada usaha kecil.

Data perbankan menunjukkan bahwa besarnya penyaluran KUK terhadap total

kredit perbankan pada tahun 1999-2001 berkisar 44-64%, suatu rasio yang relatif cukup

besar walaupun telah terjadi penurunan pada tahun 2001 dibandingkan dengan tahun

2000. Berdasarkan kategori bank, data tersebut menunjukkan bahwa Bank Swasta

Nasional (BSN) telah menunjukkan kecenderungan peningkatan dalam menyalurkan

KUK di Sulsel. Namun dalam tiga tahun hanya mencapai 4-8% pertahun, masih di

bawah rasio !0%. Padahal BI menganjurkan agar sekurang-kurangnya 20% dimasukkan

ke dalam Business Plan perbankan sebagai rasio optimal KUK. Permasalahan apa yang

dihadapi oleh Bank Swasta nasional di Sulsel perlu dikaji lebih jauh. Sedangkan untuk

(2)

dikaji kembali apakah pemberian KUK sudah optimal untuk wilayah Sulsel jika

dibandingkan dengan populasi pengusaha kecil yang ada.

Selain dari rasio KUK, yang perlu pula dianalisis adalah rasio total pinjaman

terhadap total simpanan (loan to deposits ratio, LDR). Terjadi suatu peningkatan pada

tiga tahun terakhir dari 44% (1999) menjadi 58% (2001) dengan perkembangan yang

konstan pada tahun 2000. Data tersebut menunjukkan adanya hubungan yang signifikan

antara LDR terhadap rasio KUK namun yang perlu dikaji adalah apakah peningkatan

tersebut lebih banyak yang berasal dari KUK. Pada kelompok Bank Swasta Nasional

(BSN), LDR berkisar 15-38% dalam tiga tahun terakhir dengan kecenderungan

meningkat setiap tahunnya namun masih di bawah kelompok bank pemerintah dan

BPR. Dari rentang besaran LDR tersebut rasio KUK hanya 4-8% suatu indikator yang

dianggap rendah untuk mempercepat pengembangan potensi KUK di Sulsel. Diduga

adanya permasalahan yang bersifat struktural di tingkat kelompok bank dalam

menyalurkan kredit bagi UKM.

Sebaliknya pada kelompok BPR ternyata kelompok perbankan ini sangat efektif

dalam penyaluran kredit berskala kecil. Hal tersebut tercermin dari LDR yang mencapai

118-227%. Tingginya LDR mencerminkan tingginya permintaan kredit kecil dan mikro di

tingkat kecamatan serta adanya faktor kemudahan dalam pelayanan kredit yang

diberikan oleh BPR. Faktor ini yang mungkin dijadikan bahan komparasi bagi perbankan

yang memiliki rasio KUK/DPK relatif masih rendah. Yang juga akan dicoba diteliti adalah

bagaimana peran dan kinerja kelompok perbankan syariah dalam penyaluran KUK.

Dari uraian diatas, maka dapat dirumuskan bahwa masih terdapat

kendala-kendala yang bersifat struktural maupun non-struktural yang berada pada tingkat

internal maupun eksternal perbankan dalam penyaluran KUK di Sulsel. Padahal bila

dana pihak ketiga (DPK) Sulsel yang terhimpun cukup besar disalurkan kembali dalam

bentuk kredit (sebagai bagian dari peranan bank sebagai lembaga perantara keuangan)

akan menyebabkan peningkatan rasio KUK/DPK atau perbandingan antara total

penyaluran KUK terhadap total dana pihak ketiga/masyarakat. Bukankah KUK/DPK

dapat mengindikasikan optimalisasi penggunaan dana simpanan masyarakat lokal bagi

upaya pengembangan usaha kecil di Sulsel. Pada bank-bank milik pemerintah

(3)

itu berarti lebih banyak dana masyarakat ditarik dari Sulsel dibanding jumlah yang

disalurkan kembali di Sulsel.

Hal inilah yang merupakan bagian dari permasalahan strategi penyaluran kredit

perbankan untuk usaha kecil. Walaupun penyaluran KUK tetap berjalan namun masih

perlu ditingkatkan dan ditangani lebih maksimal.

1.2. Pertanyaan Penelitian

1). Apa strategi percepatan bagi pemerintah maupun perbankan dalam

mengefektifkan/mengoptimalkan pengembangan UKM melalui penyaluran KUK?

2). Apa permasalahan yang menjadi pembatas (limitation) dari sisi bank maupun

pengusaha UKM dalam mekanisme penyaluran KUK?

3). Bagaimana kualitas KUK dibandingkan dengan non-KUK untuk masing-masing

kelompok bank?

4). Adakah rasio kredit perbankan selain LDR yang dapat menjawab keinginan

masyarakat terhadap efektivitas pengembangan UKM?

5). Berapa rasio optimal KUK regional jika dibandingkan dengan potensi UKM yang

ada di Sulsel?

6). Berapa rasio KUK perbankan (BUMN, BUSN, dan BPR) terhadap besarnya dana

pihak ketiga (DPK)

1.3. Maksud dan Tujuan

1). Mendeskripsikan peta penyaluran kredit perbankan kepada UKM di Sulsel dan

memformulasikan batasan/indikator optimal penyaluran kredit UKM.

2). Mengkaji beberapa faktor pembatas penyaluran kredit UKM dari sisi suplai

(perbankan) dan sisi permintaan (pengusaha kecil dan menengah)

3). Menyusun formula dan rasio optimal KUK regional berdasarkan skala setiap

kabupaten.

4). Menyusun rekomendasi sebagai bagian dari strategi dalam pengembangan UKM

kepada pemerintah, perbankan dan pihak-pihak yang terkait.

Dari tujuan tersebut diatas, maka keluaran (outputs) yang akan dicapai dari

penelitian ini adalah :

(4)

a. Faktor pembatas internal dan eksternal dari bank dan pengusaha UKM

b. Kualitas kredit KUK dan non KUK

c. Besarnya populasi UKM

d. Sumber permodalan UKM

e. Akses terhadap kredit perbankan

f. Frekuensi pengajuan dan alasan penolakan kredit

g. Overhead cost berdasarkan besaran kredit

2. Output 2 (Kajian Deskriptif)

a. Jumlah rekening nasabah bank

b. Klasifikasi besaran kredit : pengusaha besar, kecil dan mikro

c. Data kredit besar, kecil dan mikro

d. Volume kredit : plafon dan baki debet

3. Output 3 (Kajian Deskriptif)

a. LDR kantor Bank per kelompok bank / kabupaten

b. Rasio optimal KUK regional dan kabupaten (KUK regional dan kabupaten)

c. KUK dibandingkan dana pihak ketiga per kelompok bank / kabupaten (KUK/DPK)

d. Rasio plafon kredit UKM terhadap baki kredit

4. Output 4 (Kajian Kausal, Uji korelasi)

a. Golongan pengusaha dan sektor usaha terhadap kualitas kredit

b. Besar populasi UKM kabupaten terhadap LDR dan KUK/DPK perbankan

c. Frekuensi pengajuan kredit terhadap penolakan dan alasan penolakan

d. Besarnya kredit terhadap overhead cost

(5)

BAB II. METODOLOGI PENELITIAN

2.1. Arah Penelitian

Penelitian ini diarahkan pada penelitian eksploratif dan deskriptif yang

dikombinasikan dengan kausal :

a) Penilaian eksploratif; diarahkan untuk memperoleh gambaran umum tentang permasalahan penyaluran kredit perbankan di Sulsel baik dari sisi

bank (kreditur) maupun pengusaha UKM (debitur dan calon debitur).

b) Penelitian deskriptif; diarahkan untuk menjawab bagaimana peta penyaluran kredit perbankan bagi UKM di Sulsel.

c) Penelitian kausal; diarahkan untuk menjawab korelasi antara berbagai variabel dan pengaruhnya terhadap penyaluran kredit perbankan untuk UKM

di Sulsel.

2.2. Unit Analisis Penelitian

Dibagi dalam tiga unit analisis penelitian, yaitu :

a) Kelompok bank; bank umum (BUMN, BSN, BPD), BPR, dan Bank

Syariah.

b) Kelompok pengusaha; besar, kecil, dan mikro tercatat sebagai debitur

bank salah satu bank atau bukan nasabah salah satu bank.

c) Kelompok sektor ekonomi/usaha; formal dan informal, riil (manufaktur dan

jasa).

2.3. Batasan Masalah Penelitian

Unit analisis penelitian diarahkan pada batasan tertentu agar terfokus dalam

implementasi dan penyusunan kesimpulan. Batasan unit analisis penelitian adalah

sebagai berikut :

1). Kelompok Bank

a. Bank Umum, semua bank umum yang ada di Sulsel dengan kantor pusat

di Makassar maupun di luar Makassar. Kategori bank mencakup Bank

Umum Pemerintah (BUMN), Bank Swasta Nasional (BSN), serta Bank

(6)

b. BPR, semua bank Perkreditan Rakyat yang berada di wilayah

operasional Sulawesi Selatan.

c. Bank Syariah, semua Bank Syariah yang berada di wilayah operasional

Sulawesi Selatan.

2). Kelompok Pengusaha (SE Bank Indonesia No. 3/15/INTERN tanggal 14 Juni

2002)

a. Pengusaha Besar, semua pengusaha yang telah melewati batasan usaha

kecil, yakni aset bersih lebih dari Rp. 200 juta (tidak termasuk tanah dan

bangunan) atau omset penjualan tahunan lebih dari Rp. 1 milyar.

b. Pengusaha Kecil, semua pengusaha yang memiliki aset bersih

maksimum Rp. 200 juta (tidak termasuk tanah dan bangunan) atau omset

penjualan tahunan maksimum Rp. 1 milyar.

c. Pengusaha mikro, semua pengusaha yang bersifat informal dengan total

aset tidak lebih dari Rp. 25 juta (tidak termasuk tanah dan bangunan).

3). Kelompok Sektor Ekonomi/usaha

a). Jenis Badan Hukum Usaha

§ Usaha Formal, semua usaha atau sektor ekonomi yang memiliki badan hukum dan tercatat dalam lembaran negara berbentuk:

CV, PT, Koperasi dan sebagainya.

§ Usaha Informal, semua usaha atau sektor ekonomi yang tidak memiliki badan hukum dan tidak tercatat dalam lembaran negara,

berbentuk: perorangan, kelompok, dan sebagainya.

b). Jenis Usaha

§ Usaha manufaktur, semua jenis usaha produktif menghasilkan barang bila ditransaksikan, dan dicirikan dengan adanya produk

yang dapat dihasilkan, dilihat, dan dipegang.

§ Usaha Jasa, semua jenis usaha produktif menawarkan atau menghasilkan jasa bila dicirikan tidak adanya produk yang dapat

dihasilkan, dilihat dan dipegang kecuali setelah transaksi.

2.4. Dimensi Waktu Penelitian

Penelitian ini menganalisa dimensi waktu melalui dua pendekatan:

a. Penelitian lintas seksi (cross sectional), data primer hasil wawancara pada tahun

(7)

b. Perbandingan antar tahun; dimensi waktu penelitian dengan membandingkan

tahun sebelum krisis ekonomi (1993-1996) dan sesudah krisis (1997-2002).

Perbandingan data series hanya diperuntukkan pada variabel penelitian tertentu

(LDR, KUK/DPK).

2.5. Metode Sampling

Populasi penelitian ini adalah :

a. Semua Bank Umum Pemerintah, Bank Swasta Nasional, Bank

Pembangunan Daerah, Bank Perkreditan Rakyat, sebanyak 336 kantor,

serta Bank Syariah sebanyak 3 kantor yang beroperasi pada 24

kabupaten/kota di Propinsi Sulawesi Selatan.

b. Semua pengusaha besar, kecil, dan mikro yang beroperasi pada 24

kabupaten/kota di Propinsi Sulawesi Selatan.

Oleh karena lokasi kantor semua populasi menyebar pada beberapa

kabupaten/kota, maka ditetapkan sampel dengan menggunakan metode cluster

proportional sampling, dengan kriteria sebagai berikut :

a. Seluruh kantor cabang dan kantor cabang pembantu bank di kota Makassar

dijadikan sampel dengan alasan untuk menjaga keterwakilan semua bank

yang beroperasi di Ibu kota Propinsi Sulawesi Selatan.

b. Kabupaten/kota di luar Kota Makassar, dipilih secara purposive dengan

mempertimbangkan besarnya dana yang dihimpun dari masyarakat (DPK)

dan status kantor bank.

c. Berdasar butir 2 diatas, dipilih masing-masing satu kantor cabang/kantor

cabang pembantu BUMN, BSN, dan BPD untuk 15 kabupaten/kota di luar

kota Makassar.

d. Semua BPR dan Bank Syariah yang beroperasi pada kabupaten/kota

dijadikan sampel.

2.6. Metode Pengumpulan Data 1. Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan dua metode dalam pengumpulan data, yaitu:

a. Data sekunder, melalui data perbankan yang terdapat pada Bank

(8)

b. Data primer, melalui wawancara langsung pada unit analisis dengan

menggunakan kuesioner yang telah disusun secara khusus

berdasarkan tujuan dan outputs penelitian.

c. Untuk melengkapi informasi wawancara juga dilakukan terhadap

beberapa pejabat instansi terkait (Pemda dan Dinas Koperasi dan

UKM).

2. Penentuan Daerah Penelitian dan Contoh Responden

a. Penentuan Daerah Penelitian

Yang dimaksud dengan daerah penelitian adalah Kota/kabupaten

yang dijadikan lokasi pengambilan sampel baik untuk bank maupun

untuk UKM. Dari 27 Kota/kabupaten di Propinsi Sulawesi Selatan,

maka 15 kota/kabupaten merupakan daerah penelitian dan 12

kota/kabupaten lainnya bukan daerah penelitian. Daerah penelitian

tersebut meliputi: Kota Makassar, Kabupaten Maros, Kabupaten

Pangkep, Kabupaten Bantaeng, Kabupaten Bulukumba, Kabupaten

Sinjai, Kabupaten Barru, Kota Pare-Pare, Kabupaten Sidrap,

Kabupaten Bone, Kabupaten Wajo, Kabupaten Pinrang, Kabupaten

Polmas, Kabupaten Tana Toraja, dan Kota Palopo.

b. Pengambilan, Penentuan Jumlah dan Alokasi Responden Bank dan

UKM

Sampel untuk bank yang dipilih sebagai responden adalah BUMN,

BSN, Bank Syariah, dan BPR. Sedangkan sampel untuk UKM yang

dipilih sebagai responden adalah terdiri dari pengusaha yang

melakukan kegiatan usaha di berbagai sektor bidang ekonomi di

daerah penelitian. Jumlah sampel responden UKM ditentukan

berdasarkan beberapa pertimbangan:

1. Untuk Bank, pertimbangannya adalah adanya lembaga

perbankan baik yang BUMN, BSN, Bank Syariah, dan BPR.

2. Untuk UKM, pertimbangannya adalah pengusaha besar, kecil,

dan mikro, dengan jenis usaha manufaktur dan jasa.

3. Setelah diperoleh alokasi jumlah responden, maka dilakukan

penyesuaian agar penyebaran responden tidak bervariasi terlalu

(9)

4. Pengurangan jumlah responden yang terlalu besar dimaksudkan

untuk menghindari kemubaziran data, sedangkan penambahan

responden yang terlalu kecil dimaksudkan untuk menghindari

nilai ekstrim dan untuk memungkinkan melakukan analisis data

secara maksimal.

2.7. Alat Analisis

Alat analisis dalam kajian penelitian ini menggunakan uji statistik yang sesuai

dan akan ditentukan berdarkan variabel yang disusun dalam kerangka konseptual

(conceptual frameworks), dengan menggunakan :

1. Analisis Regresi

(10)

BAB III. HASIL PENELITIAN

3.1. Kajian Eksploratif

A. Faktor Pembatas (Limitation) Internal UKM atau Eksternal Bank

Faktor pembatas internal UKM merupakan unsur-unsur yang menjadi kendala

internal yang berkaitan dengan proses pengajuan aplikasi kredit kepada perbankan.

sedang faktor pembatas eksternal bank merupakan unsur-unsur yang menjadi kendala

eksternal bagi bank yang berkaitan dengan proses pemberian persetujuan kredit oleh

perbankan kepada UKM. Dalam penelitian ini, apabila populasi UKM didasarkan pada

besarnya omset usaha sampai dengan Rp 499 juta, maka berdasarkan data pada BPS

Propinsi Sulawesi Selatan tahun 1996, maka besarnya populasi UKM adalah sebanyak

587.174 usaha atau 99,51% dari seluruh jumlah usaha yang ada di propinsi Sulawesi

Selatan pada Tahun 1996. Dalam penelitian ini, jumlah UKM yang dijadikan sampel

sebanyak 352 UKM (0,06% dari populasi) yang diharap-kan merupakan representasi

dari populasi UKM yang tersebar pada beberapa kabupaten di propinsi Sulawesi

Serlatan.

Untuk kajian eksploratif mengenai faktor pembatas internal UKM atau faktor

pembatas eksternal bank diperoleh sebanyak 284 (80,68%) responden UKM yang

memberikan pernyataan atas perlu tidaknya suatu UKM berstatus badan hukum. Hasil

jawaban responden UKM relatif berimbang antara yang setuju dan tidak setuju terhadap

keharusan suatu UKM berbadan hukum. Dilain pihak, juga terdapat sebanyak 48

(78,69%) responden bank memberikan respon tentang perlu tidaknya suatu UKM

berbadan hukum.

Responden UKM dan perbankan relatif berpendapat sama bahwa UKM tidak

perlu berbadan hukum. Hasil terse-but menunjukkan, bahwa status badan hukum bukan

merupakan kendala inter-nal UKM atau kendala eksternal perbankan. Hal ini mungkin

disebabkan oleh pengalaman perbankan dalam hal menerima usulan permohonan kredit

dari UKM yang umumnya tidak berbadan hukum. Responden UKM tidak

mengemu-kakan alasan mengapa UKM seharusnya berbadan hukum, sedangkan respon-den

UKM yang menyatakan UKM tidak perlu berbadan hukum mengemukakan alasan,

sebagai berikut (responden memilih lebih dari satu pilihan jawaban):

• kesinambungan usaha tidak pasti sebanyak 18,24%,

(11)

• pengelolaan usaha dilakukan oleh keluarga sebanyak 45,91%, dan

• aktiva usaha relatif kecil sebanyak 11,95%.

Hasil tersebut di atas menunjukkan bahwa UKM pada umumnya masih dikelola secara

kekeluargaan sehingga UKM tidak perlu berbadan hukum. Responden perbankan yang

mengemukakan bahwa alasan perlunya legalitas usaha UKM karena merupakan salah

satu syarat atau kriteria bagi UKM apabila mengajukan usulan permohonan kredit

kepada bank. Apabila UKM harus ber-badan hukum, maka bentuk badan hukum yang

sebaiknya bagi UKM menurut responden perbankan.

Jika status badan hukum disyaratkan bagi suatu UKM, maka sebanyak 41,05%

responden perbankan menyatakan bentuk badan hukum yang sebaiknya bagi usaha

kecil dalam bentuk usaha perseorangan, sedangkan bentuk badan hukum yang

sebaiknya bagi usaha mikro sebanyak 48,48% responden perbankan menyatakan

dalam bentuk usaha perseorangan dan 39,39% yang menyatakan dalam bentuk usaha

koperasi. Untuk usaha menengah, sebanyak 29,13% responden perbankan menyatakan

bentuk badan hukum yang sebaiknya adalah perseroan tertutup. Responden perbankan

juga mengemukakan bahwa jika UKM tidak harus berbadan hukum, maka UKM tersebut

sebaiknya dalam bentuk usaha.

Badan usaha perseorangan merupakan bentuk usaha yang lebih tepat bagi UKM

sebagaimana pernyataan yang diberikan oleh 31 (49,21%) responden perbankan. UKM

sebaiknya merupakan usaha perseorangan meskipun UKM disyaratkan harus berbadan

hukum atau tidak harus berbadan hukum.

Laporan Keuangan UKM juga merupakan faktor pembatas internal UKM atau

pembatas eksternal perbankan. Hal tersebut ditunjukkan dalam hasil penelitian ini,

bahwa hanya sebanyak 94 (26,70%) responden UKM yang sadar akan pentingnya

menyusun laporan keuangan. Dalam penyusunan laporan keuangan UKM, sebanyak:

• 75,53% responden UKM yang menyatakan membuatnya sendiri,

• 15,96% dibuat oleh keluarga,

• 2,13% dibuat oleh Jasa Konsultan Manajemen,

• 3,19% dibuat oleh Kantor Akuntan Publik, dan

• 3,19% dibuat oleh karyawan Bank.

Hasil di atas menunjukkan rendahnya kesadaran UKM terhadap perlunya

laporan keuangan dibuat sebagai gambaran dari posisi kekayaan dan hasil ke-giatan

UKM. Besarnya persentase (75,53%) responden UKM yang menyatakan bahwa mereka

(12)

bersangkutan kesulitan dana yang berkaitan dengan penyusunan laporan keuangan

oleh pihak lain, dan UKM yang bersangkutan tidak menghendaki informasi dalam

laporan keuangannya diketahui oleh pihak lain.

Alasan yang dikemukakan oleh responden UKM yang tidak menyusun laporan

keuangannya, karena:

• tidak mengetahui cara menyusun laporan keuangan sebanyak 18,18%,

• responden mengerti cara menyusun laporan keuangan tetapi laporan keuangan

tidak diperlukan oleh responden sebanyak 24,24%,

• tidak ada staf/karyawan yang mampu menyusun laporan keuangan sebanyak

21,21%,

• catatan administrasi keuangan tidak ada sebanyak 6,07%,

• catatan administrasi keuangan tidak lengkap sebanyak 19,19%, dan

• responden UKM tidak mengetahui pentingnya Laporan Keuangan sebanyak

11,11%.

B. Faktor Pembatas (Limitation) Eksternal UKM atau Internal bank

Dalam penelitian ini, faktor pembatas eksternal UKM atau internal bank antara

lain; alasan persetujuan kredit atas usulan yang diajukan oleh UKM, jumlah kredit, dan

besarnya kredit yang ada dalam kewenangan pemimpin bank pada suatu

daerah/wilayah.

Menurut responden UKM, alasan pihak bank menyetujui suatu usulan kredit yang

diajukan oleh UKM, pada umumnya (47,91%) responden UKM berpendapat bahwa

usulan kredit yang diajukan oleh UKM disetujui pihak bank karena merupakan kebijakan

bank pelaksana. Hal tersebut mungkin disebabkan karena adanya tuntutan dari

masyarakat (18,56%) sebagai proksi dari UKM, sehingga suatu usulan kredit disetujui

oleh pihak bank.

Selanjutnya, responden UKM mengemukakan bahwa jumlah kredit yang

selayaknya bagi suatu UKM, sebanyak 33 (19,30%) responden UKM yang menyatakan

bahwa usaha kecil dan mikro membutuhkan dana kredit yang berkisar antara lebih dari

Rp 50.000.000 sampai dengan Rp 100.000.000. sedangkan sebanyak 32 (18,71%)

responden UKM yang menyatakan bahwa usaha menengah membutuhkan dana kredit

yang lebih dari Rp 300.000.000.

Faktor pembatas eksternal lainnya bagi UKM atau faktor pembatas internal lainnya

(13)

sebaiknya ada dalam kewenangan pimpinan kantor bank. Responden UKM

mengemukakan tentang jumlah kredit tersebut.

Kantor cabang bank me-rupakan pilihan yang paling dominan (54,80%)

diharapkan oleh para responden UKM agar dapat memiliki kewenangan dalam

memutuskan besaran kredit yang disalurkan kepada UKM sampai dengan Rp

500.000.000, sedangkan 35,71% responden UKM menyatakan untuk jumlah kredit yang

lebih dari Rp 500.000.000 sampai dengan Rp 2.500.000.000 kewenangan sebaiknya

berada pada kantor wilayah dan 47,37% responden UKM menyatakan bahwa untuk

jumlah lebih dari Rp 2.500.000.000 kewenangan sebaiknya berada pada kantor pusat.

Hasil terse-but di atas menunjukkan bahwa kantor cabang bank diharapkan memiliki

peran yang lebih besar dalam hal pengambilan keputusan yang berkaitan dengan

jum-lah kredit yang disalurkan kepada UKM.

C. Kualitas KUK dan Non-KUK

Rata-rata kualitas kredit KUK dari tahun 1993 – 2001 menurut kategori bank.

Berdasarkan data yang disajikan, rata-rata kualitas kredit KUK yang lancar sebesar

86,67% dari rata-rata total kredit selama periode tahun 1993 – 2001, dengan proporsi

terbesar berada pada BUMN yakni 68,88%, sedangkan sisanya terbagi pada BSN, BPD,

dan BPR. Dalam kurun waktu yang sama, rata-rata KUK yang macet sebesar 5,94%

dari rata-rata total KUK dengan pro-porsi yang terbesar juga berada pada BUMN yakni

5,38%.

Sebagaimana halnya rata-rata kualitas kredit KUK, maka kualitas kredit non-KUK

juga menunjukkan hasil yang sama dengan kualitas kredit KUK. Rata-rata kualitas kredit

non-KUK dari tahun 1993 – 2001 menurut kategori bank, menunjukkan bahwa rata-rata

kualitas kredit non-KUK yang lancar sebesar 93,54% dari rata-rata total kredit selama

periode tahun 1993 – 2001, dengan proporsi terbesar berada pada BUMN yakni

54,84%, sedangkan sisanya terbagi pada BSN, BPD, dan BPR dengan pproporsi yang

terbesar pada BPD yakni 28,73%. Dalam kurun waktu yang sama, rata-rata non-KUK

yang macet relatif lebih kecil dari rata-rata KUK yakni 1, 29% dari rata-rata total

non-KUK.

Menurut responden perbankan, kualitas kredit menurut sektor usaha

menunjukkan bahwa kualitas kredit sektor usaha pertam-bangan dan jasa-jasa sosial

masyarakat yang berstatus lancar sebesar 100% untuk posisi akhir tahun 2001. Hasil

(14)

(1,64%) responden bank untuk sektor usaha pertambangan dan 7 (11,48%) responden

bank untuk sektor usaha jasa-jasa sosial masyarakat dari 61 kantor bank yang menjadi

sampel. Untuk sektor usaha pengangkutan dan pergudangan memiliki kualitas kredit

yang macet sebesar 14,29% demikian pula pada sektor usaha pertanian memiliki kredit

yang berstatus macet sebesar 9,87% dari seluruh kredit yang disalurkan pada

masing-masing sektor tersebut untuk posisi akhir tahun 2001.

D. Populasi UKM

Populasi UKM pada penelitian ini didasarkan pada data yang diperoleh dari

Kantor Biro Pusat Statistik Propinsi Sulawesi Selatan, hasil sensus ekonomi pada tahun

1996, menunjukkan bahwa jika didasarkan pada besarnya omset penjualan, maka

jumlah UKM yang terbesar yakni 94,97% adalah UKM yang memiliki omset penjualan

sampai dengan Rp 49.000.000 dan dari jumlah tersebut, sebesar 87,07% UKM yang

memiliki omset penjualan lebih kecil dari Rp 25.000.000.

E. Sumber Permodalan UKM

Pada umumnya, modal UKM diperoleh dari berbagai sumber, pada umumnya

bersumber dari kelompok BUMN (35,43%) dan BPD (30,86%). Hasil tersebut

menunjukkan bah-wa keterlibatan BSN dalam menyalurkan kredit kepada UKM belum

memadai (26,86%). Besarnya peran BUMN dalam pemberian modal kepada UKM

mung-kin disebabkan oleh peran salah satu BUMN yakni PT Bank Rakyat Indonesia dan

demikian pula halnya dengan BPD yang sampai dengan saat ini telah hampir merata

keberadaannya disemua kabupaten/kota di propinsi Sulawesi Selatan.

F. Akses Terhadap Kredit Perbankan

Responden UKM pada umumnya menyatakan bahwa mereka tidak pernah

berpindah bank sebanyak 151 (71,90%) responden, sedangkan 59 (29,10%) responden

UKM lainnya menyatakan bahwa mereka pernah berpindah bank. Bagi responden UKM

yang pernah berpindah bank menyatakan bahwa frekuensi berpindah bank sebanyak

satu kali 26 (63,41%) responden, dua kali 6 (14,63%) responden, tiga kali 4 (9,76%)

responden, dan lebih dari tiga kali sebanyak 5 (12,20%) responden. Bentuk perpindahan

responden UKM dari suatu bank ke bank lain menurut kategori bank, menunjukkan

bahwa hanya 40 (11,36%) responden UKM yang pernah berpindah kategori bank dan

(15)

berpindah dari BUMN ke BSN sebanyak 27,50% dan berpindah dari BUMN ke BUMN

seba-nyak 25%. Alasan responden UKM berpindah bank karena:

§ bank yang terakhir bersedia melakukan take over kredit sebanyak 1 (2,38%) responden,

§ layanan bank yang terakhir relatif lebih baik sebanyak 13 (30,95%) responden, § lokasi bank terakhir mudah dijangkau sebanyak 4 (9,52%) responden,

§ prosedur administrasi bank terakhir tidak rumit 14 (33,33%) responden, § ajakan kolega usaha sebanyak 2 (4,76%) responden,

§ sektor usaha UKM sesuai dengan core bisnis bank terakhir sebanyak 3 (7,15%) responden, dan

§ bank yang terakhir bersedia meningkatkan limit kredit sebanyak 5 (11,91%) responden.

Berdasarkan alasan yang dikemukakan oleh responden UKM di atas

menunjuk-kan bahwa prosedur administrasi (33,33%) dan layanan yang diberimenunjuk-kan (30,95%) oleh

suatu bank merupakan alasan yang cukup dominan bagi responden UKM untuk

berpindah bank.

G. Frekuensi Pengajuan Kredit dan Alasan Penolakan Kredit

Apabila usulan/proposal kredit yang diajukan oleh UKM ditolak oleh bank,

maka alasan penolakan usulan kredit tersebut diberitahukan oleh bank kepada

responden sebanyak 14 responden, sedangkan 4 responden menya-takan bahwa bank

tidak memberitahukan alasan penolakan atas usulan kredit yang diajukan oleh UKM.

Hanya sebanyak 15 (4,26%) responden yang memberikan komentar terhadap

pernyataan mengenai rentang waktu pemberitahuan kepada UKM atas penolakan bank

terhadap usulan kredit, yakni:

• 5 (29,41%) responden menyatakan kurang dari 1 minggu,

• 7 (41,18%) responden menyatakan 1 minggu sampai dengan kurang dari 1

bulan,

• 4 (23,53%) responden menyatakan 1 bulan sampai dengan kurang dari 3 bulan,

dan

• 1 (5,88%) responden yang menyatakan lebih dari 6 bulan.

Hasil tersebut di atas, menunjukkan bahwa umumnya responden UKM meneri-ma

pemberitahuan dari bank tentang penolakan bank atas usulan kredit tidak lebih dari 1

(16)

Oleh karena itu, apabila UKM menerima pemberitahuan dari bank tentang penolakan

atas usulan kredit dari UKM, maka upaya yang dilakukan oleh UKM adalah;

• mencari bank lain sebanyak 7 (24,14%) responden,

• memperbaiki usulan kredit kemudian mengajukannya kepada bank yang sama

17 (58,62%) responden,

• tidak mau berhubungan lagi dengan bank 1 (3,45%) responden, dan

• mencari sumber dana dari lembaga bukan bank 4 (13,79%) responden.

Hasil tersebut di atas menunjukkan bahwa umumnya responden UKM

memper-baiki usulan kredit yang ditolak oleh bank kemudian mengajukannya kembali kepada

bank yang sama.

Terhadap pernyataan mengenai usulan kredit yang diajukan oleh responden

UKM menurut jenis penggunaannya mendapat respon yang relatif besar dari responden

UKM yakni sebesar 223 (63,35%) responden. Menurut responden UKM usulan kredit

yang diajukan, adalah untuk digunakan sebagai:

• Modal Kerja sebanyak 187 (83,86%) responden, dan

• Investasi sebanyak 36 (16,14%) responden.

Selanjutnya, realisasi kredit menurut jenis penggunaannya yang disetujui bank, adalah

untuk:

§ Modal Kerja sebanyak 179 (84,43%) responden, dan § Investasi sebanyak 33 (15,57%) responden.

Responden UKM mengemukakan bahwa frekuensi pengajuan kredit kepada

bank sebanyak:

• satu kali 184 (88,89%) responden,

• dua kali 16 (7,73%) responden,

• tiga kali 3 (1,45%) responden, dan

• lebih dari tiga kali sebanyak 4 (1,93%) responden.

Hasil tersebut di atas, menunjukkan bahwa umumnya (88,89%) responden UKM

mengajukan usulan kredit kepada bank hanya sebanyak 1 (satu) kali.

Oleh karena frekuensi pengajuan kredit tersebut dapat berulangkali, sehingga

rentang waktu antara aplikasi suatu usulan dengan aplikasi usulan berikutnya (setelah

aplikasi usulan diperbaiki) kepada bank sebanyak:

• 99 responden (48,53%) menyatakan sampai dengan 1 bulan,

(17)

• 9 responden (4,41%) menyatakan lebih dari 3 bulan sampai dengan 6 bulan,

• 21 responden (10,29%) menyatakan lebih dari 6 bulan sampai dengan 12 bulan,

dan

• 36 responden (17,65%) menyatakan lebih dari 12 bulan.

Hasil di atas menunjukkan bahwa rentang waktu antara aplikasi suatu usulan

kredit dengan aplikasi usulan kredit berikutnya umumnya sampai dengan 1 (satu) bulan.

Rentang waktu antara aplikasi usulan dengan persetujuan perjanjian kredit oleh

Bank, sebanyak:

• 48 responden (23,65%) menyatakan kurang dari 1 minggu,

• 129 responden (63,55%) menyatakan antara 1 minggu sampai dengan 1 bulan,

• 22 responden (10,84%) menyatakan lebih dari 1 bulan sampai dengan 3 bulan,

• 2 responden (0,98%) menyatakan lebih dari 3 bulan sampai dengan 6 bulan,

• 2 responden (0,98%) menyatakan lebih dari 6 bulan.

Hasil di atas menunjukkan bahwa umumnya (63,55%) responden UKM

menya-takan bahwa rentang waktu antara aplikasi usulan dengan persetujuan perjanjian kredit

oleh bank sampai dengan 1 (satu) bulan.

Rentang waktu sejak persetujuan kredit dengan realisasi dana oleh bank kepada

UKM, sebanyak:

• 133 responden (62,47%) menyatakan kurang dari 1 minggu,

• 71 responden (33,49%) menyatakan antara 1 minggu sampai dengan 1 bulan,

• 7 responden (3,30%) menyatakan lebih dari 1 bulan sampai dengan 3 bulan,

• 1 responden (0,47%) yang menyatakan lebih dari 6 bulan.

Hasil di atas menyatakan bahwa umumnya (62,47%) responden UKM memerlukan

rentang waktu kurang dari 1 minggu sejak persetujuan kredit dengan realisasi dana oleh

bank kepada UKM

Menurut responden UKM alasan bank menolak usulan kredit dari UKM karena;

• 109 responden (30,96%) menyatakan karena usahanya tidak termasuk dalam

sektor usaha yang dapat dibiayai oleh bank,

• 96 responden (27,27%) menyatakan karena jaminan kredit tidak dapat dipenuhi.

• 37 responden (10,51%) karena syarat kelompok usaha tidak dipenuhi,

• 44 responden (12,5) menyatakan karena syarat administrasi tidak dipenuhi,

• 35 responden (9,94%) menyatakan karena kelayakan usaha tidak terpenuhi, dan

(18)

H. Overhead Cost Berdasarkan Besaran Kredit

Responden perbankan menyatakan bahwa overhead cost yang

diperhi-tungkan berdasarkan besaran kredit, sebanyak 29 (56,86%) responden bank yang

menyatakan bahwa overhead cost untuk setiap besaran kredit adalah antara 1% sampai

dengan 3%.

2.1. Kajian Deskriptif

A. LDR Kantor Bank per Kelompok Bank

Rasio Loan to deposit ratio (LDR) merupakan perbandingan antara total kredit

yang disalurkan dengan total simpanan yang diterima oleh perbankan. Rasio ini

menunjukkan efektifitas penyaluran kredit oleh pihak perbankan baik kredit usaha kecil

(KUK) maupun kredit non KUK.

Loan to deposit ratio (LDR) antara tahun 1993 dan tahun 1997 menunjukkan

kecenderungan naik. Total LDR tahun 1993 adalah 94% dan tahun 1997 mencapai

114%. Setelah tahun 1997, LDR cenderung mengalami penurunan. Pada tahun 1998,

LDR hanya mencapai 61% dan pada bulan Januari 2002 LDR sebesar 59%. Hal ini

berarti bahwa sejak krisis tahun 1997, pihak perbankan sangat berhati-hati dalam

menyalurkan kredit.

Posisi simpanan tahun 1997 adalah sebesar Rp 3,7 trilyun sedangkan posisi

kredit pada tahun yang sama adalah Rp 4,2 trilyun. Pada tahun 1998, posisi simpanan

mencapai Rp 7,2 trilyun sedangkan posisi total simpanan hanya mencapai Rp 4,4

trilyun. Hal ini berarti bahwa peningkatan posisi kredit hanya mencapai 4,2%,

sedangkan posisi simpanan mengalami peningkatan yang sangat besar yakni mencapai

95,6%. Akibatnya, LDR mengalami penurunan yang sangat drastis dari 114% pada

tahun 1997 menjadi 61% pada tahun 1998.

Rasio LDR mengalami penurunan terus menerus sampai Januari 2002. Hal ini

terutama disebabkan oleh rendahnya LDR bank swasta nasional. Sejak tahun 1993

sampai dengan tahun 1997, LDR tertinggi yang pernah dicapai oleh bank swasta

nasional adalah 94% yakni pada tahun 1994. Sejak tahun 1998 sampai dengan Januari

2002, LDR bank swasta nasional hanya berkisar 7-39%. Hal ini berarti bahwa bank

swasta nasional lebih banyak menarik dana dari Sulsel dibandingkan jumlah dana yang

disalurkan di Sulsel, khusus posisi bulan Januari 2002 menunjukkan bahwa hanya 39%

(19)

Rasio LDR bank BUMN sejak tahun 1993 sampai dengan tahun 1997 cenderung

naik. Bahkan pada tahun 1994 sampai dengan tahun 1997, LDR bank BUMN melebihi

100%. Namun sejak tahun 1998 sampai Januari 2002, LDR bank BUMN cenderung

mengalami penurunan dan berkisar antara 67-77%.

Rasio LDR BPR sejak tahun 1993 cenderung mengalami peningkatan. LDR

tahun 1993 adalah 120% dan bulan Januari 2002 adalah 136%. Sejak tahun 1993

sampai dengan Januari 2002, rasio LDR BPR selalu di atas 100%. Hal ini berarti bahwa

BPR lebih banyak menyalurkan dana dibandingkan menarik dana di Sulsel. Tingginya

rasio LDR BPR juga mencerminkan tingginya permintaan kredit kecil dan mikro serta

adanya kemudahan dalam pelayanan kredit yang diberikan oleh BPR.

Sejak tahun 1998 sampai Januari 2002, rasio LDR BPR lebih besar

dibandingkan dengan rasio LDR Bank Umum Milik Negara dan sangat jauh lebih besar

dibandingkan dengan rasio LDR Bank Swasta Nasional. Hal ini menunjukkan bahwa

lembaga keuangan BPR lebih efektif menyalurkan kedit dibandingkan dengan bank

umum baik milik negara maupun milik swasta.

B. LDR Kantor Bank per Kabupaten

LDR bank umum untuk wilayah Kabupaten Wajo cukup besar dari tahun 1993

sampai dengan tahun 2002. Pada umumnya, LDR pada wilayah Kabupaten Wajo untuk

periode tersebut melebihi 100% kecuali tahun 1993 sebesar 96%, tahun 1994 sebesar

95%, tahun 1998 sebesar 35%, tahun 1999 sebesar 74%, tahun 2000 sebesar 98%, dan

tahun 2001 dan 2002 masing-masing sebesar 88% dan 87%. Hal ini berarti LDR yang

paling rendah untuk wilayah kabupaten Wajo dalam periode tahun 1993 sampai dengan

Januari 2002 adalah sebesar 35%.

LDR bank umum untuk wilayah Kabupaten Bone berada di atas 100% dalam

periode tahun 1995 sampai dengan tahun 1997. Sejak tahun 1998 sampai dengan awal

tahun 2002 cenderung mengalami penurunan dan pada bulan Januari 2002 hanya

mencapai 38%.

LDR bank umum untuk wilayah Kabupaten Tana Toraja cenderung ber-ada

dibawah 100% kecuali tahun 1998 mencapai LDR sebesar 145%. LDR Kabupaten

Tana Toraja terendah adalah sebesar 28% pada bulan Januari 2002.

LDR bank umum wilayah Kabupaten Luwu berada di atas 100% selama tahun

(20)

Kabupaten Luwu terendah adalah 59% pada tahun 1998 dan tertinggi adalah 88% pada

Januari 2002.

LDR bank umum Kabupaten Bulukumba antara tahun 1993 sampai tahun 1997

berkisar antara 73% sampai dengan 143%. Pada tahun 1998 LDR Kabu-paten

Bulukumba turun menjadi 43%. Pada bulan Januari 2002 LDR Bulukumba naik menjadi

69%.

LDR bank umum Kabupaten Bantaeng antara tahun 1993 sampai dengan tahun

1996 berkisar antara 105% sampai dengan 147%. LDR Kabupaten Bantaeng pada

bulan Januari 2002 adalah 67%.

LDR bank umum yang terbesar dalam periode tahun 1993 sampai dengan

Januari 2002 adalah untuk wilayah kabupaten Pangkep. LDR terendah kabupaten

Pangkep adalah sebesar 165% pada bulan Januari 2002 dan tertinggi pada tahun 1997

yakni mencapai 1343%.

LDR bank umum Kabupaten Soppeng di atas 50% pada periode tahun 1993

sampai dengan tahun 1997, sedangkan pada periode 1998 sampai dengan Januari

2002 berada di bawah 50%. LDR Kabupaten Soppeng pada bulan Janu-ari 2002

adalah 42%.

LDR bank umum Kota Makassar di atas 50% pada periode tahun 1993 sampai

dengan tahun 1997. LDR Kota Makassar tertinggi dicapai pada tahun 1994 yakni

sebesar 95%. Pada tahun 1998 LDR turun menjadi 48% dan naik kembali menjadi 53%

pada bulan Januari 2002.

LDR bank umum Kota Pare-Pare di atas 50% pada periode tahun 1993 sampai

dengan tahun 1997. LDR Kota Pare-Pare turun menjadi 21% pada tahun 1998 dan

pada bulan Januari 2002 LDR Kota Pare-Pare naik hingga mencapai 36%.

LDR untuk sebelas kabupaten yang di analisis dalam periode tahun 1993 sampai

dengan Januari 2002 menunjukkan bahwa LDR tertinggi adalah Kabu-paten Pangkep

dan terendah adalah Kota Pare-Pare. LDR Kabupaten Pangkep tertinggi pada tahun

1997 yakni mencapai 1343% dan Kota Pare-Pare hanya mencapai 21% pada tahun

1998.

LDR posisi Januari 2002 menunjukkan bahwa LDR Kabupaten Pangkep

mencapai nilai tertinggi yakni 165%. Jumlah kredit yang disalurkan mencapai Rp

251.115 juta sedangkan jumlah dana pihak ketiga yang disimpan diwilayah Pangkep

(21)

65% di atas jumlah dana pihak ketiga yang disimpan pada bank di wilayah Kabupaten

Pangkep.

C. Rasio Optimal KUK Regional dan Kabupaten

Menurut perspektif bankir, rasio optimal KUK regional dan kabupaten adalah

sebesar 80% dari total kredit yang dialokasikan. Secara rinci, 63% responden

mengemukakan bahwa rasio kredit usaha besar adalah 20%, usaha menengah adalah

adalah 40%, usaha kecil adalah 20% dan usaha mikro adalah 20%. Sisanya, 13%

responden mengemukakan bahwa rasio optimal antara kredit usaha besar, menengah,

kecil, dan mikro adalah 30%: 30%: 20%: 20%, sisanya sebesar 24% sangat bervariasi

antara responden.

Rasio optimal KUK menurut perspektif bankir atau yang sesuai dengan

business plan bank adalah 80%. Namun data menunjukkan bahwa KUK/DPK yang

terjadi untuk bank umum milik negara hanya mencapai 27% dan bank umum milik

swasta hanya mencapai 5%. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat masalah struktural

dalam penyaluran kredit UKM.

D. KUK/DPK per Kelompok Bank

Rasio KUK/DPK merupakan perbandingan antara kredit usaha kecil (KUK)

yang disalurkan dengan dana pihak ketiga (DPK) yang diterima oleh perbankan.

Optimalisasi penggunaan dana simpanan masyarakat lokal bagi upaya pengembangan

usaha kecil di Sulsel dapat dilihat pada besarnya rasio KUK/ DPK.

Rasio KUK/DPK bank BUMN cenderung mengalami peningkatan dari tahun

1993 sampai dengan tahun 1997. Rasio KUK/DPK bank BUMN tahun 1993 sebesar

32% dan pada tahun 1977 adalah 77%. Sejak tahun 1998, rasio KUK/DPK bank BUMN

mengalami penurunan. Pada bulan Januari 2002 rasio KUK/DPK bank BUMN hanya

mencapai 27%.

Rasio KUK/DPK Bank Swasta Nasional (BSN) cenderung mengalami

pe-nurunan sejak tahun 1993 sampai dengan Januari 2002. Rasio KUK/DPK BSN pada

tahun 1993 adalah 35% dan hanya mencapai 5% pada bulan Januari 2002. Hal ini

menunjukkan bahwa bank swasta nasional sangat tidak concern pada pengembangan

usaha kecil di wilayah Sulsel.

Rasio KUK/DPK BPR sejak tahun 1993 cenderung mengalami pening-katan.

(22)

Sejak tahun 1993 sampai dengan Januari 2002, rasio LDR BPR selalu di atas 100%.

Hal ini menunjukkan bahwa bank perkreditan rakyat sangat concern pada

pengembangan usaha kecil di wilayah Sulsel dan seluruh kredit yang disalurkan

diperuntukkan untuk pengembangan usaha kecil.

Rasio KUK/DPK lebih besar dibandingkan dengan rasio KUK/DPK bank umum

milik negara dan sangat jauh lebih besar dibandingkan dengan rasio KUK/DPK bank

swasta nasional. Hal ini menunjukkan bahwa lembaga keuangan BPR lebih efektif

menyalurkan kedit dibandingkan dengan bank umum baik milik negara maupun milik

swasta. Bank swasta sangat tidak efektif dalam menyalurkan kredit kepada pengusaha

kecil.

E. KUK/DPK per Kabupaten

Optimalisasi penggunaan dana simpanan masyarakat lokal bagi upaya

pengembangan usaha kecil di Sulsel dapat dilihat pada besarnya rasio KUK/ DPK.

Rasio KUK/DPK kabupaten Wajo cenderung naik selama periode tahun 1993 sampai

dengan tahun 1997 dari 41% menjadi 89%. Setelah itu, KUK/DPK Kabupaten Wajo

turun di bawah 44% selama periode tahun 1998 sampai dengan Januari 2002, kecuali

KUK/DPK tahun 2000 mencapai 60%.

Rasio KUK/DPK Kabupaten Bone cenderung naik selama periode tahun 1993

sampai dengan tahun 1997 dari 35% menjadi 62%. Setelah itu, KUK/DPK Kabupaten

Wajo turun dan pada bulan Januari 2002 hanya mencapai 23%.

Rasio KUK/DPK Kabupaten Tana Toraja cenderung naik selama tahun 1993

sampai dengan tahun 1997 dari 47% menjadi 52%. Setelah itu, KUK/DPK Kabupaten

Tana Toraja turun di bawah 27% selama periode tahun 1998 sampai dengan Januari

2002 dan KUK/DPK Januari 2002 hanya mencapai 11%.

Rasio KUK/DPK Kabupaten Luwu cenderung naik selama periode tahun 1993

sampai dengan tahun 1997 dari 55% menjadi 88%. Setelah itu, KUK/DPK Kabupaten

Luwu turun di bawah 45% selama periode tahun 1998 sampai dengan Januari 2002 dan

KUK/DPK Januari 2002 hanya mencapai 10%.

Rasio KUK/DPK Kabupaten Bulukumba juga cenderung naik selama tahun 1993

sampai dengan tahun 1997 dari 70% menjadi 133%. Setelah itu, KUK/DPK Kabupaten

Bulukumba turun di bawah 49% selama tahun 1998 sampai dengan Januari 2002 dan

(23)

Rasio KUK/DPK Kabupaten Bantaeng cenderung naik selama tahun 1993

sampai dengan tahun 1999 dari 23% menjadi 49%. Setelah itu, KUK/DPK Kabupaten

Bantaeng turun sangat drastis pada tahun 2000 hanya mencapai 3%. Rasio KUK/DPK

Kabupaten Bantaeng pada bulan Januari 2002 mencapai 12%.

Rasio KUK/DPK Kabupaten Pangkep cenderung naik selama tahun 1993 sampai

dengan tahun 1997 dari 26% menjadi 78%. Rasio KUK/DPK Kabupaten Pangkep

terendah adalah 20% pada tahun 2000 dan pada bulan Januari 2002 mencapai 41%.

Rasio KUK/DPK Kabupaten Soppeng cenderung naik selama tahun 1993 sampai

dengan tahun 1997 dari 55% menjadi 83%. Setelah itu, KUK/DPK Kabupaten Soppeng

turun dari 41% pada tahun 1998 sampai dengan Januari 2002 hanya mencapai 12%.

Rasio KUK/DPK Kabupaten Polmas naik drastis selama tahun 1993 sam-pai

dengan tahun 1997 dari 59% menjadi 153%. Setelah itu, KUK/DPK Kabupaten Polmas

mengalami penurunan dan rasio terendah mencapai 32% pada tahun 2000 dan pada

bulan Januari 2002 rasio KUK/DPK Kabupaten Polmas naik menjadi 66%.

Rasio KUK/DPK Kota Makassar cenderung naik selama tahun 1993 sampai

dengan tahun 1997 dari 29% menjadi 42%. Setelah itu, KUK/DPK Kota Makassar

mengalami penurunan dan rasio terendah mencapai 16% pada tahun 2001 dan pada

bulan Januari 2002 rasio KUK/DPK Kota Makassar hanya mencapai 17%.

Rasio KUK/DPK Kota Pare-pare naik drastis selama tahun 1993 sampai dengan

tahun 1997 dari 44% menjadi 80%. Setelah itu, KUK/DPK Kota Pare-pare mengalami

penurunan dan rasio terendah hanya mencapai 21% pada tahun 1998 dan pada bulan

Januari 2002 rasio KUK/DPK Kota Pare-pare naik menjadi 33%.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pada umumnya rasio KUK/ DPK

cenderung naik dari tahun 1993 sampai tahun 1997. Setelah itu, rasio KUK/ DPK

cenderung turun sampai Januari 2002. Rasio KUK/DPK terendah dalam periode

Januari 2002 adalah Kabupaten Luwu yakni sebesar 10% dan tertinggi adalah

Kabupaten Polmas yakni mencapai 66%.

F. Rasio Baki Debet terhadap Plafon Kredit UKM

Berdasarkan data responden bank, rata-rata rasio baki debet terhadap plafon

kredit UKM selama periode tahun 1993 sampai dengan tahun 2001 adalah 86,15%. Hal

ini menunjukkan bahwa masih terdapat 13,85% plafon kredit yang belum dimanfaatkan

oleh nasabah UKM. Rasio baki debet terhadap plafon kredit UKM terkecil selama tahun

(24)

tahun 1995 yakni sebesar 90,35%. Kecenderungan terjadinya penurunan rasio baki

debet terhadap plafond kredit dapat berarti bahwa terjadi perbaikan sektor keuangan

UKM termasuk dalam pengembalian dana kredit. Dengan demikian, pemanfaatan

plafon dana kredit oleh UKM cenderung mengalami penurunan.

G. Hubungan LDR dengan KUK/DPK

Berdasarkan hasil analisis data yang dilakukan, hubungan LDR dengan

KUK/DPK mempunyai hubungan yang signifikan dan korelasi yang positif. Hal ini berarti

bahwa kenaikan KUK/DPK mempengaruhi kenaikan LDR dan penurunan KUK/DPK juga

mempengaruhi penurunan LDR. Artinya, jumlah kredit (KUK dan Non KUK) mempunyai

hubungan yang signifikan dengan jumlah kredit KUK.

Hasil analisis juga menunjukkan bahwa setiap pertambahan 1% KUK

menyebabkan perubahan 0,9 kali pada LDR. Dengan demikian, upaya perbaikan LDR

oleh pihak perbankan dapat dilakukan dengan peningkatan pemberian kredit pada

usaha kecil.

2.2. Kajian Kausal dan Uji Korelasi

A. Golongan Pengusaha dan Sektor Usaha Terhadap Kualitas Kredit Golongan pengusaha didasarkan atas dua sesuai dengan kredit yang diterima

yakni kredit KUK dan kredit non-KUK. Kualitas kredit diukur melalui lima tingkatan yakni:

Lancar (L), Dalam Perhatian Khusus (DPK), Kurang lancar (KL), Diragukan (D), dan

Macet (M). Analisis dilakukan dengan menggunakan paired samples test.

Analisis data menunjukkan bahwa:

1. Terdapat perbedaan yang signifikan antara KUK dan non KUK dalam kategori

kredit lancar. Jumlah kredit lancar KUK jauh lebih besar dibandingkan dengan

kredit lancar non KUK.

2. Tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara KUK dan non KUK dalam

kategori kredit dalam perhatian khusus. Jumlah kredit dalam perhatian khusus

KUK relatif sama besar dengan kredit dalam perhatian khusus non KUK.

3. Terdapat perbedaan yang signifikan antara KUK dan non KUK dalam kategori

kredit kurang lancar. Jumlah kredit kurang lancar KUK jauh lebih besar

(25)

4. Terdapat perbedaan yang signifikan antara KUK dan non KUK dalam kategori

kredit diragukan. Jumlah kredit diragukan KUK jauh lebih besar dibandingkan

dengan kredit diragukan non KUK.

5. Terdapat perbedaan yang signifikan antara KUK dan non KUK dalam kategori

kredit macet. Jumlah kredit macet KUK jauh lebih besar dibandingkan dengan

kredit macet non-KUK.

B. Besar Populasi UKM Kabupaten terhadap KUK/DPK Perbankan

Analisis data menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan

antara jumlah populasi UKM dengan besarnya KUK/DPK. Hal ini berarti bahwa

besarnya kredit usaha kecil yang disalurkan tidak dipengaruhi oleh besarnya jumlah

populasi UKM di setiap kabupaten di wilayah Sulawesi Selatan. Peningkatan jumlah

populasi UKM tidak menyebabkan peningkatan kredit usaha kecil.

C. Besar Populasi UKM Kabupaten terhadap LDR Perbankan

Analisis data menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan

antara jumlah populasi UKM dengan besarnya LDR. Hal ini berarti bahwa besarnya

kredit yang dikeluarkan oleh pihak perbankan tidak dipengaruhi oleh besarnya jumlah

populasi UKM di setiap kabupaten di wilayah Sulawesi Selatan. Jumlah populasi UKM

suatu wilayah kabupaten tidak berpengaruh secara signifikan pada peningkatan LDR

daerah tersebut.

D. LDR Terhadap Perbedaan Kategori Bank

Pengujian signifikansi perbedaan rasio LDR berdasarkan kategori bank dilakukan

dengan menggunakan paired sample test. Hasil analisis menunjukkan bahwa:

1. Terdapat perbedaan rasio LDR yang signifikan antara Bank Perkreditan Rakyat

dengan Bank Swasta Nasional.

2. Tidak terdapat perbedaan rasio LDR yang signifikan antara Bank Perkreditan

Rakyat dengan Bank Umum Milik Negara.

3. Terdapat perbedaan rasio LDR yang signifikan antara Bank Swasta Nasional

dengan Bank Umum Milik Negara.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa jumlah kredit yang disalurkan oleh

bank swasta nasional sangat kecil jika dibandingkan dengan bank BUMN dan bank

(26)

E. KUK/DPK Terhadap Perbedaan Kategori Bank

Pengujian signifikansi perbedaan rasio KUK/DPK berdasarkan kategori bank

dilakukan dengan menggunakan paired sample test. Hasil analisis menunjukkan bahwa:

5. Terdapat perbedaan rasio KUK/DPK yang signifikan antara Bank Perkreditan

Rakyat dengan Bank Swasta Nasional.

3. Terdapat perbedaan rasio KUK/DPK yang signifikan antara Bank Perkreditan

Rakyat dengan Bank Umum Milik Negara.

4. Terdapat perbedaan rasio KUK/DPK yang signifikan antara Bank Perkreditan

Rakyat dengan Bank Umum Milik Negara.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa keberpihakan Bank Swasta Nasional

dalam pengembangan usaha kecil sangat rendah. Bahkan rasio KUK/DPK bank swasta

(27)

BAB IV. KESIMPULAN DAN SARAN

4.1. Kesimpulan

1. Hasil penelitian menunjukkan bahwa baik responden UKM maupun perbankan relatif

berpendapat sama bahwa UKM tidak mutlak berbadan hukum. Hasil tersebut

menunjukkan, bahwa status badan hukum bukan merupakan kendala internal UKM

atau kendala eksternal perbankan. Responden perbankan yang mengemukakan

bahwa alasan perlunya legalitas usaha UKM karena merupakan salah satu syarat

atau kriteria bagi UKM apabila mengajukan usulan permohonan kredit kepada bank.

Apabila UKM harus berbadan hukum, maka bentuk badan hukum yang sebaiknya

bagi UKM menurut responden perbankan adalah bentuk usaha perseorangan

(41,05%). Demikian pula bentuk badan hukum yang sebaiknya bagi usaha mikro

adalah bentuk usaha perseorangan (48,28%), tetapi untuk usaha menengah

perbankan menyatakan bentuk badan hukum yang sebaiknya adalah perseroan

tertutup (29,13%).

2. Laporan Keuangan UKM juga merupakan faktor pembatas internal UKM atau

pembatas eksternal perbankan, karena hanya sebahagian kecil responden UKM

yang sadar akan pentingnya menyusun laporan keuangan. Dalam penyusunan

laporan keuangan UKM, umumnya responden UKM menyatakan membuatnya

sendiri. Bagi responden UKM yang tidak menyusun laporan keuangannya

menyatakan bahwa umumnya mereka mengerti cara menyusun laporan keuangan

tetapi tidak memerlukan laporan keuangan tersebut.

3. Pada umumnya responden UKM berpendapat bahwa usulan kredit yang diajukan

oleh UKM dan disetujui oleh pihak bank karena merupakan kebijakan bank

(28)

4. Responden UKM menyatakan bahwa Usaha kecil dan mikro membutuhkan dana

kredit yang berkisar antara lebih dari Rp 50 juta sampai dengan Rp 100 .000.000.-

(19,30%), sedangkan bagi usaha menengah membutuhkan dana kredit yang lebih

dari Rp 300.000.000.- (18,71%).

5. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebahagian besar responden UKM

mengharapkan agar Kantor cabang bank dapat memiliki kewenangan dalam

memutuskan besaran kredit yang disalurkan kepada UKM sampai dengan Rp. 500

juta (54,80%). Sedangkan untuk jumlah kredit lebih dari Rp. 500 juta sampai Rp. 2,5

milyar kewenangan berada pada kantor wilayah (47,37%) dan untuk jumlah yang

lebih dari Rp. 2,5 milyar menjadi kewenangan kantor pusat (85,42%).

6. Rata-rata kualitas kredit KUK yang lancar dari rata-rata total kredit selama periode

tahun 1993 – 2001, dengan proporsi terbesar berada pada BUMN, sedangkan

sisanya terbagi pada BSN, BPD, dan BPR.

7. Dalam kurun waktu yang sama, rata-rata KUK yang macet dari rata-rata total KUK

dengan proporsi yang terbesar juga berada pada BUMN. Sedangkan untuk rata-rata

kualitas kredit non-KUK yang lancar dari rata-rata total kredit selama periode tahun

1993 – 2001, dengan proporsi terbesar berada pada BUMN, sisanya terbagi pada

BSN, BPD, dan BPR dengan proporsi yang terbesar pada BPD.

8. Kualitas kredit sektor usaha pengangkutan dan pergudangan memiliki kualitas kredit

yang cukup besar, demikian pula pada sektor usaha pertanian dari seluruh kredit

yang disalurkan pada masing-masing sektor tersebut untuk posisi akhir tahun 2001.

9. Populasi UKM jika didasarkan pada besarnya omset penjualan, maka jumlah UKM

yang terbesar adalah UKM yang memiliki omset penjualan sampai dengan Rp 49

(29)

10. Sumber Permodalan UKM sebahagian besar bersumber dari kelompok BUMN

(35,40%) dan BPD (30,86%), sedangkan keterlibatan BSN (26,86%) dalam

menyalurkan kredit kepada UKM belum memadai.

11. Frekuensi pengajuan kredit yang dilakukan oleh UKM kepada bank hanya sebanyak

1 (satu) kali (88,88%), dan kalau ditolak maka UKM akan memperbaiki kemudian

mengajukannya kembali kepada bank yang sama. Alasan bank menolak usulan

kredit dari UKM sebahagian besar karena jenis usaha yang diajukan tidak termasuk

dalam sektor usaha yang akan dibiayai oleh bank, selain itu juga karena jaminan

kredit tidak dapat dipenuhi oleh UKM. Jangka waktu pengajuan aplikasi sampai

realisasi antara 1 minggu sampai 1 bulan (63,55%).

12. Alasan bank menolak usulan kredit dari UKM karena umumnya usaha tidak

termasuk dalam sektor usaha yang dapat dibiayai (30,96%), dan jaminan kredit tidak

dapat dipenuhi (27,27%).

13. Overhead cost untuk setiap besaran kredit adalah antara 1% sampai dengan 3%.

14. Rasio LDR mengalami penurunan terus menerus sampai Januari 2002. Hal ini

terutama disebabkan oleh rendahnya LDR bank swasta nasional. Sejak tahun 1993

sampai dengan tahun 1997, LDR tertinggi yang pernah dicapai oleh bank swasta

nasional adalah 94% yakni pada tahun 1994. Sejak tahun 1998 sampai dengan

Januari 2002, LDR bank swasta nasional hanya berkisar 7-39%.

15. LDR untuk sebelas kabupaten yang di analisis dalam periode tahun 1993 sampai

dengan Januari 2002 menunjukkan bahwa LDR tertinggi adalah Kabupaten Pangkep

dan terendah adalah Kota Pare-Pare. LDR Kabupaten Pangkep tertinggi pada tahun

1997 yakni mencapai 1343% dan Kota Pare-Pare hanya mencapai 21% pada tahun

1998.

16. Menurut perspektif bankir, rasio optimal KUK regional dan kabupaten adalah

(30)

17. Rasio KUK/DPK bank BUMN cenderung mengalami peningkatan dari tahun 1993

sampai dengan tahun 1997. Rasio KUK/DPK bank BUMN tahun 1993 sebesar 32%

dan pada tahun 1977 adalah 77%. Sejak tahun 1998, rasio KUK/DPK bank BUMN

mengalami penurunan. Pada bulan Januari 2002 rasio KUK/DPK bank BUMN

hanya mencapai 27%.

18. Rasio KUK/DPK Bank Swasta Nasional (BSN) cenderung mengalami penurunan

sejak tahun 1993 sampai dengan Januari 2002. Rasio KUK/DPK BSN pada tahun

1993 adalah 35% dan hanya mencapai 5% pada bulan Januari 2002. Hal ini

menunjukkan bahwa Bank Swasta Nasional sangat tidak concern pada

pengembangan usaha kecil di wilayah Sulsel.

19. Rasio KUK/DPK BPR sejak tahun 1993 cenderung mengalami peningkatan. Rasio

KUK/DPK BPR tahun 1993 adalah 120% dan bulan Januari 2002 adalah 136%.

Sejak tahun 1993 sampai dengan Januari 2002, rasio LDR BPR selalu di atas 100%.

Hal ini menunjukkan bahwa bank perkreditan rakyat sangat concern pada

pengembangan usaha kecil di wilayah Sulsel dan seluruh kredit yang disalurkan

diperuntukkan untuk pengembangan usaha kecil.

20. Rasio KUK/DPK terendah dalam periode Januari 2002 adalah Kabupaten Luwu

yakni sebesar 10% dan tertinggi adalah Kabupaten Polmas yakni mencapai 66%.

21. Rata-rata rasio baki debet terhadap plafon kredit UKM selama periode tahun 1993

sampai dengan tahun 2001 adalah 86,15%. Hal ini menunjukkan bahwa masih

terdapat 13,85% plafon kredit yang belum dimanfaatkan oleh nasabah UKM.

22. Terdapat perbedaan yang signifikan antara KUK dan non KUK dalam kategori kredit

lancar. Jumlah kredit lancar KUK jauh lebih besar dibandingkan dengan kredit

lancar non KUK. Tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara KUK dan non KUK

dalam kategori kredit dalam perhatian khusus. Jumlah kredit dalam perhatian

(31)

23. Terdapat perbedaan yang signifikan antara KUK dan non KUK dalam kategori kredit

kurang lancar. Jumlah kredit kurang lancar KUK jauh lebih besar dibandingkan

dengan kredit kurang lancar non KUK. Terdapat perbedaan yang signifikan antara

KUK dan non KUK dalam kategori kredit diragukan. Jumlah kredit diragukan KUK

jauh lebih besar dibandingkan dengan kredit diragukan non KUK.

24. Terdapat perbedaan yang signifikan antara KUK dan non KUK dalam kategori kredit

macet. Jumlah kredit macet KUK jauh lebih besar dibandingkan dengan kredit macet

non-KUK.

25. Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara jumlah populasi UKM dengan

besarnya KUK/DPK. Hal ini berarti bahwa besarnya kredit usaha kecil yang

disalurkan tidak dipengaruhi oleh besarnya jumlah populasi UKM di setiap

kabupaten di wilayah Sulawesi Selatan. Peningkatan jumlah populasi UKM tidak

menyebabkan peningkatan kredit usaha kecil.

26. Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara jumlah populasi UKM dengan

besarnya LDR. Hal ini berarti bahwa besarnya kredit yang dikeluarkan oleh pihak

perbankan tidak dipengaruhi oleh besarnya jumlah populasi UKM di setiap

kabupaten di wilayah Sulawesi Selatan. Jumlah populasi UKM suatu wilayah

kabupaten tidak berpengaruh secara signifikan pada peningkatan LDR daerah

tersebut.

27. Terdapat perbedaan rasio LDR yang signifikan antara Bank Perkreditan Rakyat

dengan Bank Swasta Nasional. Tidak terdapat perbedaan rasio LDR yang signifikan

antara Bank Perkreditan Rakyat dengan Bank Umum Milik Negara. Terdapat

perbedaan rasio LDR yang signifikan antara Bank Swasta Nasional dengan Bank

Umum Milik Negara

28. Jumlah kredit yang disalurkan oleh Bank Swasta Nasional sangat kecil jika

(32)

KUK/DPK yang signifikan antara Bank Perkreditan Rakyat dengan Bank Swasta

Nasional.

29. Terdapat perbedaan rasio KUK/DPK yang signifikan antara Bank Perkreditan Rakyat

dengan Bank Umum Milik Negara. Terdapat perbedaan rasio KUK/DPK yang

signifikan antara Bank Perkreditan Rakyat dengan Bank Umum Milik Negara.

30. Keberpihakan Bank Swasta Nasional dalam pengembangan usaha kecil sangat

rendah.

4.2. Saran

1. Perlu dilakukan perubahan pengertian UKM dan Mikro, agar terjadi keseragaman

kriteria bagi seluruh pihak yang terkait, terutama dalam hal jumlah KUK dan Mikro.

2. Keberpihakan lembaga perbankan terutama Bank Swasta Nasional terhadap

pengembangan UKM di Sulawesi Selatan harus lebih ditingkatkan lagi.

3. Diharapkan Bupati/walikota se-Sulawesi Selatan membuat terobosan-terobosan

dalam peningkatan pembinaan UKM, sehingga salah satu kriteria keberhasilan suatu

daerah ditentukan bila penanganan terhadap pembinaan UKM berjalan dengan baik.

4. Kemampuan manajerial bagi pengusaha kecil dan mikro masih perlu ditingkatkan,

terutama untuk aspek keuangan, pemasaran, dan permodalan. Upaya peningkatan

kemampuan manajerial tersebut dapat dilakukan melalui peran serta Pemerintah,

perguruan tinggi, LSM, serta lembaga perbankan.

5. Sosialisasi KUK serta berbagai macam skim kredit program bagi usaha kecil dan

mikro hendaknya dilakukan secara intensif.

6. Perlakuan prosedur dan persyaratan kredit terhadap usaha kecil dan menengah,

terutama dalam hal jaminan hendaknya dibedakan dengan pengusaha lainnya,

mengingat kemampuan usaha mereka yang berbeda, dan masih perlu pembinaan,

(33)

7. Program deregulasi persyaratan kredit UKM terutama yang berkaitan dengan tingkat

bunga yang wajar, prosedur dan jaminan kredit agar dilakukan oleh instansi terkait

secara selektif sampai UKM dapat memiliki daya saing yang wajar.

8. Perlu dibentuk jaringan kerjasama antar lembaga keuangan (bank pelaksana kredit

UKM), BUMN/D, Lembaga ventura, LSM dan Perguruan tinggi dalam rangka

pendampingan terhadap UKM di Sulawesi Selatan.

9. Perlu dibentuk lembaga penjaminan kredit untuk UKM

10. Kantor cabang bank hendaknya diberi kewenangan yang lebih besar di dalam

memutuskan besaran kredit, sehingga pelayanan kepada usaha kecil dan mikro

dapat lebih cepat dan kebutuhan akan kredit dapat terpenuhi.

11. Perlu perhatian yang lebih intensif oleh lembaga perbankan terhadap

pengembangan usaha kecil dan mikro yang bergerak pada bidang komoditi/jenis

usaha yang tergolong sangat potensial, karena kendala yang dihadapi oleh usaha

(34)

DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Anas Iswanto, 2001, The Political Economy of Small and

Medium

Enterprises (SMEs) in Indonesia, Jurnal Ekonomi FE-Unhas, VOL. 3

NO. 3, SEPTEMBER 2001

Alim Bachri, Ahmad dkk. , 1999.

Evaluasi dan Monitoring Perkembangan Usaha

UMKM di Kalimantan Selatan.

Bach, George Leland, etc., 1987.

Economics : Analysis, Decision Making, and

Policy.

11

th

Edition, Prentice-Hall, Inc., Englewood Cliffs, N.J., USA.

Bernanke, B, 1983.

Nonmonetary Effects of The Financial Crisis in The

Propagation of The Great Depression

, American Economic Review.

Cusway, Barry, 2000.

Human Resource Management

, ( terjemahan)

PT. Gramedia, Jakarta.

Dendawijaya, Lukman. 2000.

Manajemen Perbankan

. Jakarta : Ghalia Indonesia.

Djohan, Warman, 2000.

Kredit Bank, “Alternatif Pembiayaan dan Pengajuannya”

.

Penerbit PT. Mutiara Sumber Widya

Hadiwigeno, Soetatwo dan Farid Wijaya.1983.

Bank dan Lembaga Keuangan di

Indonesia

. Erlangga: Jakarta.

Kent, Raymond P

,

1996.

Money and Banking

, New York: Academic press.

Kuncoro, Mudrajad, 2002.

Manajemen Perbankan Teori dan Aplikasi

, Penerbit

BPFE- Yogyakarta.

Malayu S.P. Hasibuan, 1993,

Manajemen Perbankan Dasar dan Kunci

Keberhasilan Perekonomian,

Penerbit Toko Gunung Agung, Jakarta.

Sarwani, Dkk. 2004.

Evaluasi Dan Monitoring Perkembangan Usaha UMKM

Mitra Binaan PT. Arutmin Indonesia

, Kalimantan Selatan.

Soekartawi, 1998.

Agrebisnis

, Jakarta.

Stiglitz, J.E, 2003.

Toward a New Paradigm in Monetary Economics

,

Cambrige

University Press.

Sugiyono, 2001,

Metode Penelitian Administrasi

, Alfabeta, Bandung.

Suyatno, Thomas, dkk, 1993.

Dasar-dasar Perkreditan

, Penerbit PT. Gramedia

Pustaka Utama.

Tambunan, 2002.

Karakteristik dan Permasalahan Usaha Kecil dan Menengah di

Indonesia

, Jakarta.

Tjoekam, Moh., 1999,

Perkreditan Bisnis Inti Bank Komersil,

Gramedia Pustaka

Utama, Jakarta.

Widjanarto, 1997.

Hukum dan Ketentuan Perbankan di Indonesia,

PT Pustaka

Utama Grafiti: Jakarta.

Wijaya, Farid, 1991.

Perkreditan dan Bank

Edisi I, Penerbit BPFE-Yogyakarta

---, 1987.

Manajemen Perkreditan Bagi Bank Komersil,

BPFE,

Referensi

Dokumen terkait

a) Pemerintah diharapkan agar dapat mendukung peningkatan Diklat, memelihara, membina dan memberikan fasilitas yang memadahi agar kegiatan Pendidikan dan Pelatihan

• Cursor stability with currently committed semantics is the default.

Penelitian ini belum banyak dilakukan di Sumatera Utara, oleh karena itu penelitian ini dilakukan untuk mengetahui gambaran kejadian infeksi pada pasien hidrosefalus setelah

Pada kasus pasca stroke ini akan diberikan sebuah konsep desain rumah tinggal yang dapat menurunkan tingkat kestabilan emosi pasien dengan penerapan – penerapan desain sesuai

Untuk meminimumkan nilai harmonisa yang terhubung dengan beban motor induksi 3 fasa, maka dapat menggunakan rangkaian filter pasif single tuned , di mana orde yang digunakan

KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL ENERGI BARU, TERBARUKAN, DAN KONSERVASI ENERGI.. JALAN JENDERAL GATOT

Hal ini bisa disebabkan peserta yang diundang mempunyai jadwal lain sehingga tidak dapat mengikuti workshop, kurangnya penyampaian informasi mengenai pelaksanaan workshop,

oleh wajib pajak dari penggunaan e-filing, maka semakin tinggi pula tingkat. perilaku penggunaan