• Tidak ada hasil yang ditemukan

Paper Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingk

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Paper Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingk"

Copied!
54
0
0

Teks penuh

(1)

i PAPER

EKONOMI SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN Dr. Ir. BUDIMAN N.

TINJAUAN TEORITIS

EKONOMI SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN

Oleh:

MUHAMMAD RAZI NIM 41203401130016

PROGRAM PASCASARJANA

ILMU EKONOMI KONSENTRASI PEMBANGUNAN SUMBER DAYA UNIVERSITAS NUSA BANGSA

(2)

ii

DAFTAR ISI

I. PENDAHULUAN ... 1

1. Latar Belakang ... 1

2. Dua pandangan terhadap Sumber Daya Alam ... 1

3. Klasifikasi Sumber Daya Alam ... 3

4. Pengukuran Ketersediaan Sumber Daya Alam ... 4

5. Pengukuran Kelangkaan Sumber Daya Alam ... 6

II. EKONOMI SUMBER DAYA TANAH ... 8

1. Aspek Ekonomi Sumber Daya Tanah ... 9

2. Sewa Tanah (Land Rent) sebagai Surplus Ekonomi ... 9

3. Teori Sewa Tanah David Ricardo ... 11

4. Teori Sewa Tanah Von Thunen ... 12

5. Faktor-faktor yang Menentukan Harga Tanah ... 13

III. EKONOMI SUMBER DAYA HUTAN ... 15

1. Konsep Ekonomi Sumber Daya Hutan ... 15

2. Fungsi Hutan ... 19

3. Peranan Sumber Daya Hutan dalam Perekonomian ... 20

4. Aspek Ekonomi dalam Pengelolaan Sumber Daya Hutan ... 21

IV. EKONOMI SUMBER DAYA AIR ... 27

1. Pengertian ... 27

2. Kondisi Sumber Daya Air ... 28

3. Siklus Air di Alam ... 32

4. Air sebagai Sumber Daya Ekonomi ... 35

5. Pengelolaan Sumber Daya Air ... 38

6. Strategi Pengelolaan dan Perlindungan Sumber Daya Air ... 39

V. VALUASI EKONOMI SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN .... 42

1. Konsep Valuasi ESDAL ... 42

2. Nilai Ekonomi Total SDAL ... 44

3. Metode Valuasi Ekonomi SDAL ... 45

(3)

1

I. PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Ketersediaan sumber daya alam dan lingkungan (SDAL) yang meliputi air, udara, tanah, hutan, barang tambang dan lainnya adalah hal esensial bagi kelangsungan hidup manusia. Kerusakan atau kehilangan SDAL akan menimbulkan kerugian dan menurunkan kualitas hidup dan kesejahteraan manusia. Oleh karena itu, pengelolaan SDAL yang baik mampu memberikan manfaat untuk meningkatkan kesejahteraan manusia. Pembangunan ekonomi di satu sisi diakui telah mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi namun di sisi lain dewasa ini dikhawatirkan menimbulkan kerusakan ekosistem yang mengancam kelangsungan hidup manusia.

Persoalan mendasar adalah bagaimana mengelola SDAL agar memiliki manfaat besar bagi kehidupan manusia tapi dengan tidak mengorbankan kelestarian SDAL itu sendiri. Untuk mendukung hal tersebut, maka diperlukan wawasan yang luas tentang Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan (ESDAL).

Kebijakan penggunaan, pengelolaan serta konservasi SDA harus ditangani secara komprehensif karena sistem SDA sangat luas, kompleks dan saling tergantung satu sama lain. Perubahan komponen SDA secara individu dalam satu ekosistem dapat merubah sistem secara menyeluruh.

Perubahan penggunaan tanah dapat meningkatkan produksi pertanian di satu sisi, tapi memiliki pengaruh terhadap tata air serta kualitas air dan udara di sisi lainnya. Berbagai disiplin ilmu diperlukan dalam alokasi dan pemanfaatan SDA.

Pendekatan pemanfaatan sumber daya yang akan digunakan didekati melalui teori ekonomi tanpa menghilangkan analisis ilmu yang lain yang relevan. Masalah pemanfaatan dan alokasi sumber daya mencakup apa, berapa, metode/teknik serta untuk kepentingan siapa barang tersebut dihasilkan.

2. Dua pandangan terhadap Sumber Daya Alam

Ada dua pandangan terhadap sumber daya alam menurut Fauzi (2006), yaitu: (1) Pandangan konservatif – pesimis (perspektif Malthusian):

(4)

2 tumbuh secara eksponensial. Produksi SDA akan mengalami “Diminishing Return”, dimana output per kapita akan cenderung mengalami penurunan

sepanjang waktu. Ketika terjadi diminishing return, standar hidup manusia akan menurun sampai ke tingkat subsiten. Tingkat subsiten merupakan batas garis kemiskinan. Kondisi ini akan terus berlangsung sampai terwujud ekonomi dalam kondisi keseimbangan (steady state).

(2) Pandangan Ekploitatif (perspektif Ricardian):

Gambar 1. Perspektif Ricardian terhadap Sumber Daya Alam

SDA dianggap sebagai “mesin pertumbuhan” (engine of growth) yang akan mentransformasikan SDA ke dalam “man-made capital” yang pada akhirnya

menghasilkan produktifitas yang tinggi di masa mendatang. Keterbatasan suplai dari SD untuk memenuhi kebutuhan ekonomi dapat disubstitusikan dengan cara

Sumber Daya Alam

Eksploitasi / Pemanfaatan

Pengurangan Tingkat Pengurasan

Ekstraksi > Daya Dukung

Pengurasan SDA

Kelangkaan SDA

Peningkatan Biaya Ekstraksi

Penurunan Permintaan

Pencarian SDA Pengganti Peningkatan Daur Ulang

Peningkatan Harga SDA

Peningkatan Penawaran

Inovasi: Pencarian SDA Baru, Peningkatan Effisiensi, Perbaikan Teknologi Daur Ulang, Perbaikan Konservasi

Pemanfaatan Lestari

Tidak

(5)

3 intensifikasi (eksploitasi SDA secara intensif) atau cara ekstensifikasi (memanfaatkan SDA yang belum dieksploitasi). Bila terjadi kelangkaan SDA, akan tercermin pada dua indikator ekonomi: meningkatnya harga input dan output yang menyebabkan penurunan permintaan terhadap barang dan jasa yang dihasilkan SDA. Namun peningkatan harga output akan menimbulkan insentif bagi produsen SDA sehingga produsen akan berusaha meningkatkan suplai. Ketersediaan SDA yang terbatas, maka kombinasi harga input dan output akan menimbulkan insentif untuk melakukan substitusi dan peningkatan daur ulang. Kelangkaan SDA akan menimbulkan insentif untuk mengembangkan inovasi seperti pencarian deposit, peningkatan efisiensi produksi, peningkatan teknologi daur ulang, sehingga mengurangi tekanan terhadap pengurasan SDA.

3. Klasifikasi Sumber Daya Alam

Secara Umum SDA diklasifikasikan sebagai berikut:

A. Berdasarkan Skala Penggunaan Waktu pembentukan SDA 1) Kelompok Stok:

 Memiliki cadangan yang terbatas;

 Eksploitasi SDA akan menghabiskan cadangan SDA;

 Bila dimanfaatkan sekarang mungkin tidak tersedia lagi di masa datang;

 Disebut sebagai SDA yang tidak dapat diperbaharui (non-renewable resources) atau terhabiskan (exhaustible);

 SDA dalam kelompok ini: mineral, logam, minyak dan gas bumi. 2) Kelompok Alur:

 Jumlah fisik SDA dapat berubah sepanjang waktu;

 Jumlah SDA yang dimanfaatkan sekarang dapat mempengaruhi ketersediaannya di masa mendatang;

 Disebut SDA yang dapat diperbaharui (renewable resources);

 SDA dalam kelompok ini adalah: hutan, tanah, ikan, udara, angin. B. Berdasarkan Penggunaan Akhir SDA

1) Sumber Daya Material:

(6)

4

 Dikelompokkan menjadi: material metalik dan material non metalik. 2) Sumber Daya Energi:

 Digunakan untuk menggerakan energi melalui proses transformasi panas maupun transformasi energi lainnya;

 Termasuk dalam kelompok SDA ini: energi surya, angin, minyak.

Gambar 2. Bagan Klasifikasi Sumber Daya Alam

4. Pengukuran Ketersediaan Sumber Daya Alam

Ketika SDA sudah terdefinisikan, maka pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana mengukur ketersediaan SDA tersebut? Berdasarkan Konsep Rees (1990), pengukuran SDA diklasifikasikan menjadi dua, yaitu:

A. Pengukuran Ketersediaan SDA yang Tidak Terbarukan (Non Renewable): 1) Sumber Daya Hipotetikal:

 Pengukuran deposit yang belum diketahui namun diharapkan ditemukan pada masa datang berdasarkan survei saat ini.

 Ketersediaan SDA diukur dengan mengekstrapolasi laju pertumbuhan produksi dan cadangan terbukti pada periode sebelumnya.

(7)

5 2) Sumber Daya Spekulatif: mengukur deposit yang mungkin ditemukan ditemukan pada daerah yang sedikit dieksplorasi, dimana menurut kondisi geologi yang ada kemungkinan besar ditemukan deposit.

3) Cadangan Kondisional: deposit sudah diketahui atau ditemukan dengan teknologi dan harga yang pada saat ini belum bisa dimanfaatkan secara ekonomis (belum memiliki nilai ekonomis).

4) Cadangan Terbukti: SDA sudah diketahui dan secara ekonomi dapat dimanfaatkan dengan teknologi, harga dan permintaan pada saat ini. B. Pengukuran Ketersediaan SDA yang Dapat Dibarukan (Renewable):

1) Potensi Maksimum:

 Didasarkan pada pemahaman untuk mengetahui kapasitas SDA yang digunakan untuk menghasilkan barang/jasa dalam waktu tertentu.

 Pengukuran didasarkan pada perkiraan ilmiah atau teoritis.

 Pengukuran ini lebih didasarkan kepada kemampuan biofisik alam tanpa mempertimbangkan kendala sosial ekonomi yang ada.

2) Kapasitas Lestari:

 Konsep pengukuran berkelanjutan.

 Ketersediaan SDA diukur berdasarkan kemampuannya untuk menyediakan kebutuhan bagi generasi kini dan juga generasi mendatang.

 Pada sumber daya perikanan dikenal dengan istilah Sustainable Yield¸ yaitu: secara teoritis, alokasi produksi dapat dilakukan sepanjang waktu, jika tingkat eksploitasi dikendalikan

3) Kapasitas Penyerapan:

 Kemampuan SDA untuk dapat pulih seperti sediakala setelah menyerap limbah akibat aktivitas manusia.

 Kapasitas ini bervariasi akibat faktor eksternal seperti cuaca dan internal manusia.

(8)

6

5. Pengukuran Kelangkaan Sumber Daya Alam

Aspek kelangkaan SDA menjadi penting karena terkait dengan munculnya persoalan tentang bagaimana mengelola SDA yang optimal. Hanley et al. (1997) menggunakan 3 (tiga) cara dalam mengukur kelangkaan SDA, sebagai berikut:

A. Pengukuran berdasarkan Harga Riil:  Dapat diterima oleh banyak pihak.

 Tingginya harga SDA mencerminkan tingkat kelangkaan dari sumber daya tersebut (teori ekonomi klasik).

 Kelemahan pengukuran: kenaikan harga juga dipicu oleh distorsi pasar, harga riil hanya mencerminkan harga pasar, tapi tidak mencerminkan harga atas adanya biaya kesempatan (opportunity cost) sosial dari kerusakan lingkungan akibat kegiatan ekstraksi SDA tersebut.

B. Pengukuran berdasarkan Biaya per Unit (Unit Cost):

 Didasarkan kepada prinsip: jika sumber daya menjadi langka, maka biaya ekstraksi SDA tersebut meningkat, yang berarti biaya per unit meningkat. C. Pengukuran berdasarkan Rente Kelangkaan (Scarcity Rent):

 Didasarkan teori kapital sumber daya: rate of return

 Scarcity Rent: selisih antara harga per unit output dengan biaya ekstraksi marginal atau harga bersih (net price).

 Manfaat yang diperoleh dari aset SDA harus setara dengan opportunity cost dari aset yang lain, seperti saham.

(9)

7 Gambar 3. Bagan Keterkaitan antara Sumber Daya Alam dan Aktifitas Ekonomi

Sumber Daya Alam dan Lingkungan

Produksi

Limbah

Residual

Konsumsi

I1 I2

I3

D1 D2

(10)

8

II. EKONOMI SUMBER DAYA TANAH

Tanah merupakan sumber daya alam yang penting untuk kelangsungan hidup manusia, karena merupakan masukan (input) yang diperlukan untuk setiap bentuk aktifitas manusia seperti: pertanian, perindustrian, pemukiman, transportasi, rekreasi.

Penggunaan tanah yang paling luas adalah untuk sektor pertanian, terutama di wilayah pedesaan. Untuk daerah perkotaan, penggunaan tanah yang utama adalah untuk pemukiman, perkantoran, transportasi, industri dan perdagangan dan lainnya. Di negara maju penggunaan tanah yang terbaik dan tertinggi adalah untuk industri dan perdagangan. Selanjutnya disusul oleh pemukiman, kemudian untuk pertanian dan terakhir untuk pengembalaan dan tanah dikosongkan (bera).

Penggunaan tanah tergantung pada kemampuan tanah dan lokasi tanah. Penggunaan tanah yang bergantung kepada kemampuan tanah ditentukan oleh tekstur tanah, lereng permukaan tanah, kemampuan menahan air dan tingkat erosi. Penggunaan tanah yang tergantung pada lokasi tanah, terutama adalah untuk pemukiman, industri, rekreasi dan sebagainya. Dengan demikian tanah memiliki nilai ekonomi dan pasar yang berbeda-berbeda. Tanah di perkotaan memiliki nilai pasar yang tinggi karena di sana terletak sumber penghidupan manusia yang paling efisien dan memberikan nilai produksi yang tinggi.

Secara umum, pemilik tanah menggunakan tanahnya untuk tujuan yang memberikan nilai produksi tertinggi. Namun penggunaan tanah ini tergantung kepada penilaian sipemilik sendiri apakah dinilai dengan uang atau dengan nilai yang tidak dapat dijangkau (intangible) seperti nilai sosial.

Penggunaan tanah terbaik dan tertinggi tergantung kepada kapasitas tanah serta tinggi rendahnya permintaan terhadap tanah itu sendiri. Untuk mengejar pemenuhan kebutuhan manusia yang terus berkembang dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, pemanfaatan sumber daya tanah sering kali kurang bijaksana dan untuk kebutuhan jangka pendek.

(11)

9 tanah, maka perlu pula pengelolaan sumber daya tanah secara optimal dan lestari untuk mencapai kesejahteraan sosial yang maksimum.

1. Aspek Ekonomi Sumber Daya Tanah

Aspek ekonomi penting menurut teori ekonomi sumber daya tanah adalah sewa tanah. Sewa tanah dapat dibedakan sebagai berikut:

1) Sewa tanah (contract rent) sebagai pembayaran dari penyewa kepada pemilik, dimana pemilik melakukan kontrak sewa menyewa dalam jangka waktu tertentu. 2) Keuntungan usaha (economic rents atau land rents) yang merupakan kelebihan (surplus) pendapatan atas biaya produksi atau sebagai harga input tanah yang memungkinkan faktor produksi tanah dapat digunakan dalam proses produksi.

Contract rent dan land rent merupakan dua konsep sewa yang penting digunakan dalam ekonomi sumber daya tanah.

 Contract Rent: sumbangan yang diberikan oleh tanah bersama faktor produksi lain (tenaga kerja, modal dan manajemen) terhadap besarnya total produksi.

 Land Rent: nilai sumbangan yang diberikan oleh tanah semata yang disebut bunga tanah (land rent).

2. Sewa Tanah (Land Rent) sebagai Surplus Ekonomi

Secara sederhana sewa tanah adalah sama dengan surplus ekonomi, yaitu: suatu kelebihan nilai produksi total di atas biaya total yang mencakup biaya jasa terhadap investasi. Sewa tanah sebagai surplus ekonomi tanah ditentukan oleh faktor kesuburan tanah dan lokasi tanah.

Total nilai produksi yang dihasilkan LNSP dengan total biaya variabel input sebesar MNSR sehingga menghasilkan sewa tanah sebesar LMRP.

(12)

10 A. Sewa tanah (land rent) ditentukan oleh kesuburan tanah:

Tanah A Tanah B Tanah C

Biaya produksi tanah A paling rendah, lebih tinggi pada tanah B, dan paling tinggi pada tanah C karena kesuburan tanah berbeda. Peningkatan biaya produksi rata-rata per unit output di tanah B dan C disebabkan oleh tingkat kesuburan tanah.

Dengan biaya produksi yang rendah, tanah A memberikan land rent tertinggi, sedangkan tanah B lebih kecil, sementara tanah C tidak menghasilkan land rent sama sekali, karena tingginya biaya produksi.

B. Sewa tanah (land rent) ditentukan oleh lokasi tanah:

(13)

11 Tanah B berlokasi lebih jauh, menimbulkan biaya transportasi dalam penggunaannya, sehingga kemampuan memberikan land rent lebih rendah.

Tanah C yang berlokasi paling jauh, menimbulkan biaya transportasi paling besar dalam penggunaannya, kemampuannya memberikan land rent paling rendah.

3. Teori Sewa Tanah David Ricardo

Dalam teori sewa tanah, David Ricardo mengatakan bahwa jenis tanah berbeda-beda. Produktivitas tanah yang subur lebih tinggi, sehingga berarti untuk menghasilkan satu satuan unit produksi diperlukan biaya rata-rata dan biaya marjinal yang lebih rendah. Makin rendah tingkat kesuburan, maka makin tinggi pula biaya-biaya untuk mengolah tanah dan dengan sendirinya keuntungan per hektar tanah semakin kecil pula. Jadi sewa tanah yang lebih subur lebih tinggi dibanding sewa tanah yang kurang subur. Konsep sewa tanah menurut David Ricardo ini didasarkan atas perbedaan dalam kesuburan tanah dalam konteks “pertanian”.

Ricardo berasumsi bahwa pada daerah pemukiman baru, terdapat sumber daya tanah yang subur dan berlimpah serta tidak ada pembayaran sewa atas penggunaan tanah karena jumlah penduduk masih sedikit. Sewa tanah akan muncul ketika jumlah penduduk bertambah dan permintaan atas tanah meningkat dan akhirnya menghendaki digunakannya tanah yang kurang subur oleh masyarakat.

Satuan output yang dihasilkan pada 4 (empat) macam kesuburan tanah yang berbeda dapat dijelaskan pada ilustrasi berikut:

 Penggunaan tenaga kerja dan modal yang sama pada keempat bidang tanah yang berbeda tingkat kesuburannya (A: sangat tinggi, B: tinggi, C: cukup, D: kurang) dengan kapasitas produksi: A = 50, B = 40, C = 30, D = 25.

(14)

12 tanah C mulai memiliki nilai sewa kalau tanah D digunakan untuk perluasan tanam berikut. Dengan demikian tanah A memiliki nilai sewa tertinggi yang ditunjukan oleh surplus ekonomi dari tanah D.

Menurut Rircardo, harga produk pertanian ditentukan oleh biaya produksi yang sejalan dengan peningkatan kebutuhan masyarakat akan hasil pertanian. Harga produk pertanian meningkat seiring perluasan areal pertanian dan penggunaan tanah subur yang semakin intensif. Teori sewa tanah Ricardo hanya melihat kemampuan tanah untuk membayar sewa tanah tanpa memperhatikan lokasi tanah.

4. Teori Sewa Tanah Von Thunen

Von Thunen (1826) hanya menambah kekurangan teori sewa tanah David Ricardo yaitu mengenai jarak tanah dari pasar. Apakah tanah subur yang jaraknya dekat dengan pasar dan yang jauh dari pasar akan sama sewanya? Hal ini setelah dikaji ternyata beda karena semakin jauh dari pasar semakin mahal biaya transportasinya. Von Thunen melihat daerah yang subur dekat pusat pasar memiliki sewa tanah lebih tinggi dari pada tanah di daerah yang jauh dari pusat pasar. Von Thunen berpendapat bahwa sewa tanah berkaitan dengan biaya trasportasi dari lokasi tanah yang jauh di daerah ke pusat pasar.

 Di pusat pasar, biaya transportasi nol (0) dan biaya total setinggi OC. Pada jarak OK km biaya total menjadi KT, karena biaya transportasi meningkat sebesar UT. Bila harang barang yang diangkut sebesar OP, maka pada jarak OK, tidak lagi terdapat land rent. Pada hal di titik O (pusat pasar) land rent sebesar CP, artinya

(15)

13 Ada beberapa hal yang mempengaruhi sewa tanah:

a. Kualitas tanah yang disebabkan oleh kesuburan tanah, pengairan, adanya fasilitas listrik, jalan dan sarana lainnya;

b. Letaknya strategis untuk perusahaan/industri; dan

c. Banyaknya permintaan tanah yang untuk pabrik, bangunan rumah, perkebunan. Von Thunen juga mengidentifikasi tentang perbedaan lokasi dari berbagai kegiatan pertanian atas dasar perbedaan sewa lahan (pertimbangan ekonomi). Menurut Von Thunen tingkat sewa lahan adalah paling mahal di pusat pasar dan makin rendah apabila makin jauh dari pasar. Von Thunen menentukan hubungan sewa lahan dengan jarak ke pasar dengan menggunakan kurva permintaan.

Berdasarkan selisih antara harga jual dengan biaya produksi, masing-masing jenis produksi memiliki kemampuan yang berbeda untuk membayar sewa lahan. Makin tinggi kemampuannya untuk membayar sewa lahan, makin besar kemungkinan kegiatan itu berlokasi dekat ke pusat pasar.

Dalam model tersebut, Von Thunen membuat asumsi sebagai berikut: a. Wilayah analisis bersifat terisolir, tidak terdapat pengaruh pasar dari kota lain; b. Tipe permukiman adalah padat di pusat wilayah dan semakin kurang padat apabila

menjauh dari pusat wilayah;

c. Seluruh wilayah model memiliki iklim, tanah dan topografi yang seragam; d. Fasilitas pengengkutan adalah primitif (sesuai dengan zamannya) dan relatif

seragam. Ongkos ditentukan oleh berat barang yang dibawa; dan

e. Kecuali perbedaan jarak ke pasar semua faktor alamiah yang mempengaruhi penggunaan tanah adalah seragam dan konstan.

5. Faktor-faktor yang Menentukan Harga Tanah

Sebagaimana yang sudah disinggung di atas bahwa kegunaan, kelangkaan dan permintaan atas sumber daya tanah sangat dipengaruhi oleh tingkat produktivitas dan lokasi tanah. Produktivitas tanah tidak hanya ditentukan oleh hasil produksi pertanian tetapi juga kandungan sumber daya lain yang bernilai ekonomis seperti mineral yang ada di dalam tanah.

(16)

14 semakin rendah biaya transportasi, tetapi harga tanah menjadi tinggi. Saat ini nilai waktu sangat tinggi, karena itu harga tanah yang berlokasi dekat dari tempat kerja yang dapat ditempuh dengan waktu singkat terhindar dari kemacetan, akan semakin tinggi. Disamping itu harga tanah juga berkaitan dengan fasilitas kehidupan yang tersedia yaitu sarana dan prasarana umum, seperti: jaringan transportasi, alat transportasi, listrik, air dan fasilitas umum lainnya di dekat lokasi tanah, akan semakin meningkatkan harga tanah. Pembangunan sarana dan prasarana umum, akan meningkatkan kegunaan dan kepuasan yang dapat diberikan oleh sebidang tanah, yang dibarengi pula oleh meningkatnya permintaan masyarakat akan tanah (akibat peningkatan pendapatan), maka harga tanah akan meningkat pula

Harga tanah yang semakin tinggi dapat pula disebabkan oleh sistem perizinan yang rumit dan biroratis sehingga menimbulkan biaya pengurusan tanah yang tinggi dan harga tanah yang tinggi.

Efek dari harga tanah yang semakin tinggi, maka akan terjadi inflasi. Artinya harga tanah memacu peningkatan harga-harga barang lainnya, karena tanah yang walaupun tidak produktif sering dapat digunakan sebagai jaminan untuk mendapat kredit perbankan. Hal ini berarti tanpa menghasilkan apa-apa pun, tanah ternyata dapat menghasilkan uang baru, karena dengan fasilitas kredit yang sangat besar dengan tanah sebagai jaminan adalah sama dengan pencitaan uang giral. Harga tanah yang semakin tinggi dapat mendorong ekonomi biaya tinggi.

Adapun pendekatan yang dapat digunakan untuk memperlambat kenaikan harga tanah adalah:

1) Mengalihkan dana yang tersedia di masyarakat ke arah investasi yang lebih produktif, bukan untuk spekulasi tanah.

2) Pengenaan pajak hendaknya disesuaikan dengan peruntukan tanah yang akan diperjualbelikan di kemudian hari.

3) Tanah yang digunakan untuk kegiatan produktif dikenakan pajak yang relatif lebih rendah, sedangkan hal ini berlaku sebaliknya pada tanah terlantar.

(17)

15

III. EKONOMI SUMBER DAYA HUTAN

1. Konsep Ekonomi Sumber Daya Hutan

Hutan adalah lapangan tempat bertumbuhan berbagai pohon-pohon yang secara keseluruhan merupakan persekutuan hidup alam hayati beserta alam lingkungannya dan yang ditetapkan pemerintah sebagai hutan (Wirakusumah, 2003).

Hutan adalah asosiasi masyarakat tumbuh-tumbuhan dan hewan yang didominasi oleh pohon-pohonan dengan luasan tertentu sehingga dapat membentuk iklim mikro dan kondisi ekologi tertentu (Suparmoko, 2008). Menurut Undang Undang Nomor 41 tahun 1999, hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan.

Ekonomi sumber daya hutan adalah ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia dalam memanfaatkan sumber daya hutan, sehingga fungsinya dapat dipertahankan dan ditingkatkan dalam jangka panjang. Dari sudut pandang sumber daya ekonomi, pada hutan terdapat sekaligus tiga sumber daya ekonomi (Wirakusumah, 2003), yaitu: lahan, vegetasi bersama semua komponen hayatinya serta lingkungan itu sendiri sebagai sumber daya ekonomi yang pada akhir-akhir ini tidak dapat diabaikan.

Hutan merupakan aset multiguna yang tidak hanya menghasilkan produksi seperti kayu, arang, pulp dan lain-lain, tetapi juga memiliki nilai lain (non-use) seperti: pelindung panas, pemecah angin dan pelindung tanah dari bahaya erosi. Hutan juga menjadi habitat satwa dan hewan lainnya yang penting dalam menjaga ekosistem dan keanekragaman hayati. Dengan kata lain hutan tidak hanya memberikan manfaat pada saat mereka ditebang (eksploitasi), namun juga banyak memberikan manfaat tatkala sumber daya ini dibiarkan (manfaat konservasi).

Terdapat empat pilar penting dalam praktek pengelolaan sumber daya hutan:

a. Common Pool Resources

(18)

16 tersebut menghasilkan suatu "tragedy of the common", yaitu suatu bentuk kehancuran sumber daya akibat adanya pendayagunaan yang berlebihan.

Common pool resources dapat dibedakan menjadi open access resources dan

common property (common resources). Telaahan kritis terhadap masalah tersebut menunjukkan, bahwa tragedi menurut terminologi Hardin itu "hanya terjadi" jika tidak terdapat aturan main yang jelas tentang pendayagunaan sumber daya yang bersangkutan, sehingga setiap anggota masyarakat berpacu untuk memaksimumkan pemenuhan kebutuhan individualnya melalui pendayagunaan sumber daya yang bersangkutan tanpa memperhatikan kebutuhan anggota masyarakat lainnya maupun daya dukung sumber daya yang bersangkutan. Kondisi seperti itu hanya cocok bagi open access resources, tapi tidak lazim terjadi pada common property yang pada umumnya memiliki aturan-pendayagunaan kolektif yang jelas.

b. State Property Resources

(19)

17 akan bertumburan dengan fungsi tujuan pokoknya untuk memberikan pelayanan. Kedua, sumber daya hutan sangat berlimpah. Sementara itu pemerintah tidak memiliki sumber daya (sumber daya manusia, teknologi, dan modal) yang cukup untuk dapat mendayagunakan sumber daya tersebut secara optimal. Ketiga, kelembagaan yang melekat pada bentuk pengelolaan sumber daya tersebut (baca: birokrasi) tidak memiliki keluwesan yang memadai untuk menangkap dan memahami kepentingan masyarakat.

c. Private Property Resources

Atas dasar keberatan-keberatan di atas, pada masa Orde Baru, sebagian fungsi pengelolaan sumber daya hutan itu diserahkan kepada swasta, khususnya untuk hutan produksi. Dengan cara itu, diharapkan terjadi peningkatan produksi hutan (kayu) melalui mekanisme fragmentasi kawasan pengusahaan hutan dan injeksi investasi oleh swasta. Kebijakan tersebut juga tidak luput dari keberatan-keberatan, misalnya: (1) Penyerahan kepada swasta dianggap berlebihan. Satu perusahaan HPH ada yang mengelola kawasan lebih dari sejuta hektar. Padahal menurut FAO (1996), kemampuan setiap perusahaan untuk mengusahakan hutan secara optimal adalah mencakup kawasan seluas 150-200 ribu hektar. (2) Karena fungsi tujuan swasta adalah maksimisasi keuntungan, maka dalam kegiatan pengusahaan hutannya kerap tidak mengindahkan azas-azas pelestarian lingkungan. Bagi perusahaan HPH, melakukan tindakan pelestarian senantiasa berkonotasi peningkatan biaya, dan dengan demikian dianggapnya sebagai tindakan manajemen yang tidak efisien. (3) Perusahaan swasta tidak adaptif terhadap kehidupan budaya, kebiasaan, dan tatanilai masyarakat lokal. Perusahaan tidak jarang melakukan tindakan pencurian (kayu besi dan sarang burung, yang secara kultural merupakan sumber daya "milik" masyarakat) dan perampasan (rotan). Karena itu, bagi masyarakat lokal, perusahaan HPH bukan merupakan "mitra" yang mengerti kepentingannya. (4) Seperti halnya negara, swasta juga telah membiaskan pengertian penguasaan menjadi "pemilikan", sehingga dalam praktek pengelolaannya swasta juga kerap berlaku-lajak.

d. Common Property Resources

(20)

18 peminggiran masyarakat lokal. Jejak tersebut di tingkat lokal menimbulkan konflik dengan frekuensi kejadian yang cukup signifikan. Selanjutnya, didukung dengan ujicoba yang menghasilkan kesimpulan yang positif, maka advokasi internasional secara tegas menyebutkan bahwa partisipasi masyarakat lokal yang seluas-luasnya merupakan solusi optimum terhadap masalah pengelolaan sumber daya hutan. Di Indonesia telah banyak contoh nyata yang menunjukkan bahwa masyarakat lokal itu memiliki kemampuan dan kemauan yang baik untuk mengelola sumber daya hutan secara produktif dan lestari, misalnya seperti yang dilakukan masyarakat Krui (Lampung Barat) dan masyarakat Meru Betiri (Jawa Timur). Namun, agaknya, itu belum merupakan pertimbangan yang cukup signifikan bagi upaya-upaya pelembagaan pengelolaan hutan oleh masyarakat. Para akademisi dan birokrat pada masa Orde Baru, secara terus-terang atau malu-malu, kerap meragukan keandalan pengelolaan sumber daya hutan oleh masyarakat. Keraguan itu kerap bersandar pada fenomena yang disebut sebagai

(21)

19 kearifan yang handal untuk mengelola sumber daya hutan secara produktif dan lestari. Kolaborasi dengan masyarakat merupakan kebutuhan dan keharusan, karena tujuan produksi dan pelestarian dapat dicapai secara lebih efektif dan pada saat yang sama tercipta suatu mekanisme resolusi konflik yang interaktif. Di ketiga negara tersebut, konrol pemerintah dalam hal pengelolaan hutan masing-masing mencakup 22%, 40%, dan 43% dari total kawasan hutan yang tersedia (Hobley, 1996). Sementara itu, di Indonesia, Departemen Kehutanan mengendalikan tidak kurang dari 74% dari kawasan hutan yang tersedia.

Kebanyakan SDH tidak bersifat milik bersama (common property resources). Hampir sebagian besar hutan dikuasai oleh pemerintah dan hak pengelolaan yang diberikan kepada individu atau swasta melalui mekanisme perizinan.

Spesifikasi sumber daya hutan memiliki skala waktu (time scale) pertumbuhan waktu yang sangat panjang mulai dari sejak ditanam sampai ditebang (panen) pada beberapa jenis pohon tertentu bisa sampai 100 tahun. Lahan yang ditumbuhi hutan memiliki nilai pilihan (option value).

Sifat-sifat khas SDH menurut Duerr (1962), Leslie (1964), Worrell (1960) dalam Wirakusumah (2003), yaitu:

1) Proses produksi SDH tergantung alam dan memerlukan waktu lebih lama. 2) Memerlukan media atau persediaan yang cukup besar (luas dan volumenya),

dengan sendirinya menuntut manajemen yang tidak sederhana.

3) Kayu sebagai salah satu produk SDH tidak mudah dibedakan apakah merupakan produksi akhir atau sebagai modal yang sedang dalam pertumbuhan.

4) Memiliki potensi menghasilkan banyak komoditi berupa barang dan jasa secara bersamaan (joint products).

5) Belum diukur nilainya secara tepat oleh hukum permintaan dan penawaran.

2. Fungsi Hutan

Beberapa fungsi hutan adalah sebagai berikut:

(22)

20 2) Mengatur tata air, mencegah dan membatasi banjir, erosi serta memelihara

kesuburan tanah.

3) Melindungi suasana iklim dan memberi daya pengaruh yang baik seperti udara bersih dan segar.

4) Memberikan keindahan alam pada umumnya dan khususnya dalam bentuk cagar alam, suaka margasatwa, taman perburuan, taman wisata serta sebagai laboratorium ilmu pengetahuan, pendidikan dan pariwisata.

3. Peranan Sumber Daya Hutan dalam Perekonomian

Sumber daya hutan memiliki peranan dalam perekonomian, yaitu:

1) Sebagai penghasil devisa bagi negara yang sangat penting untuk perbaikan ekonomi makro dan perdagangan global, terutama pada negara yang baru berkembang dan berbasis pada sumber daya alam. Peran SDH sebagai penghasil devisa dapat pula diwujudkan melalui kemampuan menyerap investasi seperti: pembangunan industri pulp, industri kertas, industri kayu lapis, meubel.

2) Sebagai penggerak sektor ekonomi lain, dimana hasil hutan memberi dukungan modal bagi pembangunan infrastruktur industri dalam negeri dan untuk penyediaan teknologi yang berasal dari impor. Banyak kegiatan yang dibiayai langsung dari hasil kayu tebangan untuk mendorong kegiatan perkebunan, sebagai hasil konversi hutan. Demikian pula hasil hutan berupa kayu maupun bukan kayu, adalah merupakan bahan baku industri, yang mendorong berkembangnya industri dan jasa (pengangkutan dan pemasaran). Lebih jauh peranan SDH ini dapat diidentifikasi dengan menggunakan analisa Input-Output.

3) Meningkatkan Pendapatan Nasional dengan jalan memberikan kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) melalui penerimaan devisa dan pajak serta lapangan pekerjaan.

4) Sebagai penyedia lapangan kerja dalam lingkup: (a) kegiatan penanaman, pemeliharaan dan perlindungan hutan; (b) kegiatan pemanenan hasil hutan (penebangan dan pengangkutan); (c) kegiatan dalam industri hasil hutan meliputi industri penggergajian, industri pulp dan kertas, industri wood working, industri

(23)

21 antara lain perdagangan hasil hutan, rekreasi hutan, transportasi, pendidikan dan jasa konsultan pembangunan sektor kehutanan.

5) Selaku penyedia pelayanan jasa lingkungan, dimana keberadaan SDH berfungsi sebagai perlindungan plasma nutfah, keanekaragaman hayati, dan nilai-nilai estetis yang potensial bernilai ekonomi apabila dapat dikelola dengan baik. Pengembangan perekonomian pariwisata terutama ekowisata sangat dipengaruhi oleh bentang alam, keindahan dan kekhasan SDH. Peranan sumber daya ini tidak menghasilkan nilai uang langsung, tetapi menghasilkan nilai uang bagi sektor pariwisata. Di masa depan peranan jasa lingkungan berupa perbaikan tata air, pembersih udara dan nilai estetika mempunyai peranan yang sangat besar dalam keberlanjutan ekonomi jangka panjang.

4. Aspek Ekonomi dalam Pengelolaan Sumber Daya Hutan

Prinsip dasar biologi pertumbuhan hutan menggunakan asumsi bahwa hutan merupakan satu unit cobort yang homogen. Satu unit cobort adalah pertumbuhan hutan yang menjadi basis analisis pengelolaan hutan adalah pertumbuhan agregat, dimana variabel pertumbuhan dan kematian mewakili seluruh kelompok umur hutan.

Berdasarkan asumsi ini, maka volume pertumbuhan suatu pohon diukur dalam volume kayu (wood volume) yang dinotasikan sebagai w(T), sebagaimana ditunjukkan oleh Kurva Pertumbuhan Hutan Homogen di bawah.

Berdasarkan kurva pertumbuhan homogen (VAC) dapat digambarkan hubungan antara laju pertumbuhan kayu w(T)/t dengan volume kayu w(T).

(24)

22 Pengelolaan hutan dapat ditentukan dengan cara memperoleh volume kayu yang paling maksimum (normal forest), di mana setiap pohon mengalami siklus hidup yang sama selama periode rotasi, yaitu interval antara periode menebang.

Waktu tebang akan menentukan lamanya periode rotasi setiap pohon. Tujuan pemanfaatan hutan adalah memilih periode rotasi yang akan menghasilkan produksi yang lestari. Hal ini merupakan pendekatan Maximum Sustained Yield (MSY).

Pendekatan Produksi Maksimum Kayu Lestari (Maximum Sustained Yield) dapat digambarkan sebagai berikut:

 Kurva MAI (Mean Annual Increament) menggambarkan rata-rata volume tahunan.

 Pengelolaan hutan akan berusaha memaksimumkan MAI.

 Secara matematis, MAI diturunkan dari fungsi w(T)/T terhadap waktu:

� � � /�

�� =

� � �−� �

�2 Persamaan (5.1)

Disederhanakan menjadi:

=� � ↔ � �� � = Persamaan (5.2)

(25)

23 Bila digambarkan, rotasi pada MSY dimana MAI maksimum adalah:

Gambar disamping menunjukan bahwa rotasi pada MSY akan diperoleh pada saat kemiringan (slope) kurva VAC sama dengan slope garis lurus produksi rata-rata (w(T)/T)).

Pendekatan MSY memiliki beberapa kelemahan, yaitu: tidak memperhitungkan harga dan biaya ekstraksi sumber daya hutan.

Hutan merupakan aset yang bisa ditebang sekarang atau pada masa yang akan datang. Pilihan tersebut akan menimbulkan aspek intertemporal sumber daya hutan yang menyebabkan munculnya opportunity cost yang digambarkan dengan discount rate. Tingkat potongan (discount rate) adalah menyamakan atau mengkonversikan nilai masa datang ke nilai sekarang yang equivalen dengan discount factor tertentu. Rumusnya adalah:

� � � = +� � i : tingkat suku bunga

n : jumlah waktu yang akan datang sejak dari sekarang Contoh penggunaan :

 Seorang pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) berkehendak untuk membayar/menyetorkan Iuran Hasil Hutan (IHH) sekaligus untuk jangka waktu 5 tahun mendatang. Dengan memperhitungkan tingkat bunga 15 %, diperkirakan jumlah IHH yang harus dibayarkan sekaligus sampai pada tahun ke-5 sebesar 3,85 milyar rupiah. Dengan tingkat bunga 15% dapat dihitung nilai sekarang yang harus dibayar apabila pemegang HPH berkehendak membayar saat ini.

 Persoalannya adalah berapakah nilai sekarang dari IHH sebesar 3,85 milyar rupiah tersebut?

 Nilai sekarang dari IHH tersebut adalah mendiskontokan uang 3,85 milyar rupiah ke nilai sekarang, yaitu:

= . . . + , = . . . ,

(26)

24 Terdapat 2 model dalam Penentuan Rotasi Optimum, yaitu:

(1) Model Fisher untuk Rotasi Tunggal

 Misalkan nilai produk akhir hasil hutan yang diperoleh dari penebangan hutan yang berumur T per hektar adalah R(T), biaya ekstraksi termasuk biaya penebangan dan investasi adalah C(T), ratio penerimaan dan volume kayu [R(T)/w(T)] meningkat terhadap T (site premium), sedangkan ratio biaya ekstraksi dan volume kayu [C(T)/w(T)] menurun terhadap T (economic of size).

 Kedua kondisi tersebut mengimplikasikan kondisi berikut:

� � � � >

� �

� � Persamaan (5.3)

Hal ini berarti laju pertumbuhan penerimaan hasil hutan lebih besar dari pada persentase laju pertumbuhan volume hutan.

 Misalkan pada nilai bersih pemanfaatan hutan didefinisikan sebagai selisih antara penerimaan dan biaya:

= − Persamaan (5.4)

Nilai V(T) sudah termasuk nilai yang diperoleh pemilik lahan (return to landowner) atau stumpage value dan keuntungan yang diperoleh dari pengelolaan hutan (return to logger).

 Model Fisher melihat lahan yang ditanami pohon produk hutan dan kemudian menentukan kapan hutan itu harus ditebang. Sekali hutan ditebang habis (clear cut), maka lahan tersebut tidak dapat digunakan untuk pemanfaatan lainnya.

 Dengan menggunakan kerangka waktu yang kontinyu, masalah yang dihadapi oleh pemilik HPH dalam memilih waktu tebang (T) yang tepat yang akan memaksimumkan fungsi penerimaan dalam present value:

max = −�� Persamaan (5.5)

dimana −�� adalah discount rate (suku bunga), PV (present value) adalah nilai di masa yang akan datang dinilai pada waktu sekarang dengan menggunakan discount rate.

(27)

25

��� �

�� = ↔ [ ∗ − � −�� = Persamaan (5.6)

Dimana [V*(T) merupakan turunan dari V(T) terhadap waktu.

 Selanjutnya Persamaan (5.6) diserhanakan menjadi:

[�∗ �

� � = � Persamaan (5.7)

Dimana : biaya opportunitas dari aset (kapital).

 Persamaan (5.7) merupakan Golden Rule dan s disebut juga dengan Fisher Rotation, yaitu: hutan harus ditebang pada laju pertumbuhan dengan manfaat yang diperoleh sama dengan biaya opportunitas aset/kapital. Dengan kata lain jangan melakukan penebangan pada saat [V*(T)/V(T) > .

(2) Model Faustmann untuk Rotasi Berkelanjutan

 Menurut model ini, pengelolaan hutan merupakan proses berkelanjutan, ketika hutan ditebang, penanaman dilakukan kembali sehingga proses tebang dan tanam dilakukan secara berkelanjutan. Proses ini disebut juga urutan penebangan (sequent harvest) yang digambarkan sebagai berikut:

 Dengan pola penebangan yang berkelanjutan, masalah yang dihadapi dalam pengelolaan hutan adalah dengan memodifikasi Persamaan Fisher, yaitu Persamaan (5.6) menjadi:

max = −�� + −�� + −��

Persamaan (5.8)

 Persamaan di atas mengasumsikan bahwa parameter ekonomi seperti harga, biaya, dan discount rate tidak berubah sepanjang waktu. Demikian juga dengan parameter biologi

 Pertanyaan mendasar: kapan rotasi yang optimal, dalam hal ini T,T1,T2,T3 dan seterusnya yang memberikan manfaat present value yang maksimum?

(28)

26 berurutan. Dengan demikian T1 = T2-T1 = T3-T2 =...= T, sehingga Persamaan 5.8 dapat disederhanakan menjadi:

max = [ −� �+ −� �+ −� �+ ⋯ ] Persamaan (5.9)

 Komponen di dalam kurung [ ] merupakan bilangan urut (series) seperti halnya proses discounting dengan waktu tak terhingga, sehingga Persamaan (5.9) dapat disederhanakan menjadi:

= −��+ −�� = ( − −��) = −� �

Persamaan (5.10) selanjutnya dapat disederhanakan lagi menjadi:

=� � �−�−��−��=

� �

�−�� Persamaan (5.11)

 Upaya untuk memaksimumkan nilai PV dari Persamaan (5.11) dilakukan dengan jalan menurunkan persamaan tersebut terhadap waktu dan menyamakannya dengan nol:

��� �� =

� � (���− )−�����

��� 2 Persamaan (5.12)

 Dengan penyederhanaan aljabar, persamaan di atas dapat ditulis menjadi:

�∗

� � = ����

���� Persamaan (5.13)

selanjutnya dapat disederhanakan menjadi:

�∗

� � = �

(29)

27

IV. EKONOMI SUMBER DAYA AIR

1. Pengertian

Air adalah semua air yang terdapat pada, di atas, ataupun di bawah permukaan tanah, termasuk dalam pengertian ini air permukaan, air tanah, air hujan dan air laut yang berada di darat. Sumber air adalah empat atau wadah air alami dan/atau buatan yang terdapat pada, di atas, ataupun di bawah permukaan tanah. Daya air adalah potensi yang terkandung dalam air dan/atau pada sumber air yang dapat memberikan manfaat ataupun kerugian bagi kehidupan dan penghidupan manusia serta lingkungannya.

Sumber daya air adalah air, sumber air, dan daya air yang terkandung di dalamnya. Konservasi sumber daya air adalah upaya memelihara keberadaan, keberlanjutan keadaan, sifat, dan fungsi sumber daya air agar senantiasa tersedia dalam kuantitas dan kualitas yang memadai untuk memenuhi kebutuhan mahluk hidup baik pada waktu sekarang maupun pada generasi yang akan datang.

Pendayagunaan sumber daya air adalah upaya penatagunaan, penyediaan, penggunaan, pengembangan, dan pengusahaan sumber daya air secara optimal, berhasilguna dan berdayaguna. Pengendalian dan penanggulangan daya rusak air adalah upaya untuk mencegah dan menanggulangi terjadinya kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh daya rusak air yang dapat berupa banjir, lahar dingin, ombak, gelombang pasang, dan lain-lain. Pengelolaan adalah upaya merencanakan, melaksanakan, memantau, dan mengevaluasi penyelenggaraan konservasi, pendayagunaan sumber daya air, dan pengendalian daya rusak air. Penatagunaan sumber daya air adalah upaya untuk menentukan zona pemanfaatan sumber air dan peruntukan air pada sumber air.

(30)

28 Peruntukan air dan daya air adalah penentuan prioritas alokasi air dan daya air untuk masing-masing keperluan dengan kualitas dan kuantitas yang sesuai. Hak guna sumber daya air adalah hak untuk memperoleh dan menggunakan sumber daya air untuk keperluan tertentu.

Daerah Aliran Sungai (DAS) atau yang disebut dengan Daerah Pengaliran Sungai (DPS) adalah sebuah kawasan yang dibatasi oleh pemisah topografis, yang menampung, menyimpan, dan mengalirkan air ke anak sungai dan sungai utama yang bermuara ke danau atau laut. Wilayah sungai adalah kesatuan wilayah pengelolaan sumber daya air dalam satu atau lebih Daerah Aliran Sungai dan atau satu atau lebih pulau-pulau kecil, termasuk cekungan air tanah yang berada di bawahnya. Cekungan air tanah adalah suatu wilayah yang dibatasi oleh batas-batas hidrogeologi dimana semua kejadian hidrogeologi seperti proses pengimbuhan, pengaliran, pelepasan air tanah berlangsung. Air tanah atau air bawah tanah adalah air yang terdapat dibawah permukaan tanah pada lapisan tanah yang mengandung air.

Tata Pengaturan Air adalah segala usaha untuk mengatur pembinaan seperti pemilikan, penguasaan, pengelolaan, penggunaan, pengusahaan dan pengawasan atas air beserta sumber-sumbernya termasuk kekayaan alam bukan hewani yang terkandung di-dalamnya, guna mencapai manfaat yang sebesar-besarnya dalam memenuhi hajat hidup dan peri kehidupan rakyat.

2. Kondisi Sumber Daya Air

(31)

29 empat setengah persen dari total potensi air tawar nasional, namun pulau ini dihuni oleh sekitar 65 persen total penduduk Indonesia. Kondisi ini menggambarkan potensi kelangkaan air di Pulau Jawa sangat besar. Jika dilihat ketersediaan air per kapita per tahun, di Pulau Jawa hanya tersedia sekitar 1.750 meter kubik per kapita per tahun, masih di bawah standar kecukupan yaitu 2000 meter kubik per kapita per tahun.

Jumlah ini akan terus menurun sehingga pada tahun 2020 diperkirakan hanya akan tersedia sebesar 1.200 meter kubik per kapita per tahun. Apabila fenomena ini terus berlanjut maka akan terjadi keterbatasan pengembangan dan pelaksanaan pembangunan di daerah-daerah tersebut karena daya dukung sumber daya air yang telah terlampaui. Potensi krisis air ini juga dikhawatirkan terjadi di Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Sulawesi Selatan .

Masalah air di Indonesia ditandai juga dengan kondisi lingkungan yang tidak kondusif sehingga semakin mempercepat kelangkaan air. Kerusakan lingkungan antara lain disebabkan oleh terjadinya degradasi daya dukung daerah aliran sungai (DAS) hulu akibat kerusakan hutan yang tak terkendali sehingga luas lahan kritis sudah mencapai 18,5 juta hektar. Disamping itu jumlah DAS kritis yang berjumlah 22 buah pada tahun 1984 telah meningkat menjadi 59 buah pada tahun 1998.

(32)

30 mereka, kelangkaan air harus diatasi dengan efisiensi pemakaian, yang ditindaklanjuti dengan pembatasan pemakaian air dengan cara menaikkan nilai ekonomi air sehingga orang akan berhati-hati memakai air karena mahal. Saat sebagian orang tertarik untuk menjual air langsung sebagai barang komoditi, beberapa pemakai air lainnya mulai terganggu, karena bagi budidaya pertanian, ketersediaan air akan dapat menunjang peningkatan produksi pangan, peningkatan pendapatan petani, lapangan pekerjaan dan ketahanan pangan.

Kebutuhan air untuk sektor pertanian di beberapa negara Asia hampir mencapai 90 persen dari tingkat ketersediaan air, demikian juga di Indonesia. Hal ini karena sebagian besar masyarakat hidup dari pertanian dan ketahanan pangan menjadi komponen utama bagi ketahanan bangsa. Semakin meningkatnya persaingan di antara para pengguna air, maka pertimbangan ekonomis sering menjadi pertimbangan dalam alokasi air. Air dapat mempunyai nilai ekonomis yang lebih tinggi apabila dijual langsung sebagai barang komoditi.

(33)

31 Pengelolaan sumber daya air di Indonesia menghadapi problema yang sangat rumit dan kompleks, mengingat air mempunyai beberapa fungsi baik fungsi sosial-budaya, ekonomi dan lingkungan yang masing-masing dapat saling bertentangan. Dengan terjadinya perubahan iklim global, semakin meningkatnya jumlah penduduk dan intensitas kegiatan ekonomi, telah terjadi perubahan SDA yang sangat cepat.

Pembukaan lahan guna keperluan perluasan daerah pertanian, pemukiman dan industri, yang tidak terkoordinasi dengan baik dalam suatu kerangka pengembangan tata ruang, telah mengakibatkan terjadinya degradasi lahan, erosi, tanah longsor, banjir. Hal itu telah mengakibatkan terjadinya peningkatan konflik antara para pengguna air baik untuk kepentingan rumah tangga, pertanian dan industri, termasuk penggunaan air permukaan dan air bawah tanah di perkotaan. Saat ini sektor pertanian menggunakan hampir 80% kebutuhan air total, sedangkan kebutuhan untuk industri dan rumah tangga hanya 20%. Pada tahun 2020, diperkirakan akan terjadi kenaikan kebutuhan air untuk rumah tangga dan industri sebesar 25% – 30%.

Beberapa daerah aliran sungai di Pulau Jawa telah mengalami degradasi yang sangat memprihatinkan, erosi yang berlebihan telah mengakibatkan terjadinya sedimentasi di beberapa waduk yang telah dibangun di sungai Citarum, Brantas, Serayu-Bogowonto dan Bengawan Solo. Sedimentasi tersebut akan mengurangi usia tampung waduk, usia tampung beberapa waduk tersebut diperkirakan hanya akan mampu memenuhi kebutuhan air baku hingga tahun 2010 saja.

Pengambilan air tanah yang berlebihan di beberapa akuifer di kota-kota besar di Pulau Jawa (Jakarta, Semarang, Surabaya) telah mengakibatkan terjadi intrusi air laut dan penurunan elevasi muka tanah. Ketidaktersediaan sistem sanitasi dan pengolah limbah industri yang baik, juga telah mengakibatkan terjadinya pencemaran air tanah dan sungai oleh buangan air rumah tangga dan industri, terutama di musim kemarau. Di saat lain, di musim hujan, banjir terjadi di mana-mana, akibat karena semakin kecilnya daerah resapan, turunnya kapasitas sungai dan rusaknya sistem drainasi internal.

(34)

32 umumnya telah mampu menyimpan tiga hingga empat bulan setelah berakhirnya musim penghujan, sehingga sebagian besar sungai bawah tanah dan mata air mengalir sepanjang tahun dengan kualitas air yang baik” (Haryono, 2001).

Mata air epikarst dikenal mempunyai kelebihan dalam hal:

(1) Kualitas air. Air yang keluar dari mata air epikarst sangat jernih karena sedimen yang ada sudah terperangkap dalam material isian atau rekahan.

(2) Debit yang stabil. Mata air yang keluar dari mintakat epikarst dapat mengalir setelah 2 - 3 bulan setelah musim hujan dengan debit relatif stabil.

(3) Mudah untuk dikelola. Mata air epi-karst umumnya muncul di kaki-kaki perbukitan, sehingga dapat langsung ditampung tanpa harus memompa.

Kawasan karst ini menjadi sebuah tandon air alam raksasa bagi semua mata air yang terletak di kedua kabupaten tersebut. Akifer yang unik menyebabkan sumber daya air di kawasan kars terdapat sebagai sungai bawah permukaan, mata air, danau dolin/telaga, dan muara sungai bawah tanah (resurgence). Kawasan karst disinyalir merupakan akifer yang berfungsi sebagai tandon terbesar keempat setelah dataran alluvial, volkan dan pantai.

3. Siklus Air di Alam

(35)

33 Air yang mengalir di sungai juga berasal dari air hujan yang meresap kedalam tanah, seterusnya menembus lapisan yang mampu menyimpan air yang pada umumnya merupakan lapisan pasir (disebut lapisan aquifer) dan pada tempat tertentu memunculkan airnya kembali ke permukaan sebagai sumber atau mata air. Air dari mata air ini, airnya terus mengalir ke dalam sungai. Sungai dengan segala sifat-sifatnya, mengalirkan air jauh sampai ke laut. Air laut (biasanya asin) ketika mendapat energi panas matahari mengalami penguapan, proses penguapan ini disebut evaporasi. Air laut yang menguap ditiup angin menuju darat, mendaki lereng sampai ke puncak gunung, mengumpul jadi satu, berubah menjadi embun. Maka turunlah hujan. Kalau uap air yang naik ke lapisan atmosfeer masih berada di atas lautan, kemudian mencapai titik jenuh, jatuh kembali ke laut sebagai hujan, dinyatakan siklus pendek.

Pola Aliran Air Permukaan di Daerah Aliran Sungai (DAS)

(Sumber: sonyssk.wordpress.com/2008/10/04/air-dan-tanah-sumber-kehidupan/)

DAS adalah suatu lahan yang sekitarnya terjadi aliran air ke sungai. DAS menutupi permukaan tanah seluruh bumi. Pada DAS terdapat rumah, lingkungan, kota, hutan, lahan pertanian, dan banyak lagi. DAS datang dalam segala bentuk dan ukuran dan batas negara bahkan bisa lintas.

(36)

34 Ilustrasi Pentingnya Vegetasi Pohon dalam Menyimpan Air Hujan.

(Sumber: www.nccwep.org/stormwater/stormwater101/what_is_watershed.php)

Kapasitas infiltrasi tanah tergantung pada tekstur and struktur tanah, serta pada kadar air tanah terdahulu karena curah hujan sebelumnya atau musim kemarau. Kapasitas awal (dari tanah kering) yang tinggi tetapi, karena badai terus, hal itu akan berkurang hingga mencapai nilai stabil disebut sebagai laju resapan akhir.

(37)

35

4. Air sebagai Sumber Daya Ekonomi

Dewasa ini air sudah menjadi barang ekonomi dan mahal karena keberadaannya semakin langka, bahkan banyak yang tercemar bermacam-macam limbah dari hasil aktivitas manusia dan rumah tangga, limbah pertanian, peternakan, industri dan lain sebagainya. Indikator atau tanda air telah tercemar adalah perubahan suhu air, pH atau konsentrasi ion hidrogen, warna, bau dan rasa air, timbulnya endapan, koloid bahan terlarut, mikroorganisme dan radioaktif air. Wilayah kota dan kabupaten merupakan wilayah yang memiliki sumber daya air, berupa air permukaan dan air tanah yang potensial. Hal tersebut nampak dari beberapa sungai yang berukuran cukup besar dan mata air yang merupakan sumber potensial bagi penyediaan kebutuhan air baku penduduk. Keseimbangan air tanah (neraca air) di dapat dibuat berdasarkan besar input dan output yang ada. Input merupakan debit air sungai yang ada, sedangkan output merupakan total penggunaan air untuk keperluan domestik (rumah tangga), untuk irigasi dan untuk industri pariwisata.

Keseimbangan penggunaan air di suatu wilayah, seperti Kabupaten Gianyar, berdasarkan sumbernya yaitu sebesar 3.369.871,8 m3/hari dengan total penggunaan sebesar 1.759.792,046 m3/hari, sehingga masih terdapat cadangan air untuk wilayah Kabupaten Gianyar sebesar 1.610.079,754 m3/hari (Made Sudita dan Made Antara, 2006). Surat Keputusan Bupati Gianyar Nomor 4 tahun 2003 tentang Penetapan Obyek dan Daya Tarik Wisata di Kabupaten Gianyar, Sumber mata air di Desa manukaya ditetapkan sebagai salah satu obyek dan daya tarik wisata. Selain peninggalan fisik (pura), mata air di Sumber mata air yang dialirkan lewat pancuran memiliki daya tarik tersendiri bagi wisatawan yang sedang berkunjung.

(38)

36 dipungut biaya apapun. Padahal ini merupakan aset yang perlu dikelola demi kelestarian fungsi dan keberlangsungan sumber mata air.

Fluktuasi debit air yang dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan air irigasi sangat beragam dan berfluktuasi antar waktu, kondisi rona lingkungan sekitar mata air sangat mempengaruhi debit air ini. Kecendrungan perubahan tataguna lahan dari kawasan bukan terbangun menjadi kawasan terbangun dan sistem pengolahan lahan yang tidak sesuai dengan peruntukan telah mencapai kawasan-kawasan lindung yang seharusnya dikonservasi, seperti sempadan jurang dan sempadan sungai yang akan berpengaruh terhadap sistem aliran air pemukaan (runoff) dan infiltrasi. Demikian pula halnya dengan daerah aliran sungai bagian hulu (kawasan Sumber mata air) yang merupakan daerah tangkapan hujan, telah mendapat tekanan menjadi daerah pertanian yang intensif dan perubahan peruntukan dari lahan non terbangun menjadi kawasan terbangun. Jika fenomena ini dibiarkan berlangsung terus tanpa ada usaha-usaha menemukan solusinya, dikhawatirkan sumber air di kawasan Sumber mata air akan semakin menyusut dan mungkin suatu hari akan hilang, sedangkan di pihak lain sumber mata air dibutuhkan oleh berbabagai pihak untuk berbagai keperluan. Karenanya, keberadaan air di kawasan Sumber mata air harus dikaji, khususnya terkait nilai sosial (social benefit), nilai ekonomi total (total economic value) yang terkandung di dalamnya, dan usaha-usaha pelestarian saat ini yang telah dan perlu dilakukan oleh berbagai pihak.

Siklus Air Hujan

(39)

37 Istilah runoff berarti limpasan, aliran permukaan, yaitu jumlah total air yang mengalir ke sungai, atau jumlah limpasan langsung dan aliran dasar. Runoff sering juga disebut streamflow untuk menyatakan debit aliran pada sungai dan water yield untuk menyatakan volume air. Sedangkan runoff yang mengalir diatas permukaan tanah juga disebut overland flow. Runoff terdiri dari 3 (tiga) komponen, yaitu:

(1) Surface runoff

(2) Subsurface runoff atau interflow

(3) Baseflow atau groundwater runoff

Surface runoff terdiri dari aliran diatas permukaan tanah (overland flow) dan air hujan yang langsung masuk ke sungai (channel flow) Penggabungan komponen

surface runoff dan subsurface runoff disebut direct runoff. Surface runoff biasanya terjadi bila intensitas curah hujan melebihi intersepsi, infiltrasi dan surface storage

(tampungan permukaan). Surface runoff berubah selama hujan berlangsung, dapat juga hilang selama hujan atau seketika setelah hujan berhenti.

Subsurface runoff adalah bagian curah hujan yang terinfiltrasi yang keluar secara lateral melalui bagian atas horizon tanah hingga mencapai sungai (stream channel). Subsurface runoff ini mengalir lebih lambat dari surface runoff dan bergabung dengan surface runoff selama atau setelah hujan. Proporsi subsurface runoff

ini tergantung pada karakteristik geologi DAS dan sifat ruang-waktu curah hujan. Fenomena ini biasa dijumpai pada daerah iklim basah dan pada DAS dengan kapasitas infiltrasi yang tinggi dan DAS dengan lereng sedang sampai curam.

Baseflow adalah bagian air hujan yang terinfiltrasi hingga mencapai muka air tanah (water table) dan kemudian mengalir ke sungai. Aliran ini berpindah sangat lambat dan sedikit mempengaruhi puncak banjir (flood peaks) pada DAS yang kecil.

Baseflow tergantung pada permeabilitas tanah.

Komponen-komponen runoff diatas bisa saja tidak muncul secara teratur pada suatu DAS. Sebagai contoh, pada daerah-daerah kering (arid areas) dari DAS yang kecil hampir selalu terjadi surface runoff. Pada daerah basah (humid areas), subsurface runoff lebih dominan. Tetapi, curah hujan terus-menerus dalam jangka waktu yang panjang, di daerah arid juga dapat menghasilkan subsurface runoff, bahkan juga

(40)

38 gabungan faktor-faktor berikut: iklim, fisiografik dan karateristik ruang-waktu ( space-time) dari curah hujan.

Untuk menentukan jumlah limpasan tahunan, kurangi jumlah evapotranspirasi tahunan dari jumlah tahunan curah hujan.

= �� � � � − � � � � �

= + atau = + + � +

= + � atau = + + �

Direct runoff (DRO) adalah jumlah dari surface runoff (SRO) dan interflow (IF), sedangkan surface runoff (SRO) adalah gabungan dari overland flow (OF) dan

saturation excess overland flow (SOF).

= +

5. Pengelolaan Sumber Daya Air

Pengelolaan sumber daya air semakin hari semakin dihadapkan ke berbagai permasalahan. Permasalahan umum dalam pengelolaan sumber daya air pada dasarnya terdiri atas tiga aspek yaitu terlalu banyak air, kekurangan air dan pencemaran air. Peningkatan kebutuhan akan air telah menimbulkan eksploitasi sumber daya air secara berlebihan sehingga mengakibatkan penurunan daya dukung lingkungan sumber daya air yang pada gilirannya menurunkan kemampuan pasokan air. Gejala degradasi fungsi lingkungan sumber daya air ditandai dengan fluktuasi debit air di musim hujan dan kemarau yang semakin tajam, pencemaran air, berkurangnya kapasitas waduk dan lainnya.

(41)

39

6. Strategi Pengelolaan dan Perlindungan Sumber Daya Air

Dampak perubahan iklim tidak hanya dialami oleh Indonesia namun juga dialami negara-negara dibelahan dunia lainnya termasuk Jepang. Dari data yang ada menunjukan bahwa telah terjadi anomali yang signifikan, khususnya dalam 25 tahun terakhir seperti meningkatnya temperatur global, naiknya permukaan air laut dan sering terjadinya kondisi ekstrim seperti banjir, tanah longsor dan kekeringan. Bencana alam seperti banjir, typhon juga terjadi di Jepang sebagai salah satu dampak terjadinya perubahan iklim. Indonesia sebagai negara kepulauan sangat rentan terkena dampak perubahan iklim karenanya perlu disiapkan rencana kegiatan secara detil dalam upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.

Direktorat Jenderal Sumber Daya Air Kementerian PU bekerjasama dengan Japan International Cooperation Agency (JICA) merumuskan sebuah kebijakan dan strategi pengelolaan SDA menghadapi perubahan iklim. Pemerintah Indonesia besama-sama dengan pemerintah Jepang sangat peduli pada perubahan iklim sejak Protocol Kyoto dengan menyusun beberapa strategi terkait dampak perubahan iklim. Strategi-strategi tersebut yaitu strategi mitigasi dengan mengelola tata air pada lahan-lahan gambut (low land) dalam rangka mengurangi kerentanan kebakaran pada lahan gambut (pengendalian emisi gas rumah kaca) dan mendukung kegiatan penghijauan di daerah aliran sungai yang kritis dan kawasan hulu sungai.

Selain itu strategi adaptasi yaitu dengan meningkatkan pengelolaan bangunan infrastruktur sumber daya air untuk mendukung ketahanan pangan, pengembangan pengelolaan resiko bencana banjir dan kekeringan, pengembangan perlindungan pantai dari kenaikan permukaan air laut akibat mencairnya es di kutub utara, serta meningkatkan kampanye hemat air.

Kedua strategi di atas sangat penting dilakukan karena perubahan iklim juga dapat berdampak pada terjadinya krisis pangan, krisis air global dan krisis energi sebagai akibat dari kondisi perubahan iklim yang ekstrem.

(42)

40 memfokuskan pada pengelolaan terpadu antara kepentingan bagian hulu dan kepentingan bagian hilir sungai, pengelolaan terpadu antara kuantitas dan kualitas air, antara air tanah dan air permukaan, serta antara sumber daya lahan dan sumber daya air. Konsep IWRM ini diharapkan dapat mengatasi masalah kelangkaan air, banjir, polusi hingga distribusi air yang berkeadilan.

Perkembangan dan implementasi konsep IWRM, dikenal slogan One River One Plan One Management di Indonesia sangat berliku dan mengalami beragam kendala. Namun hingga saat ini koordinasi antar sektor yang menguasai empat hal yang perlu diterpadukan tersebut di atas, belum dapat berjalan dengan baik. Penebangan hutan terus berlanjut hingga mengakibatkan bencana banjir serta sedimentasi waduk dan muara sungai, pengambilan air tanah (blue water) yang lebih sulit diperbaharui terus berlangsung tanpa memperhatikan kemungkinan penurunan muka tanah dan intrusi air asin, penggalian pasir tidak terkendali, sehingga mengakibatkan terjadinya degradasi dasar sungai yang membahayakan beberapa infrastruktur lainnya.

Upaya untuk koordinasi pengelolaan sumber daya air pernah dilakukan oleh pemerintah pada kesempatan memperingati Hari Air Sedunia XII tahun 2004 pada tanggal 23 April 2004. Pada saat itu dicanangkan komitmen pemerintah dalam pengelolaan SDA dengan penandatanganan Deklarasi Nasional Pengelolaan Air yang Efektif dalam Penanggulangan Bencana oleh 11 menteri dalam koordinasi Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat yang terdiri dari Menko Kesra, Menteri Dalam Negeri, Menteri Pertanian, Menteri Pendidikan Nasional, Menteri Kesehatan, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Menteri Pekerjaan Umum, Menteri Kehutanan, Menteri Sosial, Menteri Negara Riset dan Teknologi, serta Menteri Negara PPN/Kepala Bappenas dan Menteri Negara Lingkungan Hidup.

(43)

41 (stakeholder) baik masyarakat, pengguna air lainnya dan pemerintah. GN-KPA memuat 6 komponen strategis, yakni: (1) penataan ruang, pembangunan fisik, pertanahan dan kependudukan; (2) rehabilitasi hutan dan lahan serta konservasi SDA; (3) pengendalian daya rusak air; (4) pengelolaan kualitas dan pengendalian pencemaran air; (5) penghematan penggunaan dan pengelolaan permintaan air; dan (6) pendayagunaan sumber daya air secara adil, efisien dan berkelanjutan.

Bank Pembangunan Asia (ADB) mengimplementasikan Water Financing Program 2006 – 2010, untuk membantu program IWRM di lima wilayah sungai di Indonesia, diantaranya wilayah Sungai Citarum, Ciliwung-Cisadane, Ciujung, Progo-Opak-Oya. ADB mempunyai 25 elemen sebagai indikator kondisi IWRM di sebuah wilayah sungai, antara lain keberadaan: Organisasi Pengelola Wilayah Sungai (RBO), partisipasi para pemegang kepentingan, perencanaan wilayah sungai, kesadaran publik, alokasi air, hak atas air, ijin pembuangan limbah, pembiayaan IWRM, nilai/harga air, peraturan pengelolaan air, infrastruktur yang mempunyai multimanfaat, partisipasi sektor swasta melalui program CSR (corporate social responsibility), pendidikan tentang pengelolaan wilayah sungai, pengelolaan daerah tangkapan air, kebijakan tentang aliran penyangga kualitas lingkungan, manajemen bencana, peramalan banjir, rehabilitasi kerusakan akibat banjir, monitoring kualitas air, upaya perbaikan kualitas air, konservasi lahan basah (rawa), perlindungan dan peningkatan ikan di sungai, pengelolaan air tanah, konservasi air dan sistem informasi guna mendukung penentuan kebijakan.

Salah satu upaya untuk mengatasi persoalan kelangkaan air pada musim kemarau yang kecenderungannya diikuti oleh kekeringan yang berkepanjangan, dan kelimpahan air pada musim hujan yang diikuti pula oleh banjir dengan skala luas dan waktu yang cukup lama adalah dengan melindungi sumber daya air. Salah satu upaya menambah cadangan air tanah adalah dengan menambah kapasitas resapan air melalui penanaman pohon dan pembuatan sumur resepan.

(44)

42

V. VALUASI EKONOMI SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN

1. Konsep Valuasi ESDAL

Valuasi ekonomi sumber daya alam dan lingkungan (SDAL) adalah upaya untuk memberikan nilai kuantitatif (monetisasi) terhadap barang atau jasa yang dihasilkan oleh sumber daya alam dan lingkungan atas dasar nilai pasar (market value) ataupun nilai non pasar (non market value). Valuasi ekonomi ESDAL merupakan alat ekonomi (economic tools) yang menggunakan teknik penilaian tertentu untuk mengestimasi nilai uang atau jasa yang dihasilkan oleh SDAL.

Ada perbedaan antara valuasi ekonomi (economic valuation) dengan apraisal ekonomi (economic appraisal atau economic assessment) dimana apraisal ekonomi berkaitan dengan penilaian rencana investasi pada suatu kegiatan ekonomi atau studi kelayakan investasi. Pada umumnya studi kelayakan investasi menilai biaya dan manfaat barang dan atau jasa yang bersifat nyata (tangible) dan ada pasarnya (marketable good), baik dengan harga pasar atau harga bayangan (shadow price). Tujuan kegiatan apraisal ekonomi adalah untuk menentukan nilai atau manfaat dan kelayakan investasi berdasarkan kriteria pengambilan keputusan. Sementara valuasi ekonomi upaya memberi nilai kuantitatif (monetasi) terhadap barang atau jasa yang dihasilkan sumber daya alam dan lingkungan baik atas dasar nili pasar (market value) maupun nilai non pasar (non market value).

Pemahaman terhadap konsep valuasi ekonomi SDAL memungkinkan para pengambil kebijakan dapat menentukan penggunaan SDAL yang efektif dan efisien. Valuasi ekonomi SDAL dapat digunakan untuk menunjukan keterkaitan antara konservasi SDAL dan pembangunan ekonomi, sehingga valuasi ekonomi dapat menjadi alat penting dalam upaya meningkatkan apresiasi dan kesadaran masyarakat terhadap SDAL dan lingkungan. Valuasi ekonomi SDAL merupakan suatu bentuk penilaian yang komprehensif, tidak hanya nilai pasar (market value) dari barang tetapi juga nilai jasa yang dihasilkan oleh SDAL yang sering tidak terkuantifikasi ke dalam perhitungan menyeluruh SDAL.

(45)

43 untuk menjelaskan kepada pemangku kepentingan alasan betapa pentingnya melindungi suatu kawasan hutan dari suatu kegiatan lain yang bersifat kontra produktif. Hal tersebut sebagian besar timbul oleh anggapan bahwa pengambil keputusan dan penentu kebijakan lebih memahami simbol-simbol ekonomi karena berkaitan langsung dengan kesejahteraan masyarakat dibanding teori ekosistem. Misalnya, dampak negatif perubahan lingkungan menjadi lebih konkrit apabila perhitungan yang diketengahkan ternyata merupakan nilai intervensi manusia atas dalih pembangunan yang dapat berakibat menurunnya mata-pencaharian masyarakat di wilayah tertentu. Namun demikian, disamping popularitas dan semakin diperlukannya metode ini, debat dan kritik semakin mewarnai pelaksanaannya khususnya dalam hal bagaimana pendekatan ini melakukan telaah nilai intrinsik sumber daya alam.

Keberatan dan kritik yang dilontarkan terhadap kajian ekonomi ini dipicu oleh berbagai alasan yang umumnya dipengaruhi oleh dasar filosofi yang dianut oleh kalangan tertentu. Misalnya kelompok ekosentris berpendapat bahwa setiap makhluk bernyawa memiliki hak untuk hidup sehingga manusia tidak sepatutnya memberikan nilai ekonomi terhadap mereka kalau sekedar demi memuluskan tujuan eksploitasi SDA. Di lain pihak kalangan antroposentris berargumen bahwa SDA baru berarti bila mampu memberikan kontribusi nyata terhadap kesejahteraan masyarakat.

Pendapat ini tentu saja dibantah oleh kelompok pertama yang bersikeras bahwa pendapat di atas akan menyebabkan eksploitasi berlebihan. Aliran yang mempromosikan bahwa SDA dianggap bermanfaat jika sanggup memenuhi kebutuhan manusia adalah sumber malapetaka kerusakan lingkungan selama ini. Pendapat ini juga ada benarnya bila kita menilai kebutuhan manusia dalam pandangan sempit yaitu hanya dari aspek pemenuhan materi.

Oleh karena itu, tujuan valuasi ekonomi SDAL adalah untuk menjamin tercapainya tujuan maksimalisasi kesejahteraan individu yang berkaitan dengan keberlanjutan ekologi dan keadilan distribusi.

(46)

44 pengelolaan sumber daya alam sekaligus bermanfaat dalam menciptakan keadilan dalam distribusi manfaat sumber daya alam.

2. Nilai Ekonomi Total SDAL

Berdasarkan tipologi valuasi ekonomi Barton (1994), Barbier (1993) dan Freeman (2002), penentuan valuasi (nilai) ekonomi SDAL menggunakan Nilai Total Valuasi (TEV) SDAL, dengan skema sebagai berikut:

� �� � � � = + � + + +

Nilai Guna Langsung (DUV): mencakup seluruh manfaat SDA dan

lingkungan yang dapat diperkirakan langsung dari konsumsi dan produksi melalui satuan harga berdasarkan mekanisme pasar. Nilai guna tersebut dibayar oleh seseorang atau masyarakat yang secara langsung menggunakan dan mendapatkan manfaat dari SDA dan lingkungan. Nilai DUV dihitung berdasarkan kontribusi SDA dan lingkungan dalam membantu proses produksi dan konsumsi saat ini (komiditi yang secara langsung dapat dikonsumsi atau bahan produksi barang atau jasa)

Nilai Guna Tidak Langsung (IUV): terdiri atas manfaat fungsional dari

proses ekologi yang secara terus-menerus memberikan konstribusinya terhadap masyarakat dan ekosistem. Areal pertanian yang cukup luas memberikan manfaat tidak langsung berupa kenyamanan udara, keindahan pemandangan, pengendali banjir,

Nilai Ekonomi Total (TEV)

Nilai Kegunaan / Use Value

(UV)

Nilai Guna Langsung /

Direct Use Value(DUV)

Nilai Guna Tidak Langsung / Indirect Use Value(IUV)

Nilai Non Kegunaan / Non-Use Value(NUV)

Nilai Guna Pilihan / Option Value(OV)

Nilai Keberadaan /

Existance Value(EV)

Gambar

Gambar 1. Perspektif Ricardian terhadap Sumber Daya Alam
Gambar 2. Bagan Klasifikasi Sumber Daya Alam
Gambar 3. Bagan Keterkaitan antara Sumber Daya Alam dan Aktifitas Ekonomi
Gambar disamping menunjukan bahwa

Referensi

Dokumen terkait

Apakah yang dimaksud dengan sumber daya alam yang dapat diperbarui8. jelaskan mengenai sumber daya alam yang

persediaan air untuk kawasan tertentu, dalam kaitan dengan tata guna air, yaitu membangun bendungan, membangun waduk, dan penataan sungai, penggunaan air sungai, penggunaan air

Ekonom klasik Ricardo dan Jevons melihat bahwa peningkatan biaya produksi berhubungan dengan semakin berkurangnya persediaan sumber daya alam.

Namun kita menyadari bahwa dari setiap proses kegiatan ekonomi yang dilakukan demi pembangunan ekonomi dengan cara mengeksploitasi sumber daya alam dan lingkungan

Bahkan seharusnya pemanfaatan sumber daya itu harus dilakukan dengan cara-cara yang dapat meningkatkan kelestarian sumber daya itu sendiri, agar dapat di nikmati hingga

Minyak bumi dapat diolah menjadi berbagai macam bahan bakar yang dapat dimanfaatkan oleh manusia, misalnya minyak tanah, solar, pertamax, premium, avtur dan sebagainya.. Sumber

Air limbah berasal dari rumah tangga, industri dan pabrik air limbah yang dibuang ke tanah dapat merembes, masuk ke tanah dan bercampur dengan air tanah. Akibatnya, dapat membahayakan

Masalah yang timbul sehubungan dengan sumber daya alam milik Masalah yang timbul sehubungan dengan sumber daya alam milik umum ialah adanya pendapat masyarakat yang mengatakan