• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mencari Bentuk Akademi Komunitas di Indo (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Mencari Bentuk Akademi Komunitas di Indo (1)"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

AKADEMI

KOMUNITAS

Mencari Bentuk

SUATU STUDI PERBANDINGAN ANTAR NEGARA

(2)

Kajian Profil dan Strategi Pengembangannya di Indonesia

Prof. Richardus Eko Indrajit (Tim Community College - Kementrian Pendidikan Nasional)

V e r s i 2 . 0 – J a k a r t a , M e i 2 0 1 1

(3)

Pertanyaan:

Apa kesamaan yang dimiliki antara Clint Eastwood, Tom Hanks, George Lucas, Sylvester Stallone, Robin Williams, Venus Williams, Walt Disney,

Calvin Klein, Ross Perot, dan Arnold Schwarzeegger?”

Jawaban:

(4)

Daftar Isi

Daftar Isi ... 3

A. Pendahuluan ... 5

A.1 Kebutuhan Tenaga Kerja Terampil ... 5

A.2 Strategi Pembangunan Nasional berbasis Otonomi Daerah ... 6

A.3 Pendekatan Penyiapan Sumber Daya Manusia ... 7

A.4 Kebutuhan dan Ketersediaan SDM yang Relevan ... 8

A.5 Institusi Pendidikan Tinggi Berbasis Komunitas ... 10

B. Profil dan Karakteristik Community College ... 11

B.1 Profil Termutakhir Community College di Dunia ... 11

B1.1 Amerika Serikat ... 11

B1.2 Australia ... 12

B1.3 Malaysia ... 12

B1.4 Filipina ... 12

B1.5 Inggris ... 12

B.2 Fungsi dan Peranan Komprehensif Community College ... 12

B2.1 Transfer Education ... 13

B2.2 Career Education ... 14

B2.3 Personal Developmental Education ... 14

B2.4 Continuing Education ... 15

B2.5 Industrial-Based Education ... 15

B2.6 Non-Matriculated Practical Skills Education ... 16

C. Perkembangan Community College di Indonesia ... 16

C.1 Ragam Jenis Community College ... 16

C1.1 Akademi ... 16

C1.2 Badan Pengembangan SDM (BPS) ... 16

C1.3 Balai Latihan Kerja (BLK) ... 17

C1.4 Usaha Waralaba (Franchise) ... 17

C1.5 Lembaga Kursus dan Pelatihan SDM ... 17

C1.6 Pusat Pemberdayaan SDM Organisasi ... 18

C1.7 Yayasan Pendidikan (Sosial) ... 18

C1.8 Program CSR Industri ... 19

C1.9 Sentra Pengabdian Masyarakat PT ... 19

C.2 Permasalahan dan Isu Strategis ... 19

C2.1 Dominasi Pendidikan Formal ... 19

C2.2 Struktur Kelembagaan ... 20

C2.3 Model Pendanaan dan Sustainabilitas ... 20

C2.4 Profil Instruktur dan Pengajar ... 20

C2.5 Relevansi Konten dan Sistem Pembelajaran ... 21

C2.6 Ketersediaan Fasilitas dan Sarana Prasarana ... 22

C.3 Tantangan Community College di Masa Mendatang ... 22

D. Strategi Pengembangan Community College ... 23

D.1 Prinsip Pengembangan Community College ... 23

D.2 Peta Jalan (Roadmap) Pengembangan Community College ... 23

D2.1 Tahap Pencatatan ... 23

D2.2 Tahap Penyusunan Kriteria ... 24

D2.3 Tahap Penilaian ... 24

D2.4 Tahap Penetapan ... 24

(5)

D2.6 Tahap Pengembangan ... 25

D2.7 Tahap Pemantauan ... 25

D2.8 Tahap Pembelajaran ... 25

D.3 Potensi Community College dan Indikator APK ... 25

E. Kesimpulan ... 26

E.1 Kunci Sukses Pengembangan Community College ... 26

E.2 Peranan Kementrian Pendidikan Nasional ... 26

(6)

A. Pendahuluan

A.1 Kebutuhan Tenaga Kerja Terampil

Kemampuan sebuah bangsa dalam berinovasi demi menghasilkan beragam produk dan jasa merupakan kunci utama keberhasilan negara tersebut dalam meningkatkan daya saingnya di era global serta pasar bebas dan terbuka. Dalam konteks ini, pergerakan roda pertumbuhan negara berkembang seperti Indonesia sangat ditentukan oleh kemampuan masyarakatnya dalam mengembangkan sektor ekonomi riil-nya, seperti: pertanian, perkebunan, perikanan, kehutanan, pariwisata, perdagangan, manufaktur, dan lain sebagainya. Sebagai sebuah benua kepulauan terbesar di dunia, dengan karakteristik masyarakat dan kebudayaan yang sangat heterogen, dibutuhkan profil tenaga kerja nasional dengan latar belakang kompetensi, keahlian, dan keterampilan yang beragam, agar seluruh potensi kekayaan fisik maupun non-fisik yang terkandung di bumi pertiwi ini dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya demi kepentingan bangsa dan negara. Keberadaan sumber daya manusia yang handal merupakan kata kunci keberhasilan pembangunan nasional.

Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Badan Statistik Nasional, paling tidak pada akhir tahun 2010 terdapat 119,4 juta usia manusia produktif di Indonesia, dimana lebih dari 8,32 juta manusia disinyalir tidak melakukan aktivitas produksi yang berarti (baca: pengangguran terbuka)1, dengan perincian latar belakang pendidikan terakhir sebagai berikut:

• Tidak/Belum Pernah Sekolah/Belum Tamat SD : 750,000 orang

• Sekolah Dasar : 1,4 juta orang

• SLTP : 1,7 juta orang

• SLTA (Umum dan Kejuruan) : 3,3 juta orang

• Diploma I/II/III/Akademi : 440,000 orang

• Universitas : 710,000 orang

Hal ini sungguh merupakan suatu ironi mengingat masih begitu banyaknya lahan produksi di seantero nusantara yang belum tergarap sama sekali. Berbagai data yang dikeluarkan oleh beragam kementrian memperlihatkan begitu besarnya potensi kekayaan alam yang sama sekali belum tersentuh oleh tangan manusia. Salah satu alasan yang kerap dikemukakan terkait dengan fenomena tersebut adalah tidak tersedianya sumber daya manusia yang memadai, baik dinilai secara kualitatif maupun kualitatif (dalam berbagai tingkatan dan model pekerjaan), yang sanggup mengeksplorasi dan mengeksploitasi berbagai kesempatan dimaksud. Oleh karena itu tidaklah mengherankan jika begitu banyaknya sumber daya strategis yang dimiliki bangsa dan negara ini, secara ‘terpaksa’ diserahkan ke pihak luar2 untuk mengelolanya. Gap antara kebutuhan dan ketersediaan ini merupakan persoalan yang sangat serius, karena kalau Indonesia gagal memenuhinya, maka secara otomatis dalam kerangka perdagangan bebas atau terbuka (misalnya: AFTA maupun CAFTA).

1Diambil dari Badan Pusat Statistik Republik Indonesia pada bulan Februari 2011.

2Diserahkan ke pihak asing, yang dikerjakan oleh SDM dari berbagai negara tetangga atau

(7)

A.2 Strategi Pembangunan Nasional berbasis Otonomi Daerah

Salah satu perubahan strategi sesuai dengan amanat agenda reformasi adalah melakukan desentralisasi terhadap sistem pembangunan nasional melalui pendekatan otonomi daerah. Sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku, setiap kabupaten/kota memiliki hak, wewenang, dan tanggung jawab untuk melakukan pembangunan sesuai dengan profil dan karakteristiknya masing-masing. Seperti diketahui bersama, sistem pembangunan sentralistik selama 30 tahun lebih di masa lalu telah melahirkan kondisi pembangunan yang tidak merata, karena lebih banyak dipusatkan di Pulau Jawa. Hal ini berakibat menumpuknya sumber daya berkualitas di Pulau Jawa yang terdiri dari 5 provinsi, sementara ke-28 provinsi lainnya mengalami kekurangan sumber daya manusia dengan berbagai latar belakang ilmu serta kompetensinya, baik dipandang dari sisi kuantitas maupun kualitas.

(8)

memahami, menyikapi, dan mengejawantahkan hak, wewenang, dan tanggung jawab yang diberikan dalam kerangka sistem otonomi daerah3.

A.3 Pendekatan Penyiapan Sumber Daya Manusia

Berbicara mengenai kualitas SDM sebuah negara, indikator yang paling banyak diadopsi negara-negara di dunia adalah HDI (Human Development Index) yang dipergunakan oleh UNHDR, dimana Indonesia ditempatkan pada ranking 108 dari 169 negara pada tahun 20104, di tengah-tengah GDP (PPP) per kapita sebesar US$4,394 atau GDP (nominal) per kapita sebesar US$3,0155, yaitu ranking 122 dari 153 negara. Kenyataan ini tentu saja merupakan sebuah “wake up call” dan tantangan besar bagi bangsa dan negara untuk meningkatkan daya saing bangsa-nya di tengah-tengah arus globalisasi yang sedemikian cepat dan dinamis. Apalagi jika dibandingkan dengan sejumlah negara ASEAN yang memiliki akselerasi peningkatan kualitas SDM dan daya saing bangsa yang cukup mencengangkan sehingga dapat melampaui Indonesia hanya dalam waktu yang relatif singkat.

Sistem Pendidikan Nasional Indonesia disusun dan dikembangkan untuk menghadapi tantangan tersebut, terutama dalam menjawab kebutuhan riil SDM di lapangan. Sesuai dengan postur Indonesia sebagai negara kepulauan, dengan berbagai keberagaman yang ada, maka seyogiyanya model pengembangan dan pemberdayaan manusia yang diberlakukan disesuaikan dengan kondisi tersebut.

SDM terdidik dan terlatih dicoba diciptakan oleh negara dan masyarakat melalui beragam pendekatan, baik yang bersifat formal, non formal, maupun informal – mulai dari PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) hingga pendidikan setingkat Doktor, baik dalan jalur akademik, vokasi, maupun profesi. Untuk dapat memetakan antara beragam jenis dan jalur pendidikan yang ada dengan

3Walaupun dalam tataran UU terkait dengan otonomi daerah sangat jelas dipaparkan mengenai

hak, wewenang, dan tanggung jawab pusat dan daerah – namun dalam kenyataan lapangan, begitu banyak interpretasi yang timbul sehingga cukup membingungkan banyak pihak yang ingin melangkah menerapkan suatu inisiatif tertentu.

4Jauh di bawah Singapore (ranking 27), Brunei (ranking 37), Malaysia (ranking 57), Thailand

(ranking 92), dan Filipina (ranking 97).

5Data perkiraan ini dikeluarkan dalam laporan International Monetary Fund (IMF) di awal tahun

(9)

kebutuhan riil industri, maka dikembangkanlah sebuah kerangka yang diberinama KKNI (Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia)6.

Keberadaan kerangka ini sangat membantu dan dapat dijadikan sebagai jembatan penghubung dalam menentukan kebutuhan tenaga terdidik dan terlatih dengan spesifikasi yang ditentukan oleh industri (lapangan pekerjaan) dengan yang perlu disediakan oleh sistem pendidikan tinggi di Indonesia, baik dari segi kuantitaif maupun kualitatif.

Sumber daya manusia yang unggul hanya dapat tercipta jika yang bersangkutan dapat memperoleh kesempatan untuk menikmati dan mengenyam pendidikan tinggi yang relevan dengan kebutuhan industri dan masyarakat yang ada7. Oleh karena itulah maka perlu dikembangkan sebuah lansekap pendidikan nasional yang memungkinkan terbukanya akses sebesar-besarnya kepada setiap individu dalam kebutuhannya untuk menikmati pendidikan tinggi yang bermutu. Agar terjadi “link and match” antara kebutuhan dan ketersediaan, ada baiknya dilakukan pemetaan terlebih dahulu dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia.

A.4 Kebutuhan dan Ketersediaan SDM yang Relevan

KKNI yang dimiliki dan diadopsi oleh Indonesia terdiri dari 9 (sembilan) tingkat atau level, dimana masing-masing tingkatan merepresentasikan kualitas kualifikasi seseorang dalam kaitannya dengan kompetensi pengetahuan,

6Disusun dan dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementrian Pendidikan

Nasional, pada tahun 2010-2011

7Dikatakan demikian karena pada dasarnya pendidikan dasar dan menengah (K-12) sudah

(10)

keahlian, dan keterampilan yang dimiliki. Sementara masing-masing kolom memperlihatkan domain latar belakang pendidikan yang telah dilalui, baik yang bersifat formal (akademik, vokasi, dan profesi) maupun non-formal dan informal (termasuk di dalamnya pelatihan dan “recognition prior learning” yang pernah dilalui). Jika dipandang dari segi kuantitas, seyogiyanya KKNI ini selaras dengan bentuk piramida, dalam arti kata semakin tinggi tingkatannya, semakin sedikit jumlah populasi SDM-nya. Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana dengan rasio atau proporsi antara pendidikan yang bersifat formal, non-formal, dan informal. Walaupun secara intuitif akan mengarah pada kesimpulan bahwa seharusnya kuantitas SDM yang berlatar belakang pendidikan formal lebih banyak dari pada non-formal dan informal, timbul pula pertanyaan berikutnya, yaitu bagaimana dengan proporsi antara jenis pendidikan akademik, vokasi, dan profesi.

Terlepas dari benar tidaknya asumsi bentuk piramida SDM maupun proporsi jenis pendidikan dimaksud, paling tidak yang perlu diperhatikan adalah “pintu gerbang” memasuki jenjang pendidikan tinggi yang dalam KKNI dinyatakan dalam tingkat 3. Secara prinsip, ada 4 jejak jalan (pathways) dalam memasuki “tingkatan pendidikan tinggi” ini, yaitu:

1. Jejak Jalan Pendidikan (berbasis gelar);

2. Jejak Jalan Industri (berbasis fungsi jabatan kerja); 3. Jejak Jalan Profesi (berbasis sertifikat dan lisensi); dan

4. Jejak Jalan Otodidak (berbasis pengalaman dan keahlian khusus).

(11)

A.5 Institusi Pendidikan Tinggi Berbasis Komunitas

Postur Indonesia sebagai sebuah negara yang terdiri dari beribu-ribu pulau, dengan beraneka ragam suku bangsa dan kondisi alam yang berbeda, secara langsung maupun tidak langsung menjadi pemicu terbentuknya bermacam-macam komunitas atau kelompok individual dengan ciri khas dan karakteristiknya masing-masing, seperti:

• Kumpulan masyarakat berbasis pekerjaan atau profesi yang berkumpul pada lokasi geografis tertentu, seperti komunitas nelayan di pesisir pantai, komunitas petani di daerah persawahan, komunitas pedagang di sentra-sentra pasar, komunitas pekebun di daerah pegunungan, komunitas peternak di daerah padang rumput, komunitas pengrajin di pusat pariwisata, dan lain sebagainya;

• Kumpulan masyarakat berbasis industri dimana yang bersangkutan bekerja menghasilkan beragam produk dan jasa untuk diperjualbelikan, seperti komunitas warnet, komunitas perhotelan, komunitas seni tari, komunitas musik, komunitas perfileman, komunitas olah raga, komunitas pedagang retail, dan lain sebagainya;

• Kumpulan masyarakat berbasis kegemaran atau hobi tertentu yang memiliki nilai tambah dalam masyarakat, seperti komunitas mobil klasik, komunitas filateli, komunitas pemelihara ikan hias, komunitas pecinta batik dan keris, komunitas kuliner, dan lain sebagainya; serta

• Kumpulan masyarakat berbasis status dan/atau struktur yang ada dalam konteks kemasyarakatan maupun organisasi, seperti komunitas guru, komunitas lurah, komunitas bupati/walikota, komunitas remaja, komunitas pemuda, komunitas ibu-ibu PKK, komunitas manula, dan lain sebagainya.

(12)

Ciri khas dari Community College dibandingkan dengan model pendidikan tinggi lainnya adalah sebagai berikut:

• Struktur dari program yang ditawarkan sangatlah beraneka ragam, tergantung dari kebutuhan komunitas yang dilayaninya, dimana dari waktu ke waktu dapat secara dinamis berubah-ubah;

• Ukuran ‘kampus’-nya berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan dan situasi kondisi yang ada, sehingga dapat hanya terdiri dari sebuah ruangan kecil atau lokasi sederhana di bawah pohon hingga gedung megah yang menempati tanah beberapa hektar;

• Sifat penyelenggaraannya merupakan kombinasi antara pendidikan formal, informal, dan non-formal dengan berbasis pada kemampuan belajar sambil bekerja (baca: “learning by doing”);

• Instruktur atau fasilitator dapat berasal dari berbagai pihak, baik mereka yang memiliki latar belakang pendidikan khusus, hingga para praktisi, dan pelaku industri;

• Materi dan konten dikumpulkan, disusun, dan dikembangkan dari hasil pembelajaran dan pengalaman terdahulu, sehingga kontekstual dan mampu ditularkan dalam bentuk kompetensi, keahlian, dan keterampilan kepada para siswanya;

• Lama studi formalnya biasanya 1-2 tahun (jika ingin mendapatkan pengakuan formal tertentu), dimana masing-masing mata ajar dapat diberikan per modul yang panjangnya 1 hingga 3 bulan;

• Sumber pendapatannya dapat beraneka ragam, seperti dari uang belajar siswa, dana bantuan dari pemerintah pusat, dana khusus dari pemerintah daerah, urunan komunitas yang bersangkutan, hibah dari pihak ketiga, bantuan dari sponsor, maupun kerjasama dengan sentra bisnis dan industri.

B. Profil dan Karakteristik Community College

B.1 Profil Termutakhir Community College di Dunia

Definisi dan ruang lingkup Community College berbeda-beda antar satu negara dengan negara lainnya. Hal ini disebabkan karena bentuk dan karakteristik Community College akan sangat tergantung dari struktur dan budaya masyarakat setempat dari negara yang bersangkutan. Berikut adalah beberapa konsep mengenai Community College dari berbagai negara yang ada.

B1.1 Amerika Serikat

(13)

B1.2 Australia

Community College merupakan bagian dari sistem pendidikan nasional berbasis vokasi dimana menyelenggarakan program pelatihan berkualitas dengan harga yang terjangkau oleh komunitas sekitar. Community College ini bersama-sama dengan TAFE (Technical And Further Education) dikelola dengan mengacu pada sejumlah standar/kerangka, masing-masing adalah National Training System, the Australian System for Vocational Education and Training (VET), dan Australian Qualithy Training Framework (AQTF). Sejarahnya, keberadaan Community College di negara ini adalah untuk meneruskan budaya atau tradisi pembelajaran bagi orang dewasa (baca: “adult education”) yang telah berkembang semenjak pertengahan abad ke-19. Walaupun lokasinya berada di mana-mana, mulai dari kota besar hingga daerah terpencil, kebanyakan Community College beroperasi bukan untuk mencari keuntungan finansial (baca: “not for profit organisation”), karena fungsinya lebih pada melayani kebutuhan pendidikan tinggi bagi masyarakat atau komunitas tertentu.

B1.3 Malaysia

Community College merupakan jejaring dari institusi perguruan tinggi dimana pendidikan vokasi dan pelaithan berbasis keahlian teknis diajarkan ke peserta didik sebelum yang bersangkutan masuk ke bursa tenaga kerja. Jejaring Community College ini menyediakan pula infrastruktur pendidikan bagi mereka yang kurang mampu dan menjadi jembatan akses ke post-secondary education dengan berpegang pada Malaysian Qualifications Framework (MQF). Saat ini, kebanyakan Community College di negara ini dapat memberikan sertifikasi setingkat MQF tingkat 3, walaupun mulai banyak Community College yang mulai beroperasi untuk memberikan sertifikasi setara dengn tingkat 4 (dua tingkat di bawah tingkat 6, yang setara dengan sarjana atau “bachelor”), sehingga yang bersangkutan dapat dengan mudah melajutkan ke perguruan tinggi atau politeknik.

B1.4 Filipina

Community College merupakan lembaga pendidikan vokasi yang didirikan dari, oleh, dan untuk komunitas di bawah bimbingan dan pendampingan Ministry of Education, Culture, and Sports (MECS). Kebanyakan Community College di FIlipina diselenggarakan pada malam hari, agar para karyawan dapat mengikuti dan berpartisipasi dalam pendidikan tinggi tersebut. Community College di negara ini diusahakan beroperasi sedemikian rupa sehingga tidak membebani peserta didik dengan biaya pendidikan yang tinggi.

B1.5 Inggris

CC merupakan institusi pendidikan dimana para siswanya dapat memperoleh tingkatan A-levels, Scottish Higher, atau kualifikasi vokasi lainnnya (seperti GNVQ dan HND) yang diperlukan sebagai syarat untuk melamar atau memasuki perguruan tinggi semacam universitas – diluar sertifikat GCSE yang biasa dipergunakan dan diakui dalam sistem pendidikan Inggris.

B.2 Fungsi dan Peranan Komprehensif Community College

(14)

B2.1 Transfer Education

Community College berperan sebagai jembatan menuju universitas, dimana kredit yang diambil pada saat mengikuti program di Community College dapat ditransfer dan diakui oleh perguruan tinggi formal pada jenjang yang lebih tinggi, baik yang berjenis pendidikan akademik maupun berbasis vokasi. Untuk memastikan bahwa kredit yang diambil dapat ditransfer, Community College yang bersangkutan harus mengikuti sejumlah aturan dan standar tertentu yang ditentukan (biasanya dengan menggunakan kerangka pemetaan kualifikasi yang berlaku di negara bersangkutan). Berikut adalah contoh program yang ditawarkan sejumlah Community College berbagai negara untuk kebutuhan transfer kredit:

Jenis Pendidikan Akademik

• Associate of Arts Degree, melingkupi:

o Social Sciences: economics, sociology, anthropology, psychology,

geography, dan political science;

o Humanities: literature, history, art, music, theater, dan

communications; dan

o Foreign Languages: Spanish, French, Chinese, Korean, Hawaiian,

Japanese, dan Italian.

• Associate of Science Degree, melingkupi:

o Natural Sciences: biology, physics, chemistry, geology, dan

environmental studies; dan

o Mathematics.

Jenis Pendidikan Vokasi

• Associate of Applied Science Degree, meliputi:

o Computer Assisted Drafting, Nursing, Office Administration and

(15)

Pharmaceutical Manufacturing, Agricultural Business Technology, Hospitality Management, Radiologic Technology, Marketing, Electrical-Mechanical Systems and Maintenance, dan lain sebagainya.

• Associate of Applied Arts Degree, meliputi:

o Gallery Management, Studo Arts, Commercial Music, Fine Arts,

Interior Design, Stage Technology, dan lain sebagainya.

B2.2 Career Education

Community College menyediakan program untuk meningkatkan kompetensi, keahlian, dan keterampilan peserta didik pada bidang tertentu sebagai bekal untuk meningkatkan kinerja karir yang bersangkutan (seperti: nelayan, petani, peternak, montir, pengrajin, dan lain sebagainya). Dengan mengikuti beberapa modul pelatihan, maka diharapkan peserta didik dapat meningkatkan kualitas atau mutu pekerjaannya dimanapun yang bersangkutan berada dan berkarya. Biasanya yang akan mereka peroleh adalah sejumlah sertifikasi yang diakui oleh komunitas dan masyarakat industri di negara yang bersangkutan, seperti contohnya dalam berbagai bidang sebagai berikut:

• Technical Certification, meliputi:

o Computer Aided Drafting, Internet Literacy, Clinical Healthcare,

Landscape and Horticulture, Dental Assisting, Legal Drafting, Handicrafting, dan lain sebagainya.

• Management Certification, meliputi:

o Entrepreneurship, Supervisory Skills, Personal Financial

Management, Business Proposal Development, Marketing and Sales Engagement, Warehousing Management, Hospitality Management, dan lain sebagainya.

• Special Skills Certification, meliputi:

o Family Violence Intervention, Culinary Arts, Hypnotherapy, Spa

Therapy, dan lain sebagainya.

B2.3 Personal Developmental Education

Community College tipe ini menawarkan sejumlah modul pelatihan untuk tujuan pengembangan diri para individu pembelajar agar lebih “berdaya” dalam menghadapi berbagai tantangan kehidupan. Aspek pengembangan “soft skills”, pembentukan karakter, dan pengembangan pribadi adalah contoh dari program yang ditawarkan dan dapat diikuti oleh berbagai komunitas, seperti:

• Soft Skills Development Program, meliputi:

o Presentation Skills, Negotiation Skills, Team Building, Conflict

Management, Negotiation, Leadership, Communication Skills, Change Management, dan lain sebagainya.

• Character Building Development Program, meliputi:

o Time Management, Work Ethics, Anger Management, Table

(16)

B2.4 Continuing Education

Community College menjadi salah satu pilar pembelajaran seumur hidup atau sepanjang hayat, karena ditawarkannya berbagai jenis kelas yang dapat diikuti oleh siapa saja tanpa memandang usia, status sosial, dan latar belakang apapun. Program-program yang bersifat budaya, humaniora, dan sosial biasanya merupakan tulang punggung dari Community College yang berada dalam domain fungsi ini (terutama “adult education”), seperti:

• Budaya dan Humaniora dengan modul pembelajaran meliputi:

o Middle-East Literature Study, Yoga and Music, Ancient History,

Traditional Dance, Food and Culture, Human Communication, Movie Critics, The Art of War, Shakespeare Masterpiece, Broadway and Hollywood Phenomena, Media and Entertainment, Parents Education, dan lain sebagainya.

• Sosial dan Ekonomi dengan modul pembalajaran seperti:

o American History, Politics in Asia, Bubble Economy, Millenium

Development Goals, War and Peace, Cash Flow Management, Social Conflict, Insurance and Investment,

B2.5 Industrial-Based Education

Community College sering pula menjadi “agen perpanjangan tangan” atau “mitra khusus” dari industri spesifik yang ada dalam sebuah komunitas, sehingga program yang ditawarkan berhubungan langsung dengan kebutuhan profil SDM pada sektor industri yang bersangkutan, misalnya adalah sebagai berikut:

• Agriculture Industry: Harvest Management, Weather Forecasting, Pesticide Selection, Pricing Strategy, dan lain sebagainya.

• Mining Industry: Work Safety Management, Trucking System, Shipping Management, dan lain sebagainya.

• Manufacturing Industry: Machine Maintenance, Quality Management System, Product Packaging Standard, dan lain sebagainya.

• Utility Industry: Electricity Optimisation, Micro-Hydro Development System, Solar Energy Utilisation, dan lain sebagainya.

• Tourism Industry: Hotel Management, Ticketing System, Multi-Cultural Communication, dan lain sebagainya.

• Construction Industry: Fire Estinguisher Standard, Apartment Time Sharing System, Asset Management, dan lain sebagainya.

• Commerce Industry: Internet Business (E-Commerce), Retail and Merchant Management, International Market System dan lain sebagainya.

• Transportation Industry: Routing Management, Ground Handling, Rapid Transportation System, dan lain sebagainya.

• Creative Industry: Cartoon Animation, Movie/Video Making Technique, Handicraft Promotion Management, Performing Arts Management, dan lain sebagainya.

• Retail and Distribution Industry: Suply Chain Management, Warehousing System, Franchising Model, dan lain sebagainya.

(17)

B2.6 Non-Matriculated Practical Skills Education

Community College juga kerap menawarkan program-program atau modul-modul praktis sederhana yang tidak membutuhkan persyaratan tertentu, alias siapa saja dapat memanfaatkannya untuk membangun keterampilan tertentu, seperti yang dicontohkan berikut ini.

• Personal Skills meliputi hal-hal seperti:

o How to Write Resume (baca: Curriculum Vitae), How to Talk in

Front of Public, How to Think Positive, How to Motivate Yourself, How to Build Personal Image, dan lain sebagainya.

• Social Skills meliputi hal-hal semacam:

o How to Start Business, How to Attain Work License, How to Sell

Product Effectively, How to Manage Conflict, How to Influence People, How to Delegate, dan lain sebagainya.

C. Perkembangan Community College di Indonesia

C.1 Ragam Jenis Community College

Pada dasarnya, secara “de facto” dan “de jure” lembaga Community College sudah berdiri dan menjamur semenjak lama di tanah air. Misalnya adalah Akademi Perbankan yang telah didirikan semenjak tahun 1969 atau Lembaga Pendidikan Komputer yang telah berkembang di awal tahun 1980-an. Program satu atau dua tahun ini pada dasarnya diselenggarakan melalui dua pendekatan, yaitu melalui pendidikan formal (Diploma-1 dan Diploma-2) atau melalui jenis pendidikan non-formal seperti pelatihan/training (sertifikat keahlian). Paling tidak semenjak masa Orde Baru, berkembang berbagai bentuk dan aktivitas “Community College” yang tersebar di seantero nusantara dengan bentuk dan karakteristiknya masing-masing, seperti yang dipaparkan dalam penjelasan berikut ini.

C1.1 Akademi

Merupakan lembaga pendidikan formal yang didirikan dan diselenggarakan oleh pemerintah, swasta, atau masyarakat di bidang tertentu, dengan durasi program antara 1-2 tahun. Misalnya program yang ditawarkan misalnya: keperawatan, komputer, musik, animasi, memasak, bertanam, dan lain sebagainya. Peserta didik selain akan memperoleh surat tamat belajar Diploma-1 atau Diploma-2, dengan gelar akademik Ahli Pratama dan Ahli Muda. Contohnya adalah Akademi Farmasi, Akademi Sekretaris, Akademi Wushu, Akademi Maritim, Akademi Pariwisata, dan lain sebagainya.

C1.2 Badan Pengembangan SDM (BPS)

(18)

Pertanian, BPS Perhubungan, BPS Kelautan dan Perikanan, BPS Pendidikan, dan lain sebagainya.

C1.3 Balai Latihan Kerja (BLK)

Merupakan suatu tempat semacam bengkel (workshop), laboratorium, atau kelas-kelas kecil yang kebanyakan didirikan oleh berbagai kalangan, pemerintah maupun swasta, sebagai “laboratorium hidup” bagi para individu yang ingin mengasah keterampilannya. Model pembelajarannya pun biasanya “hands-on” karena berupa praktek kerja yang langsung dapat diterapkan dan diimplementasikan oleh peserta didik. Contohnya adalah: BLK Industri Serang, BLK Condet, BLK Luar Negeri, BLK Daerah Jakarta, BPK Perawat, dan lain sebagainya.

C1.4 Usaha Waralaba (Franchise)

Merupakan unit usaha yang telah memiliki merek (brand) atau rekam jejak internasional yang manajemen dan implementasi penyelenggaraan program pendidikan yang ada diadopsi sepenuhnya untuk ditawarkan pada pasar lokal Indonesia. Usaha waralaba ini sesuai dengan namanya biasanya berorientasi pada keuntungan (profit) sehingga biasanya program sertifikasi atau lisensi yang ditawarkan dikenal atau diakui secara internasional. Contohnya adalah Waralaba Kursus Bahasa, Waralaba Pelatihan Musik, Waralaba Kursus Mengemudi, Waralaba Pendidikan, Waralaba Industri Kecantikan dan Estetika, dan lain sebagainya.

C1.5 Lembaga Kursus dan Pelatihan SDM

(19)

Community College di Indonesia dalam Berbagai Bentuk Penyelenggaraan

No Propinsi Penyelenggara Total SMK Univ/PT BL

Merupakan unit atau divisi dalam sebuah organisasi – seperti perusahaan asing atau nasional, organisasi massa, perkumpulan/perhimpunan, asosiasi, atau institusi pemerintahan – yang memiliki fungsi khusus untuk memberdayakan dan mengembangkan kemampuan SDM atau karyawan yang ada di dalam lingkungan organisasi dimaksud. Di luar jam kerja, biasanya unit atau divisi ini menyediakan dan menawarkan pula program-program bagi masyarakat atau komunitas sekitar.

C1.7 Yayasan Pendidikan (Sosial)

(20)

C1.8 Program CSR Industri

Merupakan sebuah program atau proyek berbasis CSR (Corporate Social Responsibility) yang diselenggarakan oleh perusahaan atau sektor industri tertentu sebagai keperdulian mereka terhadap masyarakat dan komunitas sekitar dimana yang bersangkutan menjalankan usaha bisnisnya. Biasanya perusahaan yang melaksanakan aktivitas CSR adalah mereka yang telah “mengambil” sesuatu dari masyarakat, sehingga sebagai kompensasinya, mereka berkomitmen untuk “mengembalikan” atau “membalas budi” terhadap masyarakat terkait. Contohnya adalah pada sektor industri pertambangan seperti minyak, gas bumi, batu bara, timah, dan lain sebagainya. Mendirikan sekolah, akademi, pusat pelatihan dan pengembangan SDM, dan sentra-sentra pendidikan merupakan salah satu fokus program CSR yang dikembangkan.

C1.9 Sentra Pengabdian Masyarakat PT

Merupakan bagian dari unit perguruan tinggi yang diperuntukkan untuk menjalankan darma pengabdian masyarakat yang diembannya; dimana pada jam-jam di luar perkuliahan, biasanya malam hari, sejumlah divisi atau fasilitas perguruan tinggi dapat dipergunakan oleh komunitas dan masyarakat sekitar melalui pelaksanaan berbagai bentuk pembelajaran yang fleksibel dan terjangkau biayanya. Sentra-sentra ini menjadi semacam tempat bagi komunitas dalam meningkatkan pengetahuan dan keterampilan praktisnya.

C.2 Permasalahan dan Isu Strategis

Pada kenyataannya, perkembangan Community College di Indonesia berjalan secara sporadis dan tidak terstruktur, terbukti dari belum adanya data yang lengkap dan komprehensif mengenai keberadaannya di seluruh pelosok nusantara. Namun demikian, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa telah cukup banyak kontribusi yang diberikannya selama ini – dimana dalam sejarah mencapai puncaknya ketika Indonesia berhasil mencapai tingkat “swa sembada” di sejumlah sektor industri andalan. Pasca era reformasi, keberadaan sentra-sentra Community College mulai banyak dipertanyakan, terbukti dari mulai pudarnya identitas (baca: “brand” atau merek) terkemuka mereka yang sudah tidak terdengar lagi di telinga masyarakat. Di tengah-tengah berkembangnya Community College di negara lain, ada sejumlah isu dan permasalahan yang mengemuka di Indonesia, seperti yang dipaparkan secara ringkas berikut ini.

C2.1 Dominasi Pendidikan Formal

(21)

dikelola oleh akademi tersebut8. Apalagi sentra-sentra Community College yang berada pada jalur pendidikan non-formal atau informal, dianggap kalah “pamor” dan “kurang bergengsi” dengan jenjang pendidikan formal.

C2.2 Struktur Kelembagaan

Pada kenyataannya, tidak semua Community College yang secara ‘de facto’ beroperasi di Indonesia berada dalam wilayah pembinaan dan/atau pengawasan Kementrian Pendidikan Nasional. Contohnya adalah perguruan tinggi kedinasan atau pusat-pusat pendidikan dan pelatihan seperti Balai Latihan Kerja atau Badan Pengembagnan SDM yang berada di bawah institusi Kementrian lain semacam Kementrian Pertambangan, Kementrian Pertahanan, Kementrian Perdagangan, Kementrian Kelautan, Kementrian Tenaga Kerja, dan lain sebagainya. Perbedaan binaan dan administrasi ini pada tataran lapangan sering menyebabkan terjadinya isu terkait dengan aspek kompatabilitas konten, kualitas lulusan, dan “learning outcome” yang dihasilkan. Keberadaan KKNI tentu saja menjadi salah satu solusi yang dapat mengatasi permasalahan ini; namun pada tataran penerapan atau implementasi, dibutuhkan koordinasi lintas sektoral/kementrian yang efektif dan intensif. Hal ini bertujuan agar para alumni Community College benar-benar mendapatkan manfaat atau “value” yang dijanjikan atau mereka harapkan sebelumnya. Jika kerjasama ini tidak terjalin dengan baik, maka nilai keberadaan Community College di masyarakat akan menjadi rendah dibandingkan dengan institusi pendidikan lainnya.

C2.3 Model Pendanaan dan Sustainabilitas

Aspek pendanaan merupakan hal yang krusial bagi sebuah Community College untuk dapat bertahan dan berkembang dari masa ke masa (baca: “sustainable”). Dalam konteks untuk menjaga kebersinambungan operasional yang ada, Community College perlu memiliki “financial model” yang efektif dan langgeng. Seperti telah disampaikan sebelumnya, model pendanaan Community College bisa beranekaragam, antara lain: biaya kuliah, anggaran pemerintah daerah, dana sumbangan masyarakat/komunitas, kerjasama kemitraan industri, hibah dalam dan luar negeri, dan lain-lain. Intinya adalah bahwa Community College harus kreatif dan pintar-pintar mengelola arus kasnya agar dari waktu ke waktu senantiasa tersedia dana yang mencukupi untuk menjalankan aktivitas operasionalnya. Telah menjadi rahasia umum bahwa cukup banyak Community College yang terpaksa gulung tikar karena kekurangan dana.

C2.4 Profil Instruktur dan Pengajar

Sesuai dengan karakteristiknya, Community College membutuhkan dukungan SDM instruktur dan pengajar yang berlatar belakang praktisi aktif atau yang berpengalaman menciptakan manusia terlatih. Sayangnya, kebanyakan dari mereka ini belum atau tidak memiliki latar belakang pendidikan formal yang “mencukupi” atau memenuhi syarat secara administratif atau legal formal. Dalam konteks ini, mekanisme “recognition of prior learning” harus benar-benar diimplementasikan agar banyak pihak yang dapat dilibatkan sebagai instruktur maupun pengajar yang handal. Jika tidak, maka akan sulit menemukan dosen yang relevan dan sesuai dengan kebutuhan, serta memiliki kapabilitas

8Lulusan akademi sering dianggap sebagai warga negara “kelas dua” karena dianggap kalah

(22)

sebagaimana dipersyaratkan oleh berbagai standar yang dikembangkan oleh Kementrian Pendidikan Nasional.

SWOT Analysis Community College di Indonesia

Strength Weakness

• Ada Sisdiknas 2003 dan beberapa turunan perundangan

− Sistem pendidikan terbuka

− KKNI

• Ada partisipasi industri dan pendidikan swasta dalam pengembangan CC

• Terminologi CC belum ada dalam Sisdiknas 2003

• CC yang ada:

− Struktur pendidikannya : input, proses, output dan

• Jenis Pendidikan yang langsung masuk ke mainstream ekonomi daerah/nasional meningkatkan daya saing bangsa karena

menghasilkan:

− Tenaga terampil

− Produk berkualitas

• Meningkatkan partisipasi lulusan SMTA masuk Dikti:

− Meningkatkan APK Dikti

− Meningkatkan tenaga kerja berpendidikan tinggi

− Inventarisasi, klasifikasi dan akreditasi CC yang ada karena posisi yang tidak jelas dalam Sisdiknas

Unsustainability CC yang ada karena kurang dukungan masyarakat

• Daya beli masyarakat untuk pendidikan rendah

• Penyediaan sarana/prasarana CC mahal

• Clustering lembaga terkait:

− PT setempat

− Pemda

− Industri

− Masyarakat

C2.5 Relevansi Konten dan Sistem Pembelajaran

Membuat kurikulum dan konten yang sesuai dengan kebutuhan dinamis para peserta didik merupakan tantangan tersendiri yang dihadapi oleh penyelenggara Community College. Sistem pembelajaran yang dikembangkan dan diadopsi pun sangat berbeda dengan kebanyakan model pendidikan formal lainnya, karena

S dan W

(23)

dalam waktu hanya 1-2 tahun saja, sang peserta didik harus memperoleh sesuatu yang bermanfaat langsung bagi dirinya. Prinsip seperti fleksibilitas waktu belajar, model pembelajaran terbuka (baca: “open education”), keterjangkauan akses sumber belajar, kemandirian dan independensi, maupun berorientasi lapangan – harus benar-benar dipegang teguh dalam mengembangkan sistem pembelajaran yang relevan dengan situasi kondisi lapangan maupun kebutuhan peserta didik.

C2.6 Ketersediaan Fasilitas dan Sarana Prasarana

Banyak persepsi praktisi maupun pelaku pendidikan yang beranggapan bahwa sebuah Community College tidak memerlukan fasilitas serta sarana prasarana yang berkualitas dan mahal. Justru sebaliknya, dalam arti kata bahwa untuk dapat menciptakan SDM yang handal dalam kurun waktu tidak lebih dari dua tahun, dibutuhkan fasilitas dan sarana prasarana yang memadai – terutama dalam mendukung siswa peserta didik mengembangkan kemampuannya berdasarkan model dan cara belajarnya masing-masing (independen dan mandiri). Sering kali hal ini kurang menjadi perhatian, alias cukup banyak penyelenggara Community College yang membangun fasilitas serta sarana prasarana seadanya. Tentu saja hal ini tidak berlaku untuk semua jenis Community College, karena ada juga yang hanya membutuhkan alat-alat atau piranti sederhana sesuai dengan program atau modul pembelajaran yang ditawarkan ke komunitas.

C.3 Tantangan Community College di Masa Mendatang

Salah satu tren yang mencirikan komunitas moderen adalah terbentuknya masyarakat madani, dalam arti kata terbentuknya beraneka ragam komunitas basis yang sangat mandiri dan independen dalam hal memenuhi kebutuhan hidupnya, termasuk dalam hal pendidikan. Dalam konteks ini, tentu saja peranan Community College di masa depan akan sangat krusial dalam meningkatkan akses serta kualitas pendidikan di tanah air. Tingkat daya saing sebuah Community College pun akan menjadi naik sejalan dengan inisiatif diintegrasikannya beragam institusi pendidikan di tanah air melalui jaringan teknologi informasi dan komunikasi semacam INHERENT atau JARDIKNAS9. Yang pasti adalah bahwa postur dan profil Negara Kesatuan Republik Indonesia yang sangat heterogen ini membutuhkan beraneka ragam modul pendidikan dan pembelajaran bagi masyarakatnya. Dengan tingginya dinamika perubahan yang terjadi dalam era globalisasi ini, maka keberadaan Community College sebagai jawaban terhadap kebutuhan pendidikan formal dalam konteks pembelajaran sepanjang hayat akan menjadi sangat penting bagi masyarakat Indonesia. Untuk itulah diperlukan strategi yang tepat dalam mengembangkan sistem Community College yang relevan dengan kebutuhan serta situasi kondisi masyarakat nusantara.

9Indonesia Higher Education Network dan Jaringan Pendidikan Nasional yang dikelola oleh

(24)

D. Strategi Pengembangan Community College

D.1 Prinsip Pengembangan Community College

Mengingat bahwa pada dasarnya secara “de facto” telah tumbuh Community College di seluruh wilayah nusantara dengan model dan karakteristiknya masing-masing10 – dimana sebagian besar bukan merupakan bagian dari sistem pendidikan formal – dan keberadaan mereka telah mendapatkan pengakuan masyarakat karena berhasil memberikan manfaat dan nilai tambah bagi peningkatan pengetahuan, kompetensi, keahlian, dan keterampilan masyarakat, maka disarankan dipegangnya sejumlah prinsip pengembangan Community College di tanah air sebagai berikut:

1. Pemerintah atau masyarakat tidak perlu bersusah payah mencoba membangun institusi-institusi baru berlabel “Community College”, tapi cukup memberikan pengakuan atau label “Community College” terhadap lembaga atau sentra pendidikan formal, non-formal, maupun informal yang telah berdiri dan berjalan baik hingga saat ini, dan berkeinginan untuk berkembang sebagai lembaga pendidikan/pembelajaran berbasis komunitas;

2. Untuk dapat memenuhi syarat sebagai sebuah “Community College” yang diakui oleh pemerintah, perlu disusun sejumlah kriteria yang akan dijadikan sebagai standar pegangan dalam menyeleksi ribuan sentra-sentra pendidikan dan pembelajaran yang tumbuh subur di tanah air; 3. Adanya kerangka yang secara jelas memposisikan peran “Community

College” dan status alumninya dalam kerangka sistem pendidikan nasional yang berlaku di Indonesia, sehingga keberadaannya merupakan bagian yang terintegrasi dan tak terpisahkan dari struktur pendidikan yang ada di tanah air; dan

4. Dikembangkannya sejumlah kebijakan dan peraturan yang berpihak pada

pembentukan lingkungan kondusif bagi pembangunan dan

pengembangan Community College di Indonesia.

D.2 Peta Jalan (Roadmap) Pengembangan Community College

Adapun usulan tahapan implementasi pengembangan yang diusulkan berdasarkan prinsip-prinsip yang dikemukakan sebelumnya dapat dibagi menjadi 6 (enam) tahapan utama, masing-masing dengan penjelasan sebagai berikut.

D2.1 Tahap Pencatatan

Tahap ini meliputi aktivitas untuk mencari, mengenali, mendeteksi, serta menginventarisasi seluruh Community College berbagai tipe yang selama ini telah beroperasi di seluruh wilayah tanah air. Pencarian dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu “menjemput bola” atau “menunggu bola”. Strategi menjemput bola adalah secara aktif pemerintah dengan jajaran dan jejaring yang dimilikinya mengunjungi tempat-tempat yang dianggap memiliki cukup banyak pusat-pusat pembelajaran berbasis komunitas; sementara menunggu bola mengandung arti

10Namun demikian secara “de jure” tidak dianggap sebagai Community College karena tidak

(25)

bahwa pemerintah membuka pendaftaran bagi siapa saja pemilik institusi pembelajaran yang ingin “melamar” menjadi Community College yang diakui oleh negara.

D2.2 Tahap Penyusunan Kriteria

Tahap ini merupakan proses dimana pemerintah menyusun kriteria apa saja yang harus dipenuhi oleh sebuah lembaga yang telah operasional untuk menjadikannya sebagai Community College. Kriteria atau indikator yang dimaksud haruslah yang selaras dan sesuai dengan karakteristik dan tantangan yang dimiliki oleh sebuah Community College, misalnya terkait dengan telah berapa lama lembaga yang bersangkutan beroperasi, bagaimana model kurikulum dan kontennya, seperti apa struktur permodalan dan keuangannya, siapa saja pemiliknya dan pemangku kepentingan utama, strategi operasional seperti apa yang diadopsi, fasilitas dan sarana prasarana apa yang dimilikinya, profil instruktur dan dosen semacam apa yang selama ini terlibat, dan lain sebagainya.

D2.3 Tahap Penilaian

Tahap ini berisi aktivitas penilaian terhadap seluruh calon Community College berdasarkan kriteria yang telah disusun. Pemerintah dapat melakukannya secara langsung atau bekerjasama dengan pihak independen untuk melaksanakannya. Akhir dari tahap penilaian adalah “scoring” terhadap seluruh kandidat Community College yang terdaftar, lengkap dengan perincian kekuatan dan kelemahannya. Penilaian dilakukan berdasarkan data kuantitatif dan kualitatif. Berdasarkan “scoring” tersebut maka dapat ditentukan urutan (baca: “ranking”) dari masing-masing kandidat, dan batas kelulusan (baca: “thresholds”) dari Community College yang memenuhi persyaratan.

D2.4 Tahap Penetapan

Tahap ini adalah proses dimana pemerintah secara formal melakukan penetapan terhadap lembaga-lembaga yang lulus tes pemenuhan kriteria Community College. Dengan adanya penetapan ini, maka lembaga yang bersangkutan secara otomatis memiliki hak dan wewenang untuk disetarakan dengan pendidikan formal akademi berdurasi satu hingga dua tahun, atau program Diploma-1 dan Diploma-2. Perlu diperhatikan sungguh-sungguh di sini bahwa pemerintah atau pihak regulator tidak melakukan intervensi apapun terhadap Community College yang ada kecuali menobatkannya dalam bentuk pengakuan secara formal sebagai bagian dari penguatan institusi yang bersangkutan.

D2.5 Tahap Pemberdayaan

(26)

D2.6 Tahap Pengembangan

Tahap ini berlangsung secara satu arah, dimana pemerintah memberikan berbagai insentif dan bantuan kepada Community College yang dianggap berhak untuk memperolehnya karena beragam alasan, seperti: rekam jejak yang baik, besarnya manfaat yang diberikan ke komunitas, potensi berkembang yang terbuka lebar, peluang lebar yang terbentang di hadapan, dan lain sebagainya.

D2.7 Tahap Pemantauan

Tahap ini dilakukan oleh pemerintah secara berkala untuk memastikan bahwa seluruh Community College yang telah diakui dan dikembangkan berjalan sebagaimana mestinya. Secara simultan dapat pula dilakukan pemantauan terhadap lembaga-lembaga baru yang tumbuh maupun yang dahulu tidak lulus tes untuk menjadi Community College. Dengan adanya tahapan ini, maka diharapkan terjaganya kualitas dan kuantitas Community College yang berkembang di tanah air.

D2.8 Tahap Pembelajaran

Tahap ini adalah proses dimana seluruh pihak yang berkepentingan terhadap Community College di Indonesia melakukan pembelajaran berdasarkan catatan dan rekam jejak perjalanan seluruh Community College yang berkembang di tanah air. Hasil tahap pembelajaran ini dapat pula dipergunakan sebagai landasan dalam menyusun kebijakan dan peraturan terkait dengan keberadaan dan pengembangan Community College di Indonesia.

D.3 Potensi Community College dan Indikator APK

Ada pertanyaan yang menggelitik di kalangan para praktisi pendidikan. Apakah pengembangan Community College di tanah air dapat semerta-merta meningkatkan indikator APK (Angka Partisipasi Kasar) pendidikan tinggi di Indonesia?

NO INSTITUSI JUMLAH RATA-2 UNIT SISWA PER UNIT TOTAL SISWA

1 Kementrian 30 5 250 37,500

(27)

E. Kesimpulan

E.1 Kunci Sukses Pengembangan Community College

Pada dasarnya, percepatan pembangunan dan pengembangan sumber daya manusia Indonesia dapat dilakukan melalui pengembangan berbagai ragam Community College yang secara “de facto” maupun “de jure” tersebar di seluruh wilayah tanah air. Kunci dari kesuksesan pengembangan Community College dimaksud terletak pada:

• Kemampuan dan keinginan negara dalam mendayagunakan potensi Community College yang telah ada ini sebagai bagian dari aset penting nasional, dalam arti kata bersedia menyertakannya dalam konteks sistem pendidikan formal;

• Keberadaan model manajemen dan tata kelola pendidikan formal yang disesuaikan dengan karakteristik Community College yang unik dan heterogen, dimana setiap bidang keahlian dan keterampilan memiliki ciri khasnya masing-masing; dan

• Keselarasan dan kebersinambungan kebijakan terkait dengan Community College dengan seluruh pemangku kepentingan (beragam kementrian, industri, dan masyarakat) yang membutuhkan keberadaan tenaga kerja unggul dan handal.

E.2 Peranan Kementrian Pendidikan Nasional

Kementrian Pendidikan Nasional diharapkan dapat menjadi fasilitator sekaligus katalisator pengembangan Community College di tanah air, mengingat diperlukannya pihak yang tidak hanya mampu dan memiliki sumber daya manusia untuk mengembangkannya, namun dapat pula menjembatani interaksi dan kooperasi berbagai lembaga lintas kementrian yang terkait langsung maupun tidak langsung dengan pengembangan Community College di tanah air. Pada akhirnya, jika Community College dapat benar-benar dibangun, dikembangkan, dan diberdayakan, maka nischaya kesempatan dan akses memperoleh pendidikan tinggi di tanah air menjadi meningkat, yang secara langsung maupun tidak langsung akan berdampak pada pemenuhan kuantitas dan kualitas SDM Indonesia yang mandiri dan dapat diandalkan dalam proses pembangunan karakter bangsa.

(28)

Daftar Pustaka

Badan Pusat Statistik. (2010). Data Strategis Badan Pusat Statistik: Tahun 2010. Penerbit: BPS Indonesia.

Barbara K. Townsend and Kevin J. Dougherty. (2007). “Community College Missions in the 21st Century: New Directions for Community Colleges”. New York: Jossey Bass, Wiley Publisher.

Deborah J. Boroch, Laura Hope, Bruce M. Smith and Robert S. Gabriner. (2010). “Student Success in Community Colleges: A Practical Guide to Developmental Education”. New York: Jossey Bass, Wiley Publisher.

Debra Gonsher and Joshua Halberstam. (2009). “The Community College Guide: The Essential Reference from Application to Graduation”. New York: Jossey Bass, Wiley Publisher.

Dorothy K. Moore. (2009). “Eye on the Prize: Best Practices for Faculty, Administration, and Support Service Personnel Who Work on Behalf of the Community College Student”. United States: Authorhouse Publisher.

Referensi

Dokumen terkait

= (0,000) < (0,050) sehingga H 1 diterima yang artinya ada pengaruh pemberian seduhan daun alpukat ( persea gratissima gaerth ) terhadap tekanan darah pada

Soetardjo Kartohadikoesoemo dalam Volksraad? 4) Bagaimana dampak perjuangan Soetardjo Kartohadikoesoemo dalam Volksraad terhadap perkembangan pergerakan nasional?. Berdasarkan

Oleh umat Yahudi, wakil yang dipilih `Abd al-Rahman ternyata juga dipandang sebagai wakil yang dapat memperjuangkan kepentin- gan mereka.. Contoh terkenalnya adalah Hasdai

Peneliti kukang dari Pusat Penelitian Biologi, Bidang Zoologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Ir Wirdateti MSi, menuturkan memelihara satwa liar seperti kukang di

Hubungan Anatara Penyesuaian Diri terhadap Tuntutan Akademik dengan Kecendrungan Stres pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Hang Tuah Surabaya.. College

Abdurrahman Wahid (Gus Dur) memang masuk dalam kategori aliran integratif modernis yang sebenarnya dalam klasifikasinya Munawir Sjadzali merupakan terma dari modernis,

Berdasarkan hasil dari penelitian ini yakni mengimplementasikan Metode Gabungan Metode Multi-Factors High Order Fuzzy Time Series dengan Fuzzy C-Means untuk Peramalan