Takdir (derivasi dari qaddara, yuqaddiru, taqdiran) secara etimologis berarti perkiraan, penentuan berdasar kira-kira, ukuran dan lain-lain. Sedang secara terminologi adalah ketentuan Allah SWT bagi semua makhluk yang bersifat perkiraan, opsional, bisa berubah dengan batas minimal dan maksimal sesuai kehendakNya.1
Qdla (derivasi dari qdlaa, yaqdliy, qadlaa-an) secara etimologis berarti keputusan atau ketetapan. Sedangkan secara terminologi adalah keputusan Allah SWT bagi semua makhluk yang bersifat nal (baik sementara atau selamanya) dan
merupakan hak prerogatif-Nya. Banyanknya aya-ayat tentang kemahakuasaan Allah menunjukkan, bahwa pemilik keputusan akhir yang mutlak adalah Allah SWT.2
Posisi ‘kehendak’ manusia pun merupakan proyeksi holografi dari kehendak Allah. Sehingga setiap kehendak manusia yang disebut sebagai ‘kehendak
bebas’ (Free Will) ini pun sebenarnya berada dalam kehendak Allah. ‘Kebebasan’ yang dimiliki oleh manusia dalam berkehendak itu selalu berada di dalam bingkai kehendak Allah yang holistik. Sehingga seakan-akan manusia bisa memilih
takdirnya sendiri. Padahal segala alternatif pilihan itu tak pernah keluar dari frame kehendak-Nya. Disinilah letak kerelatifan manusia dalam memilih takdrinya, dalam memperoleh kebaikan atau keburukan. Setiap takdir adalah baik di sisi Allah, tetapi bisa menjadi buruk di mata manusia, dikarenakan keterbatasan manusia dalam memilih takdir yang dikira terbaik baginya.3
(QS. Al-Nisa [4]: 79)
Bagi saya, takdir adalah realitas yang terjadi. Bukan yang belum tajadi. Lantas apakah bisa diubah? Jawabnya jelas: bisa. Bagaimana cara mengubahnya? Ya, diusahakan. Kalau gagal? Ya berarti takdirnya: gagal. Lantas diusahakan lagi, diusahakan lagi sampai berhsail. Saat itulah Anda memperoleh takdir sukses.
Semua bergantung pada usaha manusia ataukah kehendak Allah?
Ar-Ra’ad: 11
1 Ahmad Zahro. Fiqh Kontemporer (Jombang: Unipdu Press. 2012) Hlm. 430 2 Ibid.