iv
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN SECONDARY RAPE ATAS PEMBERITAAN TENTANG PERKOSAAN DI MEDIA MASSA OLEH PERS DIKAITKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 40 TAHUN 1999 TENTANG
PERS
Melda Citra Dewi Panjaitan 110110100403
ABSTRAK
Kebebasan pers merupakan pilar demokarsi bangsa dan merupakan wadah untuk mentranformasi ide dan pengetahuan. Hal tersebut jelas tertuang dalam UUD 1945 dan UU Nomor 40 tentang Pers. Namun dalam perjalanan, pers menjadikan kebebasan tersebut menjadi kebebasan yang mutlak tanpa batasan. Konstruksi media cetak cenderung melakukan blow up dengan berita yang didramatisasi, sarat stereotipe, dan bahasa yang sensasionalisme terhadap kasus-kasus perkosaan yang menyudutkan korban. Sehingga mengakibatkan reviktimisasi atau secondary rape bagi korban perkosaan. Perundang-undangan Indonesia telah mengatur perlindungan bagi korban, namun perlu dilakukan beberapa penanggulangan guna mencegah secondary
rape yang masih terjadi pada korban perkosaan. Tujuan penelitian ini adalah untuk
menganalisis faktor-faktor penyebab secondary rape oleh pers atas pemberitaan tentang perkosaan di media massa masih terjadi di dalam masyarakat dan upaya penanggulangan apa sajakah yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya korban
secondary rape atas pemberitan tentang perkosaan di media massa oleh pers.
Metode pendekatan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif yaitu lebih ditekankan kepada penggunaan data sekunder, berupa bahan hukum primer, sekunder, tersier yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan, asas-asas hukum dan penelitian hukum. Penelitian ini juga menggunakan metode deskriptif analitis dan anilisis data dilakukan dengan normatif kualitatif.
Dari hasil penelitian ini, dapat diketahui bahwa banyaknya instrumen perundang-undangan yang mengatur tentang perlindungan korban perkosaan dan secondary rape, tidak mencegah terjadinya kasus secondary rape dalam masyarakat. Hal ini dikarenakan: (a) ketertutupan korban dalam melaporkan kasusnya;(b) penggambaran korban di media yang masih sarat akan bias gender;(c) menjadikan korban perkosaan menjadi objek pemberitaan;(d) adanya kelemahan UU Pers baik sebagai lex specialis dan penegakan hukum pidana dalam UU Pers. Sementara itu upaya penanggulangan yang dapat dilakukan agar korban perkosaan tidak menjadi korban secondary rape adalah dengan: (a) penegakan hak-hak korban perkosaan;(b) penegasan fungsi utama pers sebagi media yang memberikan informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial bukan sebagai lembaga ekonomi;(c) penyajian berita perkosaan di media massa oleh pers yang berdasarkan kode etik, bahasa yang baku, tidak sensasional, dramatisasi, dan pornografi; (d) mengefektifkan fungsi lembaga pengaduan yang terdapat di KPI, Dewan Pers, dan Menkominfo; (e) dan yang terakhir adalah melakukan revisi terhadap UU Pers dikarenakan banyaknya kekurangan dalam UU Pers.