BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) merupakan gangguan neurodevelopmental dimana terjadi gangguan pada masa perkembangan yang mengakibatkan gangguan emosi dan perilaku. Tiga gejala utama pada ADHD yaitu inatensi, hiperaktif, dan impulsif yang terjadi pada anak dan bisa menetap hingga anak tersebut menginjak usia dewasa. Gejala yang ditunjukan pada ADHD dapat mengakibatkan masalah kinerja dalam pengaturan sosial, pendidikan, atau pekerjaan. Manifestasi dari gejala ADHD ini minimal terjadi dalam dua situasi berbeda, seperti di sekolah dan di rumah. Panduan Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders 5 (DSM-5) menjelaskan bahwa seseorang dikatakan mengalami ADHD apabila beberapa gejala ADHD individu tersebut muncul sebelum menginjak usia 12 tahun (APA, 2013).
Survei nasional di Amerika yang dilakukan pada tahun 2016 menyebutkan sebanyak 6,1 juta (9,4%) anak mengalami ADHD dimana proporsi anak laki-laki lebih banyak daripada anak perempuan yaitu sebesar 12.9% banding 5.6% dengan 4 juta anak yang berusia 6–11 tahun (Center for Disease Control and Prevention, 2019). Angka presentasi anak di Indonesia yang mengalami ADHD masih belum diketahui dengan pasti, namun terdapat data yang menyatakan bahwa prevalensi ADHD di Indonesia pada tahun 2009 sebesar 15,8% dari anak usia 3-18 tahun (Saputro, 2009). Sedangkan dari Unit Psikiatri Anak (Day Care) RSUD Dr.
Soetomo Surabaya menurut laporan kasus survei populasi pasien yang dilakukan oleh Kalalo (2016) menunjukkan jumlah pasien anak ADHD pada tahun 2016 yaitu
sebanyak 519 anak dan ini termasuk dalam sepuluh kasus penyakit terbanyak yang terjadi di Unit Psikiatri Anak (Day Care) RSUD Dr. Soetomo Surabaya. Prevalensi ADHD di seluruh dunia diperkirakan berkisar antara 2 hingga 9.5 % dari anak- anak usia sekolah dan berdasarkan berbagai penelitian di kota-kota besar di Indonesia didapatkan prevalensi ADHD berkisar antara 4,2 hingga 26,4% (Menkes RI, 2015).
Faktor penyebab ADHD tidak diketahui secara pasti, namun dikatakan bahwa ADHD bisa terjadi akibat faktor genetik, kondisi saat kehamilan (kebiasaan merokok, minum alkohol, paparan toksin ataun bahan kimia dari lingkungan), berat bayi lahir rendah, dan adanya gangguan pada otak (The National Institute of Mental Health, 2019). Peneliti lain juga menyebutkan bahwa terdapat beberapa faktor risiko dari ADHD yaitu faktor genetik, faktor neurobiologis, faktor lingkungan, dan faktor sosial (Millichap, 2007). ADHD bisa berdampak serius, seperti kegagalan dalam menyelesaikan sekolah, depresi, masalah dengan hubungan antar manusia, penyalahgunaan zat, kenakalan, cedera tak disengaja dan kegagalan dalam melakukan suatu pekerjaan. Semua itu bisa terjadi apabila kondisi ADHD tidak dideteksi sedini mungkin serta tidak mendapat penanganan yang tepat (CHADD, 2017).
Pola interaksi dalam keluarga yang tidak memadai dan praktik pengasuhan yang kurang tepat dapat memperburuk tanda dan gejala dari ADHD dan berkontribusi pada pengembangan sekunder masalah perilaku lainnya, seperti gangguan pemberontak dan agresivitas. Kepribadian dan kondisi mental seorang anak terbentuk dan berkembang dalam lingkup keluarga khususnya orang tua sebagai pengasuh dimana salah satu faktor yang memengaruhi ADHD pada anak adalah pola asuh orang tua yang menjalani perannya dengan kurang baik serta
kurangnya praktik pengasuhan yang positif (Teixeira et al., 2015). Pola asuh orang tua dibagi menjadi tiga yaitu pola asuh otoriter, otoritatif, dan permisif. Ketiga pola asuh tersebut memiliki ciri khas tersendiri (Baumrind, 1966). Menurut Ismail (2015), pola asuh penuh pertimbangan atau dikenal dengan pola asuh otoritatif adalah pola asuh yang diharapkan diterapkan orang tua kepada anak ketimbang jenis pola asuh menuntut dominan (otoriter) dan pola asuh kebebasan penuh (permisif).
Orang tua yang memiliki anak dengan ADHD cenderung merasa gelisah, takut, dan lebih mudah marah. Hal ini berdampak pada pola asuh yang diberikan pada anak mereka dimana cenderung memiliki pola pengasuhan yang negatif, lebih banyak kontrol, dan cenderung lebih banyak menghukum karena perilaku eksternalisasi (Setiawati et al., 2018). Kondisi parenting stress yang muncul akan mengakibatkan kurangnya ketrampilan dalam mengasuh anak dengan ADHD.
Apabila hal ini tidak diatasi maka bisa mengakibatkan kondisi anak yang semakin memburuk dan hubungan antara orang tua dan anak juga tidak baik (Mirzaaghasi et al., 2014). Pola asuh dan parenting stress dalam pengasuhan anak dengan ADHD adalah hal yang harus diperhatikan, hal ini seperti yang dikatakan oleh Kirk et al. (2009) dalam bukunya bahwa seorang individu dengan ADHD membutuhkan berbagai dukungan untuk menghadapi tantangan dalam hidupnya.
Kondisi pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) saat ini mengharuskan adanya pembatasan aktivitas di luar rumah. Tercantum dalam Peraturan Walikota Surabaya (2020) salah satu aktivitas yang dibatasi adalah kegiatan pembelajaran di sekolah. Hal ini membuat anak menjadi harus belajar di rumah secara jarak jauh (online) dimana kondisi ini akan memengaruhi stressor yang akan menimbulkan parenting stress pada orang tua karena orang tua harus
lebih mengawasi kegiatan pembelajaran sekaligus merangkap peran menjadi seorang guru bagi anak mereka selama di rumah. Orang tua yang harus melakukan pekerjaan dari rumah (online) atau WFH (Work From Home) akan dibebani oleh pikiran dan tenaga yang lebih besar dan akan memicu timbulnnya risiko kecemasan dan depresi, hal ini akan berimbas pada kondisi parenting stress (Zhou et al., 2020).
Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk meneliti hubungan parenting stress dan pola asuh orang tua pada anak dengan Attention Deficit Hyperactivity Disorder dengan menggunakan data primer yaitu kuesioner yang diberikan kepada orang tua dari siswa. Hal ini didasarkan dengan urgensi kondisi ADHD pada anak bisa menetap hingga dewasa dan bisa menjadi kondisi yang serius dan merugikan baik pada anak maupun orang tua mereka apabila tidak segera diidentifikasi dan ditangani serta dengan kondisi pandemi COVID-19 yang sedang terjadi juga turut memengaruhi kondisi anak dan orang tua karena proses pembelajaraan menjadi di rumah. Sampel anak menggunakan usia 9-12 tahun menimbang gejala dari ADHD pada anak muncul sebelum anak berusia 12 tahun dan untuk pemilihan lokasi penelitian menggunakan 5 SD yaitu SDN Semolowaru I/261, SDN Semolowaru IV/614, SDN Keputih 245, SDN Kertajaya, dan SDN Baratajaya Surabaya sesuai dengan rekomendasi dan izin dari Bakesbangpol Kota Surabaya dan Dinas Pendidikan Kota Surabaya.
1.2 Rumusan Masalah
1) Apakah ada hubungan tingkat parenting stress orang tua dalam mengasuh anak dengan Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) ?
2) Apakah ada hubungan pola asuh orang tua pada anak dengan Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) ?
1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum
Untuk menganalisis hubungan parenting stress dan pola asuh orang tua pada anak dengan Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD).
1.3.2 Tujuan Khusus
1) Menilai tingkat parenting stress orang tua dalam mengasuh anak dengan Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD)
2) Mengetahui gambaran umum pola asuh orang tua pada anak dengan Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD)
3) Mengetahui hubungan tingkat parenting stress orang tua dalam mengasuh anak dengan Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD)
4) Mengetahui hubungan pola asuh orang tua pada anak dengan Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD)
1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan mengenai parenting stress dan pola asuh orang tua dengan anak Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD).
1.4.2 Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan kepedulian keluarga, khususnya orang tua sebagai pengasuh yang memiliki anak dengan Attention
Deficit Hyperactivity Disorder agar memberikan pengasuhan yang sesuai dengan kondisi anak serta mencegah kondisi Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) pada anak yang semakin parah dan menurunkan risiko adanya parenting stress.