• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia serta amanat Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, setiap warga negara baik perempuan maupun laki-laki memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan dari negara serta negara berkewajiban untuk memberikan pelayanan dalam pemenuhan kebutuhan bagi setiap warga negara. Dalam keberlangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara tidak dapat dipungkiri bahwa warga negara baik perempuan maupun laki-laki bisa mendapatkan tindak kekerasan dari orang terdekat bahkan orang tak dikenal. Apabila dilihat secara seksama dan berbasis data, tindak kekerasan yang terjadi cenderung mengarah pada perempuan.

Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan melalui Catatan Akhir Tahun 2022 melansir hasil laporan kasus kekerasan terhadap perempuan terdapat 459.094 kasus yang diantaranya 338.496 kasus kekerasan terhadap perempuan di tahun 2021. Sedangkan pada tahun 2020, terdapat 299.911 kasus yang terlaporkan. Berdasarkan hasil laporan terkumpul dari kantor layanan dan formulir pendataan dari Komnas Perempuan total 8.234 perkara kekerasan terhadap perempuan, kekerasan terhadap perempuan di ranah pribadi atau privat menjadi kasus kekerasan terhadap perempuan yang paling menonjol, yaitu kekerasan dalam rumah tangga dan relasi personal, yang mencapai 79% (6.480 kasus). Kekerasan terhadap perempuan yang tercatat meliputi kekerasan terhadap istri yang mencapai 49% (3.221 kasus), kekerasan dalam pacaran 20% (1.309 kasus), kekerasan terhadap anak 14% (954 kasus) dan kasus kekerasan lainnya seperti kekerasan oleh mantan suami, mantan pacar serta kekerasan terhadap pekerja rumah tangga (Mustafinah & Yentriyani, A., 2021)

Tindak kekerasan berbasis gender telah lama menjadi perhatian global, bahkan pencegahan dan penanganan tindak kekerasan terhadap perempuan berdasar pada hukum dan peraturan internasional. Pengaturan penanganan dan pencegahan kekerasan terhadap perempuan diatur melaui Konvensi PBB tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan 1981. Sebagai tindak lanjut, Perserikatan Bangsa- Bangsa membentuk pedoman pengaturan internasional melalui Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan 1993. Poin isi dalam deklarasi penghapusan kekerasan

(2)

2

terhadap perempuan menegaskan bahwa kekerasan terhadap perempuan merupakan pelanggaran hak dan kebebasan fundamental perempuan serta merusak atau meniadakan penikmatan mereka atas hak-hak kebebasan (General Assembly, 1993).

Indonesia sebagai salah satu negara yang meratifikas Konvensi PBB tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan 1981. Sebagai tindak lanjut, Indonesia menetapkan kebijakan melalui UU Nomor 7 Tahun 1984. Kebijakan ditetapkan pemerintah Indonesia mengatur peraturan yang berkaitan dengan pengaturan tindak diskriminasi. Hal ini sesuai dengan instruksi dalam CEDAW 1981, negara peserta yang melakukan ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan wajib untuk menaati segala ketentuan dan prosedur, dalam ketetapan Konvensi PBB tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan mengenai upaya penghapusan diskriminasi yang salah satunya tindak kekerasan terhadap perempuan.

Penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan menjadi perhatian berbagai pihak, sebab segala bentuk kekerasan terhadap perempuan yang terjadi merupakan bentuk diskriminasi dan kegagalan lama yang memprihatinkan. Negara perlu untuk memberikan perlindungan dan menyuarakan kewenangan serta kemerdekaan dalam kasus tindak kekerasan terhadap perempuan. Jika dilihat realita yang ada permasalahan kasus kekerasan terhadap perempuan semakin kompleks sehingga akan semakin menyulitkan pemerintah untuk menyelesaikannya sendiri, pemerintah perlu melakukan sinergi dan kolaborasi dengan pihak terkait. Melibatkan berbagai pihak yang terkait untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi sebagai format kolaborasi (Sururi, 2018).

Partisipasi pemerintah, pihak non-pemerintah dan lembaga permusyawarahan merupakan bentuk collaborative governance untuk mengintegrasikan kepentingan dari beberapa anggota jaringan (Alfiana, Alwi, & Susanti, 2021).

Collaborative governance sama halnya kesepakatan mengatur lembaga publik saling berhubungan langsung dengan stakeholder swasta. Pengambilan keputusan bersama yang sah, konsensual, dan bijaksana yang mengarah pada pengembangan dan penerapan kebijakan publik serta pengelolaan progam dan kekayaan publik (Ansell & Gash, 2008).

Terkait dengan konsep collaborative governance, (Makhfudz, 2021) mempelajari metode dan collaborative role dalam penanganan kekerasan dalam rumah tangga di Kota Surabaya Jawa Timur, hasil penelitian menunjukan strategi penurunan angka kekerasan dalam rumah tangga di Kota Surabaya terikat dengan salah satu kebijakan pemerintah yaitu penerapan collaborative governance. Meskipun tidak dipungkiri pada implementasi

(3)

3

collaborative governance masih terdapat kekurangan, seperti yang dikemukakan oleh (Makhfudz, 2021) bahwa dalam indikator access to authority, perubahan kepemimpinan OPD menjadi bahan penilaian yang bermasalah pada keberlangsungan organisasi/instansi.

Hasil laporan Komnas Perempuan dihimpun dari berbagai provinsi di Indonesia.

Provinsi Jawa Tengah menjadi daerah fokus penelitian, sebab angka kasus kekerasan terhadap perempuan di Jawa Tengah mencapai 409 kasus di tahun 2020 (Mustafinah &

Yentriyani, A., 2021). Jumlah kasus yang masuk dalam ringkasan data dari aplikasi Simfoni PPA, dengan jumlah kasus yang dilaporkan sebanyak 809 kasus di tahun 2020.

Jumlah kekerasan terhadap perempuan di Jawa Tengah menurun pada 2020, dibandingkan 1.031 pada 2019 dan 1.017 pada 2018. Namun, pada pertengahan Agustus 2021, jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan dilaporkan menjadi 497 kasus (Dinas Pemberdayaan Perempuan, 2021). Berkurangnya jumlah kasus bukan berarti tidak ada kasus kekerasan terhadap perempuan. Hal ini dikarenakan kondisi pandemi, keterbatasan ruang dan jarak membuat korban sulit untuk mengakses pelaporan.

Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Jawa Tengah ikut melaporkan jumlah angka kekerasan berdasarkan jenis kekerasan yang dialami oleh perempuan usia 18+ tahun korban kekerasan di Provinsi Jawa Tengah meliputi kekerasan fisik (484 kasus), kekerasan psikologis (297) kasus, kekerasan seksual (126) kasus pada tahun 2020.

Angka kekerasan terhadap perempuan di tahun 2020 kompak mengalami penurunan akibat kondisi pandemic jika dibandingkan dengan grafik kasus kekerasan terhadap perempuan di tahun-tahun sebelumnya. Di tahun 2019 terdapat (604) kasus physical violence, (438) kasus psychic violence, (146) kasus sexual violence dan pada tahun 2018 ada (565) kasus physical violence, psychic violene (409) kasus, sexual violence (122) (Badan Pusat Statistik, 2021)

Banyaknya jumlah kekerasan terhadap perempuan mirip dengan fenomena gunung es.

Evolusi jumlah tindak kekerasan terhadap perempuan dinamis, sehingga membutuhkan prioritas terkiat penanganannya. Mengenai hukum, Indonesia memiliki UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Berdasarkan UU Nomor 23 Tahun 2004 sebagai pedoman untuk penyelenggaraan pelayanan terhadap korban kekerasan, pemerintah dan pemerintah daerah bekerja sama sesuai dengan fungsi dan tugas masing-masing, yakni mengupayakan penyediaan ruang pelayanan khusus di kantor kepolisian, memberikan perlindungan bagi pendamping, saksi, keluarga serta teman korban. UU No. 23 Tahun 2004 memberikan dasar bagi perempuan yang menikah secara sah untuk melaporkan kekerasan yang dilakukan suaminya. Namun, ruang

(4)

4

lingkup Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang kekerasan dalam rumah tangga belum dapat memberikan perlindungan dan penanggulangan kekerasan terhadap perempuan yang belum menikah. Untuk itu, perlu adanya regulasi yang dapat mencakup penanganan kekerasan terhadap perempuan, baik di dalam maupun di luar hubungan pasangan.

Berdasar pada Pasal 12 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 mengenai urusan pemerintahan wajib, poin pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak, Pemerintah Provinsi Jawa Tengah menetapkan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 3 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Berbasis Gender dan Anak. Pertambahan kasus kekerasan di Jawa Tengah begitu dinamis sehingga membutuhkan kewajiban pemerintah provinsi Jawa Tengah berupaya untuk menyelenggarakan perlindungan perempuan. Pemerintah Provinsi Jawa Tengah menetapkan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 2 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan Perempuan. Kebijakan yang ditetapkan mencakup pencegahan kekerasan terhadap perempuan, serta pelayanan terhadap korban dan melakukan perlindungan kepada korban kekerasan.

Perihal pedoman perlindungan hukum bagi korban diperlukan kebijakan khusus, serta upaya yang bersifat mencegah dan menekan, yang dilakukan berbagai pihak seperti warga sipil, pemerintah dan anggota penegak hukum melalui perlindungan dan pengawasan, pendampingan hukum dan bantuan medis sesuai kebutuhan korban (Amrullah, 2020). Upaya pemerintah pusat dan daerah untuk melaksanakan eksklusi dan melindungi perempuan yang berdasar pada perspektif korban kekerasan harus tetap dipertahankan. Dalam realita penyelenggaraan perlindungan perempuan ada kecenderungan bahwa kolaborasi antar stakeholder sangat penting dilakukan. Konsep collaborative governance, agar mampu menciptakan sinergi dalam bentuk kolaborasi, koordinasi dengan stakeholder untuk menuntaskan masalah rumit melalui pengambilan keputusan bersama yang implementatif (Fadli & Nurlukman, 2018). Collaborative governance menyimpan kendala untuk mengatasi permasalahan, hal ini terlihat dari keberlangsunganya melibatkan komunikasi antar partisipan stakeholder (Furqoni, Rosyadi, & Isna, 2020).

Ada persoalan dalam implementasi kebijakan yang memang tidak bisa ditangani oleh satu institusi saja, dengan melakukan kolaborasi antar stakeholder diharapkan mampu mengimplementasikan kebijakan yang telah dibuat. Negara sebagai pemangku kebijakan penting untuk hadir dan menjawab kebutuhan untuk mengatasi segala permasalahan

(5)

5

sosial yang berkaitan dengan permasalahan kasus kekerasan terhadap perempuan.

Berdasar pada BAB V tentang Koordinasi dan Kerjasama pada Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 2 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan Perempuan, dijelaskan bahwa dalam rangka penyelenggaraan perlindungan perempuan, pemerintah daerah dalam hal ini Provinsi Jawa Tengah melaksanakan pengkoordinasian bersama yang meliputi pemerintah pusat, pemerintah provinsi lain, pemerintah kabupaten/kota, institusi penegak hukum, lembaga layanan, institusi pendidikan, forum keagamaan, organisasi sosial masyarakat, lembaga bantuan hukum, karang taruna, jaringan media, komunitas sosial, dan lembaga profesi.

Upaya menangani kasus kekerasan terhadap perempuan yang komprehensif, beberapa stakeholder di Provinsi Jawa Tengah membentuk jejaring dalam ikatan kolaborasi.

Ketersedian sumber daya manusia, anggaran, jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan yang dinamis, tuntutan pelayanan publik yang massif menjadikan suau instansi melakukan kolaborasi untuk mencapai tujuan yang diharapkan bersama.

Sehingga stakeholder terkait yang membentuk jejaring berkomitmen dan melakukan sinkronisasi tujuan dan saling berkolaborasi untuk memberikan pelayanan dan penanganan bagi perempuan korban kekerasan di Jawa Tengah. Peneliti melakukan penelitian untuk mendapatkan informasi terkait bagaimana proses collaborative governance penanganan kekerasan terhadap perempuan di Jawa Tengah.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang yang telah dijelaskan di atas, maka dalam penelitian ini dapat dirumuskan masalah yaitu: “Bagaimana collaborative governance penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan di Jawa Tengah?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana proses kolaborasi antar stakeloders dalam penanganan tindak kekerasan terhadap perempuan di Jawa Tengah 2. Manfaat Penelitian

a. Manfaat Teoritis

1) Sebagai karya tulis ilmiah, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi perkembangan ilmu pemerintahan pada khususnya, dan masyarakat pada umumnya mengenai Collaborative Governance Penanganan Kasus Kekerasan terhadap Perempuan di Provinsi Jawa Tengah. Hasil riset dapat digunakan sebagai referensi

(6)

6

atau bahan rujukan untuk kegiatan penelitian berikutnya dan yang sejenisnya.

b. Manfaat Praktis

1) Menyebarluaskan informasi implementasi kebijakan melalui

collaborative governance penanganan kekerasan terhadap perempuan di tataran pemerintah maupun masyarakat umum

2) Hasil riset dapat ditransformasikan kepada akademisi maupun birokrat secara khusus sebagai rujukan pengambilan kebijakan serta bagi masyarakat luas pada umumnya agar mendapat pengetahuan dan memiliki kesadaran dalam pengawalan proses kolaborasi antar stakeholders terkait penanganan tindak kekerasan terhadap perempuan.

D. Definisi Konseptual

Untuk menghindari perbedaan penafsiran terhadap istilah-istilah yang ada, penulis memberikan beberapa definisi dari istilah-istilah yang digunakan dalam penelitian ini, yang meliputi:

1. governance termasuk totalitas dari semua lembaga dan unsur masyarakat, baik pemerintah maupun non-pemerintah (Dwiyanto, 2008)

2. collaborative governance suatu kondisi dimana aktor publik dan aktor privat bekerjasama dengan cara dan proses terentu yang nantinya akan menghasilkan produk hukum, aturan, dan kebijakan yang tepat untuk publik atau masyarakat (Ansell & Gash, 2008)

3. kekerasan terhadap perempuan perempuan merupakan tindakan yang berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang menimbulkan atau mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual atau psikologis, termasuk tindakan ancaman tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang- wenang menurut UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang PKDRT (Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga).

E. Definisi Operasional

1. Networked structure atau struktur jaringan adalah hubungan antara pemangku kepentingan dengan pemangku kebijakan yang lainnya.

2. Commitment to a common purpose atau komitmen terhadap tujuan mengenai suatu alasan jaringan membentuk atau melakukan suatu hal yang penting, dalm hal ini penanganan kekerasan terhadap perempuan.

(7)

7

3. Trust among the participants atau sikap percaya antar anggota dalam suatu jaringan berdasarkan hubungan professional, satu pihak dengan pihak lainnya yang harus mempunyai kepercayaan satu sama lain.

4. Governance atau kelola, suatu pengelolaan objek dibagi menjadi 4 klasifikasi, yaitu boundry and exclusivity, rules, self determination, dan network management.

5. Access to authority atau akses terhadap kekuasaan merupakan ketersediaannya suatu standar ketentuan prosedur yang jelas untuk mengatur dan diterima secara luas.

6. Distributive responbility atau pembagian responbilitas merupakan suatu pembagian tanggung jawab dengan anggota dalam pembuatan sejumlah keputusan, artinya melibatkan beberapa pihak dalam pembagian tanggung jawab untuk mencapai hasil dan tujuan yang telah ditetapkan.

7. Information sharing atau berbagi informasi merupakan suatu akses berbagi informasi antar anggota dan keterbatasan akses informasi bagi yang bukan anggota dalam suatu jaringan.

8. Access to resources atau akses sumberdaya, termasuk finansial, sumber daya manusia, dan sumber daya lainnya yang dibutuhkan jaringan dalam keberlangsungan kolaborasi

F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang diambil merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan descriptive approach atau pendekatan deskriptif. Penelitian dengan perolehan data deskriptif yang dapat berupa kata-kata maupun ucapan dari informan dan perilaku obyek yang diamati. Pada penyusunan riset yang diambil, peneliti memanfaatkan jenis dan pendekatan deskriptif kualitatif untuk membuat deskripsi, gambaran sistematis, sesuai fakta, saksama mengenai faktor-faktor, sifat-sifat, serta hubungan antara fenomena yang diteliti (Subarsono, 2011).

Penelitian dengan menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan deskriptif merujuk pada pertimbangan yang diantaranya: 1) penelitian kualitatif menetapkan penalaran untuk mendefinisikan situasi atau kondisi penelitian tertentu, serta konteks dan topik tertentu. 2) data penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif dapat dikategorikan sebagai fenomena atau berupa foto, dokumen dan catatan lapangan yang diperoleh selama penelitian. 3) hubungan yang terjalin

(8)

8

dilandasi rasa saling percaya dan dipelihara secara intensif, sehingga peneliti tidak berusaha menjauhkan diri dari informan penelitian atau subjek penelitian.

2. Jenis dan Sumber Data a) Jenis Data

1) Data Primer 2) Data Sekunder b) Sumber Data

Data primer merupakan sumber data utama dari penelitian ini. Sumber data primer dalam penelitian ini diperoleh dari wawancara dengan informan di tempat penelitian. Informan merupakan seorang yang memberikan informasi tentang suasana dan keadaan latar penelitian (Moleong, 2006). Informan yang akan dipilih berdasar pada kebutuhan penelitian serta keterkaitan dengan topik penelitian yang diambil.

Dengan hal ini, yang dituju sebagai informan adalah Kepala Bidang Kualitas Hidup dan Perlindungan Perempuan, Kepala Seksi Perlindungan Perempuan beserta koordinator SPT PPA Perlindungan Perempuan Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana Provinsi Jawa Tengah.

Data sekunder merupakan sumber data selain data primer (data verbal dan non-verbal), berupa data tertulis yang dapat diambil dari buku, arsip, dan dokumen.

Data sekunder berfungsi sebagai data pelengkap yang diperlukan oleh data primer.

Data kedua atau sekunder yang diambil dalam penelitian yakni Buku Saku Dinas yang berisi laporan kasus kekerasan terhadap perempuan, Buku SOP KARTINI, Buku Pedoman Alur Pengaduan Kasus, serta dokumentasi kegiatan rapat koordinasi penanganan kasus dan rapat kegiatan team building penanganan tindak kekerasan terhadap perempuan.

3. Teknik Pengumpulan Data 1) Teknik Observasi

Menurut (Sugiyono, 2015), obersevasi adalah teknik pengumpulan data yang mana peneliti terlibat dengan kegiatan sehari-hari dengan orang yang sedang diamati atau yang digunakan sebagai sumber data penelitian. Teknik observasi atau pengamatan digunakan dalam penelitian ini oleh peneliti sebab pengamatan yang berdasar pada pengalaman langsung peneliti. Peneliti dapat .melihat dan mengamati apa yang sedang dikerjakan informan maupun obyek penelitian secara langsung sehingga data yang diperoleh melalui observasi cenderung memiliki validitas tinggi.

(9)

9

Melalui teknik observasi, peneliti mampu mendengar, melihat serta memperhatikan perilaku dan sikap birokrat/aktor jejaring yang terlibat dalam penananganan kasus kekerasan terhadap perempuan di Jawa Tengah.

2) Teknik Wawancara

Menurut Sugiyono, wawancara digunakan sebagai teknik pengumpulan data apabila peneliti akan melaksanakan studi pendahuluan untuk menemukan permasalahan yang harus diteliti, dan juga peneliti ingin mengetahui hal-hal dari responden yang lebih mendalam dan jumlah respondennya sedikit/ kecil (Sugiyono, 2010). Teknik wawancara yang digunakan oleh peneliti merupakan wawancara alamiah, yang mana peneliti melakukan diskusi dengan menyelipkan pertanyaan secara eksplisit kepada informan penelitian terkait bagaimana collaborative governance penanganan tindak kekerasan terhadap perempuan di Jawa Tengah.

Melalui teknik wawancara, harapan peneliti mendapatkan informasi terkait landasan hukum penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan, aktor jejaring penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan, kendala serta upaya yang dilakukan DP3AP2KB Provinsi Jawa Tengah dalam pelaksanaan penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan

3) Teknik Dokumentasi

Menurut (Hamidi, 2010), teknik dokumentasi merupakan informasi yang berasal dari catatan penting baik dari lembaga atau organisasi maupun perorangan.

Dokumentasi penelitian ini merupakan pengambilan gambar oleh peneliti untuk memperkuat hasil penelitian. Penelitian ini menggunakan teknik dokumentasi untuk mencari data terkait collaborative governance dalam penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan di Jawa Tengah. Melalui teknik dokumentasi, harapan peneliti mendapatkan data kasus kekerasan terhadap perempuan, data bentuk kekerasan terhadap perempuan, foto rapat koordinasi penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan dan dokumen SOP penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan.

4. Teknik Analisis Data

Analisis data menurut Bogdan dan Biklen, adalah usaha yang dilakukan untuk mengelola data hasil penelitian, pilah-pilih data menjadi satu hasil yang bisa dikelola, menemukan hasil penting pelajaran dari penelitian dan memutuskan hasil penelitian seperti apa yang akan disimpulkan kepada orang lain (Moleong, 2006). Dalam melakukan penganalisisan data pada penelitian kualitatif, peneliti melakukan penelitian berbasis lapangan dan menarik pengamatan, interpretasi, dan kesimpulan

(10)

10

dari fenomena dan peristiwa yang terjadi di lapangan dan terjadi pada saat yang sama dengan proses pengumpulan data.Teknik analisis data yang digunakan peneliti menggunakan konsep dari Miles dan Huberman yang mengemukakan bahwa motivitas dalam analisi data kualitatif dilakukan secara interaktif (Sukmadinata, 2007) dan berlangsung secara berulang pada setiap tahapan penelitian sehingga sampai tuntas mencapai data. Dalam analisis data terdapat aktivitas yang meliputi reduksi data, penyajian data, dan kesimpulan.

1. Reduksi data (data reduction)

Reduksi data diartikan sebagai proses seleksi, yaitu penyederhanaan data secara acak yang diambil dari catatan-catatan yang diambil dari lapangan.

Pengurangan data akan dilakukan selama penelitian berlangsung (Idrus, 2009). Jadi, dalam tahap analisis data melalui reduksi data, peneliti melakukan pemilahan kata- kata yang telah diperoleh dari hasil pengamatan dengan cara membuang data yang tidak perlukan dan mengumpulkan data untuk disajikan dan simpulkan.

2. Penyajian data (data display)

Penyajian data adalah sekumpulan informasi tersusun yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan (Idrus, 2009). Langkah yang dilakukan peneliti adalah menyajikan sekumpulan informasi yang telah tersusun yang memungkinkan adanya penarikan kesimpulan. Hal ini dilakukan peneliti sebab data yang diperoleh dalam penelitian kualitatif berbentuk narasi sehingga diperlukan penyederhanaan data yang dibutuhkan dalam proses penelitian.

Melalui penyajian data, peneliti membuat laporan penelitian tentang pelaksanaan collaborative governance penanganan tindak kekerasan terhadap perempuan yang dilakukan oleh DP3AP2KB Provinsi Jawa Tengah dalam bentuk narasi.

3. Penarikan Kesimpulan

Penarikan kesimpulan merupakan tahap terakhir dalam proses analisis data, yang mana dimaknai sebagai kesimpulan dari data dengan mengembalikan makna yang ditampilkan sampai pemahaman dan interprestasi peneliti (Sugiyono, 2010). Pada tahap penarikan kesimpulan, peneliti menarik makna dari data-data hasil perolehan penelitian. Melalui tahap penarikan kesimpulan, peneliti menganalisis dan mendeskripsikan interprestasi peneliti dari hasil penelitian terkait collaborative governance penanganan tindak kekerasan terhadap perempuan di Jawa Tengah.

Referensi

Dokumen terkait

Pengelolaan risiko kredit dalam Bank juga dilakukan dengan melakukan proses analisa kredit atas potensi risiko yang timbul melalui proses Compliant Internal

Posted at the Zurich Open Repository and Archive, University of Zurich. Horunā, anbēru, soshite sonogo jinruigakuteki shiten ni okeru Suisu jin no Nihon zō. Nihon to Suisu no kōryū

Pada multifragmentary complex fracture tidak terdapat kontak antara fragmen proksimal dan distal setelah dilakukan reposisi. Complex spiral fracture terdapat dua atau

Setelah itu teller akan memanggil dan nasabah akan memberikan sejumlah uang dan buku tabungan untuk meminta pencetakan transaksi setor tunai ke bank..

- SAHAM SEBAGAIMANA DIMAKSUD HARUS DIMILIKI OLEH PALING SEDIKIT 300 PIHAK & MASING2 PIHAK HANYA BOLEH MEMILIKI SAHAM KURANG DARI 5% DARI SAHAM DISETOR SERTA HARUS DIPENUHI

[r]

Berdasarkan hasil seleksi Panitia Rekrutmen Tenaga Pendamping LKK Dinas Penanaman Modal, Pelayanan Terpadu Satu Pintu, Koperasi dan Usaha Mikro Kota Madiun Tahun

Keunggulan VMI membuat sistem ini banyak diterapkan pada sistem rantai pasok industri-industri saat ini seperti Wal-Mart yang menjadi pelopor penggunaan model VMI pertama