• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN"

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

47 BAB III

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Alasan Perlunya Penguatan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai Lembaga Penegak Hukum Independen melalui Self-Regulatory Body 1. Kedudukan KPK sebagai Lembaga Penegak Hukum Independen

Munculnya korupsi politik berbanding lurus dengan lemahnya atau tidak adanya kontrol terhadap praktik penyelenggaraan kekuasaan negara. Artidjo Alkotsar (2009:163) menyebutkan bahwa lemahnya kontrol ini dapat ditimbulkan karena kondisi sosial ekonomi dan pendidikan masyarakat yang tidak memadai. Di sisi lain, alasan munculnya korupsi politik karena praktik kekuasaan politik itu sendiri yang opresif dan menyimpang dari norma moral dan hukum yang berlaku. Keberadaan praktik kekuasaan yang korup ini melalui budaya politik senantiasa berupaya memperoleh legitimasi sosial politik. Sehingga jelas, yang dapat membedakan warna korupsi politik di negara satu dengan yang lain merupakan keseriusan praktik korupsi yang terpaut dengan variabel respon kekuasaan pemerintah serta gerakan sosial.

Pada akhirnya tidak perlu menunggu lama untuk melihat korupsi itu sebagai kasus yang perlu mendapatkan perhatian khusus pemerintah. Terhitung satu dekade sejak bulan dan tahun kemerdekaan, tepatnya 20 Agustus 1955, sembilan hari sejak kabinetnya terbentuk, Perdana Menteri Burhanuddin Harahap berkata, “Banyak orang kaya mendadak harus buktikan dia tidak korupsi” (Hendri F. Isnaeni https://historia.id/ politik/articles/keadaan-darurat- korupsi-DBxkP, diakses pada 15 Oktober 2020 pukul 22.40 WIB). Oleh sebab itu, di samping mempersiapkan dan berhasil menyelenggarakan Pemilu 1955, pemberantasan korupsi menjadi salah satu prioritas kerja kabinet Burhanuddin.

Menteri Keuangan, Sumitro Djojohadikusumo melalui surat keputusan nomor 728/M.K tanggal 8 Oktober 1955 yang isinya meminta pemberantasan korupsi dilakukan dengan memperbaiki peraturan yang ada (https://www.viva.co.id/

arsip/1427-kandasnya-operasi-budhi, diakses pada 15 Oktober 2020 pukul 22.51 WIB). commit to user

(2)

Bermula dari Kabinet Burhanuddin tersebut, peraturan perundang- undangan mengenai korupsi mulai dirintis. Namun, pembentukan peraturan perundang-undangan tersebut sering kali menemui halang rintangan dan penolakan dengan berbagai alasan dan kepentingan. Seiring dengan perkembangan upaya pembentukan aturan-aturan tentang korupsi tersebut juga mulai terbentuknya lembaga-lembaga antikorupsi, sebagai berikut:

Tabel 3. Riwayat Lembaga Antikorupsi yang Terbentuk di Indonesia Masa Pemerintahan Tahun Nama Lembaga

Orde Lama 1958 Badan Koordinasi Penilik Harta Benda 1959-1962 Badan Pengawas Kegiatan Aparatur

Negara (Bapekan)

1960-1963 Panitia Retooling Aparatur Negara (Paran I)

1963-1967 Paran II/Operasi Budi

1964-1967 Komando Retooling Aparatur Revolusi (Kotrar)

Orde Baru 1967 Tim Pemberantasan Korupsi 1970 Komisi IV

1977-1981 Operasi Penertiban

1982 Tim Pemberantasan Korupsi Era Reformasi 1999 Komisi Pemeriksaan Kekayaan

Penyelenggara Negara (KPKPN)

2000 Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGTPK)

2002 Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 2005 Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi (TimTas Tipikor)

Berdasarkan pengalaman upaya pembentukan lembaga-lembaga antikorupsi di Indonesia yang bertujuan memberantas korupsi masih cukup sulit untuk bertahan dan berjalan sesuai dengan tujuan dibentuknya. Banyak commit to user

(3)

perlawanan dan penolakan dari orang-orang yang merasa terancam dari eksistensi lembaga antikorupsi dan upaya-upaya pemberantasan korupsi.

Berbagai upaya perlawanan dilakukan untuk menggulingkan dan menduduki lembaga antikorupsi. Sehingga track record lembaga antikorupsi menjadi jatuh bangun melawan korupsi.

Pada proses melahirkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dimulai dengan upaya politik hukum yang memiliki semangat upaya pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Semangat tersebut juga menjadi salah satu hasil perjuangan aspirasi dan kesepakatan pejuang gerakan reformasi, yang ditandai usainya Orde Baru (Indrayana, 2016:34). Pemenuhan tuntutan gerakan reformasi tersebut diwujudkan dengan disahkannya Ketetapan MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Secara tegas tercantum dalam Pasal 4 yang intinya tindakan KKN yang dilakukan siapapun tetap mendahulukan prinsip praduga tak bersalah dan menjunjung tinggi hak asasi manusia. Selain iu, peraturan tersebut juga menyebutkan adanya kewajiban norma pelaporan harta kekayaan penyelenggara negara yang menjadi kewenangan Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN), yang keberadaannya diatur dalam UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. KPKPN tidak bertahan lama untuk dibubarkan dan kewenangannya diadopsi menjadi kewenangan KPK, yang terbentuk kemudian.

Pada masa kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid lahirlah lembaga ad hoc yaitu Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGTPK) yang terbentuk dari Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2000 tentang TGTPK pada tanggal 5 April 2000. TPTGK berfungsi membongkar kasus korupsi yang sulit pembuktiannya. Namun, tidak lama kemudian melalui Putusan MA Nomor 03P/HUM/2000 TPTGK dibubarkan pada tahun 2001. Hal ini sebabkan kekuatan hukum PP yang masih kurang mewadahi dan memberikan kepastian hukum bagi TGTPK sebagai lembaga antikorupsi. UU Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan commit to user

(4)

Tindak Pidana Korupsi in casu Pasal 43, pemerintah diamanatkan membentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang independen melaksanakan upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. Selanjutnya, pada masa kepemimpinan Presiden Megawati resmi dibentuk KPK pada Desember 2003 yang berlandaskan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. KPK memiliki fungsi yang sama dengan lembaga antikorupsi pendahulunya, perbedaannya adalah legitimasi KPK jauh lebih kuat dan sudah cukup belajar dari pengalaman lembaga antikorupsi sebelumnya. Selain itu, tugas, wewenang, dan sistem kinerja KPK dibentuk dengan cukup matang memperhatikan dari berbagi segi guna menutup rapat celah-celah yang mungkin dijadikan perlawanan.

Kemudian, pada masa kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga terdapat pembaharuan terhadap tata kelola pemberantasan korupsi di Indonesia dengan membentuk Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TimTasTipikor) berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2005 pada tanggal 2 Mei 2005. Tetapi, tidak berumur panjang karena banyak organisasi yang bergerak dibidang korupsi mengklaim kinerja dan keberhasilan TimTasTipikor tidak jelas, sehingga lembaga ini dibubarkan dan menyerahkan tugas pemberantasan korupsi sepenuhnya kepada KPK.

Semenjak berdirinya KPK yang mengadopsi tugas dan wewenang KPKPN dan TGTPK, pemberantasan korupsi memasuki babak baru. UU Nomor 30 Tahun 2002 memuat mengenai tugas dan wewenang KPK berdasarkan 5 (lima) asas, diantaranya asas kepastian hukum, asas keterbukaan, asas akuntabilitas, asas kepentingan umum, dan asas proposionalitas. Adanya asas-asas tersebut menciptakan keistimewaan lembaga KPK, yaitu terletak pada sifat independen sebagai suatu lembaga negara. Sifat independensi ini kemudian diatur dengan sangat jelas pada Pasal 3 UU Nomor 30 Tahun 2002 yang menyebut KPK ditetapkan lembaga negara dengan tugas dan wewenang utamanya terbebas dari pengaruh pihak manapun, yang artinya tidak diperbolehkannya ikut campur lembaga lain atau kekuasaan

commit to user

(5)

lain termasuk lembaga dan kekuasaan eksekutif dalam penanganan kasus tindak pidana korupsi.

Lahirnya KPK diharapkan menjadi jawaban dari masih tumpulnya upaya pemberantasan dan penanganan tindak pidana korupsi. Efektivitas dan efisiensi KPK sangat diharapkan untuk mewujudkan tujuan utamanya memberantas tindak pidana korupsi. KPK adalah sebuah lembaga yang bersifat komisi, artinya KPK adalah suatu lembaga ad hoc yang bersifat sementara yang suatu saat akan dibubarkan jika Kepolisian dan Kejaksaan sudah dapat dipercaya dan korupsi hilang dari bumi Indonesia (Napitulu, 2010:47). KPK diamanatkan untuk melakukan pemberantasan korupsi secara professional, intensif, dan berkesinambungan. Upaya ini dilakukan semata-mata ditujukan pada penyelenggaraan pemberantasan korupsi sungguh dijalankan secara maksimal.

Setelah dilakukan kajian, UU Nomor 30 Tahun 2002 dirasakan perlu disempurnakan lagi untuk mendukung kinerja KPK supaya menjadi lebih baik dan menyesuaikan dengan sosial budaya yang terbaru. Sehingga disahkanlah UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

KPK dibentuk sebagai lembaga independen mempertimbangkan korupsi yang dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa. Independensi dari KPK diharapkan menjadi fleksibilitas KPK dalam memberantas korupsi.

Terbentuknya KPK merupakan proses insidental dari isu tindak pidana korupsi dan terbentuk menjadi semangat bersama untuk memeranginya. Kedudukan KPK yang independen menjadikan KPK bebas dari adanya pengaruh kekuasaan lembaga lain. Sehingga upaya pemberantasan bebas dari intervensi.

Lembaga tersebut melaksanakan fungsinya dengan memposisikan diri yang mendukung fungsi dari lembaga eksekutif, legislatif, maupun yudikatif.

Meskipun memiliki independensi dan kebebasan dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya, namun sistem kelembagaan KPK tetap menjalankan fungsi-fungsi kelembagaan negara berkaitan dengan perangkat keanggotaannya. Hal tersebut mengacu pada Pasal 30 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang commit to user

(6)

menyebutkan bahwa pimpinan KPK juga merangkap sebagai anggota.

Pimpinan KPK dilseleksi oleh DPR yang mengacu pada daftar kandidat hasil usulan Presiden. Selain itu, sebagaimana pada Pasal 37E Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan UU KPK menentukan bahwa Dewan Pengawas diangkat dan ditetapkan oleh Presiden. Berdasarkan Pasal 53 Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002, KPK memiliki hubungan khusus dengan lembaga yudikatif setidaknya selama dua tahun ke depan. Pada pasal tersebut dijelaskan bahwa Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dibentuk dengan tugas dan wewenang untuk memeriksa hingga memutus tindak pidana korpsi yang penuntutannya diajukan oleh KPK.

Di samping itu, jika ditinjau secara yuridis kedudukan KPK tidak disebutkan secara langsung pada UUD 1945, melainkan secara tidak langsung pada Undang-Undang dan yurisprudensi lainnya. Kedudukan KPK dimuat pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-IX/2011 yang menyatakan bahwa KPK adalah lembaga negara independen sebagaimana termaktub dalam pertimbangan hakim halaman 75 sampai dengan 76 tepatnya pada poin 3.25 yang tertera sebagai berikut:

“Menimbang bahwa selain itu, menurut Mahkamah, KPK adalah lembaga negara independen yang diberi tugas dan wewenang khusus antara lain melaksanakan sebagian fungsi yang terkait dengan kekuasaan kehakiman untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan serta melakukan supervisi atas penanganan perkara- perkara korupsi yang dilakukan oleh institusi negara yang lain. Untuk mencapai maksud dan tujuan pembentukan KPK sebagai lembaga negara yang khusus memberantas korupsi, maka dalam melaksanakan tugas dan kewenangan secara efektif, KPK dituntut untuk bekerja secara profesional, independen, dan berkesinambungan. Menurut Mahkamah, KPK tidakakan maksimal melaksanakan tugas dan wewenangnya secara profesional dan berkesinambungan tanpa kesinambungan pimpinan KPK. Untuk menjamin kesinambungan tugas-tugas Pimpinan KPK, agar commit to user

(7)

pimpinan tidak secara bersama- sama mulai dari awal lagi, maka penggantian Pimpinan KPK tidak selayaknya diganti serentak. Oleh sebab itu, akan menjadi lebih proporsional dan menjamin kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum apabila terjadi penggantian antarwaktu di antara Pimpinan KPK diangkat untuk satu periode masa jabatan empat tahun [vide Pasal 28D ayat (1) UUD 1945].”

Pertimbangan hukum majelis hakim Mahkamah Konstitusi tersebut menjadi dasar untuk menyimpulkan bahwa KPK merupakan lembaga independen dengan tugas dan wewenang khusus untuk melakukan fungsi berkaitan dengan kekuasaan kehakiman, yaitu melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan serta melakukan supervisi atas penanganan perkara korupsi yang dilakukan oleh lembaga negara yang lain.

Namun, berlainan dengan hal tersebut, kedudukan KPK menurut Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-XV/2017 menyatakan bahwa KPK merupakan lembaga negara yang berkedudukan diranah eksekutif, sebagaimana termuat pada pertimbangan hakim halaman 109 sampai dengan 110 tepatnya pada poin 3.20 yang tertera sebagai berikut:

“Menimbang bahwa oleh karena KPK merupakan lembaga yang berada di ranah eksekutif yang melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan dalam perkara tindak pidana korupsi yang sejatinya merupakan kewenangan Kepolisian dan/atau Kejaksaan, bahkan dengan mengingat fungsi KPK sebagai lembaga khusus untuk mendorong agar pemberantasan korupsi dapat berjalan secara efektif, efisien, dan optimal, maka dapat disimpulkan dengan sendirinya bahwa KPK dapat menjadi objek dari hak angket DPR dalam fungsi pengawasannya. Dengan demikian, dalam melaksanakan fungsi pengawasannya, DPR dapat menggunakan hak-hak konstitusionalnya termasuk hak angket terhadap KPK hanya terbatas pada hal-hal yang berkaitan dengan pelaksanaantugas dan kewenangan KPK selain pelaksanaan tugas commit to user

(8)

dan kewenangan yang berkaitan dengan tugas dan kewenangan yudisialnya (penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan).”

Berdasarkan pertimbangan hukum majelis hakim Mahkamah Konstitusi tersebut, dapat disimpulkan bahwa KPK adalah lembaga negara yang berada diranah eksekutif yang melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan dalam perkara tindak pidana korupsi yang sejatinya merupakan kewenangan Kepolisian dan/atau Kejaksaan, bahkan dengan mengingat fungsi KPK sebagai lembaga khusus untuk mendorong agar pemberantasan korupsi dapat berjalan secara efektif, efisien, dan optimal, maka dapat disimpulkan bahwa KPK dapat menjadi objek dari hak angket DPR dalam menjalankan fungsi pengawasannya. Hal ini yang kemudian menjadi alasan untuk diundangkannya UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

2. Peran KPK dalam Memberantas Korupsi di Indonesia

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang ratifikasi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi (United Nations Convetion Against Corruption 2003) menyatakan bahwa korupsi merupakan masalah yang serius dan mengancam stabilitas dan keamanan masyarakat, melecehkan lembaga-lembaga dan nilai-nilai demokrasi, nilai-nilai etika dan keadilan, serta membahayakan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) dan rule of law (M. Imam Santoso, 2012:342-343). Kondisi ini dapat dilihat dalam praktik korupsi di Indonesia yang masih merupakan suatu perbuatan yang mengarah pada beyond the law. Hal ini disebabkan banyak faktor yang menentukan, antara lain kekuasaan, dan kuatnya para economic power di mana pengaruh kekuasaan ekonomi (konglomerat) dan beraucratic power sebagai kekuasaan umum (pejabat birokrasi) telah memposisikan status beyond the law. Oleh sebab itu, maka dibentuk berbagai perangkat hukum untuk menghadapi perkembangan korupsi yang semakin sistemik, termasuk di dalamnya KPK.

Pembentukan KPK berangkat dari filosofi dan kondisi bahwa korupsi telah menjadi kejahatan yang luar biasa (extraordinary crime) sehingga perlu commit to user

(9)

penanganan yang luar biasa pula. Hal ini untuk menjaga agar fungsi hukum tetap berjalan seperti yang dikemukakan oleh Satjipto Rahardjo (2003:97), yakni: (a) sebagai ekspresi nilai dan ideal; serta (b) sebagai penjaga harapan (expectation) masyarakat. Keberadaan KPK ini juga dipandang tepat untuk menyelesaikan persoalan korupsi yang belum secara efektif diatasi oleh institusi Kejaksaan dan Kepolisian. Sehingga secara teoritis, pilihan kebijakan untuk membentuk KPK ini disesuaikan dengan kebutuhan negara terhadap lembaga yang secara independen mampu menangani persoalan korupsi.

Kelahiran KPK memang ditujukan sebagai garda terdepan dalam pemberantasan korupsi, sehingga lembaga ini dibekali dengan “senjata” berupa kewenangan yang melebihi lembaga penegak hukum lain yang telah ada sebelumnya namun dipandang belum mempunyai kemampuan maksimal untuk mewujudkan hilangnya tindak pidana korupsi di Indonesia.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mempunyai tugas dan wewenang sebagaimana diatur di dalam Pasal 6-13 UU Nomor 19 Tahun 2019, antara lain:

1. Tindakan-tindakan pencegahan sehingga tidak terjadi Tindak Pidana Korupsi (vide Pasal 6 huruf a)

Dalam melaksanakan tugas pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang (vide Pasal 7 ayat (1)):

a. melakukan pendaftaran dan pemeriksaan terhadap laporan harta kekayaan penyelenggara negara;

b. menerima laporan dan menetapkan status gratifikasi;

c. menyelenggarakan program pendidikan antikorupsi pada setiap jejaring pendidikan;

d. merencanakan dan melaksanakan program sosialisasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;

e. melakukan kampanye anti korupsi kepada masyarakat; dan

f. melakukan kerja sama bilateral atau multilateral dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

commit to user

(10)

2. Koordinasi dengan instansi yang berwenang melaksanakan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan instansi yang bertugas melaksanakan pelayanan publik (vide Pasal 6 huruf b)

Dalam melaksanakan tugas koordinasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf b, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang (vide Pasal 8):

a. mengoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;

b. menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;

c. meminta informasi tentang kegiatan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi kepada instansi yang terkait;

d. melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang berwenang dalam melakukan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; dan

e. meminta laporan kepada instansi berwenang mengenai upaya pencegahan sehingga tidak terjadi Tindak Pidana Korupsi.

3. Monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara (vide Pasal 6 huruf c)

Dalam melaksanakan tugas monitor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang (vide Pasal 9):

a. melakukan pengkajian terhadap sistem pengelolaan administrasi di semua lembaga negara dan lembaga pemerintahan;

b. memberi saran kepada pimpinan lembaga negara dan lembaga pemerintahan untuk melakukan perubahan jika berdasarkan hasil pengkajian, sistem pengelolaan administrasi tersebut berpotensi menyebabkan terjadinya Tindak Pidana Korupsi; dan

c. melaporkan kepada Presiden Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, dan Badan Pemeriksa

commit to user

(11)

Keuangan, jika saran Komisi Pemberantasan Korupsi mengenai usulan perubahan tidak dilaksanakan.

4. Supervisi terhadap instansi yang berwenang melaksanakan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (vide Pasal 6 huruf d)

5. Penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap Tindak Pidana Korupsi (vide Pasal 6 huruf e)

6. Tindakan untuk melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (vide Pasal 6 huruf f)

Peran KPK dalam pemberantasan korupsi tidak hanya sekedar bersifat menindak (represif) sebagaimana yang tercermin dalam kegiatan koordinasi, supervisi, penanganan kasus, pelimpahan dan pengambilalihan kasus. KPK juga berperan untuk mencegah (preventif) yang diproyeksikan untuk menghambat tumbuhnya korupsi di masa mendatang (Setyawati, 2008:1).

Peran pencegahan ini seringkali dianggap sebagai marwah utama keberadaan KPK dalam upaya pemberantasan korupsi apabila dibandingkan dengan peran- peran strategis lainnya. Pencegahan juga dilakukan dengan tujuan meminimalisir tindak pidana korupsi sedini mungkin, beberapa angkah pencegahan yang dilakukan diantaranya:

a. Membangun nilai etika yang dapat dimulai dengan keseriusan untuk memberantas korupsi;

b. Melakukan program anti korupsi pada setiap jenjang pendidikan;

c. Merancang dan mendorong terlaksananya program sosialiasasi pemberantasan korupsi, sehingga masyarakat mampu mengindikasikan perbuatan korupsi dan bisa menghindari perbuatan korupsi; dan

d. Memberika motivasi agar terbangun suatu tatanan pemerintahan yang baik dan penegakkan hukum yang tegas dan berintegritas.

Menurut Syaiful Ahmad Dinar (2012), bahwa di bidang preventif, KPK telah berperan untuk pencegahan antara lain:

a. Membentuk dan menanamkan semangat menjauhi perilaku korupsi di tengah masayarakat. commit to user

(12)

b. Sosialisasi kepada masayarakat tentang peran masyarakat yang dijamin oleh hukum. Masyarakat didorong untuk bersama KPK menjadi pengawas, hingga pelapor dugaan korupsi. Keterlibatan masyarakat perlu ditingkatkan seraya meningkatkan kesadaran dan pelatihan tidak langsung pada masyarakat.

c. Dorongan dilakukannya reformasi politik, ekonomi, hukum, sosial, administrasi, dan birokrasi. Keterlibatan masyarakat lagi-lagi menjadi penting karena juga memicu pemikiran kritis dalam pengalamannya menerima pelayanan penyelenggaraan negara dan pemerintahan.

Reformasi tersebut juga memiliki tujuan akhir kehidupan negara dan pemerintahan yang transparan, akuntabel, dan partisipatif.

d. Kerja sama dan konsolidasi dilakukan melibatkan institusi dan lembaga lintas sektor untuk mempercepat terwujudnya nihilnya tindak pidana korupsi.

e. KPK juga membuat sosialisasi pencegahan gratifikasi pada lembaga pemerintah dan non pemerintah. KPK mengharapkan naiknya kesadaran pelaporan dugaan gratifikasi melalui lembar gratifikasi.

3. Tantangan KPK dalam Menjalankan Tugas dan Kewenangannya

Keberhasilan KPK dalam memberantas korupsi di Indonesia, bukan berarti terlepas dari tantangan yang selama ini dihadapi KPK. Perlawanan balik (fights back) selalu ada dari para pihak yang terusik oleh sepak terjang KPK.

Adapun tantangan yang dihadapi oleh KPK, antara lain kedudukan KPK yang terbatas, hubungan antar lembaga, tebang pilih penanganan korupsi, aparat penegak hukum yang masih korupsi, dan serangan balik koruptor (corruptor fights back). Dalam perjalanannya, modus pelemahan terhadap KPK terus bertambah seiring dengan semakin gencarnya penindakan korupsi oleh KPK (Muhammad, 2009:122). Denny Indrayana (2016:100) menyebutkan bahwa modus operandi pelemahan KPK terbagi menjadi dua, yaitu: Pertama, modus yang digunakan ialah dengan menyerang secara personal (personal attack), baik itu melalui rekayasa hukum (criminal attack/kriminalisasi) terhadap para pimpinan KPK, maupun serangan fisik terhadap pegiat antikorupsi (physical commit to user

(13)

attack). Kedua, serangan hukum terhadap institusi KPK (institutional attack) yang dilakukan dengan melakukan uji materi perundang-undangan (judicial review) dan mereduksi kewenangan melalui perubahan undang-undang KPK (legislative review).

Kedudukan kantor KPK yang terbatas menjadi salah satu kelemahan KPK yang kantornya hanya terpusat di Jakarta. Hal ini menyebabkan selain KPK tidak dapat mengoptimalkan kerja pemberantasan korupsi di daerah, juga cenderung menghabiskan biaya yang cukup besar setiap kali melakukan penyidikan kasus-kasus korupsi di daerah. Selama ini KPK mengatasi kendala ini dengan melakukan pemeriksaan kasus korupsi berdasarkan pengaduan yang masuk, tentunya KPK juga bekerja sama dengan pihak kepolisian dan kejaksaan setempat dalam menangani kasus korupsi di daerah. Namun demikian, penanganan kasus korupsi di daerah masih tampak sulit dikarenakan perlu adanya koordinasi yang bai kantar lembaga dan tim pemeriksa daerah dengan pusat. Oleh karena itu, sangat perlu untuk diadakan perwakilan KPK secara bertahap hingga menyeluruh setidaknya pada setiap daerah wilayah provinsi, di mana penyelesaian tindak pidana khusus korupsi dilakukan di pengadilan negeri tinggi.

Selanjutnya, yang menjadi tantangan bagi KPK juga hubungan antar lembaga khususnya KPK dengan lembaga kepolisian dan kejaksaan. Misalnya dengan berkembangnya isu kecemburuan lembaga-lembaga tersebut pada wewenang dan hak istimewa yang diberikan kepada KPK. Hal tersebut wajar terjadi karena undang-undang pembentukan KPK juga ditemukan inkonsistensi terhadap Undang-Undang Kepolisian dan Kejaksaan. Misalnya, dalam ranah penyidikan dan penuntutan yang awalnya merupakan wewenang dari Kepolisian dan Kejaksaan saat ini diberikan kepada KPK sehingga menggambarkan pemberian peluang tidak terbatasnya kewenangan KPK.

Realisasi pembagian ataupun pemisahan wewenang nampak belum konsisten dan berpotensi menimbulkan kekosongan hukum dalam mensinergikan fungsi kerjasama antara KPK dengan lembaga lain dalam hal proses penyelidikan dan penyidikan. Kemudian, wujud konkret dari relasi antar lembaga yang dibangun commit to user

(14)

KPK adalah membentuk Nota Kesepahaman/ Memorandum of Understanding (MoU) sebagai bentuk kerja sama dalam pemberantasan korupsi. Namun, dalam pelaksanaan MoU tidak ada mekanisme guna melakukan monitoring untuk menilai seberapa jauh MoU itu telah dijalankan oleh berbagai lembaga pemerintah/negara.

Selanjutnya, KPK pun melakukan tebang pilih dalam penanganan kasus korupsi. Pada beberapa kasus, KPK terkesan tebang pilih, terutama dalam kasus-kasus dugaan korupsi berkategori big fish. Contohnya pada kasus Bank Century di mana pemeriksaan Wakil Presiden Boediono dilakukan di Wisma Negara Kompleks Kepresidenan (Kompas https://nasional.kompas.com/read/

2010/04/29/15315318/NaN, diakses pada 11 Januari 2021 pukul 18.48 WIB) dan Menteri Keuangan Sri Mulyani di Kantor Departemen Keuangan (Tempo, https://nasional.tempo.co/read/672966/korupsi-tppi-bareskrim-periksa-sri-mul yani-di-kemenkeu/full&view=ok, diakses pada 11 Januari 2021 pukul 18.50 WIB). Yang terjadi pada kasus tersebut adalah timbulnya pelanggaran asas kesamaan di mata hukum (equality before the law). Langkah yang diambil KPK menjadi salah ditambah lagi dengan di tengah isu sentimen negatif dari para “korban” penindakan KPK. Di luar isu tentang bank Century, KPK juga terus disibukkan dengan berbagai kasus penting yang melibatkan pejabat tinggi negara. Misalnya kasus dugaan gratifikasi atau suap yang melibatkan perwira tinggi Polri yang popular dikenal dengan kasus ‘rekening gendut Perwira Tinggi Polisi’. ICW bersama dengan elemen antikorupsi terus melakukan desakan agar kasus segera diungkap. Desakan ini tidak hanya ditujukan pada KPK tetapi juga kepada SATGAS anti-mafia hukum (SATGAS bentukan Presiden), Mabes POLRI, PPATK dan bahkan Komisi Informasi Publik agar bersikap kooperatif dan bersinergi untuk segera menyelesaikan kasus tersebut.

Sampai saat ini, kasus tersebut belum kunjung menemui putusan hukumnya.

Kasus besar lain yang berlarut dan menjadi berkepanjangan yaitu terhentinya kasus suap dalam pemilihan Deputi Senior Gubernur BI, Miranda Gultom.

Kasus terganjal dengan kaburnya salah satu tersangka, yaitu Nunun Nurbaeti ke luar negeri. Upaya pengejaran terkesan kurang serius jika dibandingkan commit to user

(15)

dengan upaya penangkapan Nazarudin, mantan bendahara Partai Demokrat yang tersangkut dalam kasus Wisma Atlet. Ganjalan pada penyelesaian kasus- kasus tersebut mengindikasikan adanya isu independensi KPK dalam penegakan hukum saat kasus melibatkan dengan sosok orang besar, melibatkan aparat penegak hukum lainnya, serta orang dengan bisnis kelas atas. (Adnan, 2011:12-13).

Tantangan KPK berikutnya adalah masih adanya aparat penegak hukum yang melakukan korupsi. Jika kehadiran KPK diharapkan dapat mendorong trigger mechanism bagi kejaksaan dan kepolisian, seharusnya salah satu fokus penindakan KPK adalah membersihkan institusi penegak hukum. Namun, nyatanya kasus korupsi yang melibatkan aparat kepolisian, kejaksaan, advokat dan pengadilan sangat sedikit yang diungkap oleh KPK. Selama periode 2016- 2020, KPK hanya menangani 9 kasus korupsi yang dilakukan oleh hakim, 7 kasus korupsi oleh kejaksaan, 6 kasus korupsi oleh pengacara, dan tidak ada kasus korupsi yang ditangani oleh kepolisian. Jika dihitung maka selama 5 tahun terakhir KPK hanya menangani 22 kasus korupsi oleh aparat penegak hukum dari 691 keseluruhan kasus korupsi yang ditangani (KPK https://www.kpk.go.id/id/statistik/penindakan/tpk-berdasarkan-profesi-

jabatan, diakses pada 11 Januari 2021 pukul 21.12 WIB). Selain itu, terdapat pula setidaknya 20 kasus pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh pimpinan maupun pegawai KPK. Kasus pelanggaran kode etik yang terbaru melibatkan Firli Bahuri sebagai Ketua KPK dikarenakan menggunakan transportasi mewah yaitu, helikopter. Atas perbuatannya itu Firli Bahuri dijatuhkan sanksi ringan oleh Dewan Pengawas KPK. Di sisi lain, ICW berpendapat bahwa kualitas penegakan kode etik KPK pada pimpinan dan pegawai KPK cukup diragukan, karena pada kasus Firli Bahuri tersebut semestinya telah memenuhi unsur untuk dapat diberikan sanksi berat berupa rekomendasi agar mengundurkan diri (ICW https://antikorupsi.org/id/article/mempertanyakan- kredibilitas-putusan-pelanggaran-kode-etik-ketua-kpk, diakses pada 12 Januari 2021 pukul 18.40 WIB). Pada media berita tersebar bahwa sebelum pelanggaran kode etik dilakukan oleh Firli Bahuri adapula pelanggaran kode commit to user

(16)

etik itu dilakukan oleh Ferry Wibisono yang diduga memberikan perlakuan khusus terhadap Jaksa Agung Muda pada tahun 2010. Berikutnya melibatkan Bambang Sapto Pratomosunu, Johan Budi, Rony Samtana, Busyro Muqoddas, M Jasin, Chandra M Hamzah, dan Haryono Umar yang diduga melakukan pertemuan antara Nazaruddin dengan pimpinan dan pegawai KPK untuk membicarakan mengenai kasus korupsi pada tahun 2011. Pelanggaran kode etik juga melibatkan Endro Laksono yang menggelapkan uang, MHNS (penyidik) terkait kasus perselingkuhan pada tahun 2012, Abraham Samad dan Wiwin Suwandi terkait kasus bocornya Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) pada tahun 2013, Adnan Pandu Praja yang mencabut parafnya dari Sprindik pada tahun 2013, Saut Situmorang terkait pernyataan prihal HMI pada tahun 2016, Rolan Ronaldy dan Harun sebagai penyidik yang merusak barang bukti pada tahun 2017, Novel Baswedan yang mengirimkan surat elektronik berisi protes atas rencana Aris Budiman yang ingin merekut kepala Satgas Penyidikan dari Mabes Polri, dan Aris Budiman yang menghadiri rapat panitia angket KPK yang digagas oleh DPR. KPK sebagai lembaga yang menangani kasus korupsi namun nyatanya masih adapula pimpinan dan pegawai KPK yang melanggar kode etik bahkan terlibat dalam kasus korupsi. Kemudian yang menjadi asumsi adalah adanya peran serangan balik koruptor yang melakukan kriminalisasi terhadap pimpinan atau pegawai KPK dalam melanggar kode etik dan adanya ketidaktegasan terhadap penanganan kasus pelanggaran kode etik KPK. Hal ini dapat dilihat dari beberapa kasus pelanggaran kode etik yang benar ditangani dengan sanksi berat namun adapula yang tidak dikenakan sanksi bahkan tidak terselesaikan (Ryan Dwiki https://nasional.tempo.co/

read/1137510/catatan-19-dugaan-pelanggaran-kode-etik-internal-kpk-versi- icw, diakses pada 12 Januari 2021 pukul 19.18 WIB).

Selanjutnya yang menjadi tantangan terbesar KPK dalam memberantas korupsi adalah serangan balik oleh koruptor ataupun para pihak yang merasa terganggu oleh tugas dan kewenangan KPK. Delegitimasi diantaranya usaha untuk melemahkan wewenang KPK dilakukan dengan berbagai cara. Dimulai dengan mengajukan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi RI, upaya revisi commit to user

(17)

UU KPK untuk melemahkan beberapa fungsi KPK, hingga upaya pembubaran KPK. Upaya-upaya tersebut juga melibatkan tekanan, intervensi dan delegitimasi institusi KPK di ruang politik (Francisco, 2020:244). Tidak jarang pula para koruptor melakukan serangan balik, adapun daftar panjang serangan balik koruptor yang dipaparkan oleh Labib Muttaqin dan Muhammad Edy Susanto (2018:113), diantaranya pengajuan uji materi UU KPK, pengundangan UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan UU KPK, hak angket DPR untuk KPK, kriminalisasi pemimpin dan pegawai KPK.

Dengan demikian penulis dapat menguraikan setidaknya terdapat 3 (tiga) upaya serangan balik koruptor antara lain, kriminalisasi (termasuk physical attack) terhadap pimpinan dan pegawai KPK, judicial review/constitutional review atau pengujian materi UU KPK kepada MK, dan legislative review atau perubahan UU KPK dengan maksud melemahkan, sebagai berikut:

a. Kriminalisasi (termasuk physical attack) Terhadap Pimpinan dan Pegawai KPK

Pada Black Law Dictionary menyatakan bahwa kriminalisasi itu adalah perbuatan atau kejadian yang mengubah situasi yang sebelumnya tidak kriminal menjadi kriminal ataupun ada seseorang berkembang menjadi kriminal dengan melanggar sesuatu yang ilegal atau dilarang (mengkriminalisasi). Proses tersebut juga dapat disebut sebagai develop in to criminal act) (Ahmad, 2011: 517).

Korban kriminalisasi adalah perorangan atau kelompok yang dikarenakan latar belakang profesi harus menerima proses hukum yang dipaksakan termasuk juga menghadapi diskriminasi, upaya paksa yang berlebihan, dan kesengajaan untuk memperlambat atau bahkan meniadakan penannganan suatu perkara. Pimpinan KPK acapkali menjadi target atas praktik-praktik kriminalisasi karena memiliki pengaruh yang kuat dalam keberlangsungan KPK terhadap kewenangannya memberantas korupsi. Pimpinan KPK bersifat kolektif kolegial sebagaimana tertuang dalam Pasal 21 ayat (4) Perubahan UU KPK, pimpinan KPK tentunya mampu memegang kendali untuk menggerakan arah keberpijakan KPK. commit to user

(18)

Mekanisme kolektif kolegial merujuk pada sistem kepemimpinan yang melibatkan para pihak dalam mengeluarkan keputusan atau kebijakan melalui mekanisme yang ditempuh, baik dengan musyarah untuk mufakat ataupun pemungutan suara yang mengedepankan intuisi bersama.

Sedangkan yang berlaku pada KPK mekanisme kolektif kolegial adalah pengambilan keputusan KPK berdasarkan kesepakatan bersama melalui musyawarah untuk mufakat secara berjenjang yang melibatkan semua pihak untuk saling melengkapi, permasalahan internal dan eksternal diselesaikan dalam musyawarah pleno, dan fungsi koordinasi tidak hanya diletakkan pada 1 (satu) orang saja yang hanya ditentukan melalui karakter seseorang saja.

Beberapa peristiwa kriminalisasi dialami oleh pimpinan KPK dalam kaitannya melaksanakan tugasnya memberantas korupsi. Dialami oleh pimpinan KPK saat itu, yaitu Bibit Samad Rianto dan Candra Hamzah pada tahun 2009 dikriminalisasi dengan upaya menjerat mereka dengan Pasal 23 UU Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 421 KUHP tentang Penyalahgunaan Wewenang. Upaya kriminalisasi yang merupakan rekayasa tersebut dibuka dengan beredarnya rekaman percakapan Anggodo Widjojo dengan sejumlah orang diputar di MK (Hukum Online, 2009). Selanjutnya, tokoh yang dikriminalisasi adalah Bambang Widjojanto. Terdapat beberapa alasan kuat mengapa kasus Bambang Widjojanto (BW) adalah kriminalisasi diantaranya (PSHK et.al, 2017):

1) BW ditetapkan menjadi tersangka sebelum tindak pidananya diketahui secara pasti;

2) BW ditangkap yang dianggap sebagai aksi balasan dari penetapan Budi Gunawan sebagai tersangka oleh KPK;

3) Penangkapan BW tanpa melalui proses pemanggilan terlebih dahulu;

4) Terlibanya Kombes Viktor pada proses ditangkapnya BW, padahal Kombes Viktor bukan penyidik Bareskrim;

5) Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) baru dikirimkan sore hari setelah BW ditangkap; commit to user

(19)

6) Pelaporan kasus BW yang terjadi lima tahun silam tiba-tiba diangkat dan dibuka kembali;

7) Polri banyak disinggung banyaknya penundaan kasus, tetapi pada kasus BW Polri bergerak sangat cepat dalam penanganannya;

8) Polri menolak diadakannya Gelar Perkara Khusus bagi kasus BW; dan 9) Dilaporkannya juga beberapa tokoh antikorupsi ke Bareskrim dengan

rentang waktu yang berdekatan maupun setelah dengan kasus BW.

Kriminalisasi juga dialami oleh penyidik KPK, yaitu Novel Baswedan. Novel dibawa ke Bareskrim Polri pada 1 Mei 2015 dini hari dan menjalani pemeriksaan pada pagi buta tanpa didampingi kuasa hukum.

Selang beberapa jam, Novel diboyong ke Markas Komando Brimob Kelapa Dua, Depok, untuk melanjutkan pemeriksaan. Sore harinya, tiba- tiba penyidik Polri membawa dirinya ke Bengkulu untuk menjalani rekonstruksi. Namun, saat itu tak ada seorang pun kuasa hukum yang mendampinginya. Padahal rekonstruksi seharusnya didampingi penasihat hukum supaya lebih tepat, namun permintaan Novel untuk didampingi oleh kuasa hukumnya terlebih dahulu sebelum menjalani proses rekonstruksi tidak dipenuhi. Polisi tetap menggelar rekonstruksi imajiner yang tak berdasar pada Berita Acara Pemeriksaan dan tidak substansial.

Kemudian, Novel diterbangkan kembali ke Jakarta pada keesokan harinya.

Alasan lain yang menguatkan bahwa novel dikriminalisasi adalah Novel dijadikan tersangka pada 1 Oktober 2012 oleh Polres Bengkulu atas dugaan penganiayaan seorang pencuri sarang burung walet hingga tewas pada tahun 2004 saat ia menjabat Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Bengkulu.

b. Pengujian materi UU KPK terhadap MK (Judicial Review/Constitutional Review)

Denny Indrayana, (2011:98) berpendapat bahwa pelemahan terhadap dasar hukum upaya pemberantasan korupsi bukan merupakan modus baru. Bukan hanya KPK sebagai lembaga antikorupsi yang satu- satunya mengalaminya, karena hal ini merupakan modus standar para commit to user

(20)

koruptor yang dilakukan secara berulang. Berdasarkan sejarahnya, lembaga antikorupsi Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) pernah diuji materi ke MA. Hasilnya dasar hukum tim tersebut dibatalkan dan dibubarkannya Tim tersebut, sebelum mereka selesai membongkar praktik suap yang diduga melibatkan beberapa orang hakim agung. Selanjutnya, Keppres Nomor 37 tahun 2009 tentang Satgas Pemberantasan Mafia Hukum, yang menjadi dasar hukum kelahirannya, juga diuji materi ke MA. Untungnya, MA tidak mengabulkan uji materi atas Keppres Satgas tersebut. Lain halnya apabila dikabulkan, maka Satgas tersebut pun sudah dibubarkan sesuai keinginan beberapa gelintir politikus di Senayan. Metode pelemahan lembaga antikorupsi ini dilakukan untuk menguji konstitusionalitas UU KPK yang berkaitan dengan potensi kerugian konstitusional yang dialami oleh seseorang. Dalam hal ini, MK akan memutus apakah suatu pasal tertentu dalam UU KPK memang mengandung muatan yang merugikan atau bertentangan dengan konstitusi, atau justru sebaliknya.

Uji Materi atau Judicial Review UU KPK kepada MK diajukan oleh beberapa pihak dengan tujuan melemahkan kewenangan KPK. Upaya tersebut telah berlangsung cukup lama dan berulang. Diantaranya, menurut Saldi Isra yaitu uji materi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK kepada MK. Saldi Isra mengemukakan uji materi tersebut membawa berbagai alasan, misalnya usaha mempertanyakan legalitas keberadaan KPK hingga mengkritisi beberapa pasal yang memuat kewenangan KPK.

Tujuan dari penggunaan jalur uji materi ke MK adalah memperlemah KPK sehingga tidak dapat lagi mengusik pelaku korupsi terutama yang melibatkan lembaga negara sebelum diundangkannya UU Nomor 30 Tahun 2002. Kaus-kasus yang melibatkan lembaga-lembaga tersebut hampir tidak pernah tersentuh upaya penegakan hukum pemberantasan korupsi. Beruntungnya, berbagai upaya yang dilayangkan untuk melemahkan wewenang KPK melalui uji materi ke MK ini gagal (Isra, 2016:66). commit to user

(21)

c. Perubahan UU KPK (Legislative Review)

Ancaman kepentingan politik terhadap sistem antikorupsi yang dibangun oleh KPK semakin nyata dirasakan sebagai efek samping penebangan upaya korupsi di berbagai sektor vital negara oleh KPK.

Pihak-pihak tersebut bereaksi dan bergerak dengan menggunakan instrumen hukum untuk mereduksi dan melemahkan KPK melalui intervensi terhadap pelaksanaan KPK (Diansyah, 2009:50). Padahal, dalam pandangan Bertrand De Speville (2008:2), intervensi semacam ini dapat mengakibatkan kegagalan secara fungsional dari lembaga antikorupsi tersebut. Adapun bentuk intervensi tersebut ialah dengan merumuskan perubahan undang-undang KPK yang cenderung memperlemah KPK.

Upaya perombakan UU KPK setidaknya telah terjadi sejak tahun 2011. Proses perombakan melalui upaya legislasi revisi UU KPK termasuk yang paling intens dilakukan dan alot sejak era reformasi karena upaya tersebut dilakukan beberapa kali diusulkan tetapi selalu batal berlanjut dikarenakan terdapat reaksi penolakan dari masyarakat. Setidak-tidanya sudah terdapat tiga rancangan RUU KPK yang diusulkan oleh DPR, yaitu draf RUU KPK tahun 2012, draf RUU KPK pada Oktober 2015, dan daft RUU KPK Februari 2016. Umumnya, revisi sebuah peraturan perundang- undangan biasanya bertujuan untuk meningkatkan dan memperbaiki kinerja. Tetapi, berbeda dengan yang dialami UU KPK karena draft RUU diketahui berisikan upaya melemahkan institusi KPK (ICW, 2017:1).

Bambang Widjojanto (2016:xiii) menyatakan bahwa adanya pihak yang berupaya meniadakan posisi eksistensi KPK maka cara yang digunakan dengan melakukan “serangan legislasi” dengan terus menerus mengajukan berbagai perubahan atau revisi perundangan yang tujuannya mendelegitimasi eksistensi dan lingkup kewenangan KPK. Revisi UU KPK merupakan upaya pelemahan KPK dengan cara yang seolah legal, tapi sesungguhnya tidak mencerminkan upaya yang sesuai legitimasinya.

Meskipun akhirnya, RUU KPK secara resmi telah diundangkan sebagai commit to user

(22)

UU No. 19 Tahun 2019 tentang Perubahan UU KPK. Namun, apabila dicermati kembali susunan revisi UU KPK tersebut ada beberapa hal yang berpotensi memerikan dampak buruk pada wewenang KPK saat melakukan pemberantasan korupsi. Pertama, amanat dibentuknya dewan pengawas (Pasal 37A hingga Pasal 37F), konsep pembentukan ini dinilai hanya akan melemahkan independensi KPK. Kedua, penyadapan dalam bagian dari upaya penegakan hukum diwajinkan atas seizin dewan pengawas yang diperoleh dalam 1x24 jam serta hanya boleh dilakukan ketika memiliki bukti permulaan yang cukup, hal ini justru akan menghambat kinerja KPK. Ketiga, KPK berwenang menghentikan penyidikan dan penuntutan (SP3), adanya ketentuan ini dapa dimanfaatkan oleh koruptor untuk menyudahi kasus yang dialaminya. Hal-hal tersebut adalah bentuk nyata serangan balik koruptor yang cukup menghantam KPK karena Perubahan UU KPK ini mampu mengamputasi independensi KPK dan memberikan kewenangan luas kepada Dewan Pengawas KPK yang dibentuk secara langsung oleh Presiden.

KPK sebagai lembaga penegak hukum cukup mengemban tanggung jawab besar dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Adanya beragam tantangan yang dihadapi oleh KPK sebagai risiko dari upaya pemberantasan korupsi yang dilaksanakan. Berbagai tantangan tersebut dapat diatasi oleh sifat independensi KPK yang berbasis self-regulatory body. Self- regulatory body merupakan kewenangan khusus yang menjadi identitas lembaga negara independen, yaitu lembaga memiliki kewenangan mengatur dirinya sendiri. Kewenangan tersebut dimaksudkan untuk mengatur regulasi atas dirinya dengan mengeluarkan produk hukum. KPK sebagai lembaga negara mempunyai kewenangan mengeluarkan produk hukum sendiri berupa peraturan komisi, peraturan pimpinan, dan peraturan bersama. Kemudian, atas sifat independen yang berbasis self-regulatory body yang melekat pada KPK sudah semestinya KPK memiliki hak pembuatan peraturan pelaksana dalam bentuk peraturan komisi yang secara terperinci mengatur hal-hal yang bersifat teknis tanpa campur tangan lembaga atau kekuasaan diluar KPK. Keterlibatan commit to user

(23)

KPK juga dapat menambahkan hal-hal teknis yang perlu diperkuat secara legitimasi dan menjaga kewenangan independen KPK dalam memberantas korupsi.

KPK sebagai lembaga penegak hukum mengemban tanggung jawab besar dalam memberantas korupsi yang melibatkan sejumlah pejabat pemerintah. Dilihat dari tujuannya, maka tanggung jawab KPK ini tidaklah mudah dijalankan karena sering kali ditemui kendala maupun tantangan. Salah satu tantangan yang akan terus ada berdampingan dengan tanggung jawab KPK adalah serangan balik yang dilakukan oleh pihak-pihak yang merasa terganggu atas kewenangan KPK dalam memberantas korupsi. Dengan demikian, KPK perlu didukung dan dikuatkan dengan mempertegaskan sifat independen yang berbasis self-regulatory body yang sudah melekat pada KPK. Hal ini berguna bagi KPK dalam memperkuat kewenangannya secara legitimasi dan menekan hal-hal yang berupaya memperlemah KPK yang menyerang secara yuridis dengan cara memasukannya menjadi substansi produk hukum KPK.

B. Konsep Self-Regulatory Body yang Ideal Guna Memperkuat Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai Lembaga Penegak Hukum Independen 1. Sharing of Power KPK sebagai Lembaga Penegak Hukum Independen

Berpangkal dari doktrin pemisahan kekuasaan (separate of power) yang dikemukakan oleh Montesquieu pada teori Trias Politica menjelaskan diperlukannya pemisahan kekuasaan setidak-tidaknya menjadi 3 (tiga) kekuasaan diantaranya, kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Pendapat dari Montesquieu tersebut bermaksud mengkategorikan kekuasaan negara dalam menjalankan fungsinya dilengkapi dengan pembeda dan pemisahan secara struktural pada organ-organ sehingga tidak saling mencampuri urusan masing-masing. Lembaga-lembaga tersebut kemudian tidak akan bersinggungan dalam hal menjalankan tugasnya untuk efektivitas dan efisiensi kinerja. Pemisahan berlaku bagi lembaga dan orang yang terlibat di dalamnya.

Teori ini dibuat agar kekuasaan didistribusikan secara merata. Kekuasaan negara pada teori yang dicetuskan trias politika juga melibatkan fungsi saling commit to user

(24)

‘mengawasi’ (checks) dan saling ‘menyeimbangi’ (balances) dalam implementasi kekuasaan yang nyata. Sehingga pembatasan kekuasaan sesuai dengan fungsinya, termasuk dalam mengontrol internal lembaga lain yang sederajat maupun secara eksternal oleh rakyat sebagai konstituen real yang diwakili oleh lembaga-lembaga negara tersebut. Ketiga pembagian kekuasaan tersebut kemudian dapat menjadi cerminan untuk membentuk berbagai lembaga terkait yang mungkin dibentuk untuk mendukung atau menjadi pelaksana dari masing-masing kekuasaan.

Terkait dengan teori pemisahan, Montesquieu membuat analisis atas pemerintahan Inggris Montesquieu berpendapat bahwa ketika kekuatan legislatif dan eksekutif disatukan dalam orang yang sama, atau dalam badan hakim yang sama, maka tidak ada kebebasan karena akan muncul kekhawatiran, jangan sampai raja atau dewan yang sama memberlakukan hukum dengan sewenang-wenang, untuk mengeksekusinya dengan cara yang sewenang-wenang. Sekali lagi, jika kekuasaan kehakiman tidak dipisahkan dari legislatif dan eksekutif, maka tidak ada kebebasan. Jika itu digabungkan dengan legislatif, kehidupan dan kebebasan akan menjadi subjek yang diekspos dengan kontrol sewenang-wenang; karena hakim akan menjadi legislator. Jika itu digabungkan dengan kekuasaan eksekutif, hakim mungkin berperilaku dengan kekerasan dan penindasan. Dan pada akhirnya akan menjadi hal yang sangat menyedihkan bila orang yang sama atau lembaga yang sama menjalankan ketiga kekuasaan itu, yaitu menetapkan hukum, manjalankan keputusan-keputusan publik dan mengadili kejahatan atau perselisihan para individu (Montesquieu, 2007:62). Berdasarkan pendapat tersebut, maka Montesquieu memisahkan kekuasaan negara pada 3 (tiga) cabang kekuasaan sesuai fungsinya, yaitu kekuasaan eksekutif yang berfungsi menyelenggarakan undang-undang, kekuasaan legislatif yang berfungsi membuat undang-undang, dan kekuasaan yudikatif (kekuasaan kehakiman) yang berfungsi mengadili pelanggaran undang-undang.

Adapun salah satu dari ketiga cabang kekuasaan negara yaitu badan yudikatif dalam menjalankan fungsinya yaitu, pengawasan dan peradilan pada commit to user

(25)

pelanggaran undang-undang dilaksanakan oleh penegak hukum. Penegak hukum merupakan lembaga yang memiliki kewenangan berhubungan dengan proses peradilan dan kewenangan menangkap, memeriksa, mengawasi, ataupun menjalankan perintah undang-undang di bidang masing-masing (Ilman Hadi, https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/

lt502201cc74649/lembaga-penegak-hukum/, diakses pada 5 Februari pukul 20.21 WIB). Lembaga penegak hukum yang setidaknya memiliki kewenangan semua itu diantaranya, kehakiman, kejaksaan, kepolisian, dan advokat.

Berdasarkan kewenangan penegak hukum, maka KPK secara lex specialis juga dapat digolongkan sebagai lembaga penegak hukum dalam kekhususannya memberantas tindak pidana korupsi. Selain itu, KPK dalam pelaksanaannya memberantas korupsi juga bekerja sama dengan lembaga kehakiman, kejaksaan, dan kepolisian dalam menyelenggarakan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan peradilan. Jika melihat kembali alasan dibentuknya KPK adalah untuk membantu lembaga kejaksaan dan kepolisian secara khusus dalam penanganan tindak pidana korupsi yang menjamur di Indonesia, maka kekhususan KPK muncul dari kewenangan yang semulanya adalah tugas kejaksaan dan kepolisan. Dengan demikian, KPK sebagai lembaga penegak hukum memiliki peran yudikatif yang dalam pelaksanaannya secara khusus mengadili pelanggaran undang-undang tindak pidana korupsi bersama dengan kejaksaan dan kepolisian.

Pada dasarnya kewenangan yang dimiliki setiap lembaga negara harus ada batasan-batasan yang mengikat. Peraturan perundang-perundangan adalah cara untuk membatasi kewenangan tersebut. Selanjutnya, hal-hal yang bersifat teknis akan diatur pada peraturan pelaksana dalam bentuk pada peraturan pemerintah atau secara self-regulatory body. Wewenang untuk menetapkan aturan yang merupakan akibat dari sifat self-regulatory body merupakan hak dari setiap lembaga independen. Bahwa sifat ini mengartikan setiap lembaga memiliki wewenang mengeluarkan peraturan dengan bungkus baju kelembagaan masing-masing yang mengikat (Mochtar, 2017:xx). Pada saat yang sama, secara faktual peraturan setiap lembaga tersebut memiliki daya commit to user

(26)

yang mengikat baik secara internal maupun eksternal lembaga, termasuk juga masyarakat umum. KPK sebagai lembaga negara independen juga memiliki peraturan-peraturan yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan internal dan eksternal kelembagaan KPK. Adapun produk hukum peraturan yang ditetapkan oleh KPK diantaranya, peraturan komisi, peraturan pimpinan, dan peraturan bersama yang digunakan sebagai self-regulatory body. Selaras dengan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menyebutkan bahwa KPK adalah bagian dari kekuasaan eksekutif dengan tugas dan wewenang utamanya dijamin tebebas dari pengaruh pihak ata lembaga lain. Berdasarkan pasal tersebut, KPK adalah bagian dari rumpun kekuasaan eksekutif supaya tidak menimbulkan kekuasaan negara baru namun tetap menjaga kewenangannya yang independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun termasuk eksekutif itu sendiri. Dengan demikian, diperlukan adanya kontrol dari kekuasaan lain, yaitu kekuasaan legislatif dan kekuasaan yudikatif dalam bentuk sharing of power guna mengontrol kewenangan independen KPK yang bebas dari kekuasaan manapun.

Adapun sharing of power pada KPK diwujudkan dengan presiden sebagai representasi dari kekuasaan eksekutif memiliki kewenangan mengusulkan 5 (lima) orang komisioner sebagaimana tertuang dalam Pasal 30 ayat (9) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang berisi Presiden memberikan nama calon komisioner kepada DPR dari daftar nama calon yang diterima dari panitia seleksi. Hal ini selaras dengan fungsi kekuasaan eksekutif dalam upaya penyelenggaraan undang-undang KPK. Berikutnya DPR (kekuasaan legislatif) berwenang menetapkan dan memilih 5 (lima) orang komisioner KPK berdasarkan usulan dari presiden yang dimuat pada Pasal 30 ayat (10) Undang- Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Hal ini selaras dengan fungsi kekuasaan legislatif dalam membuat dan menetapkan pimpinan KPK guna mendukung terselenggaranya undang- undang KPK. Sedangkan, kontrol dari kekuasaan yudikatif diwujudkan dalam commit to user

(27)

pelaksanaan undang-undang KPK, sebab lembaga KPK termasuk penegak hukum dalam kekhususannya pada tindak pidana korupsi. Hal ini selaras dengan fungsi kekuasaan yudikatif dalam melakukan pengawasan dan pengadilan terhadap pelaku pelanggaran undang-undang KPK.

2. KPK sebagai Lembaga Negara Independen Menjamin Prinsip Negara Hukum dan Demokrasi

Mengacu pada Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang menjadi dasar hukum bahwa negara Indonesia adalah negara hukum. Menurut doktrin hukum klasik konsep negara hukum terbagi menjadi 2 (dua) yaitu, rechtsstaat (Eropa Kontinental) dan the Rule of Law (Anglo Saxon). Para ahli memiliki pendapat yang berbeda mengenai konsep negara hukum sehingga tercetuskan dua konsep tersebut yang secara umum dapat dijelaskan, sebagai berikut:

Tabel 4. Konsep Negara Hukum

Rechtsstaat oleh Julius Stahl The Rule of Law oleh A.V. Dicey - Perlindungan hak asasi manusia

- Pembagian kekuasaan

- Pemerintahan berdasarkan undang- undang

- Peradilan tata usaha negara

- Supermacy of law - Equality before the law - Due process of law

Negara Indonesia sebagai negara hukum menganut kedua konsep negara hukum tersebut. Jimly Asshidiqie mengemukakan pendapatnya terkait konsep negara hukum khususnya bagi negara Indonesia yang berpangkal dari konsep negara hukum rechtsstaat dan the rule of law yang berjudul cita negara hukum Indonesia, sebagai berikut:

1. Supremasi Hukum (Supremacy of Law)

2. Persamaan dalam Hukum (Equality Before the Law) 3. Asas Legalitas (Due Process of Law)

4. Pembatasan Kekuasaan

5. Organ-Organ Campuran yang Bersifat Independen 6. Peradilan Bebas dan Tidak Memihak commit to user

(28)

7. Peradilan Tata Usaha Negara

8. Peradilan Tata Negara (Constitutional Court) 9. Perlindungan Hak Asasi Manusia

10. Bersifat Demokrasi (Democratische Rechtsstaat)

11. Berfungsi sebagai Sarana Mewujudkan Tujuan Bernegara (Welfare Rechtsstaat)

12. Transparansi dan Kontrol Sosial 13. Ber-Ketuhanan Yang Maha Esa

Pendapat yang dikemukakan oleh Jimly Asshidiqie dan Julis Stahl menempatkan pembagian kekuasaan sebagai salah satu konsep negara hukum sebagai upaya mencegah kesewenang-wenangan yang mungkin dilakukan pejabat pemerintah jika tidak ada sistem check and balances antar kekuasaan negara. Jimly Asshidiqie pun mengakui keberadaan organ-organ campuran yang bersifat independen dalam kelembagaan negara Indonesia guna membatasi kekuasaan pada zaman sekarang. Lembaga negara yang idealnya independen menjadi bagian penting untuk berlangsungnya Indonesia sebagai negara hukum dan demokratis. Kemudian berdasarkan pada pendapat asas legalitas sebagai konsep negara hukum, asas tersebut berlaku bagi syarat untuk segala bentuknya. Segala tindakan dalam bagian dari proses pemerintahan harus mengacu pada peraturan perundang-undangan yang sah dan tertulis yang telah ada dan berlaku lebih dulu atau mendahului tindakan atau perbuatan administrasi yang dilakukan pemerintah tersebut. Maka, setiap tindakan administrasi mengacu pada aturan atau ‘rules and procedures’ (regels). Prinsip yang terkesan normatif tersebut memang terlihat kaku dan berpotensi memicu birokrasi yang lamban. Maka dari itu, dalam memastikan ruang gerak para pejabat administrasi negara saat menunaikan tugasnya, berlaku prinsip ‘frijs ermessen’ sebagai pengimbang yang memungkinkan para sebagaimana pejabat lembaga berhak menciptakan dan menentukan sendiri ‘beleid-regels’ (‘policy rules’) atau ketetapan sebagai keperluan internal (internal regulation) dengan bebas dan mandiri serta menunjang tugas jabatan yang diamanahkan oleh ketetapan hukum yang sah. commit to user

(29)

Lembaga-lembaga negara yang telah diatur dengan adanya pembatasan kekuasaan juga akan menerapkan prinsip pembagian kekuasaan secara vertikal atau pemisahan kekuasaan secara horizontal sebagaimana dikemukakan oleh Jimly Ashhidiqie dalam teori negara hukum. Sedangkan menurut teori hukum besi kekuasaan oligarki, setiap kekuasaan berpotensi bergeser untuk cenderung berubah menjadi sewenang-wenang, seperti dikemukakan oleh Lord Acton:

“Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely”. Hal tersebut yang menjadi dorongan adanya pembatasan melalui pemisahan kekuasaan dan pelaksanaan ‘checks and balances’ dalam kedudukan yang sederajat dan saling mengimbangi dan mengendalikan satu sama lain. Pembatasan kekuasaan juga dilakukan dengan membagi-bagi kekuasaan ke dalam beberapa organ yang tersusun secara vertikal. Dengan begitu, kekuasaan tidak tersentralisasi dan terkonsentrasi dalam satu organ atau satu tangan yang memungkinkan terjadinya kesewenang-wenangan.

Selanjutnya dalam rangka membatasi kekuasaan itu dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, kini dikembangkan aturan lembaga pemerintahan yang bersifat independen, sebut saja bank sentral, organisasi tentara, dan organisasi kepolisian. Selain itu, ada pula lembaga-lembaga baru seperti Komisi Hak Asasi Manusia, Komisi Pemilihan Umum (KPU), Komisi Ombudsman Nasional (KON), Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), dan lain sebagainya. Sekarang lembaga-lembaga tersebut telah menjadi lembaga yang mandiri sehingga tidak sepenuhnya berada dalam cengkaman kepala eksekutif dalam pengangkatan maupun pemberhentian pimpinannya. Independensi berbagai lembaga tersebut merupakan suatu hal krusial dalam rangka menjamin demokrasi, karena jika dalam kuasa eksekutif dapat dimanfaatkan sebagai alat untuk untuk melanggengkan kekuasaan bagi pemerintah yang sedang berkuasa. Misalnya, tentara dengan kewenangan memegang senjata dapat disalahgunakan untuk menumpang aspirasi prodemokrasi, bank sentral dapat dimanfaatkan untuk mengontrol sumber-sumber kekuangan yang dapat dipakai untuk tujuan mempertahankan kekuasaan, dan begitu juga lembaga atau organisasi lainnya dapat digunakan untuk kepentingan kekuasaan. Maka commit to user

(30)

dari itu, independensi lembaga-lembaga tersebut dianggap sangat penting untuk menjamin prinsip negara hukum dan demokrasi.

3. Self-Regulatory Body yang Ideal Guna Memperkuat Kewenangan KPK Pada prinsip negara hukum yang menjadi sumber kewenangan dapat dilihat pada konstitusi yang memberikan legitimasi kepada badan-badan publik untuk melakukan fungsinya. Pemerintah dalam melaksanakan fungsinya untuk mendapatkan kewenangan yang bersumber dari kekuasaan yang berasal dari peraturan perundang-undangan. Parlemen sebagai pembentuk undang-undang yang mewakili rakyat melalui undang-undang untuk ikut menentukan kewajiban apa yang pantas bagi warga marsyarakat. Lembaga legislatif yang memiliki fungsi utama legislasi juga mengemban kewenangan atribusi, delegasi, dan mandat dari pemerintah untuk menjalankan tugas dan fungsinya kepada publik. Sebuah kondisi over regulasi juga terjadi di Indonesia saat ini, yaitu kewenangan Menteri untuk membuat peraturan umum dan abstraknya dipicu dengan adanya klausula norma yang terdapat dalam setiap undang- undang produk dari parlemen. Pada prakteknya Menteri juga memiliki wewenang atribusi, padahal secara teoritis wewenang atribusi pada ranah eksekutif merupakan milik presiden. Wewenang Menteri hanya sampai pada wewenang delegasi. Akibatnya regulasi tidak tertata, aturan yang tumpang tindih, saling kontradiktif hingga kontraproduktif terhadap pelayanan terhaadap masyarakat. Kewenangan yang bersumber dari peraturan perundang- undangan tersebut diperoleh melalui atribusi, delegasi dan mandat. Wewenang tersebut tidak hanya berlaku kepada organ pemerintah tetapi juga kepada para pegawai (Susanti, 2019). Maka dari itu, suatu negara independen harus memiliki self-regulatory body agar regulasi tertata dengan baik dan tidak terdapat tumpang tindih. Self-regulatory body adalah kewenangan khusus yang melekat pada state auxiliary agencies, yaitu lembaga berhak mengatur dirinya sendiri. Self-Regulatory Body secara prinsip adalah kuasa dalam menjalankan kewenangan pada suatu negara independen atau hak untuk melakukan tindakan yang berdasarkan hukum tertentu.

commit to user

(31)

Adapun salah satu contoh ketidaksesuaian legitimasi self-regulatory body pada KPK sebagai lembaga penegak hukum yang bersifat independen, yaitu upaya pelaksanaan pemberantasan korupsi oleh KPK sebagai lembaga penegak hukum diantaranya melakukan penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan yang termasuk dalam tahap penyidikan dan penyelidikan. Seiring dengan disahkannya UU Perubahan KPK, dimuat juga mengenai Dewan Pengawas KPK yang merupakan representasi dari kekuasaan eksekutif karena diangkat dan ditetapkan langsung oleh Presiden sebagaimana dimuat pada Pasal 37E ayat (1) UU Perubahan KPK, sehingga dalam menjalankan tugasnya Dewan Pengawas KPK bertanggungjawab langsung kepada presiden. Adapun tugas Dewan Pengawas sebagaimana dimuat pada Pasal 37B ayat (1) UU Perubahan KPK, sebagai berikut:

Pasal 37B (1) Dewan Pengawas bertugas:

b. mengawasi pelaksanaan tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi;

c. memberikan izin atau tidak memberikan izin penyadapan, penggeledahan, dan/atau penyitaan;

d. menyusun dan menetapkan kode etik Pimpinan dan Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi;

e. menerima dan menindaklanjuti laporan dari masyarakat mengenai adanya dugaan pelanggaran kode etik oleh Pimpinan dan Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi atau pelanggaran ketentuan dalam Undang-Undang ini;

f. menyelenggarakan sidang untuk memeriksa adanya dugaan pelanggaran kode etik oleh Pimpinan dan Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi; dan

g. melakukan evaluasi kinerja Pimpinan dan Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi secara berkala 1 (satu) kali dalam I (satu) tahun.

commit to user

(32)

Pemberian izin atas pelaksanaan penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan oleh KPK merupakan salah satu tugas Dewan Pengawas KPK yang dimuat pada Pasal 37B ayat (1) huruf b UU Perubahan KPK. Sedangkan, sebelum perubahan UU KPK pengaturan mengenai penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan dapat dilakukan dengan izin atau surat perintah dari pimpinan KPK dan dapat dilakukan tanpa surat izin pada keadaan tertentu.

Pelaksanaan penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan dilakukan dengan mengikuti aturan sesuai dengan KUHAP dan aturan-aturan mengenai penyidikan, penyelidikan, dan penuntutan. Bahwa pelaksanaan penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan bertujuan menggali bukti-bukti guna menyelenggarakan peradilan bagi pelanggar undang-undang tindak pidana korupsi. Penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan adalah bagian dari upaya penegakan hukum yang diidealkan regulasinya diatur pada tingkat peraturan pelaksana, yaitu dapat berupa peraturan pemerintah atau secara self-regulatory body melalui peraturan internal lembaga KPK yang dalam hal ini adalah peraturan komisi, sehingga perizinan mengenai penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan pun tidak perlu dimuat dalam peraturan perundang-undangan dan menjadi tugas dari Dewan Pengawas KPK. Dengan demikian, aturan lengkap mengenai Standar Prosedur Operasional (Standard Operating Procedure) penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan semestinya dimuat dalam tingkatan peraturan komisi yang regulasinya juga memperhatikan asas non-retroaktif dan asas legalitas dari KUHP dan peraturan perundang- undangan terkait penyidikan, penyelidikan, dan penuntutan guna menyelenggarakan peradilan atas pelanggaran tindak pidana korupsi.

Penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan merupakan hal yang bersifat teknis yang pelaksanaanya diidealkan cukup dengan prosedur khusus yang dimuat dalam peraturan komisi dengan izin pimpinan KPK dan dapat dilakukan tanpa adanya surat izin atau perintah dalam keadaan tertentu sebagaimana diatur pada KUHAP dan peraturan perundang-undangan lainnya terkait upaya penyidikan, penyelidikan, dan penuntutan. Kedudukan peraturan komisi pun diakui pada hierarki peraturan perundang-undangan sebagaimana commit to user

(33)

dimuat pada Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan bahwa diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan (tidak berlaku surut). Dengan demikian, perkom memiliki kekuatan yang mengikat bagi pihak internal dan eksternal lembaga KPK. Ideal berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI 2016:517) adalah sangat sesuai dengan yang dicita-citakan atau diangan-angankan atau dikehendaki.

Sedangkan menurut Maria Farida Indrati Soeprapto (2015:3-5), Pancasila sebagai cita Negara hukum menjadi pedoman sekaligus bimbingan saat membentuk peraturan perundang-undangan. Oleh Attamimi, Pnacasila disebut sebagai bintang pemandu bagi negara hukum dan negara yang menganut paham konstitusi. Oleh karena itu untuk menghasilkan peraturan perundang- undangan yang baik perlu memenuhi asas-asas peraturan perundang-undangan sebagaimana tertuang pada Pasal 5 dan Pasal Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Suatu peraturan perundang-undangan memiliki indikator ideal yaitu, mampu memenuhi dan sesuai dengan yang dicita-citakan atau diangan-angankan atau dikehendaki.

Adapun indikator self-regulatory body yang ideal untuk memeperkuat kewenangan KPK, diantaranya:

a. Menjamin prinsip negara hukum dan demokrasi

Komisi Pemberantas Korupsi sebagai lembaga penegak hukum antikorupsi yang bersifat independen sebelumnya memiliki kekuasaan seluas-luasnya bahkan KPK mampu memanfaatkan independensinya untuk menjadi abuse of power. Oleh karena itu KPK sebagai lembaga negara yang juga perlu di kontrol dan tidak boleh lepas dari tiga cabang kekuasaan negara dimasukkan pada ranah eksekutif dengan mempertahankan kewenangannya yang independen. Independensi KPK berharga dalam menjaga demokrasi dengan menjaga lembaga untuk netral dan menolak segala bentuk penyalahgunaan wewenang. Posisi KPK sangat mungkin disalahgunakan oleh oknum pemerintah maupun pihak-commit to user

(34)

pihak lainnya untuk mengintervensi KPK secara politik. Keberadaan lembaga-lembaga negara diatur secara jelas dan tegas untuk menjalankan kekuasaan negara secara terpisah. Namun demikian dalam pelaksanaannya, meskipun disebut terpisah, masing-masing lembaga negara saling melakukan pengawasan sesuai dengan kewenangan yang dimiliki demi terciptanya fungsi kontrol terhadap sesama lembaga negara.

KPK juga diidealkan untuk menjamin prinsip negara hukum untuk menjadi dasar legitimasi segala perbuatan negara sehingga terciptanya harmonisasi antara KPK dengan tiga cabang kekuasaan negara maupun lembaga negara lainnya. Dengan demikian, self-regulatory body sebagai prinsip lembaga negara independen bagi KPK dianggap sangat penting untuk menjamin prinsip negara hukum dan demokrasi.

b. Memenuhi tujuan penguatan kewenangan KPK

Pada prinsip negara hukum dikenal juga terdapat asas legalitas yang berlaku prinsip ‘frijs ermessen’, yaitu memungkinkan para pejabat tata usaha negara atau administrasi negara yang dalam hal ini KPK sebagai lembaga negara mengembangkan dan menetapkan sendiri ‘beleid-regels’

(‘policy rules’) ataupun peraturan-peraturan yang dibuat untuk kebutuhan internal (internal regulation) secara bebas dan mandiri dalam rangka menjalankan tugas jabatan yang dibebankan oleh peraturan yang sah.

Peraturan yang dibuat tidak semata-mata hanya untuk mencapai penguatan KPK saja, namun secara ketatanegaraan peraturan tersebut harus didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang mendelegasikan (atributif) kepada peraturan dibawahnya. Self-regulatory body KPK dapat dikatakan ideal apabila telah mampu memenuhi cita-cita atau tujuan dibentuknya, yaitu memperkuat kewenangan KPK yang bersifat independen. Perkom KPK dibuat untuk mengatur regulasi internal dan eksternal KPK secara mengikat yang mengatur mengenai penjelasan teknis yang sedetail mungkin.

commit to user

Gambar

Tabel 3. Riwayat Lembaga Antikorupsi yang Terbentuk di Indonesia  Masa Pemerintahan  Tahun  Nama Lembaga
Tabel 4. Konsep Negara Hukum

Referensi

Dokumen terkait

Pada penelitian ini akan dilakukan evaluasi dampak lingkungan yang dihasilkan industri garam bahan baku dan penilaian dampak lingkungan ini akan menggunakan tiga

Kebijakan-kebijakan akuntansi signifikan yang diterapkan oleh Perseroan dalam penyusunan laporan keuangan konsolidasian diterapkan secara konsisten dengan yang

 Dalam welfare state, hak kepemilikan diserahkan kepada swasta sepanjang hal tersebut memberikan insentif ekonomi bagi pelakunya dan tidak merugikan secara sosial,

Hal ini juga ditunjukkan pada observasi dan wawacara peneliti dilapangan menunjukkan pegawai Kantor Samsat Kabupaten Soppeng sudah bekerja dengan baik ,

Diantaranya adalah penelitian yang dilakukan oleh Betz dan Hacket pada tahun 1983 (Pajares, 2002:11) melaporkan bahwa dengan self-efficacy yang tinggi, pada

Investasi terbaik ruko Summarecon Karawang dengan Sapphire Commercial, dimana memiliki nilai bisnis dan investasi yang tinggi dengan lokasi depat didepan MALL

Biaya gudang adalah sebesar 20 satuan harga untuk tiap komputer yang disimpan dari bulan yang lalu ke bulan berikutnya. Diandaikan bahwa pada permulaan pesanan

Ampul dibuat dari bahan gelas tidak berwarna akan tetapi untuk bahan obat yang peka terhadap cahaya, dapat digunakan ampul yang terbuat dari bahan gelas