• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II SEJARAH PELAKSANAAN IBADAH HAJI DI INDONESIA SEBELUM KEMERDEKAAN RI 1945

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II SEJARAH PELAKSANAAN IBADAH HAJI DI INDONESIA SEBELUM KEMERDEKAAN RI 1945"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

SEJARAH PELAKSANAAN IBADAH HAJI DI INDONESIA SEBELUM KEMERDEKAAN RI 1945

A. Pelaksanaan Ibadah Haji di Indonesia abad ke-19

Pelaksanaan ibadah haji di Indonesia pada masa-masa awal dilakukan melalui jalur pelayaran yang dipengaruhi oleh adanya jalur perdagangan dan kesadaran masyarakat muslim Indonesia untuk melaksanakan ibadah haji maupun menimba ilmu di Haramayn (Mekkah dan Madinah). Berdasarkan catatan perjalanan Lewis Barthema (Ludivico Varthema) ke Mekkah pada tahun 1503 dengan menyamar sebagai muslim, dapat diketahui bahwa pelaksanaan ibadah haji di Indonesia masa-masa awal dilaksanakan pada abad ke-16, di mana saat itu Lewis menyaksikan ada banyak jamaah haji yang berasal dari greater India (India Major-anak benua India) dan lesser India (India Minor, Insular India-kepulauan Nusantara).1 Jadi, sejarah pelaksanaan ibadah haji di Indonesia banyak dipengaruhi oleh hubungan perdagangan antara Nusantara dan Timur Tengah.

Selain itu, sejarah pelaksanaan ibadah haji juga dipengaruhi oleh hubungan politik antara umat muslim di Nusantara dengan penguasa Hijaz2 yaitu, Turki Utsmani.

Pada tahun 1516, Turki Utsmani dalam penguasaannya menggunakan gelar khalifah-sultan. Sebagai khalifah, penguasa Turki Utsmani dianggap sebagai pemimpin spiritual sesuai tradisi politik klasik Islam, bagi pemerintahan Islam di seluruh dunia. Selanjutnya, sebagai sultan, penguasa Turki Utsmani menjadi penguasa bagi rakyatnya. Berdasarkan hal tersebut, terjalinlah hubungan politik antara Nusantara dengan Turki Utsmani. Pada tahun 1538, Sultan Sulayman I (1520-1566) memberikan perintah kepada pasukannya yang tangguh di bawah pimpinan Gubernur Mesir untuk membebaskan pelabuhan yang dikuasai

1 Azyumardi Azra, 2013, Jaringan Ulama: Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII, Jakarta: Kencana. Hal. 37-38.

2 Wilayah hijaz adalah wilayah Mekkah, Madinah dan Jeddah. Hijaz pada abad ke-20 diperintah oleh tiga pemerintahan, yaitu Turki Utsmani (1517-1918), Kerajaan Arabia Hasyimiah (1918-1924) dan Kerajaan Arab Saudi (1924-sekarang). Lihat dalam M. Shaleh Putuhena, Op.

Cit, Hal. 242.

(2)

Portugis.3 Oleh karena itu, rute pelayaran ibadah haji dari Nusantara ke Jeddah4 menjadi aman. Dalam sumber Venesia dapat ditemukan informasi bahwa pada tahun 1556 dan 1566 ada lima buah kapal dari Aceh yang berlabuh di Jeddah.

Sehingga, tidak menutup kemungkinan lima buah kapal tersebut pelayar dan penumpangnya ikut melaksanakan ibadah haji. Jadi, pelaksanaan ibadah haji di Indonesia telah dimulai pada abad ke-16 yang dilakukan oleh para pedagang yang memiliki kesempatan untuk melaksanakan ibadah haji dan dianggap sebagai perintis haji Indonesia.5

Pada abad ke-17 dan abad ke-18 perjalanan ibadah haji di Indonesia diwarnai dengan adanya jaringan ulama Timur Tengah dengan Nusantara, di mana ulama-ulama Nusantara tersebut merupakan jamaah haji Indonesia yang setelah melaksanakan ibadah haji menetap di Haramayn untuk menimba ilmu kepada ulama-ulama di Haramayn. Di antara ulama tersebut adalah al-Raniri, ia berada di Mekkah dan Madinah pada tahun 1620 atau 1621 untuk menunaikan ibadah haji sekaligus menimba ilmu agama di Haramayn.6 Selanjutnya, pada abad ke-18, ulama Indonesia yang melaksanakan ibadah haji sekaligus menimba ilmu di Haramayn adalah al-Palimbani. Sulit ditentukan kapan tahun al-Palimbani berangkat ke Tanah Suci. Al-Palimbani terlibat dalam komunitas Jawa dan menjadi kawan seperjuangan Muhammad Arsyad al-Banjari, Abd al-Wahhab al- Bugisi, Abd Rahman al-Batawi dan Dawud al-Fatani. Al-Palimbani dikenal di kalangan rekan-rekannya sesama ulama di Haramayn sebagai seorang ulama ahli Tasawuf al-Ghazali. Ia mengajarkan kepada murid-muridnya Ihya Ulumuddin dan menulis beberapa buku mengenainya dalam Fadhail al-Ihya li al-Ghazali.7

Jalur pelayaran untuk pelaksanaan ibadah haji di Nusantara ditempuh melalui rute pelayaran dari Singapura, Colombo, Aden, kemudian masuk Laut

3 Ibid, Hal. 39.

4 Jeddah awalnya merupakan kota yang kecil, setelah Dinasti Mamluk berkuasa (1250- 1517) Jeddah berubah menjadi pelabuhan Internasional. Dalam buku Azyumardi Azra, 2013, Jaringan Ulama: Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII, Jakarta: Kencana.

Hal. 72.

5 M. Shaleh Putuhena, Op. Cit, Hal. 106-107.

6 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama: Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII

& XVIII, Op. Cit, Hal. 213.

7 Ibid, Hal. 320-355.

(3)

Merah menuju Jeddah. Kapal layar yang digunakan oleh jamaah haji tersebut merupakan kapal-kapal dagang, sehingga membutuhkan waktu kurang lebih enam bulan untuk sampai di Jeddah.8 Pada masa penjajahan Belanda di Indonesia, VOC memonopoli perdagangan. Pada saat para jamaah haji Hindia Belanda dilarang menaiki kapal dagang Belanda yang saat itu mendominasi pelayaran, transportasi untuk melaksanakan ibadah haji menjadi sulit. Selanjutnya, setelah VOC dibubarkan pada tanggal 31 Desember 1799,9 pemerintahan di Hindia Belanda digantikan oleh Gubernur Jenderal. Gubernur Jenderal tersebut diangkat langsung oleh pemerintah Belanda di Den Haag. Sejak saat itu, pelayanan pelaksanaan ibadah haji di Hindia Belanda berubah menjadi tanggung jawab pemerintah Belanda.

Para Gubernur Jenderal yang memerintah saat itu merupakan kelompok liberal, sehingga memiliki pandangan yang berbeda dengan VOC dalam memandang Islam. Salah satunya adalah pandangan kelompok liberal yang memandang Islam sebagai agama yang diakui.10 Namun demikian, pemerintah Belanda tetap saja mempunyai kecurigaan terhadap Islam sehingga demi ketertiban dan keamanan atas tanah jajahan di Hindia Belanda, pada tahun 1810 Gubernur Daendels membuat aturan bahwa para jamaah haji yang akan melaksanakan ibadah haji diwajibkan memiliki pas jalan.11 Kebijakan tersebut menjadi awal dari peran pemerintah Hindia Belanda terhadap pelayanan pelaksanaan ibadah haji di Hindia Belanda.

Pelayanan pelaksanaan ibadah haji di Indonesia yang diberikan oleh pemerintah Hindia Belanda berubah ketika pemerintah Inggris mengambil alih wilayah Indonesia di bawah pimpinan Gubernur Jenderal Raffles. Sehingga, sejak tahun 1811-1814 kebijakan haji dilaksanakan oleh pemerintah Inggris. Pemerintah Inggris saat itu menganggap bahwa agama Islam merupakan unsur yang membahayakan dan orang-orang yang melaksanakan ibadah haji ketika pulang ke Indonesia dianggap sebagai orang-orang yang berpengaruh dan berperan dalam

8 M. Dien Majid, 2008, Berhaji di Masa Kolonial, Jakarta: CV Sejahtera. Hal.46-51.

9 M. Shaleh Putuhena, Op. Cit, Hal. 282.

10 Ibid, Hal. 283.

11 Karel A. Steenbrink, 1984, Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke-19, Jakarta: P.T. Bulan Bintang. Hal. 234

(4)

pemberontakan-pemberontakan kepada orang Eropa yang terjadi pada saat itu.12 Pada tahun 1813, Raffles membuat kebijakan yang memandang bahwa para haji adalah orang-orang berbahaya. Ia melarang menyetujui dua dari anak seorang bupati yang meninggal dunia untuk menggantikan ayahnya, karena kedua anaknya tersebut sudah melaksanakan ibadah haji.13 Selanjutnya, setelah tahun 1814 pelaksanaan ibadah haji di Indonesia kembali berada di bawah peraturan pemerintahan Hindia Belanda.

Pelayanan haji yang dilakukan oleh pemerintahan Hindia Belanda pada awal abad ke-19 hanya sebatas kepada kebijakan haji saja karena, tampaknya pemerintah Hindia Belanda belum memberikan izin kepada para jamaah haji untuk melaksanakan pelayaran ke Hijaz dengan menggunakan kapal Belanda.

Pada tahun 1825, untuk pertama kalinya masyarakat Nusantara melaksanakan ibadah haji menggunakan kapal khusus pengangkut jamaah haji yang disiapkan oleh Syekh Umar Bugis. Sejak saat itu, transportasi untuk melaksanakan ibadah haji ke Mekkah menggunakan fasilitas transportasi kapal haji milik seorang Syekh. Abdullah bin Abdulkadir Munsyi ketika melaksanakan ibadah haji menggunakan kapal Sabussalam milik Syekh Abdul Karim.14 Abdullah bin Abdulkadir Munsyi melaksanakan ibadah haji pada tanggal 29 Januari 1854 yang bertolak dari Singapura. Rute pelayaran yang dilakukan adalah sebagai berikut:

“Berangkat dari Singapura kemudian melewati Laut Malaka. Kapal yang ditumpanginya tersebut mengalami bencana gelombang besar di Selat Malaka.

Selanjutnya di Tanjung Gamri (Comorin), di ujung selatan Benua India kapal tersebut diterjang badai yang dahsyat. Sesampainya di Alfiah, di Pantai barat India, kapal yang ditumpangi berlabuh dan mencari kapal lain karena kapal yang sebelumnya mengalami kerusakan akibat badai yang terjadi sebelumnya.

Kapal yang menjadi kapal tumpangan tersebut adalah kapal Atia Rahman milik Mohammad Gohtan. Pada tanggal 03 Maret kapal tersebut berlayar kembali mengantar jamaah haji. Kapal tersebut berlabuh kembali di Kalikut dan berlayar kembali pada tanggal 16 Maret dan mengarungi Samudera India dan sampai di Tanah Arab. Dekat Aden kapten kapal sempat mempercepat jalannya karena takut adanya perompak. Memasuki Laut Merah, angin tidak menguntungkan pelayaran sehingga kapal berlabuh di Mukha. Sebelum memasuki Pelabuhan Jeddah kapal juga berlabuh di Hudaidah. Sesampainya di Yalamlam para

12 Ibid, Hal. 235.

13 Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah, 2012, Haji dari Masa ke Masa, Jakarta: Kementerian Agama. Hal. 50.

14 M. Shaleh Putuhena, Op. Cit. Hal. 134.

(5)

jamaah haji memakai pakaian ihram dan sampai di Pelabuhan Jeddah pada tanggal 28 April, sehingga perjalanan saat itu memakan waktu tiga bulan.”15

Selain pelayanan-pelayanan yang diberikan oleh para syekh, pelaksanaan ibadah haji di Indonesia juga tidak luput dengan kebijakan-kebijakan pelaksanaan ibadah haji yang dikeluarkan oleh pemerintah Hindia Belanda. Kebijakan- kebijakan tersebut di antaranya adalah sebagai berikut.

1. Pada tahun 1825, kebijakan pemerintah Hindia Belanda mengenai ibadah haji pada tahun 1852 ditetapkan dengan resolusi. Resolusi 1825 berisi mengenai ketentuan pembayaran yang jumlahnya telah ditetapkan sebesar f. 110 (110 gulden) untuk pembayaran pas jalan bagi jamaah haji yang akan melaksanakan ibadah haji ke Mekkah, memiliki pas jalan adalah syarat yang wajib dilaksanakan oleh para calon jamaah haji Hindia Belanda. Jika ketahuan tidak memiliki pas jalan, maka jamaah haji tersebut dikenakan denda sebesar f. 1000.16 Selanjutnya, pada tahun 1827 ditetapkan bahwa untuk pembayaran pas jalan bagi jamaah haji yang berusia di bawah 12 tahun (anak-anak yang ikut dengan orang tuanya) adalah gratis.17

2. Pada tahun 1831, dalam resolusi 1831 terjadi perubahan kebijakan dalam hak pembayaran denda. Pada resolusi 1825 denda yang diwajibkan kepada jamaah haji Hindia Belanda yang tidak memiliki pas jalan sebesar f. 1000 sedangkan pada resolusi 1831 denda berubah menjadi harga pas jalan dua kali lipat yaitu sebesar f. 220.18

3. Pada tahun 1852, Duynmaer van Twist mencabut resolusi-resolusi yang telah dibuat. Resolusi 1852 masih memberlakukan pas jalan akan tetapi, untuk ketentuan pembayaran denda dihapuskan. Dalam resolusi ini juga terdapat sebuah instruksi kepada para kepala pemerintahan di Jawa, Residen Palembang dan Gubernur Pesisir Barat Sumatera untuk

15 Henri Chambert-Loir, 2013, Naik Haji di Masa Silam tahun 1482-1890, Jakarta: KPG.

Hal. 385-412.

16 Dick Douwes dan Nico Kaptein, 1997, Indonesia dan Haji, Jakarta: INIS. Hal. 8.

17 M. Dien Majid, Op. Cit. Hal. 91.

18 Karel A. Steenbrink, Op. Cit. Hal. 236.

(6)

mengawasi jamaah haji dan memberikan laporan mengenai keberangkatan dan kepulangan dalam bentuk daftar nama-nama jamaah haji.19

4. Pada tahun 1859, peraturan pelaksanaan ibadah haji di Indonesia pada saat ini, dituangkan dalam sebuah ordonansi haji. Ordonansi tersebut adalah usaha pemerintah dalam pencegahan kepergian jamaah haji yang tidak memiliki bekal yang cukup baik bagi perjalanan hajinya maupun untuk keluarga yang ditinggalkan20 dan munculnya beberapa masyarakat yang menyalahgunakan gelar haji.21 Ordonansi 1859 tersebut adalah: pertama, diwajibkan membawa pas jalan yang sudah diberi keterangan Bupati bahwa jamaah haji tersebut mempunyai kecukupan bekal untuk perjalanan maupun yang ditinggalkan pada saat akan melaksanakan ibadah haji ke Mekkah.22 Kedua, para jamaah haji diwajibkan memiliki pas jalan yang sudah diberi visa oleh Konsul Belanda atau perwakilan yang disinggahi dalam perjalanan ke Mekkah. Pada saat kembali ke tanah air, pas jalan tersebut harus diketahui oleh penguasa daerah di mana jamaah haji tersebut tiba. Ketiga, bagi jamaah haji yang akan menggunakan gelar haji dan memakai busana haji diwajibkan lulus ujian haji terlebih dahulu (peraturan tentang ujian haji berakhir pada tahun 1902).23 Perlu diketahui, ketentuan bagi yang lulus akan diberikan sertifikat akan tetapi, bagi jamaah haji yang tidak lulus dan tetap menggunakan gelar haji serta berpakaian haji diwajibkan membayar denda sebesar f. 25 sampai f. 100.24

19 Dick Douwes dan Nico Kaptein, Op. Cit. Hal. 9.

20 Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah, Op. Cit. Hal. 9.

21 M. Dien Majid, Op. Cit. Hal. 95.

22 Pada tahun 1905, kebijakan ini dihapuskan. Lihat dalam e-journal Zulfa Ahmad, Perhajian di Abad-19 dan Awal Abad-20 serta Pengaruhnya terhadap Pendidikan Islam di Indonesia dalam At-Ta’lim Vol. 3, Tahun 2012. Hal. 120.

23 Sumuran Harahap dan Mr. Mursidi, 1984, Lintasan Sejarah Perjalanan Jemaah Haji Indonesia: Dilengkapi dengan Tata Tertib Mulai dari Indonesia Sampai di Arab Saudi dan Kembali ke Tanah Air, Jakarta Timur: Insan Cemerlang. Hal. 34.

24 Dick Douwes dan Nico Kaptein, Op. Cit, Hal. 94.

(7)

5. Pada tahun 1872, pemerintah Hindia Belanda mendirikan Konsulat Belanda25 di Jedah. Konsul di Jeddah selama abad ke-19 merupakan seorang pegawai Departemen Luar Negeri yaitu seorang dari dinas diplomatik. Konsul Jeddah ditempatkan di bawah Departemen Luar Negeri dan membuat laporan serta mengirimnya ke Den Haag. Laporan yang dikirimkan ke Departemen Luar Negeri akan dikirimkan ke Departemen koloni yang selanjutnya disampaikan kepada Jenderal.26 Tugas dari Konsulat Belanda di Jeddah adalah mengurus kepentingan jamaah haji Hindia Belanda dan membantu penyelesaian berbagai permasalahan selama melaksanakan ibadah haji ataupun bermukim.27 Beberapa Konsul di Jeddah yang diangkat pada abad ke-19 adalah W.

Henegraaf, J.A. Kruyt, Mr. J.A. de Vicq, H. Spakler, G.S. Endt, Mr. J.E.

de Sturler, E. Th. Van Delden dan F.G.A. van Delden.28

6. Pada tahun 1881-1882, harga tiket pulang pergi (retourbiljetten) sebesar f.

282,99. Sedangkan harga untuk berangkat sekali jalan justru lebih mahal yaitu, f. 322,99.29 Penggunaan tiket pulang-pergi sudah dilaksanakan sejak tahun 1874.30

25 Dalam melaksanakan tugasnya, Konsulat Belanda di Jeddah ditempatkan beberapa pejabat yaitu konsul, drogman (pada tahun 1924 statusnya ditingkatkan menjadi vice consul), secretary drogman dan dokter haji. Lihat dalam M. Shaleh Putuhena, Op. Cit, Hal. 231-233.

26 Karel A. Steenbrink, Op. Cit, Hal. 245-246.

27 Imigran yang bermukim di Timur Tengah, ada tiga kategori. Pertama, Little Imigrants yakni orang-orang yang datang dan bermukim di Haramayn. Imigran jenis ini awalnya hanya datang untuk menunaikan ibadah haji, namun mendapatkan kendala seperti kehabisan uang untuk pulang sehingga memutuskan untuk menetap atau sengaja memilih untuk menetap ingin mengabdikan hidupnya di Tanah Suci. Mereka berasal dari kalangan orang biasa bukan para ulama, sehingga tidak banyak diketahui. Namun dapat dijadikan contoh yaitu Said bin Yusuf al- Hindi sebagai pembentang tikar di Masjid al- Nabawi. Kedua, Grand Immigrants yakni para ulama yang sudah terkenal, alim dalam negeri asal ataupun pusat-pusat keilmuan lain. Dalam banyak kasus, mereka memainkan peran aktif bukan hanya dalam pengajaran, tetapi juga dalam menyodorkan gagasan-gagasan baru. Grand immigrants mampu menarik penuntut ilmu dari berbagai penjuru Dunia Muslim. Kelompok imigran ini yang merupakan inti jaringan ulama internasional di Haramayn. Ketiga, ulama dan murid pengembara, mereka umumnya datang ke Haramayn untuk menunaikan haji dan sekaligus meningkatkan ilmu. Biasanya mereka memperpanjang masa mukim mereka di Tanah Suci, dan pada umumnya belajar dengan sejumlah guru yang berbeda. Lihat dalam Istiqomah, Op. Cit, Hal. 19.

28 Ibid, Hal. 225-232.

29 Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah, Op. Cit, Hal. 53.

30 M. Shaleh Putuhena, Op. Cit, Hal. 174.

(8)

7. Pada tahun 1895, ditetapkan harga tiket pulang pergi (retourbiljetten) sebesar f. 120. Harga f. 95 untuk berangkat sekali jalan dan harga f. 65 untuk tiket pulang.31

8. Pada tahun 1898, Batavia dan Padang ditetapkan sebagai pelgrimshaven, pelabuhan haji. Jamaah haji yang berada jauh dari pelabuhan haji di angkut oleh Koninklijke Paketvaart Maatschappij (KPM), sebuah perusahaan dalam negeri milik pemerintah Hindia Belanda yang didirikan pada tahun 1888. Kapal tersebut berlayar melalui pelabuhan-pelabuhan embarkasi yang menjadi tempat jamaah haji menunggu KPM lewat.32 Sebelumnya, para jamaah haji asal Hindia Belanda yang akan melaksanakan ibadah haji harus melalui Singapura. Kapal-kapal yang menjadi kapal pengangkut jamaah haji saat itu adalah kapal Arab dan kapal Inggris.33

Pada tahun 1858, sebuah kapal Inggris muncul di Batavia untuk mengangkut jamaah haji asal Hindia Belanda. Kapal tersebut adalah kapal uap.

Sebelumnya, seperti kita ketahui bahwa untuk melaksanakan ibadah haji ke Mekkah yang digunakan jamaah haji asal Hindia Belanda adalah kapal layar yang merupakan kapal dagang. Pada tahun 1869, Terusan Suez diresmikan untuk jalur perlayaran.34 Jadi, dengan adanya kapal uap dan dibukanya Terusan Suez perjalanan pelaksanaan ibadah haji menjadi lebih baik. Kemudahan pelaksanaan ibadah haji tersebut menjadikan pemerintah Hindia Belanda mulai berpartisipasi dalam pengangkutan jamaah haji asal Hindia Belanda.

Pada tahun 1873, pelayanan transportasi haji dilakukan oleh tiga perusahaan yang mendapatkan perlindungan dari pemerintah untuk mengantarkan jamaah haji asal Hindia Belanda ke Mekkah. Pertama, perusahaan De Rotterdamsche Lloyd, sebagian besar kapal perusahaan ini menggunakan nama- nsama berbahasa Melayu, seperti Slamet, Tabanan,Tambora, Sibayak, Dempo, Indrapura dan sebagian kecilnya menggunakan nama-nama berbahasa Belanda.

31 Ibid, Hal. 324-325.

32 M. Shaleh Putuhena, Op. Cit, Hal. 172.

33 Dick Douwes dan Nico Kaptein, Op. Cit, Hal. 37.

34 Ibid, 1-34.

(9)

Agen perusahaan De Rotterdamsche Lloyd terdapat di berbagai wilayah, yaitu Batavia, Cirebon, Semarang, Surabaya, Padang, Singapura, Manado, Makasar dan Medan. Rute Pelayaran luar negerinya yaitu melalui Genoa, Port Said, Colombia, Singapura, Jawa dan Australia. Kedua, perusahaan Stoomvartmaatschappij Nederland, sebagian besar nama-nama kapal menggunakan bahasa Belanda, seperti Vandaal, Grotius, Princes Juliana, Koningin der Nederland, Chistian dan Huijgens. Sepanjang perjalanan kapal tersebut akan singgah di beberapa pelabuhan seperti South Hemton, Aljazair, Tangier, Marsaille, Port Said, Aden, Colombo, Singapura, Jawa dan Australia. Agen kapal Stoomvartmaatschappij Nederland terdapat di kota-kota besar di Hindia Belanda. Ketiga, perusahaan Stoomvaartmaatschappij Oceaan, sebuah pelayaran yang menggunakan kapal yang menggunakan bendera Inggris. Cabangnya dibuka di berbagai kota yaitu, Maclaine Watson & Co di Surabaya dan Mc. Neil & Co di Cilacap. Rute pelayaran yang dilakukan melalui Eropa-Asia Tenggara. Ketiga perusahaan kapal tersebut dikenal dengan sebutan Kongsi Tiga.35 Pelayanan transportasi ibadah haji yang diberikan oleh pemerintah dalam berkembangannya tidak mampu mengangkut jamaah haji yang semakin banyak jumlahnya, sehingga memunculkan adanya perusahaan-perusahaan transportasi haji swasta.

Agen transportasi haji swasta yang muncul di Indonesia pada abad ke-19 diantaranya adalah Borneo Company Limited, De Lloyd, Firma Gellatly Henkey Sewel & Co, Firma Aliste, Jawa & Co dan yang bekerja sama dengan Kongsi Tiga. Agen swasta Herklots dan Firma Alsegaff & Co merupakan agen yang melakukan penyimpangan dan kecurangan dalam pengangkutan maupun pemulangan jamaah haji.36 Agen Herklots merupakan agen transportasi haji yang dikelola oleh Y.G.M Herklots. Pada tanggal 27 Februari 1893, Herklots datang ke Jeddah sebagai seorang anggota Firma Knowles & Co di Batavia dan meminta izin kepada pihak Jeddah untuk mendirikan cabang dengan tujuan membantu kepulangan jamaah haji asal Hindia Belanda.37 Tindakan agen Herklots yang menyimpang adalah mewajibkan penumpang (jamaah haji) untuk membayar tiket

35 M. Dien Majid, Op. Cit, Hal. 52-53.

36 Ibid, Hal. 130.

37 Tim Penyusun, 2001, Biro Perjalanan Haji di Indonesia Masa Kolonial, Jakarta: Arsip Nasinal RI. Hal. xiii.

(10)

pulang sebesar f. 95 ditambah lagi biaya untuk pembayar jasa yaitu sebesar f. 500.

Selain itu tindakan lainnya yang menyimpang adalah memberi ketentuan membayar tiket sebesar f.158 sedangkan saat itu ketentuan peemerintah Hindia Belanda hanya f. 110. Akibat perbuatannya, agen Herklots di Jeddah ditutup pada tahun 1896.38

Firma Alsegaff & Co merupakan agen transportasi haji yang memulai pemberangkatannya di Singapura. Firma ini dimiliki oleh Sayyid Mohamad bin Achmad al-Segaff, seorang pengusaha yang memiliki perkebunan karet di Pulau Cocob, Johor dan Malaysia.39 Sejak tahun 1886, Konsul Belanda di Singapura mengetahui bahwa ada permasalahan tentang perbudakan di Singapura yang melibatkan jamaah haji asal Hindia Belanda. Perbudakan berawal ketika ada jamaah haji asal Hindia Belanda yang telah melaksanakan ibadah haji ke Mekkah kehabisan bekal dan terlantar, tidak mampu kembali ke Hindia Belanda. Melalui para agennya, firma Alsegaff & Co memberikan tawaran hutang kepada para jamaah dengan syarat harus menandatangani kontrak bahwa sepulang dari tanah suci harus membayarnya dengan bekerja di Perkebunan milik Sayyid al-Segaff.40 Bagi jamaah yang beruntung, sesampainya di Singapura biasanya hutangnya dilunasi dengan cara meminjam uang sanak saudara yang kebetulan atau bahkan sengaja dihubungi. Bagi yang tidak beruntung, harus bekerja sepanjang hidupnya di perkebunan karena antara hutang dan kebutuhan hidup yang dilalui selama menjadi tenaga kerja di perkebunan tidak sebanding dengan upah yang didapat.41 Perbudakan yang terjadi terhadap para jamaah haji asal Hindia Belanda sudah terjadi sejak tahun 1872-1874. Pada saat itu, konsul Belanda banyak menangani permasalahan budak. Pada awalnya, mereka adalah jamaah haji yang kehabisan ongkos dan tidak mampu bertahan hidup. Kemudian, terlilit hutang yang dengan terpaksa menjadikannya budak karena tidak mampu melunasi hutangnya.

Berdasarkan kondisi dan situasi yang terjadi di Indonesia pada masa penjajahan Belanda sepanjang abad ke-19, pelaksanaan ibadah haji menjadi suatu

38 M. Dien Madjid, Op. Cit, Hal. 135-152.

39 Ibid, Hal. 156-157.

40 Tim Penyusun, Op. Cit, Hal. 98.

41 Upah yang didapat sebesar 4 ringgit sebulan dengan potongan hutang tiap bulannya sebesar 2 ringgit. Lihat dalam Dick Douwes & Nico Kaptein. Op. Cit, Hal. 71.

(11)

ibadah yang istimewa dan mempunyai nilai tersendiri bagi umat muslim saat itu.

Begitu banyak rintangan yang harus dihadapi baik yang berasal dari diri jamaah itu sendiri seperti permasalahan bekal maupun, yang berasal dari luar yaitu kecurangan yang dilakukan para agen biro perjalanan haji yang tidak bertanggung jawab dan kebijakan-kebijakan pemerintah Hindia Belanda yang menyulitkan.

Sehingga, keadaan bangsa Indonesia yang tertindas oleh adanya penjajahan Belanda membuat umat Islam yang telah melaksanakan haji mengumpulkan kekuatan bersama untuk melawan penjajah. Pada tahun 1890, penguasa Aceh memberikan perintah untuk tidak melaksanakan ibadah haji.42 Selanjutnya, pada tahun 1891, pemerintah Hindia Belanda memberlakukan pelarangan pelaksanaan ibadah haji bagi masyarakat muslim di Aceh.43 Walaupun terjadi pelarangan melaksanakan ibadah haji, kerinduan dan semangat untuk melaksanakan ibadah haji tetap hidup dalam jiwa setiap muslim di Indonesia. Hal tersebut terlihat dari jumlah statistik jumlah jamaah haji Indonesia yang sepanjang abad ke-19 semakin bertambah.

Statistik jumlah jamaah haji Indonesia pada abad ke-19 adalah sebagai berikut:44

No Tahun Masehi Tahun Hijriah Jumlah Jamaah

1. 1873 1290 910 Orang

2. 1874 1291 1.117 Orang

3. 1875 1292 1.289 Orang

4. 1876 1293 1.285 Orang

5. 1877 1294 1.323 Orang

6. 1878 1295 989 Orang

Data statistik tersebut menjelaskan tentang jumlah jamaah haji asal Indonesia yang bersumber dari koloniaal verslag yang merujuk pada jumlah orang yang meminta paspor haji dari kepala-kepala pemerintahan daerah. Hal tersebut dikarenakan pada saat itu, ada beberapa jamaah haji yang ke Mekkah dengan

42 Dick Douwes & Nico Kaptein, Op. Cit, Hal. 55.

43 M. Shaleh Putuhena, Op. Cit,Hal. 300.

44 Dick Douwes & Nico Kaptein, Op. Cit, Hal. 47.

(12)

mendapatkan paspor di Singapura, Penang atau Jeddah sehingga, jumlah jamaah haji tersebut tidak termasuk dalam jumlah yang ditulis dalam koloniaal verslag.

Jadi, dalam statistik haji tahun 1873-1878 di atas hanya memperkirakan kurang lebih angka jamaah haji yang sebenarnya. Berdasarkan data yang ada tersebut, jumlah jamaah haji sejak tahun 1873 sampai dengan 1877 mengalami kenaikan jumlah sedangkan pada tahun 1878 mengalami penurunan jumlah.

Statistik jumlah jamaah haji Indonesia pada abad ke-19 adalah sebagai berikut:45

No Tahun Masehi Tahun Hijriah Jumlah Jamaah

1. 1879 1296 5.331 Orang

2. 1880 1297 9.542 Orang

3. 1881 1298 4.605 Orang

4. 1882 1299 4.302 Orang

5. 1883 1300 5.269 Orang

6. 1884 1301 4.540 Orang

7. 1885 1302 4.492 Orang

8. 1886 1303 2.524 Orang

9. 1887 1304 2.426 Orang

10. 1888 1305 4.328 Orang

11. 1889 1306 3.146 Orang

12. 1890 1307 5.076 Orang

12. 1891 1308 6.044 Orang

13. 1892 1309 6.861 Orang

14. 1893 1310 8.098 Orang

15. 1894 1311 6.874 Orang

16. 1895 1312 7.128 Orang

17. 1896 1313 11.788 Orang

18. 1897 1314 7.075 Orang

19. 1898 1315 7.875 Orang

20. 1899 1316 7.694 Orang

45 Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah, Op. Cit, Hal. 60.

(13)

Data statistik tersebut merupakan jumlah jamaah haji Indonesia yang bersumber dari data indisch verslag. Berdasarkan data yang tertulis dapat diketahui bahwa jumlah jamaah haji sejak tahun 1879-1899 mengalami kenaikan dan penurunan secara bergantian. Jumlah paling sedikit terdapat pada tahun 1887 sedangkan, jumlah jamaah haji paling banyak terdapat pada tahun 1896.

Sebagaimana kita ketahui bahwa masyarakat Indonesia yang sudah melaksanakan ibadah haji merupakan orang-orang yang bergelar haji. Pada abad ke-19, para haji yang juga seorang ulama adalah orang-orang yang giat dalam melakukan perlawanan-perlawanan terhadap penjajah Belanda. Hal tersebut dikarenakan, para ulama tersebut merupakan penyebar utama ajaran tarekat.

Ulama tersebut kembali ke Indonesiaa setelah melaksanakan ibadah haji dan mempelajari tarekat di Mekkah. Selanjutnya, ulama tersebut menyebarkan ajaran tarekat yang mereka bawa dan mengajarkannya kepada masyarakat muslim di Indonesia. Salah satu buktinya adalah adanya gerakan tarekat Qadiriyah dari K.H.

Wasid yang mengajarkan tentang keteguhan dalam menjalankan al-Quran dan mengajarkan keyakinan bahwa wilayah muslim harus dibebaskan dari penjajahan asing. Melalui gerakan tersebut, terjadilah gerakan perlawanan terhadap Belanda pada tahun 1888 yang dipimpin langsung oleh K.H. Wasid. Pada tanggal 9 Juli 1888 K.H. Wasid mulai melancarkan pemberontakan bersenjata dan peristiwa ini dikenal dengan nama Pemberontakan Cilegon Banten 1888.46 Jadi, berdasarkan peristiwa tersebut menunjukkan bahwa pelaksanaan ibadah haji pada abad ke-19 telah menjadi salah satu faktor yang memberikan motivasi dalam perjuangan masyarakat Indonesia untuk melawan penjajah Belanda.

B. Pelaksanaan Ibadah Haji Awal Abad Ke-20

Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan kebijakan Staatsblad van Nederlandsch-Indie, lembaran negara Hindia Belanda yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam negeri yaitu (Stbl) no. 316, tanggal 12 Agustus 1902 untuk mengatur perjalanan pelaksanaan ibadah haji di Hindia Belanda. Kebijakan tersebut berisi ketentuan-ketentuan yaitu, jamaah haji diwajibkan memiliki pas haji, jamaah haji harus melalui prosedur yang telah ditentukan untuk memperoleh

46 Istiqomah, Op. Cit, Hal. 53.

(14)

pas haji, pemberian visa, sanksi bagi yang melanggar peraturan, pembayaran pas haji dan Retourbiljetten (tiket pulang pergi).47 Selanjutnya, dalam kebijakan Stbl no. 318, dikeluarkan ketentuan tentang sistem visa ganda yaitu, visa ketika berangkat dan visa ketika kembali. Pada saat jamaah haji Hindia Belanda hendak melaksanakan ibadah haji, pas jalan tersebut diwajibkan mendapatkan visa dari kepala pelabuhan. Setelah sampai di Jeddah, pas jalan tersebut disimpan kepada konsul di Jeddah. Selama melaksanakan ibadah haji, para jamaah haji diberikan pas-tinggal sementara oleh konsul. Selanjutnya, saat akan kembali ke Hindia Belanda pas jalan yang disimpan dikembalikan sekaligus diberikan visa oleh konsul. Kebijakan mengenai visa ganda pun menuai diskusi panjang di antara para konsul di Jeddah, C.Ch. M. Henny (1903-1905) seorang konsul di Jeddah mengusulkan supaya visa ganda tersebut disatukan dalam satu kali register saja karena visa ganda pada dasarnya tidak memiliki dasar hukum. Akan tetapi, Konsul N. Scheltema (1905-1911) berpendapat bahwa visa ganda tidak bertentangan dengan peraturan karena sudah dipraktikan. Setelah tahun 1912, pada saat pemerintahan Hijaz dikuasai oleh pemerintahan Hasyimiah dan Saudiah permasalahan visa haji tidak diperdebatkan lagi.48 Namun, permasalahan pelaksanaan ibadah haji terus berlangsung. Di mana saat terjadinya Perang Dunia Pertama (1914-1918) pelaksanaan ibadah haji tidak dapat dilaksanakan.

Perang Dunia Pertama (1914-1918) telah mempengaruhi pelaksanaan ibadah haji saat itu, karena Turki salah satu bagian dari perang tersebut merupakan penguasa Hijaz, berada di pihak Jerman. Hijaz merupakan pusat dari serangkaian kegiatan haji. Berdasarkan situasi tersebut, pemerintah Hindia Belanda menghentikan kegiatan kapal-kapal haji milik perusahaan Belanda.

Pengangkutan jamaah haji asal Indonesia dilakukan oleh perusahaan Arab yang terdiri dari Said Umar al-Segaff, Omar Nasif dan Muhammad Ali yang menetapkan Singapura sebagai pelabuhan haji. Walaupun demikian, pemerintah Belanda tetap mengerahkan kapal-kapal haji ke Mekkah untuk mengangkut pulang jamaah haji asal Hindia Belanda.49 Pada tanggal 20 November 1914, kapal

47 M. Shaleh Putuhena, Op. Cit, Hal. 156.

48 Ibid, Hal. 211-214.

49 M. Shaleh Putuhena, Op. Cit, Hal. 219.

(15)

jamaah haji yang terakhir meninggalkan Jeddah yang mengangkut rombongan haji. Dalam rombongan tersebut ikut pula Konsul Belanda di Jeddah, Wolff yang hendak pulang ke Belanda dan pengelolaan Konsulat diserahkan kepada sekretaris-drogman. Di Laut Merah Wolff ganti kapal dan naik kapal pos ke Eropa. Pada saat itu, masih ada 1600 jamaah haji asal Hindia Belanda yang tertinggal di Jeddah. Pada akhir bulan Desember Kementerian Penjajahan memberitahukan lewat telegraf kepada Gubernur Jenderal Idenburg di Batavia bahwa sisa jamaah haji telah diberangkatkan.50 Pada akhir tahun 1914, kebanyakan jamaah haji sudah pulang ke Hindia Belanda, akan tetapi terdapat 3000 mahasiswa yang memilih tinggal. Dalam keadaan perang, banyak kesulitan yang dihadapi oleh mukim asal Hindia Belanda di Hijaz. Oleh karena itu, pada bulan Juli 1915 Konsul Wolff kembali ke Jeddah untuk membantu para mukim tersebut sekaligus mengusahakan agar bisa kembali ke Hindia Belanda.51

Dalam upaya membantu para mukim yang masih berada di Hijaz pada saat terjadi Perang Dunia Pertama, dibentuklah suatu komite yang bernama Menolong Hadji-hadji Bermoekim di Mekka. Komite tersebut memiliki anggota sebanyak lima orang yaitu, R.A.A. Achmad Djajadiningrat (regent di Serang), H. Hassan Moestapa (kepala penghulu di Bandung), R. Pengoeloe Tafsir Anom (kepala penghulu di Surakarta), H.O.S. Tjokroaminoto (presiden Sarekat Islam) dan D.A.

Rinkes (penasihat urusan-urusan pribumi). Komite ini bertugas sebagai perantara antara para mukim Jawa di Mekkah dengan keluarga mereka di Hindia Belanda untuk mengirimkan uang yang dititipkan dari keluarga kepada para mukim tersebut. Selanjutnya, penguasa Hindia Belanda juga mengirimkan empat buah kapal untuk mengangkut jamaah haji yang masih di Hijaz supaya kembali ke Hindia Belanda. Empat kapal tersebut mengangkut sebanyak 4000 jamaah haji.

Menurut Wolff, mukim Hindia Belanda yang masih tinggal di Hijaz telah menganggap dirinya bukan penduduk Hindia Belanda lagi sehingga, tugas Wolff sebagai konsulat Hindia Belanda di Jeddah telah selesai. Pada bulan Agustus 1915 konsulat di Jeddah ditutup. Para pegawai kembali ke Hindia Belanda dan ada

50 Ibid, Hal. 95.

51 Dick Douwes dan Nico Kaptien, Op. Cit, Hal. 96- 97.

(16)

yang ke negeri Belanda.52 Jadi, pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan kebijakan pelaksanaan ibadah haji pada masa Perang Dunia Pertama (1914-1918) melalui Javasche Courant tanggal 7 Mei 1915 yang menyatakan bahwa, selama perang berlangsung tidak ada pelayanan pelaksanaan ibadah haji ke Mekkah untuk jamaah haji Hindia Belanda.53

Kekalahan Turki Utsmani dalam Perang Dunia Pertama menjadikan wilayah kekuasaan yang terdapat dalam lingkup Mesir dan Irak berada dalam pengawasan Inggris dan Perancis. Hijaz, yang merupakan wilayah yang di dalamnya terdapat Mekkah, Madinah dan Jeddah berada dalam pengawasan Syarief Mekkah yaitu Husein bin Ali. Pada tanggal 30 Oktober 1916, Husein memproklamirkan dirinya sebagai Raja Hijaz. Selanjutnya, pada Maret 1920 pemerintah Hindia Belanda memberikan pengakuan kepada Raja Hijaz. Jadi, sejak tahun 1920, Raja Husein memberikan pengakuan pada Konsulat Belanda di Jeddah. Berdasarkan hal tersebut, kegiatan Konsulat mendapat dukungan dari Raja Husein termasuk pelaksanaan ibadah haji.54

Konsulat Belanda pada masa perang sampai dengan pemerintahan Hasyimiah statusnya berada di bawah kedutaan Belanda di Ramalia, Palestina.

Pada tahun 1930, atas persetujuan pemerintah Saudi Arabia, Konsul Belanda di Jeddah ditingkatkan statusnya menjadi Zaakgelastigde (kuasa penuh kerajaan Belanda terhadap kerajaan Saudi Arabia). Pada tahun 1924, drogman di Mekkah ditingkatkan statusnya sebagai vice consul. Sepanjang abad ke-20, pegawai Konsulat Belanda bukan hanya terdiri dari pegawai asal Belanda tetapi, terdapat pula pegawai yang diangkat dari orang-orang pribumi.55 Pegawai Konsulat Belanda yang berasal dari Belanda kebanyakan mendapatkan posisi sebagai konsul, mereka adalah E. Gobee, Ch. O. van der Plas, D. van der Meulen, C.

Adriaanse, C.Ch.M. Henny, N. Scheltema, J. Wolff dan H. H. Dingemans.

52 Ibid, Hal. 97-98.

53 M. Shaleh Putuhena, Op. Cit, Hal. 215.

54 Ibid, Hal. 245.

55 Pengangkatan pegawai Konsulat dari orang-orang pribumi terjadi karena pada saat itu, orang-orang Kafir dilarang masuk ke wilayah Mekkah. Konsulat hanya boleh melakukan kegiatan di Jedaah saja, sedangkan di Mekkah banyak sekali mukim Hindia Belanda yang harus diawasi.

Sehingga, untuk mengawasi para mukim di Mekkah dan Madinah diangkatlah pejabat Konsulat dari orang-orang pribumi. Lihat dalam buku Dick Douwes dan Nico Kaptein, Op. Cit, Hal. 14.

(17)

Sedangkan bagi pegawai Konsulat Belanda di Jeddah yang berasal dari orang- orang pribumi mendapatkan posisi yang beragam. Pegawai tersebut diantaranya adalah, Rd. Aboe Bakar Djajadiningrat (drogman dan juru bahasa konsul), Agus Salim ( leerling drogman dan secretaris drogman), Rd. Moh. Saleh (drogman), Rd. Prawiradinata (vice consul), Mas Salamoen (vice consul), Husein Iskandar (vice consul), Abdulkadir Widjojoatmodjo (vice consul), Rd. Abdulkadir (vice consul) Herdjan (dokter haji) dan Abdoel Patah (dokter haji). Berdasarkan hal tersebut, keberadaan Konsulat Belanda di Jeddah pada abad ke-20 telah memberikan pelayanan dan perlindungan terhadap para jamaah haji asal Hindia Belanda yang sedang melaksanakan ibadah haji maupun yang mukim. Selain melakukan pelayanan ibadah haji di Hijaz melalui Konsulat Belanda di Jeddah, pemerintah Hindia Belanda juga mengeluarkan kebijakan untuk mengatur pelaksanaan ibadah haji di Hindia Belanda. Di samping itu, umat Islam Indonesia juga giat melakukan usaha-usaha dalam memperbaiki pelayanan pelaksanaan ibadah haji.

Pada tahun 1912, Perserikatan Muhammadiyah didirikan oleh K.H.

Ahmad Dahlan. Organisasi Islam Muhammadiyah di dalamnya terdapat Bagian Penolong Haji yang diketuai oleh K.H. M. Sudjak. Bagian Penolong Haji tersebut melakukan beberapa upaya untuk menjadikan pelaksanaan ibadah haji di Indonesia menjadi lebih baik. Upaya tersebut adalah penyelenggaraan kursus, penerangan dan pengajian bagi yang akan melaksanakan ibadah haji, serta menjadi pihak perantara antara pihak maskapai pelayaran dengan para calon jamaah haji. Selanjutnya, pada tahun 1922 K.H. Ahmad Dahlan mengirim K.H.

M. Sudjak dan Mas Wirjopertomo ke Tanah Suci sebagai utusan guna melakukan penyelidikan dan penelitian terhadap pelayanan yang diberikan kepada jamaah haji selama melaksanakan ibadah haji. Saat melaksanakan tugas tersebut Mas Wirjopertomo meninggal dunia di Mekkah. Usaha-usaha yang telah dilakukan tersebut mendapat perhatian dari pihak pemerintah Hindia Belanda. Pada tahun 1922, Volksraad mengadakan perubahan-perubahan dalam Ordonansi Haji yang dikenal dengan Pilgrims Ordonansi 1922, yang menyatakan bahwa bangsa pribumi dapat mengusahakan pengangkutan untuk calon jamaah haji.56 Ordonansi

56 Sumuran Harahap dan Mr. Mursidi, Op. Cit, Hal. 43-44.

(18)

Haji 1922 merupakan kebijakan Pemerintah Hindia Belanda terhadap pelaksanaan ibadah haji di Hindia Belanda.

Ordonansi Haji 1922 salah satu isinya tentang ditetapkannya pelabuhan haji, yang awalnya Batavia dan Padang ditetapkan beberapa pelabuhan haji lainnya yaitu, Makassar, Surabaya, Tanjung Periok, Palembang, Sabang dan Emmahaven.57 Pembeliaan tiket pulang pergi bagi jamaah haji dari Hindia Belanda mulai disyahkan melalui Ordonansi 1922. Penjelasan dan aturan mengenai kondisi kapal haji, perlengkapan haji, kebersihan dan kesehatan58 dan semua yang berhubungan dengan kapal guna keselamatan para jamaah haji selama pelayaran menjadi kebijakan yang dikeluarkan dari Ordonansi Haji 1922.

Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Hindia Belanda memberikan motivasi bagi umat muslim sebagai pribumi untuk ikut menjadikan pelaksanaan ibadah haji menjadi lebih baik lagi.

Pada tahun 1923, dibentuklah organisasi khusus guna memperjuangkan perbaikan perjalanan haji Indonesia. Organisasi tersebut adalah organisasi Hindia Timur dengan tokoh-tokohnya H. Oemar Sahid Tjokroaminoto, H. Agus Salim dan K.H. M. Sudjak. Selanjutnya, sebagai realisasi dari Pilgrims Ordonansi 1922 R.A.A. Djajadiningrat, R. Muljadi Djojomartono, H. Agus Salim dan K.H. M.

Sudjak berusaha mengorganisir pengangkutan jamaah haji sendiri. Begitu banyak rintangan yang dihadapi untuk dapat melaksanakan pengangkutan ibadah haji sendiri, sampai akhirnya ada seorang muslim asal Hongkong bernama H. Husein mengerahkan kapalnya yang bernama Kapal Islamuntuk membantu umat muslim Indonesia (pada tahun 1924 sudah tidak beroprasi lagi).59

Pada tahun 1926, H. Agus Salim melaksanakan ibadah haji dan bermaksud untuk menghadiri Kongres al-Islam 1926 yang ternyata tidak dapat dilaksanakan.

Selama di Mekkah, beliau mendirikan suatu perkumpulan bernama Jamiatul

57 M. Shaleh Putuhena, Op. Cit, Hal. 172.

58 Hal ini berkaitan dengan adanya Ordonansi untuk karantina pada tahun 1911 sebagai bentuk pengawasan kesehatan penumpang-penumpang dalam kapal dan memfasilitasi pencegahan penyakit menular. Karantina tersebut berada di Pulau Rubiah, Sabang, Pulau Onrust dan Kuiper di Batavia.. Sedangkan untuk karantina jamah haji pada saat pelayaran ke Tanah Suci sejak tahun 1923 terdapat di Kamaran dan Jeddah. Lihat dalam e-journal Ahmad Fauzan Baihaqi, Pelayaran Angkutan Jamaah Haji di Hindia Belanda (tahun 1911-1930) dalam al-Turas, Vol. XXII No.1 Januari 2016, Hal. 45.

59 Sumuran Harahap dan Mr. Mursidi, Op. Cit, Hal. 45

(19)

Ansharul Haramayn bersama dengan beberapa ulama yang mukim. Perkumpulan tersebut didirikan untuk membicarakan masalah-masalah yang berkaitan dengan pelaksanaan ibadah haji.60 Perlu diketahui, selain mendirikan sebuah organisasi para mukim di Mekkah juga mendirikan sebuah madrasah bernama Dar al-Ulum al-Diniyah pada tahun 1933.61

Pada tahun 1928, Nahdlatul Ulama mengirimkan utusannya yaitu K.H.

Wahab Hasbullah dan Syekh Ahmad Chanaim al-Amir untuk menghadap raja Arab Saudi. Utusan tersebut mempunyai misi haji dengan menyampaikan permintaan supaya raja Ibnu Saud menetapkan tarif haji yang berlaku untuk para syekh dan mengakhiri kesewenang-wenangan pemungutan uang jasa terhadap para jamaah haji asal Indonesia.62 Pada tahun ini pula pemerintah Arab Saudi mulai memberlakukan oto-bus sebagai alat transportasi selama di Hijaz.63

Pada tahun 1930, dalam Kongres Muhammadiyah yang ke-17 di Minangkabau menghasilkan sebuah gagasan untuk membangun pelayaran sendiri bagi pelaksanaan ibadah haji Indonesia. Berdasarkan hasil kongres tersebut, K.H.

M. Sudjak dipanggil untuk menghadap Departemen Van Marine pemerintah Belanda. Pemanggilan tersebut memberikan jawaban bahwa hasil kongres ditolak oleh pemerintah Belanda. Atas kegagalan tersebut, anggota volksraad berjuang untuk mewujudkan pelayaran haji sendiri. Akhirnya, pada tahun 1932 diadakan perubahan pada Pilgrims Ordonansi 1922 dengan Staatblaad 1932 Nomor 544 mendapat tambahan artikel 22a. Artikel tersebut menjadi dasar hukum dalam pemberian izin bagi organisasi Indonesia untuk mendirikan pelayaran sendiri.64 Pada Kongres Muhammadiyah yang ke-24 di Banjarmasin memutuskan didirikannya maskapai pelayaran sendiri bernama N.V. Schevaart dan Hendelmay (Indoche).65 Usaha-usaha tersebut akhirnya membuahkan suatu hasil yang memuaskan dalam memperbaiki pelaksanaan ibadah haji di Indonesia. Pemerintah Belanda saat itu mengakui dan mengesahkan adanya pelayaran dalam suatu Badan

60 M. Shaleh Putuhena, Op. Cit, Hal. 312

61 Ibid, Hal. 362

62 Ibid, Hal. 46.

63 Ibid, Hal. 252.

64 Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah, Op. Cit, Hal. 56.

65 Sumuran Harahap dan Mr. Mursidi, Op. Cit, Hal. 48.

(20)

Pelayaran Indonesia dengan dikeluarkannya Besluit Directeur van Justitie No.

A/42/2/9 pada tanggal 18 Januari 1941. Pada saat penjajah Belanda mulai memberikan jalan bagi umat muslim Indonesia untuk menjadikan pelaksanaan ibadah haji menjadi lebih baik, pada saat itu pula penjajahan Belanda harus berakhir dan berganti dengan penjajahan Jepang.

Sebelum Jepang menjajah Indonesia, Van der Meulen seorang Gezant di Jeddah memberi perintah supaya para jamaah haji dipulangkan ke Hindia Belanda. Pada tanggal 11 Januari 1938 ada 3.113 jamaah haji yang masih bermukim di Mekkah, padahal saat itu tengah terjadi Perang Dunia Kedua (1939- 1945) dan keadaan di Tanah Suci sangat sulit untuk bertahan hidup. Oleh karena itu, dibentuklah yayasan yang membantu kepulangan jamaah haji Indonesia diantaranya, Comite Penoeloeng Hadji-hadji jang terlantar di Hijaz yang didirikan oleh Ahmad Surkati dari al-Irsyad.66

Pada saat penjahan Jepang, kebijakan tentang pelaksanaan ibadah haji di Indonesia berdasarkan kepada Aturan Peralihan Undang-undang Bala tentara Jepang No. 01 Tahun 1942 yang berbunyi sebagai berikut: “Semua Undang- undang dan peraturan-peraturan yang berasal dari pemerintah Hindia Belanda dahulu tetap berlaku sementara peraturan itu tidak bertentangan dengan peraturan Bala Tentara Dai Nippon.”67

Berdasarkan hal tersebut, kebijakan pelaksanaan ibadah haji masih sama dengan kebijakan sebelumnya. Pada pertengahan tahun 1942, dibentuk suatu Kantor Urusan Agama oleh pemerintah militer Jepang untuk memperhatikan asal- usul Islam di Indonesia sebagai saluran propaganda kepada umat Islam. Kantor Urusan Agama tersebut terdiri dari Shumubu di tingkat pusat dan Shumuka di tingkat daerah.68 Kantor Urusan Agama tersebut menjadi awal sejarah dari Kementerian Agama yang pada masa selanjutnya memiliki peran penting dalam perbaikan pelaksanaan ibadah haji di Indonesia. Setelah penjajahan Jepang berakhir, pada tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia merdeka. Oleh karena itu, pelayanan pelaksanaan ibadah haji sepenuhnya berada dalam tanggung jawab

66 M. Shaleh Putuhena, Op. Cit, Hal. 345.

67 Sumuran Harahap dan Mr. Mursidi, Op. Cit, Hal. 50.

68 Ibid, Hal. 51.

(21)

pemerintahan Indonesia. Namun, seperti kita ketahui bahwa periode 1945-1949 pelaksanaan ibadah haji di Indonesia dihentikan sementara karena sedang menghadapi revolusi fisik.69

Jadi, sebelum Proklamasi Kemerdekaan RI yaitu awal abad ke-19 pelaksanaan ibadah haji mengalami masa-masa yang sulit. Banyak peristiwa yang terjadi yang memungkinkan pelaksanaan ibadah haji terhenti, misalnya kondisi internasional dengan adanya Perang Dunia Pertama dan Perang Dunia Kedua (1939-1945). Kondisi di Tanah Suci yang mengalami konflik kekuasaan antara pemerintahan Hasyimiah dan pemerintahan Saudiyah. Kondisi di Indonesia sendiri tidaklah aman, karena saat itu sedang dijajah oleh Belanda bahkan setelah Belanda tidak ada datang Jepang menjajah. Sampai akhirnya Indonesia merdeka tahun 1945, pelaksanaan ibadah haji pun masih mengalami banyak rintangan.

69 Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji DEPAG, Op. Cit, Hal. 15.

Referensi

Dokumen terkait

Dalam konteks ekonomi maritim, pertahanan dan ketahanan wilayah, adalah sektor yang sangat strategis, maka potensi kelautan dan pertambangan itu memerlukan banteng

Potensi Bakteri Simbion Usus Teripang Hitam ( Holothuria atra ) sebagai Minuman Probiotik Susu Kedelai ( Ali Djunaedi dan Delianis Pringgenies ).. Minuman probiotik merupakan

SAYFA: 384 KAPAK: KARTON EBAT: 16,5X23,5 SAYFA: 384 KAPAK: CİLTLİ EBAT: 17X24.. TASAVVUF

Mereka disekresikan oleh jaringan perifer dalam bentuk glutamin (untuk menghindari nitrogen yang dikeluarkan dari tubuh) yang diambil oleh hepatosit mana NH3 tersebut

[r]

Pada penelitian ini telah dilakukan biosorpsi logam mangan (VII) dengan menggunakan jamur Saccharomyces sp yang diisolasi dari limbah padat Coca Cola dalam medium PDA pada

Tujuan dari pasteurisasi susu adalah untuk mematikan mikroba patogen yang sering dijumpai didalam susu dan dianggap sangat resisten terhadap pemanasan, mengurangi jumlah

Korban dalam hal ini dinyatakan sebagai orang yang terkena dampak secara langsung atas kejahatan Cyber tersebut.. dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh