• Tidak ada hasil yang ditemukan

1. PENDAHULUAN. Universitas Kristen Petra

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "1. PENDAHULUAN. Universitas Kristen Petra"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Pergerakan jumlah penjualan mobil di Indonesia terus menerus merangkak sejalan dengan laju waktu dan pertumbuhan ekonomi yang ada.

Menurut data Gaikindo, penjualan mobil sepanjang dua bulan 2010 mencapai 108.487 unit, naik dibandingkan periode sama sebelumnya sebanyak 66.130 unit atau naik 64% (“Dua bulan terakhir penjualan mobil nasional meningkat”, 2010).

Hal ini menjadi indikasi bahwa mobil sebagai kendaraan telah menjadi kebutuhan bagi masyarakat Indonesia, khususnya untuk keperluan transportasi dalam rangka keperluan sekolah, bekerja maupun keperluan lain yang membutuhkan alat angkut.

Penyebab kenaikan harga mobil, baik bekas maupun mobil baru, terutama disebabkan karena tingginya permintaan akan ketersediaan produk mobil. Kebutuhan masyarakat terhadap mobil juga berkembang dan tidak terpengaruh oleh fluktuasi harga. Hal tersebut dapat dilihat dari animo masyarakat yang tetap tinggi walaupun terjadi kenaikan harga jual mobil. Tingginya permintaan masyarakat terhadap mobil ternyata juga tidak mudah dipengaruhi oleh isu akan terjadinya kenaikan tarif dasar listrik (TDL) sebagaimana yang bisa diketahui dari pemberitaan media massa (“Penjualan mobil meningkat”, 2010).

Data dari berita media massa terkini yang bisa diketahui, peluang emas terjadi pada mobil-mobil yang merupakan mobil import (completely built-up) langsung dari luar negeri dimana target penjualan untuk mobil-mobil CBU ini diprediksi dapat meningkat untuk tahun 2010 (“Penjualan Mobil CBU Ditargetkan Naik 30 Persen”, 2010). Kalangan importir umum menargetkan penjualan mobil completely built up (CBU) sepanjang 2010 ini meningkat 30 persen dibanding

tahun sebelumnya. Kestabilan kurs rupiah terhadap dolar di kisaran Rp 9.000 - 9.300, kondisi sosial politik yang stabil, serta bertumbuhnya perekonomian nasional merupakan alasan kuat bagi importir untuk menggenjot penjualan.

Fenomena yang sama terjadi pula di Surabaya, dimana penjualan mobil secara umum selalu meningkat dari hari ke hari. Di pasar mobil Surabaya, hampir

(2)

sama dengan fenomena di kota-kota lainnya, mobil dengan hak ATPM (agen tunggal pemegang merek) masih tampak mendominasi. Merek-merek terkenal dari mobil yang dijual ATPM tersebut, seperti halnya Honda, Mitsubishi, Suzuki dan Daihatsu, memang sudah dikenal dan familiar di kalangan konsumen. Inilah tantangan bagi para pemasar mobil CBU. Dominasi mobil rakitan dalam negeri (“Rakitan Domestik Kuasai Pasar Mobil Indonesia”, 2010) tetap mendominasi, namun kehadiran mobil-mobil CBU ini-yang termasuk baru di Surabaya-tetap masih berkembang dari waktu ke waktu. Sampai saat ini, ada beberapa dealer mobil yang selama ini khusus menangani penjualan mobil-mobil baru yang disebut CBU tersebut, antara lain yaitu Japan Auto Center, CBU World, dan Duta Bayu Mobil. Di samping itu pula, ada beberapa dealer mobil lain yang walaupun menjual mobil-mobil rakitan dalam negeri, tapi saat ini sudah mulai menangani penjualan mobil-mobil CBU, baik itu mobil bekas maupun mobil baru.

Pemasaran untuk mobil-mobil berjenis CBU ini tidaklah sama dengan pemasaran produk mobil lainnya. Setidaknya bila dilihat dari kelas sosial pembelinya, mobil CBU merupakan mobil dengan konsumen kalangan atas.

Penjualan mobil CBU memakan proses yang tidak terlalu mudah sebagaimana halnya proses ketika menjual mobil lainnya. Biasanya pembelian satu unit mobil CBU dilakukan dengan proses tertentu yang akan memakan waktu berhari-hari dan membutuhkan kreativitas pihak penjual agar pembelian terealisir. Penjualan mobil CBU ini merupakan penjualan yang hanya bisa dilakukan kepada golongan konsumen kelas atas. Menurut Swastha dan Handoko (2000), “penggolongan kelas sosial akan berdampak pada psikologis konsumen yang dilayani. Salah satu aspek psikologis pada konsumen adalah pada bidang kognitif, khususnya mengenai disonansi kognitif”. “Disonansi kognitif (Cognitive Dissonance) dideskripsikan sebagai suatu kondisi yang membingungkan, yang terjadi pada seseorang ketika kepercayaan tidak sejalan bersama” (Japarianto, 2006).

“Kebingungan akan melanda konsumen ketika dihadapkan dengan situasi pembelian pada jenis mobil CBU, mengingat harga dan pilihan yang ada”

Lindsey-Mullikin (dalam Gbadamosi, 2003) menyatakan bahwa “konsumen biasanya akan bersikap dalam 3 alternatif untuk mengurangi kebingungan

(3)

tentang produk dimaksud, atau konsumen akan mencari produk substitusi yang sesuai dengan keinginan, atau konsumen akan mencari perbandingan harga produk sejenis di tempat lain. Dengan demikian, kebingungan yang tidak diatasi bisa menyebabkan konsumen bersikap tertentu yang ada kalanya malah akan membuat konsumen tidak jadi membeli atau bahkan beralih ke produk atau penjual lain.

PT. Japan Auto Center merupakan salah satu perusahaan di Surabaya yang bergerak di dalam bidang penjualan mobil CBU (completely built up).

Dibandingkan dengan showroom-showroom mobil ATPM (auto tunggal pemegang merek) lainnya yang sudah eksis, PT. Japan Auto Center selama ini menjadi importir sekaligus, menjual mobil dengan berbagai merek dan tipe yang berasal dari Jepang. Selain sebagai penjual langsung, PT. Japan Auto Center juga menjadi pemasok mobil-mobil yang telah diimport-nya kepada para penjual mobil lain yang memesan. Khusus ketika melayani penjualan langsung kepada konsumen (non-dealer), harga mobil yang tinggi yang berlaku kepada mobil- mobil CBU serta timbulnya ‘perang bathin’ yaitu berupa disonansi kognitif di persepsi konsumen mengenai pembelian yang sedang dihadapinya, merupakan sisi yang menarik untuk diamati dan diteliti.

Toyota Alphard, sebagai salah satu produk mobil CBU yang diproduksi dari Jepang, mengalami perkembangan penjualan secara terus menerus di Indonesia. Selain oleh para pengusaha yang khusus menangani penjualan mobil CBU, ternyata Toyota Alphard juga ditangani oleh PT. Toyota Astra Motor sebagai ATPM Toyota Indonesia (“Sekarang kalau mau beli Toyota Alphard”, 2010). Penjualan mobil CBU dengan nama Toyota Alphard berlangsung terus menerus dari tahun 2003 hingga sekarang. Inilah yang menjadi bukti bahwa masyarakat menyukai Toyota Alphard sebagai kendaraan pribadi dengan jenis multi purpose vehicle (MPV).

Berdasarkan pada latar belakang inilah sehingga pada kesempatan ini penulis tertarik untuk meneliti mengenai pembentukan disonansi kognitif konsumen mobil Toyota Alphard di PT. Japan Auto Center Surabaya.

(4)

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah disebutkan di atas, maka masalah yang akan diteliti pada penelitian ini adalah :

1. Faktor apa sajakah yang dapat mengukur disonansi kognitif konsumen pemilik mobil Toyota Alphard di Japan Auto Center Surabaya?

2. Usaha apa saja yang harus dilakukan oleh PT. Japan Auto Center Surabaya dalam rangka mengurangi timbulnya disonansi kognitif pada saat dan sesudah konsumen membeli mobil Toyota Alphard?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini yaitu :

1. Untuk mengetahui faktor-faktor yang dapat mengukur disonansi kognitif konsumen pemilik mobil Toyota Alphard di Japan Auto Center Surabaya”.

2. Untuk menganalisis dan melakukan pembahasan mengenai upaya-upaya yang patut dilakukan pada saat dan sesudah pembelian Toyota Alphard oleh PT.

Japan Auto Center Surabaya.

1.4 Manfaat Penelitian 1. Bagi mahasiswa

Dengan diadakannya penelitian ini, maka mahasiswa bisa melihat pengaruh sisi psikologis dalam pembelian yang dilakukan oleh konsumen, terutama dengan munculnya disonansi kognitif menjelang dan setelah pembelian.

Dengan penelitian ini juga, mahasiswa dapat melihat contoh kasus penerapan upaya-upaya pemasaran dari suatu perusahaan agar menekan munculnya disonansi kognitif sehingga kepuasan konsumen masih merupakan prioritas perusahaan.

2. Bagi perusahaan (PT. Japan Auto Center)

Penelitian ini bisa dijadikan sebagai salah satu acuan perusahaan guna pengambilan keputusan yang berkaitan dengan penjualan mobil-mobil CBU, khususnya mobil Toyota Alphard agar dapat menekan munculnya disonansi kognitif pada konsumen sehingga kepuasan konsumen tetap dapat terjamin

(5)

3. Bagi peneliti lain di masa mendatang

Peneliti lain yang hendak mengadakan penelitian serupa dengan penelitian ini dapat menjadikan sebagai salah satu acuan kepustakaan maupun rujukan tempat usaha yang bisa dipelajari guna kepentingan penelitiannya.

1.5 Metode Penelitian 1. Definisi Konseptual

a. Disonansi Kognitif

Menurut Japarianto (2006) penelitian 22 item yang didesain oleh peneliti sebelumnya menyatakan bahwa Cognitive Dissonance dapat diukur dengan tiga dimensi yaitu: Emotional, Wisdom of Purchase, dan Concern Over the Deal.

1. Emotional adalah ketidaknyamanan psikologis yang dialami seseorang terhadap keputusan pembelian.

2. Wisdom of Purchase adalah ketidaknyamanan yang dialami seseorang setelah transaksi pembelian, dimana mereka bertanya-tanya apakah mereka sangat membutuhkan produk tersebut atau apakah mereka telah memilih produk yang sesuai.

3. Concern Over the Deal adalah ketidaknyamanan yang dialami seseorang setelah transaksi pembelian dimana mereka bertanya-tanya apakah mereka telah dipengaruhi oleh tenaga penjual yang bertentangan dengan kemauan atau kepercayaan mereka.

Dalam penelitian yang telah dilakukan Japarianto (2006) dimensi tersebut menghasilkan 22 item yang dapat digunakan untuk mengukur Cognitive Dissonance. Tiga dimensi dari 22 item tersebut bukan hal yang

baru untuk mengukur Cognitive Dissonance karena sudah digunakan Soutar dan Sweeney (2003) untuk mengukur Cognitive Dissonance pada penelitian sebelumnya.

Menurut Kotler (2005), “kepuasan adalah perasaan senang atau kecewa seseorang yang muncul setelah membandingkan antara kinerja (hasil) produk yang dipikirkan terhadap kinerja (atau hasil) yang diharapkan”. Jika kinerja berada di bawah harapan, pelanggan tidak puas.

(6)

Jika kinerja memenuhi harapan pelanggan puas. Jika kinerja melebihi harapan, pelanggan amat puas atau senang.

Dijelaskan oleh lebih lanjut oleh Kotler (2005) kepuasan dapat diukur dengan lima tingkatan sebagai berikut :

- Level satu, para pelanggan cenderung menjauhi perusahaan dan menyebarkan cerita jelek tentang perusahaan tersebut.

- Level dua sampai level empat pelanggan agak puas tetapi masih merasa mudah untuk beralih ketika tawaran yang lebih baik muncul.

- Level lima, pelanggan sangat cenderung membeli ulang dan bahkan menyebarkan cerita pujian tentang perusahaan atau perusahaan tersebut, tidak sekedar kelebih-sukaan rasional.

Japarianto (2006) menjelaskan bahwa berdasarkan Teori Dissonance Cognitive, ketidaksenangan atau ketidaksesuaian muncul

ketika seseorang konsumen memegang pemikiran yang bertentangan mengenai suatu kepercayaan atau suatu sikap. Contohnya: ketika konsumen telah membuat suatu komitmen memberi uang muka atau memesan sebuah produk, terutama sekali untuk produk yang mahal seperti kendaraan bermotor atau komputer. Mereka sering mulai merasa disonansi kognitif ketika mereka berpikir tentang keunikannya, kualitas positif dari merek yang tidak dipilih. Disonansi kognitif yang timbul setelah terjadinya pembelian disebut Postpurchase Dissonance. Dimana pada postpurchase dissonance, konsumen memiliki perasaan yang tidak nyaman mengenai kepercayaan mereka, perasaan yang cenderung untuk memecahkannya dengan merubah sikap mereka agar sesuai dengan perilaku mereka (Schiffman dan Kanuk, 1997).

2. Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel

Japarianto (2006) mengungkapkan bahwa disonansi kognitif bisa diukur dengan tiga dimensi sebagai berikut :

1. Emotional (X1) adalah ketidaknyamanan psikologis yang dialami seseorang terhadap keputusan pembelian yang terdiri dari 15 indikator.

Indikator yang dipersiapkan untuk mengukur variabel emotional ini

(7)

merasa putus asa; Konsumen merasa menyesal dengan keputusan membeli; Konsumen merasa kecewa dengan diri sendiri karena telah membeli; Konsumen merasa takut dengan akibat pembelian;

Konsumen merasa hampa memutuskan membeli; Konsumen merasa marah dan memutuskan membeli; Saya merasa cemas atau khawatir akan pembelian; Saya merasa kesal atau jengkel karena membeli;

Konsumen merasa frustasi karena membeli; Konsumen merasa sakit hati karena membeli; Konsumen merasa depresi dengan pembelian mobil; Konsumen merasa marah dengan diri sendiri atas pembelian;

Konsumen merasa muak dengan keputusan membeli; dan Konsumen mendapat masalah karena membeli.

2. Wisdom of Purchase (X2) adalah ketidaknyamanan yang dialami seseorang setelah transaksi pembelian, dimana mereka bertanya-tanya apakah mereka sangat membutuhkan produk tersebut atau apakah mereka telah memilih produk yang sesuai yang terdiri dari 4 indikator.

Indikator yang dipersiapkan untuk mengukur variabel Wisdom of Purchase yaitu : Konsumen merasa telah melakukan hal yang tepat ; Konsumen merasa bahwa sangat membutuhkan; Konsumen merasa bahwa seharusnya tidak perlu membeli suatu apapun; Konsumen merasa bahwa telah membuat pilihan yang tepat secara keseluruhan.

3. Concern Over the Deal (X3) adalah ketidaknyamanan yang dialami seseorang setelah transaksi pembelian dimana mereka bertanya-tanya apakah mereka telah dipengaruhi oleh tenaga penjual yang bertentangan dengan kemauan atau kepercayaan mereka yang terdiri dari 3 indikator. Indikator yang dipersiapkan untuk mengukur variabel ini yaitu : Terkejut dengan kesalahan ketika membuat persetujuan;

Perasaan tolol karena membeli mobil; dan Perasaan bingung karena ulah tenaga penjual

3. Jenis Penelitian

Dilihat dari sumber data yang digunakan dalam penelitian ini yang menggunakan data primer yaitu data yang dikumpulkan dan diolah sendiri oleh peneliti langsung dari objeknya maka penelitian ini

(8)

merupakan penelitian survey. Sedangkan bila dilihat dari teknik analisis datanya, maka penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kuantitatif.

4. Populasi, Sampel dan Teknik Penarikan Sampel a. Populasi dan Sampel

Populasi adalah semua nilai yang mungkin, baik hasil menghitung atau mengukur, kualitatif atau kuantitatif mengenai karakteristik tertentu dari semua elemen himpunan data yang ingin diteliti sifat-sifatnya Populasi pada penelitian ini adalah seluruh elemen masyarakat yang memiliki mobil CBU merek Toyota Alphard keluaran terbaru (yang dahulu diperoleh dari penjualan PT. Japan Auto Center pada tahun 2007 hingga tahun 2009.

Sampel adalah “bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut” (Sugiyono, 2009). Sampel pada penelitian ini adalah seluruh konsumen yang data pembelian mobilnya masih tersimpan pada database sistem komputer yang ada di PT. Japan Auto Center Surabaya.

b. Teknik Penarikan Sampel

Untuk jumlah populasi yang terhingga dan subjeknya tidak terlalu banyak maka teknik penarikan sampel yang dapat digunakan adalah teknik sensus (Arikunto 2002). Teknik Sensus dilakukan dikarenakan pada penelitian ini jumlah populasi, yaitu seluruh pemilik mobil yang pernah membeli mobil CBU pada Japan Auto Center, tidak terlalu banyak dan sulit ditemui untuk dimintakan partisipasinya untuk mengisi kuesioner. Teknik penetapan sampel yang dipakai adalah accidental sampling, yaitu responden ditetapkan secara kebetulan ketika berada di tempat penyebaran kuesioner dan terkumpul sebanyak 44 orang.

5. Teknik Analisis Data a. Analisis Faktor

Penelitian ini menggunakan analisis deskriptif dan statistik yaitu :

(9)

1) Analisis Deskriptif

Penelitian ini dilengkapi dengan data deskriptif mengenai responden penelitian, dimana peneliti berusaha untuk memberikan gambaran mengenai variabel penelitian sehubungan dengan faktor-faktor yang membentuk disonansi kognitif yang dialami konsumen yang membeli mobil CBU di Japan Auto Center di Surabaya.

2) Analisis statistik

Analisis pengukuran faktor digunakan untuk menyederhanakan variabel observasi yang komplek dan saling berhubungan menjadi sejumlah dimensi atau construct yang lebih kecil yang selanjutnya disebut faktor. Analisis pengukuran faktor juga dapat digunakan untuk mengurangi korelasi yang tinggi antar variabel, sehingga variabel- variabel yang dianalisis adalah variabel yang tidak saling berkorelasi.

Dalam penelitian ini, analisis pengukuran faktor juga digunakan untuk menyederhanakan faktor-faktor disonansi kognitif yang terdiri dari 23 item menjadi beberapa faktor sehingga pada akhirnya dapat diukur mengenai disonansi kognitif berdasarkan faktor-faktor yang mendasarinya. Tahapan proses pengolahan data dengan analisis pengukuran faktor disonansi kognitif dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Penyusunan matrik korelasi dan matrik anti-image

Analisis pengukuran faktor dapat digunakan jika antar variabel saling berkorelasi, dimana jika korelasi yang terjadi besar maka analisis pengukuran faktor dapat digunakan demikian sebaliknya.

Adapun tujuan penyusunan matrik korelasi yaitu untuk mencari beberapa jumlah korelasi dari total korelasi yang signifikannya pada tahap 0,01 atau 0,05. Untuk menguji ketepatan model analisis pengukuran faktor dapat dipakai pengukuran kelayakan sampel Keiser Meyer Olkin (KMO). Nilai kecil statistik KMO menunjukkan korelasi antara variabel dimana jika nilai KMO besar maka analisis pengukuran faktor dikatakan tepat untuk digunakan, serta besaran minimalnya adalah 0,5 agar analisis tersebut dapat diterima. Sedangkan Bartlett’s test of sphericity digunakan untuk menunjukkan korelasi antar variabel secara keseluruhan

(10)

b. Komunalitas

Komunalitas (commonalties) merupakan ukuran persentase dari variasi variabel yang dijelaskan oleh faktor-faktor. Nilai eksterm komunitas antara 0,0 dan 1,0. Estimasi 0,0 berarti suatu variabel tidak berkorelasi dengan variabel lain, sementara estimasi 1,0 berarti variansi variabel secara sempurna disebabkan oleh sejumlah faktor bersama.

c. Total varian penjelas

Langkah selanjutnya adalah menghitung faktor-faktor diekstraksi dengan menggunakan metode faktor utama atau principal component analisis. Tujuan tahap ini adalah untuk menentukan faktor apa saja yang digunakan. Kriteria untuk mengekspansi faktor yang digunakan dalam penelitian ini adalah latent root criterion, yaitu faktor yang diesktraksi adalah faktor yang

mempunyai eigenvalue lebih dari satu.

d. Interpretasi matrik faktor

Matrik faktor digunakan untuk menilai penyampaian awal variabel serta menunjukkan koefisien variabel yang sudah distandarkan untuk masing-masing faktor.

e. Rotasi faktor

Penggumpalan variabel pada faktor yang terjadi dalam matrik faktor belum dapat diinterpretasikan secara langsung. Sebab memungkinkan adanya variabel yang memiliki loading yang besarnya hampir sama dengan faktor, sehingga sulit untuk menentukan terjadinya penggumpalan variabel pada faktor. Maka, untuk menginterpretasikan faktor secara memadai memerlukan rotasi faktor agar dapat diperoleh faktor yang lebih berarti secara teoritis dan praktis. Rotasi faktor dalam banyak harus memperbaiki interpretasi dengan produksi beberapa dualisme (ambiguities) yang seringkali menyertai solusi awal faktor yang belum di rotasi faktor yang digunakan adalah varimax dengan alasan bahwa metode

Referensi

Dokumen terkait

Alhamdulillahirabbilalamin, segala puji syukur tercurahkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya sehingga Penulis mendapatkan kelancaran dan

Sesuai dengan metode yang digunakan, saat skematik selesai dirancang dan hasil simulasi telah sesuai dengan yang diinginkan, skematik diintegrasi menjadi simbol dan

Uji hipotesis yang pertama digunakan untuk mengetahui kontribusi nilai hasil belajar mata pelajaran produktif dan efiksi diri terhadap nilai akhir Praktik Kerja Lapangan pada

oleh Pemerintah Desa Latukan juga tak lepas dari penghambat-penghambat yang terjadi mulai dari awal sosialisasi, tidak semua masyarakat dapat menerima gerakan

Dengan pendekatan pengklasteran fuzzy, pembagian kelas dapat dilakukan berdasarkan nilai prestasi mahasiswa pada mata kuliah yang menjadi prasyarat untuk menempuh mata kuliah

Dewasa ini$ laFim 7igunakan lael un'uk masing-masing pake' 7engan menan'umkan nama 7an alama' lengkap si penerima$ Sis'em penomoran yang 7igunakan &arus

 pelayanan administrasi, administrasi, monitoring dan evaluasi monitoring dan evaluasi kegiatan Dokumen Rekam kegiatan Dokumen Rekam Medis yanevie berkas rekam Medis

dengan pendapat WANGAARD (3), yang menyatakan bah- wa pada kayo plastik terjadi polimerisasi in situ dari mono- mer yang menyebabkan kenaikan berat contoh kayo, se- dang volume