• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 2.1 Program Pendidikan dan Pelatihan Pengertian Program Pendidikan dan Pelatihan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA. 2.1 Program Pendidikan dan Pelatihan Pengertian Program Pendidikan dan Pelatihan"

Copied!
41
0
0

Teks penuh

(1)

17 BAB II

KAJIAN PUSTAKA

Pada bab 2 kajian pustaka dibahas dengan kajian teori dan konsep-konsep yang sesuai dengan penelitian yang dikembangkan.

2.1 Program Pendidikan dan Pelatihan

2.1.1 Pengertian Program Pendidikan dan Pelatihan

Pengertian pelatihan dalam hal ini diklat menurut Hamalik (2007:10) merupakan upaya untuk meningkatkan, mengembangkan, dan membentuk pegawai dalam hal ini guru dengan mengupayakan program-program pelatihan atau diklat, diantaranya diklat, yaitu: berjenjang, kursus, fungsional, dan operasional. Jenis diklat ini banyak digunakan oleh lembaga tertentu dengan tujuan peningkatan kompetensi karyawan atau guru dalam mengerjakan tugasnya, sehingga pelayanan kepada masyarakat dapat meningkat. Jadi yang dimaksut pengertian pelatihan merupakan bentuk upaya yang dilakukan dalam meningkatkan kompetensi karyawan dalam hal ini guru melalui berbagai program diklat yang dilaksanakan.

(2)

18

Sejalan dengan pengertian di atas yang dimaksud pengertian program pendidikan dan pelatihan, merupakan proses pelaksanaan diklat secara terus menerus bagi suatu organisasi agar karyawan dalam hal ini guru sebagai peserta pelatihan dapat meningkatkan kemampuannya dalam mengerjakan tugasnya serta karirnya dapat meningkat, perilaku karyawan dalam bekerja dapat diperbaiki, karyawan dapat dipersiapkan untuk memegang jabatan yang lebih tinggi, serta aktivitasnya dalam mengerjakan pekerjaan dapat berkembang (Syamsuddin, 2009) ). Jadi yang dimaksud pengertian program pendidikan dan pelatihan merupakan proses pelatihan yang dilakukan secara terus-menerus bagi suatu organisasi dengan tujuan karyawan dalam hal ini guru dapat meningkatkan kemampuannya dalam menjalankan tugasnya.

Program diklat juga mempunyai pengertian mengembangkan, yaitu proses meningkatkan ketrampilan dalam pekerjaan secara teknis serta mampu mengatur pekerjaannya. Pelatihan dapat berbentuk teori yang dilaksanakan di kelas, dalam waktu yang lama. dan digunakan

(3)

19

mencari jawaban atas pertanyaan “mengapa” dan juga dapat berupa praktek langsung di tempat kerja, tidak memerlukan waktu lama, serta untuk menjawab pertanyaan “bagaimana”

(Jan Bella dalam Hasibuan, 2006:70).

Pelaksanaa program diklat terus dilakukan dalam rangka meningkatkan kualitas pelatihan, sebab tidak semua program diklat yang diadakan dapat meningkatkan profesionalitas dan kompetensi guru. Untuk itu berdasarkan hasil survey awal P4PT Seni dan Budaya menyatakan bahwa program diklat yang berkualitas meliputi banyak aspek diantaranya : a) kuliatas dari program diklat itu sendiri, b) nara sumber yang ditentukan harus berkualitas, c) ditunjang dengan kualitas fasilitas akademis, d) sarana penunjang yang berkualitas, e) layanan yang diberikan juga berkualitas, dan f) proses diklat harus terjaga kualitasnya, sehingga dari diklat yang berkualitas ini dihasilkan guru-guru yang semakin meningkat kompetensinya, unggul dalam pembelajaran, berprestasi pada bidangnya, serta menguasai teknologi yang tinggi sehingga mampu bersaing di era teknologi yang maju ini (P4TK, Seni

(4)

20

dan Budaya, 2007-2009 ; UU RI Nomor 14 Tahun 2005).

Ketrampilan kerja pegawai dalam hal ini guru dapat mengalami peningkatan melalui program diklat baik secara teori maupun praktek dalam waktu singkat atau terus menerus.

dengan tujuan adanya peningkatan jenjang karir, perilaku dalam pekerjaan dapat diperbaiki, serta dipersiapkan untuk jabatan yang lebih tinggi, dengan terus menjaga kualitas pelaksanaan pelatihan sehingga diupayakan dapat meningkatkan pelayanan kepada masyarakat.

2.1.2 Tujuan Pendidikan dan Pelatihan bagi Guru

Setiap pelatihan yang diprogramkan pasti mempunyai tujuan terntu, baik tujuan yang dimiliki peserta pelatihan secara individu maupun bagi tujuan organisasi. Tujuan-tujuan ini perlu mendapat perhatian karena melalui tujuan yang ditetapkan dapat menjadi landasan ditetapkannya pelaksanaan pelatihan dengan menggunakan metode yang mana, pokok pembahasan yang akan menjadi materi itu apa, mengundang peserta dari mana saja, dan fasilitatornya yang tepat siapa supaya dapat memberikan materi sesuai dengan yang dibutuhkan. Mengacu pada tujuan maka

(5)

21

pelatihan berguna untuk pengembangan bakat peserta pelatihan, selain peningkatan dalam bidang pengetahun ditunjang dengan sikap yang baik serta trampil dalam mengerjakan pekerjaan, sehingga menghasilkan peserta yang mampu bekerja sesuai dengan aturan yang ditetapkan.

Pemahaman tujuan program pelatihan yaitu sebagai sarana perbaikan cara kerja guru, menjadikan guru ahli dalam bidangnya, pembelajaran dikerjakan jauh lebih singkat karena semakin kompeten, dapat menjadi pemecah masalah, guru dipersiapkan untuk dipromosikan, sebagai sarana menumbuhkan motivasi bagi guru, dan sebagai sarana orientasi bagi guru pada lembaga/ sekolah yang hendak dicapai (Simamora, 2006:276). ).

Jadi tujuan program pelatihan merupakan sarana untuk melakukan perbaikan cara kerja guru, sehingga seorang guru menjadi ahli dalam bidangnya dan tugasnya dapat dikerjakan lebih singkat, semakin kompeten dalam memecahkan masalah, sehingga termotivasi untuk melakukan pekerjaan dan sebagai sarana promosi kenaikan jenjang karirnya.

Hal yang sama juga dikemukakan oleh Moekijat (2009: 68)

(6)

22

maksud dan tujuan program pelatihan yaitu: 1) semakin trampil dalam menyelesaikan pekerjaan dengan waktu lebih cepat; 2) pekerjaan dapat diselesaikan dengan cara yang lebih wajar karena didukung pengetahun yang semakin berkembang; dan 3) menumbuhkan sikap untuk mau bekerja sama dengan rekan kerja dan pimpinan

Pengertian yang sama tentang tujuan program diklat, merupakan bentuk program yang dapat dilakukan di segala bidang, dengan ruang lingkup yang berorientasi, pada: 1) peningkatan jumlah pekerjaan selama pelatihan; 2) peningkatan jumlah pekerjaan waktu pelatihan selesai dilakukan; 3) waktu yang digunakan dalam menyelesaikan pekerjaan menjadi lebih singkat; dan; 4) hasil dari pelatihan dapat melakukan penghematan biaya yang dibutuhkan dalam menyelesaikan pekerjaan (Jackson dan Mathis, 2002). ). Tujuan program diklat merupakan program yang dilakukan dalam berbagi bidang yang berorientasi pada : jumlah pekerjaan yang dikerjakan meningkat, lebh efisien waktu, biaya yang diperlukan lebih hemat.

Program pendidikan dan pelatihan bertujuan meningkatkan

(7)

23

kinerja lembaga dan meningkatkan kemampuan setiap guru secara individu dalam bidang pengetahun dan ditunjang dengan sikap yang baik serta trampil dalam mengerjakan pekerjaan.

Selain itu adanya peningkatan kemampuan dalam bekerjasama, baik kepada rekan kerja maupun pimpinan serta menjadi sarana bagi seseorang untuk mengembangkan bakatnya sehingga mengalami peningkatan dalam menyelesaikan tugasnya dengan tepat.

2.1.3 Model Pelatihan

Konsep dari model dari sebuah pelatihan bertujuan meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan peserta pelatihan, supaya mengalami perubahan secara cepat dan dapat mengikuti perkembangan jaman yang semakin modern termasuk di dalamnya upaya mengembangkan pelatihan dengan menggunakan berbagi jenis model. Pada awalnya penerapan model pelatihan dikembangkan dalam bidang usaha, namun sesuai dengan tingkat kebutuhan akan pelatihan maka model ini dikembangkan juga oleh lembaga yang lain termasuk didalamnya lembaga pendidikan. Menurut Kamil (2012: 9) ada beberapa

(8)

24

model pendidikan dan pelatihan berdasarkan kebutuhan belajar, yaitu:

1) model induktif, menekankan pada usaha mengetahui kebutuhan akan pelatihan yang dimulai dari orang-orang terdekat, yang langsung meminta informasi akan kebutuhan pelatihan, Pelaksanaan model ini ditujukan kepada peserta pelatihan yang telah hadir dalam pelatihan, sehingga informasi akan kebutuhan pelatihan dapat didapatkan secara langsung. Informasi yang didapat lebih sesui dengan kebutuhan peserta sehingga memudahkan pelatih dalam pemilihan materi pelatihan. Sisi lain kelemahan dari model ini, materi harus disiapkan secara menyeluruh supaya dapat memenuhi semua kebutuhan peserta, sehingga memerlukan waktu yang cukup lama, membutuhkan biaya yang cukup besar, serta perlu personil dalam jumlah yang banyak.

2) model deduktif, penekanannya dengan mengidentifikasi pelatihan yang dibutuhkan dimulai dari kebutuhan peserta pada umumnya yang memiliki kebutuhan pelatihan yang sama.

Pelaksanaannya dengan meminta pendapat dari semua peserta,

(9)

25

kemudian diperkirakan kebutuhan pelatihan yang banyak diperlukan yang memiki ciri yang sama dijadikan dasar untuk memilih materi pelatihan. Model ini juga menjadikan usia, pendidikan, jabatan dan lainya menjadi bahan pertimbangan untuk dijadikan dasar pengenbangan pelatihan secara khusus. Sisi positif dari model ini melakukan identifikasi secara lebih luas, biayanya lebih murah, serta lebih praktis dibanding induktif. Sisi kelemahan model ini semua peserta belum tentu mempnyai kebutuhan yang sama akan pelatihan yang dilakukan sehingga sangat tergantung dari hasil identifikasi yang benar-benar akurat sesuai dengan minat peserta yang cenderung minatnya berbeda- beda.

3) model klasik, penekanan model pada penyesuaian materi pelatihan yang telah tersusun dalam kurikulum yang disesuaikan dengan kebutuhan. Perbedaannya dengan induksi, pedoman kurikulum telah disusun oleh pelatih dengan mempertimbangkan kebutuhan peserta akan pelatihan. Contohnya kurikulum:

pelatihan sertifikasi, pelatihan K13, pelatihan kepemimpinan, materi dalam bentuk modul, dan lain sebagainya. Kebutuhan

(10)

26

pelatihan digali dari peserta yang ada di kelas pelatihan secara terbuka dan ditanyakan langsung. Model ini bertujuan agar materi pelatihan yang telah disiapkan sesuai dengan kemampuan dari peserta pelatihan dan tidak timbul kesulitan memahami materi pelatihan. Sisi yang menguntungkan model ini yaitu materi pelatihan mudah untuk dipelajari oleh peserta, karena tingkat kemampuan peserta telah sesuai dengan materi baru yang telah disiapkan. Sisi yang lemah dari model ini, yaitu jika kemampuan peserta pelatihan berbeda jauh dari materi yang disiapkan untuk itu perlu menganalisa lebih lagi akan kebutuhan dari peserta dan memerlukan waktu lama.

Pendapat lain juga dikemukakan oleh Desimone & Harris (1998) dalam Sarbeng (2013), setelah kebutuhan pelatihan telah diidentifikasi dan tujuan ditetapkan, pelatih perlu memilih metode pelatihan yang sesuai dengan kebutuhan untuk mencapai tujuan yang ditetapkan. Secara umum, metode pelatihan dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori: Metode di lingkungan pekerja (On the Job Training), yang biasanya terjadi di lingkungan pekerja normal karyawan; dan metode di lingkungan

(11)

27

jauh dari pekerjaan (Off the Job Training) atau ruang kelas.

Pada program pelatihan yang dilakukan kepada Guru dan Kepala TK Yayasan Pesat, jika ditijau dari analisa kebutuhan metode pendidikan dan pelatihan menggunakan metode klasik karena menyesuaikan dengan materi pelatihan yang telah dipilih dan menjadi bagian dari program yang telah direncanakan dan menyesuaikan dengan kebutuhan peserta. Sedangkan metode pelaksanaannya dilakukan di luar pekerjaan (Off the Job Training) atau di kelas khusus yang biasanya terjadi jauh dari pekerjaannya. Metode dipilih karena disesuaikan dengan kondisi dan tempat kerja Guru dan Kepala TK Yayasan Pesat yang tidak berada dalam satu tempat.

2.1.4 Penelitian dan Pengembangan

Penelitian yang dikembangkan mengikuti tahapan secara siklus yang disesuikan dengan tujuan dengan tahapan pengembangan produk berdasarkan temuan, melakukan uji cobanya di lapangan, berdasarkan kondisi pemakaian produk dan siklus terakhir merevisi produk yang dihasilkan berdasarkan uji lapangan. Setyosari (2013: 222-223) Sedangkan menurut

(12)

28

Sukmadinata (2010: 164) bahwa R&D merupakan suatu cara atau metode penelitian yang bertujuan pengembangan yang menghasilkan suatu yang baru atau memperbaiki hasil yang sudah ada serta mempertanggung jawabkannya.

Penelitian melalui suatu proses menghasilkan produk baru, yang orisinil, dan asli dalam hal ini bisa produk dalam bidang pendidikan yang dihasilkan melalui tahapan pengembangan produk berdasarkan temuan, melakukan uji coba di lapangan, berdasarkan kondisi pemakaian produk dan merevisi produk yang dihasilkan berdasarkan uji lapangan. Untuk itu penting sekali melakukan penelitian pengembangan sehingga bermanfaat untuk mengembangkan pengetahuan, keterampilan dan bakat, peningkatan kualitas dan kompetensi yang maksimal yang dicapai oleh diri sendiri. Hal yang sama pada peneltian ini perlunya dilakukan penelitian pengembangan karena bertujuan menghasilkan produk baru berupa modul pelatihan. (Sugiyono, 2017: 26). Jadi penelitian pengembangan merupakan penelitian yang bertujuan untuk menghasilkan produk baru yang orisinil, melalui proses tahapan pengembangan produk berdasarkan

(13)

29

temuan, melakukan uji coba di lapangan, berdasarkan kondisi pemakaian produk dan merevisi produk yang dihasilkan berdasarkan uji lapangan sehingga dihasilkan produk yang baru.

Beberapa model pengembangan, terdiri dari: 10 langkah Borg and Gall, 4 langkah-langkah R&D menurut Thiagarajan berdasarkan singkatan dari 4D, 3 langkah menurut Richey and Klein, lima langkah model ADDIE, 10 langkah model Sugiono, dari beberapa model pengembangan, ditetapkan 2 model pengembangan yang akan menjadi model pada penelitian ini yaitu:

1. Model ADDIE

Model ADDIE, (Analysis, Design, Development, Implementation, Evaluations) merupakan model desain pembelajaran (Instructional Desain) yang dikembangkan oleh Branch (2009) yang dapat digambarkan seperti gambar 2.3.

Prinsip dasar pengembangan desain pembelajaran menggunakan model ADDIE yaitu bahwa semua kegiatan pembelajaran yang direncanakan, berfokus untuk membimbing siswa atau pembelajar dalam membangun pengetahuannya (Branch, 2009: 3).

(14)

30

Branch (2009) menjelaskan dalam bukunya bahwa mengembangkan desain pembelajaran (Instructional Desain), inti utamanya adalah melakukannya dengan proses ADDIE, yaitu analisis kebutuhan siswa atau sasaran pembelajaran, desain atau rancangan kegiatan pembelajaran sesuai dengan analisis kebutuhan, pengembangan materi ajar berdasarkan desain atau rancangan, pelaksanaan kegiatan pembelajaran yang telah dihasilkan dan evaluasi terhadap kegiatan pembelajaran yang telah dilakukan atau evaluasi hasil pengembangan.

Lima langkah model pengembangan ADDIE, sebagai berikut :

1) Analysis (Analisis)

Tujuan tahap Analysis adalah melakukan analisis kebutuhan dengan mengidentifikasi kesenjangan dan kemungkinan penyebab kesenjangan. Hasil analisis ini akan menentukan jenis kegiatan yang akan dilakukan atau produk apa yang perlu dikembangkan (Moelanda, 2004 dalam Ngaba, 2017). Hasil analisis menjadi dasar untuk menentukan produk dan membuat peta kompetensi pengembangan produk. Kegiatan pada tahap ini

(15)

31

yaitu menganalisis permasalahan pelatihan yang selama ini dilakukan untuk menentukan tingkat kebutuhan produk.

2) Design (Perancangan)

Tujuan tahap Design adalah merancang kerangka produk (blue print) sesuai dengan kebutuhan berdasakan hasil tahap Analysis (Moelanda, 2004 dalam Ngaba, 2017). Kegiatan pada tahap ini dimulai dengan merancang outline (komponen- komponen) produk yang hendak dikembangkan, kemudian dilanjutkan dengan penyusunan sistematika produk yang dikembangkan. Rancangan ini akan menjadi dasar pengembangan pada tahap selanjutnya.

3) Development (Pengembangan)

Development merupakan kegiatan pembuatan produk sesuai rancangan pada tahap Design dan kegiatan validasi produk untuk siap diimplementasikan. Tahap pengembangan dimulai dengan kegiatan menulis draf. Penulisan dilakukan berdasarkan kerangka yang telah disusun. Kemudian dilanjutkan dengan kegiatan review dan validasi yang dilakukan oleh ahli. Hasil review dari

(16)

32

ahli berupa saran dan masukan menjadi dasar untuk melakukan revisi atau perbaikan untuk penyempurnaan produk.

4) Implementation (Implementasi

Setelah tahap pengembangan dilakukan dan menghasilkan satu produk final yang telah divalidasi, langkah berikutnya adalah melakukan uji coba produk atau kegiatan implementasi produk.

5) Evaluation (Evaluasi)

Evaluasi dilakukan setelah langkah implementasi untuk melihat efektivitas produk yang dikembangkan. Hasil evaluasi untuk penyempurnaan produk.

2. Model Pengembangan Sugiyono (2017)

Pada penelitian ini bertujuan membuat pruduk baru yang memiliki nilai tambah dan belum pernah ada, original (asli, belum ada orang lain yang membuatnya, dan teruji (terbukti kualitasnya melalui berbagai pengujian lapangan).

Demikian juga pengembangan dan nilai produk pengajaran dinilai berdasarkan validasi produknya dan dikembangkan dengan tahapan secara siklus yang disesuikan tujuan yaitu, pengembangan produk berdasarkan temuan, melakukan uji coba

(17)

33

di lapangan.berdasarkan kondisi pemakaian produk dan siklus terakhir merevisi produk yang dihasilkan berdasarkan uji coba terbatas (Sugiyono, 2017: 48; Setyosari, 2013: 222-223).

Langkah-langkah tersebut dapat di lihat dalam gambar 2.5.

Gambar 2.1

Tahapan MetodeL Penelitian dan Pengembangan Sugiyono (Sugiyono, 2017: 48)

Langkah-langkah yang dikembangkan dalam penelitian pengembangan modul ini dibatasi hanya sampai pada merevisi hasil uji coba terbatas pada tahapan Sugiyono, yaitu: potensi dan masalah, pengumpulan data, perancangan desain produk, rancangan divalidasai, memperbaiki rancangan, pembuatan produk, menguji coba terbatas, dan memperbaiki hasil. Langkah berikutnya tidak dilakukan karena keterbatas waktu serta

(18)

34

pemakaian produk hanya terbatas pada pendidikan dan pelatihan yang diselenggarakan oleh Yayasan Pesat.

Alasan pemilihan model ini, dianggap sangat cocok digunakan sebagai model penelitian pengembangan. Cocok dalam arti mengembangkan produk modul pelatihan yang dipakai sebagai bahan ajar dalam pelaksanaan pelatihan. Selain itu, alasan lain penggunaan model ini, karena lebih sederhana sampai pada langkah merevisi produk setelah dilakukan uji coba terbatas, serta mudah diaplikasikan dalam pelaksanaan penelitian yang dilakukan karena pada langkah merevisi produk hasil uji coba terbatas dapat dilakukan selama proses pelatihan berlangsung.

Untuk menghasilkan pengembangan modul pendidikan dan pelatihan yang berkualitas, pada langkah uji coba lapangan terbatas akan dilakukan evaluasi menggunakan Evaluasi Model Kirkpatrick (2004: 489-490). dengan empat level atau tingkatan.

evaluasi. Empat level evalusi tersebut terdiri dari: yaitu: reaksi, pembelajaran, perilaku dan hasil.

(19)

35 1) Evauasi Reaksi

Level ini mengevaluasi reaksi peserta pelatihan terhadap pelaksanaan pelatihan. Pada bagian ini yang diukur adalah kepuasan peserta sehingga evaluasi ini dapat dijadikan tolak ukur keefektifan program diklat. Program diklat tergolong efektif bila dalam proses diklat peserta merasa senang dan puas ditandai dengan peserta termotivasi untuk belajar dan berlatih. Sedang program diklat tergolong tidak efektif jika dalam proses diklat peserta merasa tidak senang mengikuti proses diklat sehingga peserta tidak termotivasi untuk melanjutkan pelatihan. Reaksi positif diberikan oleh setiap orang dengan belajar lebih baik jika berada dalam lingkungan belajar yang baik pula Dari uraian di atas maka indikator evaluasi reaksi sebagai berikut:

a. Pelatih, yaitu pelatih ahli dan sesuai dengan bidang materi, pelatih mampu dan trampil berkomunikasi terutama kemampuan melibatkan peserta diklat.

b. Fasilitas Diklat, yaitu ruang diklat, suhu ruangan yang diatur, alat dan bahan yang digunakan.

c. Jadwal Diklat, yaitu ketepatan waktu selama diklat.

(20)

36

d. Alat diklat, yaitu pemakaian alat atau media yang tepat dengan materi yang akan disampaikan serta dapat mendukung pelatih berkomunikasi dengan peserta dalam memberikan materi pelatihan.

e. Materi diklat, yaitu materi sesuai dengan tema dan tujuan diklat.

f. Makanan, yaitu berkaitan dengan jumlah dan kualitas makanan yang disediakan selama diklat.

g. Pemberian latihan atau tugas.

h. Studi Kasus, yaitu pemberian studi kasus untuk diselesaikan oleh peserta diklat.

i. Handouts, yaitu pemberian sejumlah handouts.

2) Evaluasi pembelajaran

Pada level ini, pelatih mengajarkan tiga hal, yaitu pengetahuan, sikap maupun ketrampilan. Yang menjadi ukuran keberhasilan program diklat jika pada level pembelajaran peserta diklat telah berubah dalam hal peningkatan pengetahuan, sikapnya berubah, dan ketrampilannya meningkat. Jika pada level pembelajaran tidak menunjukkan adanya perubahan pengetahuan,

(21)

37

sikap dan ketrampilan, maka program diklat dapat dikatakan gagal.

3) Evaluasi Perilaku

Bagian ini mengevaluasi perilaku, berbeda dengan penilaian sikap, penekanan perilaku ditunjukkan dengan perilaku yang berbeda saat kembali di tempat kerja. Perilaku apa yang berubah saat diklat telah berakhir, serta sejauhmana hasil diklat diterapkan di tempat kerja masing-masing peserta berada di tempat tugasnya, penilaian diberikan di luar pelatihan.

4) Evaluasi hasil

Pada bagian ini, peserta yang mengikuti program diklat, setelah dievaluasi mendapatkan hasil akhir yang meningkat atau tidak, memenuhi standar atau kurang.

Dari 4 langkah model evaluasi Kirkpatrick yang akan diterapkan dalam penelian pengembangan modul pendidikan dan pelatihan model pembelajaran BCCT bagi Guru dan Kepala TK Yayasan Pesat sampai langkah ke 2 yaitu 1) reaction (reaksi), yang diukur kepuasan peserta terhadap program yang diikuti, 2) learning (pembelajaran), yang dievaluasi adalah materi, hasil

(22)

38

belajar, jenis dan kualitas tes yang digunakan, dengan tujuan untuk menguji kualitas modul pelatihan dalam penelitian pengembangan yang akan dilakukan serta mengetahui sejauh mana penyelenggaraan pelatihan yang selama ini dilaksanakan, kemudian dilanjutkan dengan merevisi produk hasil uji coba lapangan terbatas dalam model penelitian pengembangan.

2.1.5 Modul Diklat

Suradji (2009) menyatakan bahan ajar yang dapat membantu pelaksanaan diklat, biasanya digunakan pada waktu proses diklat sedang berlangsung, yaitu sebagai bahan ajar dapat berupa buku pegangan untuk pelatih dan juga peserta diklat yang susunannya secara teratur dan sitematis, dan di dalamnya terdapat tujuan dan bahan diklat yang diuraikan, serta terdapat latihan dan penilaian terhadap peserta tentang bahan diklat yang dimaksud merupakan pengertian modul.

Pengertian yang lain dari Wiyanto (2006), modul diklat juga merupakan bahan yang diperlukan sebagai sarana pembelajaran yang membantu mempermudah bagi peserta diklat

(23)

39

mengerti tentang bahan yang dipelajari dan menjadi acuan pelatih dalam penyampaian bahan diklat.

Sejalan dengan pengertian di atas modul pelatihan merupakan materi yang dipakai selama diklat berlangsung sebagai materi yang dipelajari untuk meningkatkan profesionalitas kerja. Modul diklat disebut juga dengan istilah training resources atau bahan yang dipakai selama diklat berlangsung. Sedangkan bahan diklat meliputi : 1) Bahan ajar diklat biasa disebut buku ajar, 2) Silabus dan Skenario pelatihan 3)Transparansi, 4) Modul Diklat, 5) Alat evaluasi (Peraturan Kepala Lembaga Administrasi Negara Nomor 1 Tahun 2006).

Pengertian lain yaitu, bahan ajar yang digunakan selama diklat berlangsung. Tujuan penggunaan modul diklat untuk meningkatkan profesionalitas tertentu, serta mempelajari materi dengan lebih mudah dengan karakteristik tertentu. Rahdiyanta (2017: 2-3) menyatakan bahwa penyusunan modul ditujukan untuk peningkatan kemauan belajar dari peserta dan memiliki ciri khusus yang dibutuhkan sebagai modul, yaitu: pertama, dapat mendorong peserta untuk belajar mandiri, cirinya: adanya tujuan

(24)

40

yang akan dicapai, adanya bahan pembelajaran yang diurakan dalam setiap unit, adanya contoh-contoh yang diberikan, dilengkapi dengan soal latihan, tugas mandiri, sesuai dengan kontek dari peserta, bahasa mudah dimengeri, adanya rangkuman, adanya alat evaluasi terhadap tugas mandiri, adanya umpan balik untuk menilai peserta, dan adanya rujukan materi.

Kedua, konten materi lengkap sesuai kebutuhan, agar peserta pelatihan dapat mempelajari materi secara utuh, sehingga pencapaian kompetensi dasar dapat tercapai bagi peserta. Ketiga, modul merupakan bahan ajar yang dapat dipelajari secara mandiri tidak memerlukan bahan lain jika dipelajari atau pada saat menyelesaikan tugas yang diberikan pada modul itu.

Berikutnya keempat, cirinya dapat menyesuaikan dengan kemajuan pengetahuan dan teknologi serta dapat digunakan dalam waktu tertentu. Kelima mudah untuk dipakai karena penjelasan dan uraiannya jelas bagi pembacanya. Instruksinya jelas, mudah dipahami dan penggunaan bahasa mudah dimengerti serta sederhana.

(25)

41

Berdasarkan tujuan dan karakteristik penulisan modul maka dapat diartikan modul sama efektifnya dengan pembelajaran dengan tatap muka apabila penulisannya memperhatikan tujuan dan karakteristik modul tersebut. Modul hendaknya disajikan atau disusun secara interaktif seolah-olah penulis sedang mengajar secara langsung kepada pembaca mengenai suatu pokok bahasan melalui tulisan.

Modul diklat berdasarkan paparan tersebut merupakan bahan yang dapat membantu pelaksanaan diklat yang digunakan pada saat diklat berlangsung, dapat berupa buku pegangan untuk pelatih dan juga peserta diklat yang disusun secara teratur dan sistimatis, dan di dalamnya terdapat tujuan dan bahan diklat yang diuraikan, serta terdapat latihan dan penilaian terhadap peserta tentang bahan diklat yang dimaksud dan mempermudah peserta diklat memahami materi diklat.

2.1.6 Model Pembelajaran BCCT

Model pembelajaran ini merupakan pembelajaran untuk anak usia dini yang oleh pemerintah dalam hal ini dinas pendidikan telah digunakan sejak tahun 2014. Menurut Latif, dkk

(26)

42

(2013:124-137) berkaitan dengan penerapan model pembelajaran ini, tidak terlepas dari Dr. Pamela Phelp seorang berkebangsaan Amerika serikat, yang telah mengembangkan pembelajaran ini, bahkan menjadi konsultan penerapan di Indonesia.

Pembelajaran BCCT menurut Latif, dkk (2013:124-137) adalah model pembelajaran yang biasa dikenal dengan pembelajaran sentra yang berasal dari kata “centre” yang artinya pusat. Kegiatan pembelajaran disusun oleh guru sebelumnya, serta dikelola dengan teratur, tersusun rapi, serta memiliki arah yang jelas.. dengan tujuan kemampuan analisis anak dapat dibangun serta mampu menyimpulkan dari apa yang dipelajari.

Makna dari sentra adalah titik pusat kegiatan main anak yang disiapkan dalam ruangan khusus yang biasa disebut sentra.

Pangastuti (2014:32) menyatakan bahwa pembelajaran yang pendekatannya berpusat pada anak merupakan model pembelajaran sentra, sedangkan kegiatan pembelajarannya dipusatkan pada bermain dalam bentuk lingkaran (circle time).

Pembelajaran di sentra memilki kekhususan utama pada pemberian pijakan/bantuan (scaffolding) supaya konsep anak

(27)

43

tentang peraturan, gagasan, dan pengetahuan berdasarkan ragam main (densitas) serta intensitasnya sehingga permainan dapat terbentuk. Model pembelajaran sentra memiliki kesamaan dengan model pembelajaran Beyond Centers and Circle Time (BCCT).

Mutiah (2009:133) juga menyampaikan pendapatnya bahwa model pembelajaran sentra menggunakan pembelajaran dalam bentuk lingkaran serta sentra permainan. Bentuk melingkar artinya pada waktu guru memberikan pijakan dalam posisi duduk bersama dengan anak dakam bentuk lingkaran, dan dilaksanakan sebelum dan sesudah bermain. Sedangkan sentra merupakan tempat anak-anak melakukan permainannya lengkap dengan alat main yang telah disiapkan sebagai pijakan lingkungan dan area bermain ini sebagai sarana mengembangkan seluruh aspek perkembangan anak.

Model pembelajaran BCCT merupakan model pembelajaran untuk Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) dengan pendekatan difokuskan pada anak dengan pembelajaran berpusat pada sentra main dalam bentuk lingkaran. Saat anak di sentra main dalam bentuk lingkaran diterapkan sarana bermain yang

(28)

44

disebut pijakan, terdiri: lingkungan, sebelum, pada saat, dan setelah bermain. Tujuan pijakan main untuk mendukung perkembangan anak serta meningkatkan tahap perkembangan anak mencapai perkembangan yang lebih tinggi melalui model pembelajaran BCCT dengan mengembangkan berbagai sentra.

Sejalan dengan pendapat Phelps (2004:1), menyatakan bahwa ada bermacam-macam sentra main yang dijelaskan sebagai berikut: 1) persiapan, pada bagian ini, anak diberi kesempatan untuk berkembang pada bagian kognitif, gerak halus, dan mengenal huruf yang dibimbing oleh guru, bagian ini difokuskan untuk belajar tentang membaca, menulis, dan menghitung. Pada bagian ini anak diberi kesempatan untuk mencari urutan dasar, belajar dengan pola, menggolongkan, mengelompokkan alat dan bahan kerja; 2) balok, pada bagian ini anak berkesempatan untuk mampu berfikir sitematis dengan alat membangun struktur; 3) sentra bermain peran besar, anak berkesempatan mengembangkan pengenalan akan lingkungan sekitarnya, kecerdasan berbahasa meningkat, trampil memahami sudut pandang, dan empati; 4) sentra bermain peran kecil, anak

(29)

45

belajar melalui permainan berukuran kecil agar dapat berkembang pengetahuannya, misal: bermain wayang, boneka untuk diperankan; 5) sentra bahan alam, anak berkesempatan berhubungan langsung dengan bermacam-macam bahan agar sensorismotor, pengendalian diri, dan pengetahuan berkembang;

6) sentra seni, anak belajar berhubungan dengan menggunakan berbagai peralatan dan bahan yang berkaitan dengan seni, misalnya : bahan perekat, gunting, pensil warna, berbagai warna cat, tanah liat, playdough; dan 7) sentra iman dan taqwa (agama), anak berkesempatan belajar nilai-nilai keimanan dan ketaqwaan yang dibiasakan sehari-hari.

Beberapa sentra main yang dikemukakan Mutiah (2010:134-136), sebagai berikut; bahan alam dan sains, balok, bermain peran, agama, musik, dan persiapan.. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Martuti (2009:88), mengemukakan macam-macam sentra pembelajaran BCCT yaitu : main peran, balok, ibadah, persiapan, seni, olah tubuh, dan bahan alam.

Model pembelajaran berdasarkan pendapat di atas yaitu, pembelajaran dengan berpusat pada anak dalam sentra.

(30)

46

Pembelajaran berupaya menggunakan sarana untuk mengembangkan potensi anak dalam proses pertumbuhannya, untuk itu diperlukan tahapan-tahapan dalam proses pembelajarannya.

Berkaitan dengan pijakan bermain, Mulyasa (2012:148) menyatakan, model pembelajaran berfokus pada empat pijakan dengan tujuan tercapainya kualitas pengalaman anak dalam bermain. Sejalan dengan yang dikemukakan Martuti (dalam Suyadi 2010:16), empat pijakan dalam bermain anak.

Pertama pijakan lingkungan, bagian ini dilakukan oleh pendidik sebelum peserta didik datang ke sekolah. Arena main sudah disiapkan oleh guru untuk digunakan dalam belajar. Anak disiapkan dalam kelompok sesuai taraf perkembangan yang sama.

Langkah-langkah yang dilakukan, yaitu: sebelum anak datang pendidik telah siap dengan perlengkapan main yang diperlukan untuk pembelajaran sesuai dengan kelompok usia anak, kemudian guru menyambut kedatangan anak, anak diberi kesempatan bermain bebas sambil menunggu teman yang lain, guru mengajak

(31)

47

anak ke arena bermain dengan duduk melingkar dan membuka dengan salam, doa serta penjelasan,

Bagian ke dua pijakan sebelum bermain, dimulai dengan penjelasan cara permainan yang akan dilakukan, dengan contoh yang diberikan guru, semua alat permainan yang telah disediakan ditunjukkan dan diperkenalkan pada anak, guru memberikan aturan main pada anak, dan setiap anak memilih teman main dan mengambil alat main yang diperlukan.

Bagian ke tiga pijakan saat bermain, dilakukan pendidik dengan membimbing peserta didik untuk melakukan permainan berdasarkan aturan yang disampaikan, setelah itu hasil karya anak selama bermain dikumpulkan oleh guru, kemudian guru mengamati pencapaian tingkat perkembangan anak dalam kegiatan bermain, dan guru memberitahukan permainan lima menit lagi akan selesai.

Bagian ke empat pijakan setelah bermain, dengan memberitahukan bahwa kegiatan bermain akan berakhir dan segera merapikan tempat bermain serta peralatan dan bahan main, guru dapat membantu anak dalam membereskan alat permainan

(32)

48

anak, dan guru mengajak anak untuk kembali duduk melingkar dan bertanya tentang pengalaman yang didapat oleh anak selama bermain. Kemudian anak dipersilahkan makan bekal, dan guru menyampaikan rencana pembelajaran esok hari dan mengingatkan anak untuk mengulang permainan tadi di rumah, kemudian diakhiri berdoa dan pulang.

Proses pembelajaran pada anak yang dilaksanakan dalam sentra main dan proses belajarnya membentuk lingkaran merupakan model pembelajaran BCCT. Proses pelaksanaan pembelajaran dengan menggunakan 4 pijakan yang berfungsi sebagai sarana untuk anak belajar, sehingga prinsip-prisip dalam pembelajaran dapat terwujud.

Prinsip-prinsip dasar model pembelajaran ini menurut Martuti (2009: 84), yaitu: 1) pembelajaran didasarkan pada teori dan pengalaman anak; 2) semua permainan yang digunakan untuk memacu perkembangan kecerdasan anak berdasarkan kecerdasan majemuk; 3) arena bermain sentra dan pijakan dapat merangsang motorik dan kognitif anak; 4) proses pembelajaran dalam permainan menggunakan standar operasional yang dibakukan.

(33)

49

Prinsip-prinsip yang sama disampaikan Asmawati (2014:

54), dengan memperhatikan, yaitu : 1) karakter anak; 2) konsep pengembangan keahlian di dalam sentra; 3) rumusan tujuan dan kegunaan sentra dalam pembelajaran dengan penentuan tempat yang dibutuhkan; 4) pendidik sebagai pemberi sarana dalam pembelajaran; 5) yang bermain di setiap sentra dibatasi jumlahnya; 6) peserta didik didorong partisipasi secara aktif dalam pembelajaran; 7) penambahan mainan yang baru dalam sentra-sentra sangat disarankan.

Uraian prinsip-prinsip model pembelajaran BCCT merupakan suatu rancangan proses kegiatan belajar yang berpusat pada anak yang dilakukan dalam sentra dan pijakan main serta pembelajarannya dalam bentuk lingkaran. Tujuam pembelajarannya mengembangkan motorik dan kognitif anak, sedamg guru berperan sebagai fasilitator.

Model pembelajaran BCCT yang akan diterapkan berpusat pada anak dalam pembelajaran sentra dan lingkaran untuk mengembangkan dan meningkatkan kemampuan anak dengan diorganisir oleh Guru. Untuk itu model pembelajaran BCCT akan

(34)

50

diterapkan dalam program pelatihan bagi Guru dan Kepala TK Yayasan dengan pengembangan modul pendidikan dan pelatihan.

Harapannya dapat meningkatkan kompetensi Guru dan Kepala TK Yayasan Pesat khususnya dalam penguasaan model pembelajaran BCCT. Model ini dipilih dengan alasan lebih tepat untuk diterapkan di TK Yayasan Pesat karena model pembelajaran ini berupaya meningkatkan perkembangan anak secara seimbang.

2.2. Kajian Penelitian Yang Relevan.

Untuk menghasilkan rekomendasi dari penelitian- penelitian yang telah dilakukan terlebih dahulu maka dilakukan kajian terhadap karya-karya penelitian terdahulu dengan maksud memperoleh informasi tentang hasil penelitian yang dapat menjadi landasan teori khususnya yang berkaitan dengan judul penelitian serta menemukan teori secara ilmiah dalam setiap karya penelitian yang terlebih dahulu sudah dilakukan. Peneliti akan mendeskripsikan adanya keterkaitan dengan penelitian yang lebih dahulu dilakukan.

(35)

51

Pada penelitian P, Satya & Reddemma (2017), mengembangkan modul pelatihan pembelajaran berbasis pemecahan masalah pada pendidikan keperawatan dengan hasil penelitian meunjukkan modul PBM sangat efektif dan praktis dalam hal kontennya, dan kemampuan peserta training meningkat. Ismail, dkk (2009) mengembangkan modul pelatihan pendidikan guru berbasis kompetensi (CBTE) dalam usaha meningkatkan kemampuan pengetahuan untuk ruang sumber daya guru di Yordania, hasil penelitiannya modul yang dihasilkan sangat baik, terbukti kelompok eksperimen menunjukkan nilai test sangat baik, terbukti kemampuan pengetahuan peserta meningkat.

Pada penelitian Perdana, dkk (2017), mengembangkan e- modul dengan menggabungkan ketrampilan proses sain dan bahan gerak dinamis dalam rangka peningkatan ketranpilan berfikir kritis dan peningkatan motivasi belajar siswa SMA, hasilnya pengembangan modul ini dengan pembelajaran keterampilan sains, dihasilkan kualitas modul sangat baik, terbukti dapat meningkatkan motivasi belajar siswa. Sadimin

(36)

52

(2017) dalam penelitaian Developing eveloping an E-Module- Based Classroom Action Research Training Modul, hasil penelitian tindakan kelas berbasis E-Module sangat efektif karena dapat memfasilitasi guru untuk mengimplementasikan dan menulis laporan penelitian KPM secara mandiri dan mudah.

Penelitian Sumarah (2017:38-47), mengembangkan sebuah modul pelatihan dengan model pembelajaran Van Hiele dalam dengan konteks pada pendidikan karakter bagi Guru SD, hasilnya modul sangat efektif membantu para guru memahami model pembelajaran Van Hiele. Sedangkan Sari (2017), mengembangkan sebuah modul pelatihan berbasis konseling teman sebaya bagi anggota PMR di SMP Negeri I Banjarmasin, hasilnya modul sudah baik, tapi perlu dilakukan beberapa perbaikan, dalam uji coba pemakaian hasilnya bagus dan menarik bagi siswa SMP.

Sedangkan Wulandari (2018: 177-189), mengembangkan sebuah modul pelatihan Modul Pelatihan konten pengetahuan pedagogis (PCK) untuk peningkatan kemampuan professional dan kemampuan pedagogik bagi Guru Matematika SMP, hasilnya

(37)

53

modul pelatihan PCK layak untuk digunakan dalam pelatihan.

Bano (2018 : 139-151) mengembangkan sebuah modul pelatihan dalam mengelola penilaian autentik bagi Guru IPA SMP, hasil penelitian menunjukkan efektivitas modul pelatihan ditunjukkan dengan respons peserta pelatihan kategori baik dan respons pengamat pendidikan kategori baik juga. Sumini (2018) mengembangkan sebuah modul pekatihan dalam rangka peningkatan mutu hasil pelatihan di Balai Latihan Kerja, dengan hasil pengembangan modul yang dihasilkan sangat efektif meningkatkan kualitas hasil pelatihan BLK, dengan mutu modul sangat baik.

Sedangkan Rindaningsih (2012: 213-223) mengembangkan sebuah model untuk manajemen strategis berdasar BCCT bagi PAUD, dengan hasil pengembangan model ini dapat mengatasi permasalahan yang beragam di sekolah dan berperannya Kepala Sekolah secara maksimal dengan dijalankannya strategi sekolah.

Persamaan dari penelitian-penelitian terdahulu yaitu meneliti tentang pengembangan modul dalam sebuah pelatihan, dengan ditunjukkan kualitas sedang sampai baik dari produk

(38)

54

modul yang dihasilkan. Khusus pada penelitian yang dilakukan Sumarah (2017:38-47) sama-sama menggunakan model pengembangan yang sama yaitu Sugioyono dengan 6 langkah penelitian pengembangan sampai langkah uji coba produk, sedang penelitian Wulandari (2018: 177-189), juga menggunakan model penelitian pengembangan Sugioyono dengan 7 langkah penelitian pengembangan sampai langkah revisi produk serta adanya kesamaan metode penelitian yang digunakan yaitu metode campuran. Sedangkan penelitian-penelitian lain yang pernah dilakukan mempunyai perbedaan dengan model diklat pembelajaran BCCT terletak pada variabel model pembelajaran BCCT yang produknya akan diuji cobakan pada diklat yang akan dilaksanakan oleh Yayasan PESAT.

Perbedaan lain pada subyek yang diteliti, pada penilitian ini ditujukan kepada Kepala TK dan Guru TK Yayasan PESAT, sedangkan penelitian lain bervariasi siswa, guru, perawat, dan peserta balai latihan kerja. Demikian juga model penelitian pengembangan yang digunakan berbeda-beda model Thiagarajan 4D dengan 4 langkah penelitian pengembangan. Jadi berdasarkan

(39)

55

analisa jurnal penelitian terdahlu penelitian pengembangan modul diklat model pembelajaran BCCT masih belum ada yang mengembangkannya kalau pun ada hannya mengevaluasi model pembelajaran atau implementasi model pembelajaran saja serta pengembangan model manajemen strategik berbasis BCCT, bukan pada pengembangan modul diklat. Untuk itu penelitian ini akan dilakukan dengan judul : Pengembangan Modul Program Pendidikan dan Pelatihan Model Pembelajaran BCCT bagi Guru dan Kepala TK Yayasan PESAT.

2.3. Kerangka Pikir

Berdasarkan studi awal yang dilakukan terhadap 4 orang nara sumber, yaitu 1 Supervisor TK, 1 Kepala TK dan 2 orang Guru dalam pendidikan dan pelatihan model pembelajaran BCCT yang telah dilakukan olah Yayasan Pesat, ternyata masih belum maksimal dalam penerapannya, terbukti program ini belum sepenuhnya diterapkan di setiap TK, hanya dua TK saja yang ada di wilayah Jawa yang sudah menerapkan model pembelajaran ini, sedang di tempat yang lain belum mengaplikasikannya walaupun Guru dan Kepala TK sudah mengikuti pelatihan yang diadakan.

(40)

56

Banyak kendala yang dihadapi diantaranya: 1) tidak adanya buku/

sumber belajar yang dimiliki Guru dan Kepala TK, 2) materi disampaikan dalam bentuk power point yang ditayangkan melaluai LCD, 3) peserta pelatihan hanya berkesempatan 1 kali untuk mengikuti pelatihan, sedang dalam penerapan tidak adanya mentor atau pendamping, 4) keterbatasan pelatih yang hanya 1 orang dalam mendampingi Guru dan Kepala TK baik selama pelatihan berlangsung maupun setelah selesai pelatihan

Temuan tersebut, mendorong peneliti melakukan upaya untuk membuat dan mengembangkan sebuah Modul pelatihan model pembelajaran BCCT, untuk menjawab kebutuhan. Modul pelatihan dirancang dengan model pengembangan Sugiyono bertujuan agar Guru dan Kepala TK Yayasan Pesat dapat melakukan pelatihan atau pembelajaran secara mandiri. Langkah- langkah dalam penelitian pengembangan dengan model Sugiyono, sebagai berikut: dengan menemukan potensi dan masalah, pengumpulan data melalui studi literatur dan pengumpulan informasi, perancangan desain produk modul dengan menggabungkan model pengembangan ADDIE, validasi

(41)

57

ahli dan calon pengguna, merevisi perancangan desain, membuat produk, uji coba terbatas, merevisi produk hasil uji coba terbatas, sehingga menghasilkan produk modul pelatihan model pembelajaran BCCT bagi guru dan kepala TK Yayasan Pesat.

Gambar 2.2.

Kerangka Pikir Pengembangan Modul Program Pendidikan dan Pelatihan Model Pembelajaran BCCT

bagi Guru dan Kepala TK Yayasan Pesat Permasalahan : Pelatihan yang selama ini

dilakukan kurang efektif, karena tidak adanya modul dalam pelatihan, tidak adanya pendampingan, dan jumlah pelatih 1 orang.

Model pengembangan Sugiyono sampai tahap revisi produk hasil uji coba terbatas:

1. Potensi dan masalah 2. Pengumpulan data 3. Rancangan produk 4. Validasi desain 5. Revisi Desain 6. Pembuatan Produk 7. Uji coba terbatas 8. Revisi produk

Kompetensi Guru dan Kepala TK dalam

pengembangan model pembelajaran BCCT meningkat Tujuan pengembangan modul pendidikan dan pelatihan model pembelajaran BCCT Dilakukan upaya

pengembangan modul pendidikan dan pelatiham model pembelajaran BCCT

Rancangan produk Menggunakan Model ADDIE dengan 5 langkah:

1. Analisis 2. Perencanaan 3. Pengembangan 4. Implementasi 5. Evaluasi

Referensi

Dokumen terkait

Sistem pengendalian intern dimaksud adalah suatu proses yang intergral pada tindakan dan kegiatan yang dilakukan secara terus menerus oleh pimpinan dan seluruh pegawai

proses perbaikan yang terjadi secara terus menerus untuk memperbaiki cara kerja, meningkatkan mutu, dan produktivitas output dengan cara menanamkan sikap disiplin terhadap

Menurut Hamalik yang dikutip oleh Pujirahayu (2008:17) konsep sistem pendidikan dan pelatihan (diklat) adalah upaya untuk meningkatkan,mengembangkan dan

Menurut Wahab, Crampon dan Rothfield merumuskan pengertian pemasaran pariwisata sebagai berikut: Pemasaran Pariwista adalah suatu proses manajemen yang dilakukan

Treatment merupakan upaya untuk memberikan bantuan berupa bimbingan sosial terhadap individu dan kelompok sesuai rencana yang ada. Evaluasi secara terus-menerus

Mengirimkan guru ke Balai pendidikan dan pelatihan (Diklat) keagamaan yang ada di setiap provinsi yang bertujuan untuk 1) meningkatkan pengetahuan, keahlian, sikap

Dari pengertian belajar di atas saling melengkapi tentang hasil dari proses belajar. Pengertian pertama menyebut hasil belajar disebut prestasi belajar, sedangkan

Dari pendapat para ahli diatas dapat disimpulkan bahwa Pendidikan/Pelatihan Diklat merupakan suatu program yang diharapkan dapat memberikan rangsangan/stimulus kepada seseorang untuk