• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR. A. Kajian Pustaka

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR. A. Kajian Pustaka"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB II

KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR A. Kajian Pustaka

1. Hakikat Pragmatik

Membicarakan ilmu pragmatik adalah berbicara bagaimana proses tuturan dapat dikaitkan dengan situasi yang melingkupinya. Interaksi yang terjadi antara penutur dengan lawan tutur haruslah memperhatikan konteks situasi tutur, agar pesan yang disampaikan dapat diterima oleh lawan tuturnya. Makna diartikan oleh pemikiran yang subjekif sehingga maksud penutur kepada lawan tutur biasanya akan cenderung berbeda jika lawan tuturnya gagal dalam memaknai maksud tuturan (Horn & Ward, 2006: 550).

Dibuthkan usaha yang maksimal oleh penutur untuk menyampaikan pesan dan mitra tutur diharapkan dapat menyimak dan memperhatikan maksud tersebut. Jika hal itu tidak diperhatikan secara seksama, maka akan berpotensi terjadinya kesalahan interpretasi dalam proses komunikasi. Hal tersebut dapat terjadi karena lawan tutur gagal memahami konteks tuturan sehingga tuturan tidak bisa dipahami secara utuh.

Pemahaman penutur dan mitra tutur terkait konteks sangatlah penting, karena konteks sangat dibutuhkan dalam pembelajaran pragmatik. Dalam kegiatan komunikasi terdapat aturan agar penutur dan lawan tutur dapat bekerja sama untuk mencipatakan proses komunikasi yang baik sehingga tujuannya dapat tercapai secara utuh (Rohmadi, 2014; Aprilliani, Rohmadi,

& Anindyarini, 2019). Dalam pembelajaran pragmatik, usaha untuk memahami tuturan sangatlah diperhatikan, maka tak heran jika ilmu pragmatik mendorong penutur dan mitra tutur untuk memahami makna tekstual dan makna kontekstual. Artinya, penggunaan konteks dalam memahami bahasa sangatlah dibutuhkan. Banyaknya kegagalan yang dialami mitra tutur saat kegiatan komunikasi disebabkan karena lemahnya pemahaman mitra tutur dalam memahami konteks tuturan. Konteks memiliki tiga aspek. Pertama, konteks dapat dilihat dari siapa yang

(2)

berbicara. Kedua, konteks dapat dilihat dari tempat komunikasi itu dilakukan. Tiga, konteks dapat dilihat dari waktu. Ketiga aspek itu harus kita pahami dengan baik, karena konteks memiliki peranan kuat dalam menentukan maksud penutur ketika berinteraksi dengan lawan tutur (Grundy, 1995:15; Rohmadi, 2010:2).

Menurut Grundy (1995:4) pragmatik adalah ilmu yang menjelaskan bagaimana kita menghasilkan serta memahami bahasa yang dilakukan oleh manusia dalam berbagai aktivitasnya. Terkait dengan pragmatik, Cruse (2000:16) memandang bahwa ilmu peragmatik berkaitan dengan aspek informasi yang ditunjukkan secara luas dengan penggunaan bahasa, seperti aspek bahasa yang tidak dikodekan oleh konvensi, tetapi dapat diterima secara umum dalam bentuk-bentuk lingustik yang digunakan. Aspek kedua adalah aspek yang muncul secara alamiah dan tergantung pada makna yang dikodekan secara konvensional dengan melibatkan konteks situasi tutur.

Selain itu, menurut O’Keeffe, Clancy, & Adolphs (2011:3) pragmatik dapat didefinisikan sebagai studi tentang hubungan antara konteks dan makna.

Kedual hal tersebut sebagai ciri-ciri bahasa otentik yang digunakan untuk memecahkan masalah mengenai ilmu bahasa dalam pembelajaran pragmatik.

Disamping itu, Searle (1976:16) menjelaskan bahwa studi tentang makna kalimat pada prinsipnya berbeda dari studi tindak tutur. Pengertian mengenai makna kalimat dan tindak tutur bukanlah dua studi independen, tetapi satu studi dari dua sudut pandang yang berbeda. Makna akan melihat bentuk kalimat itu secara mikro, sedangkan tindak tutur akan melihat kalimat dari sudut pandang makro. Dengan demikian proses komunikasi dapat dilihat dari dua sudut pandang, yaitu makna yang sebenrnya dan makna yang melibatkan konteks situasi tutur. Ilmu pragmatik termasuk ilmu yang mempunyai cakupan yang luas karena harus menguasai kedua ilmu yang ada di dalam lingusitik. Dalam linguistik, ilmu bahasa dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu linguistik struktural dan linguistik fungsional.

Pertama, linguistik struktural kajiannya difokuskan pada fonologi,

(3)

morfologi, sintaksis, wacana, dan semantik. Kedua, linguistik fungsional kajiannya difokuskan pada pragmatik, sosiolinguistik, dialektologi, psikopragmatik, neurolinguistik, geografi dialek, dan berbagai model linguistik terapan lainnya (Rohmadi, 2016).

Sekait dengan itu, Musika, Agustina, & Syahrul (2019:90) menyatakan bahwa pragmatik adalah ilmu yang melihat bahasa dari segi bentuk, makna, dan maksud dengan mengaitkannya pada aktivitas penutur.

Keberagaman cara berkomunikasi akhirnya menimbulkan variasi bahasa yang digunakan oleh pengguana bahasa. Persoalan ini memaksa penutur dan mitra tutur untuk melihat segala aspek yang dapat mambantu memahami pesan yang telah disampaikan. Aspek yang dimaksud adalah kalimat, ujaran, kotek, dan konteks. Seluruh aspak tersebut akan dibahas oleh ilmu pragmatik. Ilmu pragmatik memiliki tujuan untuk memahami berbagai kegiatan tindak tutur sehingga mitra tutur mampu memahami tuturan yang disampaikan oleh penutur. Ilmu pragmatik akan melihat bentuk tuturan dengan melibatkan situasi sosial yang terjadi sehingga makna dan maksud tuturan dapat dipahami dengan komprehensif.

Secara umum dapat dipahami bahwa ilmu pragmatik adalah disiplin ilmu yang mengkaji penggunaan bahasa yang dilakukan oleh penutur kepada lawan tutur dengan melibatkan konteks situasi tutur. Penutur dan lawan tutur harus mampu menganalisis kalimat yang menunjukkan tanda- tanda untuk ditafsirkan sesuai konteks isi pembahasan yang sedang dibicarakan.

2. Pengertian Tindak Tutur

John Langshaw Austin (1962) adalah orang yang pertama kali menggagas teori tindak tutur dalam sebuah buku yang dikarangnya. Judul buku tersebut adalah “How to do things with words”. Austin merupakan salah satu ilmuan dari sebuah kelompok yang bernama Oxford School Of Ordinary Language Philosophy. Ia dianggap sebagai orang yang ahli dibidang filsafat bahasa berkebangsaan Britania Raya. Berkat gagasannya

(4)

melalui teori tindak tutur, nama Austin poluler hingga saat ini karena hasil pemikirannya yang banyak digunakan oleh orang lain, khususnya dalam keilmu bahasa.

Masalahan komunikasi yang dibahas oleh manusia secara khusus ada di dalam ilmu bahasa. Salah satu maslahan dalam komunikasi adalah ketika mitra tutur atau lawan tuturnya tidak dapat melakukan kegiatan komunikasi dengan baik. Akhirnya lawan tutur tidak dapat memahami secara utuh pesan yang disampaikan oleh penutur. Untuk meminimalisir kegagalan dalam memahami makna tuturan, manusia harus dapat menghubungkan bahasa dengan situasi yang dialaminya. Dalam hal ini, ilmu bahasa di dalamnya akan membahas mengenai tindak tutur. Ilmu tersebut akan membantu penutur dan lawan tutur untuk memahami maksud atau tujuan tuturan tersebut. Selain itu, tindak tutur juga dapat memberikan umpan balik yang efektif ketika kegiatan komunikasi berlangsuung (Domaneschi, Passarelli,

& Chiorri, 2017; Pourmousavi, & Zenouzagh, 2020:5).

Tindak tutur atau tindakan yang dilakukan dalam pengucapan pada umumnya merupakan fungsi dari makna kalimat yang berarti sebuah kalimat dalam semua kasus atau kejadian (Searle, 1976:16). Dalam komunikasi lisan (tindak tutur), konteks sangat berpengaruh karena sebagai penafsir dari tuturan yang diujarkan seseorang. Fitriana (2015:49) mengungkapkan bahwa ketika kita menggunakan suatu bahasa maka kita harus memiliki keterampilan yang baik. Karena untuk mendapatkan maksud yang sesuai kita harus memahami konteks pada saat tuturan sedang berlangsung. Keunikan yang digunakan oleh penutur pada saat menyampaikan pesan sangatlah beragam sehingga tuturan akan bersifat variatif. Melanjutkan penjelasan di atas, Grundy (1995:92) menjelaskan bahwa tindak tutur tidak hanya menyampaikan sebuah makna yang bersifat konvensional. Tetapi makna yang ada dalam tuturan juga dapat disampaikan secara implisit (kontekstual).

Cummings (2007:13) menjelaskan bahwa tindak tutur yang mendasarkan pada konvensi sosial dapat memudahkan seseorang untuk

(5)

memahami komunikasi yang sedang dilakukan. Artinya kualitas penutur dan mitra tutur dalam mengungkapkan dan menerima informasi haruslah baik sehingga interaksi yang dilakukan tidak menimbulkan maksud yang rancu (ambigu). Garcia (2018) mengatakan bahwa ilmu tindak tutur secara otomatis terus disempurnakan serta diperlukan analisis mendalam atas tindak tutur yang bertujuan untuk melampaui penelusuran kata kerja tindak tutur dengan struktur linguistik tertentu.

Dalam kaitannya mengenai tindak tutur, kita mengawalinya dengan menjelaskan pembagian tindak ujar (tindak tutur) yang dikemukakan oleh John Langshaw Austin. Menurut Austin (1962:74) ada tiga jenis tindak tutur, yaitu tindak tutur lokusi (menagatakan sesuatu), tindak tutur ilokusi (mengatakan sesuatu dengan maksud tertentu), dan tindak tutur perlokusi (melakukan tindakan dengan mengatakan sesuatu). Untuk memahami tindak tutur lebih jauh, kita harus memahami terlebih dahulu ketiga jenis yang telah dijelaskan oleh Austin.

a. Tindak Lokusi

Lokusi merupakan tindak tutur yang bertujuan untuk menyampaikan berbagai macam informasi untuk diketahui oleh lawan tuturnya. Austin menjelaskan bahwa tindak lokusi digunakan oleh penutur untuk mengungkapkan sesuatu seperti, menanyakan, memberi informasi, mengkonfirmasi, dan tindakan lainnya (Austin, 1962:108). Tindakan lokusi adalah tindakan awal untuk melakukan tindakan ilokusi dan perlokusi. Tindak lokusi akan patuh terhadap kondisi kebenaran sehingga memerlukan penalaran dan referensi untuk membantu kita dalam memahaminya. Selain itu, Yule (2014:83-84) menjelaskan bahwa kegitan lokusi menjadi kegiatan yang paling dasar karena hanya memproduksi suatu ungkapan lingustik yang bermakna. Jika seseorang merasa kesulitan dalam membentuk suara dan kata secara sahih untuk menghasilkan tuturan yang bermakna, bisa jadi seseorang itu gagal menghasilkan tindakan lokusi.

(6)

Berbicara mengenai tindak lokusi adalah berbicara sejauh mana penutur mampu menggunakan bahasa dengan baik, serta diukur pula dari seberapa mudah mitra tutur untuk mengetahui arti dari sebuah tuturan tersebut. Tindakan atau tuturan lokusi adalah percakapan yang dilakukan sehari-hari oleh manusia yang memiliki makna sesuai dengan apa yang dibicarakan.

b. Tindak Ilokusi

Tindak ilokusi berbeda dengan tindak lokusi. Menurut Austin tindakan ilokusi tidak deskriptif dan tidak tunduk pada kondisi kebenaran, karena di dalam ilokusi ada pelaksanaan suatu tindakan dalam mengatakan sesuatu (Austin, 1962:99). Tindak tutur ini akan mengaitkan kepada pengaruh sosial yang dialami ketika proses komunikasi berlangsung. Tindak ilokusi ditampilkan melalui penekanan komunikatif suatu tuturan yang sedang dilakukan. Kita mungkin mengungkapkan tuturan, seperti membuat suatu pernyataan, tawaran, penjelasan atau maksud-maksud komunikatif lainnya, itu artinya tindakan ilokusi telah dilaksanakan (Yule, 2014:83-84). Tindak ilokusi merupakan suatu kegiatan komunikasi yang dilakukan antar pribadi untuk melakukan pengucapan dan penyimakkan pesan yang disampaikan.

Melihat penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa tindakan ilokusi adalah tindakan tuturan yang melihat bentuk bahasa dengan sudut pandang yang lain. Bentuk ilokusi yang baik adalah bentuk bahasa yang dapat dilihat dari suatu maksud dan fungsinya, seperti melihat pada waktu kejadian, kondisi penutur dan mitra tutur, dan tempat ketika aktivitas komunikasi dilakukan.

c. Tindak Perlokusi

Berbeda halnya dengan tindak lokusi dan ilokusi. Tindakan ini menjadi sebuah tindakan dari dampak tuturan yang telah dilakukan dan

(7)

menjadi kesepakatan umum yang telah menajdi konvensi masyarakat khusunya pada penutur dan mitra tutur. Gunarwan (1994:85) berpendapat bahwa tindak lokusioner dan ilokusioner sebagai tindakan (act), sedangkan tindak perlokusioner sebagai efek atau akibat "act".

Tindak perlokusioner merujuk pada efek atau akibat yang ditimbulkan oleh tuturan.

Tentu tidak mudah untuk menciptakan tuturan yang mempunyai fungsi, sehingga fungsi tersebut dapat dilakukan oleh mitra tutur.

Dengan demikian tujuan dari tindak perlokusi dapat perjalan dengan baik. Tindak perlokusi dapat dikatakan berhasil apabila tuturan tersebut mampu memberikan efek bagi mitra tutur untuk melakukan sesuatu (Yule, 2014:83-84). Kemudian Horn dan Ward (2006:465) menambahkan bahwa tindakan perlokusi dilakukan dengan maksud untuk menghasilkan efek lebih lanjut atau melakukan efek tertentu.

Tindakan perlokusi pada dasarnya adalah masalah mencoba membuat pendengarnya membentuk sikap korelatif.

Secara sederhana dapat didefinisikan bahwa tindakan perlokusi adalah tindakan tuturan yang dilakukan oleh penutur dalam bentuk (act) dengan tujuan untuk memberikan (effect) kepada lawan tutur.

Dengan efek tersebut maka tindak perlokusi dapat dikatakan berhasil dilakukan.

3. Klasifikasi Tindak Tutur

Kegiatan tindak tutur menjadi kegiatan yang penting dalam kajian pragmatik. Kajian bahasa yang tidak melibatkan analisisnya menggunakan tindak tutur dapat dikatakan bahwa kajian tersebut bukan termasuk ke dalam kajian pragmatik. Dalam kegiatan tuturan, penutur dan mitra tutur akan menafsirkan maksud yang berbeda-beda dengan menyesuaikan makna dan fungsi tindak tutur itu ketika digunakan. Austin (1962:150-163) kemudian membedakan jenis tuturan dengan mengacu pada daya ilokusinya, yaitu Verdictive, Exercitives, Commissives, Behabitives, dan Expositive. Pelbagai

(8)

macam fungsi tindak tutur ini mempunyai peran yang berbeda-beda dengan menyesuaikan kata kerja yang ada di dalam tindak tutur tersebut.

Jenis kelasifikasi yang telah disampaikan oleh Austin, akhirnya dikembangkan oleh Searle. Kesempatan Searle dalam mengembangkan ilmu tindak tutur sangtlah terbuka, karena Searle merupakan murid dari Austin sehingga pemahaman mengenai ilmu tindak tutur lebih mudah dipahami dan dikembangkan oleh Searle. Ia menjelaskan bahwa batasan kelima jenis tindak tutur tersebut masih rancu dan seolah saling tumpang tindih mengenai peran dan fungsinya, padahal dibedakannya jenis tindak tutur itu harapannya dapat mempermudah kita dalam mengklasifikasikan berbagai macam jenis tindak tutur yang ada dalam tindak ilokusi. Maka dari itu, Searle (1969:36) menggolongkan tindak tutur ke dalam lima macam bentuk tuturan yang masing-masing memiliki fungsi komunikasi tertentu, seperti bentuk asertif (assertives), deklarasi (declarations), direktif (directives), komisif (commissives), dan ekspresif (expressives).

Selanjutnya, Yule (2014:92-95) mengelompokkan fungsi tindak tutur menjadi lima jenis yang ditunjukkan oleh tindak tutur; deklarasi, direktif, komisif, representatif, ekspresif. Dari ketiga ahli di atas kita dapat mempelajari pelbagai jenis-jenis tindak tutur yang di kelasifikasikan secara berbeda-beda. Fungsi kelasifikasi ini setidaknya mampu menggambarkan bahwa dalam jenis tindak tutur memiliki makna dan fungsi yang beragam sehingga kita lebih mudah untuk memahami kegiatan komunikasi tersebut dengan fungsi dan tujuan yang jelas.

4. Kesantunan Berbahasa

Sebuah kesantunan atau kesopanan sangat dibutuhkan dalam kegitan komunikasi yang sedang dilakukan manusia. Kesopanan dapat secara sederhana didefinisikan sebagai kerangka norma komunikatif berkode yang

(9)

mewujudkan konvensionalitas sosial, dan ketidaksopanan sebagai perilaku transgressional (pelanggaran). Dalam hal ini masyarakat harus memperhatikan masalah kesopanan dengan serius untuk menjaga hubungan yang harmonis (Baider, Cislaru, & Claudel, 2020; Maros & Rosli, 2017).

Bukan hanya perilaku manusia yang dapat dilakukan dengan santun, tetapi dalam kegiatan tuturan kita juga harus berprilaku dengan santun. Dengan demikian, maka kesantunan dapat menjadi tolak ukur yang baik dalam melakukan berbagai aktivitas.

Brow & Levinson (1988:2) menjelaskan bahwa kesantunan merupakan sebuah protokol diplomatik formal yang dijadikan sebagai sebuah model yang memungkinkan terjadinya komunikasi antar pihak yang berpotensi agresif untuk menghilangkan perasaan marah tersebut. Upaya untuk menghilangkan rasa marah dalam diri seseorang merupakan sebuah usaha untuk meminimalisir ketidak sopanan yang berpotensi muncul. Pandangan itu pada akhirnya disusul oleh penjelasan oleh Grice. Dalam kesempatan itu, Grice (1990:26) menerangkan bahwa kesantunan berkaitan dengan kesesuaian implikatur percakapan dengan prinsip kerja sama. Buatlah kontribusi dalam percakapan yang dilakukan sesuai dengan apa yang diperlukan pada saat percakapan sedang berlangsung. Percakapan yang tidak perlu disampaikan pada saat komunikasi lebih baik dapat dihindari oleh penutur.

Acap kali mitra tutur merasa tidak nyaman mendengar penutur yang terlalu berlebihan dalam berkomunikasi dan kejadian itu jika terus dilakukan dapat berpotensi ke dalam perilaku ketidaksopanan. Lecch (2015:170) mengemukakan bahwa sebuah kegiatan sopan santun dapat digambarkan sebagai sebuah usaha untuk meminimalisir ketidaksantunan ketika proses komunikasi berlangsung. Upaya ini harus kita maknai dengan postif sehingga kita mampu mengukur sejauh mana harus bersikap ketika pembicaraan itu berlangsung.

Menurut Lakoff (1975:64-65) ada tiga kaidah yang harus dipatuhi di dalam kesantunan berbahasa. Kaidah tersebut adalah; (1) Kaidah

(10)

Keformalan (formality) “jangan memaksa dan bersikap angkuh”, (2) Kaidah Ketidaktegasan (Hesite nsy) "berilah pilihan kepada mitra tutur", dan (3) Kaidah Kesekawanan atau Persamaan (Equality or Cameraderie)

"berbuatlah seolah penutur dan lawan tutur itu sederajat atau sama". Dengan demikian, tuturan dapat tergolong santun apabila tidak menekan atau memaksa lawan tutur untuk melakukan apa yang kita inginkan.

Memberikan pilihan sebagai alternatif mitra tutur untuk menentukan keputusannya dalam merespon lawan tuturnya. Artinya komunikasi juga harus melihat lawan bicara yang dihadapi agar kita mampu menyesuaikan cara komunikasi apa yang akan dilakukan ketika berhadapan dengan orang lain.

Brown & Levinson (1978) (dalam Hermaji, 2019:83-84), membedakan muka atas muka positif dan negatif. Teori yang diungkapkan oleh Brown &

Levinson (1987) mengandung konsep skala kesantunan. Dalam konsep kesantunan dijelaskan bahwa penyelamatan muka merupakan perwujudan penghargaan seseorang kepada orang lain sebagai anggota masyarakat.

Yang dimaksud muka adalah citra diri yang harus diperhatikan partisipan (peserta tindak tutur) di dalam kegiatan komunikasi. Menurut Brown &

Lavinson (1987: 74-77) skala kesantunan mencakup tiga hal, yang biasa dikenal sebagai (skala jarak sosial), ketiga hal tersebut yaitu (1) skala hubungan penutur dan mitra tutur, (2) skala besar kecilnya tingkat yang dilihat berdasarkan kekuasaan (power rating), yaitu skala kesantunan yang berdasarkan kekuasaan atau jabatan dan (3) skala peringkat tuturan (skala posisi ucapan), yaitu skala yang dilihat berdasarkan tingkatan tuturan dalam bahasa.

Selanjutnya, Leech (2015:206-207) menjelaskan prinsip kesopanan terbagi menjadi enam maksim, yaitu; maksim kerendahan hati (Modesty Maxim), maksim kesepakatan (Agreement Maxim), maksim simpati (Sympatihy Maxim), maksim kearifan (Tact Maxim), maksim kedermawanan (Genrosity Maxim), dan maksim pujian (Approbation Maxim). Untuk mempermudah penjelasan yang dikemukakan oleh Leech

(11)

(2015) kita dapat melihat kesantunan dari 6 kategori. Berbeda halnya dengan kelasifikasi kesantunan yang dikemukakan oleh para ahli di atas, Leech mengembangkan teori kesantunan yang dapat dilihat dari berbagai aspek, seperti maksim kearifan, kederamawanan, pujian, kerendahan hati, kesepakatan, dan simpati.

Pada teori kesantunan berbahasa, tidak semua komunikasi dapat kita kategorikan santun. Banyak peraktik-peraktik ketidak santunan yang disebabkan oleh penutur dan mitra tutur. Hal tersebut harus kita evaluasi dan telusuri apa yang menjadi penyebab pelanggran itu terjadi. Yaqin dan Shanmuganathan (2018) mengatakan bahwa dalam perspektif ini memungkinkan kesopanan menjadi evaluasi yang dapat bervariasi antar individu, bahkan ketika mereka berasal dari kelompok sosial yang sama.

Kedekatan antara penutur dan mitra tutur tidak dapat kita pastikan bahwa mereka berbahasa dengan santun, justru banyak juga praktik ketidak santunan muncul dari kedekatan tersebut. Kesopanan juga dapat berfungsi sebagai pengontrol norma, karena beberapa tindakan yang dapat merusak hubungan sering sekali terjadi. Dalam membangun atau memulihkan tatanan moral maka dari itu tindakkan tersebut harus tetap dievaluatif (Kadar, 2017:9).

Belajar mengenai kesantunan berarti belajar menghargai seseorang.

Dengan begitu skiap saling menghargai satu sama lain dapat dilakukan secara kooperatif. Seorang pembelajar bahasa harus belajar bagaimana menggunakan strategi kesopanan yang berbeda ketika dihadapkan pada bahasa yang berbeda dari bahasa ibu mereka (Etae, Krish & Hussin 2016;

Maros & Rosli 2017).

5. Pemicu Gerakan Perempuan Pada Aksi Internasonal Womens Day Internasional Womens Day atau dikenal sebagai Hari Perempuan Internasonal sejak tahun 1977 telah ditetapkan oleh PBB (Perserikatan Bangsa-Bangs) untuk dirumuskan menjadi Hari Perempuan Internasional.

(12)

Setiap tanggal 08 Maret, Internasonal Womens Day diperingati oleh seluruh dunia. Pada tanggal itu pula, secara masif unjuk rasa dilakukan oleh perempuan Indonesia untuk memperingati Internasional Womens Day (IWD) 2020 di Jakarata. Salah satu yang melandasi para perempuan mengadakan unjuk rasa adalah untuk memperingati Internasional Womens Day 2020. Selain itu, para perempuan juga ingin merubah statusnya diruang publik atau diruang privat menjadi lebih terbuka. Menurut Holtgraves (2002) dengan bertambahnya jumlah perempuan dalam organisasi, terbukti adanya perubahan dalam berbagai aspek, seperti cara komunikasi, cara perilaku, dan gaya kerja perempuan yang lebih dinamis.

Menurut Giddens (1993:325) bentuk ketidakadilan yang diarahkan pada perempuan seolah ingin menggambarkan bahwa perempuan merupakan makluk yang lemah. Keadaan itu lah yang pada akhirnya melandasi perempuan berpikir secara kreatif, kritis, serta berbicara secara vocal mengenai kondisinya pada saat ini. Berbicara mengenai perempuan tidak akan terlepas dengan isu yang terus beredar belakangan ini, yaitu isu tentang kesetaraan gender. Isu tersebut selalu menjadi perdebatan yang sangat hangat. Gender merupakan pembedaan peran, prilaku, atribut, sifat, dan sikap yang tumbuh dan berkembag dalam masyarakat (Rahmawati, Clarissa, & Dewi, 2019:4). Peran laki-laki dan perempuan ditetapkan untuk saling melengkapi karena laki-laki dan perempuan saling berhubungan satu sama lain (Rorintulus, 2018:138).

Dalam permasalahan kesetaraan gender, perempuan meminta beberapa haknya untuk diperhatikan secara serius dan penuh perhatian. Karena menurutnya, ada hak perempuan yang bisa disetarakan dengan laki-laki dan ada juga hak perempuan yang tidak bisa disamakan oleh laki-laki. Salah satu contoh keadaan yang dapat merugikan perempuan terlihat pada perbedaan capaian dalam ekonomi menjadi penyebab pertama ketimpangan gender di Indonesia.

Contoh di atas disebabkan karena kurangnya ruang perempuan dalam lapangan pekerjaan. Asumsi bahwa perempuan tidak memiliki kemampuan

(13)

yang maksimal menyebabkan kerugian kepada perempuan untuk hidup lebih layak dan sejahtra. Budaya partiyarki yang masih melekat hingga saat ini memberikan sekat bagi perempuan. Dari persoalan itu, laki-laki mendapat kesempatan yang lebih terbuka dihadapan publik dibandingkan dengan perempuan. Hal inilah yang membuat perempuan ingin disamakan peranannya dimuka umum. Pembebanan peran domestik mengakibatkan secara umum perempuan menjadi kurang produktif secara finansial (Rahmawati, Clarissa, & Dewi, 2019:4). Keadaan inilah yang membuat gerakapan perempuan di Indonesia sangat intens dilakukan.

B. Kerangka Berpikir

Berdasarkan penjabarangan mengenai teori-teori yang telah dipaparkan di atas mengenai pragmatik, jenis tindak tutur, kesantunan berbahasa, dan sejarah peristiwa terbentuknya Internasional Womens Day, maka untuk mempermudah pandangan tersebut penulis mengupayakannya dengan membuat sebuah kerangka berpikir. Hal tersebut dilakukan untuk mengetahui sejauh mana penggunaan praktik kesantunan berbahasa dan pelanggaran kesantunan berbahasa dalam poster demonstran Internasional Womens Day tahun 2020 di Jakarta. Dibutuhkan pendekatan ilmu pragmatik untuk mengkaji suatu objek penelitian tersebut, sehingga objek tersebut dapat dianalisis dengan tepat.

Objek yang digunakan dalam penelitaian ini adalah kalimat yang terdapat dalam poster demonstrasi pada acara peringatan Internasional Womens Day tahun 2020 di Jakarta. Kalimat yang terdapat dalam poster tersebut akan peneliti analisis menggunakan pendekatan pragmatik sehingga dapat dikehatui bentuk kesantunan, pelanggran kesantunan, serta fungsi tindak tutur yang terdapat dalam kalimat tersebut. Hasil yang telah didapat akan peneliti manfaatkan sebagai sebuah bahan ajar dalam pembelajaran pragmatik di perguruan tinggi.

(14)

Gambar 2. 1 Kerangka Berpikir

Gambar

Gambar 2. 1 Kerangka Berpikir

Referensi

Dokumen terkait

Penggunaan hak pilih bagi Warga Negara Indonesia yang menggunakan KTP yang masih berlaku hanya dapat dipergunakan di Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang berada

Penerapan media poster untuk meningkatkan partisipasi belajar siswa dalam pembelajaran pendidikan kewarganegaraan.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |

Sertifikasi Bidang Studi NRG

Data hasil pretes dan postes yang telah diperoleh akan dianalisis untuk melihat bagaimana efektivitas model pembelajaran reflektif untuk meningkatkan pemahaman

Sedangkan untuk mengetahui tingkat akuntabilitas tersebut, perlu adanya Laporan Kinerja Instansi Pemerintah (LKjIP) yang merupakan bahan utama untuk monitoring dan evaluasi

Penelitian mengenai pengaruh gelombang mikro terhadap tubuh manusia menyatakan bahwa untuk daya sampai dengan 10 mW/cm2 masih termasuk dalam nilai ambang batas aman

Kami juga akan memberikan dukungan dan pantauan kepada yang bersangkutan dalam mengikuti dan memenuhi tugas-tugas selama pelaksanaan diklat online. Demikian

In measuring phase the sequences (i.e. patterns) of HO and LAU zones can be determined and stored in database on each road. There are operating solutions and IPRs based