• Tidak ada hasil yang ditemukan

JURNAL. Diajukan Untuk Memenuhi dan Melengkapi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "JURNAL. Diajukan Untuk Memenuhi dan Melengkapi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara"

Copied!
37
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS HUKUM PENGGUNAAN JASA PIHAK KETIGA (DEBT COLLECTOR) DALAM UPAYA PENYELESAIAN KARTU KREDIT MACET

PADA BANK DANAMON INDONESIA Tbk (STUDI PUTUSAN NO.751/PDT.G/2014/PN.JAK.SEL)

JURNAL

Diajukan Untuk Memenuhi dan Melengkapi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN

PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA DAGANG

Penulis : Risky Saputra

Dosen Pembimbing I : Prof. Dr. Saidin, SH., M.Hum Dosen Pembimbing II : Puspa Melati Hsb, SH., M.Hum

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2018

(2)

ANALISIS HUKUM PENGGUNAAN JASA PIHAK KETIGA (DEBT COLLECTOR) DALAM UPAYA PENYELESAIAN KREDIT MACET PADA

BANK DANAMON INDONESIA Tbk

(STUDI PUTUSAN NO.751/PDT.G/2014/PN.JAK.SEL)

JURNAL

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir Dan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

OLEH : RISKY SAPUTRA

140200112

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN

PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA DAGANG

Disetujui Oleh :

Ketua Departemen Hukum Perdata

(Dr. Rosnidar Sembiring, SH., M.Hum) NIP 196602021991032002

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

( Prof. Dr. Saidin, SH., M.Hum) (Puspa Melati Hsb, SH., M.Hum) NIP 196202131990031002 NIP 196801281994032001

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2018

(3)

i ABSTRAK Risky Saputra*

Saidin**

Puspa Melati Hasibuan***

Penagih kredit macet yang dilakukan oleh jasa pihak ketiga (debt collector) pada pelaksanaannya sering tidak sesuai dengan peraturan pokok-pokok etika penagihan yang sudah ditetapkan oleh Bank Indonesia karena sering kali menimbulkan kerugian bagi konsumen kartu kredit, seperti kasus pada Putusan Nomor 751 /Pdt.G/2014/PN.Jak.Sel.,yang diduga merugikan nasabah Bank Danamon Indonesia Tbk karena jasa pihak ketiga (debt collector) yang dikuasai oleh pihak bank dianggap tidak bekerja secara profesional dan menggunakan pendekatan intimidasi serta premanisme. Penelitian ini menggunakan penelitian yang menggunakan pendekatan yuridis normatif yaitu penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma hukum dalam hukum positif dan dengan jenis penelitian kepustakaan (Library Research). Kesimpulan dari penulisan skripsi ini bahwa penggunaan jasa pihak ketiga (debt collector) dalam penyelesaian kredit macet diperbolehkan dan pengaturannya teradapat di dalam Surat Edaran Bank Indonesia Tahun 2014. Dalam putusan MA Nomor 14/17/DASP/2012, Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/2/PBI/2012, Peraturan Bank Indonesia No.

13/25/PBI/2011, Booklet Perbankan Indonesia Tahun 2014. Dalam putusan Nomor 751 /Pdt.G/2014/PN.Jak.Sel., Majelis Hakim menolak gugatan Penggugat dalam konvensi, karena tidak memiliki bukti yang cukup untuk membuktikan bahwa pihak ketiga (Debt Collector) melakukan pendekatan dengan cara intimidasi serta premanisme. dan menghukum Penggugat dalam Konvensi untuk membayar hutang kepada tergugat menurut penulis sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini terkait dengan penggunaan jasa penagihan kartu kredit.

Kata Kunci : Debt Collector, Kartu Kredit, Putusan Hakim.

*Mahasiswa Fakultas Hukum USU/Penulis

**Dosen Pembimbing I Fakultas Hukum USU

***Dosen pembimbing II Fakultas Hukum, USU

(4)

1

I.PENDAHULUSAN

A. Latar Belakang

Perkembangan dunia perbankan begitu cepat, dengan berbagai macam jenis produk dan sistem usaha dalam berbagai keunggulan yang kompetitif. Banyak bank yang didirikan oleh konglomerat -yang merupakan grup usaha- setelah banyak menyerap dana masyarakat mereka menyalurkannya kepada grup usahanya sendiri.

Dana yang terserap dari masyarakat luas -yang seharusnya disalurkan kembali kepada yang berhak secara obyektif guna memacu pemerataan dan pertumbuhan pembangunan nasional, seperti yang diamanatkan Undang-Undang Perbankan masih jauh realisasinya dari yang diharapkan. Sehingga seakan-akan bank ini menjadi mesin pencetak uang untuk menambah modal dan memperlancar bisnis grupnya sendiri.

Sering kali analisis kredit yang dilakukan oleh bank tidak memenuhi standar Pedoman/peraturannya dituliskan oleh BI dan sangat tidak obyektif.

Bank sebagai lembaga kepercayaaan adalah maksud dan tujuan, serta dasar dan sifat utama dari Lembaga Perbankan. Dalam Undang–Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (selanjutnya disebut Undang-Undang Perbankan) Pasal (1) ayat(2) menyatakan:

“Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat.”

(5)

2

Dari pasal tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa fungsi Bank dalam sistem hukum perbankan di Indonesia sebagai perantara (intermediary) bagi masyarakat yang surplus dana dan masyarakat yang kekurangan dana. Penghimpunan dana masyarakat yang dilakukan oleh bank berdasarkan pasal tersebut dinamakan

“simpanan”, sedangkan penyalurannya kembali dari bank kepada masyarakat dinamakan “kredit”.

Pengertian kredit ini tertuang dalam Pasal 1 angka 12 Undang – Undang Nomor 7 Tahun 1992, yang berbunyi :

“ Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pin jam – meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga, imbalan atau pembagian hasil keuntungan.”

Dalam perkembangannya kata kredit berubah makna menjadi pinjaman.

Memang diakui bahwa pinjaman yang diberikan oleh pihak kreditur kepada debitur dilandasi kepercayaan, bahwa pada suatu waktu tertentu pinjaman tersebut dikembalikan ditambah imbalan jasa tertentu.

Pengertian kredit menurut Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga. “Dalam pengertian kredit ada terdapat pengertian transfer antara waktu sekarang dengan waktu yang akan datang. Dengan demikian

(6)

3

didefinisikan sebagai suatu hak untuk menggunakan uang dalam batas waktu tertentu berdasarkan pertimbangan tertentu.”1

Kredit berarti suatu pemberian prestasi oleh suatu pihak kepada pihak lain dan prestasi itu akan dikembalikan lagi pada suatu masa tertentu yang akan datang disertai dengan suatu kontra prestasi.

Pada hakekatnya pemberian kredit didasarkan atas kepercayaan, yang berarti bahwa pemberian kredit adalah pemberian kepercayaan oleh Bank sebagai pemberi kredit, dimana prestasi yang diberikan benar-benar sudah diyakini akan dapat dibayar kembali oleh penerima kredit sesuai dengan syarat yang telah disetujui bersama.2

Adapun Gejala dari kredit bermasalah adalah :

1. Adanya penyimpangan dari ketentuan dan syarat-syarat perjanjian kredit/perjanjian pinjaman biasa dilakukan oleh kreditur atau debitur.

2. Adanya penurunan kondisi keuangan debitur yang kelihatan dari keterlambatan pembayarannya.

3. Adanya perbuatan dari debitur yang mulai kurang kooperatif dengan mulai menunggak dan membayar tidak tepat waktu.

4. Adanya penyampaian data atau informasi dan laporan yang tidak benar atau sama sekali tidak ada laporannya.

5. Adanya penurunan nilai dan kualitas serta kuantitas asset dan agunan yang telah ditentukan dalam perjanjian.

6. Adanya pergantian pengurusan tanpa persetujuan kreditur baik jabatan, pemegang saham maupun posisi-posisi yang penting.

7. Adanya penjualan pribadi atau keluarga yang dibawa kedalam perusahaan atau permasalahan diantara pengurus.

8. Adanya gugatan dari dalam perusahaan sendiri atau dari luar perusahaan.

1 Muchdarsyah Sinungan, Dasar dan Teknik manajemen kredit, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta, 1997, hal. 67

2 Thomas Suyatno, et. Al. Dasar-dasar Perkreditan, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

1999, hal. 44

(7)

4

9. Adanya permasalahan tenaga kerja atau perburuhan yang mengganggu kestabilan perusahaan.3

Pemberian kredit yang tertuang dalam suatu perjanjian tidak dapat dilepaskan dari prinsip kepercayaan, yang sering menjadi sumber malapetaka bagi kreditur sehubungan dengan kredit. Berbagai unsur seperti suku bunga, Jaminan/Agunan, perjanjian kredit dalam perundang-undangan/peraturan perlu mendapatkan perhatian, karena dalam kenyataannya kurang memuaskan untuk menyelesaikan permasalahan kredit.4

Selain itu, dalam pemberian kredit usaha, pihak bank juga mensyaratkan adanya penjaminan. Sebagai penjaminan yang utama adalah nilai dan kelayakan usaha yang akan dibiayai dengan kredit yang dimohonkan. Apabila nilai dan kelayakan usaha bank kurang menjamin pengembalian kredit maka bank mensyaratakan harus menjamin pengembalian kredit yang berupa jaminan kebendaan.5

Sehubungan hukum hutang piutang uang pada saat jatuh tempo, ternyata pihak debitur masih belum dapat melunasi hutangnya. Pihak kreditur dalam melakukan penagihan piutangnya tersebut, kemudian menggunakan cara-cara kekerasan-keributan dan paksaan dengan maksud agar debitur menjadi takut atau

3 Irman, Tb, Anatomi Kejahatan Perbankan, Penerbit AYYCCS Group, Jakarta 2006, hal.

147

4 Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, Edisi Revisi, Cetakan ke enam, Penerbit Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hal. 92

5Arisson Hendry, Et, al, Perbankan Syariah Perspektif Praktisi, Muamalat Institute, Jakarta, 1999, hal. 67

(8)

5

malu dan bersedia menyerahkan barang miliknya kepada kreditur sebagai pembayaran hutangnya.

Tiga masalah yang sering dikomplain oleh konsumen terhadap bank penerbit kartu kredit, yaitu masalah bunga tagihan kartu kredit, penyampaian informasi yang tidak transparan oleh bank penerbit dan masalah penagih hutang (debt collector).

Masalah lainnya adalah debt collector. Kemungkinan terburuk bagi penunggak tagihan kartu kredit adalah di kunjungi satu atau beberapa orang debt collector. Mereka inilah yang akan melakukan penagihan. Perilaku debt collector saat ini masih menjadi masalah serius yang belum ada penanganannya. Di satu sisi konsumen merasa terganggu dengan ulah penagih utang tersebut. Di sisi lain debt collector sebagai utusan bank bertanggung jawab atas tunggakan-tunggakan utang yang bisa merugikan bank.

Meskipun fakta ini dalam ruang lingkup pelaksanaan hubungan keperdataan, namun perbuatan kreditur yang bersifat kekerasan memaksa membuat keributan, terhadap debitur tersebut, maka perbuatan menagih hutang dengan cara memaksa ini adalah merupakan perbuatan pidana ex Pasal 368 ayat (1) KUHP Pidana yaitu pemerasan.

Penggunaan jasa pihak ketiga (Debt Collector) dalam penagihan hutang dapat menimbulkan kerugian bagi konsumen akibat ketidak profesionalan dalam melaksanakan tugasnya. Seperti Putusan No.751/Pdt.G/2014/PN.Jak.Sel terkait penagihan kredit oleh Bank Danamon kepada nasabahnya yang bernama Franky

(9)

6

Hoetomo S.Kom yang menagih tagihan kartu kredit melalui jasa pihak ketiga (Debt Collector).

Tetapi pada saat pelaksanaannya, Debc Collector tersebut telah melakukan perbuatan melawan hukum seperti mengintimidasi, melakukan penekanan, pengancamanan, dan teror, bahkan sampai pada pencemaran nama baik si nasabah.

Karena tidak tahan dengan kondisi seperti itu yang dilakukan terus menerus dan mengganggu kenyaman, maka nasabah Bank Danamon tersebut mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang pada akhirnya gugatan tersebut dikabulkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, serta menyatakan bahwa pihak Bank bersalah karena telah melakukan penagihan kartu kredit dengan cara yang tidak profesional dengan menggunakan pendekatan intimidasi dan premanisme dari pada pendekatan lainnya.

B. Permasalahan

Permasalahan adalah merupakan kenyataan yang dihadapi oleh pelaksanaan penelitian. Dengan adanya rumusan masalah maka akan dapat ditelaah secara maksimal ruang lingkup penelitian sehingga tidak mengarah pada permasalahan hal yang diluar permasalahan.

Adapun permasalahan yang diajukan dalam penulisan ini adalah:

1. Bagaimana pengaturan hukum kartu kredit di Indonesia?

2. Bagaimana hubungan hukum antara Bank dengan jasa pihak ketiga (Debt collector)?

(10)

7

3. Apa faktor-faktor yang mempengaruhi terhadap penggunaan jasa pihak ketiga (Debt Collector) dalam penagihan kredit macet?

C. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini adalah :

1) Untuk mengetahui bagaimana pengaturan hukum kartu kredit di Indonesia.

2) Untuk mengetahui bagaimana hubungan hukum antara Bank dengan jasa pihak ketiga (Debt collector).

3) Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi terhadap pemggunaan jasa pihak ketiga (Debt Collector) dalam penagihan kredit macet.

D. Manfaat Penulisan

Manfaat yang diharapkan dari penulisan skripsi yang dilakukan terkait dengan nilai guna dari penulisan dibedakan menjadi dua, yaitu :

1. Manfaat Teoritis

Hasil penulisan ini diharapkan memberi manfaat teoritis berupa sumbangan bagi pengembangan ilmu pengetahuan hukum, khususnya dibidang hukum perdata mengenai penyelesaian kredit macet dan aspek-aspek hukumnya yang berkaitan dengan kebijakan penyelesaian kredit macet dengan jasa pihak ketiga (Debt Collector).

2. Manfaat praktis

(11)

8

Penulisan skripsi ini diharapkan dapat membantu jika suatu saat dihadapkan pada kasus serupa yang berkaitan dengan penyelesaian kartu kredit bermasalah dengan menggunakan jasa pihak ketiga (Debt Collector), sehingga dapat dimengerti mengenai pengaturan-pengaturan yang terdapat didalamnya dan menjadi jalan keluar untuk menyelesaikan masalah tersebut.

E. Metode Penelitian

Dalam penulisan ini data adalah merupakan dasar utama, karenanya metode penelitian sangat diperlukan dalam penyusunan skripsi. Oleh karena itu dalam penyusunan skripsi ini penulis menyusun data dengan menghimpun dari data yang ada referensinya dengan masalah yang diajukan.

Metode penelitian merupakan bentuk metode yuridis normatif. 6 Pada penelitian hukum normatif, pengolahan data pada hakikatnya berarti kegiatan untuk mengadakan sistematisasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis yang mengacu kepada norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan.

Metode Penelitian Yuridis Normatif juga mengacu kepada norma-norma hukum dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan serta permasalahan yang dibahas dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder dengan pendekatan melalui asas-asas hukum. Sesuai dengan tipe penelitian hukum

6 Soerjono soekanto, Penelitian Hukum Normatif, suatu tinjauan singkat, Raja Grafindo Persada,Jakarta 2003,hal 13-14

(12)

9

normatif, maka metode yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif.

Metode kualitatif adalah proses pencarian data untuk memahami masalah yang didasari pada penelitian yang menyeluruh, dibentuk oleh kata-kata dan diperoleh dari situasi alamiah. Penelitian kualitatif ini digunakan karena penelitian ini dapat digolongkan dalam suatu studi kasus dan diperlukan adanya analisis terhadap putusan dari Pengadilan Negeri Jakarta Selatan terhadap kasus Bank Danamon tersebut sehingga metode kualitatif ini cocok digunakan.

Penelitian kualitatif ini menggunakan sumber data berupa peraturan perundang-undangan, putusan badan peradilan, dokumen-dokumen, laporan, hasil simposium atau seminar, hasil penelitian, dan artikel serta pendapat-pendapat ahli hukum, serta sumber-sumber lainnya yang mempunyai relevansi dan menunjang isi tulisan ini. Bahan penelitian yang dipergunakan meliputi studi dokumentasi, yaitu :

1. Bahan Hukum Primer, mencakup peraturan perundang-undangan dan yurisprudensi yang berhubungan dengan pengaturan dalam bidang Perbankan khususnya mengenai Kartu Kredit.

2. Bahan Sekunder, terdiri dari:

a. Hasil-hasil penelitian yang telah ada sebelumnya mengenai Perbankan.

b. Kepustakaan (termasuk bahan dan hasil seminar atau diskusi) yang berkaitan dengan bidang Perbankan.

(13)

10

Perolehan bahan sekunder adalah melalui studi kepustakaan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti hasil- hasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum, dan seterusnya, yang berhubungan dengan penggunaan Debt Collector dalam upaya penyelesaian Kartu Kredit Bermasalah pada Bank Danamon.7

3. Bahan Hukum Tersier, yang terdiri dari Kamus Hukum, Ensiklopedia, dan kamus lainnya.

7 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat ( Jakarta: Rajawali Pers, 1983), hal. 13

(14)

11

III.Hasil Penelitian A.Pengaturan Hukum Kartu Kredit Di Indonesia

Definisi kredit dalam berbagai undang-undang selalu mengalami perubahan seperti tercantum dalam Undang-undang No. 14 Tahun 1967 tentang Perbankan, pada Pasal 1 C disebutkan bahwa kredit yaitu: ”Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan-tagihan yang dapat disamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan pinjam meminjam antara bank dengan lain pihak. Pihak peminjam berkewajiban melinasi hutangnyasetelah jangka waktu tertentu, dengan jumlah bunga yang telah ditetapkan.8

Selanjutnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan pada Pasal 1 angka 12, menyebutkan bahwa kredit yaitu:

”Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminja untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga, imbalan atau pembagian hasil keuntungan.”9

Kemudian undang-undang tersebut telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, pada Pasal 1 angka 11 disebutkan bahwa :

”Kredit adalah penyedian uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak yang lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.” Menurut Thomas Suyatno, unsur yang terdapat dalam kredit adalah :

8Soedarjanto Imam Syakir, Dasar-dasar Moneter dan Perbankan Bagian Dua,Surabaya, 1983, hlm. 106.

9Widjanarto, Hukum dan Ketentuan Perbankan di Indonesia, PT Balai PustakaUtama Grafiti, Jakarta, 1993, hlm.119.

(15)

12

a. “Kepercayaan, yaitu keyakinan dari si pemberi kredit bahwa prestasi yang diberikannya baik dalam bentuk uang, barang, jasa akan benar-benar diterimanya dalam jangka waktutertentu dimasa yang akan datang.

b. Tenggang waktu, yaitu suatu masa yang memisahkan antara pemberian prestasi dengan kontraprestasi yang akan diterima pada masa yang akan datang.

c. Degree of risk, yaitu tingkat risiko yang akan dihadapi sebagai akibat dari adanya jangka waktu yng memisahkan pemberian prestasi dengan kontraprestasi yang akan diterima dikemudian hari.

d. Prestasi, atau obyek kredit itu tidak saja diberikan dalam bentuk uang, tetapi dapat dalam bentuk barang, atau jasa (Perbuatan memenuhi apa yang diperjanjikan).”10

“Kredit intisarinya adalah kepercayaan, suatu unsur yang menjadi falsafah perkreditan dalam arti sebenarnya baik itu meliputi bentuk, macam ragamnya dan asalnya serta kepada siapa pun diberikannya.”

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kredit adalah suatu pemberian prestasi yaitu pinjaman berupa uang, barang ataupun jasa kepada pihak lain, yang dalam hal ini pihak lain tersebut adalah debitor atau peminjam, tersebut akan mengembalikan pinjamannya dan memberikan kontra prestasi berupa bunga yang akan diberikan dalam suatu waktu tertentu.11

10 Muhamad Djumhana, op cit hal, 218 dikutip dari Thomas Suyatno et. Al, Dasar-dsar Perkreditan, Cetakan Ketiga, Gramedia, Jakarta, 1990, hlm. 12-13

11 Tjipto, Perbankan Masalah Perkreditan, Pradya Paramita. Jakarta. 1989, hlm.14

(16)

13

Terdapat berbagai pengertian mengenai kartu kredit, diantaranya adalah:

1. Menurut Kasmir

Kartu kredit merupakan kartu plastik yang dikeluarkan oleh bank atau lembaga pembiayaan lainnya yang diberikan kepada nasabah untuk dapat dipergunakan sebagai alat pembayaran dan pengambilan uang tunai. Dari pengertian ini dapat disimpulkan bahwa kartu kredit diterbitkan oleh bank atau lembaga pembiayaan dan dapat dipergunakan sebagai alat pembayaran di tempat-tempat tertentu, di mana bank mengikat perjanjian, seperti di supermarket, pasar swalayan, hotel, restoran, tempat-tempat hiburan dan tempat-tempat lainnya. Disamping itu, kartu ini juga dapat mengambil uang tunai di berbagai tempat seperti di bank-bank atau di ATM uang tersebar di berbagai tempat yang strategis seperti dipusat perbelanjaan, hiburan, dan perkantoran.12

2. Pengertian mengenai kartu kredit juga terdapat dalam Pasal 1 angka 4 PBI No.

14/2/PBI/2012 Peraturan Bank Indonesia Tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/11/PBI/2009 Tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu, yaitu:

Kartu kredit adalah APMK (Alat Pembayaran Menggunakan Kartu) yang dapat digunakan untuk melakukan pembayaran atas kewajiban yang timbul dari suatu kegiatan ekonomi, termasuk transaksi pembelanjaan dan/atau untuk melakukan penarikan tunai, dimana kewajiban pembayaran pemegang kartu dipenuhi terlebih dahulu oleg acquirer atau penerbit, dan pemegang kartu berkewajiban untuk

12 Kasmir, Dasar-Dasar Perbankan, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2002), hal. 170.

(17)

14

melakukan pembayaran pada waktu yang disepakati baik dengan pelunasan secara sekaligus (charge card) ataupun dengan pembayaran secara angsuran.13

Di Indonesia sistem pembayaran dengan kartu kredit baru dikenal awal tahun 1970-an, yaitu dengan masuknya American Express Card, yang pada saat itu belum memasuki pasar Indonesia, hanya saja menyediakan layanan kepada para nasabahnya yang memiliki kartu yang diterbitkan diluar Indonesia.14

Pada waktu itu sektor pariwisata mulai berkembang dan turis dating ke Indonesia membawa kartu kredit sebagai pembayarannya. Pada tahun 1973 terdapat perjanjian kerja sama antara PT. Dinenrns Jaya Indonesia Internasional dengan Diners Club Internasional yang berada di New York dengan menerbitkan Diners Club International Card. Kemudian menyusul Master Card dengan membuka afiliasinya di Indonesia pada tahun 1974.

Banyak manfaat yang bisa dinikmati oleh semua pihak terkait baik manfaat financial maupun non financial. Memandang manfaat tersebut sebagai sesuatu yang signifikan dalam bisnis yang mereka jalankan mendorong mereka untuk mengambil keputusan untuk menjadi bagian dari siklus bisnis kartu kredit.15

Disamping berbagai keuntungan yang diperoleh, kartu kredit juga mengandung beberapa kerugian. Dalam praktiknya, setiap usaha memang mengandung suatu risiko kerugian. Hanya saja bagaimana kita dapat meminimalkan kerugian tersebut. Yang pasti kerugian tersebut tidak hanya merupakan monopoli

13Bank Indonesia (a), Op. Cit., Pasal 1 angka 4.

15 Flory Santosa, Pedoman Praktis Menghindari Perangkap Utang Kartu Kredit, (Jakarta:Forum Sahabat, 2009), hal.23

(18)

15

bank, akan tetapi juga bagi pemegang kartu. Adapun kerugian yang dialami oleh pihal-pihak yang terlibat dalam kartu kredit adalah sebagai berikut:16

a. Kerugian bagi bank antara lain:

Jika terjadi kemacetan pembayaran oleh nasabah yang berbelanja atau mengambil uang maka akan sulit untuk ditagih, mengingat persetujuan penerbitan kartu kredit biasanya dilakukan tanpa jaminan benda-benda berharga sebagaimana layaknya kredit. Bahkan untuk memperoleh kartu kredit hanya dengan jamninan bukti penghasilan saja sudah cukup, sehingga risiko tidak tertagih sangat besar.

b. Kerugian bagi nasabah

Biasanya nasabah agak boros dalam berbelanja, hal ini karena nasabah merasa tidak mengeluarkan uang tunai untuk berbelanja, sehingga kadang-kadang ada hal- hal yang sebetulnya tidak perlu dibeli. Kemudian kerugian nasabah juga disebabkan adanya sebagian merchant yang membebankan biaya tambahan untuk setiap kali transaksi.

Banyak sekali risiko nasabah yang memiliki kartu kredit, risiko itu adalah:17 1. Apabila terjadi kredit macet

a. Nasabah akan berhadapan dengan debt collector. Debt collector biasanya merupakan orang-orang yang menyeramkan dan menakutkan. Bicaranya

16 Kasmir, Dasar-Dasar Perbankan, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2002), hal.180

17Pulo Siregar, Risiko Kartu Kredit: Solusi, BI Checking dan Media Perbankan, (Jakarta:

Papas Sinar Sinanti, 2010), hal. 10-19.

(19)

16

keras, kasar dan tidak enak diengar. Penggunaan tenaga debt collector merupakan usaha bank untuk mengembalikan dana.18

b. Namanya akan terdaftar dalam daftar negatif yang dikeluarkan oleh Asosiasi Kartu Kredit Indonesia (AKKI) dan kredit macet dalam Sistem Informasi Debitur yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia.

Guna mencegah dan menurunkan jumlah kartu kredit macet, Asosiasi Kartu Kredit Indonesia mengelola sebuah sistem informasi untuk menyimpan profil- profil para debitur macet. Melalui sistem ini, sebelum menindaklanjuti permohonan calon debitur masing-masing anggota akan terlebih dahulu mengecek profil dalam sistem informasi daftar negatif AKKI tersebut dengan maksud apabila nasabah termasuk dalam daftar, maka permohonan kartu kreditnya akan ditolak. Penerbit kartu kredit memiliki dua sistem informasi untuk mengecek profil calon nasabahnya, yaitu sistem informasi daftar negatif yang dikelola AKKI dan Sistem Informasi Debitur yang dikelola Bank Indonesia.

c. Saldo utang akan bertambah terus, dari hasil perhitungan bunga berbunga berikut denda.

2. Kemungkinan adanya trik-trik perampokan secara halus.

Modus operandi untuk tujuan tersebut dapat dilihat dari cara-cara penerbit kartu kredit mempersulit nasabah yang ingin menghentikan kartu kredit. Sangat sering

18 Ibid, hal.26.

(20)

17

nasabah merasa kesulitan untuk menutup rekening khususnya bagi mereka yang tidak ingin memperpanjang.

3. Data pribadi dapat beredar ke pihak lain.

Data pribadi nasabah yang seharusnya dijaga dengan baik dapat beredar ke pihak lain untuk menjadi target pasar pihak lain.

4. Iming-iming yang tidak sesuai dengan realisasi.

Untuk mengoptimalkan program, penerbit kartu kredit sering menjanjikan suatu iming-iming. Baik berupa hadiah, fasilitas, voucher, diskon atau yang lainnya.

Namun tak jarang iming-iming tersebut tidak sesuai dengan yang dijanjikan.

5. Laporan kehilangan tidak segera direspons

Dalam merespons laporan kehilangan kartu kredit oleh nasabahnya, penerbit kartu kredit terkadang tidak cepat tangap sehingga membuat kartu kredit yang hilang sempat untuk dibobol.

6. Promo yang menjebak

Promosi yang dilakukan penerbit kartu kredit terkedang terkesan menjebak.

B.HUBUNGAN HUKUM ANTARA BANK DENGAN JASA PIHAK KETIGA (DEBT CLLECTOR)

Secara etimologi, bank berasal dari bahasa Italia yaitu banca yang berarti bence yaitu suatu bangku tempat duduk. Sebab, pada zaman pertengahan, pihak banker Italia yang memberikan pinjaman-pinjaman melakukan usahanya tersebut dengan duduk di bangku-bangku di halaman pasar.19

19 Munir Fuady, Hukum Perbankan Modern, cet,1, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti,2003),hal.13

(21)

18

System Perbankan Indonesia adalah sebuah tata cara, aturan-aturan dan pola bagaimana sebuah sector perbankan ( dalam hal ini bank-bank yang ada) menjalankan usahanya sesuai dengan ketentuan (system) yang dibuat oleh pemerintah. System Perbankan Indonesia dibangun dengan konsep yang dilandaskan pada system perekonomian yang ada. Indonesia menetapkan system perekonomiannya sebagai system yang demokratis sesuai dengan landasan Negara yaitu pancasila.20

Hal ini diatur dalam Undang-Undang tentang Perbankan Indonesia, pada Booklet Perbankan Indonesia Tahun 2014 dalam Bab II tentang Perbankan, yang berbunyi “ Perbankan Indonesia dalam menjalankan fungsinya berasaskan demokrasi ekonomi dan menggunakan prinsip kehati-hatian”. Demokrasi ekonomi yang dimaksud adalah demokrasi ekonomi berdasarkan pancasila dan UUD 1945.

Di dalam tata cara penagihan oleh jasa pihak ketiga (debt collector) terdapat beberapa tahapan dimana debt collector dapat melakukan penagihan kredit kepada nasabah yang mengalami tunggakan hutang, yaitu:

1. Desk Collector

Tahapan ini merupakan awal mula debt collector menagih kredit terhadap nasabahnya dengan cara mengingatkan tanggal jatuh tempo dari cicilan hutang nasabah yang dilakukan melalui telepon. Hal ini bertujuan untuk mengingatkan nasabah atas kewajibannya dalam membayar cicilan hutang kepada bank.

2. Debt Collector

20 Dahlan Siamat, Prita Nurmalia, dan Fitri Agustin, Manajemen Lembaga Keuangan, (Jakarta : Lembaga penerbit fakultas ekonomi Universitas Indonesia,2005), hal.67.

(22)

19

Dalam tahapan ini, debt collector mulai mendatangi nasabah yang bertujuan untuk mengetahui kondisi dan situasi keuangan nasabah. Dimana dalam hal ini debt collector memberikan penjelasan secara persuasif mengenai kewajiban nasabah untuk membayar angsuran atas tunggakan hutangnya, menjelaskan kepada nasabah akibat- akibat yang akan timbul jika tunggakan hutangnya masih belum dibayarkan, dan juga memberikan kesempatan atau tenggang waktu bagi nasabah untuk dapat membayar angsurannya yang tidak lebih dari tujuh hari kerja.

3. Collector Remedial

Pada tahapan terakhir ini, biasanya debt collector melakukan penagihan hutang dengan cara mengambil barang jaminan milik nasabah (bila kredit yang disepakati memiliki jaminan). Cara-cara yang dilakukan oleh debt collector disini, tergantung dari itikad baik atau tanggapan nasabah dalam memenuhi kewajiban pelunasan hutangnya seperti menyerahkan jaminan kreditnya dengan kesadaran nasabah sendiri.

Tetapi dalm hal ini biasanya nasabah sering menolak untuk memberikan jaminan kreditnya, sehingga debt collector dalam melakukan kewajibannya menggunakan cara kekerasan seperti membentak, merampas, mengintimidasi, bahkan sampai kepada pencemaran nama baik nasabah. Padahal secara hokum sudah diatur mengenai pokok-pokok etika penagihan yang harus dipatuhi oleh jasa penagih (debt collector) dalam melakukan penyelasaian macet.

Pada dasarnya, jika menagcu pada surat edaran Bank Indonesia penggunaan jasa pihak ketiga ini diperbolehkan, hal ini sebagaimana tercantum dalam Surat

(23)

20

Edaran Bank Indonesia No. 12/17/DASP/2012 perihal Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu. Namun untuk melakukan hal ini, terdapat sejumlah ketentuan yang dapat dilihat pada ketentuan butir VII.D angka 4 surat Edaran tersebut, yang menyebutkan bahwa dalam bekerja sama dengan perusahaan penyedia jasa penagih Kartu Kredit, Penerbit APMK wajib memperhatikan dan memenuhi ketentuan sebagai berikut:

1) Penagih Kartu Kredit dengan menggunakan perusaaan penyedia jasa penagih hingga hanya dapat dilakukan terhadap tagihan Kartu Kredit yang telah macet berdasarkan kriteia kolektiikitas sesuai ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kualitas kredit;

2) Kualitas pelaksanaan penagihan kartu kredit oleh perusahaan penyedia jasa penegaihan harus sama dengan pelaksanaan penagihan Kartu Kredit yang dilakukan sendiri oleh Penerbit Kartu Kredit;

3) Tenaga penagihan telah memperoleh pelatihan yang memadai terkait dengan tugas penagihan dan etika penagihan sesuai ketentuan yang berlaku;

4) Identitas setiap tenaga penagihan ditatausahakan dengan baik oleh Penerbit Kartu Kredit;

5) Tenaga penagihan dalam melaksanakan penagihan mematuhi pokok- pokok etika penagihan sebagai berikut:

a. Menggunakan kartu identitas resmi yang dikeluarkan Penerbit Kartu Kredit, yang diklengkapi dengan foto diri yang bersangkutan;

(24)

21

b. Penagihan dilarang dilakukan dengan menggunakan cara ancaman, kekerasan dan/atau tindakan yang bersifat memalukan Pemegang Kartu Kredit;

c. Penagihan dilarang dialakukan dengan menggunakan tekanan secara fisik maupun verbal;

d. Penagihan dilarang dialakukan kepada pihak selain Pemegang Kartu Kredit;

e. Penagihan menggunakan sarana komunikasi dilarang dilakukan secara terus menerus yang bersifat mengganggu;

f. Penagihan hanya dapat dilakukan ditempat alamat penagihan atau domisili Pemegang Kartu Kredit;

g. Pengihan hanya dapat dilakukan pada pukul 08.00 sampai dengan pukul 20.00 wilayah waktu alamat Pemegang Kartu Kredit; dan h. Penagihan diluar tempat dan/atau waktu sebagaimana maksud

pada huruf f) dan huruf g) hanya dapat dilakukan atas dasar persetujuan dan/atau perjanjian dengan Pemegang Kartu Kredit terlebih dahulu. Selain itu, Penerbit Kartu Kredit juga harus memastikan bahwa perusahaan jasa penagihan juga mematuhi etika penagihan yang ditetapkan oleh asosiasi penyelenggara APMK.21

Di dalam Peraturan Bank Indonesia No. 14/2/PBI/2012 pada pasal 17B dan pasal 21 ayat 1 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu, juga dijelaskan mengenai peraturan mengenai penggunaan jasa pihak ketiga untuk penagihan kartu kredit, yang menyatakan bahwa:

Dalam Pasal 17B

1) Dalam melakukan penagihan Kartu Kredit, penerbit wajib mengetahui pokok- pokok etika penagihan utang Kartu Kredit.

2) Penerbit Kartu Kredit wajib menjamin bahwa penagihan utang Kartu Kredit, baik yang dilakukan oleh Penerbit Kartu Kredit sendiri atau menggunakan

21 Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 14/17/DSAP/2012 Perihal penyelenggaraan kegiatan alat pembayaran dengan menggunakan kartu, ketentuan butir VII.D angka 4

(25)

22

penyedia jasa penagihan, dilakukan sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia serta peraturan perundang-undangan yang berlaku.

3) Dalam hal penagihan utang Kartu Kredit menggunakan jasa pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penerbit wajib menjamin bahwa:

a. Kualitas pelaksana penagihannya sama dengan jika dilakukan sendiri oleh Penerbit;

b. Pelaksana penagihan utang Kartu Kredit hanya untuk utang Kartu Kredit dengan kualitas tertentu.

4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pokok-pokok etika penagihan utang Kartu Kredit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan kualitas utang Kartu Kredit yang penagihannya dapat dialihkan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b, diatur dengan Surat Edaran bank Indonesia.

Dalam pasal 21 ayat 1

1) Dalam hal penerbit melakukan kerja sama dengan pihak lain yang menyediakan jasa penunjang dalam penyelenggaraan APMK, maka penerbit wajib:

a. Memenuhi ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai prinsip kehati-hatian bagi Bank yang melakukan penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan pada pihak lain.

b. Melaporkan rencana dan realisasi kerjasama dengan pihak lain yang menyediakan jasa penunjang dalam penyelenggaraan APMK kepada Bank Indonesia; dan

(26)

23

c. Masyarakat kepada pihak lain yang menyediakan jasa penunjang dalam penyelenggaraan APMK untuk menjaga kerahasiaan data dan informasi.

Selain ittu di dalam Booklet Perbankan Indonesia (BPI) Tahun 2004 yang dikeluarkan oleh OJK, terdapat ketentuan yang mengatur tentang Prinsip Kehati- hatian Bagi Bank Umum Yang Melakukan Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Pihak Lain pada bagian Prinsip Kehati-hatian Dalam Penyerahan Pekerjaan Penagihan Kredit yang doisebutkan bahwa:

1. Cakupan penagihan kredit yang dalam ketentuan ini adalah penagihan kredit secara umum, termasuk penagihan kredit tanpa agunan dan utang kartu kredit;

2. Penagihan kredit yang dialihkan penagihannya kepada pihak lain adalah kredit dengan kualitas macet sesuai ketentuan yang berlaku mengenai penilaian kualitas asset Bank Umum;

3. Perjanjian kerjasama antara bank dan PPI harus dilakukan dalam bentuk perjanjian penyediaan jasa tenaga kerja; dan

4. Bank wajib memeiliki kebijakan etika penagihan sesuai ketentuan yang berlaku.

Bentuk Hubungan Hukum Bank dengan Jasa Pihak Ketiga (Debt Collector)yaitu Suatu perikatan timbul akibat adanya hubungan hukum antara dua orang atau lebih yang terjadi dengan adanya hak dan kewajiban dalam memenuhi prestasi, yang terkait dengan harta kekayaan. Prof. Subekti mendefinisikan perikatan sebagai suatu

(27)

24

hubungan hokum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut suatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.22

B.Hubungan Hukum Antara Bank Dan Jasa Pihak Ketiga (Debt Collector)

Hubungan hukum yang terjadi antara bank dengan jasa pihak ketiga (debt collector) dimulai dari suatu perjanjian baku (standard contract) yang disetujui oleh masih-masing pihak, dan surat kuasa yang diberikan oleh pihak bank kepada debt collector untuk melakukan suatu pekerjaan yang diperintahkan. 23

Di dalam system Common Low/ Anglo Saxon, perbuatan melawan hokum disebut dengan istilah “torf” yang berarti salah atau kesalahan. Tetapi seiring dengan perkembangan yang ada, istilah “torf” diartikan sebagai kesalahan perdata yang dilakukan oleh seseorang yang mengakibatkan kerugian pada orang lain, dan bukan yang berasal dari wanprestasi kontrak.24

Menurut Pasal 1365 KUH Perdata, yang dimaksud dengan perbuatan melawan hokum adalah perbuatan yang dilakukan oleh seseorang yang karena kesalahnnya telah menimbulkan kerugian pada orang lain.

22 Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, (Bandung :PT. Alumni,2005), hal.3.

23 Salim HS, Perkembangan Hukum Kontrak diluar KUH Perdata, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2006), hal.145

24 Munir Fuady, Perbuatan Melawan Hukum : pendekatan kontemporer,(Bandung : PT. Citra Aditya Bakti,2013), hal.3

(28)

25

Dengan meluasnya pemahaman dari pengertian perbuatan melawan hokum, muncul suatu teori relavitas atau schutznorm theorie yang mengajarkan bahwa seseorang dapat mempertanggungjawabkan atas kerugian yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hokum yang telah dilakukannya, dan tidak cukup dengan adanya hubungan kausal saja, tetapi perlu juga menunjukkan norma atau peraturan yang dialnggar tersebut guna melindungi pihak yang dirugikan.

Saat ini di Indonesia seringkali terjadi perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh jasa pihak ketiga (debt collector). Suatu tindakan dapat dikatakan perbuatan melawan hukum jika memenuhi unsur-unsur dari perbuatan melawan hukum itu sendiri. Unsure-unsur dari perbuatan melawan hukum yang terdapat dalam Pasal 1365 KUH Perdata adalah:

a. Adanya suatu perbuatan.

b. Perbuatan tersebut melawan hukum.

c. Adanya kesalahan dari pihak pelaku (baik kesengajaan ataupun kelalaian).

d. Adanya kerugian bagi korban.

e. Adanya hubungan klausal antara perbuatan dengan kerugian.

C.ANALISIS PUTUSAN NO.751/PDT.G/2014/PN.JAK.SEL

Dalam kasus ini Penulis sependapat dengan keputusan majelis hakim dengan melihat dari bukti-bukti dan keterangan-keterangan baik dalam gugatan,eksepsi,konvensi dan rekonvensi, bahwa perbuatan yang disangka kan oleh pihak penggugat (Franky) kepada pihak Bank Danamon dalam melakukan penagihan kredit macet terhadap nasabahnya Franky Hoetomo, telah menggunakan cara-cara

(29)

26

pendekatan intimidasi dan penekanan yang didalam PBI Pasal 17 B ayat (1) dan (2) sudah diatur mengenai penagihan kartu kredit yang wajib bagi penerbit untuk mematuhi pokok-pokok etika penagihan utang kartu kredit dan juga penerbit kartu kredit wajib menjamin bahwa penagihan yang dilakukan sendiri atau menggunakan jasa penagih harus sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia serta peraturan perundang-undangan yang berlaku tidaklah memiliki cukup bukti, atau gugatan dianggap kabur, sehingga Putusan Majelis Hakim menolak gugatan dari penggugat dalam konvensi, dan menghukum Penggugat dalam Konvensi untuk membayar hutang kepada Penggugat dalam Rekonvensi / Tergugat dalam Konvensi sebesar Rp 89.100.016,- (delapan puluh sembilan juta seratus ribu enam belas rupiah), serta Menghukum Penggugat dalam Konvensi / Tergugat dalam Rekonvensi untuk membayar biaya perkara sebesar Rp 516.000,- (lima ratus enam belas ribu rupiah), sudahlah tepat.

Menurut penulis penggugat harusnya lebih mempersiapkan bukti-bukti yang memperkuat bahwa benar adanya pendekatan dengan tindakan intimidasi dan premanisme terhadap dirinya. Dalam hal ini menurut penulis penggugat beruntung karena gugatannya tidak dianggap oleh majelis hakim sebagai tindakan pencemaran nama baik dari perusahaan Bank Danamon, sehingga penggugat cukup melunasi hutang sesuai dengan yang tertera dalam putusan kepada pihak tergugat.

Jasa pihak ketiga atau biasa yang disebut dengan debt collector merupakan jasa yang dibutuhkan oleh perbankan dalam hal penagihan hutang kredit macet. Jasa ini merupakan salah satu jalan alternatif untuk menyelesaikan kredit macet secara efisien

(30)

27

dan dan ekonomis dibandingkan dengan menggunakan jalur hukum pada umumnya.

Jasa pihak ketiga (debt collector) ini dianggap perlu dalam bidang perbankan, karena dikhawatirkan para nasabah yang tidak dapat membayar hutangnya dapat berakibat pada menurunnya kinerja bank. Kredit macet atau non performing loan (NPL) akan meningkat jika bank dilarang menggunakan jasa penagih hutang atau debt collector.

Sebab jasa debt collector sudah menjadi andalan perbankan dalam menagih hutang yang macet termasuk hutang kartu kredit.

Dalam kasus penagihan hutang kredit kepada nasabah tidak jarang debt collector menggunakan cara penekanan, hal ini disebabkan karena agen penagih hutang bertindak secara agresif guna mendapatkan hasil atau pendapatan dari besarnya target yang mampu diselesaikannya dalam menagih hutang kepada nasabah.

Tidak jarang pula pihak bank menawarkan bonus kepada agen tersebut jika penagihan hutang dapat terselesaikan dengan target yang diinginkan. Selain itu, faktor-faktor yang mempengaruhi pihak bank terhdap pen debt collector untuk menagih kredit macet, disebabkan oleh beberapa hal yaitu:

1. Karena tidak bekerjanya sarana-sarana hukum dan hukum dianggap tidak bekerja efesien dan efektif.

2. Bertele-telenya proses penegakan hukum menimbulkan kekecawaan masyarakat.

3. Pengadilan tidak bisa memberikn jaminan kepastian hukum dan berjalan singkat.

(31)

28

4. Debt Collector dianggap lebih mampu bekerja dalam waktu relatif singkat dan tingkt keberhasilannya mencapai 90%.

Dengan adanya faktor-faktor tersebut, maka Bank Indonesia mengeluarkan peraturan dimana terdapat ketentuan-ketentuan yang harus dipatuhi dalam pelaksanaan penagihan hutang kredit macet agar tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku.

Peraturan tersebut terdapat dalam Peraturan Bank Indonesia No.

13/25/PBI/2011 tentang Prinsip Kehati-hatian Bagi Bank Umum Dalam Melakukan Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Pihak Lain, Peraturan Bank Indonesia No. 14/2/PBI/2012 dan Surat Edaran Bank Indonesia No.

14/17/DASP/2012 tentang Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu.

Menurut peneliti, penggunaan debt collector dalam menyelesaikan kredit macet diperbolehkan begitu saja, asalkan cara-cara yang dilakukannya sesuai dengan aturan- aturan yang sudah ditetapkan dan tidak melanggar pokok-pokok etika yang berlaku.

(32)

29 PENUTUP A.Kesimpulan

1. Pengertian kartu kredit juga terdapat dalam Pasal 1 angka 4 PBI No. 14/2/PBI/2012 Peraturan Bank Indonesia Tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/11/PBI/2009 Tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu, Di Indonesia sistem pembayaran dengan kartu kredit baru dikenal awal tahun 1970-an, yaitu dengan masuknya American Express Card, yang pada saat itu belum memasuki pasar Indonesia, hanya saja menyediakan layanan kepada para nasabahnya yang memiliki kartu yang diterbitkan diluar Indonesia.Banyak manfaat dan kerugian kartu kredit baik secara financial maupun non financial.adapun kerugian dialami pihak –pihak yang terlibat dalam kartu kredit yaitu:

a. Kerugian bagi bank yaitu Jika terjadi kemacetan pembayaran oleh nasabah maka akan sulit untuk ditagih,

b. Kerugian bagi nasabah yaitu Biasanya nasabah agak boros dalam berbelanja, hal ini karena nasabah merasa tidak mengeluarkan uang tunai untuk berbelanja.

Secara umum perlindungan hukum terhadap pemegang kartu kredit diatur dalam ketentuan hukum Perlindungan Konsumen.. Secara khusus, ketentuan tentang perlindungan hukum terhadap kartu kredit diatur oleh Bank Indonesia selaku pengawas di bidang moneter. Bank Indonesia telah mengeluarkan ketentuan PBI 11/11 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu dan SEBI 7/60 Tentang Prinsip Perlindungan Nasabah Dan Kehati-Hatian, Serta

(33)

30

Peningkatan Keamanan Dalam Penyelenggaraaan Kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu.

Dalam PBI APMK dan SEBI 7/60, pengaturan perlindungan hukum terhadap Pemegang Kartu Kredit yang lebih luas dan lebih detail lagi, mencakup hak dasar konsumen untuk mendapatkan informasi, keamanan, dan didengar. Hal tersebut tercermin dengan pengaturan yang mewajibkan kepada penerbit kartu kredit.

2. Jasa pihak ketiga (debt collector) mempunyai tugas untuk menagih tagihan kartu kredit nasabah bank yang sudah jatuh tempo. Hubungan hukum yang terjadi antara bank dengan jasa pihak ketiga (debt collector) dimulai dari suatu perjanjian baku (standard contract) yang disetujui oleh masih-masing pihak, dan surat kuasa yang diberikan oleh pihak bank kepada debt collector untuk melakukan suatu pekerjaan yang diperintahkan. Dengan adanya perjanjian baku (standard contract) dan surat kuasa yang telah dibuat oleh pihak bank, maka kewajiban debt collector disini adalah mematuhi apa yang tertuang dalam klausula-klausula baku yang telah diperjanjikan sebelumnya dan hal yang dikuasakan kepadanya..Adapun tata cara penagihan kredit kepada nasabah yang nunggak hutang yaitu Desk collector,debt collector,dan colletor remedial. Pengaturan tentang jasa pihak ketiga (debt collector) tercantum dalam Surat Edaran Bank Indonesia no.12/17/DASP/2012. Perbuatan melawan hukum terjadi jika sudah memenuhi unsur-unsur yang tedapat pada pasal 1365 KUH Perdata.Biasanya perbuatan melawan hukum yang di lakukan debt collector yaitu menyita barang dengan paksa, melakukan penganiayaan, teror melalu telepon atau mendatangi secara langsung, dan pencemaran nama baik.

(34)

31

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi terhadap penggunaan jasa pihak ketiga (debt collector) dalam penagihan kredit macet disebabkan karena tidak bekerjanya sarana- sarana hukum dan dianggap tidak bekerja efektif dan efesien, bertele-telenya proses penegakan hukum yang selama ini lebih sering mengecewakan masyarakat, dan ditambah lagi dengan ketidak mampuan pengadiln memberikan jaminan kepastian hukum dan berjalan singkat, sementara di sisi lain, kemampuan debt collector dianggap sebagai “partner’’ yang lebih baik karena mampu bekerja dalam waktu yang relatif singkat dengan tingkat keberhasilannya mencapai 90%. Maka dari itu, dalam bidang perbankan menjadi hal yang biasa dalam penggunaan jasa pihak ketiga (debt collector) untuk menyelesaikan hutang kredit macet.

B. Saran

1. Bagi pihak bank dalam menggunakan jasa pihak ketiga (debt collector) seharusnya dapat menerapkan prinsip kehati-hatian yang dalam hal ini mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku terkait dengan pokok-pokok etika penagihan yang dilakukan oleh jasa penagih, karena pada kenyataan sering sekali jasa pihak ketiga (debt collector) yang dikuasai oleh pihak bank melakukan tindakan-tindakan yang merugikan nasabah.

2. Bagi pihak bank dalam menyalurkan dan kepada nasabah seperti kartu kredit dan kartu tanpa agunan, seharusnya bisa lebih selektif lagi sebelum melakukan perjanjian menggunakan kartu kredit. Dan bagi pihak nasabah,

(35)

32

seharusnya bisa lebih teliti dan berhati-hati lagi dalam mencermati perjanjian yang diajukan oleh pihak bank sebelum menandatangani perjanjian kreditnya.

3. Adanya peran dri Otoritas Jasa Keungan (OJK) sebagai lembaga independen untuk bisa lebih mengawasi atas tindakan perbankan yang menggunakan jasa penagih (debt collector), dan seharusnya OJK menerapkan sanksi yang tegas terhadap tindakan bank yang melanggar hak-hak konsumen perbakan yang dirugikan.

(36)

33

DAFTAR PUSTAKA

Agustina, Rosa.2003. Perbuatan Melawan Hukum. Jakarta : Program Pasca Sarjana fakultas Hukum Universitas Indonesia

Darus Badrulzaman, Mariam. 2005. Aneka Hukum Bisnis, Bandung :PT. Alumni Djumara, Muhammad. 2000. Hukum Perbankan di Indonesia. Bandung: PT. Citra

Aditya Bhakti

Fuady, Munir.2013. Perbuatan Melawan Hukum : pendekatan kontemporer.

Bandung : PT. Citra Aditya Bakti

Hendry, Arisson. 1999. Perbankan Syariah Perspektif Praktisi, Jakarta: Muamalat Institute

HS, Salim. 2006. Perkembangan Hukum Kontrak diluar KUH Perdata. Jakarta : PT.

Raja Grafindo Persada

Indrawan, Helvi. 2008. Siasat Cerdik Menggunakan Kartu Kredit. Yogyakarta: Bale Siasat.

Irman, Tb. 2006. Anatomi Kejahatan Perbankan. Jakarta: AYYCCS Group

Kasmir. 2002. Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, Edisi Revisi, Cetakan ke enam, Jakarta: Raja Grafindo Persada

Prodjodikoro, Wirjono.2000. Perbuatan Melanggar Hukum : dipandang dari sudut Hukum Perdata. Bandung : Mandar Maju

Prayogo, Imam Suryodiputro dan Djoko Prakoso. 1995. Surat Berharga: Alat Pembayaran Dalam Masyarakat Modern. Jakarta: Rineka Cipta

Santosa. Flory. 2009. Pedoman Praktis Menghindari Perangkap Utang Kartu Kredit.

Jakarta : Forum Sahabat

Sinungan, Muchdarsyah. 1997. Dasar dan Teknik manajemen kredit. Jakarta : Rineka Cipta

(37)

34

Simanjuntak, P.N.H. 2009. Pokok-pokok Hukum Perdata Indonesia, Jakarta

;Djambata

Siregar, Pulo. 2010. Risiko Kartu Kredit: Solusi, BI Checking dan Media Perbankan, Jakarta: Papas Sinar Sinanti.

Suyatno, Thomas. 1999. Dasar-dasar Perkreditan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama,

Sutarno. 2003. Aspek-Aspek Hukum Perkreditan Pada Bank. Jakarta: Alfabeta

Usman, Rachmadi. 2003. Aspek-aspek hukum perbankan di Indonesia, Jakarta : PT.Gramedia Pustaka Utama

Widjanarto. 1993. Hukum dan Ketentuan Perbankan di Indonesia. Jakarta: PT Balai PustakaUtama Grafiti

Referensi

Dokumen terkait

Meskipun kebebasan beragama secara jelas telah diatur, namun pada kenyataannya sekarang ini masih banyak masyarakat dunia yang tidak mengamalkan dan

22 Faktor diskresi POLRI adalah suatu perbuatan untuk melakukan tindakan berdasarkan kekuasaan dan kewenangan yang dinilai benar oleh seorang yang mempunyai kekuasaan

Orang berdosa itu harus datang dan percaya pada karya Kristus yang sudah genap dan percaya bahwa hanya di dalam Kristus urusan dosa bisa diampuni dan orang

Pada domba betina umur 18 bulan, penciri utama ukuran tubuh diketiga lokasi penelitian berbeda-beda yaitu lebar pangkal ekor di Palu Timur, tinggi pinggul domba di Palu Selatan

Volume sampah plastik di Surabaya yang mencapai ratusan ton perhari merupakan tantangan bagi para pengusaha daur ulang plastik di Surabaya, penulis akan melakukan

2 Tahun 2012 yang diatur dalam Pasal 2 ayat 2 yang pada intinya menyatakan bahwa perkara tindak pidana ringan yang dilakukan oleh terdakwa dikatakan perbuatan pidana yang

Faktor lainnya yaitu adanya rasa malu dari pasangan suami istri tersebut untuk mengakui bahwa dalam rumah tangganya telah terjadi kekerasan dalam rumah tangga,

Angkutan Udara (Pesawat) memiliki salah satu fasilitas yang dapat dipergunakan oleh penumpang untuk menyimpan barang bawaan mereka yaitu bagasi. Namun