• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN YURIDIS ATAS WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN SEWA-MENYEWA RUMAH YANG DIBUAT SECARA LISAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "TINJAUAN YURIDIS ATAS WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN SEWA-MENYEWA RUMAH YANG DIBUAT SECARA LISAN"

Copied!
121
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum dalam Program Studi Ilmu

Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh :

FELIX SOFIAN NIM : 160200163

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN PERDATA BW

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2020

(2)
(3)
(4)

ABSTRAK

Felix Sofian*

OK. Saidin **

Syamsul Rizal***

Skripsi ini berjudul Tinjauan Yuridis Atas Wanprestasi Dalam Perjanjian Sewa-Menyewa Rumah Yang Dibuat Secara Lisan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana akibat dari pelaksanaan perjanjian sewa-menyewa rumah yang dibuat secara lisan dan kaitannya dengan wanprestasi yang dapat ditimbulkan terhadapnya. Berdasarkan latar belakang yang ada, adapun beberapa rumusan masalah yang akan dibahas yaitu: 1. Bagaimana pengaturan penyelesaian sengketa di dalam suatu perjanjian sewa-menyewa rumah? 2. Bagaimana konsekuensi atas perjanjian sewa-menyewa rumah secara lisan dalam kaitannya dengan wanprestasi? 3. Bagaimana pembuktian terhadap wanprestasi atas perjanjian sewa-menyewa rumah secara lisan?

Untuk menjawab rumusan masalah tersebut maka metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif. Data yang digunakan dalam penelitian berasal dari data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, sekunder, dan tersier dengan teknik pengumpulan dengan penelitian kepustakaan. Penelitian ini dilakukan dengan menganalisis melalui pendekatan kualitatif.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa pelaksanaan perjanjian sewa-menyewa rumah lisan dapat dilakukan sepanjang terpenuhinya syarat sahnya perjanjian dalam Pasal 1320 KUHPerdata sebagai asas kebebasan berkontrak di dalam Pasal 1338 KUHPerdata. Terhadap pengaturan penyelesaian sengketa dalam perjanjian tertulis diatur dengan klausul-klausul penyelesaian, sedangkan terhadap perjanjian tidak tertulis didasarkan kesepakatan para pihak yang dilandasi suatu iktikad baik para pihaknya untuk menyelesaikan sengketa dengan memperhatikan Pasal 1339 KUHPerdata. Wanprestasi dalam perjanjian sewa-menyewa rumah lisan pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan sewa-menyewa secara tertulis yakni tidak dibayarnya atau keterlambatan pembayaran uang sewa, kelalaian dalam fungsi objek sewa yang ditetapkan, tidak melaksanakan kewajiban ataupun melakukan hal yang tidak boleh dilakukan.

Selain penyelesaian yang mengedepankan musyawarah, dapat pula diselesaikan dengan cara litigasi memperhatikan ketentuan pembuktian yang berlaku

Kata Kunci: Sewa-Menyewa, Lisan, Wanprestasi

*) Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Departemen Hukum Keperdataan BW

**) Pembimbing I, Staf Pengajar Departemen Perdata Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

***) Pembimbing II, Staf Pengajar Departemen Perdata Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

(5)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas segala berkat, karunia, dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.

Telah menjadi Kewajiban bagi setiap mahasiswa yang hendak menyelesaikan studinya di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara untuk menyusun dan menyelesaikan suatu skripsi, dan untuk itu penulis melakukan kewajiban sebagaimana mestinya untuk menyusun suatu skripsi dengan judul

“TINJAUAN YURIDIS ATAS WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN SEWA-MENYEWA RUMAH YANG DIBUAT SECARA LISAN”.

Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang setulusnya kepada para pihak yang telah memberikan dukungan, pengetahuan serta doanya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Serta secara khusus, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum, selaku Rektor Universitas Sumatera Utara;

2. Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

3. Prof. Dr. H. OK. Saidin, S.H., M.Hum, selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sekaligus selaku Dosen Pembimbing I yang telah meluangkan waktu dan pengetahuan beliau untuk membimbing, mengarahkan dan memeriksa skripsi ini agar menjadi lebih baik;

4. Ibu Puspa Melati Hasibuan, S.H., M.Hum, selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

(6)

5. Dr. Jelly Leviza, S.H., M.Hum, selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

6. Prof. Dr. Rosnidar Sembiring, S.H., M.Hum, selaku Ketua Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

7. Bapak Syamsul Rizal, S.H., M.Hum, selaku Sekretaris Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, sekaligus selaku Dosen Pembimbing II yang telah meluangkan waktu untuk memberikan arahan serta masukan dalam penulisan skripsi ini;

8. Bapak Mohammad Siddik, S.H., M.Hum, selaku Dosen Pembimbing Akademik saya yang telah memberikan bantuan dan dukungan selama saya menjalani perkuliahan;

9. Dan seluruh para Staf Pengajar, Staf Pegawai, Staf Pendidikan serta Staf Kepustakaan yang telah banyak memberikan bantuan, arahan, dan ilmu yang berguna bagi saya selama saya menjalani perkuliahan maupun selama proses penyelesaian skripsi ini;

10. Kedua orang tua penulis, Bapak Arifin Sofian dan Ibu Mary Susantio yang tercinta, yang telah mendidik dan membesarkan penulis serta memberikan dukungan moril, spiritual, dan materil kepada penulis. Terima kasih kepada Ayah dan Ibu yang telah memberikan motivasi dan inspirasi kepada penulis untuk menjalankan hidup lebih baik dan sukses dari apa yang telah Ayah dan Ibu berikan selama ini kepada penulis.

11. Kepada Bapak Robert, S.H., M.H., yang telah membantu memberikan saran dan pendapat terhadap penulisan skripsi ini sehingga skripsi ini menjadi lebih baik;

(7)

12. Kepada teman-teman baik di dalam dan di luar lingkungan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan dorongan, semangat dan insipirasi bagi penulis agar dapat menyelesaikan penulisan skripsi.

Semoga Tuhan Yang Maha Esa memberikan balasan yang berlipat ganda atas semua kebaikan yang telah diberikan.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penyusunan skripsi ini masih banyak kekurangan baik dari struktur bahasa, maupun teknik penyajiannya, ini semua karena keterbatasan ilmu dan kemampuan yang ada pada penulis. Oleh karena itu dengan segala kerendahan hati, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi perbaikan sehingga skripsi ini dapat menjadi lebih baik dan bermanfaat bagi penulis sendiri dan pihak-pihak yang membacanya. Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak dan semoga kritik dan saran yang telah diberikan mendapatkan balasan kebaikan berlipat dari Tuhan Yang Maha Esa.

Medan, Febuari 2020 Hormat Saya,

Felix Sofian 160200163

(8)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

BAB I . PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 6

C. Manfaat Penelitian ... 6

D. Tujuan Penelitian ... 7

E. Tinjauan Kepustakaan ... 7

F. Keaslian Penulisan ... 9

G. Metode Penelitian ... 10

H. Sistematika Penelitian ... 15

BAB II. PENGATURAN PENYELESAIAN SENGKETA DI DALAM PERJANJIAN SEWA-MENYEWA RUMAH ... 18

A. Pengaturan Penyelesaian Sengketa Di Dalam Perjanjian Sewa- Menyewa Rumah Yang Dilakukan Secara Tertulis ... 29

B. Pengaturan Penyelesaian Sengketa Di Dalam Perjanjian Sewa- Menyewa Rumah Yang Dilakukan Secara Lisan. ... 44

BAB III. KONSEKUENSI YURIDIS ATAS DILAKUKANNYA PERJANJIAN SEWA-MENYEWA RUMAH SECARA LISAN DALAM KAITANNYA DENGAN WANPRESTASI ... 53

(9)

A. Pengertian Wanprestasi ... 53

B. Bentuk Dan Jenis Wanprestasi ... 54

C. Wanprestasi Dalam Perjanjian Sewa-Menyewa Rumah Yang Dibuat Secara Lisan ... 63

BAB IV. PEMBUKTIAN DARI WANPRESTASI ATAS PERJANJIAN SEWA-MENYEWA YANG DIBUAT SECARA LISAN ... 68

A. Dasar Dan Teori Mengenai Pembuktian Dalam Perdata ... 68

B. Penyelesaian Wanprestasi Sewa-Menyewa Rumah Lisan Melalui Proses Litigasi ... 93

C. Penyelesaian Wanprestasi Sewa-Menyewa Rumah Lisan Melalui Proses Non-Litigasi ... 98

BAB V. PENUTUP ... 103

A. KESIMPULAN ... 103

B. SARAN ... 104

DAFTAR PUSTAKA ... 106

(10)

A. Latar Belakang

Kebutuhan hidup manusia terbagi menjadi kebutuhan primer, sekunder, dan tersier. Kebutuhan primer merupakan kebutuhan yang paling penting yang mana harus dipenuhi oleh setiap orang guna keberlangsungan hidupnya.

Kebutuhan primer terdiri dari sandang, pangan, dan papan. Secara singkat, sandang berarti pakaian sehari-hari, pangan berarti makanan, dan papan berarti tempat tinggal atau rumah. Jika merujuk pada data yang disajikan oleh Badan Pusat Statistik, jumlah penduduk pada tahun mencapai 261,9 juta jiwa dan terus bertambah setiap tahunnya.1 Dengan kata lain, ketersediaan dari sandang, pangan, dan papan sebagai kebutuhan primer manusia haruslah seimbang dengan jumlah penduduk yang ada, yang mana setiap tahun akan mengalami kenaikan.

Alinea IV Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (untuk selanjutnya disebut sebagai UUD 1945) menyatakan bahwa tujuan dibentuknya Negara Republik Indonesia adalah (1) melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; (2) memajukan kesejahteraan umum; (3) mencerdaskan kehidupan bangsa; (4) ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Dalam halnya memajukan kesejahteraan umum sebagaimana yang dinyatakan dalam Pembukaan UUD 1945 turut ditegaskan dalam Pasal 28H ayat (1) UUD 1945:

1 https://jatim.bps.go.id/dynamictable/2018/03/08/371/jumlah-penduduk-menurut- provinsi-di-indonesia-2012---2017-ribu-jiwa- diakses pada tanggal 26 Juli 2019 pukul 16:13 WIB

(11)

Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak mendapatkan pelayanan kesehatan.

Dalam hal pemenuhan kebutuhan primer yakni sandang, pangan dan papan, pada dasarnya harus memperhatikan ketersediaan atas barang yang dimaksud.

Mengutip perkataan Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo pada tahun 2017, dikatakan bahwa pemerintah sejak merdeka pada tahun 1945 hanya sanggup memenuhi kebutuhan sandang penduduknya. 2 Padahal papan merupakan kebutuhan yang penting terhadap pembentukan watak dan kepribadian bangsa guna membangun manusia Indonesia seutuhnya, berjati diri, mandiri, dan produktif sehingga terpenuhinya kebutuhan dasar manusia yang akan terus ada dan berkembang sesuai dengan siklus kehidupan manusia.3 Namun belum semua anggota masyarakat dapat menikmati atau memiliki rumah yang layak, sehat aman dan serasi. Oleh karena itu upaya pembangunan perumahan terus dilaksanakan dengan peningkatan persediaan perumahan dengan harga yang terjangkau.

Untuk memenuhi kebutuhan papan di Indonesia yang mana mempunyai luas wilayah sekitar 1.913.000 kilometer persegi dengan jumlah penduduk sekitar 261,9 juta jiwa merupakan hal yang sulit untuk dilaksanakan.4Hal tersebut dikarenakan ketersediaan lahan guna tempat tinggal bagi masyarakat Indonesia tidak bertambah dari tahun ke tahun. Jumlah penduduk yang bertambah secara cepat tidak sebanding dengan ketersediaan lahan. Adapun dampak yang

2 https://nasional.tempo.co/read/851048/indonesia-baru-penuhi-sandang-tjahjopapan- d a n - p a n g a n - b e l u m d i a k s e s p a d a t a n g g a l 2 3 J u l i 2 0 1 9 p u k u l 2 1 : 0 3 W I B

3 Urip Santoso, Hukum Perumahan, (Jakarta: Kencana, 2016), halaman 2

4 https://www.bps.go.id/statictable/2014/09/05/1366/luas-daerah-dan-jumlah-pulau- menurut-provinsi-2002-2016.html diakses pada tanggal 26 Juli 2019 pukul 21:33 WIB

(12)

ditimbulkan dari ketidakseimbangan jumlah lahan dengan pertumbuhan penduduk yang pesat adalah permasalahan dalam hal kepemilikan rumah.

Dengan naiknya harga tanah maupun perumahan secara otomatis akan mengakibatkan berkurangnya jumlah persentase masyarakat yang memiliki sendiri tempat tinggal. Masyarakat kemudian menjadi berkurang minatnya untuk melakukan jual-beli rumah karena harga yang sudah tidak terjangkau. Selain melalui mekanisme jual-beli, untuk memiliki sebuah tempat tinggal tidak saja hanya dapat melalui kepemilikan saja, melainkan dapat juga dilakukan dengan sewa-menyewa. Hal tersebut dikarenakan dengan sewa-menyewa, masyarakat dapat dengan mudah memiliki sebuah tempat tinggal sementara dengan hanya mengeluarkan sejumlah uang secara berkala sesuai dengan kesepakatan yang dibuat.

Berdasarkan data yang disajikan oleh Badan Pusat Statistik, persentase rumah tangga dengan status kepemilikan rumah milik sendiri terus mengalami penurunan dari tahun ke tahun sejak 2015, yakni 2015 sebesar 82,63%, 2016 sebesar 82,58%, dan 2017 sebesar 79,61%.5 Sedangkan persentase rumah tangga dengan status kepemilikan rumah kontrak/sewa mengalami kenaikan, yakni pada tahun 2015 sebesar 8,08%, 2016 sebesar 8,51% dan 2017 sebesar 9,52%.6Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa masyarakat dalam beberapa tahun belakangan cenderung menempati sebuah tempat tinggal melalui sewa-menyewa daripada jual-beli terlepas dari alasan yang mendasarinya.

5 https://www.bps.go.id/statictable/2009/03/12/1539/persentase-rumah-tangga-menurut- provinsi-dan-status-kepemilikan-rumah-milik-sendiri-1999-2017.html diakses pada tanggal 24 Juli 2019 pukul 19:20 WIB

6 https://www.bps.go.id/statictable/2009/03/12/1541/persentase-rumah-tangga-menurut- provinsi-dan-status-kepemilikan-rumah-kontrak-sewa-1999-2017.html diakses pada tanggal 24 Juli 2019 pukul 19:28 WIB

(13)

Manusia pada dasarnya merupakan makhluk sosial. Manusia memerlukan satu sama lainnya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya melalui suatu hubungan kerjasama. Salah satu hubungan kerjasama tersebut akan menciptakan suatu hubungan hukum yang dinamakan dengan perikatan. Perikatan adalah suatu hubungan hukum antara dua orang atau lebih yang menyebabkan pihak yang satu berhak atas sesuatu dan yang lain mempunyai kewajiban untuk melakukan atau memberikan sesuatu.7

Perjanjian adalah suatu perbuatan di mana seseorang atau beberapa orang mengikatkan dirinya kepada seseorang atau beberapa orang lain. Dalam arti luas perjanjian berarti setiap perjanjian yang menimbulkan akibat hukum sebagai yang dikehendaki oleh para pihak, sedangkan arti sempit dari perjanjian hanya ditujukan kepada hubungan-hubungan hukum dalam lapangan hukum kekayaan saja, seperti yang dimaksud oleh Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.8

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) merupakan sumber hukum formil dan hukum materiil bagi hukum perjanjian yang berlaku di Indonesia. Perjanjian diatur secara khusus dalam KUH Perdata, Buku III, Bab II tentang “Perikatan-perikatan yang Dilahirkan dari Kontrak atau Perjanjian” dan Bab V hingga Bab XVIII yang mengatur mengenai jenis-jenis perjanjian dan pengaturannya secara rinci.

Dalam pembuatan suatu perjanjian menurut KUHPerdata terdapat suatu asas yang dinamakan asas kebebasan berkontrak. Asas tersebut memberikan kebebasan kepada para pihak untuk menentukan konsep dari perjanjian tersebut

7 Kansil, Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2013), halaman 247

8 J.Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1995), halaman 28 (selanjutnya disebut J.Satrio- I)

(14)

seperti dibuat tertulis atau lisan. Setiap orang dapat dengan bebas melakukan atau tidak melakukan perjanjian, dengan siapapun, dengan objek dan syarat perjanjian.9 Salah satu jenis perjanjian yang diatur di dalam KUHPerdata adalah mengenai perjanjian sewa-menyewa yang diatur dalam Bab VII. Dengan diaturnya perjanjian sewa-menyewa di dalam KUHPerdata mengartikan bahwa perjanjian tersebut dapat dilakukan secara tulisan maupun lisan.

Pada umumnya, masyarakat dalam melaksanakan perjanjian sewa- menyewa rumah melakukannya secara tertulis, meskipun terdapat sebagian masyarakat yang melaksanakan perjanjian sewa-menyewa yang didasarkan pada suatu kesepakatan lisan. Bahwa perjanjian sewa-menyewa khususnya rumah yang dilakukan secara lisan memang memberikan kemudahan melakukan suatu perikatan tanpa harus melibatkan notaris atau pihak lainnya yang berkompeten untuknya. Kendati demikian, dalam kehidupan bermasyarakat dapat dijumpai permasalahan yang timbul akibat perjanjian sewa-menyewa rumah yang dilakukan secara lisan. Permasalahan tersebut berupa pembuktian atas perjanjian sewa-menyewa dalam hal terjadinya wanprestasi. Oleh karenanya, penelitian ini akan membahas mengenai perjanjian sewa-menyewa rumah secara lisan disertai dengan pembuktian jikalau terjadi wanprestasi.

Dengan dilakukannya perjanjian sewa-menyewa secara lisan, maka potensi permasalahan hukum ke depan yang timbul dari perjanjian sewa-menyewa lisan. Tidak adanya suatu bukti tertulis mengenai perjanjian sewa-menyewa tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum dalam hal pembuktian. Sebab perjanjian sewa-menyewa secara lisan berlaku dan mengikat para pihak

9Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proposionalitas dalam Kontrak Komerisal, (Jakarta: Kencana, 2014), halaman 110

(15)

didasarkan pada kesepakatan para pihak, yang pada akhirnya bisa merugikan pihak pemberi sewa ataupun pihak penyewa dalam perjanjian sewa-menyewa rumah secara lisan.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dirasa perlu untuk meneliti skripsi yang berjudul “Tinjauan Yuridis Atas Wanprestasi Dalam Perjanjian Sewa-Menyewa Rumah Yang Dibuat Secara Lisan”

B. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana pengaturan penyelesaian sengketa di dalam suatu perjanjian sewa menyewa rumah?

2. Bagaimana konsekuensi atas perjanjian sewa-menyewa rumah secara lisan dalam kaitannya dengan wanprestasi?

3. Bagaimana pembuktian terhadap wanprestasi atas perjanjian sewa- menyewa rumah secara lisan?

C. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini terbagi dari segi teoritis dan praktis, yakni:

1. Segi teoritis; untuk memberikan tambahan literatur sehingga memudahkan pembaca untuk melakukan pengkajian mengenai wanprestasi dalam kaitannya perjanjian sewa-menyewa rumah yang dilakukan secara lisan.

2. Segi praktis; untuk memberikan masukan kepada masyarakat, terlebih kepada para pihak dalam perjanjian sewa-menyewa rumah yang dibuat secara lisan dalam halnya penyelesaian permasalahan yang timbul di kemudian hari.

(16)

D. Tujuan Penelitian

Tujuan penulis terhadap penelitian skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk menguraikan pengaturan penyelesaian sengketa di dalam suatu perjanjian sewa-menyewa rumah baik yang secara tertulis dan lisan;

2. Untuk menjelaskan bagaimana bentuk dari wanprestasi dalam perjanjian sewa-menyewa rumah secara lisan;

3. Untuk menjelaskan bagaimana pembuktian terhadap wanprestasi dalam perjanjian sewa-menyewa rumah yang dibuat secara lisan.

E. Tinjauan Kepustakaan

Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, perikatan memiliki makna yang lebih luas dibandingkan perjanjian. Meskipun tidak diatur secara konkrit makna dari perikatan, buku III KUHPerdata memberikan makna perikatan sebagai “suatu hubungan antara dua orang, yang memberi hak pada yang satu untuk menuntut barang sesuatu dari yang lainnya, sedangkan orang yang lainnya ini diwajibkan memenuhi tuntutan itu.” Adapun mengenai perjanjian terlihat pada pengaturan pasal 1313 KUHPerdata yang berbunyi:

Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.

Perikatan dijelaskan sebagai suatu pengertian yang abstrak, sedangkan perjanjian sebagai suatu peristiwa hukum yang konkrit.10Maka dari itu, perikatan dan perjanjian merupakan hal yang saling berkaitan. Treitel mendefinisikan perjanjian sebagai kesepakatan (agreement) yang memiliki kekuatan hukum.11 Dengan adanya perjanjian sebagai salah satu sumber perikatan telah menimbulkan

10 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata (Jakarta: Kencana,1985), halaman 122

11 Ridwan Khairandy, Iktikad Baik Dalam Kebebasan Berkontrak, (Jakarta: Universitas Indonesia, 2004), halaman 97

(17)

suatu hubungan yang di dalamnya terdapat pengaturan pemenuhan prestasi yang disepakati oleh para pihak .

Prestasi merupakan ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi oleh para pihak, sebagaimana yang diatur dalam pasal 1234 KUHPerdata. Apabila seseorang telah mengikatkan diri terhadap suatu pemenuhan prestasi, akan tetapi tidak memenuhi kewajibannya tersebut, menurut bahasa hukum ia melakukan wanprestasi yang menyebabkan ia dapat digugat di depan hakim.12 Menurut M.

Yahya Harahap, wanprestasi dimaknai sebagai “pelaksanaan kewajiban yang tidak tepat waktunya atau dilakukan tidak menurut selayaknya”.

Asas kebebasan berkontrak sebagai salah satu asas dalam suatu perjanjian, kontrak atau perjanjian didasarkan pada kehendak bebas para pihak dalam perjanjian, tidak hanya bagi terciptanya perjanjian, tetapi juga definisi dan validitas isi perjanjiannya.13 Anson, dalam Anson’s Law of Contract menyebutkan bahwa esensi dari perjanjian adalah bertemunya kehendak para pihak, dan kesepakatan merupakan hasil dari pemikiran bebas dan disepakati bersama.14 Kehendak para pihak itulah yang menekankan pada kebebasan individu dijadikan sebagai dasar perjanjian untuk menyusun perjanjian dengan memperhatikan ketertiban umum.

Perjanjian sewa-menyewa merupakan bagian dari Buku III KUHPerdata yang diatur dari Pasal 1548 sampai 1580. Sewa-menyewa ialah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk memberikan kepada pihak yang lainnya kenikmatan dari sesuatu barang, selama suatu waktu tertentu dan dengan pembayaran sesuatu harga, yang oleh pihak tersebut belakangan itu

12 Ibid., halaman 123

13 Ridwan Khairandy, op.cit., halaman 90

14 Ibid., halaman 97

(18)

disanggupi pembayarannya.15Adapun pihak penyewa menerima suatu barang tersebut untuk digunakan, sedangkan pemberi sewa menerima pembayaran sejumlah uang sebagai hubungan timbal balik dari hubungan sewa-menyewa.

Sewa-menyewa sebagai salah satu bentuk perjanjian dalam KUHPerdata lahir dari konsensus atau kesepakatan tanpa harus mengikuti kebakuan dan persyaratan dalam kontrak riil, yang diikuti dengan adanya asas iktikad baik.

Pemenuhan prestasi atas sewa-menyewa yang dibuat secara lisan tergantung pada iktikad baik dari para pihak. Dengan tidak dilaksanakannya iktikad baik, pada umumnya perjanjian tersebut akan diselesaikan melalui proses pengadilan ataupun di luar pengadilan.

F. Keaslian Penulisan

Penelitian yang berjudul “Tinjauan Yuridis Atas Wanprestasi Dalam Perjanjian Sewa-Menyewa Rumah Yang Dibuat Secara Lisan” ini dijamin keasliannya. Gagasan awal dari penelitian ini didasari dari pengalaman pribadi dari keluarga peneliti yang melakukan perjanjian sewa-menyewa rumah secara lisan. Peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenainya karena peneliti ingin menelusuri bagaimana perjanjian sewa-menyewa yang dilakukan secara lisan dapat menimbulkan permasalahan dalam hal ini wanprestasi baik terhadap penyewa maupun pemberi sewa. Hal tersebut dikarenakan aturan mengenai perjanjian yang berlaku di Indonesia saat ini pada dasarnya memperbolehkan suatu perjanjian dilakukan secara lisan.

Jika dilihat dari keberadaan karya tulis mengenai ini, tulisan yang berjudul sama dengan ini sebelumnya belum ada di lingkungan Fakultas Hukum

15 Pasal 1548 KUHPerdata

(19)

Universitas Sumatera Utara. Terdapat berbagai tulisan yang berhubungan dengan perjanjian sewa-menyewa dan wanprestasi, namun belum ada pembahasan mengenai keterkaitan antar keduanya dengan objek rumah serta secara lisan.

Beberapa diantaranya seperti “Tinjauan Yuridis Terhadap Wanprestasi Dalam Perjanjian Sewa-Menyewa Kapal Tongkang (Studi Putusan Perdata Pengadilan Negeri Medan No. 503/Pdt.G/2009/PN-Mdn)” yang ditulis oleh Heri Syahputra yang membahas mengenai perjanjian sewa-menyewa dengan objek kapal tongkang. Rumusan masalah yang dibahas dalam penelitian tersebut adalah (1) Bagaimana perjanjian sewa-menyewa kapal tongkang dan pengaturan hukumnya?

(2) Bagaimana perjanjian sewa-menyewa kapal tongkang dalam pelaksanaanya?

(3) Bagaimana wanprestasi dalam perjanjian sewa-menyewa kapal tongkang (studi putusan perdata Pengadilan Negeri Medan No.503/PDT.G/2009/PN-MDN).

Ada lagi “Analisis Yuridis Tentang Perbuatan Melanggar Isi Perjanjian (Wanprestasi) Sewa-Menyewa Rumah Secara Lisan Yang Dilakukan Pihak Penyewa (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri No. 03/PDT.G/2012/PN. PWR)”

sebagai tesis yang ditulis oleh Nanda Yustiansya. Rumusan masalah yang dibahas dalam penelitian tersebut adalah (1) Bagaimana keabsahan perjanjian sewa- menyewa secara lisan? (2) Bagaimana perlindungan hukum bagi pihakpemberi sewa yang mengalami wanprestasi di dalam perjanjian lisan? dan (3) Bagaimana akibat hukum terhadap pihak yang melakukan wanprestasi di dalam perjanjian lisan ditinjau dari putusan pengadilan negeri no. 03/pdt.g/2012/pn.pwr?

G. Metode Penelitian

Kegiatan yang dilakukan dalam suatu penelitian hukum adalah kegiatan know-how, yang mana dilakukan untuk menyelesaikan suatu isu hukum yang

(20)

terjadi.16Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang dilakukan berdasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu sehingga dapat menganalisa satu atau beberapa gejala hukum guna mempelajarinya.17Dalam hal menghasilkan argumentasi hukum diperlukan suatu analisis hukum sebagai pedoman untuk melakukannya. Pedoman tersebut dilakukan dengan mengumpulkan fakta hukum, perumusan masalah hukum, penelusuran dan analisis, sehingga membantu peneliti untuk mencari pemecahan masalah atas suatu isu hukum di masyarakat.

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian hukum normatif (yuridis normatif). Penelitian hukum normatif adalah penelitian yang dilakukan dengan dengan bahan hukum kepustakaan dengan cara mengkaji dokumen, asas hukum dan peraturan perundang-undangan atau bisa dikenal dengan penelitian hukum doktrinal (doctrinal research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Adapun tujuannya adalah untuk mendapatkan hubungan antara peraturan dengan implementasinya di dalam masyarakat. Selain mengacu pada norma hukum dalam peraturan perundang- undagan dan putusan pengadilan serta yang hidup di masyarakat, juga melihat sinkronisasi antar peraturan secara hierarki.18 Menurut Peter Mahmud Marzuki, segala penelitian yang berkaitan dengan hukum (legal research) adalah normatif.

16 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (Jakarta: Kencana, 2005), halaman 83

17 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (UI Press, 2008), halaman 43

18 Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), halaman 105

(21)

2. Sifat Penelitian

Sifat Penelitian adalah deskriptif, dengan maksud untuk menjelaskan dan menguraikan bagaimana suatu wanprestasi itu timbul dari perjanjian sewa- menyewa yang dibuat secara lisan dengan berusaha menemukan aturan-aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum tentang perjanjian sewa-menyewa rumah yang dilakukan secara lisan untuk selanjutnya dianalisis dengan berpedoman dan menggambarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku berkaitan dengan teori hukum dan praktik pelaksanaan hukum positif yang menyangkut masalah dalam penelitian ini.

3. Sumber Data

Untuk memecahkan isu hukum dan melakukan analisis terhadap suatu isu hukum yang terjadi di masyarakat, penulis menggunakan data yang terdiri dari data sekunder.

Data sekunder adalah data yang diperoleh secara tidak langsung dari masyarakat, melainkan melalui perantara ataupun kepustakaan seperti buku, jurnal, dan sejenisnya. Adapun dalam penelitian hukum dibutuhkan bahan hukum yang mana merupakan bagian dari data sekunder, terdiri dari:

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer merupakan bahan yang bersifat autoritatif yang terdiri atas peraturan perundang-undangan, catatan resmi, risalah dalam pembuatan peraturan perundang-undangan dan putusan hakim.19Dalam penelitian ini bahan hukum primernya yakni peraturan perundang-undangan

19 Peter Mahmud Marzuki, op.cit., halaman 181.

(22)

yang salah satunya adalah Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Putusan Pengadilan.

Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga Negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. 20 Dalam konteks KUHPerdata yang merupakan produk peraturan perundang-undangan warisan kolonial Belanda, berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 ditetapkan pemberlakuannya sebagai UU yang berlaku di Indonesia. Dengan demikian, KUHPerdataberkedudukan sebagai Undang-Undang sebagaimana hierarki peraturan perundang-undangan.21

Dalam kedudukan bahan hukum primer, putusan pengadilan menduduki posisi sesudah peraturan perundang-undangan. Hakim dalam melaksanakan tugasnya menggunakan prinsip yang terdapat dalam undang- undang dan kemudian mengembangkannya melalui penerapan yang bijak dan masuk akal.22

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder adalah merupakan bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisa

20 Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 12 Tahun 2012 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

21 Pasal 7 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2012 menyebutkan bahwa jenis dan hierarki peraturan perundangan terdiri atas: a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; d. Peraturan Pemerintah; e. Peraturan Presiden; f. Peraturan Daerah Provinsi; dan g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

22 Zainuddin Ali, op.cit., halaman 51

(23)

bahan hukum primer.23Penggunaan bahan hukum sekunder memberikan penjelasan atas bahan hukum primer, seperti misalnya undang-undang, karya hukum, hasil penelitian, dan lainnya.24 Adapun beberapa bentuk bahan hukum sekunder, yaitu:

1) Buku-buku ilmiah, 2) Makalah-makalah, 3) Pendapat para ahli, 4) Kasus-kasus hukum, dan 5) Jurnal-jurnal.

c. Bahan Non-Hukum

Bahan non-hukum merupakan bahan-bahan hukum yang sifatnya sebagai petunjuk atau penjelasan bahan-bahan hukum primer dan sekunder yang telah dikumpulkan untuk penelitian, seperti kamus hukum, ensiklopedia, majalah, surat kabar, dan sebagainya.25 Penggunaan bahan non-hukum digunakan untuk memperkuat argumentasi peneliti terhadap penelitiannya.

Penggunaan bahan non-hukum hanya meliputi bahan yang relevan dengan topik penelitian.26

4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan sumber-sumber penelitian kepustakaan, yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan-bahan sekunder. Adapun

23 Ibid., halaman 54

24 Soerjono Soekanto, op.cit., halaman 52

25 Zainuddin Ali, op,cit.,. halaman 107

26 Dyah Ochtorina S dan A’an Efendi, Penelitian Hukum (Legal Research), (Surabaya:

Sinar Grafika, 2013), halaman 109

(24)

bahan sekunder yang digunakan dalam penelitian skripsi ini berasal dari buku- buku dan jurnal-jurnal hukum.27

Dalam pengumpulan sumber-sumber penelitian ini diperlukan berbagai tahap-tahap pengumpulan studi pustaka untuk mendapatkan argumentasi hukum yang relevan dengan topik pembahasan, melakukan penelusuran kepustakaan melalui media cetak atau elektronik, mengelompokkan sumber-sumber penelitian yang relevan dengan perumusan masalah dan menganalisis sumber-sumber penelitian untuk mencari penyelesaian masalah yang menjadi objek pembahasan.

5. Analisa Data

Penelitian ini dilakukan dengan analisis data dengan pendekatan kualitatif yang menggunakan pola pikir deduktif. Pendekatan kualitatif merupakan pendekatan yang penjelasannya menggunakan kata-kata. Pendekatan kualitatif pada umumnya tidak membutuhkan populasi dan sampel dalam penelitiannya.28Dengan itu penelitian lebih menitikberatkan kepada sumber hukum primer dan sekunder. Penggunaan pendekatan deduktif yang mana proses berawal dari proposisi-proposisi umum yang kebenarannya diketahui yang merupakan kebenaran ideal bersifat aksiomatik yang esensi kebenarannya tidak perlu diragukan dan berakhir pada kesimpulan yang lebih khusus.

H. Sistematika Penelitian

Demi kemudahan dalam memahami setiap pembahasan dalam tulisan ini, penulis membagi tulisan ini dalam 5 (lima) bab yang saling berhubungan satu dengan lainnya. Adapun sistematika penelitian adalah sebagai berikut:

Bab I – Pendahuluan

27 Zainuddin Ali, op,cit.,. halaman 107

28 Ibid., halaman 105

(25)

Bab I menguraikan mengenai latar belakang atas judul yang dituliskan oleh penulis, dengan disertai rumusan masalah, tujuan penelitian, pernyataan keaslian penelitian, metode yang digunakan dalam penelitian serta sistematika pembahasan dalam penelitian ini.

Bab II – Pengaturan Penyelesaian Sengketa Di Dalam Perjanjian Sewa-Menyewa Rumah

Bab II menguraikan mengenai pengaturan dalam penyelesaian sengketa yang ditimbulkan terhadap perjanjian sewa-menyewa rumah yang dibuat secara tertulis dan lisan. Selain itu di dalam Bab II ini turut membahas sedikit mengenai bagaimana perjanjian sewa-menyewa rumah secara lisan ini berlaku di Indonesia.

Bab III – Konsekuensi Yuridis Atas Dilakukannya Perjanjian Sewa-Menyewa Rumah Secara Lisan Dalam Kaitannya Dengan Wanprestasi

Bab III menguraikan tentang wanprestasi atas suatu perjanjian sewa- menyewa rumah yang dilakukan secara lisan. Hal tersebut berkaitan dengan wanprestasi yang kemungkinan timbul dari salah satu pihak dalam perjanjian sewa-menyewa tersebut.

Bab IV – Pembuktian Dari Wanprestasi Atas Perjanjian Sewa-Menyewa Rumah Yang Dibuat Secara Lisan

Bab IV menguraikan mengenai dasar-dasar pembuktian serta penyelesaian atas wanprestasi sewa-menyewa rumah secara lisan dalam proses pembuktiannya, baik melalui penyelesaian litigasi maupun non-litigasi. Perjanjian yang dilakukan secara lisan pada dasarnya telah mengikat para pihak yang bersangkutan karena telah adanya suatu kesepakatan. Dengan tidak adanya suatu dasar hubungan

(26)

perjanjian antara para pihak yang dilakukan secara tertulis, pada dasarnya akan menjadi suatu permasalahan dalam hal pembuktian di kemudian hari.

Bab V – Penutup

Bab V sebagai bab penutup akan menguraikan hal-hal yang menjadi kesimpulan atas penelitian yang telah dilakukan dengan disertai saran-saran yang penulis rasa perlu untuk disampaikan atas permasalahan tersebut.

(27)

PERJANJIAN SEWA-MENYEWA RUMAH

Perjanjian diatur dengan judul “Perihal Perikatan” dalam Buku III KUHPerdata. Hal tersebut dikarenakan perjanjian dan perikatan merupakan suatu yang tidak dapat dipisahkan. Meskipun demikian, di dalam Buku III KUHPerdata tidak hanya mengatur perihal perikatan dengan perjanjian saja, sebagaimana diatur dalam Pasal 1233 KUHPerdata. Namun dikarenakan substansi di dalam Buku III KUHPerdata lebih banyak mengatur mengenai perikatan yang timbul dari perjanjian, maka disebutkan juga bahwa Buku III KUHPerdata mengatur tentang hukum perjanjian.29

Perjanjian berasal dari istilah overeenkomst (Belanda) dan agreement (Inggris), sehingga hukum perjanjian merupakan terjemahan dari overeenscomsrecht (Belanda) dan contract law (Inggris). Menurut Salim H. S, mengatakan hukum perjanjian adalah: “Keseluruhan dari kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum.”30 Hukum perjanjian merupakan suatu sistem yang sifatnya terbuka dengan memberikan kebebasan kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian dimana isi perjanjian tersebut dibebaskan sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, ketertiban umum dan kesusilaan.31

29 Subekti, op.cit., halaman 122

30 Dwi Ratna Indri Hapsari, “Kontak Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Hukum Islam (Suatu Kajian dalam Perspektif Asas-Asas Hukum)”, Jurnal Repetorium Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2014, halaman 85

31 Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: Penerbit Intermasa, 2002), halaman 13

(28)

Adapun unsur-unsur yang terdapat di dalam hukum perjanjian ialah adanya: 32

1. Kaidah hukum

Kaidah hukum perjanjian terbagi menjadi dua yakni tertulis dan tidak tertulis. Kaidah hukum perjanjian tertulis adalah kaidah hukum yang terdapat di dalam peraturan perundang-undangan, traktat, dan yurisprudensi. Sedangkan kaidah hukum perjanjian tidak tertulis adalah kaidah hukum yang berasal dari masyarakat atau nilai hukum adat.

2. Subjek hukum

Pendukung hukum perjanjian sekurang-kurangnya harus ada dua orang tertentu yang berkepentingan. Subjek hukum dalam hukum perjanjian disebut dengan istilah kreditur dan debitur. Kreditur mempunyai hak atas prestasi dan debitur wajib memenuhi pelaksanaan prestasi.33

3. Prestasi

Prestasi merupakan hal yang harus dipenuhi dalam suatu perikatan.

Pemenuhan dari suatu perikatan merupakan hakikat dari suatu perikatan.

Pasal 1234 KUHPerdata menyebutkan bahwa “tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu.” Tanpa prestasi, hubungan hukum yang dilakukan tidak mempunyai arti di dalam hukum perjanjian.34

32 Dwi Ratna Indri Hapsari, op.cit., halaman 85

33 M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, (Bandung: Penerbit Alumni, 1986), halaman 15

34 Ibid., halaman 7

(29)

4. Kesepakatan

Kesepakatan merupakan bentuk persesuaian pernyataan kehendak antara para pihak, yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata mengenai syarat sah suatu perjanjian.

5. Akibat hukum

Akibat hukum dari suatu perjanjian adalah timbulnya hak dan kewajiban.

Setiap perjanjian yang dibuat oleh para pihak akan menghasilkan akibat hukum.

Syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam membuat suatu perjanjian diatur di dalam Pasal 1320 KUHPerdata yang isinya adalah sebagai berikut.

Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat:

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;

2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;

3. Suatu hal tertentu;

4. Suatu sebab yang halal.

Syarat pertama dan kedua disebut dengan syarat subjektif karena menyangkut pihak-pihak yang mengadakan perjanjian. Apabila syarat pertama dan kedua tidak terpenuhi, perjanjian tersebut dapat dibatalkan (voidable). Syarat ketiga dan keempat disebut syarat objektif, karena menyangkut objek dari perjanjian. Apabila syarat ketiga dan keempat tidak terpenuhi, perjanjian tersebut dianggap tidak pernah ada atau batal demi hukum (null and void).35

Yang dimaksud dengan dapat dibatalkan adalah kondisi dimana salah satu pihak dapat meminta pembatalan atas perjanjian tersebut. Perjanjian mengikat para pihak selama tidak dibatalkan atas permintaan pembatalan sebagaimana

35 Niru Anita Sinaga, “Peranan Asas-Asas Hukum Perjanjian Dalam Mewujudkan Tujuan Perjanjian”, Binamulia Hukum Fakultas Hukum Universitas Dirgantara Marsekal Suryadarma Jakarta, 2018, halaman 112

(30)

syarat subjektif. Sedangkan batal demi hukum adalah kondisi dimana perjanjian tersebut dianggap tidak pernah ada atau tidak pernah dilahirkan.

Dalam hukum perjanjian terdapat asas-asas yang perlu diperhatikan, yakni:36

1. Asas Kebebasan Berkontrak

Asas kebebasan berkontrak atau freedom of contract diatur di dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata. Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata menyebutkan:

Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang- undang bagi mereka yang membuatnya.

Dengan adanya kemauan para pihak untuk melakukan perjanjian dan saling mengikatkan diri, kewajiban kontraktual tersebut menjadi sumber bagi para pihak secara bebas menentukan isi perjanjian tersebut. Dengan kehendak tersebut, para pihak secara bebas mempertemukan kehendak mereka masing-masing. Asas kebebasan berkontrak berkaitan dengan isi perjanjian.37 Asas ini merupakan asas yang memberikan kebebasan para pihak untuk:

a. Membuat atau tidak membuat perjanjian;

b. Mengadakan perjanjian dengan siapapun;

c. Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya; serta d. Menentukan bentuk perjanjiannya apakah tertulis atau tidak.

36 Yahman, Karakteristik Wanprestasi & Tindak Pidana Penipuan Yang Lahir dari Hubungan Kontraktual, (Jakarta: Prenandamedian, 2014), halaman 7

37 Ridwan Khairandy,op.cit., halaman 29

(31)

2. Asas Konsensualisme

Kesepakatan merupakan persesuaian antara kehendak dan pernyataan yang dibuat oleh para pihak. Asas konsensualisme dapat disimpulkan dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Arti asas konsensualisme ialah pada dasarnya perjanjian dan peikatan yang timbul karenanya itu sudah dilahirkan sejak detik tercapainya kesepakatan. 38 Asas ini menyatakan bahwa pada umumnya perjanjian tidak diadakan secara formal, melainkan cukup dengan adanya kesepakatan dari para pihak. Asas konsensualisme berkaitan dengan lahirnya suatu perjanjian.

3. Asas Kekuatan Mengikat

Di dalam suatu perjanjian terdapat suatu asas yang dinamakan asas kekuatan mengikat. Suatu perjanjian tidak semata-mata terbatas pada apa yang diperjanjikan, akan tetapi terdapat beberapa unsur lain sepanjang dikehendaki oleh kebiasaan dan kepatutan serta moral yang turut mengikat para pihak. Asas ini dapat disimpukan dari Pasal 1338 KUHPerdata.

4. Asas Iktikad Baik

Asas iktikad baik dapat disimpulkan pada Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata;

Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik.

Para pihak dalam perjanjian harus memenuhi hak dan kewajibannya berdasarkan apa yang telah disepakati sebelumnya di dalam perjanjian terkait dengan mengedepankan kepercayaan dan kemauan baik dari para pihak. Iktikad baik pada dasarnya merupakan ruh dalam

38 Subekti, op.cit.,halaman 15

(32)

memahami, melahirkan dan melaksanakan perjanjian. Dengan menerapkan iktikad baik dalam suatu perjanjian akan memberikan kenyamanan dalam pelaksanaannya.39

Terdapat dua makna iktikad baik. Pertama, dalam kaitannya dengan pelaksanaan perjanjian. Kedua, iktikad baik sebagai keadaan tidak mengetahui adanya cacat. Dalam tahap negosiasi, para pihak mempunyai kewajiban berdasarkan iktikad baik, yakni kewajiban untuk memeriksa dan kewajiban untuk .40 Dengan demikian, para pihak dapat mengetahui objek perjanjian secara keseluruhan tanpa adanya hal yang disembunyikan.

5. Asas Personalitas

Asas personalitas disebut juga dengan asas kepribadian tercantum dalam Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUHPerdata. Asas ini merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang yang melakukan dan/atau perjanjian adalah untuk kepentingan individu itu sendiri.

Pasal 1315 KUHPerdata:

Pada umumnya tak seorang dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji dari pada untuk dirinya sendiri.

Pasal 1340 KUHPerdata:

Suatu perjanjian hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya.

Adapun kesimpulan dari asas personalitas dalam pasal-pasal tersebut ialah suatu perjanjian hanyalah dibuat untuk kepentingan pembuat perjanjian itu sendiri. Namun Pasal 1317 KUHPerdata memberikan

39 https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt524946679eefe/perlu-ada-kepastian- hukum-soal-iktikad-baik/ diakses pada tanggal 9 November 2019 pukul 20:39 WIB

40 Yahman, op.cit., halaman 77

(33)

kewenangan kepada seseorang untuk mengadakan suatu perjanjian untuk kepentingan pihak ketiga.

Pasal 1317 KUHPerdata:

Lagi pun diperbolehkan juga untuk meminta ditetapkannya suatu janji guna kepentingan seorang pihak ketiga, apabila suatu penetapan janji, yang dibuat oleh seorang untuk dirinya sendiri, atau suatu pemberian yang dilakukannya kepada seorang lain, memuat suatu perjanjian yang seperti itu.

Siapa yang telah memperjanjikan sesuatu seperti itu, tidak boleh menariknya kembali, apabila pihak ketiga tersebut telah menyatakan hendak mempergunakannya.

Di dalam lokakarya Hukum Perikatan yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dari tanggal 17 sampai 19 Desember 1985 telah berhasil dirumuskan delapan asas hukum perikatan nasional.

Adapun dijelaskan kedelapan asas tersebut oleh Mariam Darus Badrulzaman adalah sebagai berikut:41

6. Asas Kepercayaan

Seseorang yang mengadakan perjanjian dengan pihak lain dibutuhkan kepercayaan antara mereka untuk memegang dan melaksanakan janjinya. Tanpa adanya kepercayaan, perikatan dalam perjanjian tidak akan dapat dilaksanakan oleh para pihak.

7. Asas Persamaan Hukum

Asas persamaan hukum ini meletakkan para pihak sebagai subjek hukum yang mengadakan perjanjian mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama dalam hukum. Para pihak wajib melihat persamaan ini dan mengharuskan kedua pihak untuk menghormati satu sama lain

41 Mariam Darus Badrulzaman dkk, op.cit., halaman 87-89

(34)

sebagai manusia ciptaan Tuhan dengan tidak memperhitungkan perbedaan kulit, bangsa, kekayaan, kekuasaan, jabatan, agama dan ras.

8. Asas Keseimbangan

Asas keseimbangan menghendaki kedua belah pihak untuk memenuhi dan melaksanakan perjanjian. Kreditur mempunyai kekuatan untuk menuntut prestasi dan apabila diperlukan dapat dituntut pemenuhan prestasi dari kekayaan debitur, namun debitur juga berkewajiban untuk melaksanakan perjanjian dengan iktikad baik. Kedudukan kreditur yang kuat diikuti dengan kewajibannya untuk memperhatikan iktikad baik sehingga kedudukan kreditur dan debitur seimbang.

9. Asas Kepastian Hukum

Perjanjian sebagai suatu figur hukum harus mengandung kepastian hukum yang terlihat dari kekuatan mengikatnya perjanjian tersebut. Hal tersebut dikarenakan ketika perjanjian telah mengikat para pihak, maka perjanjian tersebut mengikat selayaknya sebuah undang-undang. Asas kepastian hukum dalam suatu perjanjian dapat disimpulkan pada Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata seperti halnya asas kebebasan berkontrak.

Tercapainya kesepakatan akan menimbulkan kekuatan mengikat perjanjian seperti sebuah undang-undang (Pacta Sunt Servanda). Para pihak harus menghormati substansi dari perjanjian yang dibuat selayaknya sebuah undang-undang. Apa yang dinyatakan seseorang seseorang dalam suatu hubungan hukum menjadi hukum bagi mereka. Asas kepastian hukum berkaitan dengan akibat hukum.42

42 Ridwan Khairandy, loc.cit.

(35)

Dalam kehidupan bermasyarakat, manusia membutuhkan manusia lain untuk saling melengkapi yang melahirkan suatu hubungan. Hubungan tersebut akan melahirkan hak dan kewajiban dalam wujud suatu perjanjian.

Perjanjian yang sudah dibuat tersebut tidak dapat ditarik kembali secara sepihak, kecuali dengan kesepakatan kedua belah pihak sebagaimana Pasal 1338 ayat (2) KUHPerdata.43

10. Asas Moral

Asas moral terikat dalam perikatan wajar, dimana suatu perbuatan sukarela dari seseorang tidak menimbulkan hak baginya untuk menggugat prestasi dari pihak debitur atau seseorang melakukan perbuatan dengan sukarela (zaakwarneming). Yang bersangkutan mempunyai kewajiban hukum untuk meneruskan dan menyelesaikan perbuatannya. Faktor-faktor yang memberikan motivasi yang bersangkutan melakukan perbuatan hukum itu berdasarkan pada kesusilaan (moral), sebagai panggilan dari hati nuraninya.

11. Asas Kepatutan

Asas kepatutan berkaitan dengan ketentuan mengenai isi perjanjian, karena merupakan asas yang memiliki hubungan dengan rasa keadilan dalam masyarakat. Asas ini dapat disimpulkan dalam Pasal 1339 KUHPerdata, yang berbunyi:

Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang.

43 Yahman, op.cit., halaman 76

(36)

12. Asas Kebiasaan

Asas Kebiasaan dipandang sebagai bagian yang tidak terlepaskan dari suatu perjanjian. Seperti asas kepatutan, asas kebiasaan dicantumkan dalam Pasal 1339 KUHPerdata. Suatu perjanjian tidak hanya mengikat apa yang secara tegas diatur, akan tetapi juga hal-hal yang berlaku menurut kebiasaan dalam kehidupan bermasyarakat.

13. Asas Perlindungan

Asas perlindungan dalam perjanjian dimaksudkan sebagai hubungan kreditur dan debitur yang dalam melaksanakan perjanjian harus dilindungi oleh hukum. Dalam aspek kedudukan subjek hukum dalam perjanjian, pihak debitur merupakan pihak yang lemah, sehingga asas perlindungan ini menjadi dasar bagi para pihak untuk menentukan dan membuat suatu perjanjian.

Eksistensi dari asas kebebasan berkontrak sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya diatas dapat terlihat dari bentuk suatu perjanjian tersebut dibuat. Adapun bentuk dari perjanjian dapat berupa:

a. Perjanjian dalam bentuk tertulis.

Perjanjian yang dibuat dalam bentuk tertulis akan menghasilkan sebuah dokumen yang dikenal dengan sebutan akta. Akta dibuat oleh seorang pejabat publik (publicae personae). Dalam hukum romawi, akta disebut sebagai gesta atau instrumenta forensia, juga disebut sebagai publica monumenta atau acta publica, sehingga muncul kata-kata

(37)

publicare dan insurnari, actis inseri, yang artinya mendaftar secara publik.44 Akta digolongkan menjadi dua jenis diantaranya:

(1) Akta Otentik

Berdasarkan Pasal 1868 KUHPerdata memberikan pengertian akta otentik sebagai “suatu akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat di mana akta dibuatnya.” Dalam Pasal 285 R.Bg./165 H.I.R menyebutkan Akta otentik memberikan bukti yang cukup bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya dan sekalian orang yang mendapat hak dari padanya, tentang segala hal yang tersebut di dalam surat itu, dan juga tentang yang tercantum dalam surat itu sebagai pemberitahuan saja; tetapi yang tersebut kemudian itu hanya sekedar diberitahukan itu langsung berhubung dengan pokok yang disebutkan dalam akta tersebut.45

(2) Akta Di Bawah Tangan

Pasal 1874 KUHPerdata menyatakan akta di bawah tangan sebagai “surat-surat, register-register, surat-surat urusan rumah tangga dan lain-lain tulisan yang dibuat tanpa perantaraan seorang pegawai umum.” Dengan kata lain akta di bawah tangan merupakan akta yang sengaja dibuat untuk pembuktian oleh para

44 Muhammad Adam, 1985, Ilmu Pengetahuan Notariat, Sinar Baru, Bandung, halaman 252 dalam A. A.Gde.Pradantya Adhi Wibawa dkk, “Bentuk Perjanjian Sewa-Menyewa Rumah Toko (Ruko) Antara Penyewa Ruko Dengan Pemilik Ruko Di Kota Denpasar”, Vol. 01, No. 04, Fakultas Hukum Universitas Udayana, 2013, halaman 3

45 K. Wantjik Saleh, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002), halaman 71-72

(38)

pihak tanpa bantuan dari seorang pejabat yang diperuntukan untuk kepentingan para pihak dalam suatu perjanjian. Menurut Pasal 1875 KUHPerdata, suatu akta di bawah tangan memberikan para pihak yang menandatanganinya serta para ahli waris dan orang yang mendapat hak dari pada mereka sebuah alat bukti yang sempurna seperti halnya sebuah akta otentik.

b. Perjanjian dengan bentuk lisan

Perjanjian dalam bentuk lisan adalah sah menurut hukum untuk dijadikan dasar berlakunya suatu perjanjian. Berbeda dengan bentuk tertulis, perjanjian lisan tidak menjelaskan secara detail mengenai ketentuan dan hal-hal yang telah disetujui dalam sebuah dokumen.

Meskipun suatu perjanjian dibuat secara lisan, suatu perjanjian wajib memenuhi persyaratan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Perjanjian yang dibuat secara lisan turut juga mengikat secara hukum bagi para pihak yang membuatnya atau pacta sunt servanda.46

A. Pengaturan Penyelesaian Sengketa Di Dalam Perjanjian Sewa-Menyewa Rumah Yang Dilakukan Secara Tertulis

1. Perjanjian Sewa-Menyewa Rumah

Sewa-menyewa diatur di dalam Pasal 1547-1600 KUHPerdata.

Pasal 1548 KUHPerdata:

Sewa-menyewa ialah suatu perjanjian, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk memberikan kepada pihak yang lainnya kenikmatan dari sesuatu barang, selama suatu waktu tertentu dan

46 https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt51938378b81a3/tentang- pembuktian-perjanjian-tidak-tertulis diakses pada tanggal 21 November 2019, pukul 20:15

(39)

dengan pembayaran sesuatu harga, yang oleh pihak tersebut belakangan itu disanggupi pembayarannya.

Dalam uraian Pasal 1548 KUHPerdata disebutkan bahwa objek dari perjanjian sewa-menyewa adalah kenikmatan dari suatu barang. Yang dimaksud dengan kenikmatan yang diberikan dalam suatu perjanjian sewa- menyewa ialah kekuasaan untuk menggunakan barang milik orang lain.

Kekuasaan tersebut berupa hak sewa atas barang yang diperjanjikan.

Secara sederhana, barang yang dinikmati oleh penyewa bukanlah miliknya sendiri, melainkan milik orang lain yang disertai dengan pembayaran atas penggunaan barang tersebut. Barang tersebut diserahkan tidak untuk dimiliki, tetapi hanya untuk dipakai saja sehingga penyerahan barang kepada penyewa hanya terbatas pada kekuasaan. Jika barang tersebut diserahkan tanpa ada kewajiban pembayaran apapun, perjanjian tersebut merupakan perjanjian pinjam-pakai. Jika barang tersebut diserahkan dengan diikuti dengan kewajiban pembayaran, perjanjian tersebut merupakan perjanjian sewa-menyewa.47

Disebutkan bahwa perjanjian sewa-menyewa berlaku selama waktu tertentu, artinya penggunaan barang yang disewakan tersebut oleh penyewa dibatasi waktunya sebagaimana kesepakatan para pihak.

Terikatnya para pihak dalam hubungan sewa-menyewa seharusnya telah dicantumkan dengan tegas di dalam perjanjian. Dengan ketegasan penetapan waktu penguasaan barang tersebut, hubungan hukum antara para pihak tidak dapat terputus secara sepihak sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 1579 KUHPerdata:

47 Subekti, op.cit., halaman 90

(40)

Pihak yang menyewakan tidak dapat menghentikan sewa dengan menyatakan hendak memakai sendiri barang yang disewakan, kecuali jika telah diperjanjikan sebaliknya.

Akan tetapi, dengan tidak diaturnya waktu tertentu dalam perjanjian sewa bukan berarti bahwa perjanjian sewa-menyewa tersebut menjadi tidak sah. Perjanjian sewa-menyewa tanpa menetapkan waktu tertentu tetaplah mengikat para pihak dengan kondisi dimana penyewa dapat menghentikan sewanya kapan saja, sepanjang ada pemberitahuan jauh hari sebelumnya mengenai pengakhiran sewa sesuai kebiasaan masyarakat yang berlaku.48

Di dalam sewa-menyewa terdapat para pihak yang dikenal dengan istilah “penyewa” dan “pemberi sewa”. Penyewa merupakan pihak yang diberikan kekuasaan untuk menikmati suatu barang yang diberikan oleh pemberi sewa. Dalam hal ini pemberi sewa memiliki kewajiban yang harus dipenuhi sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1550 KUHPerdata, yakni:

1. Menyerahkan barang yang disewakan kepada si penyewa;

2. Memelihara barang yang disewakan sedemikian, hingga barang itu dapat dipakai untuk keperluan yang dimaksudkan;

3. Memberikan si penyewa kenikmatan yang tenteram daripada barang yang disewakan selama berlangsungnya sewa.

Selain itu Pasal 1551 KUHPerdata turut mengatur mengenai kewajiban lain yang harus dilaksanakan oleh pemberi sewa:

Pihak yang menyewakan diwajibkan menyerahkan barang yang disewakan dalam keadaan terpelihara segala-galanya. Ia harus

48 Ibid.

(41)

selama waktu sewa menyuruh melakukan pembetulan-pembetulan pada barang yang disewakan, yang perlu dilakukan, terkecuali pembetulan-pembetulan yang menjadi kewajiban si penyewa.

Perumusan pasal tersebut dapat dimaknai bahwa tidak menutup kemungkinan barang yang tidak terpelihara tidak boleh disewakan. Hal tersebut dapat terjadi dengan ketentuan pihak penyewa telah mengetahui keadaan tersebut dan menyepakati serta menyanggupi kondisi tersebut.49

Selain itu pemberi sewa wajib memelihara dan melakukan perbaikan selama perjanjan sewa-menyewa masih berlangsung, sehingga barang yang disewakan tetap dapat dipakai dan dipergunakan sesuai kehendak penyewa. Tujuan utama dari pemeliharaan adalah keselamatan, keamanan dan kenikmatan penyewaan. Pemeliharaan dalam wujud perbaikan tidak boleh sampai mengganggu kenikmatan penyewa sebab pemeliharaan dilakukan demi kenyamanan bagi penyewa selama persewaan berlangsung. Perbaikan kecil yang dibebankan kepada penyewa dimaksudkan sebagai perbaikan atas kerusakan yang disebabkan karena pemakaian normal penyewa atas barang tersebut, sedangkan perbaikan yang dibebankan kepada pemberi sewa berupa kerusakan yang pada dasarnya dapat dibuktikan bukan disebabkan oleh penyewa.50

Namun dalam kondisi ketidaktahuan pemberi sewa atas kerusakan atau cacat terhadap barang yang disewakan tersebut, pemberi sewa diwajibkan mengganti rugi atas kerugian yang dialami oleh penyewa.

Ketentuan tersebut diatur di dalam Pasal 1552 KUHPerdata, yakni:

49 Ade Febrian Saliputra, Skripsi “Tanggung Jawab Pihak Penyewa Dalam Perjanjian Sewa-Menyewa Rumah Di Kelurahan Akcaya Kecamatan Pontianak Selatan”, Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura, (2013), halaman 29

50 M. Yahya Harahap, op.cit., halaman 224

(42)

Pihak yang menyewakan harus menanggung si penyewa terhadap semua cacat dari barang yang disewakan, yang merintangi pemakaian barang itu, biarpun pihak yang menyewakan itu sendiri tidak mengetahuinya pada waktu dibuatnya perjanjian sewa. Jika cacat-cacat itu telah mengakibatkan sesuatu kerugian bagi si penyewa, maka kepadanya pihak yang menyewakan diwajibkan memberikan ganti rugi.

Terdapat pengeculian dalam halnya ganti rugi atas kerugian yang dialami oleh penyewa. Dalam halnya terjadi kerusakan secara menyeluruh yang melenyapkan barang yang disewakan akibat dari suatu kejadian yang tidak diduga sebelumnya, perjanjian sewa-menyewaakan dengan sendirinya gugur demi hukum. Namun apabila kerusakan yang terjadi mencakup sebahagian dari barang yang disewakan, penyewa diberikan pilihan untuk melanjutkan hubungan sewa-menyewa dengan adanya pengurangan harga ataupun membatalkan perjanjian sewa- menyewa tanpa adanya ganti rugi atasnya. Hal tersebut diatur dalam Pasal 1553 KUHPerdata, dengan tujuan untuk menghindari kewajiban pembayaran dari penyewa atas kerusakan yang sifatnya overmacht.

Perihal tersebut mengenai resiko yang kemungkinan timbul di dalam suatu perjanjian hubungan sewa-menyewa.51

Mengenai kewajiban utama yang harus dipenuhi oleh penyewa, diatur di dalam Pasal 1560 KUHPerdata, yakni:

1. Memakai barang yang disewa sebagai seorang bapak rumah yang baik, sesuai dengan tujuan yang diberikan pada barang itu menurut

51 Claudia Soleman, “Perjanjian Sewa-Menyewa Sebagai Perjanjian Bernama Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata”, Lex Privatum Vol. VI/ No. 5/Juli/2018 Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi, 2018, halaman 14.

(43)

perjanjian sewanya, atau jika tidak ada suatu perjanjian mengenai itu, menurut tujuan yang dipersangkakan berhubung dengan keadaan.

Yang dimaksud sebagai “seorang bapak rumah yang baik” ialah menggunakan dan merawat barang tersebut seolah-olah kepunyaan sendiri. Penggunaan barang tersebut harus sesuai dengan tujuannya sebagaimana yang diatur di dalam perjanjian sewanya tersebut.

Artinya, penyewa tidak dibenarkan untuk menggunakan barang yang disewanya secara sewenang-wenang atau sesuka hati yang mengakibatkan kerusakan pada barang tersebut. Kerusakan yang timbul tersebut akan dibebankan kepada penyewa dengan menggunakan biayanya sendiri. Meskipun barang tersebut bukan milik penyewa, karena pemberi sewa tidak menyerahkan hak kepemilikan barang tersebut kepada penyewa tetapi hanya fungsi, kegunaan barang sewa tersebut untuk dinikmati oleh penyewa dengan penuh tanggung jawab.52

2. Membayar harga sewa pada waktu-waktu yang telah ditentukan.

Pelaksanaan pembayaran atas uang sewa atas barang tersebut dapat dilakukan secara berkala dimulai dari mulainya perjanjian hingga berakhirnya perjanjian sewa-menyewa.

Selama berlangsungnya sewa, penyewa juga diwajibkan untuk tidak mengubah bentuk atau tata letak dari benda sewaan sebagaimana dalam Pasal 1554 KUHPerdata. Selain itu, penyewa memiliki kewajiban untuk memikul beban biaya pemeliharaan kebersihan, sumber air,

52 Raminalai Dakhi, “Pelaksanaan Asas Penyewa Sebagai Tuan Rumah Yang Baik Dalam Suatu Perjanjian Sewa-Menyewa Rumah”, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2017, halaman 11

(44)

penampung hujan, dan selokan. Dalam praktek sewa-menyewa, si pemberi sewa merumuskan sendiri ketentuan sewa-menyewa dan pihak penyewa hanya menyetujui atau menolak ketentuan sewa-menyewa itu secara keseluruhan.

Disebutkan dalam Pasal 1570 KUHPerdata bahwa perjanjian sewa- menyewa yang dibuat secara tertulis akan berakhir demi hukum apabila telah sampai pada waktu yang telah ditentukan di dalam perjanjian tanpa perlu adanya permintaan pemberhentian atasnya.

Dalam halnya berakhirnya persewaan, penyewa diwajibkan pula untuk mengembalikan barang yang disewakan dalam kondisi sebagaimana penyerahan dilakukan, baik untuk barang bergerak maupun tidak bergerak.

Terkhusus untuk barang tidak bergerak, pengembalian barang dilakukan dalam kondisi “sudah dikosongkan” termasuk pengosongan dari pihak ketiga. Yang dimaksud pihak ketiga ialah adanya perjanjian sewa- menyewa atas objek yang sama yang melibatkan penyewa dengan pihak lainnya. Namun, apabila si pemilik atau pemberi sewa pertama tidak memperkenankan adanya perjanjian sewa-menyewa lainnya kepada orang lain, penyewa tidak dapat melakukan hal tersebut sebagaimana Pasal 1559 KUHPerdata. Apabila penyewa melakukan hal tersebut, pemberi sewa dapat meminta pembatalan perjanjian sewa-menyewa disertai dengan pembayaran kerugian. Akan tetapi jika diperkenankan oleh pemberi sewa pertama atau pemilik, penyewa baik untuk didiami sendiri ataupun

(45)

disewakan lagi secara menyeluruh atau sebagian, bertanggung jawab atas barang yang dimaksud tersebut.53

Ketentuan mengenai persewaan sebagaimana diatas dikenal dengan

“mengulangkan sewa” merujuk pada Pasal 1559 ayat (1) KUHPerdata:

Si penyewa, jika kepadanya tidak telah diperizinkan, tidak diperbolehkan mengulang-sewakan barang, yang disewanya, maupun melepaskan sewanya kepada orang lain, atas ancaman pembatalan perjanjian sewa dan penggantian biaya, rugi dan bunga, sedangkan pihak yang menyewakan, setelah pembatalan itu, tidak diwajibkan menaati perjanjiannya ulang sewa.

Dibutuhkannya suatu ketentuan atau klausul yang tegas di dalam perjanjian mengenai perizinan untuk mempersewakan lagi. Dalam halnya penyewa melanggar ketentuan tersebut, pemberi sewa dapat meminta pembatalan dengan disertai pembayaran kerugian, dan tidak diwajibkan untuk menaati perjanjian ulang sewa dengan pihak ketiga tersebut.

Meskipun telah dicantumkannya perizinan untuk melakukannya, jangka waktu persewaan tersebut tidak dapat melewati batas waktu persewaan yang terjalin antara pemberi sewa utama dengan penyewa.54 Dengan demikian, hubungan yang terjalin antara para pihak merupakan hubungan yang terpisah satu sama lainnya.

Penyewa utama berkewajiban untuk melaksanakan pembayaran uang sewa kepada pemilik atau pemberi sewa. Sedangkan pihak ketiga dari perjanjian sewa-menyewa tersebut melaksanakan kewajibannya kepada penyewa utama. Hal tersebut dikarenakan tidak adanya hubungan kontraktual antara si penyewa dengan pemberi sewa utama, sehingga jika

53 Subekti, op.cit., halaman 93

54 M. Yahya Harahap., op.cit., halaman 232

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

antara faktor umur, durasi mengemudi waktu istirahat, dan status gizi/IMT terhadap kejadian kelelahan pengemudi. Tidak adanya hubungan yang bermakna antara kondisi

Untuk mengevaluasi kinerja dosen dalam pembelajaran pada setiap mata kuliah, maka dilakukan penyebaran kuesioner yang harus diisi mahasiswa serta pemberian kritik dan saran

Secara spesifik tujuan khusus dari penelitian ini adalah menghasilkan prototipe mesin dekomposisi serbuk/serat kayu dari lignin dan hemiselulosa dengan menggunakan uap air

Pada teks tersebut, bisa dilihat dengan gamblang bagaimana proses pergeseran struktur yang mengacu kepada bahasa sasaran. Faktor komunikasi yang efektif terhadap bahasa

kesesuaian tindakan aktor yang terlibat. • Yang menunjukkan bahwa lebih berpengaruh dibandingkan variabel lainnya, yang mana menunjukkan besarnya kekuatan masyarakat dalam

Berdasarkan hasil perhitungan data penelitian dan hasil analisis data yang telah diuraikan, maka dapat diperoleh beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1)..

organik pada air limbah pencucian kendaraan bermotor akan diserap oleh permukaan karbon aktif sehingga jumlah bahan organik dalam air limbah

Orang Kelantan, walau pun yang berkelulusan PhD dari universiti di Eropah (dengan biasiswa Kerajaan Persekutuan) dan menjawat jawatan tinggi di Kementerian atau di Institusi