Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kebutuhan psikologis remaja penyandang tunanetra. Analisis penelitian ini menggunakan metode analisis tema yang dibuat oleh Murray dengan menggunakan cerita mimpi dengan tema tertentu. Analisis tematik cerita mimpi dipilih karena sesuai dengan pernyataan yang telah dikemukakan oleh Freud bahwa mimpi memiliki kemampuan untuk mengungkap gambaran mengenai kebutuhan dan kecemasan. Subjek berjumlah 3 orang yang berusia antara 16-18 tahun dengan kriteria tunanetra yang tinggal di asrama. Data yang dikumpulkan berupa cerita mimpi para penyandang tunanetra dengan tema-tema yang sudah ditentukan oleh peneliti. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa remaja penyandang tunanetra memiliki kebutuhan akan penerimaan, kebutuhan menyerang orang lain serta kebutuhan bebas untuk dirinya sendiri. Tekanan yang dimiliki oleh remaja penyandang tunanetra adalah perlakuan tidak baik, ketidakmampuan serta kesendirian. Berdasarkan pada dinamika yang dimiliki oleh remaja penyandang tunanetra, terlihat bahwa penyandang tunanetra cenderung memiliki anxious-ressistant attachment, self accusation, dan mengalami deprivasi emosi.
ABSTRACT
This study aims to find out the psychological needs of young people with visual impairment. Analysis of this study is using the thematic analysis made by Murray. Analysis is carried out on the dream story of the subject with the specific theme which is created by the researcher. Thematic analysis of the dream story is chosen because it is correspond with the statement that has been put forward by Freud that dreams are the expression of the needs and pressures. Subjects were 3 people aged between 16-18 years with the criteria of visually impaired adolescents who lives in dormitories. The data collected is in the form of a dream story of the visually impaired adolescent with the themes that have been determined by the researcher. The results showed that visually impaired adolescents have a need for acceptance, the need to attack others as well as the need to free him-self. Not treated well, incompetence and loneliness are the psychological pressures by these young people with visual impairment. Based on the dynamics that are owned by young people with visual impairments, it appears that visually impaired adolescent tend to have anxious-resistant attachment, self-accusation, and experienced emotional deprivation.
i
REMAJA TUNANETRA MENGGUNAKAN METODE
ANALISIS TEMATIK CERITA MIMPI
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Disusun Oleh :
Clothilde Arum Jayatri Rejeki
119114080
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
ii
PRESSURES FOR VISUALLY IMPAIRED ADOLESCENT
ACKNOWLEDGED BY USING THE THEMATIC ANALYSIS
OF DREAM
A Final ThesisPresented as Partial Fulfillment of The Requirements
To Obtain Sarjana Psikologi Degree
In Psychology Study Program
By:
Clothilde Arum Jayatri Rejeki
119114080
PSYCHOLOGY STUDY PROGRAMDEPARTMENT OF PSYCHOLOGY FACULTY OF PSYCHOLOGY
SANATA DHARMA UNIVERSITY YOGYAKARTA
iii
GAMBARAN KEBUTUHAN DAN TEKANAN PSIKOLOGIS
REMAJA TUNANETRA MENGGUNAKAN METODE
ANALISIS TEMATIK CERITA MIMPI
Disusun oleh:
Clothilde Arum Jayatri Rejeki
119114080
Telah disetujui oleh:
Dosen Pembimbing
iv
GAMBARAN KEBUTUHAN DAN TEKANAN PSIKOLOGIS
REMAJA TUNANETRA MENGGUNAKAN METODE
ANALISIS TEMATIK CERITA MIMPI
Dipersiapkan dan disusun oleh:Nama : Clothilde Arum Jayatri R.
NIM : 119114080
Telah dipertahankan di depan panitia penguji
pada tanggal 16 November 2015
dan dinyatakan memenuhi syarat
Susunan Panitia Penguji:
Nama Lengkap Tanda Tangan
Ketua : Dr. Tjipto Susana M.Si _____________
Sekretaris : C. Siswa Widyatmoko M.Si _____________
Anggota : C. Wijoyo Adinugroho M.Psi _____________
Yogyakarta,
Fakultas Psikologi
Universitas Sanata Dharma
Dekan,
v
PERSEMBAHAN
Don’t let anyone look down on you because
you are young, but set an example for the
believers in speech, in conduct, in love, in
faith, and in purity.
1 Timothy 4 : 12
Tulisan ini kupersembahkan untuk
Tuhan Yesus yang Maha Baik, Bapak, Mama, Ibu, Mbak Ayu, dan
Mas Lian!
How wonderful the Lord is putting the people we need in our life to shape us and
vi
memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam
kutipan dan daftar pustaka sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, 10Oktober 2015
Penulis,
vii
CERITA MIMPI
Clothide Arum Jayatri Rejeki
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kebutuhan psikologis remaja penyandang tunanetra. Analisis penelitian ini menggunakan metode analisis tema yang dibuat oleh Murray dengan menggunakan cerita mimpi dengan tema tertentu. Analisis tematik cerita mimpi dipilih karena sesuai dengan pernyataan yang telah dikemukakan oleh Freud bahwa mimpi memiliki kemampuan untuk mengungkap gambaran mengenai kebutuhan dan kecemasan. Subjek berjumlah 3 orang yang berusia antara 16-18 tahun dengan kriteria tunanetra yang tinggal di asrama. Data yang dikumpulkan berupa cerita mimpi para penyandang tunanetra dengan tema-tema yang sudah ditentukan oleh peneliti. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa remaja penyandang tunanetra memiliki kebutuhan akan penerimaan, kebutuhan menyerang orang lain serta kebutuhan bebas untuk dirinya sendiri. Tekanan yang dimiliki oleh remaja penyandang tunanetra adalah perlakuan tidak baik, ketidakmampuan serta kesendirian. Berdasarkan pada dinamika yang dimiliki oleh remaja penyandang tunanetra, terlihat bahwa penyandang tunanetra cenderung memiliki anxious-ressistant attachment, self accusation, dan mengalami deprivasi emosi.
viii
BY USING THE THEMATIC ANALYSIS OF DREAM
Clothilde Arum Jayatri Rejeki
ABSTRACT
This study aims to find out the psychological needs of young people with visual impairment. Analysis of this study is using the thematic analysis made by Murray. Analysis is carried out on the dream story of the subject with the specific theme which is created by the researcher. Thematic analysis of the dream story is chosen because it is correspond with the statement that has been put forward by Freud that dreams are the expression of the needs and pressures. Subjects were 3 people aged between 16-18 years with the criteria of visually impaired adolescents who lives in dormitories. The data collected is in the form of a dream story of the visually impaired adolescent with the themes that have been determined by the researcher. The results showed that visually impaired adolescents have a need for acceptance, the need to attack others as well as the need to free him-self. Not treated well, incompetence and loneliness are the psychological pressures by these young people with visual impairment. Based on the dynamics that are owned by young people with visual impairments, it appears that visually impaired adolescent tend to have anxious-resistant attachment, self-accusation, and experienced emotional deprivation.
ix
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma :
Nama : Clothilde Arum Jayatri Rejeki
Nomor Mahasiswa : 119114080
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :
“Gambaran Kebutuhan Dan Tekanan Psikologis Remaja Tunanetra Menggunakan Metode Analisis Tematik Cerita Mimpi”
beserta perangkat yang diperlukan. Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, me-ngalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di Internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.
Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di Yogyakarta
Pada tanggal : 3 Desember 2015
Yang menyatakan
x
Puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa
atas berkat, rahmat serta kasih-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi
yang berjudul “Gambaran Kebutuhan dan Tekanan Psikologis Remaja Tunanetra Menggunakan Metode Analisis Tematik Cerita Mimpi”.
Penulisan skripsi ini bertujuan untuk memenuhi sebagian syarat
memperoleh gelar sarjana psikologi program studi S1 jurusan Psikologi
Universitas Sanata Dharma. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari
sempurna oleh sebab itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun dari semua pihak demi kesempurnaan skripsi ini.
Selesainya skripsi ini tidak lepas dari peran penting berbagai pihak,
sehingga pada kesempatan ini penulis dengan segala kerendahan hati serta rasa
hormat mengucapkan terima kasih yang sebesar – besarnya kepada semua pihak
yang telah memberikan dukungan baik secara langsung maupun tidak langsung
kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini hingga selesai. Pada proses
penulisan tugas akhir ini, saya ucapkan banyak terima kasih kepada:
1. Tuhan Yesus dan Bunda Maria atas segala berkat dan kasih
karunia-Nya yang diberikan dari awal sampai akhir penulisan skripsi.
2. Ibu Dr. Tjipto Susana, M.Si. selaku pembimbing yang memberikan
pengarahan serta solusi dalam pengerjaan skripsi ini hingga selesai.
Terimakasih atas pertanyaan-pertanyaan yang membimbing saya untuk
semakin mendalami secara lebih baik.
3. Bapak V. Didik Suryo Hartoko, M.Si atas bimbingannya serta diskusi
dalam melakukan analisis tematik dan pembahasan. Terimakasih atas
masukan yang telah diberikan.
4. Ibu dan Bapak Wiyoto selaku Kepala Yayasan Yaketunis atas
xi
6. Kekasih hati Aluisius Bachtiar Bayu S. , serta Ibu, Bapak, Mas Pungki, Zeta, dan Rere yang selalu menemani penulis dan memberikan dukungan selama penulisan ini.
7. Sahabat seperjuangan Silla, Hervy, Yoan, Netty, Jojo, Mbak Tirza, Clara, Suster Petra, Anita, Wila, Mandana, dan Bella. Dinamika selama penulisan skripsi ini tidak akan seru tanpa kalian guys!!!
8. Seluruh dosen di Jurusan Psikologi Universitas Sanata Dharma yang telah memberikan ilmu pengetahuan yang berguna selama penulis duduk di bangku kuliah dan seluruh karyawan Jurusan Psikologi Universitas Sanata Dharma (Mas Gandung, Bu Nanik, Pak Gik), terima kasih atas pelayanan yang diberikan sehingga penulis dapat kuliah dengan nyaman dan pada akhirnya dapat menyelesaikan skripsi dengan baik.
9. Seluruh teman Psikologi USD Angkatan 2011 (Jangan Panik, Mari Piknik) terimakasih teman, kalian memberikan warna selama perkuliahan ini.
10.Semua pihak, baik langsung maupun tidak, yang telah membantu
dalam proses penyelesaian skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang terdapat dalam
skripsi ini. Saran dan kritik diharapkan untuk perbaikan-perbaikan pada masa
yang akan datang. Semoga dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu
pengetahuan.
Yogyakarta, 10Oktober 2015
Penulis
xii
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN JUDUL ... ii
HALAMAN PERSETUJUAN ... iii
HALAMAN PENGESAHAN ... iv
HALAMAN MOTTO & PERSEMBAHAN ... v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi
ABSTRAK ... vii
ABSTRACT ... viii
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN ... ix
KATA PENGANTAR ... x
DAFTAR ISI ... xii
DAFTAR GAMBAR ... xiv
DAFTAR TABEL ... xv
1. BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Rumusan Masalah ... 9
1.3 Tujuan Penelitian ... 10
1.4 Manfaat Penelitian ... 10
2. BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 12
2.1 Kebutuhan Psikologis ... 12
2.1.1 Pemahaman tentang Kebutuhan Psikologis ... 12
2.1.2 Hal-hal yang berkaitan dengan Kebutuhan Psikologis. ... 14
2.1.2.1 Motivasi ... 14
2.1.2.2 Motif ... 15
2.1.2.3 Press ... 16
2.1.2.4 Interaksi Kebutuhan dan Tekanan : Tema ... 17
2.1.3 Tipe-tipe Kebutuhan Psikologis ... 18
2.1.4 Review Literatur tentang Metode Asesmen Kebutuhan Psikologis Tunanetra... 30
2.2 Remaja Tunanetra ... 31
xiii
2.2.4 Review literatur tentang Remaja Tunanetra ... 40
2.3 Analisis Cerita Mimpi ... 41
2.3.1 Pemahaman Mimpi ... 41
2.3.1.1 Hubungan Need dapat terlihat dari Mimpi ... 42
2.3.2 Analisis Tematik ... 48
3. BAB III METODOLOGI PENELITIAN... 51
3.1 Metode Penelitian ... 51
3.2 Fokus Penelitian ... 51
3.3 Subjek Penelitian ... 52
3.4 Metode Pengumpulan Data ... 54
3.5 Analisis Data ... 55
3.6 Validitas Penelitian ... 56
4. BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 57
4.1 Pelaksanaan Penelitian ... 57
4.2 Hasil Penelitian ... 58
4.2.1 Subjek I ... 58
4.2.2 Subjek II ... 69
4.2.3 Subjek III ... 79
4.2.4 Dinamika Kebutuhan Psikologis (Need) dan Tekanan (Press) Subjek 1, 2 dan 3 ... 90
4.2.5 Pembahasan ... 97
5. BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 99
5.1 Kesimpulan ... 99
5.2.1. Saran ... 100
DAFTAR PUSTAKA ... 102
xiv
xv
Tabel 1 Jenis Kebutuhan ... 19
Tabel 2 Contoh dari analisis tematik :... 50
Tabel 3 Kebutuhan Psikologis (Need) dan Tekanan (Press) Subjek I ... 62
Tabel 4 Kebutuhan Psikologis (Need) dan Tekanan (Press) Subjek II ... 72
1
1.1 Latar Belakang
Individu yang mengalami tunanetra adalah individu yang indera
penglihatannya (kedua-duanya) tidak berfungsi sebagai saluran penerima
informasi dalam kegiatan sehari-hari seperti halnya orang yang punya penglihatan
yang baik. Berdasarkan pada tingkat ketajaman penglihatan, tunanetra terbagi atas
dua macam yaitu buta dan low vision . Dikatakan buta jika individu sama sekali
tidak mampu menerima rangsang cahaya dari luar. Sementara individu yang low
vision masih mampu menerima rangsang cahaya dari luar, tetapi ketajamannya
lebih dari 6/21 yang artinya berdasarkan tes hanya mampu membaca huruf pada
jarak 6 meter yang oleh orang berpenglihatan normal dapat dibaca pada jarak 21
meter, atau jika hanya mampu membaca ’headline’ pada surat kabar (Somantri,
2007).
Menurut World Health Organization (WHO), pada tahun 2009 sekitar 314
juta jiwa di seluruh dunia mengalami gangguan penglihatan dengan 45 juta jiwa
mengalami kebutaan atau tunanetra (Zeeshan & Aslam, 2013). Berbagai penyakit
yang menyebabkan tingginya angka kebutaan di Indonesia, antara lain katarak
(0,78%), glukoma (0,20%), kelainan refraksi (0,14%), sedangkan sisanya akibat
penyakit kornea (0,10%), retina (0,13%), dan kekurangan vitamin A
(xeroftalmia). Berdasarkan hasil survei kesehatan tahun 2008, Indonesia memiliki
banyak yaitu sebesar 15,9%. (Yogasari, 2013)
Seorang tunanetra, dalam kondisinya yang khusus atau luar biasa dengan
berbagai kesulitannya, sering menghadapi berbagai masalah karena hambatan
dalam fungsi penglihatannya.Para penyandang tunanetra mengalami keterbatasan
dalam keanekaragaman pengalaman, interaksi dengan lingkungan, serta dalam
mobilitasnya, mereka semakin terhambat karena tidak tersedianya fasilitas yang
memadahi (“Fasilitas minim”, 2015). Pada akhirnya perlakuan yang diterima anak
tunanetra membentuk sikap tersendiri, menurut Sukini Pradopo (dalam Somantri,
2005) terdapat beberapa gambaran sifat anak tunanetra diantaranya ialah
ragu-ragu, rendah diri, dan curiga pada orang lain. Sedangkan Sommer (dalam
Somantri, 2005) mengatakan bahwa anak tunanetra cenderung memiliki sifat-sifat
takut yang berlebihan, menghindari kontak sosial, mempertahankan diri dan
menyalahkan orang lain, serta tidak mengakui kecacatannya.
Kesehatan dan fungsi fisik seseorang juga mempengaruhi dan membentuk
kesejahteraan psikologis individu, sehingga tidak semua orang dapat menjadi
sejahtera, terutama kaum minoritas (Schmitt & Branscombe dalam Lianawati,
2008) yang dalam hal ini adalah kaum penyandang tunanetra. Kesejahteraan
psikologis merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan kesehatan
psikologis individu berdasarkan pemenuhan kriteria fungsi psikologis positif
(positive psychological functioning). Hal ini dikemukakan oleh para ahli
dalam hal relasi sosialnya dan penerimaan dukungan sosial (Mclivane &
Reinhardt, 2001; Pinquart & Pfeiffer, 2009). Selain itu, mereka cenderung
mengalami stres lebih tinggi, tingkat kepuasan perkawinan yang lebih rendah,
kesehatan mental dan kendali akan kesejahteraan psikologis yang menurun
(Gardner & Harmon, 2002). Bahkan apabila dibandingkan dengan populasi
normal, para penyandang tunanetra di usia awal cenderung memiliki tingkat
depresi yang lebih tinggi dan kesejahteraan yang lebih rendah.
Diungkapkan pada studi yang sama, pada populasi tunanetra di Eropa,
terganggunya fungsi penglihatan membawa dampak negatif terbesar dalam
menurunkan kesejahteraan individu (Carney, 2004; Linely & Joseph, 2005),
Padahal, Mills (2010) menjelaskan bahwa kesejahteraan psikologis merupakan
indikator keseimbangan antara dampak negatif dan positif dari suatu kondisi yang
dialami individu. Selain itu, kesejahteraan psikologis penting karena memiliki
kesejahteraan psikologis yang tinggi akan mendukung kesehatan yang lebih baik,
memperpanjang umur, meningkatkan usia harapan hidup, dan menggambarkan
kualitas hidup dan fungsi individu (Diener dkk, 2009).
Menurut Davis (dalam Kartikasari 2013), individu-individu yang
mendapatkan dukungan sosial memiliki tingkat psychological well-being yang
lebih tinggi. Dukungan sosial sendiri diartikan sebagai rasa nyaman, perhatian,
penghargaan, atau pertolongan yang dipersepsikan oleh seorang individu yang
keluarga, teman, rekan kerja, dokter, maupun organisasi sosial.
Subjective well-being merupakan salah satu kajian dalam psikologi positif,
dan pendekatan teori yang ada salah satunya menggunakan teori need and goal
satisfaction (McGregor & Little, 1998). Penelitian Nayana (2013) menjelaskan
bahwa kebutuhan remaja akan keberadaan dan perhatian orang tua dapat menjadi
salah satu penentu kondisi well-being seorang anak. Kesejahteraan juga dapat
dijelaskan dengan teori-teori klinis yang turut dijadikan dasar seperti teori
Abraham Maslow mengenai aktualisasi diri, yang menjelaskan bahwa seorang
akan mencapai aktualisasi diri ketika kebutuhannya telah terpenuhi secara
optimal. (Alwisol, 2007)
Penjelasan diatas menunjukan pengalaman dan kesejahteraan dari
anak-anak tunanetra ternyata berbeda dengan anak-anak yang tumbuh normal pada
umumnya. Fakta dalam kehidupan keseharian, kelompok tunanetra kurang
mendapatkan perhatian dan seringkali terhambat pula dalam relasi sosialnya.
Kecacatan fisik karena tidak dapat melihat menjadi kendala tersendiri bagi
kelompok tunanetra untuk dapat berinteraksi dengan sesamanya. Sebagian besar
dari orang tunanetra sudah tinggal di asrama sejak kecil dan hanya melakukan
relasi dengan teman-teman di asrama, hal ini dapat menimbulkan keterhambatan
dan kebutuhan afeksi dalam perkembangan anak. (Hurlock, 1980). Kebutuhan
psikologis yang tidak terpenuhi dapat menimbulkan permasalahan-permasalahan
sumber hampir semua bentuk psikopatologi, dan kegagalan memenuhi kebutuhan
keamanan dapat mengakibatkan obssesive-compulsive.
Santrock (2003: 24) mengungkapkan bahwa pada transisi sosial, remaja
mengalami perubahan dalam hubungan individu dengan manusia lain yaitu dalam
emosi, dalam kepribadian, dan dalam peran dari konteks sosial dalam
perkembangan. Kebutuhan psikologis yang tidak terpenuhi dapat menimbulkan
permasalahan-permasalahan psikologis, seperti tertekan (Murray dalam Hall &
Lindzey, 1993). Selain itu, Maslow (dalam Alwisol, 2007) juga mengungkapkan
akibat dari kegagalan pemenuhan kebutuhan psikologis.
Kegagalan memenuhi kebutuhan cinta menjadi sumber hampir semua
bentuk psikopatologi, dan kegagalan memenuhi kebutuhan keamanan dapat
mengakibatkan obsesif-kompulsif. Erikson (dalam Alwisol, 2009) mengatakan
bahwa masa remaja merupakan masa krisis. Hal ini dikarenakan pada masa ini
remaja berusaha untuk menemukan indentitas dirinya. Kekacauan indentitas
mungkin terjadi seperti terbaginya gambaran diri, ketidakmampuan membina
persahabatan yang akrab, dan lain sebagainya. Kekacauan identitas yang berlebih
dapat mengakibatkan penyesuaian diri yang patologis dalam bentuk regresi ke
perkembangan sebelumnya.
Pada penelitian ini, peneliti ingin mengetahui bagaimana gambaran
kebutuhan psikologis remaja penyandang tunanetra. Alasan peneliti melihat
untuk melakukan pemenuhan kebutuhan yang muncul. Pemenuhan kebutuhan ini
akan membuat seseorang mendatangkan kondisi yang menenangkan maupun
memuaskan. Begitu pula sebaliknya, kebutuhan yang tidak dapat dipenuhi akan
menimbulkan perasaan yang mengecewakan hingga kondisi menekan (Hall &
Lindzey, 1993). Maka, kebutuhan-kebutuhan psikologis yang tidak dapat
terpenuhi akan menimbulkan permasalahan-permasalahan psikologis, seperti
cemas, depresi.
Dalam melihat kebutuhan diketahui ada beberapa alat tes yang dapat
menunjukan kebutuhan seseorang. Pada penelitian sebelumnya Herlina, Euis, dan
Sitti (2008) mencari tentang profil kebutuhan psikologis mahasiswa tunanetra
yang belajar di Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia.
Sampel penelitian berjumlah 10 orang. Metode pengumpulan data menggunakan
kuesioner, wawancara, dan tes psikologi yaitu tes EPPS. Alat tes psikologis
seperti EPPS dianggap tidak sesuai sebagai alat ukur kebutuhan psikologis bagi
remaja tunanetra, dimana EPPS belum memiliki alat tes braille untuk remaja
tunanetra dan EPPS hanya mencakup 15 kebutuhan saja dan memungkinkan
subjek untuk melakukan faking good. Gronlund (1997) menunjukkan bahwa
ketika soal EPPS dibacakan secara lisan dalam pengerjaannya, hal ini akan
menimbulkan gangguan dari suara atau pelavalan dari tester yang membacakan.
Jika tidak membacakan dengan nada yang netral, maka hal ini akan menjadikan
projektif. Thematic Apperception Test (T.A.T). T.A.T merupakan salah satu tes
projektif dengan metode analisis isi, dimana subjek diminta untuk menceritakan
kejadian dalam kartu yang dirancang secara ambigu (Bellak & Abrams, 1997).
Namun, pada kenyataannya TAT tidak dapat digunakan oleh anak tunanetra
karena mereka tidak dapat melihat gambar kartu untuk mereka ceritakan
gambaran kebutuhan mereka.
Analisis Mimpi merupakan salah satu metode yang dapat digunakan untuk
melihat kebutuhan dan tekanan psikologis bagi remaja tunanetra dikarenakan
analisis mimpi bersifat mengungkap ketidaksadaran seseorang dan dapat
diterapkan oleh remaja tunanetra. Analisis mimpi dapat mengungkan kebutuhan
dan tekanan seseorang, oleh karena itu analisis mimpi merupakan dasar pemikiran
Murray dalam pembuatan tes projektif T.A.T (Bellak & Abrams, 1997).
Penelitian sebelumnya menyebutkan fungsi mimpi seperti halnya
psikoterapi yang dapat membuat seseorang menjadi lebih baik. Sebuah mimpi
yang kita alami bisa menjadi bahan pertimbangan untuk melakukan sesuatu dan
juga mengetahui sesuatu yang akan terjadi (Weiss & Lillie, 1986). Ketika kita
bermimpi maka kita seperti melakukan katarsis yang melibatkan rangkaian
peristiwa beserta emosi yang muncul dalam mimpi tersebut, sehingga itu akan
mengurangi tegangan dari dalam pikiran kita dan juga menjadi bahan refleksi
yang telah terlewat dan mengaturnya dalam ingatan kita. Saat kita tertidur, otak
merefleksikan hal-hal yang kita ingat atau yang kita pikirkan disaat belum tidur
dan membuatnya seperti film yang terlihat nyata disaat kita bermimpi. (Hunt,
1989). Tanpa kita sadari, mimpi selalu berhubungan dengan pengalaman
sehari-hari kita. Mimpi yang muncul dalam cerita merupakan hasil konstruksi pikiran
dan refleksi dari pengalaman yang kita alami. Goffman (dalam Freud, 1956)
menyatakan bahwa mimpi terdiri dari konstruksi visual imagery yang melibatkan
emosi dan perasaan seseorang. Sebuah mimpi adalah deretan pemikiran, citra,
suara, dan emosi yang dialami pikiran saat tidur (Freud, 1956)
Penelitian sebelumnya menyebutkan bahwa orang tunanetra dapat
bermimpi, (Kirtley, 1975), ketika seseorang tidak dapat melihat dan hanya
mengandalkan indera lain untuk menangkap rangsangan dan informasi sekitar,
maka seseorang pasti lebih berusaha keras untuk dapat membangun sebuah
rangkaian pengalaman. Bermimpi adalah pengalaman yang sangat visual untuk
orang-orang yang melihat. Sekitar setengah dari semua mimpi tunanetra juga
memiliki sensasi pendengaran, tapi dalam dua penelitian berskala besar kurang
dari satu persen yang merasakan sensasi pembauan, penciuman, serta perabaan
sensorik (Snyder, 1970; Zadra, Nielsen, & Donderi, 1998).
Kerr (1993) menunjukkan bahwa sifat sangat visual dalam mimpi
tunanetra. Studi peserta tunanetra yang tidur dalam laboratorium menggunakan
dalam Kerr, 1993). Substantif konten dalam laporan mimpi orang buta kurang
mendapat perhatian daripada ada atau tidaknya citra visual. Dari beberapa jurnal
yang ada, sebagian besar jurnal hanya menjelaskan mengenai konteks dalam
mimpi tunanetra. Kurangnya penjelasan penelitian mengenai analisis konten
mimpi bagi tunanetra untuk melihat kebutuhan dan tekanan yang muncul dalam
ketidaksadaran menjadi perhatian tersendiri. Berdasarkan penjabaran teoritis yang
ada peneliti ingin mengetahui dinamika kebutuhan siswa tunanetra.
Penelitian ini menggunakan metodologi kualitatif analisis tematik dengan
cerita mimpi. Pengambilan data penelitian akan menggunakan metode wawancara
terstruktur dan pengungkapan cerita mimpi dengan tema yang telah disusun oleh
peneliti. Metodologi ini menitikberatkan pada analisis cerita mimpi dan intepretasi
peneliti dalam mengungkapkan kebutuhan dan tekanan yang terkandung dalam
cerita subjek. Intepretasi tersebut akan didukung pula dengan hasil wawancara
dari significant other.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan pada apa yang telah dipaparkan, rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah “Bagaimana gambaran kebutuhan dan tekanan psikologis
psikologis remaja penyandang tunanetra dengan analisis tematik menggunakan
cerita mimpi.
1.4 Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Melalui penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan wawasan
pengetahuan dan pemahaman ilmu psikologi, terutama psikologi
kepribadian dan psikologis perkembangan mengenai kebutuhan psikologis
(need) dan tekanan (press) pada remaja penyandang tunanetra.
2. Manfaat Praktis
a. Gambaran mengenai kebutuhan psikologis yang dimiliki oleh remaja
penyandang tunanetra diharapkan dapat membantu para penyandang
tunanetra untuk lebih memahami diri sendiri.
b. Penelitian ini juga bermanfaat bagi keluarga dan masyarakat sekitar
para penyandang tunanetra agar dapat lebih menyadari mengenai
kebutuhan-kebutuhan psikologis yang dimiliki para penyandang
tunanetra sehingga dalam upaya melakukan pemenuhan kebutuhan
psikologis dapat memberikan bantuan agar kebutuhan psikologis para
12
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kebutuhan Psikologis
2.1.1 Pemahaman tentang Kebutuhan Psikologis
Menurut Murray (dalam Alwisol, 2009), pemahaman diri harus dilakukan
secara personal. Dalam prinsip ini, Murray sangat terpengaruh oleh Freud yang
menekankan mengenai keunikan manusia secara individualitas. Murray melihat
bahwa masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang semuanya memiliki
pengaruh yang sama dalam menentukan perilaku individu dan perlu adanya
pemahaman mengenai fungsi lainnya. Dalam “A need theory of personaliy”
Murray menjelaskan bahwa disadari atau tidak, setiap perilaku manusia didasari
oleh motivasi tertentu Ini merupakan asumsi dasar dari pandangan psikologi.
Motivasi merupakan kekuatan dinamis, pemberi energi, dan pengarah perilaku
manusia. Dalam pembahasan motivasi harus berbicara mengenai
kebutuhan-kebutuhan. Teori Murray bersifat neurofisiologis, dalam arti kepribadian manusia
dipahami dari akar fisiologisnya. Murray menjelaskan bahwa manusia memiliki
tegangan dalam diri salah satunya dijelaskan dengan tidak tepenuhinya kebutuhan.
Kebutuhan menurut Murray (dalam Alwisol, 2009 ; Hall & Lindzey, 1993)
merupakan suatu konstruk pada bagian otak yang memiliki suatu kekuatan dan
mengatur beberapa hal seperti persepsi, apersepsi, konasi dan mengubah situasi
yang ada dan yang tidak memuaskan. Kebutuhan dapat langsung dibangkitkan
tekanan tertentu. Setiap kebutuhan biasanya dibarengi oleh perasaan atau emosi
tertentu yang khas dan memiliki cara tertentu untuk mengekspresikannya.
Kebutuhan dapat bersifat lama atau sementara.
Biasanya, kebutuhan bertahan lama dan memunculkan serangkaian
perilaku yang mengubah situasi awal menjadi situasi yang menenangkan atau
memuaskan individu tersebut. Adanya kebutuhan dapat disimpulkan dari: (1) hasil
akhir dari tingkah laku, (2) pola-pola khusus dari tingkah laku, (3) perhatian dan
respon yang terjadi terhadap kelompok stimuli tertentu, (4) ekspresi terhadap
suasana emosi tertentu, (5) ekspresi kepuasan atau ketidakpuasan pada hasil
akhir,(6) ungkapan atau laporan subjektif mengenai perasaan, maksud dan tujuan
(Alwisol, 2009 ; Hall & Lindzey, 1993).
Kebutuhan-kebutuhan ini saling berinteraksi dan saling mempengaruhi.
Hal ini dikarenakan tidak ada kebutuhan yang berdiri sendiri dan setiap kebutuhan
memiliki kekuatan yang berbeda. Kebutuhan juga dapat dibedakan menurut
kondisi kepentingannya atau keinginannya dengan yang mana ada kekuatan
emosional dalam melakukan suatu tingkah laku, suatu karakteristik yang Murray
sebut sebagai kebutuhan prepotency. Apabila, sebagai contoh, kebutuhan terhadap
udara dan air tidak terpuaskan, hal tersebut bisa menjadi kebutuhan yang paling
diinginkan dan menjadi tingkah laku yang mendominasi secara keseluruhan. Pada
waktu lainnya, apabila kebutuhan primer sudah dipuaskan, kebutuhan agresi
dengan mendapatkan popularitas dan kekayaan melalui suatu pekerjaan,
pencapaian prestasi, penguasaan, dan otonomi semua kebutuhannnya akan
terpuaskan. Konsep subsidiation mengacu pada situasi dimana satu kebutuhan
dilakukan untuk membantu memuaskan kebutuhan lainnya. Sebagai contoh, untuk
memuaskan kebutuhan afiliasi (n Aff) dengan bergabung dan berbaur bersama
orang lain, mungkin menjadi penting untuk berlaku sopan dan menghargai orang
lain (hanya untuk memenuhi kebutuhan dihargai). Kebutuhan untuk dihargai
kemudian menjadi pelengkap bagi kebutuhan afiliasi. (Schultz, 1981)
Berdasarkan pada definisi kebutuhan psikologis diatas, kebutuhan
merupakan sesuatu yang bersifat abstrak yang dimiliki oleh setiap individu yang
memiliki suatu kekuatan dan mengatur beberapa hal seperti persepsi, apersepsi,
konasi dan mengubah situasi yang ada dan yang tidak memuaskan. Kebutuhan
dapat muncul dari proses internal maupun eksternal. Pada dasarnya, dalam diri
individu terdapat banyak kebutuhan psikologis dan kebutuhan-kebutuhan
psikologis tersebut saling berinteraksi dan saling mempengaruhi sesuai dengan
kekuatan dari masing-masing kebutuhan tersebut.
2.1.2 Hal-hal yang berkaitan dengan Kebutuhan Psikologis. 2.1.2.1 Motivasi
Motivasi adalah proses yang menjelaskan intensitas, arah, dan ketekunan
seorang individu untuk mencapai tujuannya. Tiga elemen utama dalam definisi ini
individu. Seseorang dikatakan memiliki motivasi tinggi dapat diartikan orang
tersebut memiliki alasan yang sangat kuat untuk mencapai apa yang
diinginkannya dengan mengerjakan pekerjaannya yang sekarang. Jadi, motivasi
merupakan suatu tenaga atau faktor yang terdapat di dalam diri manusia, yang
menimbulkan, mengarahkan dan mengorganisasikan tingkah laku.
Gambar 1. Gambar bagan motivasi
Sumber: “Modul TAT Universitas Surabaya”, oleh Sutyas Prihanto, 1993
2.1.2.2 Motif
William G Scott (1962: 82) menerangkan tentang motive adalah
kebutuhan yang belum terpuaskan yang mendorong individu untuk mencapai
tujuan tertentu. Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan, motive adalah
dorongan yang ada di dalam diri seseorang untuk melakukan perbuatan guna
memenuhi kepuasannya yang belum terpuaskan. Selain itu, Maslow sebagaimana
diungkap pada halaman sebelumnya membagi kebutuhan manusia ke dalam
Kebutuhan (need)
Dorongan (drive)
Motif
Motif merupakan dorongan dalam diri manusia yang timbul dikarenakan
adanya kebutuhan-kebutuhan yang ingin dipenuhi oleh manusia tersebut. Motif
berasal dari bahasa latin movere yang berarti bergerak atau to move. Karena itu
motif diartikan sebagai kekuatan yang terdapat dalam diri organisme yang
mendorong untuk berbuat atau driving force. Motif sebagai pendorong sangat
terikat dengan faktor - faktor lain, yang disebut dengan motivasi. Motivasi
merupakan keadaan dalam diri individu atau organisme yang mendorong perilaku
ke arah tujuan.
2.1.2.3 Press
Tekanan dari suatu objek (bisa berupa manusia, benda, atau situasi) adalah
apa yang dapat dilakukan objek itu kepada subjek (penerima tekanan), suatu
kekuatan yang dimiliki oleh objek untuk mempengaruhi subjek dengan cara
tertentu. Variasi tekanan yang mengenai diri seseorang tak terhingga banyaknya,
atau sama dengan jumlah peristiwa yang ditemui orang setiap saat. Murray (1938)
menyebut berbagai tekanan terpenting yang biasanya dialami anak-anak. Ragam
tekanan pada anak-anak mudah dikenali dan diklasifikasi karena variasi
pengalaman anak yang masih sempit.
Ada dua jenis tekanan; tekana alfa (alfa press): kualitas lingkungan yang
muncul dalam kenyataan; dan tekanan beta (Beta Press): kualitas lingkungan
tema , yang berkaitan dengan interaksi antara kebutuhan dan tekanan. Dalam
beberapa hal, tema adalah sebuah aspek proceeding; yang terakhir mendefinisikan
sebuah interaksi orang-orang atau orang objek yang dapat diamati dan dengan
waktu yang terbatas; yang pertama menjelaskan motif-motif yang bekerja dalam
interaksi itu.Karena beberapa proceeding dapat membentuk sebuah serial maka
sejumlah tema dapat dikombinasikan untuk membentuk tema serial.
Berkaitan dengan gagasan tema dan konsep kebutuhan utama Murray
menyebut need integrate (kebutuhan utuh)- sebuah kebutuhan untuk jenis
interaksi tertentu dengan jenis orang atau objek tertentu. Seringkali terjadi bahwa
seseorang mengasosiasikan objek tertentu dengan kebutuhan tertentu. Satu contoh
dari need integrate yaitu cinta pada musik klasik berhadapan dengan misalnya
rock, country atau jenis musik lain. Kita akan menghadapi need integrate dalam
cara yang lain nanti.
Gambar 2. Interaksi kebutuhan dan tekanan
Sumber: “Modul TAT Universitas Surabaya”, oleh Sutyas Prihanto, 1993
Secondary (Psychogenic)
Need
Alpha
Beta
Press
Combine, Fuse, and Interact
Differentiated Behavior (Thema)
Primary
Murray (dalam Hall & Lindzey, 1993) membedakan tipe kebutuhan ke
dalam lima kelompok, yaitu:
a. Viscerogenic and Psychogenic Needs (Kebutuhan Viskerogenik atau Kebutuhan
Primer dan Kebutuhan Psikogenik atau Kebutuhan Sekunder)
Kebutuhan viskerogenik merupakan kebutuhan yang berhubungan dengan
organ-organ tubuh terutama berkaitan dengan kepuasan fisik. Contoh: kebutuhan
akan udara, air, makan, seks, laktasi, kencing dan defekasi. Sedangkan kebutuhan
psikogenik merupakan kebutuhan yang berasal dari kebutuhan viskerogenik dan
tidak memiliki hubungan dengan kepuasan fisik. Kebutuhan sekunder sebanyak
28 buah. Contoh: kebutuhan berprestasi, pengakuan, otonomi, eksibisi, dll.
b. Proactive and Reactive Needs (Kebutuhan Proaktif dan Kebutuhan Reaktif)
Kebutuhan proaktif adalah kebutuhan yang hampir selalu ditentukan dari
dalam diri. Kebutuhan ini bergerak dengan spontan sebagai akibat dari sesuatu
yang berasal dari dalam diri orang tersebut bukan akibat dari lingkungan.
Sedangkan kebutuhan reaktif merupakan kebutuhan yang digerakkan dari luar diri
individu sebagai akibat dari respon individu terhadap lingkungan.
c. Overt and Covert Needs (Kebutuhan Terbuka dan Kebutuhan Tertutup)
Kebutuhan overt merupakan kebutuhan yang nyata, dimana kebutuhan ini
dapat dilihat secara langsung atau segera yang tercermin dalam tingkah laku
motorik. Sedangkan kebutuhan covert merupakan kebutuhan yang laten atau
tersembunyi, dimana kebutuhan ini biasanya dikekang, dihambat atau ditekan
d. Focal and Diffuse Types of Needs (Kebutuhan yang Memusat dan Kebutuhan
yang Menyebar)
Kebutuhan yang memusat berarti kebutuhan yang memiliki hubungan
yang erat dengan objek-objek tertentu, sedangkan kebutuhan yang menyebar
berarti kebutuhan ini bersifat umum yang berlaku hampir di setiap keadaan.
e. Effect and Modal Types of Needs (Kebutuhan Akibat dan Kebutuhan Modal)
Kebutuhan akibat adalah kebutuhan yang mengarah pada suatu keadaan
yang diinginkan, sedangkan kebutuhan modal adalah kecenderungan untuk
melakukan perilaku-perilaku tertentu demi perilaku itu sendiri.
Tabel 1.
Jenis Kebutuhan Menurut Murray
Daftar Kebutuhan
Menurut Murray
Batasan Singkat Emosi yang
Terlibat
Press yang
Menyumbang
N Abasement
(merendah)
Tunduk secara pasif
kepada kekuatan
eksternal, merasa
bersalah bila orang
lain berbuat
kesalahan,
menerima
inferioritas,
fitnahan, kesalahan,
Malu
Berdosa
Rendah diri
Aggression (Agresi)
Dominance
(Kekuasaan orang
hambatan,
menghindari
kekuasaan orang
lain, mandiri, tidak
terikat, menolak
kelaziman. Berdiri
sendiri dalam
membuat keputusan,
menghindari urusan
dan campur tangan
orang lain.
Negatif: hambatan
fisik, kekuasaan )
N Counteraction
(mengimbangi)
Memperbaiki
kegagalan dengan
berjuang lagi,
menghilangkan
pelecehan,
mengatasi
kelemahan,
menekan takut,
mengembalikan
nama baik,
mempertahankan
Kebanggaan
Bersalah
Succorance
(Tuntutan tanggung
pusat perhatian,
(Situasi yang tidak
menentu
kuat dan tidak dapat
masa bodoh.
Menahan diri untuk
bertindak karena
takut gagal.
N Nurturance
(merawat,
memelihara)
Memberi simpati,
membantu,
melindungi,
menyenangkan
orang lain yang
tidak berdaya atau
bayi atau orang yang
lemah, membantu
orang dalam bahaya.
Untuk mengampuni
dan berlaku
dermawan untuk
orang lain.
Kasih sayang
Terharu
Lembut hati
Succorance (Situasi
yang mengiba
meminta bantuan )
N Order (teratur) Membuat semua
teratur, menjaga
kebersihan, susunan,
organisasi,
keseimbangan,
Tenang
Tidak terburu-buru
Discipline (Disiplin
kerapian, ketelitian.
N Play (bermain) Bersenang-senang
melepaskan,
mengusir, tidak
mempedulikan,
menghina atau
memutuskan
hubungan dengan
objek yang tidak
dikehendaki.
N Sentience
(keharuan)
Mencari dan
menikmati kesan
yang menyentuh
perasaan. Untuk
memiliki dan
menikmati
keindahan,
kesempurnaan yang
abadi.
Terharu
Ke-Ilahian
Sentience
(Ketenteraman
Keindahan
Ketenangan )
N Sex (seks) Membangun
hubungan erotik,
nelakukan hubungan
seksual.
Memperoleh
Terangsang
Cinta
Exposure
Untuk memahami
apa saja fenomena
yang merangsang
dirinya.
2.1.4 Review Literatur tentang Metode Asesmen Kebutuhan Psikologis Tunanetra.
Penelitian sebelumnya mengenai kebutuhan mahasiswa tunanetra pernah
dilakukan oleh Herlina, dkk (2008) mencari tentang profil kebutuhan psikologis
mahasiswa tunanetra yang belajar di Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas
Pendidikan Indonesia. Sampel penelitian berjumlah 10 orang. Metode
pengumpulan data menggunakan kuesioner, wawancara, dan tes psikologi yaitu
tes EPPS. Data diolah dengan menggunakan statistik deskriptif. Hasil penelitian
ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan profil kebutuhan psikologis antara
mahasiswa tunanetra yang mengalami kebutaan sejak lahir dengan mahasiswa
tunanetra yang mengalami kebutaan setelah lahir.
Namun, alat tes psikologis seperti EPPS dianggap masih memiliki
kerkurangan sebagai alat ukur kebutuhan psikologis bagi remaja tunanetra,
dimana EPPS belum memiliki alat tes braille untuk remaja tunanetra dan EPPS
hanya mencakup 15 kebutuhan saja dan memungkinkan subjek untuk melakukan
faking good. Gronlund (1997) menunjukkan bahwa ketika soal EPPS dibacakan
secara lisan dalam pengerjaannya, hal ini akan menimbulkan gangguan dari suara
2.2 Remaja Tunanetra
2.2.1 Pengertian Remaja Tuna Netra
Santrock (2002) menjelaskan masa remaja merupakan masa transisi dari
masa anak-anak menuju masa dewasa. Hurlock (1980) membagi masa remaja
menjadi masa remaja awal dan masa remaja akhir. Masa remaja awal berlangsung
kira-kira antara usia 13-16 tahun, dan masa remaja akhir berlangsung antara usia
16-18 tahun. Menurut Santrock (2003) perubahan fisik yang terjadi pada remaja
terlihat nampak pada saat masa pubertas yaitu meningkatnya tinggi dan berat
badan serta kematangan sosial. Diantara perubahan fisik itu, yang terbesar
pengaruhnya pada perkembangan jiwa remaja adalah pertumbuhan tubuh (badan
menjadi semakin panjang dan tinggi). Selanjutnya, mulai berfungsinya alat-alat
reproduksi (ditandai dengan haid pada wanita dan mimpi basah pada laki-laki) dan
tanda-tanda seksual sekunder yang tumbuh (Sarlito Wirawan Sarwono, 2006: 52).
Sementara itu, Erikson (dalam Alwisol, 2009) mengatakan bahwa masa remaja
merupakan masa krisis. Hal ini dikarenakan pada masa ini remaja berusaha untuk
menemukan indentitas dirinya. Kekacauan indentitas mungkin terjadi seperti
terbaginya gambaran diri, ketidakmampuan membina persahabatan yang akrab,
dan lain sebagainya. Kekacauan identitas yang berlebih dapat mengakibatkan
penyesuaian diri yang patologis dalam bentuk regresi ke perkembangan
sebelumnya.
Pengertian Individu yang mengalami tunanetra adalah individu yang
12-17 tahun yang dipilih oleh peneliti dengan asumsi bahwa remaja penyandang
tunanetra sudah matang dalam berbahasa dibandingkan dengan anak penyandang
tunanetra.
2.2.2 Tunanetra dalam Tinjauan Mendetail
a. Jenis-jenis Tunanetra.
Berdasarkan pada tingkat ketajaman penglihatan, tunanetra terbagi atas
dua macam yaitu buta dan low vision . Dikatakan buta jika individu sama sekali
tidak mampu menerima rangsang cahaya dari luar (Somantri, 2007). Definisi
ketunanetraan menurut WHO didasarkan pada ketajaman penglihatan dan lantang
pandang yang dimiliki seseorang. Seseorang dikatakan buta jika ketajaman
penglihatannya <3/60, sedangkan low vision jika <6/18 sampai ≥3/60, dengan
lantang pandang <20 . (Mason & Mc Call, 1999). Kebutaan atau ketunanetraan
memiliki beberapa istilah dan pengertian. Menurut aspek pendidikan, definisi
ketunanetraan didasarkan pada fungsi penglihatan untuk kepentingan pendidikan,
sehingga diklasifikasikan kedalam tiga kategori, yaitu :
1. Blind (buta): seseorang yang belajar menggunakan materi perabaan
dan pendengaran
2. Low vision (kurang lihat): seseorang yang dalam belajarnya masih
dapat menggunakan penglihatannya dengan adaptasi tertentu
3. Limited vision: seseorang yang mengalami gangguan penglihatan
permasalahan secara anatomis. Seperti kelainan dapat dikelompokkan ke dalam
struktur refraktif mata, anomali otot di dalam sistem penglihatan, dan struktur
reseptif dari mata.
a. Masalah-Masalah Refraktif
Jenis yang paling umum dari gangguan penglihatan adalah di dalam
masalah-masalah refraksi yang terjadi ketika struktur refraksi dari mata
(kornea atau lensa) gagal untuk memfokuskan cahaya secara tepat ke
retina. Terdapat empat jenis masalah refraktif: hyperopia (mata jauh),
myopia (mata dekat), astigmatisme(penglihatan kabur), dan katarak (lensa
menjadi buram atau tak tembus cahaya).
b. Kelainan-Kelainan Otot
Kelainan-kelainan ini timbul ketika satu atau lebih otot mata yang utama
menjadi lemah dan tidak stabil, yang mengakibatkan hilangnya kontrol
dan kemampuan untuk menjaga tegangan (tension). Individu-individu
yang menderita kelainankelainan otot umumnya memiliki
kesulitan/hambatan dalam menjaga fokus mereka terhadap benda tertentu
bahkan untuk waktu yang sangat singkat. Terdapat tiga jenis
kelainan-kelainan otot: nystagmus (gerakan mata cepat yang tak terkontrol),
strabismus (mata juling), amblyopia (mata yang nampak normal, tetapi
retina dan syaraf optik. Kelainan yang diasosiasikan denga struktur
reseptif dari mata meliputi atrophy optik, retinitis pigmentosa, lepas retina,
retinopathy prematur (ROP). Usia terjadinya kehilangan penglihatan
secara signifikan mengubah tingkatan dan variasi dari dampak pada
perkembangan seseorang. Apabila penglihatan hilang sebelum usia 5
tahun, gambaran-gambaran visual yang berguna dapat hilang dan pengaruh
negatif pada fungsi secara keseluruhan cenderung menjadi yang paling
besar. Apabila penglihatan terganggu atau hilang pada usia setelah 5
tahun, beberapa ingatan-ingatan visual dapat tersimpan dan dapat
membantu “dalam membayangkan dan memahami konsep-konsep” (Best,
1992, hal. 3). Ingatan-ingatan visual akan tersimpan selama beberapa
tahun.
2.2.3 Karateristik Tunanetra
Pada dasarnya manusia menghendaki semua kebutuhan-kebutuhannya
dapat terpenuhi secara wajar baik kebutuhan biologis, kebutuhan psikologis, dan
kebutuhan sosiologis. Terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan tersebut secara
memadai akan mendatangkan keseimbangan dalam perkembangannya dan
keutuhan integritas pribadi. Keberhasilan dalam mencapai tugas perkembangan
pada suatu fase akan membawa konsekuensi kebahagiaan serta akan
memperlancar tugas perkembangan pada fase berikutnya, dan sebaliknya jika
mempengaruhi terhambatnyaa pemenuhan kebutuhan.
1. Perkembangan Kognitif Anak Tunanetra
Menurut Somantri (2012: 67) “Indera penglihatan ialah salah satu
indera penting dalam menerima informasi yang datang dari luar
dirinya.”Setiap manusia membutuhkan indera penglihatan untuk
mengamati objek atau untuk memperoleh suatu informasi yang berada di
lingkungan sekitarnya. Melalui indera penglihatan, manusia akan
memperoleh pengetahuan dari lingkungan sekitarnya dengan jelas, karena
dengan indera penglihatan sesuatu yang bersifat abstrak dapat
digambarkan secara konkrit. Sehingga informasi yang perolehnya dapat
lebih cepat dan mudah dipahami. “Anak tunanetra memiliki keterbatasan
atau bahkan ketidakmampuan dalam menerima rangsang atau informasi
dari luar dirinya melalui indera penglihatannya”, Somantri (2012: 68).
Seseorang yang mengalami tunanetra tidak dapat menafsirkan suatu objek
atau benda dengan sempurna. Biasanya seseorang yang mengalami
tunanetra menafsirkan suatu objek atau benda dengan menggunakan
indera-indera yang lain, seperti indera peraba, pembau, dan pengecap,
terutama indera yang sering digunakan yaitu, indera pendengaran. Dalam
hal ini, proses memperoleh informasinya dengan mendengarkan dari orang
lain, yaitu secara lisan (ucapan), sehingga hanya dapat melukiskan sesuatu
yang dicecapnya memiliki potensi dalam pengembangan kemampuan
kognitifnya.”
Menurut Salsabila (2013) kemampuan kognitif anak tunanetra
dapat dioptimalkan melalui fasilitas, seperti bacaan dan tulisan Braille,
keyboarding, alat bantu menghitung, mesin baca Kurzweil, buku bersuara,
komputer, latihan orientasi dan mobilitas, menggunakan pemandu, tongkat
pemandu dan kemampuan diri dalam melakukan aktivitas.
2. Perkembangan Motorik Anak Tunanetra
Perkembangan motorik anak tunanetra menurut penjelasan
Somantri (2012):
Perkembangan motorik anak tunanetra cenderung lambat
dibandingkan dengan anak awas pada umumnya, karena dalam
perkembangan perilaku motorik diperlukan adanya koordinasi fungsional
antara neuromuscular system (sistem persyarafan dan otot) dan fungsi
psikis (kognitif, afektif, dan konatif), serta kesempatan yang diberikan
oleh lingkungan. Fungsi neuromuscular system tidak bermasalah tetapi
fungsi psikisnya kurang mendukung serta menjadi hambatan tersendiri
dalam perkembangan motoriknya. Secara fisik, mungkin anak mampu
mencapai kematangan sama dengan anak awas pada umumnya, tetapi
melakukan sesuatu) mengakibatkan kematangan fisiknya kurang dapat
dimanfaatkan secara maksimal dalam melakukan aktivitas motorik.
Hambatan dalam fungsi psikis ini secara langsung atau tidak langsung
terutama berpangkal dari ketidakmampuannya dalam melihat.
Menurut Mestika (2012) “Pergerakan motorik anak tunanetra yang
sudah dapat berjalan dapat dilatih dengan olahraga yang dilakukan untuk
saluran penghubung kualitas hidup melalui sarana bantu atletik lari dengan
sistem kerja line follower.” Menurut Rudiyati (2009) “Selain melakukan
olahraga dapat pula diberikan kepekaan non-visual untuk melatih
perkembangan motorik penderita tunanetra melalui kegiatan latihan
kepekaan pendengaran, latihan kepekaan taktual, latihan kepekaan
pembau, latihan kepekaan pencecap, latihan kinestetik dan latihan
keseimbangan/vestabula.”
3. Perkembangan Emosi Anak Tunanetra
Menurut Somantri (2012: 80-83) perkembangan emosi anak
tunanetra digambarkan sebagai berikut: Perkembangan emosi anak
tunanetra akan sedikit mengalami hambatan dibandingkan dengan anak
yang awas. Keterlambatan ini terutama disebabkan oleh keterbatasan
kemampuan anak tunanetra dalam proses belajar. Pada awal masa
mencoba-lingkungannya secara tepat. Akibatnya pola emosi yang ditampilkan
mungkin berbeda atau tidak sesuai yang diharapkan oleh diri maupun
lingkungannya.
Kesulitan bagi anak tunanetra ialah ia tidak mampu belajar secara
visual tentang respon apa saja yang harus diberikan terhadap
stimulus-stimulus tersebut. Dengan kata lain anak tunanetra memiliki keterbatasan
dalam berkomunikasi secara emosional melalui ekspresi atau reaksi-reaksi
wajah atau tubuh lainnya untuk menyampaikan perasaan yang
dirasakannya kepada orang lain. Perkembangan emosi anak tunanetra akan
semakin terhambat apabila mengalami deprivasi emosi, yaitu kurang
memiliki kesempatan untuk menghayati pengalaman emosi yang
menyenangkan seperti kasih sayang, kegembiraan, perhatian dan
kesenangan. Anak yang mengalami deprivasi emosi ini adalah anak-anak
yang pada masa awal kehidupan atau perkembangannya ditolak
kehadirannya oleh keluarga atau lingkungannya. Deprivasi emosi ini akan
sangat berpengaruh terhadap aspek perkembangan lainnya seperti
kelambatan dalam perkembangan fisik, motorik, bicara, intelektual, dan
sosialnya.
Jadi perkembangan emosi anak tunanetra harus ditangani dengan
tepat agar tidak terjadi deprivasi emosi melalui kasih sayang, kegembiraan,
4. Perkembangan Sosial Anak Tunanetra
Perkembangan sosial anak tunanetra dijelaskan Somantri (pg
83-85) sebagai berikut, yaitu: Hambatan-hambatan muncul pada anak
tunanetra sebagai akibat langsung maupun tidak langsung dari
ketunanetraan, yaitu kurangnya motivasi, kekuatan menghadapi
lingkungan sosial, perasaan rendah diri, malu, penolakan masyarakat,
penghinaan, sikap tak acuh, ketidakjelasan tuntutan sosial, terbatasnya
kesempatan belajar tentang pola tingkah laku yang diterima merupakan
kecenderungan tunanetra yang dapat mengakibatkan perkembangan
sosialnya menjadi terhambat.
Pengalaman sosial anak tunanetra pada usia dini yang tidak
menyenangkan sebagai akibat dari sikap dan perlakuan negatif orang tua
dan keluarganya akan sangat merugikan perkembangan anak tunanetra.
Hal ini karena usia tersebut merupakan masa-masa kritis dimana
pegalaman-pengalaman dasar sosial yang terbentuk pada masa itu akan
sulit untuk diubah dan terbawa sampai ia dewasa. Untuk menghindari
kemungkinan terjadinya penyimpangan-penyimpangan dalam
perkembangan sosial anak tunanetra, sikap dan perlakuan orang tua serta
keluarga tunanetra nampaknya harus menjadi perhatian terutama pada usia
Pada hakikatnya perkembangan apapun mengenai anak tunanetra
sangat bergantung pada orang yang menanganinya. Jika anak tunanetra
didukung dan dipercaya untuk melakukan kegiatan yang positif maka
perkembangannya pun akan bermakna. Sebagai orang terdekat, orang tua
dan keluarga sangat berperan dalam perkembangan segala aspek anak
tunanetra sehingga dianjurkan bahkan diharuskan pihak-pihak ini memberi
dorongan/ motivasi, terus secara continue memberi semangat dan
memberikan input yang dapat menimbulkan perkembangan positif bagi
anak tunanetra termasuk dalam perkembangan kepribadian sehingga anak
tunanetra dapat menyadari, mengenali dan memiliki konsep diri.
Davis Kirtley, 1975 (dalam Somantri, 2012: 85-86) menyatakan
mengenai proses perkembangan awal anak tunanetra, yaitu: Dalam proses
perkembangan awal, diferensiasi konsep diri merupakan sesuatu yang sulit
untuk dicapai sehingga untuk memasuki lingkungan baru, seorang anak
tunanetra harus dibantu oleh ibu atau orang tuanya melalui komunikasi
verbal, memberikan semangat dan memberikan gambaran lingkungan
tersebut sejelas-jelasnya seperti anak tunanetra mengenal tubuhnya sendiri.
2.2.4 Review literatur tentang Remaja Tunanetra
Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Safitri (2013) menjelaskan
bahwa dukungan sosial dari keluarga khususnya orang tua yang sangat diperlukan
untuk remaja tunanetra dalam mengembangkan rasa percaya dirinya. Berdasarkan
bentuk dukungan sosial yang paling banyak diterima oleh remaja tunanetra di
sekolah khusus adalah dari lingkungan sekolah. Remaja tunanetra menerima
pendidikan mereka dalam berbagai pengaturan, termasuk kelas pendidikan umum,
sumber daya kamar, kelas mandiri, dan, sekolah perumahan bagi siswa tunanetra.
Bagi remaja tunanetra yang bersekolah di sekolah umum, memiliki
kesempatan yang kecil untuk bertemu seseorang dengan gangguan pengelihatan
tidak dapat melihat seperti dirinya. Jadi sebagian besar remaja tunanetra merasa
tidak ada seorangpun yang dapat memahami tantangan seperti yang dia alami.
Seperti semua remaja, ia akan membutuhkan keluarga, teman, guru dan orang
dewasa lain yang mendengarkan dengan seksama dan mencoba untuk
memahaminya. Remaja tunanetra mungkin mengalami perasaan terisolasi dan
kekurangan model sesuai usia peran dengan siapa mereka dapat mengidentifikasi
(Hutto & Hare, 1997; Peanstiehl, 1983; Sacks, 1996).
2.3 Analisis Cerita Mimpi 2.3.1 Pemahaman Mimpi
Definisi mimpi menurut Freud (1956) merupakan kehidupan pikiran saat
kita tertidur, kehidupan yang menyerupai kehidupan saat kita terbangun hanya
saja lebih sempit dan berbeda. Mimpi mewakili bermacam-macam bentuk pikiran
dan cara kerja intelektual. Cara kerja psikoanalitik berhubungan dengan pikiran
laten yang merupakan akar mimpi, tetapi berpusat pada proses pikiran bawah
Komponen dalam motif aktual yang membentuk mimpi adalah keinginan
bawah sadar yang berusaha dipenuhi. Interpretasi mimpi berhubungan dengan
pikiran laten, residu pada hari sebelumnya, sesuatu di bawah sadar, sesuatu yang
direpres sehingga semuanya membentuk mimpi. Sebuah harapan akan
membangkitkan mimpi yang diperkuat oleh ingatan masa kanak-kanak.
Pengalaman masa kanak-kanak memainkan perannya sebagai sumber mimpi dari
isi mimpi laten. Penggabungan faktor-faktor menjadikan sebuah mimpi tampak
dapat dipercaya sebagai pengulangan peristiwa di masa kecil. Setiap mimpi akan
terhubung dengan pengalaman yang baru saja terjadi, sementara melalui isi laten
terhubung dengan pengalaman yang sangat jauh.
2.3.1.1 Hubungan Need dapat terlihat dari Mimpi
Freud Freud (1956) mengatakan bahwa Id merupakan faktor pendorong
(sumber energi) dari perilaku manusia, Murray menambahkan pendangan bahwa
ada sifat positif (dorongan dalam diri yang diterima masyarakat) dan negatif
(dorongan primitif yang tidak diterima masyarakat), besarnya Id antara manusia
juga berbeda-beda. Menurut Murray, Kebutuhan manusia terkandung di dalam Id.
Murray menempatkan stress yang besar dalam kekuatan yang dapat
mempengaruhi lingkungan sosial, yang biasanya disebut sebagai budaya, dalam
kepribadian. Menurut Murray (dalam Alwisol, 2009), apabila suatu kebutuhan
muncul, individu berada dalam keadaan tegang dan pemuasan kebutuhan akan
individu belajar untuk tidak hanya memberikan respon demi mereduksi tekanan
dan mengalami kepuasan saja, tetapi individu juga belajar untuk memberikan
respon yang mengembangkan tekanan sehingga pada saat mereduksi tekanan,
individu akan mengalami kepuasan yang lebih besar.
Sependapat dengan Freud, ia mengartikan superego sebagai proses
internalisasi nilai-nilai budaya, norma-norma, dan lainnya, yang mengatur
individu untuk mengevaluasi dan menilai tingkah laku dirinya sendiri dan juga
orang lain. Bentuk dan hakekat dari superego pada anak-anak ditentukan oleh
orang tua dan figur-figur penting lainnya pada usia dini, seperti yang dikatakan
Freud. Selagi superego berkembang, begitu juga halnya dengan ego-ideal.
Ego-ideal ini membantu individu menetapkan tujuan jangka panjang untuk melakukan
usaha keras. Ego-ideal merupakan ”gambaran seseorang ’dalam masa depan
terbaiknya’”. Ideal ini sendiri mengandung ambisi dan aspirasi individu. Ini bisa
saja sejalan dengan nilai-nilai dari superego atau bahkan bisa bertentangan. Ego
merupakan pengatur rasionalitas dari kepribadian, dimana, dalam pandangan
Freud, mencoba untuk mengubah atau menunda dorongan id yang tidak dapat
diterima. Bagaimanapun juga, Murray mempertimbangkan ego melakukan lebih
banyak hal daripada sekedar menjadi ”polisi” kepribadian.
Dalam perannya sebagai pengatur utama seluruh tingkah laku, ego juga
Kebutuhan manusia berasal dari kesadarannya, namun sebagian berasal
dari ketidaksadarannya. Upaya pemenuhan kebutuhan akan membentuk suatu
kepribadian karena adanya bantuan atau hambatan dari lingkungan. Ada beberapa
kebutuhan yang diloloskan dan ada yang dihambat oleh press. Kebutuhan yang
muncul akan menyebabkan tegangan dalam diri manusia. Manusia akan berusaha
untuk menurunkan tegangan dan berusaha memenuhi kebutuhannya. Freud (1901)
mengemukakan bahwa pemenuhan dalam diri terlihat dalam bentuk keseleo lidah,
kekeliruan perilaku, fantasi, lamunan, dan mimpi. Penjelasan diatas dapat dilihat
dari skema yang digambarkan sebagai berikut :
Gambar 3. Diagram need dan press
Sumber: “Modul TAT Universitas Surabaya”, oleh Sutyas Prihanto, 1993
NEED PRESS
“n”
Situasi yang adadi lingkungan
Tegangan
pembuatan tes projektif T.A.T (Bellak & Abrams, 1997). Dorongan Id merupakan
dorongan yang murni, belum dipengaruhi oleh kebudayaan, dan dorongan ini
berada dalam ketidaksadaran. Dorongan Id meliputi dorongan untuk bertahan
hidup (life instinct) yang disebut dengan Erros, yaitu dorongan seksual atau libido
dan dorongan kematian (death instinct) yang disebut Thanatos. Menurut Murray
(dalam Alwisol, 2009), kebutuhan manusia terkandung di dalam Id. Upaya
pemenuhan kebutuhan akan membentuk suatu kepribadian karena adanya bantuan
atau hambatan dari lingkungan. Ada beberapa kebutuhan yang diloloskan dan ada
yang dihambat oleh press. Kebutuhan yang tidak terpenuhi akan menyebabkan
tegangan dalam diri manusia. Pada dasarnya manusia akan berusaha untuk
menurunkan tegangan dan berusaha memenuhi kebutuhannya.
Freud (1901) mengemukakan bahwa pemenuhan dalam diri terlihat
dalam bentuk keseleo lidah, kekeliruan perilaku, fantasi, lamunan, dan mimpi.
Studi PET (Positron emission Tomography) menunjukan penambahan dalam
Hallucinatory Perception (The cortical areas of the parietal lobe) dan penurunan
aktivasi pada dorsolateral prefrontal cortex sehingga mengidentifikasi memori,
refleksi, diri dan membesarkan halusinasi. Dalam mimpi REM, periodik cerita
yang terjadi merupakan penggabungan dari cerita aktivitas keseharian ketika
terbangun. Kesesuaian antara pembentukan cerita dalam tiap episodik mimpi
sesuai dengan pernyataan Murray bahwa keberadaan kebutuhan dapat
juga didukung oleh Gordon H.L (1952) yang menunjukan adanya korelasi positif
antara studi analisis mimpi seseorang dengan hasil respon dalam cerita TAT.
Gambar 4. Proses need menjadi mimpi
Dikembangkan dari “Modul TAT Universitas Surabaya”, oleh Sutyas Prihanto, 1993.
Untuk membuat suatu batasan dalam penelitian menggunakan cerita
mimpi, maka peneliti membuat sebuah ringkasan tema-tema yang telah
disesuaikan dengan kartu TAT untuk dapat dianalisis dan dapat mengungkap 20
kebutuhan Murray serta tekanan yang muncul, yaitu :
1. Mimpi mengenai Ayah (Kartu 1 & 2) : Focal and Diffuse Types of
Needs (Kebutuhan yang Memusat dan Kebutuhan yang Menyebar) Need (Id)
Super ego
mengijinkan
Objek Pemuas Kebutuhan
Super ego
menolak
Ego menjalankan
Ego merepres, ada ketegangan