• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran kebutuhan dan tekanan psikologis remaja tunanetra menggunakan metode analisis tematik cerita mimpi.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Gambaran kebutuhan dan tekanan psikologis remaja tunanetra menggunakan metode analisis tematik cerita mimpi."

Copied!
162
0
0

Teks penuh

(1)

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kebutuhan psikologis remaja penyandang tunanetra. Analisis penelitian ini menggunakan metode analisis tema yang dibuat oleh Murray dengan menggunakan cerita mimpi dengan tema tertentu. Analisis tematik cerita mimpi dipilih karena sesuai dengan pernyataan yang telah dikemukakan oleh Freud bahwa mimpi memiliki kemampuan untuk mengungkap gambaran mengenai kebutuhan dan kecemasan. Subjek berjumlah 3 orang yang berusia antara 16-18 tahun dengan kriteria tunanetra yang tinggal di asrama. Data yang dikumpulkan berupa cerita mimpi para penyandang tunanetra dengan tema-tema yang sudah ditentukan oleh peneliti. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa remaja penyandang tunanetra memiliki kebutuhan akan penerimaan, kebutuhan menyerang orang lain serta kebutuhan bebas untuk dirinya sendiri. Tekanan yang dimiliki oleh remaja penyandang tunanetra adalah perlakuan tidak baik, ketidakmampuan serta kesendirian. Berdasarkan pada dinamika yang dimiliki oleh remaja penyandang tunanetra, terlihat bahwa penyandang tunanetra cenderung memiliki anxious-ressistant attachment, self accusation, dan mengalami deprivasi emosi.

(2)

ABSTRACT

This study aims to find out the psychological needs of young people with visual impairment. Analysis of this study is using the thematic analysis made by Murray. Analysis is carried out on the dream story of the subject with the specific theme which is created by the researcher. Thematic analysis of the dream story is chosen because it is correspond with the statement that has been put forward by Freud that dreams are the expression of the needs and pressures. Subjects were 3 people aged between 16-18 years with the criteria of visually impaired adolescents who lives in dormitories. The data collected is in the form of a dream story of the visually impaired adolescent with the themes that have been determined by the researcher. The results showed that visually impaired adolescents have a need for acceptance, the need to attack others as well as the need to free him-self. Not treated well, incompetence and loneliness are the psychological pressures by these young people with visual impairment. Based on the dynamics that are owned by young people with visual impairments, it appears that visually impaired adolescent tend to have anxious-resistant attachment, self-accusation, and experienced emotional deprivation.

(3)

i

REMAJA TUNANETRA MENGGUNAKAN METODE

ANALISIS TEMATIK CERITA MIMPI

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun Oleh :

Clothilde Arum Jayatri Rejeki

119114080

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(4)

ii

PRESSURES FOR VISUALLY IMPAIRED ADOLESCENT

ACKNOWLEDGED BY USING THE THEMATIC ANALYSIS

OF DREAM

A Final Thesis

Presented as Partial Fulfillment of The Requirements

To Obtain Sarjana Psikologi Degree

In Psychology Study Program

By:

Clothilde Arum Jayatri Rejeki

119114080

PSYCHOLOGY STUDY PROGRAMDEPARTMENT OF PSYCHOLOGY FACULTY OF PSYCHOLOGY

SANATA DHARMA UNIVERSITY YOGYAKARTA

(5)

iii

GAMBARAN KEBUTUHAN DAN TEKANAN PSIKOLOGIS

REMAJA TUNANETRA MENGGUNAKAN METODE

ANALISIS TEMATIK CERITA MIMPI

Disusun oleh:

Clothilde Arum Jayatri Rejeki

119114080

Telah disetujui oleh:

Dosen Pembimbing

(6)

iv

GAMBARAN KEBUTUHAN DAN TEKANAN PSIKOLOGIS

REMAJA TUNANETRA MENGGUNAKAN METODE

ANALISIS TEMATIK CERITA MIMPI

Dipersiapkan dan disusun oleh:

Nama : Clothilde Arum Jayatri R.

NIM : 119114080

Telah dipertahankan di depan panitia penguji

pada tanggal 16 November 2015

dan dinyatakan memenuhi syarat

Susunan Panitia Penguji:

Nama Lengkap Tanda Tangan

Ketua : Dr. Tjipto Susana M.Si _____________

Sekretaris : C. Siswa Widyatmoko M.Si _____________

Anggota : C. Wijoyo Adinugroho M.Psi _____________

Yogyakarta,

Fakultas Psikologi

Universitas Sanata Dharma

Dekan,

(7)

v

PERSEMBAHAN

Don’t let anyone look down on you because

you are young, but set an example for the

believers in speech, in conduct, in love, in

faith, and in purity.

1 Timothy 4 : 12

Tulisan ini kupersembahkan untuk

Tuhan Yesus yang Maha Baik, Bapak, Mama, Ibu, Mbak Ayu, dan

Mas Lian!

How wonderful the Lord is putting the people we need in our life to shape us and

(8)

vi

memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam

kutipan dan daftar pustaka sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 10Oktober 2015

Penulis,

(9)

vii

CERITA MIMPI

Clothide Arum Jayatri Rejeki

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kebutuhan psikologis remaja penyandang tunanetra. Analisis penelitian ini menggunakan metode analisis tema yang dibuat oleh Murray dengan menggunakan cerita mimpi dengan tema tertentu. Analisis tematik cerita mimpi dipilih karena sesuai dengan pernyataan yang telah dikemukakan oleh Freud bahwa mimpi memiliki kemampuan untuk mengungkap gambaran mengenai kebutuhan dan kecemasan. Subjek berjumlah 3 orang yang berusia antara 16-18 tahun dengan kriteria tunanetra yang tinggal di asrama. Data yang dikumpulkan berupa cerita mimpi para penyandang tunanetra dengan tema-tema yang sudah ditentukan oleh peneliti. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa remaja penyandang tunanetra memiliki kebutuhan akan penerimaan, kebutuhan menyerang orang lain serta kebutuhan bebas untuk dirinya sendiri. Tekanan yang dimiliki oleh remaja penyandang tunanetra adalah perlakuan tidak baik, ketidakmampuan serta kesendirian. Berdasarkan pada dinamika yang dimiliki oleh remaja penyandang tunanetra, terlihat bahwa penyandang tunanetra cenderung memiliki anxious-ressistant attachment, self accusation, dan mengalami deprivasi emosi.

(10)

viii

BY USING THE THEMATIC ANALYSIS OF DREAM

Clothilde Arum Jayatri Rejeki

ABSTRACT

This study aims to find out the psychological needs of young people with visual impairment. Analysis of this study is using the thematic analysis made by Murray. Analysis is carried out on the dream story of the subject with the specific theme which is created by the researcher. Thematic analysis of the dream story is chosen because it is correspond with the statement that has been put forward by Freud that dreams are the expression of the needs and pressures. Subjects were 3 people aged between 16-18 years with the criteria of visually impaired adolescents who lives in dormitories. The data collected is in the form of a dream story of the visually impaired adolescent with the themes that have been determined by the researcher. The results showed that visually impaired adolescents have a need for acceptance, the need to attack others as well as the need to free him-self. Not treated well, incompetence and loneliness are the psychological pressures by these young people with visual impairment. Based on the dynamics that are owned by young people with visual impairments, it appears that visually impaired adolescent tend to have anxious-resistant attachment, self-accusation, and experienced emotional deprivation.

(11)

ix

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma :

Nama : Clothilde Arum Jayatri Rejeki

Nomor Mahasiswa : 119114080

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :

Gambaran Kebutuhan Dan Tekanan Psikologis Remaja Tunanetra Menggunakan Metode Analisis Tematik Cerita Mimpi”

beserta perangkat yang diperlukan. Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, me-ngalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di Internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di Yogyakarta

Pada tanggal : 3 Desember 2015

Yang menyatakan

(12)

x

Puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa

atas berkat, rahmat serta kasih-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi

yang berjudul “Gambaran Kebutuhan dan Tekanan Psikologis Remaja Tunanetra Menggunakan Metode Analisis Tematik Cerita Mimpi”.

Penulisan skripsi ini bertujuan untuk memenuhi sebagian syarat

memperoleh gelar sarjana psikologi program studi S1 jurusan Psikologi

Universitas Sanata Dharma. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari

sempurna oleh sebab itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat

membangun dari semua pihak demi kesempurnaan skripsi ini.

Selesainya skripsi ini tidak lepas dari peran penting berbagai pihak,

sehingga pada kesempatan ini penulis dengan segala kerendahan hati serta rasa

hormat mengucapkan terima kasih yang sebesar – besarnya kepada semua pihak

yang telah memberikan dukungan baik secara langsung maupun tidak langsung

kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini hingga selesai. Pada proses

penulisan tugas akhir ini, saya ucapkan banyak terima kasih kepada:

1. Tuhan Yesus dan Bunda Maria atas segala berkat dan kasih

karunia-Nya yang diberikan dari awal sampai akhir penulisan skripsi.

2. Ibu Dr. Tjipto Susana, M.Si. selaku pembimbing yang memberikan

pengarahan serta solusi dalam pengerjaan skripsi ini hingga selesai.

Terimakasih atas pertanyaan-pertanyaan yang membimbing saya untuk

semakin mendalami secara lebih baik.

3. Bapak V. Didik Suryo Hartoko, M.Si atas bimbingannya serta diskusi

dalam melakukan analisis tematik dan pembahasan. Terimakasih atas

masukan yang telah diberikan.

4. Ibu dan Bapak Wiyoto selaku Kepala Yayasan Yaketunis atas

(13)

xi

6. Kekasih hati Aluisius Bachtiar Bayu S. , serta Ibu, Bapak, Mas Pungki, Zeta, dan Rere yang selalu menemani penulis dan memberikan dukungan selama penulisan ini.

7. Sahabat seperjuangan Silla, Hervy, Yoan, Netty, Jojo, Mbak Tirza, Clara, Suster Petra, Anita, Wila, Mandana, dan Bella. Dinamika selama penulisan skripsi ini tidak akan seru tanpa kalian guys!!!

8. Seluruh dosen di Jurusan Psikologi Universitas Sanata Dharma yang telah memberikan ilmu pengetahuan yang berguna selama penulis duduk di bangku kuliah dan seluruh karyawan Jurusan Psikologi Universitas Sanata Dharma (Mas Gandung, Bu Nanik, Pak Gik), terima kasih atas pelayanan yang diberikan sehingga penulis dapat kuliah dengan nyaman dan pada akhirnya dapat menyelesaikan skripsi dengan baik.

9. Seluruh teman Psikologi USD Angkatan 2011 (Jangan Panik, Mari Piknik) terimakasih teman, kalian memberikan warna selama perkuliahan ini.

10.Semua pihak, baik langsung maupun tidak, yang telah membantu

dalam proses penyelesaian skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang terdapat dalam

skripsi ini. Saran dan kritik diharapkan untuk perbaikan-perbaikan pada masa

yang akan datang. Semoga dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu

pengetahuan.

Yogyakarta, 10Oktober 2015

Penulis

(14)

xii

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN JUDUL ... ii

HALAMAN PERSETUJUAN ... iii

HALAMAN PENGESAHAN ... iv

HALAMAN MOTTO & PERSEMBAHAN ... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR TABEL ... xv

1. BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 9

1.3 Tujuan Penelitian ... 10

1.4 Manfaat Penelitian ... 10

2. BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 12

2.1 Kebutuhan Psikologis ... 12

2.1.1 Pemahaman tentang Kebutuhan Psikologis ... 12

2.1.2 Hal-hal yang berkaitan dengan Kebutuhan Psikologis. ... 14

2.1.2.1 Motivasi ... 14

2.1.2.2 Motif ... 15

2.1.2.3 Press ... 16

2.1.2.4 Interaksi Kebutuhan dan Tekanan : Tema ... 17

2.1.3 Tipe-tipe Kebutuhan Psikologis ... 18

2.1.4 Review Literatur tentang Metode Asesmen Kebutuhan Psikologis Tunanetra... 30

2.2 Remaja Tunanetra ... 31

(15)

xiii

2.2.4 Review literatur tentang Remaja Tunanetra ... 40

2.3 Analisis Cerita Mimpi ... 41

2.3.1 Pemahaman Mimpi ... 41

2.3.1.1 Hubungan Need dapat terlihat dari Mimpi ... 42

2.3.2 Analisis Tematik ... 48

3. BAB III METODOLOGI PENELITIAN... 51

3.1 Metode Penelitian ... 51

3.2 Fokus Penelitian ... 51

3.3 Subjek Penelitian ... 52

3.4 Metode Pengumpulan Data ... 54

3.5 Analisis Data ... 55

3.6 Validitas Penelitian ... 56

4. BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 57

4.1 Pelaksanaan Penelitian ... 57

4.2 Hasil Penelitian ... 58

4.2.1 Subjek I ... 58

4.2.2 Subjek II ... 69

4.2.3 Subjek III ... 79

4.2.4 Dinamika Kebutuhan Psikologis (Need) dan Tekanan (Press) Subjek 1, 2 dan 3 ... 90

4.2.5 Pembahasan ... 97

5. BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 99

5.1 Kesimpulan ... 99

5.2.1. Saran ... 100

DAFTAR PUSTAKA ... 102

(16)

xiv

(17)

xv

Tabel 1 Jenis Kebutuhan ... 19

Tabel 2 Contoh dari analisis tematik :... 50

Tabel 3 Kebutuhan Psikologis (Need) dan Tekanan (Press) Subjek I ... 62

Tabel 4 Kebutuhan Psikologis (Need) dan Tekanan (Press) Subjek II ... 72

(18)

1

1.1 Latar Belakang

Individu yang mengalami tunanetra adalah individu yang indera

penglihatannya (kedua-duanya) tidak berfungsi sebagai saluran penerima

informasi dalam kegiatan sehari-hari seperti halnya orang yang punya penglihatan

yang baik. Berdasarkan pada tingkat ketajaman penglihatan, tunanetra terbagi atas

dua macam yaitu buta dan low vision . Dikatakan buta jika individu sama sekali

tidak mampu menerima rangsang cahaya dari luar. Sementara individu yang low

vision masih mampu menerima rangsang cahaya dari luar, tetapi ketajamannya

lebih dari 6/21 yang artinya berdasarkan tes hanya mampu membaca huruf pada

jarak 6 meter yang oleh orang berpenglihatan normal dapat dibaca pada jarak 21

meter, atau jika hanya mampu membaca ’headline’ pada surat kabar (Somantri,

2007).

Menurut World Health Organization (WHO), pada tahun 2009 sekitar 314

juta jiwa di seluruh dunia mengalami gangguan penglihatan dengan 45 juta jiwa

mengalami kebutaan atau tunanetra (Zeeshan & Aslam, 2013). Berbagai penyakit

yang menyebabkan tingginya angka kebutaan di Indonesia, antara lain katarak

(0,78%), glukoma (0,20%), kelainan refraksi (0,14%), sedangkan sisanya akibat

penyakit kornea (0,10%), retina (0,13%), dan kekurangan vitamin A

(xeroftalmia). Berdasarkan hasil survei kesehatan tahun 2008, Indonesia memiliki

(19)

banyak yaitu sebesar 15,9%. (Yogasari, 2013)

Seorang tunanetra, dalam kondisinya yang khusus atau luar biasa dengan

berbagai kesulitannya, sering menghadapi berbagai masalah karena hambatan

dalam fungsi penglihatannya.Para penyandang tunanetra mengalami keterbatasan

dalam keanekaragaman pengalaman, interaksi dengan lingkungan, serta dalam

mobilitasnya, mereka semakin terhambat karena tidak tersedianya fasilitas yang

memadahi (“Fasilitas minim”, 2015). Pada akhirnya perlakuan yang diterima anak

tunanetra membentuk sikap tersendiri, menurut Sukini Pradopo (dalam Somantri,

2005) terdapat beberapa gambaran sifat anak tunanetra diantaranya ialah

ragu-ragu, rendah diri, dan curiga pada orang lain. Sedangkan Sommer (dalam

Somantri, 2005) mengatakan bahwa anak tunanetra cenderung memiliki sifat-sifat

takut yang berlebihan, menghindari kontak sosial, mempertahankan diri dan

menyalahkan orang lain, serta tidak mengakui kecacatannya.

Kesehatan dan fungsi fisik seseorang juga mempengaruhi dan membentuk

kesejahteraan psikologis individu, sehingga tidak semua orang dapat menjadi

sejahtera, terutama kaum minoritas (Schmitt & Branscombe dalam Lianawati,

2008) yang dalam hal ini adalah kaum penyandang tunanetra. Kesejahteraan

psikologis merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan kesehatan

psikologis individu berdasarkan pemenuhan kriteria fungsi psikologis positif

(positive psychological functioning). Hal ini dikemukakan oleh para ahli

(20)

dalam hal relasi sosialnya dan penerimaan dukungan sosial (Mclivane &

Reinhardt, 2001; Pinquart & Pfeiffer, 2009). Selain itu, mereka cenderung

mengalami stres lebih tinggi, tingkat kepuasan perkawinan yang lebih rendah,

kesehatan mental dan kendali akan kesejahteraan psikologis yang menurun

(Gardner & Harmon, 2002). Bahkan apabila dibandingkan dengan populasi

normal, para penyandang tunanetra di usia awal cenderung memiliki tingkat

depresi yang lebih tinggi dan kesejahteraan yang lebih rendah.

Diungkapkan pada studi yang sama, pada populasi tunanetra di Eropa,

terganggunya fungsi penglihatan membawa dampak negatif terbesar dalam

menurunkan kesejahteraan individu (Carney, 2004; Linely & Joseph, 2005),

Padahal, Mills (2010) menjelaskan bahwa kesejahteraan psikologis merupakan

indikator keseimbangan antara dampak negatif dan positif dari suatu kondisi yang

dialami individu. Selain itu, kesejahteraan psikologis penting karena memiliki

kesejahteraan psikologis yang tinggi akan mendukung kesehatan yang lebih baik,

memperpanjang umur, meningkatkan usia harapan hidup, dan menggambarkan

kualitas hidup dan fungsi individu (Diener dkk, 2009).

Menurut Davis (dalam Kartikasari 2013), individu-individu yang

mendapatkan dukungan sosial memiliki tingkat psychological well-being yang

lebih tinggi. Dukungan sosial sendiri diartikan sebagai rasa nyaman, perhatian,

penghargaan, atau pertolongan yang dipersepsikan oleh seorang individu yang

(21)

keluarga, teman, rekan kerja, dokter, maupun organisasi sosial.

Subjective well-being merupakan salah satu kajian dalam psikologi positif,

dan pendekatan teori yang ada salah satunya menggunakan teori need and goal

satisfaction (McGregor & Little, 1998). Penelitian Nayana (2013) menjelaskan

bahwa kebutuhan remaja akan keberadaan dan perhatian orang tua dapat menjadi

salah satu penentu kondisi well-being seorang anak. Kesejahteraan juga dapat

dijelaskan dengan teori-teori klinis yang turut dijadikan dasar seperti teori

Abraham Maslow mengenai aktualisasi diri, yang menjelaskan bahwa seorang

akan mencapai aktualisasi diri ketika kebutuhannya telah terpenuhi secara

optimal. (Alwisol, 2007)

Penjelasan diatas menunjukan pengalaman dan kesejahteraan dari

anak-anak tunanetra ternyata berbeda dengan anak-anak yang tumbuh normal pada

umumnya. Fakta dalam kehidupan keseharian, kelompok tunanetra kurang

mendapatkan perhatian dan seringkali terhambat pula dalam relasi sosialnya.

Kecacatan fisik karena tidak dapat melihat menjadi kendala tersendiri bagi

kelompok tunanetra untuk dapat berinteraksi dengan sesamanya. Sebagian besar

dari orang tunanetra sudah tinggal di asrama sejak kecil dan hanya melakukan

relasi dengan teman-teman di asrama, hal ini dapat menimbulkan keterhambatan

dan kebutuhan afeksi dalam perkembangan anak. (Hurlock, 1980). Kebutuhan

psikologis yang tidak terpenuhi dapat menimbulkan permasalahan-permasalahan

(22)

sumber hampir semua bentuk psikopatologi, dan kegagalan memenuhi kebutuhan

keamanan dapat mengakibatkan obssesive-compulsive.

Santrock (2003: 24) mengungkapkan bahwa pada transisi sosial, remaja

mengalami perubahan dalam hubungan individu dengan manusia lain yaitu dalam

emosi, dalam kepribadian, dan dalam peran dari konteks sosial dalam

perkembangan. Kebutuhan psikologis yang tidak terpenuhi dapat menimbulkan

permasalahan-permasalahan psikologis, seperti tertekan (Murray dalam Hall &

Lindzey, 1993). Selain itu, Maslow (dalam Alwisol, 2007) juga mengungkapkan

akibat dari kegagalan pemenuhan kebutuhan psikologis.

Kegagalan memenuhi kebutuhan cinta menjadi sumber hampir semua

bentuk psikopatologi, dan kegagalan memenuhi kebutuhan keamanan dapat

mengakibatkan obsesif-kompulsif. Erikson (dalam Alwisol, 2009) mengatakan

bahwa masa remaja merupakan masa krisis. Hal ini dikarenakan pada masa ini

remaja berusaha untuk menemukan indentitas dirinya. Kekacauan indentitas

mungkin terjadi seperti terbaginya gambaran diri, ketidakmampuan membina

persahabatan yang akrab, dan lain sebagainya. Kekacauan identitas yang berlebih

dapat mengakibatkan penyesuaian diri yang patologis dalam bentuk regresi ke

perkembangan sebelumnya.

Pada penelitian ini, peneliti ingin mengetahui bagaimana gambaran

kebutuhan psikologis remaja penyandang tunanetra. Alasan peneliti melihat

(23)

untuk melakukan pemenuhan kebutuhan yang muncul. Pemenuhan kebutuhan ini

akan membuat seseorang mendatangkan kondisi yang menenangkan maupun

memuaskan. Begitu pula sebaliknya, kebutuhan yang tidak dapat dipenuhi akan

menimbulkan perasaan yang mengecewakan hingga kondisi menekan (Hall &

Lindzey, 1993). Maka, kebutuhan-kebutuhan psikologis yang tidak dapat

terpenuhi akan menimbulkan permasalahan-permasalahan psikologis, seperti

cemas, depresi.

Dalam melihat kebutuhan diketahui ada beberapa alat tes yang dapat

menunjukan kebutuhan seseorang. Pada penelitian sebelumnya Herlina, Euis, dan

Sitti (2008) mencari tentang profil kebutuhan psikologis mahasiswa tunanetra

yang belajar di Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia.

Sampel penelitian berjumlah 10 orang. Metode pengumpulan data menggunakan

kuesioner, wawancara, dan tes psikologi yaitu tes EPPS. Alat tes psikologis

seperti EPPS dianggap tidak sesuai sebagai alat ukur kebutuhan psikologis bagi

remaja tunanetra, dimana EPPS belum memiliki alat tes braille untuk remaja

tunanetra dan EPPS hanya mencakup 15 kebutuhan saja dan memungkinkan

subjek untuk melakukan faking good. Gronlund (1997) menunjukkan bahwa

ketika soal EPPS dibacakan secara lisan dalam pengerjaannya, hal ini akan

menimbulkan gangguan dari suara atau pelavalan dari tester yang membacakan.

Jika tidak membacakan dengan nada yang netral, maka hal ini akan menjadikan

(24)

projektif. Thematic Apperception Test (T.A.T). T.A.T merupakan salah satu tes

projektif dengan metode analisis isi, dimana subjek diminta untuk menceritakan

kejadian dalam kartu yang dirancang secara ambigu (Bellak & Abrams, 1997).

Namun, pada kenyataannya TAT tidak dapat digunakan oleh anak tunanetra

karena mereka tidak dapat melihat gambar kartu untuk mereka ceritakan

gambaran kebutuhan mereka.

Analisis Mimpi merupakan salah satu metode yang dapat digunakan untuk

melihat kebutuhan dan tekanan psikologis bagi remaja tunanetra dikarenakan

analisis mimpi bersifat mengungkap ketidaksadaran seseorang dan dapat

diterapkan oleh remaja tunanetra. Analisis mimpi dapat mengungkan kebutuhan

dan tekanan seseorang, oleh karena itu analisis mimpi merupakan dasar pemikiran

Murray dalam pembuatan tes projektif T.A.T (Bellak & Abrams, 1997).

Penelitian sebelumnya menyebutkan fungsi mimpi seperti halnya

psikoterapi yang dapat membuat seseorang menjadi lebih baik. Sebuah mimpi

yang kita alami bisa menjadi bahan pertimbangan untuk melakukan sesuatu dan

juga mengetahui sesuatu yang akan terjadi (Weiss & Lillie, 1986). Ketika kita

bermimpi maka kita seperti melakukan katarsis yang melibatkan rangkaian

peristiwa beserta emosi yang muncul dalam mimpi tersebut, sehingga itu akan

mengurangi tegangan dari dalam pikiran kita dan juga menjadi bahan refleksi

(25)

yang telah terlewat dan mengaturnya dalam ingatan kita. Saat kita tertidur, otak

merefleksikan hal-hal yang kita ingat atau yang kita pikirkan disaat belum tidur

dan membuatnya seperti film yang terlihat nyata disaat kita bermimpi. (Hunt,

1989). Tanpa kita sadari, mimpi selalu berhubungan dengan pengalaman

sehari-hari kita. Mimpi yang muncul dalam cerita merupakan hasil konstruksi pikiran

dan refleksi dari pengalaman yang kita alami. Goffman (dalam Freud, 1956)

menyatakan bahwa mimpi terdiri dari konstruksi visual imagery yang melibatkan

emosi dan perasaan seseorang. Sebuah mimpi adalah deretan pemikiran, citra,

suara, dan emosi yang dialami pikiran saat tidur (Freud, 1956)

Penelitian sebelumnya menyebutkan bahwa orang tunanetra dapat

bermimpi, (Kirtley, 1975), ketika seseorang tidak dapat melihat dan hanya

mengandalkan indera lain untuk menangkap rangsangan dan informasi sekitar,

maka seseorang pasti lebih berusaha keras untuk dapat membangun sebuah

rangkaian pengalaman. Bermimpi adalah pengalaman yang sangat visual untuk

orang-orang yang melihat. Sekitar setengah dari semua mimpi tunanetra juga

memiliki sensasi pendengaran, tapi dalam dua penelitian berskala besar kurang

dari satu persen yang merasakan sensasi pembauan, penciuman, serta perabaan

sensorik (Snyder, 1970; Zadra, Nielsen, & Donderi, 1998).

Kerr (1993) menunjukkan bahwa sifat sangat visual dalam mimpi

tunanetra. Studi peserta tunanetra yang tidur dalam laboratorium menggunakan

(26)

dalam Kerr, 1993). Substantif konten dalam laporan mimpi orang buta kurang

mendapat perhatian daripada ada atau tidaknya citra visual. Dari beberapa jurnal

yang ada, sebagian besar jurnal hanya menjelaskan mengenai konteks dalam

mimpi tunanetra. Kurangnya penjelasan penelitian mengenai analisis konten

mimpi bagi tunanetra untuk melihat kebutuhan dan tekanan yang muncul dalam

ketidaksadaran menjadi perhatian tersendiri. Berdasarkan penjabaran teoritis yang

ada peneliti ingin mengetahui dinamika kebutuhan siswa tunanetra.

Penelitian ini menggunakan metodologi kualitatif analisis tematik dengan

cerita mimpi. Pengambilan data penelitian akan menggunakan metode wawancara

terstruktur dan pengungkapan cerita mimpi dengan tema yang telah disusun oleh

peneliti. Metodologi ini menitikberatkan pada analisis cerita mimpi dan intepretasi

peneliti dalam mengungkapkan kebutuhan dan tekanan yang terkandung dalam

cerita subjek. Intepretasi tersebut akan didukung pula dengan hasil wawancara

dari significant other.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan pada apa yang telah dipaparkan, rumusan masalah dalam

penelitian ini adalah “Bagaimana gambaran kebutuhan dan tekanan psikologis

(27)

psikologis remaja penyandang tunanetra dengan analisis tematik menggunakan

cerita mimpi.

1.4 Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Melalui penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan wawasan

pengetahuan dan pemahaman ilmu psikologi, terutama psikologi

kepribadian dan psikologis perkembangan mengenai kebutuhan psikologis

(need) dan tekanan (press) pada remaja penyandang tunanetra.

2. Manfaat Praktis

a. Gambaran mengenai kebutuhan psikologis yang dimiliki oleh remaja

penyandang tunanetra diharapkan dapat membantu para penyandang

tunanetra untuk lebih memahami diri sendiri.

b. Penelitian ini juga bermanfaat bagi keluarga dan masyarakat sekitar

para penyandang tunanetra agar dapat lebih menyadari mengenai

kebutuhan-kebutuhan psikologis yang dimiliki para penyandang

tunanetra sehingga dalam upaya melakukan pemenuhan kebutuhan

psikologis dapat memberikan bantuan agar kebutuhan psikologis para

(28)

12

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kebutuhan Psikologis

2.1.1 Pemahaman tentang Kebutuhan Psikologis

Menurut Murray (dalam Alwisol, 2009), pemahaman diri harus dilakukan

secara personal. Dalam prinsip ini, Murray sangat terpengaruh oleh Freud yang

menekankan mengenai keunikan manusia secara individualitas. Murray melihat

bahwa masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang semuanya memiliki

pengaruh yang sama dalam menentukan perilaku individu dan perlu adanya

pemahaman mengenai fungsi lainnya. Dalam “A need theory of personaliy”

Murray menjelaskan bahwa disadari atau tidak, setiap perilaku manusia didasari

oleh motivasi tertentu Ini merupakan asumsi dasar dari pandangan psikologi.

Motivasi merupakan kekuatan dinamis, pemberi energi, dan pengarah perilaku

manusia. Dalam pembahasan motivasi harus berbicara mengenai

kebutuhan-kebutuhan. Teori Murray bersifat neurofisiologis, dalam arti kepribadian manusia

dipahami dari akar fisiologisnya. Murray menjelaskan bahwa manusia memiliki

tegangan dalam diri salah satunya dijelaskan dengan tidak tepenuhinya kebutuhan.

Kebutuhan menurut Murray (dalam Alwisol, 2009 ; Hall & Lindzey, 1993)

merupakan suatu konstruk pada bagian otak yang memiliki suatu kekuatan dan

mengatur beberapa hal seperti persepsi, apersepsi, konasi dan mengubah situasi

yang ada dan yang tidak memuaskan. Kebutuhan dapat langsung dibangkitkan

(29)

tekanan tertentu. Setiap kebutuhan biasanya dibarengi oleh perasaan atau emosi

tertentu yang khas dan memiliki cara tertentu untuk mengekspresikannya.

Kebutuhan dapat bersifat lama atau sementara.

Biasanya, kebutuhan bertahan lama dan memunculkan serangkaian

perilaku yang mengubah situasi awal menjadi situasi yang menenangkan atau

memuaskan individu tersebut. Adanya kebutuhan dapat disimpulkan dari: (1) hasil

akhir dari tingkah laku, (2) pola-pola khusus dari tingkah laku, (3) perhatian dan

respon yang terjadi terhadap kelompok stimuli tertentu, (4) ekspresi terhadap

suasana emosi tertentu, (5) ekspresi kepuasan atau ketidakpuasan pada hasil

akhir,(6) ungkapan atau laporan subjektif mengenai perasaan, maksud dan tujuan

(Alwisol, 2009 ; Hall & Lindzey, 1993).

Kebutuhan-kebutuhan ini saling berinteraksi dan saling mempengaruhi.

Hal ini dikarenakan tidak ada kebutuhan yang berdiri sendiri dan setiap kebutuhan

memiliki kekuatan yang berbeda. Kebutuhan juga dapat dibedakan menurut

kondisi kepentingannya atau keinginannya dengan yang mana ada kekuatan

emosional dalam melakukan suatu tingkah laku, suatu karakteristik yang Murray

sebut sebagai kebutuhan prepotency. Apabila, sebagai contoh, kebutuhan terhadap

udara dan air tidak terpuaskan, hal tersebut bisa menjadi kebutuhan yang paling

diinginkan dan menjadi tingkah laku yang mendominasi secara keseluruhan. Pada

waktu lainnya, apabila kebutuhan primer sudah dipuaskan, kebutuhan agresi

(30)

dengan mendapatkan popularitas dan kekayaan melalui suatu pekerjaan,

pencapaian prestasi, penguasaan, dan otonomi semua kebutuhannnya akan

terpuaskan. Konsep subsidiation mengacu pada situasi dimana satu kebutuhan

dilakukan untuk membantu memuaskan kebutuhan lainnya. Sebagai contoh, untuk

memuaskan kebutuhan afiliasi (n Aff) dengan bergabung dan berbaur bersama

orang lain, mungkin menjadi penting untuk berlaku sopan dan menghargai orang

lain (hanya untuk memenuhi kebutuhan dihargai). Kebutuhan untuk dihargai

kemudian menjadi pelengkap bagi kebutuhan afiliasi. (Schultz, 1981)

Berdasarkan pada definisi kebutuhan psikologis diatas, kebutuhan

merupakan sesuatu yang bersifat abstrak yang dimiliki oleh setiap individu yang

memiliki suatu kekuatan dan mengatur beberapa hal seperti persepsi, apersepsi,

konasi dan mengubah situasi yang ada dan yang tidak memuaskan. Kebutuhan

dapat muncul dari proses internal maupun eksternal. Pada dasarnya, dalam diri

individu terdapat banyak kebutuhan psikologis dan kebutuhan-kebutuhan

psikologis tersebut saling berinteraksi dan saling mempengaruhi sesuai dengan

kekuatan dari masing-masing kebutuhan tersebut.

2.1.2 Hal-hal yang berkaitan dengan Kebutuhan Psikologis. 2.1.2.1 Motivasi

Motivasi adalah proses yang menjelaskan intensitas, arah, dan ketekunan

seorang individu untuk mencapai tujuannya. Tiga elemen utama dalam definisi ini

(31)

individu. Seseorang dikatakan memiliki motivasi tinggi dapat diartikan orang

tersebut memiliki alasan yang sangat kuat untuk mencapai apa yang

diinginkannya dengan mengerjakan pekerjaannya yang sekarang. Jadi, motivasi

merupakan suatu tenaga atau faktor yang terdapat di dalam diri manusia, yang

menimbulkan, mengarahkan dan mengorganisasikan tingkah laku.

Gambar 1. Gambar bagan motivasi

Sumber: “Modul TAT Universitas Surabaya”, oleh Sutyas Prihanto, 1993

2.1.2.2 Motif

William G Scott (1962: 82) menerangkan tentang motive adalah

kebutuhan yang belum terpuaskan yang mendorong individu untuk mencapai

tujuan tertentu. Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan, motive adalah

dorongan yang ada di dalam diri seseorang untuk melakukan perbuatan guna

memenuhi kepuasannya yang belum terpuaskan. Selain itu, Maslow sebagaimana

diungkap pada halaman sebelumnya membagi kebutuhan manusia ke dalam

Kebutuhan (need)

Dorongan (drive)

Motif

(32)

Motif merupakan dorongan dalam diri manusia yang timbul dikarenakan

adanya kebutuhan-kebutuhan yang ingin dipenuhi oleh manusia tersebut. Motif

berasal dari bahasa latin movere yang berarti bergerak atau to move. Karena itu

motif diartikan sebagai kekuatan yang terdapat dalam diri organisme yang

mendorong untuk berbuat atau driving force. Motif sebagai pendorong sangat

terikat dengan faktor - faktor lain, yang disebut dengan motivasi. Motivasi

merupakan keadaan dalam diri individu atau organisme yang mendorong perilaku

ke arah tujuan.

2.1.2.3 Press

Tekanan dari suatu objek (bisa berupa manusia, benda, atau situasi) adalah

apa yang dapat dilakukan objek itu kepada subjek (penerima tekanan), suatu

kekuatan yang dimiliki oleh objek untuk mempengaruhi subjek dengan cara

tertentu. Variasi tekanan yang mengenai diri seseorang tak terhingga banyaknya,

atau sama dengan jumlah peristiwa yang ditemui orang setiap saat. Murray (1938)

menyebut berbagai tekanan terpenting yang biasanya dialami anak-anak. Ragam

tekanan pada anak-anak mudah dikenali dan diklasifikasi karena variasi

pengalaman anak yang masih sempit.

Ada dua jenis tekanan; tekana alfa (alfa press): kualitas lingkungan yang

muncul dalam kenyataan; dan tekanan beta (Beta Press): kualitas lingkungan

(33)

tema , yang berkaitan dengan interaksi antara kebutuhan dan tekanan. Dalam

beberapa hal, tema adalah sebuah aspek proceeding; yang terakhir mendefinisikan

sebuah interaksi orang-orang atau orang objek yang dapat diamati dan dengan

waktu yang terbatas; yang pertama menjelaskan motif-motif yang bekerja dalam

interaksi itu.Karena beberapa proceeding dapat membentuk sebuah serial maka

sejumlah tema dapat dikombinasikan untuk membentuk tema serial.

Berkaitan dengan gagasan tema dan konsep kebutuhan utama Murray

menyebut need integrate (kebutuhan utuh)- sebuah kebutuhan untuk jenis

interaksi tertentu dengan jenis orang atau objek tertentu. Seringkali terjadi bahwa

seseorang mengasosiasikan objek tertentu dengan kebutuhan tertentu. Satu contoh

dari need integrate yaitu cinta pada musik klasik berhadapan dengan misalnya

rock, country atau jenis musik lain. Kita akan menghadapi need integrate dalam

cara yang lain nanti.

Gambar 2. Interaksi kebutuhan dan tekanan

Sumber: “Modul TAT Universitas Surabaya”, oleh Sutyas Prihanto, 1993

Secondary (Psychogenic)

Need

Alpha

Beta

Press

Combine, Fuse, and Interact

Differentiated Behavior (Thema)

Primary

(34)

Murray (dalam Hall & Lindzey, 1993) membedakan tipe kebutuhan ke

dalam lima kelompok, yaitu:

a. Viscerogenic and Psychogenic Needs (Kebutuhan Viskerogenik atau Kebutuhan

Primer dan Kebutuhan Psikogenik atau Kebutuhan Sekunder)

Kebutuhan viskerogenik merupakan kebutuhan yang berhubungan dengan

organ-organ tubuh terutama berkaitan dengan kepuasan fisik. Contoh: kebutuhan

akan udara, air, makan, seks, laktasi, kencing dan defekasi. Sedangkan kebutuhan

psikogenik merupakan kebutuhan yang berasal dari kebutuhan viskerogenik dan

tidak memiliki hubungan dengan kepuasan fisik. Kebutuhan sekunder sebanyak

28 buah. Contoh: kebutuhan berprestasi, pengakuan, otonomi, eksibisi, dll.

b. Proactive and Reactive Needs (Kebutuhan Proaktif dan Kebutuhan Reaktif)

Kebutuhan proaktif adalah kebutuhan yang hampir selalu ditentukan dari

dalam diri. Kebutuhan ini bergerak dengan spontan sebagai akibat dari sesuatu

yang berasal dari dalam diri orang tersebut bukan akibat dari lingkungan.

Sedangkan kebutuhan reaktif merupakan kebutuhan yang digerakkan dari luar diri

individu sebagai akibat dari respon individu terhadap lingkungan.

c. Overt and Covert Needs (Kebutuhan Terbuka dan Kebutuhan Tertutup)

Kebutuhan overt merupakan kebutuhan yang nyata, dimana kebutuhan ini

dapat dilihat secara langsung atau segera yang tercermin dalam tingkah laku

motorik. Sedangkan kebutuhan covert merupakan kebutuhan yang laten atau

tersembunyi, dimana kebutuhan ini biasanya dikekang, dihambat atau ditekan

(35)

d. Focal and Diffuse Types of Needs (Kebutuhan yang Memusat dan Kebutuhan

yang Menyebar)

Kebutuhan yang memusat berarti kebutuhan yang memiliki hubungan

yang erat dengan objek-objek tertentu, sedangkan kebutuhan yang menyebar

berarti kebutuhan ini bersifat umum yang berlaku hampir di setiap keadaan.

e. Effect and Modal Types of Needs (Kebutuhan Akibat dan Kebutuhan Modal)

Kebutuhan akibat adalah kebutuhan yang mengarah pada suatu keadaan

yang diinginkan, sedangkan kebutuhan modal adalah kecenderungan untuk

melakukan perilaku-perilaku tertentu demi perilaku itu sendiri.

Tabel 1.

Jenis Kebutuhan Menurut Murray

Daftar Kebutuhan

Menurut Murray

Batasan Singkat Emosi yang

Terlibat

Press yang

Menyumbang

N Abasement

(merendah)

Tunduk secara pasif

kepada kekuatan

eksternal, merasa

bersalah bila orang

lain berbuat

kesalahan,

menerima

inferioritas,

fitnahan, kesalahan,

Malu

Berdosa

Rendah diri

Aggression (Agresi)

Dominance

(Kekuasaan orang

(36)
(37)
(38)

hambatan,

menghindari

kekuasaan orang

lain, mandiri, tidak

terikat, menolak

kelaziman. Berdiri

sendiri dalam

membuat keputusan,

menghindari urusan

dan campur tangan

orang lain.

Negatif: hambatan

fisik, kekuasaan )

N Counteraction

(mengimbangi)

Memperbaiki

kegagalan dengan

berjuang lagi,

menghilangkan

pelecehan,

mengatasi

kelemahan,

menekan takut,

mengembalikan

nama baik,

mempertahankan

Kebanggaan

Bersalah

Succorance

(Tuntutan tanggung

(39)
(40)
(41)

pusat perhatian,

(Situasi yang tidak

menentu

kuat dan tidak dapat

(42)

masa bodoh.

Menahan diri untuk

bertindak karena

takut gagal.

N Nurturance

(merawat,

memelihara)

Memberi simpati,

membantu,

melindungi,

menyenangkan

orang lain yang

tidak berdaya atau

bayi atau orang yang

lemah, membantu

orang dalam bahaya.

Untuk mengampuni

dan berlaku

dermawan untuk

orang lain.

Kasih sayang

Terharu

Lembut hati

Succorance (Situasi

yang mengiba

meminta bantuan )

N Order (teratur) Membuat semua

teratur, menjaga

kebersihan, susunan,

organisasi,

keseimbangan,

Tenang

Tidak terburu-buru

Discipline (Disiplin

(43)

kerapian, ketelitian.

N Play (bermain) Bersenang-senang

(44)

melepaskan,

mengusir, tidak

mempedulikan,

menghina atau

memutuskan

hubungan dengan

objek yang tidak

dikehendaki.

N Sentience

(keharuan)

Mencari dan

menikmati kesan

yang menyentuh

perasaan. Untuk

memiliki dan

menikmati

keindahan,

kesempurnaan yang

abadi.

Terharu

Ke-Ilahian

Sentience

(Ketenteraman

Keindahan

Ketenangan )

N Sex (seks) Membangun

hubungan erotik,

nelakukan hubungan

seksual.

Memperoleh

Terangsang

Cinta

Exposure

(45)
(46)

Untuk memahami

apa saja fenomena

yang merangsang

dirinya.

2.1.4 Review Literatur tentang Metode Asesmen Kebutuhan Psikologis Tunanetra.

Penelitian sebelumnya mengenai kebutuhan mahasiswa tunanetra pernah

dilakukan oleh Herlina, dkk (2008) mencari tentang profil kebutuhan psikologis

mahasiswa tunanetra yang belajar di Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas

Pendidikan Indonesia. Sampel penelitian berjumlah 10 orang. Metode

pengumpulan data menggunakan kuesioner, wawancara, dan tes psikologi yaitu

tes EPPS. Data diolah dengan menggunakan statistik deskriptif. Hasil penelitian

ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan profil kebutuhan psikologis antara

mahasiswa tunanetra yang mengalami kebutaan sejak lahir dengan mahasiswa

tunanetra yang mengalami kebutaan setelah lahir.

Namun, alat tes psikologis seperti EPPS dianggap masih memiliki

kerkurangan sebagai alat ukur kebutuhan psikologis bagi remaja tunanetra,

dimana EPPS belum memiliki alat tes braille untuk remaja tunanetra dan EPPS

hanya mencakup 15 kebutuhan saja dan memungkinkan subjek untuk melakukan

faking good. Gronlund (1997) menunjukkan bahwa ketika soal EPPS dibacakan

secara lisan dalam pengerjaannya, hal ini akan menimbulkan gangguan dari suara

(47)

2.2 Remaja Tunanetra

2.2.1 Pengertian Remaja Tuna Netra

Santrock (2002) menjelaskan masa remaja merupakan masa transisi dari

masa anak-anak menuju masa dewasa. Hurlock (1980) membagi masa remaja

menjadi masa remaja awal dan masa remaja akhir. Masa remaja awal berlangsung

kira-kira antara usia 13-16 tahun, dan masa remaja akhir berlangsung antara usia

16-18 tahun. Menurut Santrock (2003) perubahan fisik yang terjadi pada remaja

terlihat nampak pada saat masa pubertas yaitu meningkatnya tinggi dan berat

badan serta kematangan sosial. Diantara perubahan fisik itu, yang terbesar

pengaruhnya pada perkembangan jiwa remaja adalah pertumbuhan tubuh (badan

menjadi semakin panjang dan tinggi). Selanjutnya, mulai berfungsinya alat-alat

reproduksi (ditandai dengan haid pada wanita dan mimpi basah pada laki-laki) dan

tanda-tanda seksual sekunder yang tumbuh (Sarlito Wirawan Sarwono, 2006: 52).

Sementara itu, Erikson (dalam Alwisol, 2009) mengatakan bahwa masa remaja

merupakan masa krisis. Hal ini dikarenakan pada masa ini remaja berusaha untuk

menemukan indentitas dirinya. Kekacauan indentitas mungkin terjadi seperti

terbaginya gambaran diri, ketidakmampuan membina persahabatan yang akrab,

dan lain sebagainya. Kekacauan identitas yang berlebih dapat mengakibatkan

penyesuaian diri yang patologis dalam bentuk regresi ke perkembangan

sebelumnya.

Pengertian Individu yang mengalami tunanetra adalah individu yang

(48)

12-17 tahun yang dipilih oleh peneliti dengan asumsi bahwa remaja penyandang

tunanetra sudah matang dalam berbahasa dibandingkan dengan anak penyandang

tunanetra.

2.2.2 Tunanetra dalam Tinjauan Mendetail

a. Jenis-jenis Tunanetra.

Berdasarkan pada tingkat ketajaman penglihatan, tunanetra terbagi atas

dua macam yaitu buta dan low vision . Dikatakan buta jika individu sama sekali

tidak mampu menerima rangsang cahaya dari luar (Somantri, 2007). Definisi

ketunanetraan menurut WHO didasarkan pada ketajaman penglihatan dan lantang

pandang yang dimiliki seseorang. Seseorang dikatakan buta jika ketajaman

penglihatannya <3/60, sedangkan low vision jika <6/18 sampai ≥3/60, dengan

lantang pandang <20 . (Mason & Mc Call, 1999). Kebutaan atau ketunanetraan

memiliki beberapa istilah dan pengertian. Menurut aspek pendidikan, definisi

ketunanetraan didasarkan pada fungsi penglihatan untuk kepentingan pendidikan,

sehingga diklasifikasikan kedalam tiga kategori, yaitu :

1. Blind (buta): seseorang yang belajar menggunakan materi perabaan

dan pendengaran

2. Low vision (kurang lihat): seseorang yang dalam belajarnya masih

dapat menggunakan penglihatannya dengan adaptasi tertentu

3. Limited vision: seseorang yang mengalami gangguan penglihatan

(49)

permasalahan secara anatomis. Seperti kelainan dapat dikelompokkan ke dalam

struktur refraktif mata, anomali otot di dalam sistem penglihatan, dan struktur

reseptif dari mata.

a. Masalah-Masalah Refraktif

Jenis yang paling umum dari gangguan penglihatan adalah di dalam

masalah-masalah refraksi yang terjadi ketika struktur refraksi dari mata

(kornea atau lensa) gagal untuk memfokuskan cahaya secara tepat ke

retina. Terdapat empat jenis masalah refraktif: hyperopia (mata jauh),

myopia (mata dekat), astigmatisme(penglihatan kabur), dan katarak (lensa

menjadi buram atau tak tembus cahaya).

b. Kelainan-Kelainan Otot

Kelainan-kelainan ini timbul ketika satu atau lebih otot mata yang utama

menjadi lemah dan tidak stabil, yang mengakibatkan hilangnya kontrol

dan kemampuan untuk menjaga tegangan (tension). Individu-individu

yang menderita kelainankelainan otot umumnya memiliki

kesulitan/hambatan dalam menjaga fokus mereka terhadap benda tertentu

bahkan untuk waktu yang sangat singkat. Terdapat tiga jenis

kelainan-kelainan otot: nystagmus (gerakan mata cepat yang tak terkontrol),

strabismus (mata juling), amblyopia (mata yang nampak normal, tetapi

(50)

retina dan syaraf optik. Kelainan yang diasosiasikan denga struktur

reseptif dari mata meliputi atrophy optik, retinitis pigmentosa, lepas retina,

retinopathy prematur (ROP). Usia terjadinya kehilangan penglihatan

secara signifikan mengubah tingkatan dan variasi dari dampak pada

perkembangan seseorang. Apabila penglihatan hilang sebelum usia 5

tahun, gambaran-gambaran visual yang berguna dapat hilang dan pengaruh

negatif pada fungsi secara keseluruhan cenderung menjadi yang paling

besar. Apabila penglihatan terganggu atau hilang pada usia setelah 5

tahun, beberapa ingatan-ingatan visual dapat tersimpan dan dapat

membantu “dalam membayangkan dan memahami konsep-konsep” (Best,

1992, hal. 3). Ingatan-ingatan visual akan tersimpan selama beberapa

tahun.

2.2.3 Karateristik Tunanetra

Pada dasarnya manusia menghendaki semua kebutuhan-kebutuhannya

dapat terpenuhi secara wajar baik kebutuhan biologis, kebutuhan psikologis, dan

kebutuhan sosiologis. Terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan tersebut secara

memadai akan mendatangkan keseimbangan dalam perkembangannya dan

keutuhan integritas pribadi. Keberhasilan dalam mencapai tugas perkembangan

pada suatu fase akan membawa konsekuensi kebahagiaan serta akan

memperlancar tugas perkembangan pada fase berikutnya, dan sebaliknya jika

(51)

mempengaruhi terhambatnyaa pemenuhan kebutuhan.

1. Perkembangan Kognitif Anak Tunanetra

Menurut Somantri (2012: 67) “Indera penglihatan ialah salah satu

indera penting dalam menerima informasi yang datang dari luar

dirinya.”Setiap manusia membutuhkan indera penglihatan untuk

mengamati objek atau untuk memperoleh suatu informasi yang berada di

lingkungan sekitarnya. Melalui indera penglihatan, manusia akan

memperoleh pengetahuan dari lingkungan sekitarnya dengan jelas, karena

dengan indera penglihatan sesuatu yang bersifat abstrak dapat

digambarkan secara konkrit. Sehingga informasi yang perolehnya dapat

lebih cepat dan mudah dipahami. “Anak tunanetra memiliki keterbatasan

atau bahkan ketidakmampuan dalam menerima rangsang atau informasi

dari luar dirinya melalui indera penglihatannya”, Somantri (2012: 68).

Seseorang yang mengalami tunanetra tidak dapat menafsirkan suatu objek

atau benda dengan sempurna. Biasanya seseorang yang mengalami

tunanetra menafsirkan suatu objek atau benda dengan menggunakan

indera-indera yang lain, seperti indera peraba, pembau, dan pengecap,

terutama indera yang sering digunakan yaitu, indera pendengaran. Dalam

hal ini, proses memperoleh informasinya dengan mendengarkan dari orang

lain, yaitu secara lisan (ucapan), sehingga hanya dapat melukiskan sesuatu

(52)

yang dicecapnya memiliki potensi dalam pengembangan kemampuan

kognitifnya.”

Menurut Salsabila (2013) kemampuan kognitif anak tunanetra

dapat dioptimalkan melalui fasilitas, seperti bacaan dan tulisan Braille,

keyboarding, alat bantu menghitung, mesin baca Kurzweil, buku bersuara,

komputer, latihan orientasi dan mobilitas, menggunakan pemandu, tongkat

pemandu dan kemampuan diri dalam melakukan aktivitas.

2. Perkembangan Motorik Anak Tunanetra

Perkembangan motorik anak tunanetra menurut penjelasan

Somantri (2012):

Perkembangan motorik anak tunanetra cenderung lambat

dibandingkan dengan anak awas pada umumnya, karena dalam

perkembangan perilaku motorik diperlukan adanya koordinasi fungsional

antara neuromuscular system (sistem persyarafan dan otot) dan fungsi

psikis (kognitif, afektif, dan konatif), serta kesempatan yang diberikan

oleh lingkungan. Fungsi neuromuscular system tidak bermasalah tetapi

fungsi psikisnya kurang mendukung serta menjadi hambatan tersendiri

dalam perkembangan motoriknya. Secara fisik, mungkin anak mampu

mencapai kematangan sama dengan anak awas pada umumnya, tetapi

(53)

melakukan sesuatu) mengakibatkan kematangan fisiknya kurang dapat

dimanfaatkan secara maksimal dalam melakukan aktivitas motorik.

Hambatan dalam fungsi psikis ini secara langsung atau tidak langsung

terutama berpangkal dari ketidakmampuannya dalam melihat.

Menurut Mestika (2012) “Pergerakan motorik anak tunanetra yang

sudah dapat berjalan dapat dilatih dengan olahraga yang dilakukan untuk

saluran penghubung kualitas hidup melalui sarana bantu atletik lari dengan

sistem kerja line follower.” Menurut Rudiyati (2009) “Selain melakukan

olahraga dapat pula diberikan kepekaan non-visual untuk melatih

perkembangan motorik penderita tunanetra melalui kegiatan latihan

kepekaan pendengaran, latihan kepekaan taktual, latihan kepekaan

pembau, latihan kepekaan pencecap, latihan kinestetik dan latihan

keseimbangan/vestabula.”

3. Perkembangan Emosi Anak Tunanetra

Menurut Somantri (2012: 80-83) perkembangan emosi anak

tunanetra digambarkan sebagai berikut: Perkembangan emosi anak

tunanetra akan sedikit mengalami hambatan dibandingkan dengan anak

yang awas. Keterlambatan ini terutama disebabkan oleh keterbatasan

kemampuan anak tunanetra dalam proses belajar. Pada awal masa

(54)

mencoba-lingkungannya secara tepat. Akibatnya pola emosi yang ditampilkan

mungkin berbeda atau tidak sesuai yang diharapkan oleh diri maupun

lingkungannya.

Kesulitan bagi anak tunanetra ialah ia tidak mampu belajar secara

visual tentang respon apa saja yang harus diberikan terhadap

stimulus-stimulus tersebut. Dengan kata lain anak tunanetra memiliki keterbatasan

dalam berkomunikasi secara emosional melalui ekspresi atau reaksi-reaksi

wajah atau tubuh lainnya untuk menyampaikan perasaan yang

dirasakannya kepada orang lain. Perkembangan emosi anak tunanetra akan

semakin terhambat apabila mengalami deprivasi emosi, yaitu kurang

memiliki kesempatan untuk menghayati pengalaman emosi yang

menyenangkan seperti kasih sayang, kegembiraan, perhatian dan

kesenangan. Anak yang mengalami deprivasi emosi ini adalah anak-anak

yang pada masa awal kehidupan atau perkembangannya ditolak

kehadirannya oleh keluarga atau lingkungannya. Deprivasi emosi ini akan

sangat berpengaruh terhadap aspek perkembangan lainnya seperti

kelambatan dalam perkembangan fisik, motorik, bicara, intelektual, dan

sosialnya.

Jadi perkembangan emosi anak tunanetra harus ditangani dengan

tepat agar tidak terjadi deprivasi emosi melalui kasih sayang, kegembiraan,

(55)

4. Perkembangan Sosial Anak Tunanetra

Perkembangan sosial anak tunanetra dijelaskan Somantri (pg

83-85) sebagai berikut, yaitu: Hambatan-hambatan muncul pada anak

tunanetra sebagai akibat langsung maupun tidak langsung dari

ketunanetraan, yaitu kurangnya motivasi, kekuatan menghadapi

lingkungan sosial, perasaan rendah diri, malu, penolakan masyarakat,

penghinaan, sikap tak acuh, ketidakjelasan tuntutan sosial, terbatasnya

kesempatan belajar tentang pola tingkah laku yang diterima merupakan

kecenderungan tunanetra yang dapat mengakibatkan perkembangan

sosialnya menjadi terhambat.

Pengalaman sosial anak tunanetra pada usia dini yang tidak

menyenangkan sebagai akibat dari sikap dan perlakuan negatif orang tua

dan keluarganya akan sangat merugikan perkembangan anak tunanetra.

Hal ini karena usia tersebut merupakan masa-masa kritis dimana

pegalaman-pengalaman dasar sosial yang terbentuk pada masa itu akan

sulit untuk diubah dan terbawa sampai ia dewasa. Untuk menghindari

kemungkinan terjadinya penyimpangan-penyimpangan dalam

perkembangan sosial anak tunanetra, sikap dan perlakuan orang tua serta

keluarga tunanetra nampaknya harus menjadi perhatian terutama pada usia

(56)

Pada hakikatnya perkembangan apapun mengenai anak tunanetra

sangat bergantung pada orang yang menanganinya. Jika anak tunanetra

didukung dan dipercaya untuk melakukan kegiatan yang positif maka

perkembangannya pun akan bermakna. Sebagai orang terdekat, orang tua

dan keluarga sangat berperan dalam perkembangan segala aspek anak

tunanetra sehingga dianjurkan bahkan diharuskan pihak-pihak ini memberi

dorongan/ motivasi, terus secara continue memberi semangat dan

memberikan input yang dapat menimbulkan perkembangan positif bagi

anak tunanetra termasuk dalam perkembangan kepribadian sehingga anak

tunanetra dapat menyadari, mengenali dan memiliki konsep diri.

Davis Kirtley, 1975 (dalam Somantri, 2012: 85-86) menyatakan

mengenai proses perkembangan awal anak tunanetra, yaitu: Dalam proses

perkembangan awal, diferensiasi konsep diri merupakan sesuatu yang sulit

untuk dicapai sehingga untuk memasuki lingkungan baru, seorang anak

tunanetra harus dibantu oleh ibu atau orang tuanya melalui komunikasi

verbal, memberikan semangat dan memberikan gambaran lingkungan

tersebut sejelas-jelasnya seperti anak tunanetra mengenal tubuhnya sendiri.

2.2.4 Review literatur tentang Remaja Tunanetra

Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Safitri (2013) menjelaskan

bahwa dukungan sosial dari keluarga khususnya orang tua yang sangat diperlukan

untuk remaja tunanetra dalam mengembangkan rasa percaya dirinya. Berdasarkan

(57)

bentuk dukungan sosial yang paling banyak diterima oleh remaja tunanetra di

sekolah khusus adalah dari lingkungan sekolah. Remaja tunanetra menerima

pendidikan mereka dalam berbagai pengaturan, termasuk kelas pendidikan umum,

sumber daya kamar, kelas mandiri, dan, sekolah perumahan bagi siswa tunanetra.

Bagi remaja tunanetra yang bersekolah di sekolah umum, memiliki

kesempatan yang kecil untuk bertemu seseorang dengan gangguan pengelihatan

tidak dapat melihat seperti dirinya. Jadi sebagian besar remaja tunanetra merasa

tidak ada seorangpun yang dapat memahami tantangan seperti yang dia alami.

Seperti semua remaja, ia akan membutuhkan keluarga, teman, guru dan orang

dewasa lain yang mendengarkan dengan seksama dan mencoba untuk

memahaminya. Remaja tunanetra mungkin mengalami perasaan terisolasi dan

kekurangan model sesuai usia peran dengan siapa mereka dapat mengidentifikasi

(Hutto & Hare, 1997; Peanstiehl, 1983; Sacks, 1996).

2.3 Analisis Cerita Mimpi 2.3.1 Pemahaman Mimpi

Definisi mimpi menurut Freud (1956) merupakan kehidupan pikiran saat

kita tertidur, kehidupan yang menyerupai kehidupan saat kita terbangun hanya

saja lebih sempit dan berbeda. Mimpi mewakili bermacam-macam bentuk pikiran

dan cara kerja intelektual. Cara kerja psikoanalitik berhubungan dengan pikiran

laten yang merupakan akar mimpi, tetapi berpusat pada proses pikiran bawah

(58)

Komponen dalam motif aktual yang membentuk mimpi adalah keinginan

bawah sadar yang berusaha dipenuhi. Interpretasi mimpi berhubungan dengan

pikiran laten, residu pada hari sebelumnya, sesuatu di bawah sadar, sesuatu yang

direpres sehingga semuanya membentuk mimpi. Sebuah harapan akan

membangkitkan mimpi yang diperkuat oleh ingatan masa kanak-kanak.

Pengalaman masa kanak-kanak memainkan perannya sebagai sumber mimpi dari

isi mimpi laten. Penggabungan faktor-faktor menjadikan sebuah mimpi tampak

dapat dipercaya sebagai pengulangan peristiwa di masa kecil. Setiap mimpi akan

terhubung dengan pengalaman yang baru saja terjadi, sementara melalui isi laten

terhubung dengan pengalaman yang sangat jauh.

2.3.1.1 Hubungan Need dapat terlihat dari Mimpi

Freud Freud (1956) mengatakan bahwa Id merupakan faktor pendorong

(sumber energi) dari perilaku manusia, Murray menambahkan pendangan bahwa

ada sifat positif (dorongan dalam diri yang diterima masyarakat) dan negatif

(dorongan primitif yang tidak diterima masyarakat), besarnya Id antara manusia

juga berbeda-beda. Menurut Murray, Kebutuhan manusia terkandung di dalam Id.

Murray menempatkan stress yang besar dalam kekuatan yang dapat

mempengaruhi lingkungan sosial, yang biasanya disebut sebagai budaya, dalam

kepribadian. Menurut Murray (dalam Alwisol, 2009), apabila suatu kebutuhan

muncul, individu berada dalam keadaan tegang dan pemuasan kebutuhan akan

(59)

individu belajar untuk tidak hanya memberikan respon demi mereduksi tekanan

dan mengalami kepuasan saja, tetapi individu juga belajar untuk memberikan

respon yang mengembangkan tekanan sehingga pada saat mereduksi tekanan,

individu akan mengalami kepuasan yang lebih besar.

Sependapat dengan Freud, ia mengartikan superego sebagai proses

internalisasi nilai-nilai budaya, norma-norma, dan lainnya, yang mengatur

individu untuk mengevaluasi dan menilai tingkah laku dirinya sendiri dan juga

orang lain. Bentuk dan hakekat dari superego pada anak-anak ditentukan oleh

orang tua dan figur-figur penting lainnya pada usia dini, seperti yang dikatakan

Freud. Selagi superego berkembang, begitu juga halnya dengan ego-ideal.

Ego-ideal ini membantu individu menetapkan tujuan jangka panjang untuk melakukan

usaha keras. Ego-ideal merupakan ”gambaran seseorang ’dalam masa depan

terbaiknya’”. Ideal ini sendiri mengandung ambisi dan aspirasi individu. Ini bisa

saja sejalan dengan nilai-nilai dari superego atau bahkan bisa bertentangan. Ego

merupakan pengatur rasionalitas dari kepribadian, dimana, dalam pandangan

Freud, mencoba untuk mengubah atau menunda dorongan id yang tidak dapat

diterima. Bagaimanapun juga, Murray mempertimbangkan ego melakukan lebih

banyak hal daripada sekedar menjadi ”polisi” kepribadian.

Dalam perannya sebagai pengatur utama seluruh tingkah laku, ego juga

(60)

Kebutuhan manusia berasal dari kesadarannya, namun sebagian berasal

dari ketidaksadarannya. Upaya pemenuhan kebutuhan akan membentuk suatu

kepribadian karena adanya bantuan atau hambatan dari lingkungan. Ada beberapa

kebutuhan yang diloloskan dan ada yang dihambat oleh press. Kebutuhan yang

muncul akan menyebabkan tegangan dalam diri manusia. Manusia akan berusaha

untuk menurunkan tegangan dan berusaha memenuhi kebutuhannya. Freud (1901)

mengemukakan bahwa pemenuhan dalam diri terlihat dalam bentuk keseleo lidah,

kekeliruan perilaku, fantasi, lamunan, dan mimpi. Penjelasan diatas dapat dilihat

dari skema yang digambarkan sebagai berikut :

Gambar 3. Diagram need dan press

Sumber: “Modul TAT Universitas Surabaya”, oleh Sutyas Prihanto, 1993

NEED PRESS

“n”

Situasi yang ada

di lingkungan

Tegangan

(61)

pembuatan tes projektif T.A.T (Bellak & Abrams, 1997). Dorongan Id merupakan

dorongan yang murni, belum dipengaruhi oleh kebudayaan, dan dorongan ini

berada dalam ketidaksadaran. Dorongan Id meliputi dorongan untuk bertahan

hidup (life instinct) yang disebut dengan Erros, yaitu dorongan seksual atau libido

dan dorongan kematian (death instinct) yang disebut Thanatos. Menurut Murray

(dalam Alwisol, 2009), kebutuhan manusia terkandung di dalam Id. Upaya

pemenuhan kebutuhan akan membentuk suatu kepribadian karena adanya bantuan

atau hambatan dari lingkungan. Ada beberapa kebutuhan yang diloloskan dan ada

yang dihambat oleh press. Kebutuhan yang tidak terpenuhi akan menyebabkan

tegangan dalam diri manusia. Pada dasarnya manusia akan berusaha untuk

menurunkan tegangan dan berusaha memenuhi kebutuhannya.

Freud (1901) mengemukakan bahwa pemenuhan dalam diri terlihat

dalam bentuk keseleo lidah, kekeliruan perilaku, fantasi, lamunan, dan mimpi.

Studi PET (Positron emission Tomography) menunjukan penambahan dalam

Hallucinatory Perception (The cortical areas of the parietal lobe) dan penurunan

aktivasi pada dorsolateral prefrontal cortex sehingga mengidentifikasi memori,

refleksi, diri dan membesarkan halusinasi. Dalam mimpi REM, periodik cerita

yang terjadi merupakan penggabungan dari cerita aktivitas keseharian ketika

terbangun. Kesesuaian antara pembentukan cerita dalam tiap episodik mimpi

sesuai dengan pernyataan Murray bahwa keberadaan kebutuhan dapat

(62)

juga didukung oleh Gordon H.L (1952) yang menunjukan adanya korelasi positif

antara studi analisis mimpi seseorang dengan hasil respon dalam cerita TAT.

Gambar 4. Proses need menjadi mimpi

Dikembangkan dari “Modul TAT Universitas Surabaya”, oleh Sutyas Prihanto, 1993.

Untuk membuat suatu batasan dalam penelitian menggunakan cerita

mimpi, maka peneliti membuat sebuah ringkasan tema-tema yang telah

disesuaikan dengan kartu TAT untuk dapat dianalisis dan dapat mengungkap 20

kebutuhan Murray serta tekanan yang muncul, yaitu :

1. Mimpi mengenai Ayah (Kartu 1 & 2) : Focal and Diffuse Types of

Needs (Kebutuhan yang Memusat dan Kebutuhan yang Menyebar) Need (Id)

Super ego

mengijinkan

Objek Pemuas Kebutuhan

Super ego

menolak

Ego menjalankan

Ego merepres, ada ketegangan

Gambar

Gambar 3. Diagram need dan press .....................................................................
Tabel 1 Jenis Kebutuhan ......................................................................................
Gambar 1. Gambar bagan motivasi
Gambar 2. Interaksi kebutuhan dan tekanan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian bertujuan untuk mengetahui arti fanpage Mario Teguh bagi facebooker kalangan remaja dalam memenuhi kebutuhan diri akan motivasi.. Penelitian ini juga

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tinggi rendahnya tingkat interaksi sosial remaja peserta homeschooling usia enam belas sampai delapan belas tahun

Tujuan : Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara tingkat pengetahuan dan dukungan keluarga dengan kesiapan psikologis remaja menghadapi menarche

Diharapkan dengan adanya penelitian ini akan memberikan pemahaman lebih dalam tentang: “Pengaruh antara Intrapersonal dan Interpersonal terhadap Kesejahteraan Psikologis pada Remaja

Metode yang digunakan adalah library research dengan analisis fuzzy sugeno untuk menentukan dan menghitung kebutuhan kalori pada wanita remaja dengan mempresentasikan

Dengan demikian dapat diambil kesimpulan, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa bahan ajar tematik integratif Tema 1 Perkembangbiakan dan Daur hidup Hewan dan Tumbuhan

Dalam penelitian ini, analisis kebutuhan yang dilakukan bertujuan untuk menentukan ketimpangan antara kemampuan pemelajar saat ini dengan kemampuan yang harus mereka

Pembahasan Hasil meta analisis dalam penelitian ini menunjukkan: 1 ukuran efek korelasi antara kelekatan aman dengan kesejahteraan psikologis positif signifikan; 2 ukuran efek