• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Emosi berasal dari bahasa Latin, yaitu emovere, yang berarti bergerak

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Emosi berasal dari bahasa Latin, yaitu emovere, yang berarti bergerak"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

1. Emosi

1.1 Pengertian Emosi

Emosi berasal dari bahasa Latin, yaitu emovere, yang berarti bergerak menjauh. Arti kata ini menyiratkan bahwa kecenderungan bertindak merupakan hal mutlak dalam emosi. Daniel Goleman (2002) mengatakan bahwa emosi merujuk pada suatu perasaan dan pikiran yang khas, suatu keadaan biologis dan psikologis dan serangkaian kecenderungan untuk bertindak. Emosi merupakan reaksi terhadap rangsangan dari luar dan dalam diri individu, sebagai contoh emosi gembira mendorong perubahan suasana hati seseorang, sehingga secara fisiologi terlihat tertawa, emosi sedih mendorong seseorang berperilaku menangis.

Chaplin (2002, dalam Safaria, 2009) merumuskan emosi sebagai suatu keadaan yang terangsang dari organisme mencakup perubahan-perubahan yang disadari, yang mendalam sifatnya, dan perubahan perilaku. Emosi cenderung terjadi dalam kaitannya dengan perilaku yang mengarah (approach) atau menyingkir (avoidance) terhadap sesuatu. Perilaku tersebut pada umumnya disertai adanya ekspresi kejasmanian sehingga orang lain dapat mengetahui bahwa seseorang sedang mengalami emosi. Jika seseorang mengalami ketakutan mukanya menjadi pucat, jantungnya berdebar-debar, jadi adanya perubahan-perubahan kejasmanian sebagai rangkaian dari emosi yang dialami oleh individu yang bersangkutan Walgito (1994, dalam Safaria, 2009).

(2)

Dapat disimpulkan bahwa emosi adalah suatu perasaan dan pikiran yang khas, suatu keadaan biologis dan psikologis dan serangkaian kecenderungan untuk bertindak terhadap rangsangan dari luar dan dalam diri individu mencakup perubahan-perubahan yang disadari, yang mendalam sifatnya, dan perubahan perilaku pada umumnya disertai adanya ekspresi kejasmanian.

1.2 Macam-macam Emosi

Beberapa tokoh mengemukakan tentang macam-macam emosi, antara lain Descrates, JB Watson dan Daniel Goleman. Menurut Descrates, emosi terbagi atas : Desire (hasrat), Hate (benci), Sorrow (sedih/duka), Wonder (heran), Love (cinta) dan Joy (kegembiraan), sedangkan JB Watson mengemukakan tiga macam emosi, yaitu : Fear (ketakutan), Rage (kemarahan), Love (cinta). Daniel Goleman (2002) mengemukakan beberapa macam emosi yang tidak berbeda jauh dengan kedua tokoh di atas, yaitu amarah, kesedihan, rasa takut, kenikmatan, cinta, terkejut, jengkel, dan malu.

Mayer (1990, dalam Goleman, 2002) menyebutkan bahwa orang cenderung menganut gaya-gaya khas dalam menangani dan mengatasi emosi mereka, yaitu : sadar diri, tenggelam dalam permasalahan, dan pasrah. Melihat keadaan itu maka penting bagi setiap individu memiliki kecerdasan emosional agar menjadikan hidup lebih bermakna dan tidak menjadikan hidup yang di jalani menjadi sia-sia.

(3)

Proses kemunculan emosi melibatkan faktor psikologis maupun faktor fisiologis. Kebangkitan emosi kita pertama kali muncul akibat adanya stimulus atau sebuah peristiwa, yang bisa netral, positif, ataupun negatif. Stimulus tersebut kemudian ditangkap oleh reseptor kita, lalu melalui otak. Kita menginterpretasikan kejadian tersebut sesuai dengan kondisi pengalaman dan kebiasaan kita dalam mempersepsikan sebuah kejadian. Interpretasi yang kita buat kemudian memunculkan perubahan secara internal dalam tubuh kita. Perubahan tersebut misalnya napas tersengal, mata memerah, keluar air mata, dada menjadi sesak, perubahan raut wajah, intonasi suara, cara menatap dan perubahan tekanan darah kita.

Pandangan teori kognitif menyebutkan emosi lebih banyak ditentukan oleh hasil interpretasi kita terhadap sebuah peristiwa. Kita bisa memandang dan menginterpretasikan sebuah peristiwa dalam persepsi atau penilai negatif, tidak menyenangkan, menyengsarakan, menjengkelkan, mengecewakan. Persepsi yang lebih positif seperti sebuah kewajaran, hal yang indah, sesuatu yang mengharukan, atau membahagiakan. Interpretasi yang kita buat atas sebuah peristiwa mengkondisikan dan membentuk perubahan fisiologis kita secara internal, ketika kita menilai sebuah peristiwa secara lebih positif maka perubahan fisiologis kita pun menjadi lebih positif.

(4)

Para ahli mengemukakan beberapa teori dalam upaya menjelaskan timbulnya gejala emosi. Beberapa teori emosi tersebut antara lain :

a. Teori Emosi Dua-Faktor Schachter-Singer

Teori ini dikenal sebagai teori yang paling klasik yang berorientasi pada rangsangan. Reaksi fisiologik dapat saja seperti hati berdebar, tekanan darah naik, nafas bertambah cepat, adrenalin dialirkan dalam darah. Jika rangsangannya menyenangkan seperti diterima di perguruan tinggi idaman, emosi yang timbul dinamakan senang, sebaliknya, jika rangsangannya membahayakan misalnya melihat ular berbisa emosi yang timbul dinamakan takut.

b. Teori Emosi James-Lange

Teori ini menjelaskan bahwa emosi adalah hasil persepsi seseorang terhadap perubahan-perubahan yang terjadi pada tubuh sebagai respons terhadap berbagai rangsangan yang datang dari luar. Jika seseorang misalnya melihat harimau, reaksinya adalah peredaran darah makin cepat karena denyut jantung makin cepat, paru-paru lebih cepat memompa udara. Respons tubuh ini kemudian dipersepsikan dan timbullah rasa takut. Rasa takut timbul oleh hasil pengalaman dan proses belajar. Orang bersangkutan dari hasil pengalamannya telah mengetahui bahwa harimau adalah makhluk yang berbahaya, karena itu debaran jantung dipersepsikan sebagai rasa takut.

c. Teori Emosi “Emergency” Cannon

Teori ini menyatakan emosi timbul bersama-sama dengan reaksi fisiologik. Teori Cannon kemudian diperkuat oleh Philip Bard, sehingga kemudian lebih dikenal dengan teori Cannon-Bard atau teori emergency. Teori ini mengatakan pula bahwa

(5)

emosi adalah reaksi yang diberikan oleh organisme dalam situasi darurat atau emergency. Teori ini didasarkan pada pendapat bahwa ada antagonisme antara saraf-saraf simpatis dengan cabang-cabang cranial dan sacral daripada susunan saraf-saraf otonom. Jadi, kalau saraf-saraf simpatif aktif, saraf otonom nonaktif, dan begitu sebaliknya.

2. Kecerdasan Emosional

2.1 Pengertian Kecerdasan Emosional

Istilah kecerdasan emosional pertama kali dilontarkan pada tahun 1990 oleh psikolog Peter Salovey dari Harvard University dan John Mayer dari University of New Hampshire untuk menerangkan kualitas-kualitas emosional yang tampaknya penting bagi keberhasilan. Salovey dan Mayer mendefinisikan kecerdasan emosional atau yang sering disebut Emotional Quotion (EQ) sebagai:“Himpunan bagian dari kecerdasan sosial yang melibatkan kemampuan memantau perasaan sosial yang melibatkan kemampuan pada orang lain, memilah-milah semuanya dan menggunakan informasi ini untuk membimbing pikiran dan tindakan” (Shapiro, 1998).

Goleman (2002) mengatakan bahwa kecerdasan emosional merujuk kepada kemampuan mengenali perasaan kita sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri, dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain. Kecerdasan emosional mencakup kemempuan-kemampuan yang berbeda, tetapi saling melengkapi, dengan kecerdasan akademik, yaitu kemampuan-kemampuan kognitif murni yang diukur dengan Inteligence Quotion (IQ). Banyak orang yang cerdas, dalam arti terpelajar, tetapi

(6)

tidak mempunyai kecerdasan emosi. Keterampilan EQ bukanlah lawan keterampilan IQ atau keterampilan kognitif, namun keduanya berinteraksi secara dinamis, baik pada tingkatan konseptual maupun di dunia nyata. EQ tidak begitu dipengaruhi oleh faktor keturunan (Shapiro, 1998). Kecerdasan emosional sangat dipengaruhi oleh lingkungan, tidak bersifat menetap, dapat berubah-ubah setiap saat. Peranan lingkungan terutama orang tua pada masa kanak-kanak sangat mempengaruhi dalam pembentukan kecerdasan emosional.

Sebuah model pelopor lain tentang kecerdasan emosional diajukan oleh Bar-On pada tahun 1992 seorang ahli psikologi Israel, yang mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai serangkaian kemampuan pribadi, emosi dan sosial yang mempengaruhi kemampuan seseorang untuk berhasil dalam mengatasi tuntutan dan tekanan lingkungan (Goleman, 2000).

Gardner dalam bukunya yang berjudul Frame Of Mind (Goleman, 2000) mengatakan bahwa bukan hanya satu jenis kecerdasan yang penting untuk meraih sukses dalam kehidupan, melainkan ada spektrum kecerdasan yang lebar dengan tujuh varietas utama yaitu linguistik, matematika/logika, spasial, kinestetik, musik, interpersonal dan intrapersonal. Kecerdasan ini dinamakan oleh Gardner sebagai kecerdasan pribadi yang oleh Daniel Goleman disebut sebagai kecerdasan emosional. Gardner (1993, dalam Goleman, 2000) mengungkapkan bahwa kecerdasan pribadi terdiri dari: kecerdasan antarpribadi yaitu kemampuan untuk memahami orang lain, apa yang memotivasi mereka, bagaimana mereka bekerja, bagaimana bekerja bahu membahu dengan kecerdasan, sedangkan kecerdasan intrapribadi adalah kemampuan yang korelatif, tetapi terarah ke dalam diri. Kemampuan tersebut adalah

(7)

kemampuan membentuk suatu model diri sendiri yang teliti dan mengacu pada diri serta kemampuan untuk menggunakan modal tadi sebagai alat untuk menempuh kehidupan secara efektif (Goleman, 2002).

Berdasarkan kecerdasan yang dinyatakan oleh Gardner tersebut, Salovey (1990, dalam Goleman, 2000) memilih kecerdasan interpersonal dan kecerdasan intrapersonal untuk dijadikan sebagai dasar untuk mengungkap kecerdasan emosional pada diri individu. Menurutnya kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang untuk mengenali emosi diri, mengelola emosi, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain (empati) dan kemampuan untuk membina hubungan (sosial) dengan orang lain.

Goleman (2002) mengatakan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang mengatur kehidupan emosinya dengan inteligensi (to manage our emotional life with intelligence), menjaga keselarasan emosi dan pengungkapannya (the appropriateness of emotion and its expression) melalui keterampilan kesadaran diri, pengendalian diri, motivasi diri, empati dan keterampilan sosial.

Dapat disimpulkan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang untuk mengenali emosi diri, mengelola emosi diri, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain (empati) dan kemampuan untuk membina hubungan (sosial) dengan orang lain.

(8)

2.2 Komponen Kecerdasan Emosional

Goleman (2002) memperluas kecerdasan emosional menjadi lima kemmapuan utama, yaitu:

a. Mengenali Emosi Diri

Mengenali emosi diri merupakan suatu kemampuan untuk mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi. Hal ini menyebabkan individu menyadari emosi yang sedang dialami serta mengetahui penyebab emosi tersebut terjadi serta memahami kuantitas, intensitas, dan durasi emosi yang sedang berlangsung. Kesadaran akan intensitas emosi memberi informasi mengenai besarnya pengaruh kejadian tersebut pada individu. Intensitas yang tinggi cenderung memotivasi individu untuk bereaksi sedangkan intensitas emosi yang rendah tidak banyak mempengaruhi individu secara sadar. Kesadaran akan durasi emosi yang berlangsung membuat individu dapat berpikir dan mengambil keputusan yang selaras dalam mengungkapkan emosinya. Kemampuan mengenali emosi diri merupakan dasar dari kecerdasan emosional, para ahli psikologi menyebutkan kesadaran diri sebagai metamood, yakni kesadaran seseorang akan emosinya sendiri. Mayer (Goleman, 2002) mengatakan bahwa kesadaran diri adalah waspada terhadap suasana hati maupun pikiran tentang suasana hati, bila kurang waspada maka individu menjadi mudah larut dalam aliran emosi dan dikuasai oleh emosi. Ketidakmampuan untuk mencermati perasaan kita yang sesungguhnya membuat kita berada dalam kekuasaan perasaan., sehingga tidak peka akan perasaan yang sesungguhnya yang berakibat buruk bagi pengambilan keputusan masalah (Mutadin, 2002). Kesadaran diri memang belum menjamin penguasaan

(9)

emosi, namun merupakan salah satu prasyarat penting untuk mengendalikan emosi sehingga individu mudah menguasai emosi.

b. Mengelola Emosi

Mengelola emosi merupakan kemampuan individu dalam menangani perasaan agar dapat terungkap dengan tepat atau selaras, sehingga tercapai keseimbangan dalam diri individu. Individu dapat mengungkapkan emosinya dengan kadar yang tepat pada waktu yang tepat dengan cara yang tepat (Aristoteles dalam Goleman 2004). Tujuan pengendalian diri adalah keseimbangan emosi bukan menekan emosi, karena setiap perasaan memiliki nilai dan makna tersendiri. Menjaga agar emosi yang merisaukan tetap terkendali merupakan kunci menuju kesejahteraan emosi. Emosi berlebihan, yang meningkat dengan intensitas terlampau lama akan mengoyak kestabilan kita (Goleman, 2002). Kemampuan ini mencakup kemampuan untuk menghibur diri sendiri ketika ditimpa kesedihan, melepaskan kecemasan, kemurungan atau ketersinggungan dan akibat-akibat yang ditimbulkannya serta kemampuan untuk bangkit dari perasaan-perasaan yang menekan. Orang-orang yang buruk kemampuannya dalam keterampilan ini akan terus-menerus bertarung melawan perasaan murung, sementara mereka yang pintar dapat bangkit kembali dengan jauh lebih cepat dari kemerosotan dan kejatuhan dalam kehidupan (Goleman, 1996). c. Memotivasi Diri Sendiri

Prestasi harus dilalui dengan dimilikinya motivasi dalam diri individu, yang berarti memiliki ketekunan untuk menahan diri terhadap kepuasan dan mengendalikan dorongan hati, serta mempunyai perasaan motivasi yang positif, yaitu antusiasme, gairah, optimis dan keyakinan diri. Keterampilan memotivasi diri

(10)

memungkinkan terwujudnya kinerja yang tinggi dalam segala bidang. Orang-orang yang memiliki keterampilan ini cenderung lebih jauh produktif dan efektif dalam hal apa pun yang mereka kerjakan (Goleman, 1996).

d. Mengenali Emosi Orang Lain (Empati)

Kemampuan untuk mengenali emosi orang lain disebut juga empati. Empati adalah dapat merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain, mampu memahami perspektif mereka, menumbuhkan hubungan saling percaya dan menyelaraskan diri dengan bermacam-macam orang (Setrianingsih, 2006). Empati dibangun berdasarkan pada kesadaran diri. Jika seseorang terbuka pada emosi sendiri, maka dapat dipastikan bahwa ia akan terampil membaca perasaan orang lain, sebaliknya orang yang tidak mampu menyesuaikan diri dengan emosinya sendiri dapat dipastikan tidak akan mampu menghormati perasaan orang lain. Goleman (2002) mengatakan bahwa kemampuan seseorang untuk mengenali orang lain atau peduli, menunjukkan kemampuan empati seseorang. Individu yang memiliki kemampuan empati lebih mampu menangkap sinyal-sinyal sosial yang tersembunyi yang mengisyaratkan apa-apa yang dibutuhkan orang lain sehingga ia lebih mampu menerima sudut pandang orang lain, peka terhadap perasaan orang lain dan lebih mampu untuk mendengarkan orang lain.

Rosenthal dalam penelitiannya menunjukkan bahwa orang-orang yang mampu membaca perasaan dan isyarat non verbal lebih mampu menyesuaikan diri secara emosional, lebih populer, lebih mudah beraul, dan lebih peka (Goleman, 2002). Nowicki, ahli psikologi menjelaskan bahwa anak-anak yang tidak mampu membaca atau mengungkapkan emosi dengan baik akan terus menerus merasa

(11)

frustasi (Goleman, 2002). Seseorang yang mampu membaca emosi orang lain juga memiliki kesadaran diri yang tinggi. Semakin mampu terbuka pada emosinya sendiri, mampu mengenal dan mengakui emosinya sendiri, maka orang tersebut mempunyai kemampuan untuk membaca perasaan orang lain.

e. Membina Hubungan (Sosial)

Seni dalam membina hubungan dengan orang lain merupakan keterampilan sosial yang mendukung keberhasilan dalam pergaulan dengan orang lain. Kemampuan dalam membina hubungan merupakan suatu keterampilan yang menunjang popularitas, kepemimpinan dan keberhasilan antar pribadi (Goleman, 2002). Keterampilan dalam berkomunikasi merupakan kemampuan dasar dalam keberhasilan membina hubungan. Individu sulit untuk mendapatkan apa yang diinginkannya dan sulit juga memahami keinginan serta kemauan orang lain.

Orang-orang yang hebat dalam keterampilan membina hubungan ini akan sukses dalam bidang apapun. Orang berhasil dalam pergaulan karena mampu berkomunikasi dengan lancar pada orang lain. Orang-orang ini populer dalam lingkungannya dan menjadi teman yang menyenangkan karena kemampuannya berkomunikasi (Goleman, 2002). Ramah tamah, baik hati, hormat dan disukai orang lain dapat dijadikan petunjuk positif bagaimana perawat mampu membina hubungan dengan orang lain. Sejauhmana kepribadian perawat berkembang dilihat dari banyaknya hubungan interpersonal yang dilakukannya. Apabila individu tidak memiliki keterampilan-keterampilan semacam ini dapat menyebabkan seseorang seringkali dianggap angkuh, mengganggu atau tidak berperasaan.

(12)

Berdasarkan uraian tersebut di atas, penulis mengambil komponen-komponen utama dari kecerdasan emosional sebagai faktor untuk mengembangkan instrumen kecerdasan emosional.

2.3 Kecerdasan Emosional di Tempat Kerja

Aturan bekerja saat ini telah berubah. Kita dinilai berdasarkan tolak ukur yang baru yaitu tidak hanya dinilai berdasarkan tingkat kepandaian, atau berdasarkan pelatihan dan pengalaman, tetapi juga berdasarkan kemampuan kita mengelola diri sendiri dan berhubungan dengan orang lain yang disebut cerdas secara emosional. Keterampilan kecerdasan emosi bekerja secara sinergi dengan keterampilan kognitif (Goleman, 1999).

Martin (2003) mengatakan dalam konteks pekerjaan, kecerdasan emosional adalah kemampuan untuk mengetahui apa yang kita dan orang lain rasakan, termasuk cara tepat untuk menangani masalah. Orang lain yang dimaksud adalah bisa meliputi atasan, rekan sejawat, bawahan atau juga pelanggan. Realitas menunjukkan, sering kali kita tidak mampu menangani masalah-masalah emosional di tempat kerja secara memuaskan. Bukan saja tidak mampu memahami perasaan sendiri, melainkan juga perasaan orang lain yang berinteraksi dengan kita. Akibatnya sering terjadi kesalahpahaman dan konflik antar pribadi.

Di dunia kerja, kelebihan orang-orang ber-EQ tinggi dibandingkan dengan orang lain tercermin dari fakta berikut :

(13)

a. Pada posisi yang berhubungan dengan banyak orang, mereka lebih sukses bekerja. Terutama karena mereka lebih berempati, komunikatif, lebih tinggi rasa humornya dan lebih peka akan kebutuhan orang lain.

b. Mereka lebih bisa menyeimbangkan rasio dan emosi. Tidak terlalu sensitif dan emosional, namun juga tidak dingin dan terlalu rasional. Pendapat mereka dianggap selalu objektif dan penuh pertimbangan.

c. Mereka menanggung stres yang lebih kecil karena biasa dengan leluasa mengungkapkan perasaan, bukan memendamnya.

d. Berbekal kemampuan komunikasi dan hubungan interpersonal yang tinggi, mereka selalu mudah menyesuaikan diri dan mudah beradaptasi.

e. Saat yang lainnya menyerah, mereka tidak putus asa dan frustasi, justru menjaga motivasi untuk mencapai tujuan yang dicita-citakan.

Emosi pada prinsipnya menggambarkan perasaan manusia menghadapi berbagai situasi yang berbeda. Oleh karena emosi merupakan reaksi manusiawi terhadap berbagai situasi nyata, maka sebenarnya tidak ada emosi baik atau emosi buruk. Emosi di kantor dapat dikatakan baik atau buruk hanya tergantung pada akibat yang ditimbulkan.

Tantangan menonjol bagi pekerja saat ini terutama adalah bertambahnya jam kerja serta keharusan untuk mengelola hal-hal berpotensi stres dan berfungsi efektif di tengah kompleksitas bisnis. Pekerja juga dituntut untuk mampu menempatkan kehidupan kerja dan keluarga selalu dalam posisi seimbang.

Tantangan pekerjaan juga terletak pada kemampuan berempati, misalnya para perawat, ketika menghadapi keluhan pasien, perawat membutuhkan ketabahan emosi

(14)

dan juga mempunyai kemampuan melihat hal tersebut dari perspektif pasien. Perawat dalam berkata, bertindak, dan mengambil keputusan, membutuhkan kecerdasan emosional yang tinggi, sehingga mampu melihat sesuatu dari sudut pandang orang lain. Seorang perawat dengan empatinya akan membantu pasien. Perawat harus bersikap baik dan santun kepada seluruh pasien, baik itu bayi yang baru lahir sampai lanjut usia. Sikap ini didasarkan pada pemikiran, pilihan sikap yang benar dan tepat dalam segala situasi, yaitu tempat dan waktu. Perawatan yang efektif mencakup pemberian perhatian kepada kebutuhan emosi pasien. Sikap perawat kepada pasien disesuaikan dengan usia pasien, hal ini menguatkan bahwa kemampuan untuk dapat berempati sangat diperlukan sekali oleh perawat agar perawatan lebih efektif (Bharata, 2008 ).

Emosi menjadi penting karena ekspresi emosi yang dapat terbukti bisa melenyapkan stres pekerjaan. Semakin tepat kita mengkomunikasikan perasaan, semakin nyaman perasaan kita. Keterampilan manajemen emosi memungkinkan kita menjadi lebih akrab dan mampu bersahabat, berkomunikasi dengan tulus dan terbuka kepada orang lain.

3. Kinerja

3.1 Pengertian Kinerja

Kinerja pada dasarnya adalah apa yang dilakukan atau tidak dilakukan karyawan. Kinerja karyawan adalah yang mempengaruhi seberapa banyak pekerja

(15)

memberi kontribusi kepada perusahaan antara lain kuantitas, output, kualitas output, kehadiran di tempat kerja dan sikap kooperatif (Mathis & Jackson, 2002). Banyak ahli mengemukakan tentang pengertian kinerja, antara lain Stoner (1978, dalam Tika, 2006) mengemukakan bahwa kinerja adalah fungsi dari motivasi, kecakapan, dan persepsi peranan. Sedangkan Bernadin dan Russel (1993, dalam Tika, 2006) mendefinisikan kinerja sebagai pencatatan hasil-hasil yang diperoleh dari fungsi-fungsi pekerjaan atau kegiatan tertentu selama kurun waktu tertentu. Prawiro Suntoro (1999, dalam Tika, 2006) mengemukakan bahwa bahwa kinerja merupakan hasil karya yang dapat dicapai seseorang atau kelompok dalam rangka upaya mencapai tujuan organisasi sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab masing-masing untuk mencapai tujuan organisasi bersangkutan secara legal, tidak melanggar hukum dan sesuai dengan moral dan etika.

Dapat disimpulkan bahwa kinerja merupakan suatu hasil fungsi pekerjaan atau kegiatan seseorang atau kelompok dalam suatu organisasi yang dipengaruhi oleh berbagai faktor untuk mencapai tujuan organisasi dalam periode waktu tertentu. Fungsi pekerjaan atau kegiatan yang dimaksud adalah pelaksanaan hasil pekerjaan atau kegiatan seseorang atau kelompok yang menjadi wewenang dan tanggung jawab dalam suatu organisasi (Tika, 2006).

3.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kinerja

Tika (2006) mengemukakan bahwa faktor-faktor yang berpengaruh terhadap hasil pekerjaan atau prestasi kerja seseorang atau kelompok, terdiri dari faktor intern dan ekstern. Faktor intern yang mempengaruhi kinerja karyawan atau kelompok

(16)

terdiri dari kecerdasan, keterampilan, kestabilan emosi, motivasi, persepsi, peran, kondisi keluarga, kondisi fisik seseorang dan karakteristik kelompok kerja, sedangkan faktor ekstern antara lain berupa peraturan ketenagakerjaan, keinginan pelanggan, pesaing, nilai-nilai sosial, serikat buruh, kondisi ekonomi, perubahan lokasi kerja, dan kondisi pasar.

Gibson (1987) menyatakan bahwa ada tiga faktor yang mempengaruhi kinerja yaitu faktor individu, faktor psikologi, dan faktor organisasi. Faktor individu terdiri dari kemampuan, keterampilan, latar belakang keluarga, pengalaman, tingkat sosial, dan demografi seseorang. Variabel kemampuan dan keterampilan merupakan faktor utama yang mempengaruhi perilaku dan kinerja individu sedangkan variabel demografis mempunyai efek tidak langsung pada perilaku dan kinerja individu. Faktor psikologis terdiri dari persepsi, peran, sikap, kepribadian, motivasi dan kepuasan kerja. Variabel tersebut banyak dipengaruhi oleh keluarga, tingkat sosial, pengalaman kerja sebelumnya, dan variabel demografis. Variabel seperti persepsi, sikap, kepribadian dan belajar merupakan hal yang kompleks dan sulit diukur. Faktor organisasi berefek tidak langsung terhadap perilaku dan kinerja individu terdiri dari struktur organisasi, desain pekerjaan, kepemimpinan, sistem penghargaan (reward system).

3.3 Sistem Penilaian Kinerja

Setiap pimpinan harus dapat melakukan penilaian objektif terhadap kinerja karyawan sehingga perlu dikembangkan instrumen penilaian kinerja. Penilaian

(17)

kinerja dalam organisasi adalah proses organisasi mengevaluasi hasil kerja atau prestasi kerja para pemegang jabatan.

Beberapa alasan dan pertimbangan mengapa kinerja harus dinilai yaitu : 1. Penilaian kinerja memberikan informasi bagi pertimbangan pemberian promosi

dan penetapan gaji

2. Penilaian kinerja memberikan umpan balik bagi para manajer maupun karyawan untuk melakukan instrospeksi dan meninjau kembali perilaku selama ini, baik yang positif maupun yang negatif untuk kemudian dirumuskan kembali sebagai yang mendukung tumbuh kembangnya budaya organisasi secara keseluruhan. 3. Penilaian kinerja diperlukan untuk pertimbangan pelatihan dan pelatihan kembali

(retraining) serta pengembangan (Soeroso, 2003).

Keperawatan sebagai bagian integral dari sistem pelayanan kesehatan turut menentukan mutu pelayanan kesehatan. Untuk mendukung dan mewujudkan derajat kesehatan masyarakat yang bermutu tinggi, profesionalisme dan kinerja tenaga kesehatan termasuk perawat perlu ditingkatkan kapasitasnya. Langkah-langkah strategis dan aplikatif diperlukan agar perawat dapat berperan dan siap bersaing di tatanan dunia kesehatan regional, nasional dan global.

Langkah-langkah untuk meningkatkan kinerja antara lain:

1. Dorong pelayanan lebih memuaskan dan ciptakan agar individu atau tim kerja meningkatkan mutu proses secara terus menerus.

(18)

3. Temukan strategi agar pelayanan menjadi lebih efektif dan efisien dengan cara memberikan pelayanan lebih cepat, lebih mudah, lebih simpel, dengan biaya lebih rendah tanpa mengurangi hasil.

4. Kaji dan tingkatkan kualitas dokumentasi yang prima, agar dapat dimanfaatkan sebagai bahan pembelajaran untuk meningkatkan mutu kinerja selanjutnya.

5. Komunikasikan hasil-hasil yang telah dicapai kepada staf atau tim kerja.

3.4 Indikator Kinerja

Indikator terdiri dari dua kata yaitu indikator dan kinerja. Banyak defenisi yang dikemukakan para pakar tentang indikator dan kinerja, salah satunya dari World Health Organization (WHO, 1981) menyatakan bahwa indikator adalah variabel untuk mengukur suatu perubahan baik langsung maupun tidak langsung; kinerja adalah catatan hasil-hasil yang diperoleh dari fungsi-fungsi atau kegiatan tertentu dalam kurun waktu tertentu (Benardin dan Russel, 1993). Kinerja sinonim dengan mutu, juga sama dengan akuntabilitas. Garvin menyatakan kinerja adalah karakteristik operasional utama dari suatu produk pelayanan. Menurut Prajawanto (2009) indikator kinerja adalah indikator yang berfokus pada hasil asuhan keperawatan kepada pasien dan proses pelayanannya.

Dapat disimpulkan bahwa indikator kinerja adalah ukuran kuantitatif dan atau kualitatif yang menggambarkan tingkat pencapaian suatu sasaran atau tujuan yang telah ditetapkan. Indikator kinerja harus merupakan sesuatu yang dapat dihitung dan diukur serta digunakan sebagai dasar untuk melihat dan menilai tingkat kinerja yang

(19)

baik. Beberapa syarat yang berlaku untuk semua kelompok kinerja. Syarat-syarat tersebut antara lain:

1. Spesifik dan jelas sehingga mudah dipahami dan tidak ada kesalahan interpretasi. 2. Dapat diukur secara objektif baik yang bersifat kuantitatif maupun kualitatif yaitu

dua atau lebih yang mengukur indikator kinerja mempunyai kesimpulan yang sama.

3. Relevan, indikator kerja harus menangani aspek-aspek objektif yang relevan. 4. Penting atau terpilih, dapat dicapai dan harus berguna untuk menunjukkan

keberhasilan masukan, keluaran, hasil, manfaat, dan dampak setiap proses. Indikator kinerja juga mempunyai beberapa fungsi antara lain :

1. Memperjelas tentang apa, berapa, dan kapan suatu kegiatan dilaksanakan.

2. Menciptakan konsensus yang dibangun oleh berbagai pihak terkait untuk menghindari kesalahan interpretasi dalam penilaian kinerja staf, tim dan kinerja instansi/ organisasi.

3. Membangun dasar bagi pengukuran, analisis, dan evaluasi kinerja organisasi/ unit kerja.

4. Harus fleksibel dan sensitif terhadap perubahan atau penyesuaian pelaksanaan dan hasil pelaksanaan kegiatan.

5. Efektif, data atau informasi yang berkaitan dengan indikator kinerja yang bersangkutan dapat dikumpulkan, diolah, dan dianalisis dengan biaya yang tersedia.

(20)

Kusnanto (2004) mengemukakan bahwa kinerja seorang perawat merupakan suatu bentuk pelayanan professional yang merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan, didasarkan pada ilmu dan kiat keperawatan, bentuk pelayanan biopsikososialspiritual yang komprehensif, ditujukan pada individu, keluarga dan masyarakat baik sakit maupun yang sehat yang mencakup seluruh proses kehidupan manusia. Perlu dilakukan pengukuran terhadap kinerja perawat untuk menilai sejauh mana perawat telah menjalankan tanggung jawab dan untuk memberikan umpan balik bagi perawat. Kinerja Perawat adalah tindakan yang dilakukan oleh seorang perawat dalam suatu organisasi sesuai dengan wewenang dan tanggung jawabnya masing-masing, tidak melanggar hukum, aturan serta sesuai moral dan etika, dimana kinerja yang baik dapat memberikan kepuasan pada pengguna jasa (Depkes, 1994). Selain aktivitas perawat tersebut terkait dengan kinerja perawat dapat dilihat dari pelayanan kesehatan yang diberikan perawat kepada pasiennya (Tanjary, 2009).

Indikator kinerja perawat adalah variabel untuk mengukur prestasi suatu pelaksanaan kegiatan dalam waktu tertentu. Indikator yang berfokus pada hasil asuhan keperawatan kepada pasien dan proses pelayanannya disebut indikator kinerja (Prajawanto, 2009). Kinerja perawat dapat dilihat sesuai dengan peran fungsi perawat sebagai pemberi asuhan keperawatan.

3.6 Faktor yang mempengaruhi kinerja perawat

Menurut Asa’ad (2000, dalam Tanjary, 2009), faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja perawat adalah karakteristik, motivasi, kemampuan, keterampilan, persepsi, sikap serta lingkungan kerja. Adapun yang termasuk dalam

(21)

karakteristik perawat meliputi umur, pendidikan, tingkat pengetahuan, masa kerja, serta status. Umur berpengaruh terhadap kinerja perawat karena semakin berumur seorang perawat memiliki tanggung jawab moral dan loyal terhadap pekerjaan serta lebih terampil karena lama bekerja menjadi perawat.

Pendidikan perawat berpengaruh terhadap kinerja perawat karena semakin tinggi pendidikan yang ditempuh, semakin banyak ilmu pengetahuan serta keterampilan yang dimiliki oleh perawat. Masa kerja berpengaruh terhadap kinerja perawat karena semakin lama masa kerja seorang perawat semakin banyak pengalaman yang diperolehnya dalam menyelesaikan pekerjaannya sehingga dapat meningkatkan kinerjanya. Status pekerjaan berpengaruh terhadap kinerja perawat karena semakin tinggi jabatan yang diembannya maka semakin tinggi motivasi dalam pekerjaannya sehingga akan dapat meningkatkan kinerja perawat (Tanjary, 2009).

Motivasi juga mempengaruhi kinerja seseorang. Motivasi seseorang akan timbul apabila mereka diberi kesempatan untuk mencoba cara baru dan mendapat umpan balik dari hasil yang diberikan. Oleh karena itu penghargaan psikis dalam hal ini sangat diperlukan agar seseorang merasa dihargai dan diperhatikan serta dibimbing manakala melakukan suatu kesalahan (Bachtiar & Suarly, 2009).

3.7 Penilaian Kinerja Perawat

Penilaian kinerja merupakan suatu komponen dari sistem manajemen kinerja yang digunakan organisasi untuk memotivasi pekerja. Tujuan utama penilaian kinerja adalah untuk memperbaiki kinerja. Proses penilaian kinerja dapat digunakan secara

(22)

efektif dalam mengarahkan perilaku pegawai dalam rangka menghasilkan jasa keperawatan dalam kualitas yang tinggi.

Perawat perlu mengetahui adanya pembagian tugas (job description) dalam melakukan pelayanan keperawatan. Hal ini akan mempermudah perawat untuk berfungsi sesuai dengan tugas dan tahu apa yang diharapkan dan tidak diharapkan. Uraian tugas (job description) perawat di ruang rawat adalah sebagai berikut :

1. Memelihara kebersihan ruang rawat dan lingkungan.

2. Menerima pasien baru sesuai prosedur dan ketentuan yang berlaku.

3. Memelihara peralatan perawatan dan medis agar selalu dalam keadaan siap pakai. 4. Melakukan pengkajian keperawatan dan menentukan diagnose keperawatan,

sesuai batas kewenangannya

5. Menyusun rencana keperawatan sesuai dengan kemampuannya.

6. Melaksanakan tindakan keperawatan kepada pasien sesuai kebutuhan dan batas kemampuannya, antara lain:

1) Melaksanakan tindakan pengobatan sesuai program pengobatan

2) Memberi penyuluhan kesehatan kepada pasien dan keluarganya mengenai penyakitnya

7. Melatih/membantu pasien untuk melakukan latihan gerak

8. Melakukan tindakan darurat kepada pasien (antara lain panas tinggi, kolaps, perdarahan, keracunan, henti nafas & henti jantung), sesuai Protap yang berlaku. Selanjutnya segera melaporkan tindakan yang telah dilakukan kepada dokter ruang rawat/ dokter jaga

(23)

10. Mengobservasi kondisi pasien, selanjutnya melakukan tindakan yang tepat berdasarkan hasil observasi tersebut, sesuai batas kemampuannya.

11. Berperan serta dengan anggota tim kesehatan dalam membahas kasus dan upaya meningkatkan mutu asuhan keperawatan.

12. Melaksanakan tugas pagi, sore, malam dan hari libur secara bergilir sesuai jadwal dinas.

13. Mengikuti pertemuan berkala yang diadakan oleh Kepala Ruang Rawat.

14. Meningkatkan pengetahuan dan keterampilan di bidang keperawatan, antara lain melalui pertemuan ilmiah dan penataran atas izin/persetujuan atasan.

15. Melaksanakan sistem pencatatan dan pelaporan asuhan keperawatan yang tepat dan benar sesuai Standar Ashukan Keperawatan.

16. Melaksanakan serah terima tugas kepada petugas pengganti secara lisan maupun tertulis, pada saat penggantian dinas.

17. Memberi penyuluhan kesehatan kepada pasien dan keluarganya sesuai dengan keadaan dan kebutuhan pasien, mengenai:

a) Program Diet

b) Pengobatan yang perlu dilanjutkan dan cara penggunaannya

c) Pentingnya pemeriksaan ulang di rumah sakit, puskesmas atau institusi pelayanan kesehatan lain

d) Cara hidup sehat, seperti pengaturan istirahat, makanan yang bergizi atau bahan pengganti sesuai dengan keadaan sosial ekonomi.

(24)

a) Rollstoel

b) Tongkat penyangga c) Protesa

19. Melatih pasien untuk melaksanakan tindakan keperawatan di rumah sakit, misalnya :

a) Merawat luka

b) Melatih anggota gerak

20. Menyiapkan pasien yang akan pulang, meliputi:

1) Menyediakan formulir untuk menyelesaian administrasi, seperti: a) Surat izin pulang

b) Surat keterangan istirahat sakit c) Petunjuk diet

d) Resep obat untuk di rumah, jika diperlukan e) Surat rujukan atau pemeriksaan ulang

4. Hubungan kecerdasan emosional perawat dengan kinerja perawat menurut persepsi pasien

Perawat merupakan sebuah profesi yang berorientasi kepada pelayanan dalam bentuk jasa. Pelayanan diberikan kepada klien yang mencakup individu, keluarga dan masyarakat. Perawat memerlukan suatu keterampilan manajemen emosi agar pelayanan yang diberikan meliputi biologis, psikologis, sosial dan spiritual. Keterampilan tersebut lebih dikenal dengan istilah kecerdasan emosional. Kecerdasan perawat bukanlah merupakan suatu hal yang bersifat dimensi tunggal semata, yang hanya bisa diukur dari satu sisi dimensi saja (dimensi IQ). Kesuksesan perawat

(25)

di dalam kinerjanya, ternyata lebih terkait dengan jenis kecerdasan selain IQ. Goleman (2000) melalui penelitiannya, setidaknya 75% kesuksesan manusia lebih ditentukan oleh kecerdasan emosionalnya (EQ) dan hanya 25% yang ditentukan oleh kecerdasan intelektualnya (IQ).

IQ tidak dapat berfungsi dengan baik tanpa partisipasi penghayatan emosional terhadap kinerja perawat, namun biasanya kedua inteligensi itu saling melengkapi. Alam diciptakan dalam keseimbangan, demikian pula kecerdasan perawat perlu dikelola secara seimbang. Keseimbangan antara IQ dan EQ merupakan kunci keberhasilan dalam memberikan asuhan keperawatan (Goleman, 2002). Pendidikan di keperawatan bukan hanya perlu mengembangkan rational intelligence yaitu model pemahaman yang lazimnya dipahami mahasiswa saja, melainkan juga perlu mengembangkan emotional intelligence mahasiswa.

Kecerdasan emosional penting dalam dunia kerja, karena dengan kecerdasan emosional seseorang bisa mengadakan hubungan yang baik dengan atasan, rekan sejawat maupun bawahan atau juga pelanggan (Dio, 2003). Pendapat tersebut diperkuat lagi oleh penelitian yang pernah dilakukan Boyatzis pada tahun 1999 (dalam Martin, 2000) memberikan hasil bahwa kecerdasan emosi memiliki pengaruh positif terhadap hasil kerja dan kinerja seseorang. Bagi seorang perawat, kecerdasan emosional merupakan syarat mutlak. Para perawat dalam pekerjaan sehari-hari hampir selalu melibatkan perasaan dan emosi, sehingga setiap memberikan perawatan dituntut untuk memiliki kecerdasan emosi yang tinggi.

Penelitian yang dilakukan oleh Rosalina (2008) mengatakan bahwa kecerdasan emosional perawat sangat menentukan perilaku melayani konsumen atau

(26)

pasien. Jika perawat memiliki kecerdasan emosional baik, maka perilaku perawat dalam memberikan layanan kepada pasien pun akan baik. Perawat yang memiliki kecerdasan emosional yang baik dapat mengontrol emosi-emosinya pada saat berinteraksi langsung dengan pasien atau keluarga pasien

Realitas menunjukkan bahwa perawat tidak mampu menangani masalah– masalah emosional di tempat kerja secara memuaskan. Bukan saja tidak mampu memahami perasaan diri sendiri, melainkan juga perasaan orang lain yang berinteraksi dengan kita, akibatnya sering terjadi kesalahpahaman dan konflik antar pribadi. Kecerdasan emosional ini jelas sangat dibutuhkan oleh perawat sebab perawat selalu berhubungan dan berinteraksi dengan klien yang latar belakang budaya dan sifatnya berbeda. Perbedaan ini menuntut perawat untuk mengenali perasaan dirinya maupun orang lain dalam hal ini klien dan keluarganya. Sehingga perawat secara profesional akan bersifat asertif. Asertif yaitu terampil menyampaikan pikiran dan perasaan dengan baik, lugas, dan jelas tanpa harus membuat orang lain tersinggung. Perawat yang cerdas secara emosional adalah orang yang memahami kondisi dirinya, emosi-emosi yang terjadi, serta mengambil tindakan yang tepat. Orang tersebut juga secara sosial mampu mengenali dan berempati terhadap apa yang terjadi pada orang lain dan menanggapinya secara proporsional.

Seorang perawat yang mempunyai kecerdasan emosional yang baik akan dapat dikenali melalui lima komponen dasar, yaitu sebagai berikut (Bharata, 2008) : 1. Self-awarenes (mengenali emosi diri) yaitu mampu mengenali emosi dan

penyebab dari pemicu emosi tersebut, mampu mengevaluasi dirinya sendiri dan mendapatkan informasi untuk melakukan suatu tindakan, mampu untuk

(27)

mengenal dan memilah-milah perasaan, memahami hal yang sedang kita rasakan, dan mengetahui penyebab munculnya perasaan tersebut.

2. Self-regulation (mengelola diri). Seseorang yang mempunyai pengenalan diri yang baik dapat lebih terkontrol dalam membuat tindakan agar lebih hati-hati. Dia juga akan berusaha untuk tidak impulsif. Perlu diingat, hal ini bukan berarti bahwa orang tersebut menyembunyikan emosinya melainkan memilih untuk tidak diatur oleh emosinya.

3. Self-motivation (motivasi diri), ketika sesuatu berjalan tidak sesuai dengan rencana, seseorang yang mempunyai kecerdasan emosional tinggi tidak akan bertanya “Apa yang salah dengan saya atau kita?”, sebaliknya ia bertanya “Apa yang dapat kita lakukan agar kita dapat memperbaiki masalah ini?”.

4. Empathy (empati) yaitu kemampuan untuk mengenali perasaan orang lain dan merasakan apa yang orang lain rasakan jika dirinya sendiri yang berada pada posisi tersebut. Perawat dengan kemampuan empati maka perawat memiliki kemampuan untuk menghayati perasaan pasien. Kemampuan empati seorang perawat dipengaruhi oleh kondisi perawat itu sendiri. Perawat perlu menjaga kondisi kesehatan fisik dan psikis, karena keduanya saling mempengaruhi satu sama lain.

5. Effective Relationship (hubungan yang efektif). Keempat kemampuan tersebut jika dimiliki oleh seorang perawat maka seseorang dapat berkomunikasi dengan orang lain secara efektif. Kemampuan untuk memecahkan masalah bersama-sama lebih ditekankan dan bukan pada konfrontasi yang tidak penting yang

(28)

sebenarnya dapat dihindari. Orang yang mempunyai kemampuan intelegensia emosional yang tinggi mempunyai tujuan yang konstruktif dalam pikirannya.

Kecerdasan emosional perlu dikembangkan karena hal inilah yang mendasari keterampilan perawat di tengah masyarakat dan mempengaruhi semua aspek yang berhubungan dengan pelayanan perawat, sehingga akan membuat seluruh potensi dapat berkembang secara lebih optimal. Idealnya seorang perawat dapat menguasai keterampilan kognitif sekaligus keterampilan sosial emosional.

Referensi

Dokumen terkait

PERTAMA : Status Program dan Satuan Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Nonformal yang Terakreditasi di Pokja Akreditasi PNF Provinsi Jawa Barat Tahap 2 Tahun

Diharapkan penurunan vigor benih dapat diatasi dengan peningkatan kerapatan benih yang akan meningkatkan jumlah kecambah normal kuat yang akan digunakan untuk kegiatan

〔商法一ニ九〕手形金の一部に関する原因債務不存在といわゆる二重無権の抗弁東京地裁昭和四 六年ニ月一二日判決 倉沢, 康一郎Kurasawa,

Ulead Video Studio ini sangat cocok digunakan untuk kalangan pemula yang ingin belajar editing video, selain itu program ini memiliki tampilan yang menarik dan menu-menu

Djaman Satori (dalam Suhardan, 2010 hlm. 28) mengemukakan bahwa supervisi pendidikan dipandang sebagai kegiatan yang ditujukan untuk memperbaiki dan meningkatkan mutu

Karena kondisi ini, pada kasus kecelakaan lalu lintas dengan cedera pada dada, seyogyanya dilakukan pemeriksaan patologi anatomi pada otot jantung yang akan dapat

Berdasarkan hasil penelitian, maka disimpulkan: Pertumbuhan anggrek Vanda lebih sesuai pada komposisi media VW yang ditambahkan 2 ppm giberelin dan 250 mL air kelapa