• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENINGKATAN HASIL BELAJAR PECAHAN SEDERHANA MELALUI PENERAPAN TEORI BELAJAR BRUNER DI KELAS III SD NEGERI 2 TIJAYAN.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PENINGKATAN HASIL BELAJAR PECAHAN SEDERHANA MELALUI PENERAPAN TEORI BELAJAR BRUNER DI KELAS III SD NEGERI 2 TIJAYAN."

Copied!
220
0
0

Teks penuh

(1)

i

PENINGKATAN HASIL BELAJAR PADA PECAHAN SEDERHANA MELALUI PENERAPAN TEORI BELAJAR BRUNER DI

KELAS III SD NEGERI 2 TIJAYAN

TUGAS AKHIR SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Gelar Sarjana

Pendidikan

Oleh Dita Putri Susilasakti

NIM 13108241177

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN

(2)
(3)

iii

SURAT PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Dita Putri Susilasakti

NIM : 13108241177

Program Studi : Pendidikan Guru Sekolah Dasar

Judul TAS : Peningkatan Hasil Belajar pada Pecahan Sederhana melalui Penerapan Teori Belajar Bruner di Kelas III SD Negeri 2 Tijayan

menyatakan bahwa skripsi ini benar-benar karya saya sendiri. Sepanjang pengetahuan saya tidak terdapat karya atau pendapat yang ditulis atau diterbitkan orang lain kecuali sebagai acuan kutipan dengan mengikuti tata penulisan karya ilmiah yang telah lazim.

Yogyakarta, 21 Maret 2017 Yang menyatakan,

(4)
(5)

v MOTTO

“Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya

sesudah kesulitan itu ada kemudahan”

(Q.s. Al-Insyirah : 6-7)

“Sejatinya kegagalan bukan sebuah halangan untuk menuju kesuksesan”

(6)

vi

PERSEMBAHAN

Skripsi ini penulis persembahkan kepada:

1. Allah SWT yang telah memberikan nikmat dan kesempatan sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi ini.

2. Ayah dan ibu serta keluarga yang telah memberikan dukungan, doa, dan semangat.

(7)

vii

PENINGKATAN HASIL BELAJAR PECAHAN SEDERHANA MELALUI PENERAPAN TEORI BELAJAR BRUNER DI KELAS III SD NEGERI 2

TIJAYAN

Oleh Dita Putri Susilasakti

NIM 13108241177 ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan hasil belajar pada materi pecahan sederhana melalui penerapan teori belajar Bruner di kelas III SD Negeri 2 Tijayan. Pembelajaran dengan menerapkan teori belajar Bruner melalui tiga tahapan yaitu tahap enaktif, ikonik, dan simbolik.

Jenis penelitian ini adalah Penelitian Tindakan Kelas (PTK) yang dilaksanakan selama dua siklus. Penelitian ini menggunakan model Kemmis dan Mc. Taggart (dalam Suwarsih Madya, 2009:67). Subjek dalam penelitian ini adalah siswa kelas III yang berjumlah 24 siswa, terdiri dari 6 siswa laki-laki dan 18 siswa perempuan. Objek dalam penelitian ini adalah peningkatan hasil belajar pecahan sederhana dengan menerapkan teori belajar Bruner. Teknik yang digunakan untuk pengumpulan data adalah tes, observasi, dan dokumentasi. Instrumen penelitian menggunakan tes tertulis, pedoman observasi guru, pedoman observasi siswa dan dokumentasi. Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis data kuantitatif dan analisis data kualitatif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa hasil belajar dengan menerapkan teori belajar Bruner pada materi pecahan sederhana mengalami peningkatan. Hal ini dapat dilihat dari ketuntasan belajar pada pra tindakan belum ada siswa yang mencapai ketuntasan, pada siklus I ketuntasan belajar mencapai 83,34% dan pada siklus II ketuntasan belajar meningkat menjadi 95,83%. Nilai rata-rata pada pre test adalah 51,63, pada post test 1 mencapai 82,92, dan pada siklus II meningkat menjadi 85. Peningkatan hasil belajar tersebut disebabkan oleh pembelajaran yang menerapkan tahapan teori belajar Bruner dan menggunakan alat peraga yang dapat membantu pola pikir siswa

(8)

viii

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT berkat limpahan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Peningkatan Hasil Belajar pada Bilangan Pecahan Sederhana melalui Penerapan Teori Belajar Bruner di Kelas III SD Negeri 2 Tijayan” ini dengan

lancar.

Skripsi ini diajukan kepada Fakultas Ilmu Pendidikan Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar Universitas Negeri Yogyakarta untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Pendidikan. Penyusunan skripsi ini tidak lepas dari bantuan dan kerjasama dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Rektor Universitas Negeri Yogyakarta yang telah memberikan kesempatan untuk melaksanakan penelitian.

2. Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta ysng telah memberikan ijin dan rekomendasi untuk keperluan penulisan skripsi. 3. Ketua Jurusan Pendidikan Sekolah Dasar yang telah memberikan

rekomendasi dan bantuan dari awal pembuatan proposal hingga terselesainya skripsi ini.

(9)

ix

petunjuk dan bimbingan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan lancar.

5. Ibu Surtini, S.Pd selaku Kepala Sekolah SD Negeri 2 Tijayan yang telah memberikan ijin penelitian di sekolah yang beliau pimpin.

6. Ibu Sumarni, S.Pd selaku Guru Kelas III yang telah mengijinkan penulis melakukan penelitian.

7. Ayah dan ibu yang selalu memberikan do’a, semangat, dan dukungan. 8. Teman-teman PGSD angkatan 2013, terutama kelas A UPP I yang telah

memberikan semangat dan dukungan.

9. Semua pihak yang telah memberikan bantuan terselesaikannya skripsi ini. Semoga apa yang telah mereka berikan senantiasa mendapat balasan yang baik dari Allah SWT. Penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Yogyakarta, 20 Maret 2017

(10)

x

DAFTAR GAMBAR ………...….... ...xiv

DAFTAR LAMPIRAN ………...… xvi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 6

C. Batasan Masalah... 7

D. Rumusan Masalah ... 7

E. Tujuan Penelitian ... 8

F. Manfaat penelitian ... 8

G. Definisi Operasional ... 9

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Hakikat Hasil Belajar Bilangan Pecahan ... 11

1. Tinjauan Hasil Belajar Bilangan Pecahan ... 11

(11)

xi

b. Pengertian Hasil Belajar ... 12

c. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Hasil Belajar ... 12

2. Kajian Tentang Pembelajaran Matematika di SD ... 144

a. Pembelajaran Matematika di Sekolah Dasar ... 20

b. Pembelajaran Matematika di Sekolah Dasar Kelas III ... 21

3. Bilangan Pecahan Sederhana ... 21

a. Pengertian Bilangan Pecahan ... 21

b. Pengertian Bilangan Pecahan Sederhana ... 24

c. Pembelajaran Bilangan Pecah di Kelas III SD ... 24

B. Karakteristik Siswa SD ... 47

C. Teori Belajar Bruner ... 49

D. Langkah pembelajaran matematika di sekolah dasar ... 53

E. Pengaruh Teori Belajar Bruner Terhadap Hasil Belajar Pecahan Sederhana ...55

F. Penelitian yang Relevan ... 56

G. Kerangka Pikir ... 56

H. Hipotesis Tindakan... 57

BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian ... 58

B. Subjek dan Objek Penelitian ... 59

C. Setting Penelitian ... 59

D. Model Penelitian ... 60

E. Rancangan Pelaksanaan Penelitian ... 60

F. Teknik Pengumpulan Data ... 63

G. Instrumen penelitian ... 64

H. Teknik analisis data ... 69

F. Indikator Keberhasilan ... 73

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A.Hasil Penelitian ... 74

(12)

xii

2. Deskripsi subjek penelitian ... 75

3. Deskripsi penelitian tahap awal ... 75

4. Deskripsi hasil tindakan siklus 1 ... 79

5. Deskripsi hasil tindakan siklus II ... 99

B. Pembahasan ... 117

C. Keterbatasan Penelitian ... 122

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 123

B. Saran ... 124

DAFTAR PUSTAKA ... 125

LAMPIRAN ... 127

(13)

xiii

DAFTAR TABEL

Hal

Tabel 1. Hasil rata-rata nilai UTS siswa ... 4

Tabel 2. Penjabaran SK, KD, dan Indikator ... 20

Tabel 3. Model untukpecahan dan cara membandingkannya ... 36

Tabel 4. Jadwal pelaksanaan penelitian ... 59

Tabel 5. Kisi-kisi soal pre-test ... 64

Tabel 6. Kisi-kisi soal evaluasi siklus I ... 65

Tabel 7. Kisi-kisi soal evaluasi siklus I ... 66

Tabel 8. Lembar observasi mengajar guru ... 67

Tabel 9. Lembar observasi kegiatan siswa ... 68

Tabel 10. Panduan konversi nilai ... 72

Tabel 11. Kegiatan Penelitian Tahap awal... 73

Tabel 12. Hasil pre test siswa ... 76

Tabel 13. Klasifikasi hasil pre test ... 77

Tabel 14. Jadwal pelaksanaan penelitian ... 78

Tabel 15. Hasil belajar siswa pada siklus I ... 90

Tabel 16. Klasifikasi Hasil belajar siswa pada siklus I ... 91

Tabel 17. Perbandingan hasil belajar pada pre test dan siklus 1... 93

Tabel 18. Perbandingan Klasifikasi hasil belajar pada pre test dan siklus 1 ... 93

Tabel 19. Refleksi pembelajaran pada siklus 1... 98

Tabel 20. Hasil belajar siswa siklus II ... 108

Tabel 21. Klasifikasi Hasil belajar siswa siklus II ... 109

Tabel 22. Perbandingan Hasil belajar siswa siklus I dan siklus II ... 111

(14)

xiv

Gambar 8. Panjang dari setara dengan panjang ,setara dengan panjang , dan . ... 40 Gambar 9. Model daerah ... 41

Gambar 10. Penerapan Pecahan Senilai melalui melipat kertas ... 42

Gambar 11. cara membandingkan bagian dari keseluruhan ... 42

Gambar 12. Model daerah... 43

Gambar 13. Contoh model himpunan... 44

Gambar 14. Model himpunan menggunakan gambar apel dan jeruk... 46

Gambar 15. Proses Penelitian Tindakan Kemmis dan Mc Taggart (Suwarsih Madya, 2009:67)... 60

Gambar 16. Grafik hasil belajar siswa pada pre-test ... 77

Gambar 17. Tahap enaktif, ikonik, dan simbolik yang dilakukan oleh guru... 83

Gambar 18. Tahap enaktif oleh siswa pada siklus 1 pertemuan 1... 84

Gambar 19. Tahap ikonik oleh siswa pada siklus 1 pertemuan 1... 84

Gambar 20. Tahap simbolik oleh siswa pada siklus 1 pertemuan 1... 85

(15)

xv

Gambar 22. Tahap enaktif oleh siswa pada siklus 1 pertemuan 2 ... 87 Gambar 23. Tahap ikonik oleh siswa pada siklus 1 pertemuan 2 ... 87 Gambar 24. Tahap simbolik oleh siswa pada siklus 1 pertemuan 2 ... 88 Gambar 25. Tahap ikonik pengurangan pecahan oleh siswa pada siklus 1

pertemuan 2 ... 89 Gambar 26. Tahap simbolik pengurangan pecahan oleh siswa pada siklus

1 pertemuan 2 ... 89

Gambar 27. Grafik Hasil belajar siswa siklus 1 ... 92 Gambar 28. Grafik Perbandingan Hasil Belajar Matematika Pra Tindakan

dan Siklus I ... 94 Gambar 29. Siswa memperagakan tahap enaktif, ikonik, dan simbolik

memalui mengerjakan LKS... 96 Gambar 30. Kegiatan apersepsi menggunakan kertas lipat ... 101 Gambar 31. Pecahan senilai dari yang dilakukan oleh siswa ... 102 Gambar 32. Tahap enaktif yang dilakukan oleh siswa pada siklus 2

pertemuan 1 ... 103 Gambar 33. Tahap ikonik yang dilakukan oleh siswa pada siklus 2

pertemuan 1 ... 104 Gambar 34. Tahap simbolik yang dilakukan oleh siswa pada siklus 2

pertemuan 1 ... 104 Gambar 35. Tahap enaktif oleh siswa pada siklus 2 pertemuan 2 ... 106 Gambar 36. Tahap ikonik dan simbolik oleh siswa pada siklus 2

pertemuan 2 ... 107 Gambar 37. Grafik Klasifikasi Hasil Belajar Siklus II ... 110 Gambar 38. Grafik Perbandingan Hasil Belajar Matematika Pra

(16)

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

hal

Lampiran 1. Daftar Nama Siswa ... 128

Lampiran 2. Rencana Pelaksanaan pembelajaran siklus I dan siklus II ... 129

Lampiran 3. Soal pre-test, post test I, dan post test II ... 166

Lampiran 4. Hasil belajar siswa ... 177

Lampiran 5. Lembar observasi ... 181

Lampiran 6. Dokumentasi aktivitas siswa dan aktivitas guru ... 198

(17)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pembelajaran matematika merupakan suatu proses belajar mengajar yang dapat meningkatkan kemampuan berpikir, kemampuan berargumentasi, dan dapat mengembangkan kreativitas berpikir siswa. Menurut Soedjadi (dalam Heruman, 2008:1), hakikat matematika yaitu memiliki objek tujuan abstrak, bertumpu pada kesepakatan, dan pola pikir yang deduktif.

Guru sebagai posisi kunci dalam pelaksanaan pendidikan merupakan pihak yang berpengaruh besar dalam proses pembelajaran. Guru harus mampu menempatkan diri sebagai motivator, fasilitator, dan organisator di dalam kelas. Guru juga harus mampu model pembelajaran yang sesuai. Model pembelajaran yang dimaksud adalah model pembelajaran yang sesuai dengan perkembangan siswa dan model pembelajaran yang dapat mengaktifkan siswa dalam menemukan sebuah konsep matematika.

Secara khusus, tujuan pembelajaran matematika di Sekolah Dasar sebagaimana yang disajikan oleh Depdiknas dalam Ahmad Susanto (2015:190) adalah sebagai berikut:

(18)

2

2. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika.

3. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model, dan menafsirkan solusi yang diperoleh.

4. Mengomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk menjelaskan keadaan atau masalah.

5. Memiliki sikap menghargai penggunaan matematika dalam kehidupan sehari-hari.

Menurut Ahmad Susanto (2015:191), Pada proses pembelajaran matematika perlu mendapatkan perhatian yang serius. Hal ini dikarenakan hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa proses pembelajaran matematika masih belum menunjukkan hasil yang dikatakan memuaskan. Pada penelitian sumarno dkk yang dilakukan pada tahun 1999 (Ahmad Susanto, 2015:191) mengatakan bahwa hasil belajar matematika siswa Sekolah Dasar belum memuaskan, juga adanya kesulitan belajar yang dihadapi siswa dan kesulitan yang dihadapi guru dalam mengajarkan matematika. Begitu juga hasil penelitian yang dilakukan oleh Soedjadi pada tahun 2000 (Ahmad Susanto, 2015:191) mengemukakan bahwa daya serap rata-rata siswa sekolah dasar untuk mata pelajaran matematika hanya sebesar 42%.

Peneliti melakukan observasi untuk mengetahui keadaan awal pembelajaran matematika di kelas III SD Negeri 2 Tijayan, Manisrenggo, Klaten. Berdasarkan hasil observasi kegiatan belajar mengajar matematika di kelas III SD tersebut hal-hal yang ditemui adalah:

(19)

3

saat menjelaskan materi sehingga sebagian besar siswa dapat mengerjakan LKS setelah mendengarkan penjelasan contoh dari guru.

Hal kedua yang peneliti temukan adalah siswa selalu mematuhi perintah guru. Misalnya jika siswa diminta oleh guru untuk mengerjakan soal maka siswa akan mengerjakannya sampai selesai walaupun masih ada hasil pekerjaan yang kurang tepat. Jika siswa diminta untuk mengumpulkan hasil pekerjaan maka siswa akan mengumpulkan hasil pekerjaannya.

Pada saat guru menjelaskan perhatian siswa terpusat kepada guru. Tidak ada siswa yang mengerjakan pekerjaan lain ketika guru menjelaskan dan jarang terdapat siswa yang gojek/mengobrol dengan temannya sehingga suasana kelas sangat kondusif.

Jika dilihat dari segi guru, guru menjelaskan materi secara detail dan pelan. Guru juga selalu memberikan contoh dari konsep yang diajarkan. Hal tersebut dapat mendorong siswa untuk dapat memahami dan mengerjakan soal yang diberikan oleh guru. Selain itu guru selalu mengecek pekerjaan siswa secara berkeliling sehingga guru mengerti siswa yang kurang paham dan yang sudah paham. Siswa yang kurang paham diberikan sedikit penjelasan agar ia dapat mengerjakan.

(20)

4

Pertama, Guru masih menggunakan metode pembelajaran ceramah dan penugasan secara dominan. Pada awal pembelajaran guru menggunakan metode ceramah dan sedikit tanya jawab dilanjutkan untuk memberi contoh suatu konsep matematika. Kemudian dilanjutkan dengan penugasan seperti contoh yang diberikan oleh guru. Dalam hal ini, guru juga dapat menggunakan metode di mana siswa dapat menemukan sendiri berbagai pengetahuan yang diperlukannya. Sehingga siswa akan memahami apa yang sudah diperolehnya dan apa yang ia pelajari akan lebih dimengerti karena bukan sekedar hafalan.

Kedua, Kurangnya keterlibatan siswa dalam proses pembelajaran matematika. Sebagian besar anak memperhatikan guru ketika menjelaskan materi namun siswa tersebut berperan pasif. Seharusnya dalam suatu proses pembelajaran siswa dapat berperan aktif tidak hanya mendengarkan penjelasan guru dan mengerjakan soal di buku tugas saja tetapi siswa juga perlu aktif dalam kegiatan pembelajaran dan aktif dalam menemukan konsep matematika sendiri.

Ketiga, rendahnya hasil belajar matematika siswa. Hal ini selain dipengaruhi oleh faktor internal maupun eksternal juga dapat dipengaruhi oleh metode yang diterapkan guru dalam pembelajaran. Karena dalam pembelajaran anak belajar dengan menghafal bukan memahami. Berikut ini disajikian tabel hasil Ulangan Tengah Semester I (UTS) SD Negeri 2 Tijayan:

Tabel 1. Hasil rata-rata nilai UTS siswa

No Mata Pelajaran KKM Rata-Rata Nilai

1. Bahasa Indonesia 60 73

2. Matematika 50 66

(21)

5

Berdasarkan tabel diatas, nilai rata matematika lebih rendah dari rata-rata mata pelajaran yang lain. Rendahnya hasil belajar matematika pada siswa tersebut, dipengaruhi oleh beberapa faktor yang menyebabkannya.. Faktor tersebut dapat digolongkan kedalam faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal merupakan faktor yang bersumber dari diri peserta didik itu sendiri. Contoh dari faktor internal adalah kecerdesan, minat, perhatian, motivasi belajar, sikap kebiasaan belajar, ketekunan, dan kondisi fisik, sedangkan faktor eksternal adalah faktor yang berasal dari luar diri peserta didik yang dapat mempengaruhi yaitu kondisi keluarga, sekolah, dan masyarakat.

(22)

6

Berdasarkan kondisi tersebut maka diperlukan pengembangan dan peningkatan mutu dalam pembelajaran matematika. Peningkatan mutu dalam pembelajaran matematika dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan belajar yang tepat dalam kegiatan belajar mengajar di sekolah. Salah satunya yakni menggunakan metode belajar dengan menerapkan teori belajar Bruner.

Teori belajar Bruner merupakan teori belajar yang meliputi tiga tahap yaitu enaktif, ikonik, dan simbolik. Tahap pertama adalah dengan menggunakan contoh benda-benda konkret (enactive), tahap kedua semi konkret/gambar (iconic) dan tahap ketiga berupa abstrak (symbolic). Dengan menggunakan media pembelajaran seperti yang disebutkan diatas, siswa dapat lebih mudah dalam memahami suatu konsep matematika. Siswa juga akan terlibat aktif dalam proses pembelajaran. Selain itu, penerapan teori bruner dalam pembelajaran matematika sesuai dengan perkembangan anak dari berpikir konkrit sampai ke abstrak. Oleh karena itu, peneliti akan bekerjasama dengan guru kelas III untuk menerapkan teori belajar Bruner.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan diatas, maka permasalahan yang ada dapat diidentifikasi sebagai berikut :

(23)

7

2. Guru belum menggunakan alat peraga atau media untuk membantu kemampuan pola pikir siswa.

3. Siswa kurang aktif dalam proses pembelajaran matematika.

4. Beberapa siswa mengobrol dengan temannya dan kurang memperhatikan penjelasan guru.

5. Rendahnya hasil belajar matematika khususnya materi bilangan pecahan sederhana.

6. Guru belum menggunakan teori belajar Bruner dalam pembelajaran matematika khususnya materi pecahan sederhana.

C. Batasan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah tersebut, peneliti merumuskan masalah, sebagai fokus dari penelitian ini yaitu tentang bagaimana peran guru dalam upaya meningkatkan hasilbelajar pada pecahan sederhana melalui penerapan teori belajar Bruner siswakelas III SD Negeri 2 Tijayan.

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan dari penelitian ini yaitu “Bagaimana meningkatkan hasil belajar

(24)

8 E. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan hasil belajar konsep pecahan sederhana pada siswa kelas III SD Negeri 2 Tijayan melalui implementasi teori belajar Bruner.

F. Manfaat penelitian

Rumusan manfaat penelitian yang dilaksanakan di kelas III SD Negeri 2 Tijayan adalah sebagai berikut:

1. Bagi guru:

a. mempunyai pengalaman melaksanakan kegiatan belajar mengajar dengan menerapkan teori bruner pada materi pecahan, dan

b. mengetahui upaya untuk meningkatkan hasil belajar konsep pecahan siswa kelas iv melalui implementasi teori belajar bruner.

2. Bagi siswa:

a. siswa dapat menemukan konsep pecahan sederhana melalui penerapan teori belajar bruner,

b. memperoleh hasil belajar yang tinggi khususnya pada materi pecahan, dan c. mendapat pengalaman aktif dalam kegiatan pembelajaran.

3. Bagi sekolah:

a. memberikan informasi yang dapat meningkatkan kualitas pembelajaran di sekolah, khususnya pada pembelajaran matematika, dan

(25)

9 G. Definisi Operasional

1. Hasil Belajar

Hasil belajar yang dimaksud adalah pencapaian nilai siswa dari kegiatan pembelajaran yang telah dilakukan oleh siswa pada materi pecahan sederhana dan diukur dengan menggunakan tes hasil belajar. Hasil belajar dikatakan berhasil bila nilai rata-rata hasil tes siswa ≥70.

2. Bilangan Pecahan Sederhana

Bilangan pecahan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah materi mengenal/memahami konsep pecahan sederhana pada kelas III semester 2, dengan materi pokok: 1) mengenal pecahan sederhana (setengah, seperdua, sepertiga, seperempat, seperlima), 2) membaca dan menulis pecahan yang berpenyebut sama, 3) menjumlahkan dua bilangan pecahan yang berpenyebut sama, 4) mengurangkan dua bilangan pecahan yang berpenyebut sama, 5) membandingkan dua pecahan, dan 6) memecahkan masalah yang berkaitan dengan pecahan. Skor hasil belajar bilangan pecahan sederhana dapat dilihat pada tes hasil belajar pada pada akhir proses pembelajaran setelah dilakukan tindakan.

3. Teori Belajar Bruner

(26)

10

(27)

11

BAB II KAJIAN PUSTAKA

A. Hakikat Hasil Belajar Bilangan Pecahan

1. Tinjauan Hasil Belajar Bilangan Pecahan a. Pengertian Belajar

Menurut R. Gagne (Ahmad Susanto, 2015: 1) belajar adalah suatu proses dimana suatu organisme berubah perilakunya sebagai akibat pengalaman. Belajar dimaknai sebagai suatu proses untuk memperoleh motivasi dalam pengetahuan, keterampilan, kebiasaan, dan tingkah laku.

Menurut W.S. Winkel (Ahmad Susanto, 2015: 4) belajar adalah suatu aktivitas mental yang berlangsung dalam interaksi aktif antara seseorang dengan lingkungan, dan menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan, pemahaman, keterampilan, dan nilai sikap yang bersifat relatif konstan dan berbekas.

Menurut Ahmad Susanto (2015:4) belajar adalah suatu aktivitas yang dilakukan seseorang dengan sengaja dalam keadaan sadar untuk memperoleh suatu konsep, pemahaman atau pengetahuan baru sehingga memungkinkan seseorang terjadinya perubahan perilaku yang relatif tetap baik dalam berpikir, merasa, maupun dalam bertindak.

(28)

12

tingkah laku yang berlangsung dalam interaksi aktif antara seseorang dengan lingkungan, dan menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan, pemahaman, keterampilan, serta nilai sikap yang dilakukan seseorang secara sadar.

b. Pengertian Hasil Belajar

Menurut Winkel (Purwanto, 39) Hasil belajar adalah perubahan yang mengakibatkan manusia berubah dalam sikap dan tingkah lakunya.

Menurut Nawawi (Ahmad Susanto, 2015: 5) hasil belajar adalah tingkat keberhasilan siswa dalam mempelajari materi pelajaran di sekolah yang dinyatakan dalam skor yang diperoleh dari hasil tes mengenal sejumlah materi pelajaran tertentu.

Menurut Ahmad Susanto, (2015: 5) hasil belajar adalah perubahan-perubahan yang terjadi pada diri siswa baik yang menyangkut aspek kognitif, afektif, dan psikomotor sebagai hasil dari kegiatan belajar.

Berdasarkan berbagai pengertian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa hasil belajar adalah tingkat keberhasilan siswa dalam mempelajari materi pelajaran di sekolah yang mengakibatkan perubahan pada aspek kognitif, afektif, dan psikomotor sebagai hasil dari kegiatan belajar.

c. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Hasil Belajar

(29)

13

mempengaruhi baik faktor internal maupun eksternal. Uraian mengenai faktor internal dan eksternal adalah sebagai berikut:

1) Faktor internal:

Faktor internal merupakan faktor yang bersumber dari dalam diri peserta didik itu sendiri yang mempengarui kemampuan belajarnya. Faktor internal dapat digolongkan ke dalam: kecerdasan, minat dan perhatian, motivasi belajar, ketekunan, sikap, kebiasaan belajar, serta kondisi fisik dan kesehatan.

2) Faktor eksternal

Faktor eksternal merupakan faktor yang berasal dari luar diri peserta didik yang mempengaruhi hasil belajar. Faktor eksternal antara lain: keluarga, sekolah, dan masyarakat. Keadaan keluarga berpengaruh terhadap hasil belajar siswa misalnya perhatian orangtua yang kurang terhadap anaknya, serta kebiasaan sehari-hari berperilaku yang kurang baik dari orangtua dalam keidupan seari-hari berpengaruh dalam hasil belajar peserta didik.

Ruseffendi dalam Ahmad Susanto (2015:14) mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi hasil belajar ke dalam sepuluh macam yaitu kecerdasan, kesiapan anak, bakat anak, kemauan belajar, minat anak, model penyajian materi, pribadi dan sikap guru, suasana belajar, kompetensi guru, dan kondisi masyarakat.

(30)

14

2. Kajian Tentang Pembelajaran Matematika di SD

a. Pembelajaran Matematika di Sekolah Dasar

Menurut ahmad susanto (2015:184) kata matematika berasal dari bahasa Latin, manthanein atau mathema yang berarti “belajar atau hal yang dipelajari” sedang dalam bahasa Belanda, matematika disebut wiskunde atau ilmu pasti yang kesemuanya berkaitan dengan penalaran.

Matematika dapat diartikan sebagai sebagai ilmu deduktif, matematika juga dapat diartikan sebagai bahasa, seni, dan ratunya ilmu, matematika adalah ilmu tentang struktur yang teroganisasikan dengan baik, dan matematika adalah ilmu tentang pola dan hubungan.

1) Matematika sebagai ilmu deduktif

Menurut kelompok matematikawan dalam ruseffendi (1992:27) matematika adalah ilmu tentang sruktur yang bersifat deduktif atau aksiomatik , akurat, abstrak , ketat dan sebagainya. Menurut Reys dkk. (dalam Ruseffendi 1992:27) mengatakan bahwa matematika adalah telaahan tentang pola dan hubungan, suatu jalan atau pola berpikir, suatu seni, suatu bahasa , dan suatu alat.

(31)

15 (2m + 1) + ( 2n + 1) = 2(m + n + 1)

Karena m dan n bilangan bulat, maka (m + n + 1) bilangan bulat, sehingga 2(m + n + 1) adalah bilangan genap, jadi jumlah dua buah bilangan ganjil selalu genap.

Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa matematika dapat diartikan sebagai ilmu deduktif karena metode mencari kebenaran yang di pakai oleh matematika adalah metode dekdutif.

2) Matematika sebagai bahasa, seni, dan ratunya ilmu

Matematika adalah bahasa internasional, karena di setiap saat, di setiap jenjang sekolah dan di setiap negara tentunya akan mengerti apa yang di maksud dengan 2 + 6 = 8. Bahasa matematika tersebut, untuk siapa saja kapan saja dan di mana saja pasti akan mempunyai pengertian yang sama. Jadi bahasa matematika adalah bahasa yang universal dan berlaku secara umum yang sudah di sepakati secara internasional.

Selain sebagai bahasa internasional, matematika dapat disebut dengan bahasa simbol, karena dalam matematika itu banyak digunakan simbol-simbol seperti -, +, √, , %, x, ̰ , ∞, dan sebagainya.

(32)

16

Matematika dapat disebut dengan ratunya ilmu, matematika adalah bahasa yang tidak tergantung pada bidang studi lain yang mengunakan simbol dan istilah yang cermat yang disepakati secara universal sehingga mudah dipahami.

3) Matematika adalah ilmu tentang struktur yang teroganisasikan dengan baik Menurut Ruseffendi belajar matematika adalah belajar tentang konsep-konsep dan struktur-struktur yang terdapat dalam bahasan yang dipelajari serta mencari hubungan-hubungan antara konsep-konsep dan struktur-struktur tersebut. 4) Matematika adalah ilmu tentang pola dan hubungan

Matematika dapat juga disebut sebagai ilmu tentang pola dan hubungan karena dalam matematika kita sering mencari keseragaman agar dapat membuat generalisasinya. Dalam mencari hubungan pola itu kita perlu memperlihatkan keteraturan, keterurutan, keterkaikan (hubungannya), kecenderungannya (menebak dan menduga). Setelah melakukan hal-hal tersebut kita akan mendapat pola dari suatu konsep matematika. Contoh:

10 adalah jumlah dari bilangan prima 3 dan 7 18 adalah jumlah dari bilangan prima 7 dan 11

30 adalah jumlah dari bilangan prima 13 dan 17, dan seterusnya

(33)

17

Ebbutt dan Straker dalam jurnal Marsigit (2000:9-12), memberikan pedoman bagi revitalisasi pendidikan matematika:

1) Matematika adalah kegiatan penelusuran pola dan hubungan. Implikasi dari pandangan ini terhadap pembelajaran adalah:

a) memberi kesempatan kepada siswa untuk melakukan kegiatan penemuan dan penyelidikan pola-pola untuk menentukan hubungan yang mungkin terjadi . b) memberi kesempatan kepada siswa untuk melakukan percobaan dengan

berbagai cara menurut cara mereka sendiri.

c) mendorong siswa untuk menemukan adanya urutan, perbedaan, perbandingan, pengelompokan, dari aktivitas yang siswa lakukan.

d) mendorong siswa dapat menarik kesimpulan umum dari aktivitas yang siswa lakukan.

e) membantu siswa dapat mengetahui dan menemukan hubungan antara pengertian satu dengan yang lainnya.

2) Matematika adalah kreativitas yang memerlukan imajinasi, intuisi dan penemuan.

Implikasi dari pandangan ini terhadap pembelajaran adalah :

a) Melalui kegiatan penemuan dapat mendorong inisiatif siswa dan memberikan kesempatan berpikir yang berbeda dengan yang lain.

(34)

18

c) Menghargai penemuan yang muncul diluar perkiraan sebagai hal bermanfaat d) Melalui kegiatan yang mengasah kreativitas dapat mendorong siswa

menemukan struktur dan desain matematika.

e) mendorong siswa menghargai penemuan siswa yang lainnya karena hal yang ditemukan oleh siswa yang satu berbeda dengan siswa yang lainnya.

f) mendorong siswa dapat berfikir refleksif. 3) Matematika adalah kegiatan problem solving

Implikasi dari pandangan ini terhadap pembelajaran adalah :

a) menyediakan lingkungan belajar matematika yang dapat merangsang timbulnya persoalan matematika bagi siswa.

b) membantu siswa memecahhkan persoalan matematika yang siswa temukan menggunakan caranya sendiri .

c) membantu siswa untuk mencari informasi yang diperlukan untuk memecahkan persoalan matematika.

d) mendorong siswa untuk berpikir logis, konsisten, sistematis.

e) mengembangkan kemampuan dan ketrampilan siswa untuk dapat memecahkan persoalan yang mereka temukan.

f) membantu siswa mengetahui bagaimana dan kapan menggunakan berbagai alat peraga matematika seperti : jangka, kalkulator, dsb.

4) Matematika merupakan alat berkomunikasi

(35)

19

b) mendorong siswa untuk dapat membuat contoh sifat matematika. c) mendorong siswa untuk dapat menjelaskan sifat matematika.

d) mendorong siswa memberikan alasan mengapa kegiatan matematika itu perlu. e) mendorong siswa untuk terbiasa membicarakan persoalan matematika.

f) mendorong siswa untuk terbiasa membaca dan menulis matematika.

Menurut depdiknas (2001: 9, dalam Ahmad Susanto 2015: 190) kompetensi atau kemampuan umum pembelajaran matematika di sekolah dasar, sebagai berikut:

1) Melakukan operasi hitung penjumlahan, pengurangan, perkalian, pembagian beserta operasi campurannya, termasuk yang melibatkan pecahan,

2) Menentukan sifat dan unsur berbagai bangun datar dan bangun ruang sederhana, termasuk penggunaan sudut, keliling, luas, dan volume.

3) Menentukan sifat simetri, kesebangunan dan sistem koordinat.

4) Menggunakan pengukuran: satuan, kesetaraan antar satuan, dan penaksiran pengukuran.

5) Menentukan dan menafsirkan data sederhana, seperti: ukuran tertinggi, terendah, rata-rata, modus, mengumpulkan, dan menyajikannya.

6) Memecahkan masalah, melakukan penalaran, dan mengomunikasikan gagasan secara matematika

Secara khusus, tujuan pembelajaran matematika di Sekolah Dasar sebagaimana yang disajikan oleh Depdiknas dalam Ahmad Susanto (2015:190) adalah sebagai berikut:

1) Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep, dan mengaplikasikan konsep atau algoritma.

2) Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika.

3) Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model, dan menafsirkan solusi yang diperoleh.

4) Mengomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk menjelaskan keadaan atau masalah.

(36)

20

b. Pembelajaran Matematika di Sekolah Dasar Kelas III

Salah satu Standar Kompetensi matematika di Sekolah Dasar adalah Kompetensi Dasar adalah Standar Kompetensi 3. Memahami pecahan sederhana dan penggunaannya dalam pemecahan masalah. Dalam Standar Kompetensi ini terdapat tiga Kompetensi Dasar yaitu: 3.1 Mengenal pecahan sederhana, 3.2 membandingkan pecahan sederhana , dan 3.3 memecahkan masalah yang berkaitan dengan pecahan sederhana. Berikut merupakan penjabaran indikator dari Kompetensi Dasar tersebut:

Tabel 2. Penjabaran Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Mata Pelajaran Matematika Kelas III SD

Standar Kompetensi Kompetensi Dasar Indikator 3.Memahami pecahan

3.1.1 Mengenal pecahan sederhana (setengah, sepertiga, seperempat, seperlima)

3.1.2 membaca dan menulis pecahan yang berpenyebut sama 3.1.3 menjumlahkan dua bilangan pecahan yang berpenyebut sama

(37)

21 3.2 Membandingkan pecahan sederhana

3.2.1 menyajikan nilai pecahan menggunakan berbagai gambar 3.2.1 membandingkan dua pecahan

3.3 memecahkan masalah yang berkaitan dengan pecahan sederhana

3.3.1 memecahkan masalah yang berkaitan dengan pecahan

3.3.2 menjumlahkan pecahan 3.3.3 mengurangkan pecahan

3. Bilangan Pecahan Sederhana

a. Pengertian Bilangan Pecahan

Menurut Heruman (2007:43) pecahan dapat diartikan sebagai bagian dari sesuatu yang utuh. Dalam ilustrasi gambar, bagian yang dimaksudkan adalah bagian yang diperhatikan, yang biasanya ditandai dengan arsiran. Bagian yang diarsir tersebut dinamakan pembilang. Adapun bagian yang utuh adalah bagian yang dianggap sebagai satuan, dan dinamakan penyebut.

Menurut Darhim, dkk (1991:163) bilangan pecahan adalah bilangan yang

lambangnya dapat ditulis dengan di mana a dan b ≠ 0. Pada pecahan , a

(38)

22

Menurut Lisnawaty Simanjuntak dkk (1992:153) pecahan pada matematika Sekolah Dasar dapat didasarkan atas pembagian suatu benda atau himpunan atas beberapa bagian yang sama.

Menurut Yuwanto (2009:4) Pecahan merupakan bilangan yang dinyatakan oleh bilangan bulat (pembilang) yang dibagi oleh bilangan bulat yang lain (penyebut). Pecahan juga dapat disebut sebagai bilangan rasional karena pecahan merupakan perbandingan (rasio) bilangan bulat.

Berdasarkan pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa pecahan merupakan bagian dari sesuatu yang utuh yang lambangnya dapat ditulis dengan

. Pada pecahan , a disebut pembilang dan b disebut penyebut.

b. Bentuk pecahan

Beberapa bentuk pecahan menurut Mutijah dan Ifada (2009:97) adalah sebagai berikut:

1) Pecahan biasa

Pecahan biasa adalah pecahan yang bentuk penulisannya dengan a dan b adalah

bilangan cacah dan b ≠ dengan 0 serta a < b. Dalam hal ini a dan b bisa mempunyai faktor persekutuan atau tidak mempunyai faktor persekutuan.

2) Pecahan yang ekuivalen

Pecahan = = merupakan pecahan yang ekuivalen, artinya ketiga pecahan

(39)

23 3) Pecahan paling sederhana

Bentuk pecahan disebut paling sederhana jika pembilang dan penyebutnya tidak mempunyai faktor persekutuan.

Contoh:

Bentuk pecahan , , , dan merupakan pecahan-pecahan paling sederhana.

4) Pecahan senama

Pecahan disebut senama jika mempunyai penyebut yang sama. Contoh:

Pecahan-pecahan , , dan merupakan pecahan senama.

5) Pecahan campuran

Pecahan campuran adalah pecahan yang pembilangnya lebih besar dari penyebutnya sehingga jika disederhanakan akan menghasilkan bentuk bulat pecahan.

Menurut Yuwanto Nugroho (2013:4), pecahan dapat dibedakan menjadi berikut: 1) Pecahan wajar adalah pecahan yang memiliki pembilang lebih kecil daripada

penyebut. Contoh , , ,

2) Pecahan tak wajar adalah pecahan yang memiliki pembilang lebih besar dari

penyebut. Contoh , , ,

3) Pecahan campuran adalah pecahan yang terdiri atas bilangan bulat dan

(40)

24

Berdasarkan data diatas dapat disimpulkan bahwa macam-macam pecahan adalah sebagai berikut: pecahan biasa, pecahan yang ekuivalen (pecahan senilai/seharga), pecahan paling sederhana, pecahan senama, pecahan campuran, dan pecahan wajar (pecahan sederhana).

c. Pengertian Bilangan Pecahan Sederhana

Pecahan sederhana yaitu pecahan yang memiliki pembilang lebih kecil dari penyebutnya. Dalam Yuwanto Nugroho (2009:3) pecahan sederhana juga disebut pecahan wajar.

Menurut Mutijah dan Ifada (2009:97) bentuk pecahan disebut paling sederhana jika pembilang dan penyebutnya tidak mempunyai faktor persekutuan. Contoh:

Bentuk pecahan , , , dan merupakan pecahan-pecahan paling sederhana.

Oleh karena itu, pecahan paling sederhana adalah pecahan yang pembilang dan penyebutnya tidak mempunyai faktor persekutuan kecuali 1.

d. Pembelajaran Bilangan Pecah di Kelas III SD 1) Mengenal pecahan sederhana

a) Penanaman Konsep

(41)

25

(1) Dalam pengenalan pecahan , siswa melipat kertas lipat menjadi dua bagian

yang sama. Siswa memberi garis bekas lipatan dan mengarsir salah satu bagian lipatan.

Kertas utuh

Gambar 1. Peragaan konsep pecahan (2) Siswa kemudian diberi beberapa pertanyaan:

(a) Berapa bagian kertas yang telah dilipat? (Jawaban yang diharapkan adalah 2 bagian)

(b) Berapa bagian kertas yang diarsir? (Jawaban yang diharapkan adalah 1 bagian)

(c) Berapa bagian kertas yang diarsir dari semua bagian? (Jawaban yang diharapkan adalah 1 dari 2)

Apabila ditulis dalam bentuk pecahan:

(3) Untuk memberi pengenalan pecahan , guru dapat memberikan permasalahan

dalam kehidupan sehari-hari yang berkaitan dengan pecahan.

(4) Siswa melakukan peragaan melalui melipat kertas lipat menjadi dua bagian yang sama. Kemudian, siswa melipat lagi dengan arah yang berbeda. Siswa

dilipat menjadi dua bagian

(42)

26

memberi garis bekas lipatan tersebut dan mengarsir salah satu bagian lipatan dari 4 lipatan yang terbentuk.

Kertas utuh

Gambar 2. Peragaan konsep pecahan (1) Siswa kemudian diberi beberapa pertanyaan:

(a) Berapa bagian kertas yang telah dilipat? (Jawaban yang diharapkan adalah 4 bagian)

(b) Berapa bagian kertas yang diarsir? (Jawaban yang diharapkan adalah 1 bagian)

(c) Berapa bagian kertas yang diarsir dari semua bagian? (Jawaban yang

diharapkan adalah 1 dari 4). Apabila ditulis dalam bentuk pecahan: Dilipat menjadi dua

bagian

Dilipat lagi menjadi dua bagian Salah satu bagian

(43)

27 b.Pemahaman Konsep

Siswa diminta menunjukan pecahan dan dari gambar yang disajikan.

Gambar dapat berbentuk persegi atau lingkaran ataupun bentuk bangun datar yang lain, misalnya:

(1) Berilah tanda √ pada gambar yang menunjukkan pecahan !

(2) Berilah tanda √ pada gambar yang menunjukkan pecahan ! ...

...

... ...

...

...

(44)

28 c. Pembinaan Keterampilan

Pembinaan keterampilan tentang konsep pecahan dan ini dapat dilakukan

dengan kegiatan berikut.

(1) Bagilah dan arsirlah masing-masing gambar di bawah ini untuk menunjukkan

pecahan !

(2) Bagilah dan arsirlah masing-masing gambar di bawah ini untuk menunjukkan

pecahan !

(45)

29

2) Membaca dan menulis pecahan yang berpenyebut sama,

Menurut Yuwanto Nugroho (2009:3) Setiap pecahan memiliki sebuah bilangan atas dan sebuah bilangan bawah. Bilangan atas sebuah pecahan disebut pembilang dan bilangan bawah sebuah pecahan disebut penyebut.

pe i g pe ye

Menurut Yuwanto Nugroho (2009:3) Bilangan atas sebuah pecahan adalah nama depannya. Bilangan ini menerangkan berapa banyak potongan, disebut pembilang. Garis pada pecahan memiliki arti “dibagi oleh”. Sehingga sama

artinya dengan 1 : 4. Bilangan bawah merupakan nama belakang. Bilangan ini

menerangkan berapa ukuran potongan, dinamakan penyebut. Bilangan dibaca

satu perempat, dibaca satu perduabelas (atau seperduabelas), dibaca satu

perdua atau seperdua atau setengah, dan seterusnya. Jadi, pembacaan nama pecahan adalah dengan aturan: “pembilang” + “per+Penyebut”

3) Menjumlahkan dua bilangan pecahan yang berpenyebut sama a) Penanaman Konsep

Media yang diperlukan: Kertas lipat Langkah kegiatan pembelajaran:

(1) Siswa diingatkan kembali tentang nilai pecahan dan pecahan senilai.

Siswa diminta menunjukkan pecahan melalui arsiran satu bagian lipatan kertas.

(46)

30

(2) Pada peragaan penjumlahan pecahan guru menyediakan dua lembar kertas lipat, siswa diminta untuk melipat menjadi empat bagian yang sama pada lembar kertas pertama dan kertas kedua kemudian salah satu bagian diarsir

untuk menunjukan pecahan .

(3) Siswa memperhatikan dua kertas hasil lipatan yang telah diarsir. kertas pertama kertas kedua

Kertas utuh Dilipat menjadi

dua bagian Lipatan pertama, bagian yang diarsir :

bagian

Dilipat lagi menjadi dua bagian Lipatan kedua, bagian

(47)

31

(4) Siswa melakukan peragaan dengan memotong salah satu arsiran dan menempelkan pada kertas yang satunya sehingga siswa akan menunjukkan

hasil penjumlahan dari + seperti gambar berikut ini:

+ = + =

Gambar 3. Peragaan penjumlahan berpenyebut sama ( + ) (5) Siswa kemudian mencoba menunjukkan penjumlahan + = ⋯

dipotong dan ditempelkan pada kertas yang satunya

+ = + =

Gambar 4. Peragaan penjumlahan berpenyebut sama ( + ) dipotong dan ditempelkan pada kertas yang satunya

(48)

32

Siswa diberi penekanan bahwa dalam penulisan proses penjumlahan ini adalah pada penulisan penyebut tidak dijumlahkan. Penulisan dua penyebut menjadi satu penyebut harus dilakukan agar terbentuk dalam pemikiran siswa bahwa bilangan penyebut harus sama dan tidak dijumlahkan.

a) Pemahaman Konsep

Agar mengetahui apakah siswa benar-benar memahami topik penjumlahan

pecahan kita dapat memberikan contoh soal dengan jawaban yang benar dan salah sebagai berikut.

Benar atau salahkan pernyataan dibawah ini?

a. + = +

+ = c. + =

+

=

b. + = + = d. + = + =

b) Pembinaan Keterampilan

Pembinaan keterampilan dapat dilakukan dengan pemberian latihan soal, termasuk soal cerita.

(1) Fafa dan Dio masing-masing mempunyai bagian kue. Berapa banyaknya kue

Fadly dan Imran?

(2) Dion telah menyelesaikan pekerjaan, sedangkan Robi telah menyelesaikan

(49)

33

4) Mengurangkan dua bilangan pecahan yang berpenyebut sama. a) Penanaman Konsep

Media yang diperlukan: Kertas lipat Langkah kegiatan pembelajaran

(1) Siswa diingatkan kembali tentang penjumlahan pecahan yang berpenyebut sama.

(2) Siswa melipat kertas menjadi empat bagian yang sama kemudian mengarsir

dua bagian untuk menunjukkan pecahan .

(3) Siswa melakukan peragaan pengurangan − sebagai berikut:

− = − =

Gambar 5. Peragaan penguranganan berpenyebut sama ( − )

(50)

34

(4) Siswa melakukan peragaan dengan pecahan yang lain, misalnya − = ⋯

satu bagian yang diarsir dihapus − = − =

Gambar 6. Peragaan penguranganan berpenyebut sama ( − )

Penulisan dua penyebut menjadi satu penyebut harus dilakukan agar terbentuk dalam pemikiran siswa bahwa bilangan penyebut harus sama dan tidak dikurangkan.

b) Pemahaman Konsep

Untuk mengetahui apakah siswa benar-benar memahami materi pengurangan pecahan kita dapat memberikan contoh soal dengan jawaban yang benar dan salah sebagai berikut.

Benar atau salahkan pernyataan dibawah ini?

(1) − = − = (3) − = − = (2) − = −

− = (4) − =

=

(51)

35 c) Pembinaan Keterampilan

Pembinaan keterampilan dapat dilakukan dengan pemberian latihan soal, termasuk soal cerita.

(1) Nana mempunyai bagian kue. Kue tersebut diberikan pada Dina sebanyak

bagian. Berapa bagian sisa kue Nana?

(2) Pekerjaan yang harus diselesaikan Reno dalam sebuah kelompok adalah

bagian. Apabila ia telah menyelesaikan pekerjaan sebanyak bagian, berapa

bagian pekerjaan Reno tersisa? 5. Kesamaan dan Pecahan Senilai

(52)

36

Tabel 3. Model for fraction concepts and how they compare

Model What defines the whole

What defines the parts

What the fraction means

Area The area of the defined region

Equal area The part of the area covered, as is relates to the whole unit

Length or number line

The unit of distance or length

Equal

distance/length

The location of a point in relation to 0 and other values on the number line

Set Whatever value is determined as one set

Equal number of objects

The count of objects in the subset, as it relates to the defined whole

Table 3. Model untuk konsep pecahan dan perbandingannya Model Apa yang

Bagian dari daerah yang tertutup karena

berhubungan dengan seluruh unit

Panjang Satuan jarak atau panjang

Jarak/panjang yang sama

Lokasi titik dalam kaitannya dengan 0 dan nilai-nilai yang lain dalam garis bilangan

(53)

37

or physical materials are compared on the basis of length.” Dengan model

panjang, panjang atau ukuran yang dibandingkan bukan daerah. Setiap garis digambarkan dan dibagi lagi/bahan dibandingkan dari dasar panjang.

Model panjang yang dapat digunakan meliputi tiga benda yaitu: balok cuisenaire, lipatan kertas, dan garis bilangan.

1) Balok cuisenaire mempunyai potongan panjang dari 1 sampai dengan 10 yang diukur dalam hal potongan paling kecil/balok. Setiap panjang mempunyai warna yang berbeda untuk memudahkan siswa dalam mengidentifikasi.

Menurut Van De Walle (2014:314)“Rods or strips provide flexibility because any length can represent the whole.” Balok cuisenaire ini menyediakan

sifat yang fleksibel karena setiap panjang dapat merepesentasikan/mewakili dari

keseluruhan. Sebagai contoh jika kita ingin siswa mengerjakan pecahan dan

pilihlah balok cuisenaire yang berwarna coklat dengan unit panjang 8. Oleh

karena itu balok ke-4 (ungu) menjadi , balok yang ke-2 (merah) menjadi , dan

balok yang ke-1 berwarna putih menjadi . Untuk menyelidiki taruh balok

(54)

38

Gambar 6. Balok cuisenaire (cuisenaire rods) 2) Garis bilangan

Menurut Van De Walle (2014:313) “The number line is significantly more sophisticated measurements model.” (Bright, Behr, Post, & Waschmucth, 1988).

Garis bilangan dengan mantap lebih berpengalaman dalam contoh ukuran. Untuk menegaskan bahwa pecahan adalah satu bilangan, garis bilangan memberikan perbandingan dengan ukuran yang relatif ke bilangan yang lain, dimana hal tersebut tidak secara jelas ketika menggunakan model daerah. Selain itu, garis bilangan dapat memperkuat bahwa akan selalu ada satu atau lebih pecahan yang dapat ditemukan diantara dua pecahan.

3) Melipat strip kertas (lihat gambar 6)

(55)

39

pertama adalah , lipatan kedua adalah , dan lipatan ketiga adalah , dengan =

= .

Selain melipat secara genap, kita dapat memperagakan dengan melipatnya

menjadi ganjil yang sama. Sebagai contoh, lipatan pertama , lipatan

Gambar 7 lipatan pertama , lipatan

dan seterusnya. Kegiatan siswa dalam melipat kertas tersebut termasuk pada tahap enaktif. Pecahan senilai seperti yang dimodelkan dengan kertas lipat diatas secara lengkap dapat dimodelkan dengan model strip/bar/batang pecahan seperti yang

diilutrasikan oleh gambar 7. Perhatikan bahwa panjang dari setara dengan

panjang ,setara dengan panjang , dan .

(56)

40

Gambar 8. panjang dari setara dengan panjang ,setara dengan panjang , dan . Pada kegiatan tersebut diatas siswa menggambar kesamaan pecahan tersebut secara individu dan kegiatan tersebut termasuk ke dalam tahap ikonik. Setelah siswa memperagakan tahap ikonik siswa menuliskan simbol masingmasing pecahan dan tahap ini disebut tahap simbolik.

b. Model daerah (area models)

Menurut Van De Walle (2014:313) “Circular fraction piece models are the most commonly used area model. One advantage of the circular model is that it emphasizes the part-whole concept of fractions and the meaning of the relative size of a part to whole.” (Cramer et al., 2008)

Model pecahan yang berbentuk lingkaran adalah model yang paling biasa digunakan pada model daerah. Salah satu keuntungan dari model lingkaran adalah bahwa model ini menekankan bagian dari keseluruhan konsep dari pecahan dan mempunyai arti/ makna ukuran yang relatif dari bagian untuk keseluruhan.

(57)

41 Gambar 9. Model daerah (area models)

Menurut Van De Walle (2014:313) “Area models are good place to begin

understanding equivalence”. Model daerah adalah bagian yang baik untuk mengawali pemahaman tentang kesamaan. Berikut ini disajikan penerapan menggunakan lipatan kertas (paper folding) pada model daerah untuk menentukan pecahan senilai:

Siswa diminta menunjukkan pecahan melalui arsiran satu bagian lipatan

kertas. Siswa kemudian melipat lagi kertas tersebut menjadi empat bagian

Kertas utuh Dilipat menjadi dua bagian

Lipatan pertama, bagian yang diarsir bagian

(58)

42

Gambar 10. Penerapan pecahan senilai melalui melipat kertas (paper folding)

Setelah memperagakan siswa diberi beberapa pertanyaan:

1) Berapa nilai pecahan pada arsiran lipatan pertama? (jawaban yang diharapkan

)

2) Setelah lipatan kedua, kertas terdiri atas berapa bagian? (jawaban yang diharapkan 4 bagian)

3) Berapa bagian kertas yang diarsir? (jawaban yang diharapkan 2 bagian)

4) Dari peragaan diatas guru dan siswa kemudian menyimpulkan bahwa ½

senilai dengan pecahan jadi = .

Menurut Yoppy Wahyu Purnomo (2015:22) Menentukan pecahan senilai dengan model daerah yaitu dengan cara membandingkan bagian dari keseluruhan untuk masing masing daerahnya seperti yang nampak pada gambar 8.

Gambar 11. cara membandingkan bagian dari keseluruhan =

(59)

43

Apabila cara pandang yang dipilih adalah kolom memanjang, maka dari kedua gambar di atas sama-sama dapat disimpulkan bahwa terdapat 3 dari 4 kolom memanjang secara keseluruhan. Namun jika cara pandang ditujukan pada bagian persegi panjang yang lebih kecil, maka terdapat 9 dari 12 persegi panjang

kecil secara keseluruhan, yang mana luas daerah dari ( ) setara dengan luas

daerah dari ( ).

Situasi tertentu mungkin menuntut kita untuk menuliskan pecahan ke dalam pecahan senilai yang secara numerik berbeda. Misalnya, menuliskan

pecahan senilai dari ( ) dapat ditulis sebagai , , , , dan seterusnya. Hal ini

dapat diverifikasi dengan model daerah yang diilustrasikan sebagai berikut.

Gambar 12. Model daerah

Setiap model di atas menunjukkan bahwa pecahan senilai dapat diperoleh dengan mengalikan pembilang dan penyebut dengan sembarang bilangan tak nol yang sama. Secara simbolis dapat ditulis sebagai berikut.

Langkah fundamental untuk menentukan pecahan senilai: =

= =

(60)

44

Semisal sembarang pecahan dan k sembarang bilangan tak nol, maka pecahan

senilai dari adalah × × .

c. Model himpunan (set models)

Menurut Van De Walle (2014:315) “In set models, the whole is understood to be a set of objects, and subsets of the whole make up fractional parts.” Pada model himpunan, secara keseluruhan dianggap menjadi sebuah

himpunan jika objek, dan sub-himpunan dari keseluruhan menunjukkan bagian pecahan. Model himpunan membantu siswa menyusun hubungan yang penting dengan beberapa benda konkret menggunakan pecahan dan dengan konsep perbandingan. Gambar 12 mengilustrasikan beberapa model himpunan dari pecahan.

(61)

45

Menurut Yoppy Wahyu Purnomo (2015:24) Selain model daerah dan model panjang, mengenalkan konsep pecahan senilai dapat dilakukan dengan menggunakan model himpunan. Sebagai contoh, sediakan kumpulan keping dua warna, warna merah mewakili apel dan warna putih mewakili jeruk. Mintalah siswa untuk menentukan jumlah keping dari warna merah dan putih, semisal 12 hitam dan 6 putih. Keseluruhan dari keping adalah 18, yang mewakili keseluruhan jumlah buah. Tanyakan kepada siswa berapa perbandingan jumlah apel terhadap jumlah keseluruhan buah. Selanjutnya, bimbing siswa untuk melakukan pengelompokan keping keping tersebut yang setiap kelompoknya memiliki jumlah keping yang sama dan sejenis. Guru dapat mengarahkan siswa untuk mengelompokan keping tersebut dimulai dengan jumlah yang terkecil untuk setiap kelompok. Siswa diminta untuk mencatat setiap kejadian yang dihasilkan pada setiap pengelompokan.

Aktivitas ini dapat dilakukan dengan memberikan contoh kepada siswa untuk memisahkan setiap 2 keping jenis. Tanyakan kepada siswa, berapa perbandiangan antara jumlah kelompok apel terhadap jumlah kelompok buah secara keseluruhan, tanyakan pula untuk kelompok jeruk. Sebagai contoh, berapa jumlah kelompok apel terhadap jumlah keseluruhan kelompok? Siswa akan menyadari bahwa terdapat 6 dari 9 kelompok 2-an, hal ini berarti bahwa jumlah

apel adalah dari keseluruhan. Bagaimana dengan jumlah kelompok jeruk? Siswa

(62)

46

jeruk adalah dari keseluruhannya. Guru dapat melanjutkan dengan pertanyaan

serupa untuk mengelompokan keping kedalam 3-an, 4-an, 5-an, 6 an, dan seterusnya. Sebagai contoh, bagaimanakah jika keping keping ini di kelompokan menjadi 3-an, apa yang terjadi? berapa jumlah kelompok apel dari keseluruhan kelompok? bagaimana jika keping keping ini kita kelompokkan menjadi 4-an, apa yang terjadi?

� � �ℎ � � � �ℎ ��

18 keping=1 cacahan

12 6

� � �ℎ �

� � �ℎ ��

Buat 12 ke dalam 6 kelompok an dan 3 kelompok 2-an dari lainnya sehingga tepat 8 keping

� � �ℎ �

� � �ℎ ��

Buat 12 ke dalam 4 kelompok an dan 2 kelompok 3-an dari lainnya sehingga tepat 18 keping

� � �ℎ �

� � �ℎ ��

(63)

47

Gambar 14. Model himpunan

Ketika siswa mencoba, siswa akan menyadari bahwa keping-keping tersebut tidak dapat dikelompokkan menjadi 4-an dan 5-an. Siswa dibimbing untuk menyimpulkan mengapa demikian. Pada tahap mencoba tersebut, siswa melakukan tahap enaktif. Siswa dapat diminta untuk menggambar kegiatan pengelompokan yang sudah mereka lakukan tentunya pada lembar kerja yang sudah disediakan oleh guru, pada tahap ini siswa berada pada tahap ikonik. Siswa kemudian dapat menuliskan simbol pecahannya (tahap simbolik).

Siswa akan mendapatkan bahwa dari beberapa pengelompokan yang telah

dilakukan, diperoleh kesimpulan bahwa jumlah apel adalah = = = dari

jumlah keseluruhan buah dan jumlah jeruk adalah = = = dari jumlah

keseluruhan buah.

B. Karakteristik Siswa SD

Masa usia sekolah dasar juga disebut masa kanak-kanak akhir. Masa ini dialami anak pada usia 6 tahun sampai masuk ke masa pubertas dan masa remaja awal yang berkisar pada usia 11-13 tahun. Pada masa ini anak sudah matang bersekolah dan masuk sekolah dasar.

(64)

48

memahami cara mengombinasikan beberapa golongan benda yang bervariasi tingkatannya. Selain itu, peserta didik sudah mampu berpikir sistematis mengenai benda-benda dan peristiwa-peristiwa yang konkret.

Menurut Ahmad Susanto (2012:79) rentang anak usia 7-11 tahun menunjukkan perilaku belajar yang berkembang, yang ditandai dengan ciri-ciri sebagai berikut:

1. Anak mulai memandang dunia secara objektif, bergeser dari satu aspek ke aspek lain secara reflektif dan memandang unsur-unsur secara serentak.

2. Anak mulai berpikir secara operasional, yakni anak mampu memahami aspek-aspek kumulatif materi, seperti: volume, jumlah, berat, luas, panjang, dan pendek. Anak juga mampu memahami tentang peristiwa-peristiwa yang konkret.

3. Anak dapat menggunakan cara berpikir operasional konkret untuk mengklasifikasikan benda-benda yang bervariasi beserta tingkatannya. 4. Anak mampu membentuk dan menggunakan keterhubungan

aturan-aturan, prinsip ilmiah sederhana, dan menggunakan sebab akibat. 5. Anak mampu memahami konsep substansi, volume zat cair, panjang,

pendek, lebar, luas, sempit ringan, dan berat.

Menurut Rita Eka dkk (2013:114) Masa kanak-kanak akhir dibagi menjadi

dua fase: Eka dkk (2013:114) adalah:

(65)

49

3. Jika tidak dapat menyelesaikan suatu tugas atau pekerjaan, tugas atau pekerjaan itu mereka anggap tidak penting.

4. Suka membandingkan dirinya dengan anak yang lain, jika hal itu menguntungkan dirinya, dan

5. Anak suka meremehkan orang lain

C. Teori Belajar Bruner

Menurut bruner (Hudoyo, 1988:56), belajar matematika adalah belajar tentang konsep-konsep dan struktur-struktur matematika yang terdapat di dalam materi yang dipelajari serta mencari hubungan – hubungan antara konsep-konsep dan struktur-struktur matematika.

Siswa dapat memahami materi dengan mudah dan komprehensif melalui pemahaman terhadap konsep dan struktur. Siswa juga dapat lebih mudah mengingat materi bila yang dipelajari mempunyai pola terstruktur. Dengan memahami konsep dan struktur akan mempermudah terjadinya transfer.

Menurut Ruseffendi (1992: 109) Jarome Bruner dalam teorinya menyatakan bahwa belajar matematika akan lebih berhasil jika proses pengajaran diarahkan kepada konsep-konsep dan struktur-struktur yang termuat dalam pokok bahasan yang diajarkan di samping hubungan yang terkait antara konsep-konsep dan struktur-struktur.

(66)

50

melihat secara langsung bagaimana keteraturan serta pola yang terdapat dalam benda yang sedang diperhatikannya. Kemudian keteraturan tersebut oleh siswa dihubungkan dengan keteraturan intuitif yang telah melekat pada dirinya.

Anak didik dalam belajar harus terlibat secara aktif mentalnya yang dapat diperlihatkan dari keaktifan fisiknya. Bruner melukiskan anak-anak berkembang melalui tiga tahap perkembangan mental, yaitu:

1. Tahap enaktif

Pada tahap ini siswa menggunakan atau memanipulasi objek-objek konkret secara langsung. Anak belajar melalui benda riil. Anak dalam belajar masih menggunakan cara gerak refleks, coba-coba, dan belum harmonis. Ia melakukan maipulasi benda-benda dengan cara menyusun, menjejerkan, mengutak-atik, atau gerak lain yang bersifat mencoba.

2. Tahap ikonik

Pada tahap ini, kegiatan anak didik mulai menyangkut mental yang merupakan gambaran dari objek-objek konkret. Anak didik tidak memanipulasi langsung objek-objek konkret seperti pada tahap enaktif, namun sudah dapat memanipulasi dengan memakai gambaran dari objek-objek yang dimaksud. Anak telah dapat mengubah, menandai, dan menyimpan peristiwa atau benda riil dalam bentuk bayangan mental di benaknya.

3. Tahap simbolik

(67)

51

merupakan tahap memanipulasi symbol-simbol secara langsung dan tidak lagi ada kaitannya dengan objek konkret.

Menurut Bruner (dalam Ruseffendi 1992:110-113), dalam belajar matematika ada beberapa teori yang berlaku yang disebutnya dengan dalil. Teori tersebut antara lain adalah dalil penyusunan (construction theorem), dalil notasi (notation theorem), dalil pengkontrasan dan keanekaragaman (contrast and variation theorem), dalil pengaitan (connectivity theorem).

1. Dalil penyusunan

(68)

52 2. Dalil notasi

Dalil notasi menyatakan bahwa dalam penyajian konsep matematis, notasi memegang peranan yang sangat penting. Pengunaan notasi dalam menyatakan konsep matematis tertentu harus disesuaikan dengan tahap perkembangan anak didik. Penggunaan notasi-notasi sebaiknya diberikan tahap demi tahap dan sifatnya berurutan dimulai dari notasi yang paling sederhana sampai yang kompleks/paling sulit.

3. Dalil pengkontrasan dan keanekaragaman

Menurut Sri Subarinah (2006:4) Penyajian konsep matematika dari yang konkret ke yang lebih abstrak sebaiknya dilakukan melalui kegiatan pengkontrasan dan keanekaragaman. Hal ini karena banyak konsep matematika yang bertolak belakang, misalnya bilangan ganjil dan genap, bilangan rasional dan irasional, bilangan prima dan komposit, dan sebagainya.

Dalam dalil ini diperlukan contoh yang banyak sehingga siswa mampu mengetahui secara tepat karakteristik konsep tersebut. Salah satu cara pengkontrasan adalah dengan menyajikan contoh dan bukan contoh. Misalnya untuk menjelaskan pengertian tentang persegi panjang dapat juga disertai dengan bentuk segi empat lainnya. Siswa dapat mengetahui pengertian/karakteristik dari persegi panjang.

(69)

53

misalnya dalam keadaan vertikal atau horizontal. Dengan cara ini siswa dapat memeriksa apakah segitiga yang disajikan termasuk segitiga siku-siku ata tidak. 4. Dalil pengaitan

Konsep-konsep dalam matematika saling berkaitan maka penyajian kaitan-kaitan pembelajaran matematika merupakan hal yang sangat penting dan lebih diutamakan dibandingkan penyajian konsep-konsep yang terpisah-pisah. Dalil ini menyatakan bahwa antara konsep matematika yang satu dengan konsep yang lain mempunyai kaitan yang erat, baik dari segi isi maupun dari segi penggunaan rumus-rumus. Suatu konsep digunakan untuk menjelaskan konsep yang lain. Misalnya rumus luas jajar genjang merupakan materi prasyarat untuk penemuan rumus luas segitiga yang diturunkan dari rumus luas jajargenjang.

Pada penelitian ini akan menggunakan tiga langkah pembelajaran Teori Bruner yaitu tahap enaktif, tahap ikonik, dan tahap simbolik sedangkan dalil penyusunan (construction theorem), dalil notasi (notation theorem), dalil pengkontrasan dan keanekaragaman (contrast and variation theorem), dalil pengaitan (connectivity theorem) tidak digunakan dalam penelitian ini. Pada tahap enaktif dapat menggunakan kertas lipat, tahap ikonik dapat menggunakan gambar kertas lipat dan pada tahap simbolik siswa dapat menggunakan simbol pecahan sederhana itu sendiri.

D. Langkah pembelajaran matematika di sekolah dasar

(70)

54

1) Penanaman konsep dasar (penanaman konsep), 2) Pemahaman konsep, dan

3) Pembinaan keterampilan.

1. Penanaman konsep dasar (penanaman konsep)

Penanaman konsep dasar (penanaman konsep) merupakan pembelajaran suatu konsep baru matematika oleh siswa yang belum pernah mempelajari konsep tersebut. Konsep ini dicirikan dengan kata “mengenal” pada isi kurikulum.

Pembelajaran penanaman konsep dasar dapat menghubungkan kemampuan kognitif siswa yang konkret dengan konsep baru matematika yang abstrak. Dalam kegiatan pembelajaran konsep dasar ini, media atau alat peraga diharapkan dapat digunakan untuk membantu kemampuan pola pikir siswa.

2. Pemahaman konsep

Pemahaman konsep bertujuan agar siswa lebih memahami suatu konsep matematika. Pemahaman konsep terdiri atas dua pengertian. Pertama, merupakan kelanjutan dari pembelajaran penamaman konsep dalam satu pertemuan. Kedua, pembelajaran pemahaman konsep dilakukan pada pertemuan yang berbeda tetapi masih merupakan lanjutan dari penanaman konsep.

3. Pembinaan keterampilan

(71)

55

pertemuan. Kedua, pembelajaran pembinaan keterampilan dilakukan pada pertemuan yang berbeda tetapi masih merupakan lanjutan dari penanaman dan pemahaman konsep.

E. Pengaruh Teori Belajar Bruner Terhadap Hasil Belajar Pecahan Sederhana

Menurut Dahar (1996:103) salah satu model instruksional kognitif yang sangat berpengaruh ialah model dari Jerome S Bruner (1996) yang dikenal dengan nama belajar penemuan (discovery learning). Bruner menganggap bahwa belajar penemuan sesuai dengan pencarian pengetahuan secara aktif oleh manusia, dan dengan sendirinya memberikan hasil yang paling baik.

Pengetahuan yang diperoleh dengan belajar penemuan menunjukkan beberapa kelebihan.

1. Pengetahuan dapat bertahan lama atau lama dapat diingat atau lebih mudah diingat, bila dibandingkan dengan pengetahuan yang dipelajari dengan cara-cara lain.

2. Hasil belajar penemuan mempunyai efek transfer yang lebih baik daripada hasil belajar lainnya. Dengan perkataan lain, konsep-konsep dan prinsip-prinsip yang sudah dipelajari seseorang lebih mudah diterapkan pada situasi-situasi baru.

Gambar

Gambar  2. Peragaan konsep pecahan
Gambar dapat berbentuk persegi atau lingkaran ataupun bentuk bangun datar
Tabel 3. Model for fraction concepts and how they compare
Gambar 7 lipatan pertama
+7

Referensi

Dokumen terkait

“Sebab bila kita tidak benar-benar mengetahui keadaan yang sebenarnya mungkin terjadi, saya sebagai Golongan Karya atau kader Golkar akan dituduh sebagai penghalang daripada

Meningkatnya ketersediaan kualitas sumber daya manusia kebudayaan yang tersertifikasi (permuseuman dan pelestarian cagar budaya).. Pendataan aset budaya khususnya cagar budaya

Dengan ini kami sampaikan bahwa perusahaan Saudara telah ditetapkan sebagai pemenang untuk paket pekerjaan Penyusunan Studi Kelayakan dan DED PLTS Terpusat Lokasi

Prakiraan penjalaran asap pada level ketinggian 50 meter sampai dengan tanggal 19 Agustus 2009 pukul 07.00 WIB, di wilayah Sumut arahnya menuju Utara sampai ke Selat Malaka,

Dalam rangka penanganan kasus kepada warga jawa tengah yang menjadi korban di provinsi, Pemerintah Provinsi sebenarnya telah melakukan trobosan yang baik dengan menjalin

Praktikum kali ini adalah Penentuan Titik Beku larutan yang mempunyai tujuan untuk menghitung tetapan penurunan titik beku molal pelarut serta menghitung

Pendidikan di dalam suatu organisasi adalah suatu proses pengembangan kemampuan ke arah yang diinginkan oleh organisasi yang bersangkutan (Notoadmodjo, 1992). Bidan

Therefore, the writer will make an analysis firstly on the characteristics of Raskolnikov before he commits the murder, secondly on the personality changes he undergoes after