• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah"

Copied!
42
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Amandemen konstitusi yang terjadi, setelah jatuhnya Orde Baru, merupakan salah satu wujud dari gerakan reformasi. Langkah tersebut dianggap juga sebagai tindakan nyata reformasi kelembagaan yang dibutuhkan dalam praktek konsolidasi demokrasi setelah mengalami fase pemerintahan otoriter Orde Baru. Sejak itu, bangsa Indonesia memasuki fase kehidupan politik yang lebih terbuka dan demokratis dan ditandai dengan pulihnya hak-hak sipil dan politik. Perubahan mendasar yang terjadi dalam amandemen UUD 1945 diantaranya adalah rekrutmen pejabat negara, baik yang duduk di legislatif maupun eksekutif, pusat maupun daerah yang dipilih secara langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum.

Pemilihan umum diakui sebagai sebuah arena untuk membentuk pemerintahan demokrasi perwakilan serta menggelar pergantian pemerintahan secara berkala dan damai. Dalam sistem politik demokrasi, salah satu unsur pentingnya adalah penyelenggaraan pemilihan umum anggota legislatif dan kepala eksekutif di tingkat nasional dan lokal harus dilakukan secara bebas dan adil. Pemilihan umum juga merupakan sebuah arena yang mewadahi kompetisi atau kontestasi antaraktor politik untuk meraih kekuasaan, partisipasi politik rakyat untuk menentukan liberalisasi hak-hak sipil dan politik warga negara1.

Urgensi pemilu dalam sistem politik demokrasi, setidaknya dilandasi atas empat argumentasi. Pertama, pemilihan umum merupakan prosedur dan mekanisme pendelegasian sebagian kedaulatan rakyat kepada penyelenggara negara, baik yang duduk dalam lembaga legislatif maupun eksekutif di pusat dan daerah. Mereka ini bertindak atas nama rakyat dan mempertanggung-jawabkannya kepada rakyat. Kedua, pemilihan umum merupaka prosedur dan

1 Pengertian ini dapat dilihat secara lebih detail dalam Robert A. Dahl. 1985. Dilema Demokrasi

Pluralis: Antara Otonomi dan Kontrol. Jakarta: Rajawali Press. hal.8-10. Lihat juga dalam Larry Diamond. 2003. Developing Democracy Toward Consolidation. Yogyakarta: IRE. hal 4-7.

(2)

mekanisme pemindahan perbedaan aspirasi dan pertentangan kepentingan dari masyarakat ke dalam penyelenggara negara, baik di pusat maupun di daerah, untuk kemudian dibicarakan dan diputuskan secara beradab. Ketiga, pemilihan umum merupakan prosedur dan mekanisme perubahan politik secara teratur dan tertib, dilakukan secara periodik baik perubahan sirkulasi elit politik maupun perubahan arah dan pola kebijakan publik. Keempat, pemilihan umum juga dapat digunakan sebagai prosedur dan mekanisme engineering untuk mewujudkan tatanan politik dan pola prilaku politik yang disepakati.2

Karena itu, pentingnya melihat pemilu sebagai bentuk perubahan kelembagaan politik yang diatur dalam UUD 1945, dan diberlakukan baik pada tingkat nasional maupun lokal. Untuk perubahan pengaturan institusi politik di tingkat lokal dilakukan sebagai bentuk akomodasi tuntutan lokal agar dapat menjamin pelaksanaan otonomi yang lebih luas dalam manajemen sumber-sumber daya lokal serta mengalokasikan pelaksanaan kekuasaan ekonomi dan politik. Di dalam Pasal 18 UUD 1945 diatur tentang kewenangan daerah propinsi dan kabupaten/kota dalam mengatur dan mengurus kepentingan sendiri (otonomi daerah) bukan karena pemberian pemerintah pusat ataupun pendelegasian kewenangan pemerintahan dari presiden, melainkan merupakan pengakuan negara. Berbagai urusan pemerintahan telah didesentralisasikan ke daerah-daerah diantaranya adalah pemilihan kepala daerah-daerah hukum di provinsi dan kabupaten/kota secara langsung.

Dengan disahkannya UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, maka sejak Juni 2005 pemilihan kepala daerah dilakukan secara langsung oleh rakyat. Ini melengkapi pengalaman pemilu legislatif dan presiden yang berlangsung tahun 2004 dengan UU No. 12/2003 dan UU No. 23/2003. Sejalan dengan semangat konstitusi yang menegaskan penggunaan sistem presidensil, di tingkat nasional presiden dipilih langsung, maka di daerah pun (sebagai sub sistem) dalam memilih gubernur/bupati/walikota juga mengikuti pola tersebut, dipilih langsung oleh rakyat. Politik desentralisasi yang didesain tersebut menegaskan tentang perubahan yang signifikan terhadap peran rakyat dalam rekrutmen pejabat publik maupun dalam kebijakan publik. Karena kebijakan

2 Ramlan Surbakti. 2003. “Demokrasi Menurut Pendekatan Kelembagaan Baru”. Jurnal Ilmu

(3)

desentralisasi sebelumnya di bawah UU No. 29/1999 menentukan kepala daerah yang dipilih sepenuhnya oleh DPRD, bukan oleh rakyat secara langsung. Situasi politik pada saat itu memunculkan kekecewaan beberapa elemen masyarakat karena tidak berjalannya fungsi DPRD sebagai wakil rakyat. Diantara fungsi yang tidak berjalan adalah menyerap aspirasi rakyat untuk menentukan siapa yang bakal menjadi pemimpinnya. Karena itu, proses politik di daerah masih didominasi oleh DPRD. Posisi rakyat masih marjinal, yang ditandai dengan tersumbatnya aspirasi rakyat dalam proses pemilihan kepala daerah. Akibat selanjutnya dari proses pemilihan kepala daerah dalam praktiknya sarat dengan persoalan seperti money politics, konflik antara massa dan aparat, maupun konflik antara pendukung calon kepala daerah.3 Atas dasar itu dan karena adanya perubahan sistem pemilu legislatif dan pemilihan langsung presiden maka diikuti juga dengan pemilihan kepala daerah secara langsung pula. Praktiknya baru terwujud setelah dilakukannya revisi UU No. 22/1999 menjadi UU No. 32/2004 tentang Pemerintah Daerah.

Ketika awal diberlakukannya pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung, antusiasme masyarakat menyongsongnya tampak begitu tinggi. Situasi ini tidak saja karena adanya kesempatan bagi masyarakat untuk memilih dan menentukan secara langsung kepala daerahnya, melainkan juga berkenaan dengan begitu besarnya harapan atau ekspektasi terhadap para kepala daerah hasil pilkada langsung. Akumulasi kekecewaan terhadap praktik pemerintahan lokal selama sekitar lima tahun terakhir tampaknya menjadi faktor penting di balik harapan besar masyarakat tersebut.

Hasil jajak pendapat yang dilakukan Kompas, pada awal-awal diberlakukannya pilkada langsung yakni Februari 2005, terhadap sekitar 1000 responden di Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua menunjukkan tingginya harapan masyarakat akan munculnya kepala daerah yang lebih berkualitas dalam pilkada langsung mendatang.4 Tingginya angka harapan itu mencapai 90,9 persen di Kalimantan, 84,1 persen di Sumatera, 82,9 persen di Sulawesi, 71,1 persen di Jawa, dan 64,3 persen di Papua. Namun, dalam waktu

3 Beberapa kasus pemilihan kepala daerah oleh DPRD tahun 2000 lihat “Evaluasi Otonomi Daerah”. dalam Kompas, 30 Desember 2001. hal 6.

(4)

dua bulan ke depan atau April 2005, jajak pendapat yang dilakukan di media yang sama menunjukkan kecenderungan yang menurun bahkan dengan persentase yang cukup drastis. Tingka keyakinan masyarakat terhadap kemampuan kepala daerah hasil pilkada langsung merosot tinggal 49,1 persen. Sebagian masyarakat lainnya, dalam persentasi hampir berimbang (43,4 persen), memberikan penilaian ”tidak yakin” bahwa kepala daerah hasil pilkada mendatang mampu memperbaiki kehidupan demokrasi di daerah.5

Hasil jajak pendapat tersebut mengindikasikan menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap kepala daerah hasil pilkada langsung. Hal ini dimungkinkan karena berkaitan dengan kekecewaan banyak pihak terhadap format pilkada langsung. Terdapat beberapa asumsi yang menyebabkan fenomena politik lokal ini terjadi. Pertama, pemilihan secara langsung ternyata tidak memutus mata rantai oligarki partai yang harus diakui cenderung mewarnai kehidupan partai-partai di DPRD. Kepentingan partai-partai dan bahkan kepentingan segelintir elit partai acapkali dimanipulasi sebagai kepentingan kolektif masyarakat.6 Praktek-praktek seperti ini sebenarnya mengindikasikan adanya kepentingan lama yang cukup terbina pada masa Orde Baru, karena semua keputusan dilakukan oleh elit-elit tertentu yang memiliki kekuasaan politik, perbedaannya hanya pada besaran ruang lingkupnya.

Kedua, pilkada langsung belum juga menurunkan praktik-praktik tentang fenomena korupsi, kolusi, dan politik uang antara para calon, partai politik, dan DPRD di balik proses pemilihan kepala daerah.7 Fenomena ini disinyalir terjadi karena adanya kepentingan tertentu dari kelompok dan pribadi sebagai akibat dari kesepakatan yang dibangun pada saat proses pilkada berlangsung. Ketiga, pilkada langsung memunculkan indikasi kuat munculnya kepentingan-kepentingan lama yang didasarkan atas pertarungan yang tajam, keras, dan

5 Lihat “Kualitas Calon Pemimpin Daerah Diragukan”, dalam Kompas. 9 April 2005. hal. 8. 6 Tentang kecenderungan munculnya oligarki partai dalam kehidupan politik lokal era reformasi, lihat misalnya, Moch. Nurhasim. ed. 2002. Kualitas Keterwakilan Politik: Kasus Sumbar, Jateng, Jatim, dan Sulsel. Jakarta: Pusat Penelitian Politik. LIPI.

7 Dalam catatan Indonesian Corruption Watch (ICW), DPRD dan Pemda merupakan salah satu aktor utama korupsi di Indonesia, Lihat, “DPRD dan Pemda Aktor Utama Korupsi di Indonesia”, dalam Kompas, 18 Februari 2006.

(5)

berkepanjangan diantara elit-elit lokal yang sejatinya berasal dari kekuatan lama yang dipupuk pada masa Orde Baru.8

Realitas tersebut kemudian menimbulkan persoalan baru bagi demokratisasi yang sedang dibangun di Indonesia terutama di tingkat lokal. Format pilkada langsung yang diharapkan dapat memenuhi tuntutan praktik demokrasi yang lebih substansial sekaligus memastikan bahwa desentralisasi serta otonomi daerah diselenggarakan secara lebih berkualitas masih menjadi pertanyaan besar.

Terdapat implikasi positif dan negatif atau setidaknya terdapat gejala anomali yang terjadi dalam praktek politik lokal di Indonesia. Implikasi positipnya antara lain adalah munculnya partisipasi politik rakyat misalnya kebebasan pada pemilu. Sedangkan, implikasi negatif atau setidaknya anomali yang terjadi dalam penyelenggaraan demokrasi adalah bahwa demokrasi yang dibangun di negeri ini hanya sebatas pada demokrasi formal yang dibangun sejak akhir 1990-an. Namun, pengembangan unsur-unsur demokrasi yang lebih substantif – seperti aturan main, prosedur dan institusi demokratik perlu didukung oleh suatu budaya demokrasi yang sering diperankan oleh kemampuan elit dalam menterjemahkan kebijakan-kebijakan politik – belum berjalan dengan baik. Akibatnya sering terjadi kelumpuhan politik salah satu penyebabnya adalah karena munculnya kepentingan-kepentingan lama yang telah dipupuk di bawah patronase Orde Baru. Gejala negatif atau anomali ini menjadi penting untuk dicermati dalam rangka membangun demokrasi yang lebih substantif.

Kelompok-kelompok yang berada di bawah patronase Orde Baru itu bisa berbentuk institusi atau perorangan yang berfungsi sebagai penjaga kepentingan ekonomi dan politik mereka. Salah satu bentuk institusi tersebut adalah organisasi pemuda seperti Pemuda Pancasila, FKPPI, dan lain sebagainya, sedangkan perorangan adalah pengusaha yang bergantung pada kontrak negara. Ketika terjadi perubahan politik di Indonesia tahun 1997, dengan tingkat adaptasi yang sangat baik mereka masuk ke dalam sistem demokrasi prosedural yang baru itu. Proses adaptasi tersebut terjalin dari tingkat nasional sampai ke

8 Tentang fenomena ini lihat Lihat Vedi R, Hadiz. 2005. Dinamika Kekuasaan, Ekonomi Politik

(6)

tingkat lokal.9 Meskipun di tingkat lokal terjadi perubahan desain desentralisasi, namun mereka dapat menjadi bagian dari desain tersebut. Perubahan itu juga cenderung mengabaikan secara empiris tentang kepentingan yang melekat dalam lembaga-lembaga politik lokal itu dan pengaruhnya terhadap jalannya pemerintahan lokal. Adanya indikasi mengenai pertarungan yang tajam, keras dan berkepanjangan di antara koalisi-koalisi kepentingan yang lebih luas sehingga dapat menyebabkan proses perubahan desentralisasi memiliki masalah tersendiri dalam mengembangkan demokrasi yang substantif tersebut10. Diantara permasalahan itu adalah adanya kepentingan dari elit lama yang berperan. Desain desentralisasi memiliki banyak hal yang sama dengan teori modernisasi gaya lama, yang sangat mengandalkan inisiatif elit-elit teknokrat-birokrat atau golongan pengusaha dengan versi kontemporer yang berkedok sebagai teori pilihan rasional dan teori modal sosial11. Artinya, bahwa peran elit menjadi penting dalam politik desentralisasi di Indonesia.

Vedi R. Hadiz kemudian menyatakan bahwa politik desentralisasi banyak diperankan oleh mereka yang menduduki lapis bawah dari jaringan patronase Orde Baru yang menggurita itu12. Terutama untuk kepentingan ekonomi seperti penguasaan pekerjaan di daerah yang bersumber dari APBD dan APBN, sedangkan kepentingan politik seperti memenangkan pemilu DPRD dan pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung. Masa Orde Baru jaringan ini menyebar dari Istana Cendana hingga ke daerah-daerah, kota-kota dan desa-desa. Kendati sistem sentralisasi ini tidak ada lagi, namun elemen-elemennya telah menata kembali diri mereka di dalam jaringan patronase baru yang bersifat desentralistik, lebih cair dan saling bersatu satu sama lain. Bahkan deretan kepentingan yang sekarang memperebutkan kekuasaan di tingkat lokal tampak

9 Mengenai pandangan ini banyak kajian atau tulisan-tulisan tentang perkembangan politik lokal di Indonesia sejak 1998, terutama kajian mengenai hasil-hasil Pemilu legislatif 2004 dan Pilkada yang dilaksanakan di beberapa tempat kabupaten dan kota di Indonesia. Lihat misalnya Pradjarta Dirdjosanjata dan Nico L Kana. eds. 2006, Demokrasi dan Potret Lokal Pemilu 2004, Pustaka Pelajar, Yogyakartarta.

10 Dari evaluasi penyelenggaraan otonomi daerah, terdapat beberapa kasus yang lebih banyak disebabkan karena permainan kepentingan elit lokal misalnya konflik paska pilkada sebanyak 65%, perburuan akses sumber daya ekonomi di daerah 22%, serta isu-isu lainnya 13%. Lihat Kompas, 3 Juli 2007, Evaluasi Otonomi Daerah.

11 Ben Fine. 2001. Social Capital Versus Social Theory: Political Economy and Social Science at

the Turn of the Millennium. London; Routledge.

(7)

lebih bervariasi daripada masa Orde Baru13. Di dalamnya termasuk para pialang dan bandar politik yang ambisius, birokrat negara yang lihai, kelompok-kelompok pebisnis baru yang berambisi tinggi, serta beraneka ragam gengster politik, kaum kriminal, dan barisan keamanan sipil14. Kebanyakan dari kelompok ini dibesarkan oleh rezim lama sebagai operator dan pelaksana di lapangan. Mereka ini kemudian menjadi elit-elit yang berperan dalam proses keberhasilan dan kegagalan dari pembangunan demokrasi di tingkat lokal yang sedang dilakukan di Indonesia.

Di bawah Orde Baru, sudah menjadi rahasia umum bahwa kekuasaan elit lokal, seperti yang disebutkan di atas, juga bersumber dari kedekatan mereka dengan komandan militer lokal. Hal ini memungkinkan mereka untuk menjalankan aktivitas-aktivitas menguntungkan seperti perjudian dan jaringan perlindungan yang kebal hukum. Perubahan kedudukan militer sejak reformasi tidak berarti putusnya keterkaitan ini. Dalam perjalanan sepuluh tahun reformasi dan gejala politik desentralisasi yang telah dilaksanakan dengan berbagai revisi dari UU No. 22/1999 ke UU No. 32/2004 tentang pemerintahan daerah maka gejala politik lokal diwarnai dengan interaksi politik dan kepentingan lokal yang lebih banyak diperankan oleh elit-elit yang tidak termasuk dalam kategori pembangunan demokrasi formal yang bersifat linier tersebut. Perkembangan dari penataan institusi lokal kebanyakan tidak mencerminkan situasi politik yang menguntungkan bagi masyarakat lokal. Sulit untuk membayangkan bahwa elit-elit dengan kategori tersebut ternyata mendapatkan tempat yang menguntungkan di bidang politik.

1.2. Perumusan Masalah

Pelaksanaan politik lokal di Indonesia, termasuk menyempurnakan proses rekrutmen pejabat publik seperti pilkada misalnya, diyakini tidak memutus munculnya adanya kepentingan lama dari sistem Orde Baru yang sering sekali

13 Ibid.

14 Di Kota Medan, peran-peran seperti itu kemudian banyak dilakukan dan diorganisir oleh organisasi pemuda seperti Pemuda Pancasila, Ikatan Pemuda Karya, FKPPI dan lain sebagainya. Sehingga selalu diidentikkan dengan organisasi preman. Lihat Hadiz, op. cit. hal. 244-253.

(8)

menjadi penentu dalam proses politik di tingkat lokal. Kajian-kajian yang membahas beberapa kasus tentang kekuasaan dan kepentingan lokal dengan elit-elitnya, yang dipandang sebagai aktor-aktor politik yang tidak termasuk dalam kategori pembangunan demokrasi formal namun memiliki peran signifikan, di antaranya dilakukan oleh Ryter (2000), Lindsey (2002), dan Hadiz (2005)15. Di kota Medan munculnya elit-elit politik paska runtuhnya Orde Baru, banyak yang berasal dari tokoh organisasi kepemudaan seperti Ikatan Pemuda Karya (IPK), Pemuda Pancasila (PP), Forum Komunikasi Putra-Putri Purnawirawan Indonesia (FKPPI), dan lain sebagainya. Kebanyakan anggota dari organisasi itu berprofesi sebagai pengusaha kecil atau tingkat menengah yang paling tidak sebagian bergantung pada proyek dan kontrak negara, politisi profesional dengan kaitan khusus ke partai-partai politik yang sudah ada masa Orde Baru. Pada saat reformasi sebagian dari mereka meningkat statusnya menjadi elit-elit baru karena mendapat kompensasi berupa kemudahan akses terhadap lembaga-lembaga politik lokal seperti DPRD, pemerintah kota, partai politik dan media massa, serta beberapa kelompok kepentingan seperti lembaga-lembaga bisnis yang memiliki keterkaitan dengan elit-elit organisasi tersebut16. Pemimpin organisasi pemuda paramiliter di Medan ini sering memainkan peran sebagai operator politik selama masa Orde Baru, melaksanakan fungsi intimidasi tidak resmi untuk rezim dan para pejabatnya yang dilakukan bersama-sama dengan aparat terkait.

Ketika jatuhnya Orde Baru, keberadaan ketiga organisasi pemuda itu (PP, IPK, dan FKPPI) ternyata tetap eksis dan menunjukkan aktivitas yang tidak jauh berbeda pada saat sebelumnya. Di kota Medan, para pimpinan organisasi

15 L. Ryter. 1998. “Pemuda Pancasila: The Last Loyalist Free Men of Soeharto New Order?”

Indonesia, 66, Oktober. L. Ryter. 2000. “A Tale of Two Cities”, Inside Indonesia 63 (July-September). http://www.serve.com/inside/edit63/loren1.hatml. dan T. Lindsey. 2002. “The Criminal State: Premanisme and the New Order”, dalam G. Lloyd dan S. Smith. (eds.). Indonesia Today: Challenges of History. Singapore: ISEAS. adalah pengamat yang menulis tentang politik premanisme di Indonesia. Mereka menyebutkan bahwa tidak ada daerah lain yang sanggup menyaingi Sumatera Utara dalam soal liku-liku kekuatan politik dan pengaruh preman terutama interaksi politik mereka di tingkat lokal. Sedangkan Hadiz mengkaji tentang konstelasi kekuasaan dan Politik di Sumatera Utara paska Orde Baru yang dianggapnya sebagai bentuk reformasi yang tidak tuntas lihat Hadiz, op. cit. hal. 235-253.

16 Hasil penelitian yang dilakukan oleh Hadiz (2001), ketika paska turunnya Orde Baru, tentang pemilihan Walikota Medan tahun 1999 sangat sarat dengan politik uang dan kekerasan yang sebagian besar dilakukan oleh organisasi pemuda/preman tersebut. Sedangkan Walikota terpilih, Abdillah, adalah pengusaha yang sangat bergantung dari kontrak negara dan sangat dekat dengan elit partai politik masa Orde Baru berikut organisasi binaannya seperti organisasi pemuda parpol. Lihat Hadiz, op.cit. hal. 237-240.

(9)

tersebut justru melakukan adaptasi dalam sistem politik yang telah berubah. Secara politis, langkah awal yang dilakukan oleh ketiga organisasi tersebut adalah dengan menyatakan dirinya sebagai organisasi yang bersifat independen atau bebas secara politik. Sebagian besar elitnya menduduki posisi-posisi penting di beberapa partai politik baru seperti PAN, Partai Demokrat, dan lain sebagainya sebagai pengambil keputusan disamping Partai Golkar yang menjadi bagian terpenting dalam aktivitas organisasinya. Sistem multi partai dan pemilu paska Orde Baru, ternyata tidak begitu sulit bagi mereka untuk tetap menjadi bagian dalam sistem politik yang baru itu. Ini dilakukan agar mereka tetap dapat mengendalikan keputusan-keputusan penting yang diambil oleh otoritas politik (eksekutif dan legislatif). Namun, dalam menjalankan aktivitas organisasi tetap menggunakan cara-cara kekerasan, kepentingan uang, perjudian, intimidasi dan menguasai satu kawasan (teritorial) tertentu. Meskipun terdapat beberapa organisasi pemuda lainnya yang melakukan praktek premanisme (seperti AMPI, Pemuda Panca Marga, Garda Banper, dan lain sebagainya), namun organisasi ini berafiliasi dengan salah satu partai politik. Karena itu, PP, IPK, dan FKPPI17 ini menjadi fokus dari subjek analisis dalam penelitian ini.

Pada periodesasi desentralisasi di Indonesia berbagai upaya untuk menguasai politik lokal mereka lakukan, termasuk ketika terjadi perubahan mekanisme pemilihan Walikota Medan pada tahun 2005 yang dilakukan secara langsung. Terlepas dari munculnya Partai Keadilan Sejahtera (PKS) sebagai partai yang menguasai sebanyak 9 orang anggota DPRD kota Medan18. Namun, keberhasilan Golkar dan partai Orde Baru lainnya sebagai pemain lama, dalam mengusung Ketua DPRD kota Medan hasil Pemilu 2004 dari Fraksi Partai Golkar dan memenangkan calon incumbent walikota Medan tahun 2005 (Abdillah)19,

17 Dalam beberapa bagian tulisan, penulis meminjam penggunaan istilah Vedi R. Hadiz tentang organisasi pemuda/preman, maksudnya ditujukan kepada ketiga organisasi pemuda tersebut. 18 Dalam Pemilu Legislatif 2004 di Kota Medan PKS memperoleh kursi sebanyak 9 orang, kursi terbanyak di DPRD Kota Medan, lalu PG, PDIP, dan PD mendapat 6 kursi, PAN dan PDS 5 kursi, PPP mendapat 4 kursi, PBR 3 kursi, dan Partai Patriot mendapat 1 kursi.

19 Abdillah adalah Walikota Medan yang terpilih dalam Pilkada Langsung Tahun 2005, yang dinilai masih menyisakan beragam permasalahan dalam kasus politik uang pada pemilihan Walikota Medan tahun 1999 oleh DPRD Kota Medan, lihat Vedi R Hadiz. 2001. “Capitalism, Oligarchic Power, and the State of Indonesia.” Historical Materialism. Sementara setelah terpilih menjadi Walikota Medan dalam pemilihan kepala daerah langsung Periode 2005-2010, pada bulan Mei 2007 Abdillah tersangkut pemeriksaan kasus korupsi dana APBN yang dikelola pemerintah

(10)

menunjukkan keahliannya dalam memerankan permainan politik lokal dan menandakan mesin politiknya masih berjalan dengan baik. Banyak anggota PP, IPK, dan FKPPI disebarkan di berbagai tempat sebagai alat pengaman bagi partai politik dan tim-tim sukses calon walikota20. Mereka tidak mengalami kesulitan untuk bersaing di bidang politik dengan kelompok-kelompok prodemokrasi karena memiliki akses terhadap uang dan kekuasaan seperti pimpinan partai politik dan anggota DPRD kota Medan berasal dari organisasi pemuda/preman21. Atas dasar itu, penulis menganggap menarik dan perlu melakukan penelitian yang diharapkan bisa menguraikan keterlibatan organisasi pemuda/preman di kota Medan pada saat Pilkada Langsung tahun 2005 di kota Medan. Sehingga, dapat diketahui cara-cara yang dilakukan oleh organisasi pemuda/preman di kota Medan untuk tetap berperan dalam proses pemilihan walikota Medan yang dilakukan secara langsung.

Hal tersebut penting dilihat karena pola-pola yang diterapkan, pada saat pilkada langsung diberlakukan, memiliki karakteristik yang tidak jauh berbeda ketika masa Orde Baru dan pada saat pemilihan kepala daerah antara tahun 1999 sampai 2005 yaitu adanya politik uang dan kekerasan untuk merebut jabatan politik. Harusnya, dalam desain rekrutmen pejabat publik dan demokratisasi saat ini, model-model seperti itu hendaknya tidak ada lagi dan diharapkan berubah menjadi gerakan persuasif yang cenderung kepada kepentingan rakyat. Keterlibatan organisasi pemuda/preman dalam pilkada langsung tahun 2005 di kota Medan dalam penelitian ini diartikan sebagai aktivitas mereka untuk mengusung ”jago”nya agar terpilih dalam pemilihan langsung sebagai walikota Medan Periode 2005-2010. Ada beberapa aktivitas yang dijadikan indikator untuk melihat keterlibatan organisasi pemuda/preman dalam Pilkada Langsung Walikota Medan tahun 2005.

Kota Medan oleh KPK diantaranya kasus pengadaan mobil pemadam kebakaran (Waspada, 7 Mei 2007) dan penyalahgunaan dana APBD Kota Medan Tahun 2005 (Kompas, 16 Juni 2007).

20 Pemberitaan media lokal di Medan seperti Waspada, SIB, dan Analisa pada periode menjelang pelaksanaan pemilu 2004 dan Pilkada 2005 terlihat dalam beberapa foto media tersebut terpampang barisan pengamanan yang berasal dari PP, IPK, FKPPI, dan lain sebagainya yang sering digunakan oleh partai-partai politik baik pada saat kampanye maupun acara-acara khusus yang digelar untuk itu.

21 Data sementara yang diperoleh penulis dari berbagai sumber adalah Bangkit Sitepu, pengurus DPC Partai Golkar Kota Medan, adalah ketua PP Kota Medan, Hendra DS, Ketua Partai Patriot Pancasila adalah Ketua PP Kota Medan. Moses Tambunan, pengurus PDIP Kota Medan, adalah Ketua IPK.

(11)

Pertama, menawarkan bentuk dukungan baik secara organisatoris atau yang dilakukan oleh elit organisasi pemuda/preman dengan posisi sebagai pengusung utama atau bagian dari partai yang mencalonkan walikota atau bagian dari calon walikota Medan itu sendiri. Hal ini berhubungan dengan usulan-usulan yang ditawarkan pimpinan organisasi pemuda/preman kepada partai atau calon Walikota Medan, sehingga organisasi pemuda/preman itu ikut secara aktif sebagai tim inti atau bagian dari partai yang mencalonkan walikota atau bagian dari tim calon walikota. Bagian ini akan menguraikan informasi langsung dari pimpinan organisasi tentang alasan yang dikemukakan untuk mendukung satu partai politik yang mencalonkan atau calon walikota Medan dan bagaimana strategi dukungan itu dilaksanakan.

Kedua, bertindak sebagai inisiator atau melakukan pemaksaan dari seluruh, sebagian atau tindakan yang terpisahkan dari aktivitas yang dirancang oleh partai politik yang mengusung calon walikota atau tim sukses yang dibentuk untuk memenangkan pemilihan. Dari informasi ini akan kelihatan posisi organisasi pemuda/preman dalam struktur pemenangan walikota, apakah sebagai penentu atau hanya sebagai pelengkap dari struktur tersebut.

Ketiga, melakukan lobi-lobi secara intensif ke berbagai kalangan. Bagian ini akan menguraikan berbagai pertemuan yang digagas oleh organisasi pemuda/preman untuk mendapatkan dukungan termasuk kesepakatan yang dibangun dari dukungan itu. Lobi tersebut baik dilakukan secara vertikal (antar pemain-pemain lokal) maupun horizontal (kepada pemerintah pusat dan partai politik di tingkat nasional).

Keempat, indikasi kekuatan uang. Informasi ini akan mencoba menguraikan aliran dana yang diterima dan digunakan oleh organisasi pemuda/preman. Kekuatan uang yang dimaksudkan di sini adalah pendanaan yang diterima oleh pimpinan organisasi dari calon walikota untuk keperluan keamanan dan mobilisasi dukungan massa. Ini penting dilihat karena salah satu keinginan kelompok ini adalah selalu menunjukkan kekuatannya yang dilihat dari kemampuannya untuk memaksa keinginannya kepada pihak yang bertentangan dengan uang.

(12)

Kelima, pengerahan massa dan penggunaan kekerasan. Pengerahan massa berkaitan tentang besarnya jumlah massa yang diorganisir dengan identitas fisik yang selalu digunakan oleh organisasi pemuda/preman (seperti baju seragam atau atribut lain) dalam kegiatan pilkada langsung di kota Medan. Sedangkan penggunaan kekerasan dilihat dari adanya ancaman fisik (seperti penculikan, pembunuhan, dan lain-lain) atau non fisik (seperti intimidasi, pelecehan, dan lain-lain) yang dilakukan terhadap lawan-lawan politik baik pada tingkat elit dan masyarakat bawah.

Keenam, melakukan penguasaan opini media dengan cara melakukan kontrol langsung terhadap pemberitaan media. Ini dilakukan agar segala peristiwa yang berkaitan dengan pemilihan walikota dapat dikendalikan. Suara pers yang kritis diharapkan dapat dikontrol dengan cara ”membeli” tulisan para wartawan atau pimpinan media massa.

Untuk memudahkan peneliti melihat enam indikator yang diuraikan di atas dalam menjelaskan keterlibatan organisasi pemuda dalam arena pilkada langsung di kota Medan tahun 2005. Maka pertanyaan penelitian yang hendak dijawab dan dianalisis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Dari keenam indikator yang diuraikan di atas, bentuk keterlibatan manakah yang sering dilakukan oleh organisasi pemuda dalam Pilkada Langsung tahun 2005 di kota Medan?

2. Siapa tokoh dan organisasi pemuda mana yang berpengaruh pada saat Pilkada Langsung tahun 2005 di kota Medan?

3. Mengapa organisasi pemuda terlibat dalam Pilkada Langsung tahun 2005 di kota Medan?

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk menguraikan fakta-fakta tentang keterlibatan organisasi pemuda/preman (PP, IPK, dan FKPPI) di kota Medan

(13)

dalam Pilkada Langsung tahun 2005 di kota Medan. Penelitian ini juga diharapkan dapat menjelaskan argumentasi yang mendasari keterlibatan organisasi pemuda/preman dalam kasus Pemilihan Kepala Daerah Langsung tahun 2004 kota Medan dengan menggunakan desain studi kasus. Dari informasi itu, maka akan didapat cara-cara atau model yang digunakan. Kemudian akan didapat juga informasi bahwa organisasi pemuda/preman yang sangat eksis pada masa Orde Baru itu ternyata mengalami atau tidak mengalami kesulitan untuk menyesuaikan diri pada saat terjadi perubahan politik yaitu ketika mekanisme pemilihan kepala daerah diubah secara langsung pada tahun 2005 di kota Medan.

1.4. Kerangka Teori

Untuk mengkaji keterlibatan politik yang dilakukan organisasi pemuda dalam penelitian ini maka akan dibahas beberapa teori yang berkaitan dengan politik lokal dan sumber kekuasaan, kelompok elit dalam politik, demokratisasi, partai politik dan kelompok kepentingan dalam pilkada serta penjelasan tentang organisasi preman.

1.4.1. Politik Lokal dan Sumber-Sumber Kekuasaan

Politik lokal bukan hanya berurusan pada soal-soal administrasi publik atau menekankan pada hubungan legal-formal pemerintahan semata. Selama ini, diskusi mengenai politik lokal penekanannya hanya pada pemerintahan lokal hasil dari suatu pemilihan umum saja atau pemilihan kepala daerah saja. Meskipun memiliki keterkaitan, namun pandangan legal-formal seperti itu memiliki keterbatasan-keterbatasan untuk memahami politik lokal secara lebih utuh. Politik lokal mencakup soal yang luas, misalnya aspek ekonomi, politik, dan sosial22.

Garry Stoker. 1991. The Politics of Local Government. Second Edition. London: The MacMillan Press Ltd Houndmills. Besing Stoke. Hampshir. hal. 230.

(14)

Teori dan pendekatan atas politik lokal tergantung pada latar belakang akademik dan ”mazhab” yang dianut. Paling tidak terdapat dua perspektif untuk menjelaskan politik lokal yaitu pendekatan pluralisme dan pendekatan marxist. Pendekatan pluralisme menjelaskan bahwa negara dijadikan sebagai tempat untuk memahami dan menjelaskan beragam kegiatan kelompok yang menuntut adanya pembagian kekuasaan seperti misalnya melalui pemilihan umum. Sedangkan pendekatan marxist melihat bahwa kekuasaan berada pada satu kelompok tertentu yang sangat dominan dan tidak menyebar serta memandang bahwa negara dipandang sebagai institusi yang tidak netral. Dari dua pendekatan itu, studi ini ingin menggunakan pendekatan pluralisme untuk melihat kekuasaan yang ada di masyarakat lokal.

Dari perspektif pluralisme, pilkada langsung diharapkan dapat mendukung tumbuhnya demokrasi dan berjalannya pemerintahan lokal yang dekat dengan rakyat, karena partisipasi masyarakat lokal dilibatkan secara luas. John Steward menyatakan bahwa memperkuat demokrasi lokal sangat penting untuk mengatasi masalah-masalah yang disebabkan karena kuatnya sentralisasi negara.23 Agar demokrasi lokal memiliki kualitas maka pejabat lokal harus dipilih dengan mengikutsertakan partisipasi masyarakat lokal secara luas begitu juga ketika mengambil keputusan. Stewart juga menjelaskan cara-cara yang harus dilakukan oleh pejabat lokal tersebut adalah dengan membuat pendidikan politik bagi rakyat kelas bawah, membuat keputusan yang bersifat lokal, dan melibatkan partisipasi masyarakat lokal. Karena itu, peran local leader dan informal leader menjadi penting untuk mewujudkan demokrasi di tingkat lokal.24 Kepala daerah, dengan demikian, harus mengenali masyarakatnya sendiri yang plural dan multikultural serta selalu menyediakan media untuk memfasilitasi perbedaan-perbedaan tersebut.

Pilkada langsung dalam konteks politik lokal, diharapkan dapat memperkuat kedudukan kepala daerah sekaligus mengurangi intervensi DPRD agar ”transaksi politik” yang melahirkan ”money politics” dapat dimimalisir. Namun, yang terjadi di berberapa negara-negara berkembang, praktek pemilihan

23 John Stewart. 1996. “Democracy and Local Government”. dalam Paul Hirst and Sunil Khilnani (eds). 1996. Reinventing Democracy, Oxford: Blackwell Publisher. hal. 39.

(15)

kepala daerah secara langsung justru menjadi penyebab kasus-kasus korupsi dan ketidakefektifan pemerintahan daerah. Secara teoritik, hal tersebut dapat dijelaskan dari karakteristik elit politik lokal di negara-negara berkembang. Oleh Manor dan Crook, elit politik lokal dicerminkan dengan apa yang disebut sebagai ”close knit power”, yaitu kekuasaan yang cenderung tertutup dan didominasi oleh sekelompok elit.25 Tidak adanya oposisi yang kuat menyebabkan distribusi kekuasaan selalu didominasi oleh kelompok-kelompok yang sudah tertentu. Itu sebabnya, terjadi kooptasi kekuasaan oleh segelintir penguasa. Di sinilah pendekatan pluralisme menjadi penting yaitu bahwa negara dijadikan sebagai tempat untuk memahami dan menjelaskan beragam kegiatan kelompok yang menuntut adanya pembagian kekuasaan seperti misalnya melalui pemilihan umum.

Atas dasar itu, studi ini hendak menggunakan pendekatan pluralisme dengan melihat kekuasaan sebagai titik sentralnya. Untuk membahas tentang kekuasaan tersebut, maka akan dilihat sumber-sumber kekuasaan dan cara-cara untuk memperoleh serta mempertahankan kekuasaan. Perjalanan kekuasaan yang efektif bergantung pada tipe-tipe sumber kekuasaan yang tersedia. Untuk memperoleh kepatuhan, para pemimpin politik biasanya memperluas persediaan sumber daya mereka dan menggunakan secara lebih efisien sumber daya yang telah mereka miliki.

Sumber-sumber kekuasaan harus dimiliki oleh seseorang atau sekelompok orang agar dapat menggunakan kekuasaan itu. Sumber-sumber kekuasaan itu dapat berupa kedudukan, kekayaan, kepandaian atau keterampilan, dan kepercayaan atau agama.26 Sementara Charles F. Andrain membedakan lima tipe sumber daya kekuasaan yaitu sumber daya fisik, ekonomi, keahlian dan personal. Dengan menggunakan sumber-sumber kekuasaan itu, seseorang atau sekelompok orang dapat mempengaruhi orang lain untuk mengikuti kehendak atau keinginannya. Andrain juga menjelaskan perbedaan motif kepatuhan dalam masing-masing tipe sumber daya kekuasaan.

25 Dikutip dari Eko Prasojo. “Otonomi Daerah, Pilkada Langsung dan Democratic

Decentralization. dalam M. Zaki Mubarak, M. Agus Susilo, Agung Pribadi. (eds.) 2006 Blue Print Otonomi Dareah Indonesia. Jakarta: The YHB Center.

26 Miriam Budiardjo. 1984. “Konsep Kekuasaan: Tinjauan Pustaka”. dalam Budiardjo. Aneka

(16)

Tipe-tipe sumber kekuasaan dan motif kepatuhan tersebut, dijelaskan Andrain, dapat dilihat dalam tabel 1.1. di bawah ini.

Tabel 1.1:

Tipe-Tipe Sumber Kekuasaan27

Tipe Sumber Daya Contoh Sumber Daya Motivasi untuk Mematuhi Fisik Senjata: senapan, bom, rudal B “berusaha menghindari cedera fisik”

yang disebabkan oleh A Ekonomi Kekayaan, pendapatan, kontrol

atas barang dan jasa B “berusaha memperoleh kekayaan” dari A Normatif Moralitas, kebenaran, tradisi,

relijius, legitimasi, wewenang B “mengakui bahwa A mempunyai hak moral untuk mengatur” prilaku B Personal Karisma pribadi, daya tarik,

persahabatan, popularitas B tertarik” dengan A “mengidentifikasi diri merasa

Ahli Informasi, pengetahuan,

intelejensi, keahlian teknis

B “merasa bahwa A mempunyai pengetahuan dan keahlian yang lebih” Keterangan: A adalah pemegang kekuasaan, B merupakan objek kekuasaan.

Dari sumber-sumber kekuasaan yang dikemukakan oleh Andrain, maka sumber-sumber kekuasaan yang dimiliki oleh organisasi pemuda itu (PP, IPK, dan FKPPI) berasal dari fisik dan ekonomi. Aspek fisik karena para pimpinan organisasi pemuda itu sering sekali menggunakan senjata sebagai kekuatan ancaman terhadap orang lain (premanisme). Dari sisi ekonomi, kekuasaan diperoleh dengan memberikan pekerjaan kepada para pemuda yang tidak memiliki pekerjaan sebagai penjaga keamanan, petugas parkir atau sebagai penjual lotre (perjudian) seperti KIM, togel dan lain sebagainya. Fenomena tersebut hampir mirip dengan teori local strongmen yang dikemukakan oleh Migdal serta teori John T. Sidel tentang bossism.

Jika merujuk pada Migdal tentang kemunculan local strongmen, salah satu sumber-sumber kekuasaan yang dimiliki oleh organisasi pemuda/preman diantaranya adalah dari kekayaan yang dimiliki oleh pimpinannya sebagai tuan tanah atau orang kaya.28 Migdal mencoba menerangkan tentang orang kuat lokal yang berhasil melakukan kontrol sosial. Dalam konteks ini, Migdal mengatakan:

”... Mereka berhasil menempatkan diri atau menaruh anggota keluarga mereka pada sejumlah jabatan penting demi menjamin alokasi sumber-sumber daya berjalan sesuai dengan aturan mereka sendiri ketimbang

27 Charles F. Andrain. 1992. Kehidupan Politik dan Perubahan Sosial, Tiara Wacana. Yogya. hal. 132.

28 Lihat Joel S. Migdal. 1988. Strong Societies and Weak States: State-Society Relations and State

(17)

menurut aturan-aturan yang dilontarkan dalam retorika resmi, pernyataan kebijakan, dan peraturan perundang-undangan yang dibuat di ibu kota atau dikeluarkan oleh pelaksana peraturan yang kuat”.29

Mengenai fenomena orang kuat lokal tersebut, Migdal memiliki tiga argumentasi yang saling berkaitan. Pertama, orang kuat lokal tumbuh subur di dalam masyarakat ”mirip jaringan” yang digambarkan sebagai ”sekumpulan campuran (melange) organisasi-organisasi sosial nyaris mandiri” dengan kontrol sosial yang efektif ”terpecah-pecah”. Pola kontrol sosial khusus terpecah-pecah ini, menurut dugaan, acapkali diakui melebur dalam pemerintahan kolonial dan penyatuannya di dalam perkuburan kelas-kelas pemilik tanah besar. Singkat kata, berkat struktur masyarakat mirip jaringan, orang kuat lokal memperoleh pengaruh signifikan jauh melampaui pengaruh para pemimpin negara dan para birokrat lokal yang digambarkan Migdal sebagai ”segitiga penyesuaian”.30

Kedua, orang kuat lokal melakukan kontrol sosial dengan menyertakan beberapa komponen penting yang dinamakan ”strategi bertahan hidup” penduduk setempat. Dengan kondisi seperti itu, orang kuat bukan saja memiliki legitimasi dan memperoleh banyak dukungan di antara penduduk lokal, tetapi juga hadir untuk memenuhi kebutuhan pokok dan tuntutan para pemilih atas jasa yang diberikan. Para penulis yang diilhami Migdal cenderung membingkai diskusi mereka dengan istilah ”personalisme”, ”klientisme”, dan ”hubungan patron-klien”. Pola ini kemudian juga terjadi karena orang kuat lokal ditempatkan sebagai patron yang memberi kebaikan personal bagi klien yang melarat dan para pengikut di daerah kekuasaan mereka.

Ketiga, berhasilnya orang kuat lokal ”menangkap” lembaga-lembaga dan sumber daya negara merintangi atau menyetujui upaya pemimpin negara dalam melaksanakan pelbagai kebijakan. Orang kuat lokal membatasi otonomi dan kapasitas negara, penyebab kelemahan negara ”dalam menjalankan tujuan berorientasi perubahan sosial, serta memperbesar ketakterkendalian dan kekacauan. Sepanjang keberhasilan strategi industrialisasi dan pertumbuhan amat tergantung pada penyusunan dan pelaksanaan kebijakan negara yang saling bertautan efektif.

29 John T Sidel, “Bosisme …… op. cit. hal. 256. 30 Migdal. Op. Cit., hal. 238-258.

(18)

Berbeda dengan Migdal, Sidel melihat bahwa fenomena yang disebutnya sebagai Bosisme merefleksikan strong state dibandingkan strong society. Ia melihat bosisme menunjukkan peran elit lokal sebagai predatory broker politik yang memiliki kontrol monopolistik terhadap kekuatan koersif dan sumber daya ekonomi dalam wilayah teritorial mereka. Bosisme beroperasi dalam bayangan rezim daerah yang dicirikan oleh persekutuan birokrat, bos-bos partai, pengusaha, militer, dan preman.31

Tabel 1.2:

Perbandingan Kerangka Teori Migdal dan Sidel tentang Kemunculan Local Strongmen dan Bossism32

Variabel/Indikator Migdal Sidel

Terminologi Local Strongmen Bossism

Keadaan Sosio Kultural Negara-negara yang baru merdeka

Semua negara dan semua tempat di mana sesuatu yang sangat dibutuhkan masyarakat langka Sumber legitimasi Figuritas dan Mistis

! Memfigurkan dan memistikan seseorang dengan jalan memberikan hal-hal yang dibutuhkan masyarakat seperti: 1. tempat tinggal 2. makanan

3. hubungan sosial, & 4. perlindungan

Figuritas dan Kewibawaan ! Memfigurkan

kewibawaan dan figuritas dilakukan dengan cara: 1. menguasai modal 2. tekanan

3. kejahatan

Posisi negara Lemah Kuat

Alasan terbentuk Struktur masyarakat yang fragmentasi

Sengaja diciptakan/ dilindungi oleh negara

Peranan Kebanyakan sebagai

musuh pemerintah pusat karena

kepentingannya selalu berseberangan

dengan para local strongmen

Kebanyakan sebagai broker pemerintah pusat. Kepentingan keduanya selalu bertemu dan saling mengambil keuntungan.

Aktor Tuan tanah, orang

kaya, pemimpin tradisional

Birokrat, tentara,

pengusaha, orang kaya, dan semua orang yang

31 Dikutip dari John T. Sidel. “Bosisme …..” Op. Cit. hal. 72-74.

32 Kerangka tabel tersebut dikutip dari Lili Romli. 2007. “Jawara dan Penguasaan Politik Lokal di Provinsi Banten (2001-2006)”. Disertasi. Departemen Ilmu Politik Program Pascasarjana Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia. Depok. hal. 26-27.

(19)

menguasai sebuah arena di dalam masyarakat itu sendiri.

Industrialisasi Menghambat Mempercepat

Hasil keberadaan local

strongmen/bossism 1. legitimasi 2. dukungan 3. kebutuhan ! ketergantungan 4. hubungan patron-klien 1. legitimasi 2. dukungan 3. ketergantungan 4. ketakutan 5. hubungan patron-klien Sumber: Migdal, 1998. Strong Societies and Weak States: State Society Relations and State Capabilities in the Third World. New Jersey: Princenton University Pres; dan Sidel. 1999. Capital, Coercion, and Crime: Bossism in the Phillipines. Stanford California: Stanford University Press.

Tentang perkembangan bossism di Indonesia, Sidel melihat bahwa itu terjadi seiring dengan melemahnya kontrol Pusat terhadap daerah paska jatuhnya Orde Baru. Kebijakan desentralisasi telah mengakhiri kontrol efektif pusat yang mencegah pejabat-pejabat sipil dan perwira-perwira menengah militer untuk membangun wilayah kekuasaan lokal tersendiri yang mandiri. Ini telah memberikan ruang yang sangat leluasa bagi para pialang politik ini untuk memperoleh dan mengakumulasi kekuasaan dan kekayaan.33

Dalam kasus di Banten misalnya, pola hubungan birokrat, bos-bos partai, pengusaha, dan aparat dalam mengusai politik lokalnya didasarkan atas dua, yaitu hubungan patron klien dan berdasarkan hubungan simbiosis mutualisme. Kontrol yang dilakukan oleh tokoh Jawara di Banten dilakukan terhadap pejabat publik dan civil society.34

Berkembangnya bossism lokal tersebut di sisi lain menunjukkan ketiadaan salah satu nilai-nilai demokrasi yang hendak dicapai dengan penerapan kebijakan desentralisasi, yaitu political equality. Konsep ini menyangkut tiga macam hubungan yaitu antarpemerintah (intergovernmental relation), antara negara dan masyarakat (state society relation); dan antara masyarakat dan masyarakat (society-society relation). Hubungan antarpemerintah meliputi kesetaraan antarlevel pemerintahan, baik secara vertikal maupun horizontal, dalam kewenangan mengatur dan mengurus.

33 T. Sidel. “Bosisme...” Op. Cit. hal. 85.

(20)

Penyelenggaraan pemerintahan daerah akan semakin kuat jika ada kesetaraan antara kewenangan dengan sumber keuangan yang dimiliki, kejelasan kewenangan antarberbagai tingkat pemerintahan, dan sebagainya. Hubungan antarnegara dan masyarakat merupakan refleksi dari daya tawar masyarakat terhadap berbagai keputusan yang diambil lembaga pemerintahan.

Saat ini, untuk melihat fenomena local strongmen atau bossim di beberapa daerah di Indonesia sangat beragam. Di Banten disebut jawara, di Betawi disebut jagoan, di Madura disebut Blater, di Medan disebut Preman, dan lain sebagainya. Praktek-praktek premanisme banyak dilakukan oleh organisasi pemuda di Medan, terutama ketika ingin merrbut satu kedudukan. Dalam menganalisa keterlibatan organisasi pemuda/preman di Medan, teori Sidel tentang local bossism dapat membantu merumuskan kerangka berpikir yang akan digunakan dalam penelitian ini, terutama terkait dengan sumber kekuasaan dan cara penggunaan kekuassaan yang dilakukan oleh kelompok pemuda/preman. Di kota Medan pada masa desentralisasi sekarang ini, para anggota DPRD kota Medan didominasi oleh kelompok-kelompok preman yang saling bersaing. Beberapa diantara mereka memiliki hubungan erat dengan para pensiunan perwira angkatan bersenjata dan kepolisian dan tidak sedikit dari mereka yang berasal dari organisasi pemuda seperti Pemuda Pancasila (PP), Ikatan Pemuda Karya (IPK) dan lain sebagainya.

Fenomena munculnya preman di kota Medan tidak terkait dengan lemahnya negara, tetapi terkait dengan, dalam bahasa Sidel, beroperasinya dalam bayangan rezim daerah yang dicirikan oleh persekutuan birokrat, bos-bos partai, pengusaha, militer, dan preman. Mereka ini memiliki kontrol monopolistik terhadap kekuatan koersif dan sumberdaya ekonomi dalam wilayah teritorial mereka.

Agar eksistensi kekuasaan para pimpinan organisasi pemuda/preman itu tetap berlangsung, ada beberapa teori yang menjelaskan tentang bagaimana kekuasaan tersebut dilakukan dan dipertahankan. Untuk menjelaskannya akan dilihat dari teori yang dikemukakan oleh Charles F. Andrain, Maswadi Rauf, dan Antonio Gramschi. Ketiganya menjelaskan bahwa penggunaan kekuasaan

(21)

dibedakan atas dua yaitu dengan cara paksaan/penindasan/koersif atau konsensus/persuasif.

Andrain menyatakan bahwa dari untuk menyelesaikan sebuah pergulatan dominasi atau konflik dari sumber kekuasaan tersebut, maka digunakanlah kekuasaan paksaan atau kekuasaan berdasarkan konsensus. Andrain menjelaskan,

Mereka yang menekankan aspek-aspek pemaksaan dari kekuasaan biasanya memandang politik dalam kerangka pergulatan dominasi dan konflik. Mereka milihat para pelaku politik mengenjar tujuan-tujuan yang tidak diminati oleh keseluruhan komunitasnya. Satu pihak memperoleh keuntungan, sedangkan pihak lain merugi. Sebaliknya, para analis yang menekankan aspek-aspek konsensus lebih banyak mengaitkan kekuasaan dengan usaha mengatasi perlawan bukannya dengan kegiatan-kegiatan koordinasi. Mereka melihat para pelaku politik mengusahakan pencapaian tujuan-tujuan bersama.

Penggunaan kekuasaan paksaan atau konsensusual sangat ditentukan dari sumber kekuasaan yang dimiliki. Karena sumber kekuasaan yang dimiliki itu maka dapat digunakan untuk memberi sanksi atau memberi penghargaan. Di samping itu, sumber daya kekuasaan digunakan untuk menjamin kepatuhan orang atau kelompok lain terhadap orang atau kelompok yang memiliki kekuasaan tersebut.

Tabel 1.3:

Kekuasaan Paksaan dan Konsensual

Tipe Kekuasaan Paksaan Konsensus

Fisik Cidera fisik, pemenjaraan,

kematian

Memberi jalan memperoleh persenjataan

Ekonomi Tidak diberi pekerjaan,

penerapan denda, kehilangan kontrak

Memberi jalan

memperoleh kekayaan

Normatif Pengucilan, larangan

memangku jabatan

Memberi jalan

memperoleh wewenang dan simbol-simbol kebenaran moral

Personal Hilangnya dukungan

kelompok, persahabatan dan popularitas

Pemberian dukungan kelompok

(22)

menguntungkan orang lain, penyebaran informasi yang merugikan orang lain

pengetahuan dan keterampilan

Sumber: Charles F. Andrain. 1992. Kehidupan Politik dan Perubahan Sosial. Yogyakarta: Tiara Wacana. hal. 140.

Kekuasaan paksaan, menurut Andrain biasanya memandang politik dalam kerangka pergulatan dominasi dan konflik. Sering sekali tujuan itu diperoleh dengan cara yang tidak diinginkan oleh komunitasnya. Satu pihak memperoleh keuntungan sedangkan pihak lain merasa dirugikan.35

Untuk melihat penyelesaian konflik, Maswadi Rauf menjelaskan bahwa penyelesaian konflik dapat digunakan dengan cara persuasif dan koersif. Penyelesaian konflik yang dilakukan dengan cara koersif adalah melalui penggunaan kekerasan fisik atau ancaman kekerasan fisik. Berkaitan dengan kekerasan fisik ini, Maswadi Rauf mengatakan,

“Kekerasan fisik mencakup penggunaan benda-benda fisik untuk merugikan secara fisik, menyakiti, melukai, atau membunuh fihak lain. Penggunaan kekerasan fisik atau ancaman penggunaannya menimbulkan rasa takut pihak yang akan dikenali yang berpengaruh terhadap tingkah lakunya. Pengaruh itu adalah berupa diikutinya keinginan pihak yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan.” 36

Hal yang hampir serupa juga dikemukakan oleh Gramsci yang menyatakan bahwa cara dominasi atau penindasan merupakan cara yang dapat dilakukan untuk melaksanakan kekuasaan. Seorang individu, kelompok, atau negara jika ingin memperoleh dan mempertahankan kekuasaan maka ia harus mempunyai atau memiliki akses terhadap instrumen kekerasan.37

Merujuk pada teori di atas, tentunya, dapat disebutkan bahwa model penyelesaian koersif lah yang sering dilakukan oleh organisasi pemuda (Pemuda Pancasila, IPK, dan FKPPI) tersebut dalam menyelesaikan konflik. Cara-cara seperti kekerasan, ancaman, menyakiti dan bahkan membunuh, juga dilakukan oleh organisasi pemuda/preman untuk memperoleh dan mempertahankan

35 Ibid. hal. 137.

36 Maswadi Rauf. 2001. Konsensus dan Konflik Politik: Sebuah Penjajagan Teoritis. Jakarta: Dirjen Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional. hal. 11-12.

37 Dikutip dari Roger Simon. 2000. Gagasan-Gagasan Politik Gramsci. Yogyakarta: Insist Pelajar. hal. 15.

(23)

kekuasaannya. Mereka melakukan intimidasi, ancaman, perkelahian kepada orang-orang yang dianggap menjadi lawannya. Praktek-praktek kekerasan lebih sering ditemukan dalam segala aktivitas organisasi pemuda di kota Medan. Dalam politik lokal perspektif pluralisme, organisai pemuda yang keras ini kemudian terlibat dalam institusi politik yang berusaha merebut kekuasaan pada jabatan-jabatan publik.

1.4.2. Oganisasi Pemuda/Preman dalam Politik

Organisasi pemuda/preman yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah sebagai suatu organisasi pemuda besar yang umumnya merupakan wadah bagi aktivitas preman38. Sedangkan preman adalah sebutan untuk anggota masyarakat yang melakukan kejahatan dan tindakan kriminil39. Kata preman berasal dari bahasa Belanda vrije man dan istilah ini melekat pada kaum lelaki yang menolak bekerja di perkebunan Belanda. Makna kata tersebut adalah lelaki bebas yang tidak dapat diatur. Namun, sejalan dengan perkembangan jaman pengertian preman mengalami perubahan. Kunarto menyebut Preman sebagai orang atau individu atau kelompok orang yang tidak berpenghasilan tetap, tidak mempunyai pekerjaan yang pasti, mereka hidup atas dukungan orang-orang yang terkena pengaruh orang-orang yang takut secara fisik maupun psikis. Mereka memiliki wilayah kekuasaan dan tidak terikat pada norma dan nilai yang ada dalam masyarakat serta memiliki kecenderungan melakukan tindakan-tindakan kriminal. Sikap, tindakan-tindakan, dan prilaku para preman itulah yang disebut sebagai premanisme.40

Lyron Ryter, seorang pengajar dari Cornell University, meneliti tentang kehidupan preman dan politik yang disebutnya sebagai politik gangster di kota Medan dan Jakarta pada tahun 1998-2004.41 Hasil penelitiannya menjelaskan bahwa setelah jatuhnya rezim Orde Baru, perilaku premanisme masuk ke wilayah politik formal. Perilaku ini bisa terjadi karena adanya hubungan yang erat

38 Pengertian ini sebagaimana yang ditulis oleh Vedi R. Hadiz, Op. Cit. hal. 249.

39 Burhani MS – Hasbi Lawrens. 1999. Referensi Ilmiah Politik, Kamus Ilmiah Populer. Jakarta: Lintas

Media. hal. 560.

40 Maruli CC Simanjuntak. 2007. Preman-Preman Jakarta. Jakarta: Grafika Indah. hal. 40-41. 41L. Ryter. Reformasi Gangsters, Inside Indonesia 82, April-June 2005, p22-23;

(24)

antara militer dengan organisasi pemuda, yang melakukan tindakan kriminal, untuk memegang posisi penting di partai politik dan lembaga parlemen. Kekuatan preman di Indonesia bukan terletak pada bentuk fisik sebagai orang yang kuat dan selalu melakukan tindakan kekerasan. Justru kelebihan preman adalah selalu terlepas dari sangsi hukum karena memberikan dukungan kepada jaringan politik yang ada. Karena itu, paska jatuhnya pemerintahan Soeharto, mereka tidak lagi hanya mendukung Golkar tetapi dibebaskan untuk masuk ke partai politik manapun. Seiring dengan perjalanan waktu mereka kemudian menduduki posisi penting di partai politik seperti PDI-P, PAN, dan parpol lainnya. Mereka kemudian terdaftar sebagai calon anggota legislatif baik di tingkat nasional dan lokal karena jaringan politik yang terbentuk. Ketika Pemilu 1999 dan 2004 para preman itu diharapkan oleh pimpinan parpol agar dapat mengumpulkan massa sebagai bentuk show of force pada kegiatan-kegiatan partai seperti kampanye dan bertugas di tempat pemungutan suara ketika pemilu berlangsung.42

Penelitian Ryter di kota Medan tentang gengster politik ini juga melihat bahwa ketika jatuhnya Orde Baru, kekuatan organisasi pemuda yang melakukan aktivitas preman seperti Pemuda Pancasila, IPK dan lain sebagainya, tidak serta merta juga melemah. Mereka justru masuk ke wilayah-wilayah lembaga politik formal seperti partai politik dan legislatif di kota Medan. Mereka digunakan oleh pimpinan parpol karena dianggap mampu untuk memobilisasi massa, menggunakan kekerasan, intimidasi yang juga digunakan oleh militer untuk mengontrol daerah kekuasaan selama Orde Baru. Tidak ada yang baru dalam praktek demokrasi lokal di Indonesia. Yang terjadi adalah lembaga-lembaga politik yang baru muncul namun lebih banyak dikuasai oleh pemain-pemain lama dari jaringan Orde Baru itu.

Dari penelitian Ryter tersebut dapat dikatakan bahwa aktivitas para preman yang berpolitik tersebut memiliki beberapa karakteristik yang terorganisir atau aktivitas preman yang diorganisasikan. Pertama, kegiatan yang dilakukan oleh preman itu bukan atas dasar kepentingan ideologis, melainkan lebih didasarkan pada kekuatan uang dan kekerasan. Kedua, organisasi preman itu mengikutsertakan sejumlah orang untuk kegiatan-kegiatan sosial dan politik.

(25)

Ketiga, mengorganisir satu basis massa yang sifatnya perintah untuk kepentingan keuntungan baik yang bersifat legal dan illegal.43

Penelitian yang sama juga dilakukan oleh Vedi R. Hadiz pada tahun 1999 khususnya pada kasus pemilihan walikota Medan tahun 1999 oleh DPRD kota Medan. Hadiz melihat bahwa kekuatan preman secara khusus mendapat tempat yang baik dalam sebuah sistem kekuasaan. Aktivitas preman ini terorganisasi pada pemuda yang ketika Orde Baru menjalankan fungsi-fungsi sebagai operator politik. Tindakan organisasi pemuda/preman ini memiliki kemampuan untuk melakukan, atau paling tidak mengancam, tindak kejahatan dan memiliki kendali keamanan bagi aparatur negara tingkat lokal. Karena alasan itu juga, mereka kemudian memiliki kepentingan untuk menguasai politik lokal dengan ikut terlibat dalam pemilihan walikota Medan tahun 1999. Bentuk keterlibatan yang mereka lakukan adalah melakukan intimidasi para anggota legislatif dan para pendukung calon pesaing dengan cara kekerasan, penculikan, dan bahkan mengancam untuk membunuh.44

Apa yang diungkapkan oleh Ryter tersebut hampir sama dengan penelitian Howard Abadinsky, yang meneliti tentang organized crime di beberapa kota di Amerika Serikat, Eropa Barat, dan Asia dari tahun 1940–1980-an. Abadinsky kemudian menuliskan karakteristik organized crime sebagai berikut:

“.... organized crime is a nonideological enterprise involving a number of persons in close social interaction, organized on a hierarchical basis, has a limited or exclusive membership, perpetuitous, uses illegal violence and bribery, demonstates specialization/divition labour, monopolistic, and governed by explicit rules and regulations”. 45

Yang menarik dari karakteristik tersebut adalah nonideological. Abadinsky menjelaskannya sebagai berikut:

“.... an organized crime group does not have political goals nor is it motivated by ideological concern; it goals are money and power. While political involvement may be part of the group’s activities, its purpose is to

43 Ryter tidak membuat secara rinci tentang poin-poin dari karakteristik itu. Karakteristik ini penulis susun dari hasil penelitian Ryter untuk memudahkan melihat indikator dari organisasi preman.

44 Vedi R. Hadiz. Op. Cit. hal 246-247.

45 Howard Abadinsky. 1990. Organized Crime. Third Edition. Chicago, Illinois: North Canal Street. hal. 5.

(26)

gain protection or immunity for its illegal activities. This distinguishes groups of persons who may be organined and violating the law to further their political from organized crime.”46

Uang dan kekuasaan dalam organized crime merupakan tujuan dari kelompok ini. Meskipun mereka terlibat dalam aktivitas politik, namun tujuannya hanya untuk memperoleh perlindungan dari semua aktivitas organisasi yang mereka lakukan. Karakteristik demikian setidaknya dapat membedakan organisasi kejahatan seperti ini dengan organisasi lainnya dalam melakukan aktivitas sosial.

Di Indonesia kekerasan dan kriminalitas tampaknya erat kaitannya dengan perkembangan suatu wilayah. Beragam sebab dan latar belakang menjadi alasan munculnya berbagai kejahatan yang diorganisir. Birokrasi yang belum berjalan efektif dan normal, minimnya lapangan pekerjaan, ketidakmampuan kepolisian menangani masalah keamanan, adalah beberapa sebab tidak tuntasnya masalah kekerasan dan kriminalitas. Belum lagi, pertarungan politik antar elit juga sering terjadi dan menyeret masyarakat ke dalam konflik diantara mereka, termasuk para preman yang memiliki pengaruh dan jumlah massa yang tidak sedikit.

Kekerasan dan kriminalitas tampaknya bukan sekadar masalah sosial-ekonomi, tetapi di dalamnya juga menyangkut aspek-aspek politik. Sekalipun wilayah para preman berbeda dari kaum politisi, namun terdapat hubungan antara kriminalitas dan politik, dan juga dengan militer47, seperti yang terjadi pada masa Orde Baru. Pemimpin organisasi pemuda/preman memainkan peran sebagai operator politik selama masa Orde Baru, melaksanakan fungsi intimidasi tidak resmi untuk rezim dan para pejabatnya yang dilakukan bersama-sama dengan aparat keamanan terkait. Di bawah Orde Baru, sudah menjadi rahasia umum bahwa kekuasaan organisasi pemuda berakar dari kedekatan mereka dengan komandan militer lokal. Hal ini memungkinkan mereka menjalankan aktivitas-aktivitas menguntungkan seperti perjudian dan jaringan perlindungan

46 Ibid

47 Pembahasan tentang militer dan organisasi milisi sipil atau paramiliter ini lihat Ulf Sundhaussen. Politik Militer Indonesia 1945-1967: Menuju Dwi Fungsi ABRI. Jakarta: LP3ES, 1986.

(27)

yang kebal hukum. Perubahan kedudukan militer sejak reformasi di Indonesia, tidak berarti putusnya keterkaitan ini.48

Sebagaimana yang dijelaskan oleh Sidel tentang bossism, menunjukkan peran elit lokal sebagai predatory broker politik yang memiliki kontrol monopolistik terhadap kekuatan koersif dan sumber daya ekonomi dalam wilayah teritori mereka. Para kelompok bossism ini beroperasi dalam bayangan rezim daerah yang dicirikan oleh persekutuan birokrat, bos-bos partai, pengusaha, militer, dan preman.49

Para preman secara khusus mendapat tempat yang baik dalam sebuah sistem kekuasaan yang di dalamnya kemampuan untuk melakukan, atau paling tidak mengacam, tindak kejahatan menjadi sesuatu yang penting untuk mengendalikan keamanan bagi aparatur negara tingkat lokal. Mereka secara khusus dicari, mengingat militer telah dipaksa mundur dari peran politik mereka. Di samping menyediakan tenaga bagi calon-calon pejabat, para pemimpin organisasi pemuda – karena mereka memimpin usaha-usaha gelap yang menguntungkan – juga mampu membantu permintaan bantuan dana politik. Dengan otot dan uang, mereka secara potensial mampu mempengaruhi keputusan politik dan perdebatan di parlemen lokal, termasuk yang berkaitan dengan alokasi kontrak dan sumber daya lainnya. Karena itu, organisasi pemuda/preman ini menjadi bagian integral dalam praktik penyelenggaraan demokrasi baru di Indonesia. Di Medan praktek-praktek seperti yang disebutkan di atas banyak diperankan oleh PP, IPK, dan FKPPI. Untuk penelitian ini, organisasi pemuda yang dimaksud adalah Pemuda Pancasila, Ikatan Pemuda Karya, dan FKPPI. Sebagian bagian dari kelompok kepentingan, organisasi pemuda tersebut memiliki peran yang cukup signifikan dalam pilkada langsung terutama kaitannya dengan partai politik. Berikut akan dijelaskan kedudukan kelompok kepentingan dan partai politik dalam pilkada langsung.

48 Vedi R. Hadiz. Op. Cit. hal. 250.

(28)

1.4.3. Partai Politik dan Kelompok Kepentingan dalam Pilkada Langsung di Indonesia

Penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung merupakan tradisi politik baru di Indonesia yang diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan PP No. 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.

Penyelenggaraan pilkada langsung di Indonesia sudah diselenggarakan mulai Juni 2005. Namun, dalam evaluasinya menyimpan berbagai persoalan krusial diantaranya adalah dari aspek esensi pilkada langsung, permainan kepentingan elit politik, dan problem legitimasi. Apabila disepakati bahwa demokrasi substansial terutama ditentukan oleh variabel kinerja dan akuntabilitas para elit yang terpilih secara demokratis, maka optimisme bahwa pilkada menjanjikan pemimpin daerah yang lebih berkualitas dan bertanggung jawab – dibandingkan oleh DPRD – mungkin belum terwujud. Haris misalnya melihat kepala daerah hasil pilkada diperkirakan akan dijepit oleh kepentingan politik yang justru bisa mengancam kelangsungan agenda demokrasi, demokratisasi dan otonomi daerah itu sendiri. Kepentingan politik itu mencakup pertama, kepentingan pemilik uang yang mendanai kebutuhan sang kepala daerah ketika calon menjadi calon dalam proses pilkada langsung. Kedua, kepentingan partai politik dan kelompok kepentingan yang merasa berjasa telah menominasikan sang kepala daerah pada masa pencalonan ketika penyelenggaraan pilkada50.

Permasalahan kepentingan politik dalam pilkada langsung mengakibatkan produk pilkada belum tentu menjanjikan kualitas demokrasi lokal dan tata pemerintahan daerah yang lebih baik. Karena itu, masyarakat lokal kelihatannya harus siap kecewa, bukan karena kepala daerah produk pilkada belum tentu menjanjikan, melainkan juga karena terbatasnya ruang bagi publik di dalam format kebijakan desentralisasi yang baru. Orientasi pemerintah lokal (pemda dan DPRD) dalam era pilkada langsung bukanlah pada aspirasi dan

50 Syamsuddin, Haris. 2005. Pilkada Langsung dan Masa Depan Otonomi Daerah di Indonesia. Dalam Jurnal Politika. Vol. 1 No. 1. Mei 2005. Jakarta: Akbar Tanjung Institute.

(29)

kepentingan rakyat, tetapi cenderung akan bergerser untuk melayani kepentingan elit yang oligarkis.

Dari pendekatan kelembagaan, pelaksanaan pilkada langsung dapat dilihat dari dua intitusi yang berperan dalam memainkan kepentingan politik di tingkat lokal yaitu partai politik (parpol) dan kelompok kepentingan. Setiap partai politik memiliki kaitan baik secara langsung maupun tidak langsung dengan beberapa kelompok kepentingan atau kelompok strategis lainnya, begitu juga sebaliknya. Keterkaitan itu tentunya dilakukan untuk menjaring aspirasi rakyat atau masa pemilih (konstituen), yang sangat beragam tuntutannya, dari masing-masing parpol dan kelompok kepentingan. Dalam kaitan ini, Stewart menjelaskan banyak lembaga-lembaga otoritas lokal seperti partai politik dan kelompok kepentingan mengembangkan berbagai forum untuk memberi penekanan tentang keberagaman untuk mengenal masyarakat lokal di satu wilayah.51 Di Indonesia misalnya, kelompok kepentingan atau civil society dapat dijadikan sebagai mediation group bagi parpol untuk melakukan pertemuan-pertemuan publik dalam berbagai bentuk.

Namun, di negara-negara berkembang, interaksi kedua institusi ini selalu berada dalam bingkai kepentingan elit yang menguasai partai politik dan kelompok kepentingan. Secara teoritik kemacetan komunikasi politik antara elit dengan rakyat dapat dijelaskan dari karakterisitk elit politik lokal yang disebut sebagai ”close knit power”, yaitu kekuasaan yang cenderung tertutup dan didominasi oleh sekelompok elit. Karena itu, kooptasi kekuasaan dilakukan oleh segelintir elit penguasa. Penjelasan teori ini kemudian akan mendukung teori Sidel tentang bosisme yaitu rezim daerah selalu dilakukan oleh persekutuan birokrat, bos-bos partai, pengusaha, militer, dan preman.

Peranan parpol sangat berpengaruh dalam proses pilkada langsung. Karena partai politik memiliki segenap fungsi seperti agregasi dan artikulasi kepentingan, pendidikan politik, kaderisasi, dan rekrutmen politik52. Peranan partai politik dalam pilkada langsung menjadi ukuran penting untuk menilai

51 James Stewart. “Op. Cit. hal. 51.

52 Penjelasan lebih lanjut lihat Maswadi Rauf. 2006. Partai Politik dan Sistem Kepartaian di Indonesia. Antara Kenyataan dan Harapan. dalam Jurnal Politika. Vol. 2 Nomor 2. 2006. Jakarta: Akbar Tanjung Institut. hal. 12-13.

Referensi

Dokumen terkait

TESIS dengan judul : PENGAJARAN AGAMA ISLAM DI LEMBAGA PENDIDIKAN NON FORMAL (Studi Pemikiran dan Metode Pengajaran Agama Islam Nik Abdul Aziz Nik Mat di

Berdasarkanpembahasan di atas, kesimpulan yang dapatditarikyaitu akibat hukum Putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 24/KPPU-I/2009 terhadap pelaku usaha yang

Biasanya kriteria penilaian yang umum dan harus dilakukan oleh bank untuk mendapatkan nasabah yang benar-benar layak untuk diberikan kredit, dilakukan dengan

Kesimpulan: berdasarkan hasil analisis data yang telah dilakukan, disimpulkan bahwa hasil manajemen pembinaan karate pada pusat pendidikan dan latihan pelajar daerah (PPLPD)

Pengaruh Media Visual Poster dan Leaflet Makanan Sehat terhadap Perilaku Konsumsi Makanan Jajanan Pelajar Kelas Khusus SMA Negeri 1 Panyabungan Kabupaten Mandailing Natal Tahun

(2008), dan Babihoe (2009) menunjukkan bahwa penerapan model PTT pada padi sawah dengan mengintroduksikan komponen-komponen teknologi budi daya sinergis mampu meningkatkan

Berdasarkan dari hasil wawancara di atas dapat diketahui bahwa perspektif atau sudut pandang Ibu IS dan Bapak R itu pertama kali mengetahui mengenai BSM

Selanjutnya hasil uji Mann-Whitney Test untuk tekanan darah diastol posttest antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol didapatkan nilai p=0.004 atau p=<0.05