• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V KESIMPULAN. tangan pemerintah bisa membuat hidup seseorang menjadi naik turun.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB V KESIMPULAN. tangan pemerintah bisa membuat hidup seseorang menjadi naik turun."

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

97

BAB V

KESIMPULAN

Pada bagian kesimpulan merupakan jawaban dari pertanyaan yang tercantum

di rumusan masalah. Pertama, menulusuri perjalanan hidup A.H. Nasution dipentas

politik, ibarat memasuki lorong-lorong misterius. Banyak ruang yang terselubung

tirai, banyak yang belum atau bahkan tak terungkap menyangkut perannya dalam

sejarah kontemporer Indonesia. Riwayat ketokohan A.H. Nasution adalah sebuah

kontroversi dan ironi. Tokoh ini merupakan legenda hidup yang bisa bercerita betapa

“tangan pemerintah” bisa membuat hidup seseorang menjadi “naik turun”.

Jenderal A.H. Nasution adalah simbol tentara yang cemerlang di bidangnya.

Doktrin-doktrin kemiliteran yang dipakai saat ini berasal dari gagasannya. A.H.

Nasution lahir di Kampung Huta Pungkut, daerah Mandailing, pada tanggal 3

Desember 1918. Kampungnya terletak di perbatasan antara Sumatera Utara dengan

Sumatera Barat. Desa A.H. Nasution terdiri dari tiga kampung, yakni Huta Pungkut

Jae (hilir), Huta Pungkut Tonga (tengah), Huta Pungkut Julu (hulu).

Ketika A.H. Nasution masih kecil, keinginan dari kakek dan neneknya,

supaya A.H. Nasution kelak menjadi guru pencak silat seperti kakeknya, tetapi

bertentangan dengan keinginan dari ayahnya. Ayah A.H. Nasution berkeinginan

supaya A.H. Nasution selesai sekolah dasar, mengutamakan kesekolah agama dan

ibunya ingin supaya A.H. Nasution sekolah di sekolah umum, disebut dengan sekolah

“Belanda” mengikuti jejak almarhum kakaknya yang sekolah dokter di Betawi.

(2)

Berbagai jenjang pendidikan telah dilewatinya, A.H. Nasution memperoleh

ijazah pada Sekolah Guru (HIK), Sekolah Menengah Atas (AMS) dan dalam bidang

militer dari Akademi Militer (KMA). Jejak langkah A.H. Nasution dengan mudah

bisa ditemukan dalam politik-militer di Indonesia. Sekitar dua puluh tahun A.H.

Nasution berjuang dalam lembaga-lembaga formal. Dialah ketua MPRS yang

dianggap berhasil menegakkan kedaulatan lembaga tertinggi itu. A.H. Nasution juga

sangat berperan dalam politik militer. Semenjak disingkirkan dari panggung

kekuasaan oleh Presiden Soekarno, muncul pemikiran tentang Dwifungsi ABRI, dan

Jalan Tengah Militer, berkat pemikiran dan usahanya, para perwira militer

menduduki posisi di politik. Bahkan tidak hanya di politik, parlemen, atau lembaga

pemerintah, para perwira tersebut menempati kedudukan di bidang perekonomian.

Jelaslah itu semua berkat jasa pemikiran dan usaha A.H. Nasution untuk

mengaktifkan bagaimana caranya militer juga ikut berperan dalam pembangunan dan

politik, tidak hanya sebagai alat pertahanan negara saja.

Konsep Dwifungsi ABRI merupakan konsep dari hasil pemikiran A.H.

Nasution. Setelah Peristiwa 17 Oktober 1952, A.H. Nasution dicopot dari jabatan

sebagai KSAD. Selama masa non-aktif dari dinas militer tersebut, A.H. Nasution

merenungkan eksistensi dan aktivitas ABRI. Ia menyimpulkan bahwa ada kesalahan

pimpinan ABRI terutama selama tahun 1950an.

Kendati sebagian besar hidup A.H. Nasution diliputi kegetiran, posisinya dalam

sejarah militer memiliki keistimewaan, pembentukan dan perkembangan militer di

Indonesia tak lepas dari polesan tangannya. Kalau Panglima Besar Jenderal

(3)

99

Soedirman dikenal sebagai “Bapak TNI”, maka A.H. Nasution pernah disebut-sebut

dengan predikat :Bapak TNI-AD”. Sebagai prajurit militer, ia menorehkan catatan

sejarah yang sangat penting bagi eksistensi dan perkembangan angkatan darat. A.H.

Nasution memang dikenal sebagai perwira lapangan, tetapi juga sebagai perwira

konseptor ulung dalam membangun struktur ABRI.

A.H.

Nasution

telah

membuat

sejumlah

tindakan

strategis

untuk

mempertahankan Negara Republik Indonesia. Pada saat politisi sipil menyerah dan

ditangkap oleh tentara Belanda, A.H. Nasution mengumumkan dibentuknya

pemerintahan militer di Jawa, karena menurut A.H. Nasution, pemerintahan sipil

sudah lumpuh dan tidak bisa melanjutkan kinerjanya. Pasukan Belanda memberikan

nama “Pemerintah Bayangan A.H. Nasution”. Itu sebabnya mengapa peran militer

sangat penting dalam politik pada masa itu. Pada masa Agresi Militer Belanda yang

menginginkan kembali menduduki Indonesia, kekacauan politik di Indonesia semakin

menjadi. Munculnya perjanjian Renville yang menguntungkan Belanda, memaksa

TNI Jawa Barat untuk berhijrah ke Jawa Tengah.

Pergantian kabinet ke kabinet Parlementer ini membuktikan bahwa politisi sipil

belum mampu memimpin negara kearah yang lebih baik. Pada masa Kabinet

Parlementer ini banyak menghasilkan perjanjian dengan Belanda yang secara politik

tidak menguntungkan bagi pihak Indonesia.

Kedua, konsepsi reorganisasi pada tubuh militer, terdapat dua kelompok yaitu

kelompok yang pro dengan reorganisasi dan kelompok yang kontra dengan

reorganisasi. Perbedaan pandangan tersebut membuat para politisi berusaha ikut

(4)

campur tangan dalam tubuh TNI AD. Akan tetapi semua itu membuat para perwira,

khusunya A.H. Nasution, geram akan mosi dari politisi di parlemen. Atas semua itu

membuat hubungan antara politisi sipil dan militer menjadi menegang. Puncak dari

ketegangan tersebut terjadi pada peristiwa yang dikenal dengan Peristiwa 17 Oktober

1952, yang pada akhirnya karier A.H. Nasution sempat berhenti dari kedinasan

militer, karena bocornya dokumen dialog antara Presiden Soekarno dengan KSAD

A.H. Nasution. Pada peristiwa tersebut militer mengerahkan pasukan dan meletakan

meriam dan persenjataan berat kearah istana negara.

Setelah diberhentikan, A.H. Nasution mencoba untuk merubah manufer kearah

politik dengan mendirikan sebuah partai yang diberi nama Ikatan Pendukung

Kemerdekaan Indonesia (IPKI) yang berasaskan Pancasila dan Undang-Undang

Dasar 1945. Manuver tersebut dinilai A.H. Nasution kurang berarti karena sedikit

sekali dari kader IPKI yang mendapatkan kursi di Parlemen.

Kekisruhan di dalam tubuh Angkatan Darat semakin menjadi, terdapat

kekosongan di kursi jabatan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD). Presiden memilih

dan menunjuk kembali A.H. Nasution untuk menduduki posisi jabatan Kepala Staf

Angkatan Darat, karena Presiden Soekarno menganggap pemikiran A.H. Nasution

tentang Jalan Tengah Tentara mungkin bisa menyelamatkan kedudukan Soekarno dan

menyelamatkan Indonesia dari krisis politik tersebut, A.H. Nasution pun menerima

dengan senang hati tawaran tersebut. Konsep Jalan Tengah tersebut sering juga

disebut dengan konsep Dwifungsi ABRI. Dampak dari konsep tersebut meletakkan

posisi militer untuk aktif dalam percaturan politik. Banyak perwira tinggi TNI yang

(5)

101

menduduki posisi penting dan strategis, baik didalam legeslatif, eksekutif, yudikatif,

bahkan di perusahaan milik Belanda yang di nasionalisasikan oleh pemerintah

menjadi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang menjadi sumber devisa utama

pemerintah masa itu.

Semenjak kembali menjabat sebagai KSAD, A.H. Nasution memberlakukan

kembali tentang reorganisasi dan membuat manuver bagaimana kalangan militer bisa

masuk dalam kancah politik dan membangun bangsa bersama politisi sipil. Selama

kerja kerasnya A.H. Nasution dalam bermanuver, akhirnya para perwira TNI

menduduki jabatan di parlemen bahkan menduduki perusahaan milik Belanda yang di

nasionalisasi yang menjadi tulang punggung bagi pendapatan negara kala itu.

Keharmonisan antara Presiden Soekarno dan KSAD A.H. Nasution akhirnya

retak, karena Partai Komunis Indonesia (PKI) berusaha mendekati Presiden

Soekarno. Presiden Soekarno juga berpikir bahwa manuver A.H. Nasution selama ini

mengancam kedudukannya, karena Soekarno merasa peran A.H. Nasution dibelakang

Soekarno. Doktrin-doktrin A.H. Nasution sangat berpengaruh di kalangan

masyarakat. Keberhasilan A.H. Nasution dalam pembebasan Irian Barat (Papua),

dalam meredam konflik atau pemberontakan yang dilakukan masyarakat dan perwira

didaerah-daerah.

Semua itu membuat kekhawatiran Presiden Soekarno untuk beralih pada PKI

yang mendukung Presiden Soekarno untuk tetap menjadi Presiden. Presiden

Soekarno perlahan mengurangi peran A.H. Nasution, puncak dari ketegangan tersebut

pada tragedi Gerakan 30 September 1965 dimana gerakan tersebut dalangnya belum

(6)

diketahui dan menjadi misteri sampai sekarang. Dalam tragedy tersebut, A.H.

Nasution menjadi salah satu target dari penculikan para perwira tinggi TNI AD. A.H.

Nasution berhasil selamat. Akan tetapi Ade Irma Nasution menjadi korban peluru

yang ditembakan oleh pasukan Cakrabirawa yang dihasut oleh PKI, selain Ade Irma

Nasution yang menjadi korban, ajudan A.H. Nasution Piere Tendean juga menjadi

korban, karena dianggap oleh pasukan Cakrabirawa itulah A.H. Nasution.

Ketiga, peran A.H. Nasution sangatlah penting di republik ini, A.H. Nasution

merupakan saksi mata yang mengalami banyak sekali peristiwa sejarah di Indonesia

ini. Pengalaman-pengalaman hidup pribadi A.H. Nasution tertuang dalam coretan

tinta hitam, dari coretan tinta hitam tersebut menghasilkan berbagai judul. Selain itu,

A.H. Nasution juga sering sekali menjadi objek penelitian oleh peneliti dalam

maupun luar negeri yang menulis tentang sejarah militer atau politik di Indonesia.

Bahkan dari tulisan pengalaman A.H. Nasution yang tercetak maupun tidak, sering

kali dipakai sebagai referensi oleh peneliti.

Kedekatan A.H. Nasution dan Presiden Soekarno disebabkan ketertarikan

Soekarno akan pemikiran konsepsi A.H. Nasution yang dikenal dengan Jalan Tengah

Tentara yang lambat laut dikenal dengan konsep Dwifungsi ABRI. Dwifungsi ABRI

itu sendiri adalah suatu konsep dimana meletakkan atau mengikutsertakan TNI

kedalam dunia politik. Dari konsep, para perwira tinggi TNI salah mengartikan

bahwa TNI wajib ikut serta dalam kancah politik, sehingga banyak perwira

menduduki kursi-kursi penting di eksekutif, legestatif, yudikatif bahkan perusahaan

BUMN.

(7)

103

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Malik Haramain. 2004. Gus Dur, Militer dan Politik. Yogyakarta: LKis.

Abdoel Fattah. 2005. Demiliterisme Tentara. Yogyakarta: LKis.

Abdul Haris Nasution. 1966. Sedjarah Perdjuangan Nasional Bersendjata. Djakarta:

Mega Bookstore.

_________. 1966. Tjatatan-tjatatan Sekitar Politik Militer Indonesia. Djakarta: CV.

Pembimbing.

_________. 1970. Tentara Nasional Indonesia. Djakarta: Seruling Masa.

_________. 1971. Kekarjaan ABRI. Djakarta: Seruling Masa.

_________.1977. Memenuhi Panggilan Tugas Jilid I: Kenangan Masa Muda. Jakarta:

Gunung Agung.

_________. 1989. Memenuhi Panggilan Tugas. Jilid 2A: Kenangan Masa Gerilya.

Jakarta: Haji Masagung.

_________. 1979. Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia. Bandung: Angkasa. Jilid

1-11.

_________. 1980. Pokok-Pokok Gerilya dan Pertahanan Republik Indonesia di Masa

Lalu dan Yang Akan Datang. Bandung: Angkasa.

_________. Bakri A.G Tianlean (ed). 1997. Bisikan Nurani Seorang Jendral. Jakarta:

Mizan Pustaka.

Alfian. 1983. Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia-Kumpulan Karangan.

Jakarta: Gramedia.

Amrin Imran. dkk. 1971. Sejarah Perkembangan Angkatan-Darat. Jakarta:

Departemen pertahanan dan Keamanan Pusat Sejarah ABRI.

Burguiere, Andre. 1986. Dictionnaire des Sciences Historiques. Paris: Presses

Universitaires de France.

Ariel Heryanto (pengantar). 1996. NASIONALISME, Refleksi Krisis Kaum Ilmuan.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Bilveer, Singh. 1996. Dwi Fungsi ABRI, Asal-usul, Aktualisasi dan Implikasinya bagi

Stabilitas dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia.

C.S.T. Kansil dan Julianto S.A. 1982. Sejarah Perjuangan Pergerakan Kebangsaan

Indonesia. Jakarta: Erlangga.

(8)

Diamond, Larry dan Marc F. Plattner. 2001. Hubungan Sipil Militer dan Konsolidasi

Demokrasi. Jakarta: Raja Grafindo.

__________2001. Terjemahan dari Civil Military Relations and Democracy. Jakarta:

Rajawali Press.

Djoko Subroto. 1998. Visi ABRI Menatap Masa Depan. Yogyakarta: Gadjah Mada

University Press.

Disjarah AD. 1971. Cuplikan Sejarah Perjuangan TNI AD. Jakarta: Offset Virogosari.

Dinas Militer Angkatan Darat. 1972 Cuplikan Sejarah Perjuangan

TNI-Angkatan Darat. Bandung: Dinas Sejarah Militer TNI-TNI-Angkatan Darat dan

Fa. Mahjuma

Dinas Sejarah Militer TNI AD. 1979. Sejarah TNI AD 1945-1973 Jilid 2. Peranan

TNI AD Menegakkan Kesutuan RI. Jakarta: Dinas Sejarah Militer AD.

Dudung Abdurahman. 1999. Metode Penelitian Sejarah. Jakarta: Logos Wacana

Ilmu.

Dwi Pratomo Yulianto. 2005. Militer dan Kekuasaan, Puncak-Puncak Krisis

Hubungan Sipil-Militer di Indonesia. Yogyakarta: Narasi.

Dwipayan Ari. AAGN. et. Al., 2000. Masyarakat Pasca Militer Tantangan dan

Peluang Demiliterisme di Indonesia. Yogyakarta: IRE.

Eko Endarnoko (ed). 1993. Memoar: Senarai Kiprah Sejarah. Jakarta: Pustaka Utama

Grafiti.

Feith, Herbert dan Lances Castel. 1988. Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965.

Jakarta: LP3ES.

Frans M. Parera (ed). 1982. Bung Tomo: dari 10 November 1945 ke Orde Baru.

Jakarta: Gramedia.

Gottschalk, Louis. 1985. Understanding Hisory: A Primer Hisorical Methode, a.b.

Nugroho Notosusanto, Mengerti Sejarah. Jakarta: UNI Press.

Harsja W. Bachtiar. 1988. Siapa Dia? Perwira Tinggi AD. Jakarta : Djembatan.

Harun Al Rasyid. 1968. Sekitar Proklamasi, Konstitusi, dan Dekrit Presiden.

Djakarta: Pelita Ilmu.

Huntington, Samuel P. 1968. Political in Changing Societies. New Haven: Yale

University Press.

(9)

105

Hatta Taliwang. 2004. Jendral Besar A. H. Nasution dan Perjuangan Mahasiswa.

Jakarta: LKPI ( Lembaga Komunikasi Informasi Perkotaan).

Hendri Supriyantmono. 1994. Nasution, Dwi fungsi ABRI dan Kontribusi Ke Arah

Reformasi Politik: Tinjauan Kebijaksanaan Politik Jendral Nasution tahun

1955-1959. Surakarta: UNS Press dan yayasan Pustaka Nusatama.

Helius Sjamsuddin dan Ismaun. 1993. Pengantar Ilmu Sejarah. Jakarta: Depdikbud.

Helius Sjamsuddin. 2007. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Ombak.

Himawan Soetanto. 1994. Perintah Presiden Soekarno: Rebut Kembali Madiun.

Siliwangi Menumpas Pemberontakan PKI/Moeso 1948. Jakarta: Sinar

Harapan.

Julius Pour, Benny Moerdani. 1993. Profil, Prajurit Negarawan. Jakarta: Yayasan

Kejuangan Panglima Besar Sudirman.

Julius Pour. 2010. Gerakan 30 September: Pelaku, Pahlawan & Petualang. Jakarta:

Kompas.

Jurusan Pendidikan Sejarah. 2006. Pedoman Penulisan Tugas Akhir Skripsi.

Yogyakarta: Jurusan Pendidikan Sejarah, FISE UNY.

Kuntowijoyo. 1994. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana.

___________. 1999. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Bentang.

Mabes ABRI. 1988. Doktrin Perjuangan TNI-ABRI ‘Catur Darma Eka Karma’

Cadek 1988. Jakarta: Mabes ABRI.

Miriam Budiardjo. 2002. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka

Utama.

Mohammad Roem. 1972. Bunga Rampai Dari Sejarah. Jakarta: Bulan Bintang.

Nordlinger, Eric A. Sahat Simamora (a.b). 1994. Militer Dalam Politik. Jakarta:

Rineka Cipta.

Nugroho Notosusanto. 1984. Perjuangan dan Prajurit. Jakarta: Intermasa.

____________. 1984. Pejuang dan Prajurit; Konsepsi dan Implementasi Dwifungsi

ABRI. Jakarta: Sinar Harapan.

____________. 1993. Sejarah Nasional Indonesia VI. Jakarta. Sinar Harapan

Petrik Matanasi. 2007. KNIL Bom Waktu Tinggalan Belanda. Yogyakarta: Medpress.

Rizal Sukma dan J. Kristiadi (penyunting). 1999. Hubungan Sipil Militer dan Transisi

(10)

Saefur Rochmat. 2009. Ilmu Sejarah Dalam Perspektif Ilmu Sosial. Yogyakarta:

Graha Ilmu.

Saleh As’ad Djamhari. 1971. Ikhtisar Sejarah ABRI 1945-Sekarang. Jakarta: Pusjarah

ABRI.

Salim Said. 1991. Genesis of Power, General Sudirman and The Indonesian Military

in Politics: 1945-1949. Singapura dan Jakarta: ISEAS dan Pustaka Sinar

Harapan.

________. 2001. Hubungan Sipil-Militer dan Demokrasi: Pengalaman Indonesia:

Militer Indonesia dan Politik: Dulu, Kini, dan Kelak. Jakarta: Pustaka

Sinar Harapan.

________. 2001. Militer Indonesia dan Politik: Dulu, Kini, dan Kelak. Jakarta:

Pustaka Sinar Harapan.

Sartono Kartodirdjo. 1982. Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia.

Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

_________. 1993. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Jakarta: PT.

Gramedia Pustaka Utama.

Sekertariat Negara Republik Indonesia. 1981. 30 Tahun Indonesia Merdeka. Jakarta:

Tira Pustaka.

Shaw, Martin. 2001. Bebas dari Militer: Analisa Sosiologis Atas Kecenderungan

Masyarakat Modern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sides Sudaryanto (ed). 1983. Tingkah Laku Politik Panglima Besar Soedirman.

Jakarta: Karya Unipers.

Singh, Bilveer. (a.b) Robert Hariono Imam. 1996. Dwifungsi ABRI, Asal-usul,

Aktualisasi dan Implikasinya bagi Stabilitas dan Pembangunan. Jakarta:

PT. Gramedia Pustaka Utama.

Simatupang, T. B. 1981. Pelopor Dalam Perang-Pelopor Dalam Damai. Jakarta:

Sinar Harapan.

Soebijono, dkk. 1995. Dwifungsi ABRI, Perkembangan dan Peranannya dalam

Kehidupan Politik di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University

Press.

Solichin Salam. 1990. A.H. Nasution: Prajurit, Pejuang, dan Pemikir. Jakarta:

Penerbit Kuning Mas.

(11)

107

Stanley Adi Prasetyo dan Toriq Hadad (ed). 2002. Jenderal Tanpa Pasukan, Politisi

Tanpa Partai: Perjalanan Hidup A.H.Nasution. Jakarta: Grafitipers.

(cetakan kedua).

Suyatno Kartodirdjo. 1997. Kepemimpinan ABRI dalam Perspektif sejarah. Dalam

Djoko Subroto, Visi ABRI Menatap Masa Depan. Yogyakarta: Gadjah

Mada University Press.

Syamsul Maarif. 2011. Militer Dalam Parlemen 1960-2004: Seri Kajian Sosiologi

Militer. Jakarta: Prenada Media Group

TIM. 1999. Hubungan Militer, Peran, Kontribusi dan Tanggungjawab

Sipil-Militer dalam Penyelenggaraan Negara. Jakarta: Gramedia.

TIM PDAT, Stanley Adi Prasetyo dan Toriq Hadad (ed). 2002. Jenderal Tanpa

Pasukan, Politisi Tanpa Partai: Perjalanan Hidup A.H.Nasution. Jakarta:

Grafitipers. (cetakan kedua)

Thycydude. 1966. Histoire de la guerre du Peloponnese. Paris: Garnier-Flammarion.

Todiruan Dydo. 1990. Pergolakan Politik Tentara Sebelum dan Sesudah G30 S/PKI.

Jakarta: Golden Teroyan Press.

Ulf Sundhaussen. 1988. Politik Militer Indonesia 1945-1967-Menuju Dwi Fungsi

ABRI. Jakarta: LP3ES.

Wawan Riyadi. 2004. Hubungan Sipil-Militer Selama Demokrasi Parlementer Tahun

1950-1959. Skripsi. Yogyakarta: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah

Mada.

Widja, IG. 1989. Sejarah Lokal Suatu Perspektif Dalam Pengajaran Sejarah.

Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

www.kamusbahasaindonesia.org

Yahya A. Muhaimin. 1982. Perkembangan Militer Dalam Politik di Indonesia

1945-1966. Yogyakarta: Gadjah Mada Uneversity Pres.

Yason Demeterius Bani. 1992. Skripsi: Reorganisasi dan Rasionalisasi Angkatan

Perang Republik Indonesia. UGM.

________. (1993). M.E.M.O.A.R senerai Kiprah sejarah diangkat dari majalah

Tempo. Buku kesatu. Djakarta: Pustaka Utama Grafiti.

Referensi

Dokumen terkait

Pengaruh Model Problem Based Learning Berbantuan Kartu Masalah Terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika Siswa Sekolah

Faktor untuk menganalisis pengembangan budidaya tambak udang vanname di Kabupaten Kendal meliputi faktor internal terdiri dari produksi tambak, manajemen tambak, sarana prasarana,

dalam wujud tas wanita. Tas wanita memiliki variasi yang banyak. Ini tak lepas dari fashion wanita yang mendominasi industri mode. Model tas untuk wanita juga mudah

Aset tetap adalah aset berwujud yang memounyai masa manfaat lebih dari satu tahun untuk digunakan dalam kegiatan ekonomi sebuah instansi.. Aset tetap diklasifikasikan berdasarkan

Beberapa contoh pengetahuan jenis ini misalnya, pengetahuan tentang metode penelitian yang sesuai untuk suatu permasalahan sosial dan pengetahuan tentang

Seharusnya jumlah perentase yang paling besar adalah berada pada Leukosit Jenis neutrophil , sedangkan didapatkan hasil bahwa jenis leukosit yang paling banyak jumlah persentase

Yang perlu kita ingat bahwa penanaman disiplin itu harus dimulai dari dalam diri kita sendiri, sebelum kita menyuruh atau mengatur disiplinnya orang lain, misalnya

Indeks Tendensi Konsumen (ITK) merupakan indeks yang menggambarkan kondisi ekonomi konsumen pada triwulan berjalan dan perkiraan pada triwulan mendatang.. ITK