97
BAB V
KESIMPULAN
Pada bagian kesimpulan merupakan jawaban dari pertanyaan yang tercantum
di rumusan masalah. Pertama, menulusuri perjalanan hidup A.H. Nasution dipentas
politik, ibarat memasuki lorong-lorong misterius. Banyak ruang yang terselubung
tirai, banyak yang belum atau bahkan tak terungkap menyangkut perannya dalam
sejarah kontemporer Indonesia. Riwayat ketokohan A.H. Nasution adalah sebuah
kontroversi dan ironi. Tokoh ini merupakan legenda hidup yang bisa bercerita betapa
“tangan pemerintah” bisa membuat hidup seseorang menjadi “naik turun”.
Jenderal A.H. Nasution adalah simbol tentara yang cemerlang di bidangnya.
Doktrin-doktrin kemiliteran yang dipakai saat ini berasal dari gagasannya. A.H.
Nasution lahir di Kampung Huta Pungkut, daerah Mandailing, pada tanggal 3
Desember 1918. Kampungnya terletak di perbatasan antara Sumatera Utara dengan
Sumatera Barat. Desa A.H. Nasution terdiri dari tiga kampung, yakni Huta Pungkut
Jae (hilir), Huta Pungkut Tonga (tengah), Huta Pungkut Julu (hulu).
Ketika A.H. Nasution masih kecil, keinginan dari kakek dan neneknya,
supaya A.H. Nasution kelak menjadi guru pencak silat seperti kakeknya, tetapi
bertentangan dengan keinginan dari ayahnya. Ayah A.H. Nasution berkeinginan
supaya A.H. Nasution selesai sekolah dasar, mengutamakan kesekolah agama dan
ibunya ingin supaya A.H. Nasution sekolah di sekolah umum, disebut dengan sekolah
“Belanda” mengikuti jejak almarhum kakaknya yang sekolah dokter di Betawi.
Berbagai jenjang pendidikan telah dilewatinya, A.H. Nasution memperoleh
ijazah pada Sekolah Guru (HIK), Sekolah Menengah Atas (AMS) dan dalam bidang
militer dari Akademi Militer (KMA). Jejak langkah A.H. Nasution dengan mudah
bisa ditemukan dalam politik-militer di Indonesia. Sekitar dua puluh tahun A.H.
Nasution berjuang dalam lembaga-lembaga formal. Dialah ketua MPRS yang
dianggap berhasil menegakkan kedaulatan lembaga tertinggi itu. A.H. Nasution juga
sangat berperan dalam politik militer. Semenjak disingkirkan dari panggung
kekuasaan oleh Presiden Soekarno, muncul pemikiran tentang Dwifungsi ABRI, dan
Jalan Tengah Militer, berkat pemikiran dan usahanya, para perwira militer
menduduki posisi di politik. Bahkan tidak hanya di politik, parlemen, atau lembaga
pemerintah, para perwira tersebut menempati kedudukan di bidang perekonomian.
Jelaslah itu semua berkat jasa pemikiran dan usaha A.H. Nasution untuk
mengaktifkan bagaimana caranya militer juga ikut berperan dalam pembangunan dan
politik, tidak hanya sebagai alat pertahanan negara saja.
Konsep Dwifungsi ABRI merupakan konsep dari hasil pemikiran A.H.
Nasution. Setelah Peristiwa 17 Oktober 1952, A.H. Nasution dicopot dari jabatan
sebagai KSAD. Selama masa non-aktif dari dinas militer tersebut, A.H. Nasution
merenungkan eksistensi dan aktivitas ABRI. Ia menyimpulkan bahwa ada kesalahan
pimpinan ABRI terutama selama tahun 1950an.
Kendati sebagian besar hidup A.H. Nasution diliputi kegetiran, posisinya dalam
sejarah militer memiliki keistimewaan, pembentukan dan perkembangan militer di
Indonesia tak lepas dari polesan tangannya. Kalau Panglima Besar Jenderal
99
Soedirman dikenal sebagai “Bapak TNI”, maka A.H. Nasution pernah disebut-sebut
dengan predikat :Bapak TNI-AD”. Sebagai prajurit militer, ia menorehkan catatan
sejarah yang sangat penting bagi eksistensi dan perkembangan angkatan darat. A.H.
Nasution memang dikenal sebagai perwira lapangan, tetapi juga sebagai perwira
konseptor ulung dalam membangun struktur ABRI.
A.H.
Nasution
telah
membuat
sejumlah
tindakan
strategis
untuk
mempertahankan Negara Republik Indonesia. Pada saat politisi sipil menyerah dan
ditangkap oleh tentara Belanda, A.H. Nasution mengumumkan dibentuknya
pemerintahan militer di Jawa, karena menurut A.H. Nasution, pemerintahan sipil
sudah lumpuh dan tidak bisa melanjutkan kinerjanya. Pasukan Belanda memberikan
nama “Pemerintah Bayangan A.H. Nasution”. Itu sebabnya mengapa peran militer
sangat penting dalam politik pada masa itu. Pada masa Agresi Militer Belanda yang
menginginkan kembali menduduki Indonesia, kekacauan politik di Indonesia semakin
menjadi. Munculnya perjanjian Renville yang menguntungkan Belanda, memaksa
TNI Jawa Barat untuk berhijrah ke Jawa Tengah.
Pergantian kabinet ke kabinet Parlementer ini membuktikan bahwa politisi sipil
belum mampu memimpin negara kearah yang lebih baik. Pada masa Kabinet
Parlementer ini banyak menghasilkan perjanjian dengan Belanda yang secara politik
tidak menguntungkan bagi pihak Indonesia.
Kedua, konsepsi reorganisasi pada tubuh militer, terdapat dua kelompok yaitu
kelompok yang pro dengan reorganisasi dan kelompok yang kontra dengan
reorganisasi. Perbedaan pandangan tersebut membuat para politisi berusaha ikut
campur tangan dalam tubuh TNI AD. Akan tetapi semua itu membuat para perwira,
khusunya A.H. Nasution, geram akan mosi dari politisi di parlemen. Atas semua itu
membuat hubungan antara politisi sipil dan militer menjadi menegang. Puncak dari
ketegangan tersebut terjadi pada peristiwa yang dikenal dengan Peristiwa 17 Oktober
1952, yang pada akhirnya karier A.H. Nasution sempat berhenti dari kedinasan
militer, karena bocornya dokumen dialog antara Presiden Soekarno dengan KSAD
A.H. Nasution. Pada peristiwa tersebut militer mengerahkan pasukan dan meletakan
meriam dan persenjataan berat kearah istana negara.
Setelah diberhentikan, A.H. Nasution mencoba untuk merubah manufer kearah
politik dengan mendirikan sebuah partai yang diberi nama Ikatan Pendukung
Kemerdekaan Indonesia (IPKI) yang berasaskan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar 1945. Manuver tersebut dinilai A.H. Nasution kurang berarti karena sedikit
sekali dari kader IPKI yang mendapatkan kursi di Parlemen.
Kekisruhan di dalam tubuh Angkatan Darat semakin menjadi, terdapat
kekosongan di kursi jabatan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD). Presiden memilih
dan menunjuk kembali A.H. Nasution untuk menduduki posisi jabatan Kepala Staf
Angkatan Darat, karena Presiden Soekarno menganggap pemikiran A.H. Nasution
tentang Jalan Tengah Tentara mungkin bisa menyelamatkan kedudukan Soekarno dan
menyelamatkan Indonesia dari krisis politik tersebut, A.H. Nasution pun menerima
dengan senang hati tawaran tersebut. Konsep Jalan Tengah tersebut sering juga
disebut dengan konsep Dwifungsi ABRI. Dampak dari konsep tersebut meletakkan
posisi militer untuk aktif dalam percaturan politik. Banyak perwira tinggi TNI yang
101
menduduki posisi penting dan strategis, baik didalam legeslatif, eksekutif, yudikatif,
bahkan di perusahaan milik Belanda yang di nasionalisasikan oleh pemerintah
menjadi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang menjadi sumber devisa utama
pemerintah masa itu.
Semenjak kembali menjabat sebagai KSAD, A.H. Nasution memberlakukan
kembali tentang reorganisasi dan membuat manuver bagaimana kalangan militer bisa
masuk dalam kancah politik dan membangun bangsa bersama politisi sipil. Selama
kerja kerasnya A.H. Nasution dalam bermanuver, akhirnya para perwira TNI
menduduki jabatan di parlemen bahkan menduduki perusahaan milik Belanda yang di
nasionalisasi yang menjadi tulang punggung bagi pendapatan negara kala itu.
Keharmonisan antara Presiden Soekarno dan KSAD A.H. Nasution akhirnya
retak, karena Partai Komunis Indonesia (PKI) berusaha mendekati Presiden
Soekarno. Presiden Soekarno juga berpikir bahwa manuver A.H. Nasution selama ini
mengancam kedudukannya, karena Soekarno merasa peran A.H. Nasution dibelakang
Soekarno. Doktrin-doktrin A.H. Nasution sangat berpengaruh di kalangan
masyarakat. Keberhasilan A.H. Nasution dalam pembebasan Irian Barat (Papua),
dalam meredam konflik atau pemberontakan yang dilakukan masyarakat dan perwira
didaerah-daerah.
Semua itu membuat kekhawatiran Presiden Soekarno untuk beralih pada PKI
yang mendukung Presiden Soekarno untuk tetap menjadi Presiden. Presiden
Soekarno perlahan mengurangi peran A.H. Nasution, puncak dari ketegangan tersebut
pada tragedi Gerakan 30 September 1965 dimana gerakan tersebut dalangnya belum
diketahui dan menjadi misteri sampai sekarang. Dalam tragedy tersebut, A.H.
Nasution menjadi salah satu target dari penculikan para perwira tinggi TNI AD. A.H.
Nasution berhasil selamat. Akan tetapi Ade Irma Nasution menjadi korban peluru
yang ditembakan oleh pasukan Cakrabirawa yang dihasut oleh PKI, selain Ade Irma
Nasution yang menjadi korban, ajudan A.H. Nasution Piere Tendean juga menjadi
korban, karena dianggap oleh pasukan Cakrabirawa itulah A.H. Nasution.
Ketiga, peran A.H. Nasution sangatlah penting di republik ini, A.H. Nasution
merupakan saksi mata yang mengalami banyak sekali peristiwa sejarah di Indonesia
ini. Pengalaman-pengalaman hidup pribadi A.H. Nasution tertuang dalam coretan
tinta hitam, dari coretan tinta hitam tersebut menghasilkan berbagai judul. Selain itu,
A.H. Nasution juga sering sekali menjadi objek penelitian oleh peneliti dalam
maupun luar negeri yang menulis tentang sejarah militer atau politik di Indonesia.
Bahkan dari tulisan pengalaman A.H. Nasution yang tercetak maupun tidak, sering
kali dipakai sebagai referensi oleh peneliti.
Kedekatan A.H. Nasution dan Presiden Soekarno disebabkan ketertarikan
Soekarno akan pemikiran konsepsi A.H. Nasution yang dikenal dengan Jalan Tengah
Tentara yang lambat laut dikenal dengan konsep Dwifungsi ABRI. Dwifungsi ABRI
itu sendiri adalah suatu konsep dimana meletakkan atau mengikutsertakan TNI
kedalam dunia politik. Dari konsep, para perwira tinggi TNI salah mengartikan
bahwa TNI wajib ikut serta dalam kancah politik, sehingga banyak perwira
menduduki kursi-kursi penting di eksekutif, legestatif, yudikatif bahkan perusahaan
BUMN.
103
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Malik Haramain. 2004. Gus Dur, Militer dan Politik. Yogyakarta: LKis.
Abdoel Fattah. 2005. Demiliterisme Tentara. Yogyakarta: LKis.
Abdul Haris Nasution. 1966. Sedjarah Perdjuangan Nasional Bersendjata. Djakarta:
Mega Bookstore.
_________. 1966. Tjatatan-tjatatan Sekitar Politik Militer Indonesia. Djakarta: CV.
Pembimbing.
_________. 1970. Tentara Nasional Indonesia. Djakarta: Seruling Masa.
_________. 1971. Kekarjaan ABRI. Djakarta: Seruling Masa.
_________.1977. Memenuhi Panggilan Tugas Jilid I: Kenangan Masa Muda. Jakarta:
Gunung Agung.
_________. 1989. Memenuhi Panggilan Tugas. Jilid 2A: Kenangan Masa Gerilya.
Jakarta: Haji Masagung.
_________. 1979. Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia. Bandung: Angkasa. Jilid
1-11.
_________. 1980. Pokok-Pokok Gerilya dan Pertahanan Republik Indonesia di Masa
Lalu dan Yang Akan Datang. Bandung: Angkasa.
_________. Bakri A.G Tianlean (ed). 1997. Bisikan Nurani Seorang Jendral. Jakarta:
Mizan Pustaka.
Alfian. 1983. Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia-Kumpulan Karangan.
Jakarta: Gramedia.
Amrin Imran. dkk. 1971. Sejarah Perkembangan Angkatan-Darat. Jakarta:
Departemen pertahanan dan Keamanan Pusat Sejarah ABRI.
Burguiere, Andre. 1986. Dictionnaire des Sciences Historiques. Paris: Presses
Universitaires de France.
Ariel Heryanto (pengantar). 1996. NASIONALISME, Refleksi Krisis Kaum Ilmuan.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Bilveer, Singh. 1996. Dwi Fungsi ABRI, Asal-usul, Aktualisasi dan Implikasinya bagi
Stabilitas dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia.
C.S.T. Kansil dan Julianto S.A. 1982. Sejarah Perjuangan Pergerakan Kebangsaan
Indonesia. Jakarta: Erlangga.
Diamond, Larry dan Marc F. Plattner. 2001. Hubungan Sipil Militer dan Konsolidasi
Demokrasi. Jakarta: Raja Grafindo.
__________2001. Terjemahan dari Civil Military Relations and Democracy. Jakarta:
Rajawali Press.
Djoko Subroto. 1998. Visi ABRI Menatap Masa Depan. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Disjarah AD. 1971. Cuplikan Sejarah Perjuangan TNI AD. Jakarta: Offset Virogosari.
Dinas Militer Angkatan Darat. 1972 Cuplikan Sejarah Perjuangan
TNI-Angkatan Darat. Bandung: Dinas Sejarah Militer TNI-TNI-Angkatan Darat dan
Fa. Mahjuma
Dinas Sejarah Militer TNI AD. 1979. Sejarah TNI AD 1945-1973 Jilid 2. Peranan
TNI AD Menegakkan Kesutuan RI. Jakarta: Dinas Sejarah Militer AD.
Dudung Abdurahman. 1999. Metode Penelitian Sejarah. Jakarta: Logos Wacana
Ilmu.
Dwi Pratomo Yulianto. 2005. Militer dan Kekuasaan, Puncak-Puncak Krisis
Hubungan Sipil-Militer di Indonesia. Yogyakarta: Narasi.
Dwipayan Ari. AAGN. et. Al., 2000. Masyarakat Pasca Militer Tantangan dan
Peluang Demiliterisme di Indonesia. Yogyakarta: IRE.
Eko Endarnoko (ed). 1993. Memoar: Senarai Kiprah Sejarah. Jakarta: Pustaka Utama
Grafiti.
Feith, Herbert dan Lances Castel. 1988. Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965.
Jakarta: LP3ES.
Frans M. Parera (ed). 1982. Bung Tomo: dari 10 November 1945 ke Orde Baru.
Jakarta: Gramedia.
Gottschalk, Louis. 1985. Understanding Hisory: A Primer Hisorical Methode, a.b.
Nugroho Notosusanto, Mengerti Sejarah. Jakarta: UNI Press.
Harsja W. Bachtiar. 1988. Siapa Dia? Perwira Tinggi AD. Jakarta : Djembatan.
Harun Al Rasyid. 1968. Sekitar Proklamasi, Konstitusi, dan Dekrit Presiden.
Djakarta: Pelita Ilmu.
Huntington, Samuel P. 1968. Political in Changing Societies. New Haven: Yale
University Press.
105
Hatta Taliwang. 2004. Jendral Besar A. H. Nasution dan Perjuangan Mahasiswa.
Jakarta: LKPI ( Lembaga Komunikasi Informasi Perkotaan).
Hendri Supriyantmono. 1994. Nasution, Dwi fungsi ABRI dan Kontribusi Ke Arah
Reformasi Politik: Tinjauan Kebijaksanaan Politik Jendral Nasution tahun
1955-1959. Surakarta: UNS Press dan yayasan Pustaka Nusatama.
Helius Sjamsuddin dan Ismaun. 1993. Pengantar Ilmu Sejarah. Jakarta: Depdikbud.
Helius Sjamsuddin. 2007. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Ombak.
Himawan Soetanto. 1994. Perintah Presiden Soekarno: Rebut Kembali Madiun.
Siliwangi Menumpas Pemberontakan PKI/Moeso 1948. Jakarta: Sinar
Harapan.
Julius Pour, Benny Moerdani. 1993. Profil, Prajurit Negarawan. Jakarta: Yayasan
Kejuangan Panglima Besar Sudirman.
Julius Pour. 2010. Gerakan 30 September: Pelaku, Pahlawan & Petualang. Jakarta:
Kompas.
Jurusan Pendidikan Sejarah. 2006. Pedoman Penulisan Tugas Akhir Skripsi.
Yogyakarta: Jurusan Pendidikan Sejarah, FISE UNY.
Kuntowijoyo. 1994. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana.
___________. 1999. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Bentang.
Mabes ABRI. 1988. Doktrin Perjuangan TNI-ABRI ‘Catur Darma Eka Karma’
Cadek 1988. Jakarta: Mabes ABRI.
Miriam Budiardjo. 2002. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
Mohammad Roem. 1972. Bunga Rampai Dari Sejarah. Jakarta: Bulan Bintang.
Nordlinger, Eric A. Sahat Simamora (a.b). 1994. Militer Dalam Politik. Jakarta:
Rineka Cipta.
Nugroho Notosusanto. 1984. Perjuangan dan Prajurit. Jakarta: Intermasa.
____________. 1984. Pejuang dan Prajurit; Konsepsi dan Implementasi Dwifungsi
ABRI. Jakarta: Sinar Harapan.
____________. 1993. Sejarah Nasional Indonesia VI. Jakarta. Sinar Harapan
Petrik Matanasi. 2007. KNIL Bom Waktu Tinggalan Belanda. Yogyakarta: Medpress.
Rizal Sukma dan J. Kristiadi (penyunting). 1999. Hubungan Sipil Militer dan Transisi
Saefur Rochmat. 2009. Ilmu Sejarah Dalam Perspektif Ilmu Sosial. Yogyakarta:
Graha Ilmu.
Saleh As’ad Djamhari. 1971. Ikhtisar Sejarah ABRI 1945-Sekarang. Jakarta: Pusjarah
ABRI.
Salim Said. 1991. Genesis of Power, General Sudirman and The Indonesian Military
in Politics: 1945-1949. Singapura dan Jakarta: ISEAS dan Pustaka Sinar
Harapan.
________. 2001. Hubungan Sipil-Militer dan Demokrasi: Pengalaman Indonesia:
Militer Indonesia dan Politik: Dulu, Kini, dan Kelak. Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan.
________. 2001. Militer Indonesia dan Politik: Dulu, Kini, dan Kelak. Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan.
Sartono Kartodirdjo. 1982. Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
_________. 1993. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama.
Sekertariat Negara Republik Indonesia. 1981. 30 Tahun Indonesia Merdeka. Jakarta:
Tira Pustaka.
Shaw, Martin. 2001. Bebas dari Militer: Analisa Sosiologis Atas Kecenderungan
Masyarakat Modern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sides Sudaryanto (ed). 1983. Tingkah Laku Politik Panglima Besar Soedirman.
Jakarta: Karya Unipers.
Singh, Bilveer. (a.b) Robert Hariono Imam. 1996. Dwifungsi ABRI, Asal-usul,
Aktualisasi dan Implikasinya bagi Stabilitas dan Pembangunan. Jakarta:
PT. Gramedia Pustaka Utama.
Simatupang, T. B. 1981. Pelopor Dalam Perang-Pelopor Dalam Damai. Jakarta:
Sinar Harapan.
Soebijono, dkk. 1995. Dwifungsi ABRI, Perkembangan dan Peranannya dalam
Kehidupan Politik di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.
Solichin Salam. 1990. A.H. Nasution: Prajurit, Pejuang, dan Pemikir. Jakarta:
Penerbit Kuning Mas.
107