BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas kuliah dengan metode “Task Reading” yang difasilitasi oleh tutor kelompok kami yaitu dr. Warda El Maida Rusdi.
Dalam makalah ini kami akan membahas tentang “Spodylodiscitis” yang mencakup pengertian spondylodiscitis itu sendiri, dimana spondylodiscitis adalah infeksi pada diskus dan vertebrae yang berdekatan dengan diskus yang disebabkan oleh piogen . Gejala dari infeksi ini tidaklah spesifik, diantaranya demam, nyeri lokal, dan tanda-tanda neurologis ketika kelainan bentuk struktur yang terkena semakin parah. Kurangnya gejala spesifik, mengakibatakan keterlambatan diagnosa sehingga menyebabkan potensi untuk morbiditas dan mortalitas tinggi. Dalam kebanyakan kasus, pasien yang terkena memiliki satu atau lebih kondisi yang mendasari predisposisi, seperti diabetes mellitus, alkoholisme, infeksi HIV, kelainan tulang belakang atau intervensi, maupun infeksi lokal atau sistemik yang berpotensi menjadi spondylodiscitis.
Oleh karena itu, sepatutnya kita harus lebih mendalami tentang spondylodiscitis baik itu presentasi, faktor resiko, diagnosa, dan penatalaksanaan penyakit ini. Semua hal ini kami bahas dalam makalah TR kami kali ini agar bermanfaat bagi kita semua dan semoga dapat membantu mengurangi masalah keterlambatan diagnosa yang meyebabkan potensi morbiditas dan mortalitas tinggi.
1.2.Tujuan
a. Mengetahui anatomi diskus intervertebralis. b. Mengetahui definisi dari spondylodiscitis. c. Mengetahui epidemiologi spondylodiscitis. d. Mengetahui pathogenesis spondylodiscitis.
e. Mengetahui organism apa saja yang dapat menyebabkan spondylodiscitis. f. Mengetahui bentuk-bentuk spesifik dari spondylodiscitis.
g. Mengetahui manifestasi klinis dari spondylodiscitis.
h. Mengetahui factor resiko yang dapat menyebabkan spondylodiscitis. i. Mengetahui cara mendiagnosa spondylodiscitis.
j. Mengetahui pemeriksaan penunjang apa saja yang digunakan untuk menegakkan diagnosa spondylodiscitis.
k. Mengetahui diagnosa bamding dari spondylodiscitis.
l. Mengetahui prognosis dari pasien yang menderita spondylodiscitis. m. Mengetahui penatalaksanaan dari spondylodiscitis.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.Anatomi Discus Intervertebralis
Columna vertebralis terdiri dari 33 vertebrae, yaitu 7 vertebrae cervicalis, 12 vertebrae thoracicus, 5 veetebrae lumbalis, 5 vertebrae sacralis (yang bersatu membentuk os sacrum), dan 4 vertebrae coccygis (tiga yang di bawah umumnya bersatu). Struktur columna ini fleksibel, karena columna ini bersegmen-segmen dan tersusun atas vertebrae, sendi-sendi, dan bantalan fibrocartilago yang disebut discus intervertebralis.
Discus intervertebralis menyusun seperempat dari panjang columna vertebralis. Struktur ini dapat dianggap sebagai discus semielastis, yang terletak diantara corpus vertebrae yang berdekatan dan bersifat kaku. Ciri fisiknya memungkinkannya berfungsi sebagai peredam benturan bila beban pada columna vertebralis mendadak bertambah , seperti bila seseorang melompat dari tempat yang tinggi. Kelenturannya memungkinkan vertebra yang kaku dapat bergerak satu dengan yang lainnya. Sayangnya daya pegas ini berangsur-angsur menghilang dengan bertambahnya usia.
Setiap discus terdiri atas bagian pinggir, annulus fibrosus, dan bagian tengah yaitu nucleus pulposus.
a. Anulus fibrosus
Terdiri atas jaringan fibrocartilago, di dalamnya serabut-serabut kolagen tersusun dalam lamel-lamel yang konsentris. Berkas kolagen berjalan miring diantara corpus vertebrae yang berdekatan, dan lamel-lamel yang lainnya berjalan dalam arah sebaliknya. Serabut-serabut yang lebih perifer melekat dengan erat pada ligamentum longitudinal anterius dan posterius columna vertebralis.
b. Nucleus pulposus
Nucleus pulposus pada anak-anak dan remaja merupakan massa lonjong dari zat gelatin yang banyak mengandung air, sedikit serabut kolagen, dan sedikit sel-sel tulang rawan. Biasanya berada dalam tekanan dan terletak sedikit lebih dekat ke pinggir posterior daripada pinggir anterior discus.
Gambar 1. A. Pandangan lateral kolumna vertebralis. B. Ciri-ciri umum berbagai jenis vertebrae.
Permukaan atas dan bawah corpus vertebrae yang berdekatan yang menempel pada discus diliputi oleh cartilage hyaline yang tipis.
Sifat nucleus pulposus yang setengah cair memungkinkannya berubah bentuk dan vertebra dapat menjungkit ke depan atau ke belakang di atas yang lain, seperti pada gerakan fleksi dan ekstensi columna vertebralis.
Dengan bertambahnya umur, kandungan air di dalam nucleus pulposus berkurang dan digantikan oleh fobrocartilago. Serabut-serabut collagen annulus berdegenerasi, dan sebagai akibatnya annulus tidak lagi berada dalam tekanan. Pada usia lanjut, discus ini tipis dan kurang lentur, dan tidak dapat lagi dibedakan antara nucleus dan annulus.
Discus intervertebralis tidak ditemukan diantara vertebra C1 dan 2 atau di dalam os sacrum atau os coccygeus.(5)
2.2.Definisi Spondylodiscitis
Spondylodiscitis adalah infeksi pada diskus intervertebralis dan corpus vertebra yang berdekatan karena masuknya piogen, yang biasanya melalui jalur hematogen. Plain film radiography (pada tahap awal terlihat normal) menunjukkan vertebral endplate yang terlihat kabur dan berkurangnya tinggi diskus yang berlangsung cepat. MRI merupakan pemeriksaan penunjang yang dianjurkan karena dapat mendeteksi edema dalam tulang trabekular sangat awal sebelum terjadinya kehancuran. Injeksi medium kontras dengan saturasi sinyal lemak dapat meningkatkan deteksi dan visualisasi penyebaran infeksi di jaringan ikat dan ruang epidural. Pencitraan dapat juga digunakan untuk memandu aspirasi menggunakan jarum untuk menginvestigasi agen infektif.(4)
2.3.Epidemiologi
Insiden tahunan kasus spondylodiscitis di Prancis, berdasarkan database dari The French Hospital (PMSI) sebanyak 2,4 per 100.000 orang, sebuah angka yang sebanding dengan negara-negara barat lainnya. Rasio berdasrkan jenis kelamin yaitu 1,5 untuk pria dan 1 untuk wanita, dan rata-rata usia yang terkena spondylodiscitis ini adalah 59 tahun (1-98 tahun). Anak-anak dan usia dibawah 20 tahun hanya terhitung 3% dari jumlah penderita, tanpa perbedaan jenis kelamin. Setelah umur 20 tahun, didominasi oleh pasien pria. Spondylodiscitis adalah hasil dari infeksi lewat jalur hematogen, kontak langsung, atau kontaminasi dari infeksi jaringan yang bersebelahan. Infeksi hematogen adalah penyebab utama pada anak-anak (60-80% kasus) karena diskusnya sangat tervaskularisasi, tetapi pada orang dewasa vaskularisasinya berkurang. Spodylodiscitis
dapat juga disebabkan oleh infeksi pada lokasi yang jauh dari tulang belakang (endokardirtis, abses, infeksi saluran kemih, infeksi paru-paru atau pelvis), timbul setelah intervensi bedah dalam situs yang jauh (panggul, kemih, pembuluh darah, operasi jantung atau organ dalam) komplikasi sebuah infeksi local yang menjadi sistemik, atau hasil penggunaan dari narkoba yang disuntikkan. Kontak langsung piogen dengan tulang (15-40%) berkembang sebagai respon terhadap kontaminasi local diskus atau vertebrae: puncture, infiltrasi, diskografi, laminectomi, discectomy, terapi laser, atau operasi untuk columna vertebrae. Masuknya piogen ke vertebrae akibat infeksi yang terjadi pada jaringan yang berdekatan, seperti abses atau aorta graft yang terinfeksi, kasusnya lebih jarang (sekitar 3% kasus). Agen yang bertanggung jawab terhadap infeksi spondylodiscitis bervariasi tergantung pada jalur kontaminasinya (hematogen, langsung, atau berdekatan) dan letak geografis (lokasi endemik TB atau tempat dimana brucellocis muncul). Tabel 1 merangkumkan agen infeksi yang dapat menyebabkan spondylodiscitis berdasarkan frekuensinya.(4)
Tabel 1. Mikroorganisme penyebab spondylodiscitis di Prancis berdasarkan frekuensi
Sumber: Diagnostic and Interventional Imaging (2012) published by Elsevier Masson SAS on behalf of
The Edition Francaises de Radiologie.
2.4.Patogenesis
Spondylodiscitis bias terjadi akibat infeksi virus atau bakteri. Pembengkakan dan peradangan pada spondylodiscitis dapat menyebabkan nyeri punggung. Jika tulang terinfeksi, bagian dalam tulang yang lunak (sumsum tulang) sering membengkak. Karena pembengkakan jaringan ini menekan dinding sebelah luar tulang yang kaku, maka
pembuluh darah di dalam sumsum bisa tertekan, menyebabkan berkurangnya aliran darah ke tulang.Tanpa pasokan darah yang memadai, bagian dari tulang bisa mati.Patogen-patogen tersebut dapat masuk kedalam tulang belakang dan cakram tulang belakang yang biasanya terlindung dengan baik, dapat mengalami infeksi melalui beberapa jalan, diantaranya :
a. Melewari aliran darah ( hematogenic)
Infeksi terjadi apabila jika organisme bersifat virulen dan jumlah inokulum yang besar. Bakeri dapat masuk kedalam tubuh secara langsung dengan adanya trauma tembus, dengan penyebaran secara hematogen dari pusatPusat peradanganyang berada jauh dari tulang belakang dapat menyebarkan patogen-patogen melalui aliran darah yang menuju tulang belakang.melalui pembuluh darah karena refluks di Batson yang pleksus disebabkan oleh peningkatan tekanan .
b. Melewati aliran getah bening ( lymphogeneric)
c. Melalui sebuah infeksi pada luka sesudah operasi (iatrogenic)
Pada prinsipnya, ketika masuk dalam tubuh manusia, bakteri tersebut bisa menyerang ke organ mana pun. Sepanjang ada aliran darah, bakteri bisa menyerang persendian, tulang, atau bahkan otak..Jenis tulang yang biasanya diserang mikrobakterium tuberkulosis umumnya merupakan tulang-tulang besar yang menjadi penopang tubuh, seperti tulang belakang, tulang pinggul, tulang bokong, tulang bahu, termasuk persendian serta kaki.
Bakteri-bakteri penyebab tuberkulosis tersebut masuk dalam spongiosa tulang ketika terbawa oleh aliran darah. Jika tulang yang diserang ini ditekan maka akan menimbulkan rasa nyeri yang luar biasa. Namun umumnya bersifat lokal.Jadi nyerinya hanya di satu titik saja.
Jika tidak kunjung diobati, bakteri-bakteri ini akan menggerogoti dan menghancurkan tulang tempat bakteri tersebut bersarang. Lama-kelamaan tulang menjadi keropos dan hancur.(3)
2.5.Mikroorganisme Penyebab Spondylodiscitis
A. Stafilokokus
Stafilokokus merupakan bakteri gram positif berbentuk bulat biasanya tersusun dalam bentuk kluster yang tidak teratur seperti anggur. Stafilokokus tumbuh
dengan cepat pada beberapa media dan dengan aktif melakukan metabolism, fermentasi karbohidrat dan menghasiikan bermacam-macam pigmen dari warna putih hingga kuning gelap. Beberapa merupakan anggota flora normal pada kulit dan selaput lender manusia; yang lain menyebabkan supurasi dan bahkan septicemia fatal. Stafilokokus yang pathogen sering menghemolisis darah, mengkoagulasi plasma dan menghasilkan berbagai enzim ekstraseluler dan toksin.
Genus stafilokokus sedikitnya memiliki 30 spesiesl. Tiga tipe Stafilokokus yang berkaitan dengan medis adalah Staphylococcus aureus, Staphylococcus epidermidis dan Staphylococcus saprophyticus. Staphylococcus aureus bersifat koagulase positif, yang membedakannya dari spesies lain. Staphylococcus aureus adalah pathogen utama pada manusia. Hampir setiap orang pernah mengalami berbagai infeksi S. aureus selama hidupnya, dari keracunan makanan yang berat atau infeksi kulit yang kecil, sampai infeksi yang tidak bisa disembuhkan. Stafilokokus koagulase negatif merupakan flora normal manusia dan kadang-kadang menyebabkan infeksi, seringkali hal ini berhubungan dengan alat-alat yang ditanam, khusunya pada pasien yang muda, sangat tua dan mengalami penurunan daya tahan tubuh.
1. Ciri khas
Stafilokokus adalah sel yang berbentuk bola yang tersusun dalam bentuk kluster yang tidak teratur. Stafilokokus bersifat nonmotil dan tidak berbentuk spora.
2. Biakan
Stafilokokus tumbuh dengan baik pada berbagai media bakteriologi dibawah suasana aerobic atau mikroaerofilik. S. aureus biasanya membentuk koloni abu-abu hingga kuning emas.
3. Pathogenesis
Stafilokokus khususnya S. epidermidis, adalah anggota flora normal pada kulit manusia, saluran respirasi dan gastrointestinal. Stafilokokus juga ditemukan pada pakaian, sprei, dan benda lain di lingkungan manusia. Kemampuan patogenik dari galur S. aureus adalah pengaruh gabungan antara factor ekstraseluler dan toksin bersama dengan sifat daya sebar invasif. Pada satu sisi semata-mata diakibatkan oleh ingesti enterotoksin; pada sisi lain adalah bakterikimia dan penyebaran abses pada berbagai organ. Peranan berbagai bahan ekstraseluler pada pathogenesis berasal dari sifat masing-masing bahan tersebut.
S. aureus yang patogenik dan yang bersifat invasive menghasilkan koagulase dan cenderung untuk menghasilkan pigmen kuning dan menjadi hemolitik . S. aureus yang nonpatogenik dan tidak bersifat invasive seperti S. epidermidis adalah koagulase negatif dan cenderung menjadi nonhemolitik. Organism semacam itu jarang menyebabkan supurasi tapi dapat menginfeksi prostesa di bidang ortopedi atau kardiovaskular atau menyebabkan penyakit pada orang yang mengalami penurunan daya tahan tubuh. S. sapropthycus khas tidak berpigmen, resisten terhadap novobiosin dan nonhemolitik; ini menyebabkan infeksi traktus urinarius pada wanita muda.
4. Gambaran klinis :
Infeksi stafilokokus local tampak sebagai jerawat, infeksi folikel rambut atau abses. Terdapat reaksi inflamasi yang kuat, terlokalisisr dan nyeri yang mengalami supurasi sentral dan sembuh dengan cepat jika pus dikeluarkan (didrainase). Dinding fibrin dan sel sekitar bagian tengah abses cenderung mencegah penyebaran organism dan hendaknya tidak dirusak oleh manipulasi atau trauma.
Infeksi S. aureus dapat juga berasal dari kontaminasi langsung dari luka, misalnya pasca operasi infeksi stafilokokus atau infeksi yang menyertai trauma (osteomielitis kronik setelah patah tulang terbuka, meningitis yang menyertai patah tulang tengkorak).
Jika S.aureus menyebar dan terjadi bakterimia, maka bisa terjadi endokarditis , osteomielitis hematogeus akut, meningitis atau infeksi paru-paru dapat dihasilkan. Manifestasi klinik mirip dengan yang tampak pada infeksi sistemik. Lokalisasi sekunder dalam organ atau system disertai simtom dan tanda pada disfungsi organ dan supurasi fokal.
Keracunan makanan menyebabkan enterotoksin stafilokokal yang ditandai dengan periode inkubasi yang pendek (1-8 jam); mual hebat, muntah dan diare; dan cepat sembuh. Tidak ada demam.
Sindrom syok toksik dimanifestasikan oleh onset dan demam tinggi yang terjadi tiba-tiba, muntah, diare, mialgia, ruam bentuk scarlet (scarlatiniform rash) dan hipotensi dengan gagal jantung dan gagal ginjal pada kasus yang sangat berat. (1)
B. Mycobacterium tuberculosis
Dalam jaringan, basil tuberkel adalah bakteri batang lurus. Pada media buatan, bentuk kokoid dan filamentous tampak bervariasi dari satu spesies ke spesies lain. Mikrobakteria tidak dapat dikelompokkan sebagai gram positif.
1. Biakan :
Media untuk membiakkan mikrobakteria adalah media nonselektif dan media selektif. Media selektif berisi antibiotic untuk mencegah pertumbuhan kontaminan bakteri dan fungi yang berlebihan. Ada tiga formulasi umum yang dapat digunakan untuk kedua media selektif dan nonselektif.
a. Media Agar Semisintetik. Media ini berisi garam tertentu, vitamin, kofaktor, asam oleat, albumin, katalase, gliserol, glukosa, dan malachite green.
b. Media Telur Inspisasi. Media ini berisi garam tertentu, gliserol, dan substansi organic kompleks (yaitu telur segar atau kuning telur, tepung kentang dan bahan-bahan lain dengan komposisi yang bervariasi).
c. Media Kaldu. Media kaldu mendukung proliferasi inokulen kecil. Biasanya mikrobakteria tumbuh dalam rumpun atau masa karena sifat hidrofobik dari permukaan sel.
2. Karakteristik Pertumbuhan
Mikrobakteria merupakan aerobic obligat yang memperoleh energy dari oksidasi beberapa senyawa karbon sederhana. Penambahan CO2 meningkatkan pertumbuhan. Tidak ada aktivitas biokimia yang menandai. Bentuk saprofit cenderung tumbuh lebih cepat, proliferasi terjadi pada temperature 22-23˚C.
3. Patogenitas Mikrobakteria
Ada perbedaan kemampuan mikrobakteria untuk menyebabkan lesi pada spesies inang. Manusia dan babi guinea rentan terhadap infeksi M. tuberculosis, dimana unggas dan lembu resisten. M. tuberculosis dan Myobacterium bovis sama-sama pathogen terhadap manusia.
4. Gambaran klinis
Karena basil tuberkel dapat menembus ke seluruh system organ, manifestasi klinisnya adalah protean. Kelelahan, kelemahan, penurunan berat badan, dan demam dapat menandakan penyakit tuberculosis.(1)
C. Brucella
Munculnya pada kultur muda bervariasi dari kokus sampai batang. Berbentuk gram negatif.
1. Sifat Khas Pertumbuhan
Brucella beradaptasi pada kehidupan intraseluler dan kebutuhan nutrisi mereka sangat komplek. Beberapa galur telah ditumbuhkan pada media tertentu yang mengandung asam amino, vitamin, garam, dan glukosa. Specimen segar bersumber dari hewan dan manusia biasanya dibiakkan pada Trypticase Soy atau media pembiakan darah.
Brucella memanfaatkan karbohidrat tetapi tidak menghasilkan asam atau gas dalam jumlah yang cukup untuk klasifikasi. Katalase dan oksidase dihasilkan oleh empat spesies yang menginfeksi manusia.
Brucella sensitive terhadap panas dan keasaman. Bakteri ini mati dalam susu yang dipasteurisasi.
2. Pathogenesis dan Patologi
Mekanisme infeksi yang umum pada manusia terjadi pada saluran pencernaan (menelan susu yang terinfeksi), selaput lender dan kulit (kontak dengan jaringan hewan yang terinfeksi. Keju yang terbuat dari susu kambing yang tidak dipasteurisasi merupakan perantara yang umum. Organism berkembang dari pintu masuk melalui saluran limpa dan kelenjar limfe yang regional, menuju ductus thorasikus dan aliran darah, yang menyebarkannya ke organ-organ parenkhimatous. Nodul grabulomatosa yang berkembang menjadi abses terbentuk di dalam jaringan limpatik, hati, limpa, sumsum tulang dan bagian lain dari system retikuloendotelial. Pada lesi, pada prinsipnya brucella bersifat intraseluler.
Brucella yang menginfeksi manusia menunjukkan perbedaan dalam patogenitas. B abortus selalu menyebabkan penyakit ringan tanpa komplikasi bernanah; noncaseating dari granuloma non-kaseasi dapat timbul. B cannis juga menyebabkan penyakit. Infeksi B suis cenderung
menjadi kronik dengan lesi bernanah, juga bisa terjadi granuloma. Infeksi B melitensis lebih akut dan membahayakan.
Orang-orang dengan bruselosis aktif bereaksi lebih nyata (demam, mialgia) pada orang normal yang terinfeksi brucella memiliki endotoksin. Jadi sensitifitas terhadap endotoksin dapat memainkan peran dalam pathogenesis.
3. Gambaran Klinis
Masa inkubasi adalah 1-6 minggu. Perjalanan pelan dengan rasa tidak enak badan, demam lemah, sakit dan berkeringat. Demam selalu muncul pada sore hari; turun pada malam hari diikuti dengan mengalirnya keringat dengan deras. Dapat pula terjadi gejala gastrointestinal dan kecemasan. Kelenjar limfe membesar, limpa membesar dan teraba. Hepatitis dapat diikuti dengan sakit kuning. Nyeri keras dan gangguan gerakan, terutama pada tulang belakang, dengan dugaan osteomielitis. Gejala infeksi brucella yang umum menghilang dalam waktu berminggu-minggu atau berbulan-bulan, walaupun luka dan gejala masih berlanjut.
Setelah infeksi awal, stadium kronis dapat terjadi, ditandai dengan lemah, sakit, demam ringan, kecemasan dan manifestasi nonspesifik lain yang mirip dengan gejala psikoneurotik. Brucella tidak dapat diisolasikan dari pasien pada tingkatan ini. Tetapi agglutinin titer bisa tinggi. Diagnosis brucellosis kronis sulit untuk ditentukan dengan pasti kecuali luka setempat terjadi.(1)
2.6.Bentuk Spesifik Spondylodiscitis
A. Spondylodiscitis Tuberculosis
Di Prancis, lebih dari 75% kasus spondylodiscitis tuberculosis ditemukan pada penduduk imigran. Secara klinis, infeksinya bersifat subakut, dengan tampilan yang tidak konsisten pada tanda-tanda inflamasi dalam uji laboratorium dan tuberculosis visceral yang tidak sesuai. Dalam pencitraan, ada 3 tanda klinis yang harus diketahui:
1. Pada umumnya ada kompresi pada medulla spinalis (Gambar)
2. Pelebaran sentrosom, sering tercermin pada bagian yang berbeda dari diskus intervertebralis dan sering terlihat pada berbagai tingkat tulang belakang, kadang-kadang dikombinasikan dengan lesi pada lengkung posterior(gambar)
3. Abses epidural bi-lobed yang membesar, dengan batas tegas dan lokasi yang tetap yaitu di bawah ligamentum longitudinal anterior.(gambar). Karena absesnya sangat besar, maka akan terlihat pada bidang frontal MRI atau bidang koronal CT-scan. (4)
Gambar 3. Kiri: Spondylodiscitis Tuberkulosis. Memperlihatkan T1 bidang sagital pada MRI dengan fat sat. Kompresi medulla spinalis yang disebabkan oleh epiduritis spinal dengan spondylodiscitis. Kanan: Spondylodiscitis Tuberkulosis. Penampakan Godalinium T1 bidang sagital pada MRI dengan fat sat. Abses epidural bi-lobed (tanda bintang) pada posisi klasik dibawah ligamentum longitudinal anterior.
Gambar 4. Spondylodiscitis Tuberkulosis: A. Bidang aksial tomografi computer: abses dengan batas tegas dikombinasikan dengan osteolisis pada vertebrae; B. Volume akusisi 3D CT-scan: multiple geodes sentrosomatik.
B. Spondylodiscitis Brucellar
Keadaan ini sangat jarang ditemukan di Perancis. Pemeriksaan serologi bias menegakkan diagnose untuk spondylodiscitis brucellar ini. Pencitraan biasanya menunjukkan lesi destruktif yang kurang agresif dibandingkan dengan bentuk lain dari spondylodiscitis dan bias disertai dengan proliferasi tulang. Pada MRI, dokter harus menyadari temuan mencurigakan, seperti: Penyusutan diskus yang cepat, terutama penyusutan pada bagian dalam endplate superior pada diksus yang terkena dan munculnya abses epidural secara lambat. (4)
C. Spondylodiscitis pada Anak dan Bayi Baru Lahir
Meskipun gambaran klinis yang ditemukan seringkali tidak spesifik (seperti anak yang tidak mau duduk), tanda-tanda infeksi spondylodiscitis dalam gambar radiologi pada anak lebih cepat terlihat dibandingkan orang dewasa. Pada radiografi ulang akan menunjukkan kehilangan tinggi diskus dan pengikisan pada satu atau dua vertebral endplate. Dalam beberapa kasus, sonografi dapat berkontribusi untuk diagnosis dini spondylodiscitis pada bayi baru lahir.(4)
Gambar 5. Spondylodiscitis pada bayi baru lahir. A. Gambaran radiografi bagian lateral yang dilakukan pada hari pertama. B. Pada hari ke 30. Perubahan pada radiologi, terutama pengurangan tinggi diskus, terjadi dengan cepat.
Gambar 6. Spondylodiscitis pada anak: A. T2 bidang sagital pada MRI: Diskus tampak seperti penyakit degeneratif, pada dasarnya intensitas sinyal rendah pada T2. B. Tampak adanya godalinium pada T1 dengan menggunakan fat sat: tidak ada perubahan gambar yang berarti setelah injeksi medium kontras.
2.7.Manifestasi Klinis
a. Sakit punggung akibat pergerakan dan tekanan
b. Kebiasaan penderita perlu diamati, bila duduk maka lebih nyaman duduk pada sisi yang sehat
c. Nekrosis pada diskus invertebralis dan korpus vertebra.
d. Pembengkakan setempat (abscess); abses psoas, jaringan lunak sekitar tulang belakang.
e. Terdapatnya Gibbus.
f. Komplikasi nerologis dengan kerusakan motorik ( paraplegia, paresis) (3)
2.8.Faktor Resiko
a. Infeksi jarak jauh
b. Instrumentasi tulang belakang c. Penggunaan obat intravena d. Imunosupresi
e. Pemberian steroid sistemik jangka panjang f. Diabetes mellitus g. Tranplantasi organ h. Malnutrisi i. Kanker (2) 2.9. Diagnosis A. Anamnesis
Apakah pasien terkena infeksi bakteri baru-baru ini?
Apakah pasien pernah melakukan operasi/ melakukan prosedur pengobatan pada sumsum tulang belakang?
Apakah pasien mederita penyakit seperti tuberculosis ?
Apakah pasien menderita penyakit autoimun atau diabetes melitus?(2)
B. Pemeriksaan fisik
Sikap/postur tubuh
Selama perjalanan penyakitnya, sikap tubuh yang normal akan hilang. Apabila vertebra cervical terserang, maka pergerakan leher akan terbatas serta
menimbulkan rasa nyeri. Leher penderita mengalami pergeseran ke depan dan hal ini dapat dibuktikan dengan cara : penderita diminta berdiri tegak, apabila terjadi pergeseran maka occiput tidak dapat menempel pada dinding.
Mobilitas tulang belakang
Pertama kali yang diperiksa adalah apakah ada keterbatasan gerak. Biasanya ditemukan adanya keterbatasan gerak pada tulang vertebra lumbal, yang dapat dilihat dengan cara melakukan gerakan fleksi badan ke depan, ke samping dan ekstensi. Di samping itu fleksi lateral juga akan menurun dan gerak putar pada tulang belakang akan menimbulkan rasa sakit. (2)
2.10. Pemeriksaan Penunjang
A. Pemeriksaan laboratorium
Pengukuran rata-rata sedimentasi darah (BSR), penghitungan sel darah putih (leukosit), C-reaktive protein (CRP).
Pengukuran PMN (polimorfonukleous) elastase, Perhitungan jumlah limfosit
Tes tuberculin.(3) B. Deteksi patogen
Spondylodiscitis bisa dideteksi secara histologis ( seluler ) atau mikrobiologis . Jika dicurigai adanya spondilodiscitis, maka materi jaringan dari segmen tulang belakang dapat diperoleh dengan aspirasi jarum halus atau biopsy punch. meterial kemudian dapat diperiksa pada tingkat sel di bawah mikroskop. Bagian dari material tersebut dapat digunakan sebagai substrat nutrisi kemudian diidentifikasi.(3)
C. Pencitraan
Peran Pencitraan ada 3, yaitu:
Untuk membantu diagnose dini dan menentukan area yang terkena spondylodiscitis serta apakah infeksi telah menyebar ke bagian tulang belakang, diskus, ruang epidural maupun jaringan lunak.
Untuk mengidentifikasi agen infektif dan membantu aspirasi jarum
diskovertebral perkutaneous untuk menentukan jenis antibiotik yang sesuai. Untuk mendeteksi komplikasi neurologis (kompresi) atau komplikasi infeksi
1. Foto polos
Foto polos merupakan pemeriksaan pertama yang diperlukan, namun pemeriksaan ini tidak sensitive untuk mendiagnosa secara dini spondylodiscitis karena gambaran akan tetap terlihat normal untuk 2-3 minggu pertama perjalanan penyakit. Foto polos harus melakukan pemeriksaan dari anteroposterior dan lateral dari segmen tulang belakang yang mengalami gangguan. Tanda-tanda radiologi dapat terlihat tergantung berapa lama masa inkubasi agen infeksi (tanda bias terlihat lebih awal pada spondylodiscitis non-TB dibandingkan dengan spondylodiscitis non-TB) dan hanya jika kerusakan tulang melebihi 30%. Jika terjadi keterlambatan diagnose (terutama dalam kasus tuberculosis) kelainan dapat dilihat pada radiografi pada lebih dari 90% kasus. Abnormalitas pada gambaran radiografi. (Gambar 7) selama perjalanan penyakit adalah sebagai berikut :
Gambar 7. Spondylodiscitis di vertebra lumbal pada penampang lateral radiografi. Kehilangan tinggi diskus yang bersamaan dengan pengikisan vertebral endplate, memperlihatkan tulang kortikal yang tampak kabur.
Kortikal strip dari endplate vertebra tampak buram dan tidak jelas.
Sudut anterior vertebra endplate terkikis, dan temuan ini akan lebih dicurigai jika terlihat pada pemeriksaan.
Hilangnya keseluruhan tinggi diskus yang berlangung cepat (dalam waktu kurang dari 1 bulan) temuan ini akan terlihat jika pemeriksaan dilakukan dari anterior.
Perpindahan saluran nafas atau saluran pencernaan mendekati vertebra cervikalis, terlihat pada penampang lateral
Perlu dicatat bahwa meskipun vertebra lumbal yang paling sering terkena spondylodiscitis, kelainan jaringan lunak di area ini lebih sulit untuk divisualisasi pada pencitraan konvensional; dokter harus tetap melihat tepi psoas yang tampak cembung. Pada tahapan penyakit yang lebih lanjut, erosi menyebar ke seluruh vertebra endplate, maka pelebaran subkondral muncul dan terdapat penyusutan sekunder dari sentrosom. Semua kombinasi lesi ini dapat menyebabkan osteolisis yang signifikan dan kompresi vertebra. Jika diskus yang terkena makin parah mungkin akan timbul gangguan kelainan tulang belakang. Kemudian, ada tanda-tanda reformasi tulang seperti sklerosis perifer, osteophytosis, peningkatan lesi osteolitik. Tanda-tanda reformasi tulang ini bervariasi, tergantung pada agen penyebab (tanda akan lebih cepat muncul pada spondylodiscitis non-TB). Penggabungan tulang (konsolidasi) hanya dapat dikonfirmasi setelah dilakukannya pemeriksaan ulang. Jelas bahwa gambaran radiografi akan terlihat normal sehingga kecurigaan tentang spondylodiscitis akan dihilangkan. Oleh Karena itu, dokter perlu melakukan pencitraan yang lebih sensitif pada daerah yang paling dicurigai. Pada akhirnya dokter harus selalu mengingat bahwa radiografi hanya memberikan informasi minimal tentang keadaan jaringan lunak dan tidak ada sama sekali tentang epiduritis spinal. (4)
2. CT-Scan
Karena sudah tersedia alat yang lebih sensitif seperti CT-Scan, pemeriksaan akan lebih berguna terutama untuk mempelajari daerah yang sulit untuk dianalisis pada radiografi standar seperti pada daerah vertebra dorsolumbal atau tulang servikal yang lebih rendah. Kelainan akan terlihat pada computer tomography (CT) di 2 minggu pertama infeksi pada sebagian pasien. Pengamatan terhadap tanda-tanda awal akan memperlihatkan adanya penyusutan diskus yang bermanifestasi terhadap berkurangnya kepadatan tulang. Daerah osteolisis, pengikisan tulang atau pelebaran vertebral endplate
dapat dengan mudah diidentifikasi. CT-Scan juga memungkinkan dokter untuk membuat penilaian yang lebih akurat tentang tingkatan tulang yang terkena (terutama pada lengkung vertebra posterior), serta mampu mendeteksi keterlibatan kanalis vertebralis yang tidak terlihat pada radiografi standar. Ketika ada jaringan lunak yang terserang, akan menyebabkan penebalan perivertebral dengan berkurangnya lapisan lemak perifer. Penebalan ini melingkar dan tidak terfokus pada satu tempat yang berguna untuk membedakan suatu infeksi atau tumor. Injeksi intravena dari media kontras berbasis yodium menunjukkan penebalan dinding pada setiap abses paravertebral atau epidural, dan juga phlegma (lender abnormal yang disekresikan oleh tubuh selama proses infeksi). Selain itu, CT-Scan adalah teknik terbaik yang tersedia saat ini untuk memfisualisasikan sequestra (tulang yang mati yang telah terpisah dari tulang yang sehat selama proses nekrosis) di dalam kanalis, sisa kalsifikasi, dan terdapatnya gas dalam abses. Walaupun CT memiliki keuntungan tersebut, alat ini tidak memungkinkan untuk menilai tingkat abses dalam kanalis, ada atau tidaknya lesi di dural tube, atau struktur saraf perispinal. MRI lebih dapat diandalkan untuk menyelidiki tanda-tanda ini.(4)
Gambar 8. CT-Scan Spondylodiscitis TB. Rekonstruksi bidang sagital: terlihat adanya geode senstrosomatik.
3. MRI (Magnetic Resonance Imaging)
MRI adalah pemeriksaan pilihan untuk mendiagnosa spondylodiscitis karena kesentifitasnya dan spesifikasinya. Diperlukan akuisisi klasik yaitu dilihat dari bidang sagital dan aksial pada tingkatan T2 dan T1 dengan supresi sinyal lemak, sebelum dan susudah injeksi medium kontras dengan saturasi sinyal lemak. Terlepas dari agen penyebab infeksi, karakteristik yang ditemukan pada spondylodiscitis adalah intensitas sinyal yang tinggi dari diskus pada gambaran T2, intensitas sinyal rendah pada T1 dan intensitas sinyal tinggi pada gambaran vertebra yang berdekatan dengan T2, serta penebalan dari jaringan lunak paravertebral dan/atau penyusutan di dalam kanalis vertebralis. Dalam korpus vertebralis, reaksi inflamasi menyebabkan peningkatan komponen ekstraseluler tulang trabekular, sehingga intensitas sinyal yang tinggi namun masih normal dari korpus vertebra berubah menjadi intensitas sinyal rendah pada gambaran T1. Usia pasien perlu diperhatikan karena pada pasien yang masih muda, red bone marrow masih dominan dan intensitas sinyal tinggi yang dihasilkan T1 bisa menutupi adanya peradangan. Intensitas sinyal yang tinggi pada T2 akan divisualisasikan lebih jelas saat penggunakan saturasi lemak (T2 Fat Sat atau STIR).(4)
Gambar 9. Karakteristik dari Spondylodiscitis pada bidang sagital dari MRI : A. pada tingkat T1 vertebral endplate intensitas sinyalnya rendah; B. pada tingkatan T2 intensitas sinyal dari diskus tinggi; C. T1 dalam T1 Fat-Sat setelah injeksi gadolinium pada vertebral endplate dan menunjukkan peningkatan degenerasi diskus intervertebralis.
Table 2. Nilai MRI Sign
Sumber :Diagnostic and Interventional Imaging (2012) published by Elsevier Masson SAS on behalf of The Edition Francaises de Radiologie.
2.11. Diagnosis Banding
Diagnosa banding dari spondylodiscitis pada dasarnya adalah penyakit yang didasari patologi inflamasi atau mekanisme tertentu yang dapat meniru spondylodiscitis, terutama pada MRI. Spondilarthropathy inflamasi dan beberapa penyakit degeneratif pada diskus yang parah dan atipikal (penyakit diskus erosif, penyakit diskus mikrokristalin, penyakit diskus pada pasien dialisis, dll) dapat menyebabkan kelainan yang mencurigakan. Dengan penambahan tinggi dari diskus dan pembungkus vertebral endplate.
Gambar 10. A. bidang sagital. B. bidang frontal pada CT-Scan. Terdapat udara di dalam diskus (tanda panah), gambaran sklerosis (tanda bintang) dan situs berbeda yang terkena erosi (tanda panah) harus ada untuk menyeimbangkan diagnosis penyakit pengikisan diskus degenerative.
Dokter juga harus menyelidiki adanya temuan sugestif dari penyebab non-septik: a. Kemunculan yang bersamaan dari penyusutan beberapa area tulang belakang b. Tulang kortikal dari endplate hancur, endplate mengalami kondensasi
c. Tidak terlihat adannya cairan dalam diskus intervertebralis atau di area perivertebral, terdapat adanya gas dalam diskus
d. Tidak terdapat progress penyakit antara dua pemeriksaan pencitraan berturut-turut (4)
2.12. Prognosis
Prognosis untuk spondylodiscitis baik dengan terapi konservatif termasuk pemberian antibiotik, NSAID, istirahat, fisioterapi, dan penggunaan korset dalam jangka waktu 6-10 minggu. Peran fisioterapi meliputi terapi pemulihan fungsi (kekuatan, stabilitas koordinasi, mobilitas) dan latihan yang dapat meningkatkan kekuatan otot dan koordinasi serta stabilitas punggung.
2.13. Penatalaksanaan
A. Terapi konservatif
Terapi ini berdasar pada pemberian antibiotik dan imobilisasi tulang belakang. Terapi konservatif ini dapat dipertimbangkan jika gejala klinis dan kerusakan yang relatif ringan atau risiko operasi terlalu besar. Masalah utama dalam terapi konservatif adalah untuk mencapai fiksasi yang baik. Mobilisasi pada pasien hanya disarankan sekali setelah infiltrasi osseus terlihat. Meskipun istirahat tidur disarankan, namun praktik ini sekarang sedang ditinggalkan.
Gambar 11. Korset lumbal untuk spondilitis, spndilolistesis, dan spondylodiscitis
Pengobatan spontan rutin; oksasilin, dicloxacillin, dan sefalosporin diberikan. Untuk kasus yang rumit, antibiotik berspktrum luas yang efektif terhadap organisme
gram-negatif dan anaerob harus ditambahkan. NSAID atau narkotika ringan dapat membantu pasien dengan sakit parah pada awalnya sampai infeksi terkontrol.
Antibiotik untuk spondylodiscitis non-TB:
1. Penisilin
Antibiotik penisilin G merupakan obat pilihan untuk infeksi yang disebabkan oleh streptokokus, meningokokus, enterokokus, pneumokokus yang rentan-penisilin, stafilokokus yang tidak menghasilkan β-laktamase, Treponema pallidum dan banyak spiroketa lainnya, spesies klostridium, aktinomises, dan batang gram-positif serta organisme anaerob gtram-negatif yang tidak menghasilkan β-laktamase. Bergantung pada organism, tempat, dan derajat keparahan infeksi, dosis efektif berkisar antara 4 sampai 24 juta unit per hari yang diberikan intravena dalam empat atau enam dosis terbagi. Penisilin G dosis tinggi dapat juga diberikan sebagai infuse intravena secara kontinu.
Penisilin V, suatu bentuk penisilin oral, hanya diindikasikan pada infeksi ringan karena bioavailabilitasnya relative rendah, dosisnya perlu diberikan empat kali sehari, dan spectrum antibakterinya sempit.
Penisilin benzatin dan penisilin G prokain untuk suntikan intramuscular menghasilkan kadar obat yang rendah tetapi bertahan lama. Suntikan tunggal penisilin benzatin sebanyak 1,2 juta unit secara intramuscular, efektif sebagai terapi faringitis streptokokus β-hemolitikus dan untuk penisilin benzatin intramuscular yang diberikan setiap 3-4 minggu sekali mencegah reinfeksi. Penisilin G benzatin sebanyak 2,4 juta unit secara intramuscular sekali seminggu selama 1-3 minggu, efektif untuk terapi sifilis.
2. Penisilin yang resisten terhadap beta-laktamase stafilokokus (metisilin, nafsilin, dan penisilin isoksazolil)
Penisilin semisintesis ini diindikasikan untuk infeksi stafilokokus yang menghasilkan β-laktamase, walaupun galur streptokokus dan pneumokokus yang rentan terhadap penisilin juga sensitive terhadap penisilin ini. Listeria, enterokokus, dan galur stafilokokus yang resisten terhadap metisilin resisten terhadap antibiotik jenis ini.
Penisilin isokazolil, seperti oksasilin, kloksasilin atau dikloksasilin, sebanyak 0,25-0,5 g per oral tiap 406 jam (15-25 mg/kg/hari untuk anak), cocok digunakan sebagai terapi infeksi stafilokokus setempat berderajat ringan hingga
sedang. Penisilin isokazokil relatif stabil terhadap asam dan bioavailabilitasnya cukup baik. Akan tetapi, makanan mengganggu absorbsinya sehingga obat harus diberikan 1 jam sebelum atau sesudah makan.
Untuk infeksi stafilokokus sistemik yang berat, oksasilin atau nafsilin sebanyak 8-12 g/hari diberikan melalui infuse intravena intermiten sebesar 1-2 setiap 4-6 jam (50-100 mg/kg/hari untuk anak).
3. Penisilin berspektrum luas (aminopenisilin, karboksipenisilin, dan ureidopenisilin)
Obat-obat ini memiliki aktivitas yang lebih besar daripada penisilin G terhadap bakteri gram negative karena kemampuannya menembus membrane luar organism gram-negatif lebih besar. Seperti penisilin G, obat ini diinaktifkan oleh β-laktamase.
Aminopenisilin yaitu ampisilin dan amoksisilin, mempunyai spektrum dan aktivitas yang sama, tetapi amoksisilin lebih mudah diabsorbsi per oral. Amoksisilin dengan dosis 250-500 mg 3 kali sehari, setara dengan ampisilin dalam dosis yang sama 4 kali sehari. Obat-obat ini diberikan secara oral untuk mengobati infeksi saluran kemih, sinusitis, otitis, dan infeksi saluran nafas bawah. Ampisilin, pada dosis 4-12 g/hari intravena, bermanfaat mengobati infeksi berat yang disebabkan oleh organism yang rentan penisilin, termasuk organisme anaerob, enterokokus, Listeria monocytogenes, dan galur kokus dan basil gram-negatif yang tidak menghasilkan β-laktamase, seperti E. coli, dan spesies salmonella.
Ampisilin, amoksisilin, tikarsilin, dan piperasilin juga tersedia dalam kombinasi dengan salah satu dari beberapa penghambat β-laktamase: asam klavulanat, sulbaktam, atau tazabaktam. Penambahan penghambat β-laktamase meningkatkan aktivitas penisilin ini sehingga mencakup galur S. aureus yang menghasilkan β-laktamase serta beberapa bakteri gram negative yang menghasilkan β-laktamase.
4. Sefalosporin generasi pertama
Sefalosporin generasi pertama meliputi sefadroksil, sefazolin, sefaleksin, sefalotin, sefafirin, dan sefradin. Obat-obat ini sangat aktif terhadap kokus gram positif, seperti pneumokokus, streptokokus, dan stafilokokus.
5. Sefalosporin generasi kedua
Anggota Sefalosporin generasi kedua meliputi sefaklor, sefamandol, sefonisid, sefuroksim, sefprozil, lorakarbef, dan seforanid serta sefamisin yang terkait secara struktural seperti sefoksitin, sefmetazol, dan sefotetan, yang memiliki aktivitas terhadap bakteri anaerob. Pada umumnya, obat ini aktif terhadap organism yang dihambat oleh generasi pertama tetapi selain itu obat ini memiliki cakupan gram-negatif yang lebih luas seperti Klebsiellae. Sefamadol, sefuroksim, sefonisid, seforanid, dan sefaktor aktif terhadap H. influenzae tetapi tidak aktif terhadap serratia atau B. fragilis. Sebaliknya, sefoksitin, sefmetazol, dan sefotetan aktif terhadap B. fragilis dan beberapa galur serratia tetapi kurang aktif terhadap H. influenzae.
6. Sefalosporin generasi ketiga
Obat generasi ketiga termasuk sefoperazon, sefotaksim, seftazidim, seftizoksim, seftriakson, sefiksim, sefpodoksim proksetil, sefdinir, sefditoren pivoksil, seftibuten, dan moksalaktam. Beberapa obat generasi ketiga mampu menembus sawar darah otak dan aktif terhadap sitrobakter, S. marcescens, dan providensia (walaupun resisten dapat timbul selama terapi infeksi yang ditimbulkan oleh berbagai spesies ini akibat mutan-mutan tertentu yang secara konstitutif memproduksi sefalosporinase). Sefalosporin generasi ketiga juga efektif terhadap galur hemofilus dan nisseria yang menghasilkan β-laktamase. Indikasi potensial penggunaan sefalosporin generasi ketiga adalah terapi empiris untuk sepsis yang tidak diketahui penyebabnya baik pada pasien yang immunocompetent maupun yang immunocompromised dan terapi infeksi jika pada infeksi ini, sefalosporin merupakan obat paling tidak toksik.
7. Sefalosporin generasi keempat
Sefepim merupakan salah satu contoh obat sefalosporin generasi keempat. Obat ini lebih resisten terhadap hidrolisis oleh β-laktamase kromosomal (yang diproduksi oleh enterobakter). Sefepim cukup efektif mengatasi P. aeruginosa, Enterobacteriaceae, S. aureus, dan S. pneumonia. Sefepim sangat efektif terhadap hemofilus dan nisseria serta cukup mempenetrasi cairan serebrospinal. Obat ini dibersihkan oleh ginjal dan memiliki waktu paruh 2 jam, dan
farmakokinetinya serupa dengan seftadizim. Akan tetapi tidak seperti seftadizim, sefepim cukup efektif terhadap kebanyakan galur streptokokus yang resisten terhadap penisilin dan mungkin saja bermanfaat dalam terapi infeksi enterobakter. Di luar itu, peran klinismya serupa dengan sefalosporin generasi ketiga.(6)
Tabel 3. Panduan penentuan dosis beberapa penisilin yang lazim digunakan
Tabel 4. Panduan penetapan dosis beberapa sefalosporin dan antibiotik penghambat dinding sel lainnya yang sering digunakan
Sumber: Katzung, Bertram G.. Farmakologi Dasar dan Klinik Ed. 10: EGC, 2010 Antibiotik untuk spondylodiscitis TB:
Isoniazid (INH), rifampin (atau rifamisin lain), pirazinamid, etambutol, dan streptomisin merupakan lima agen lini-pertama untuk terapi tuberculosis. Isoniazid dan rifampin merupakan dua obat yang paling aktif. Kombonasi isoniazid-rifampin yang diberikan selama 9 bulan akan menyembuhkan 95-98% kasus tuberculosis yang disebabkan oleh galur yang rentan. Penambahan pirazinamid pada kombinasi isoniazid-rifampin selama 2 bulan pertama membuat durasi total terapi dapat dipersingkat hingga 6 bulan tanpa terjadinya penurunan efektifitas.
1. Isoniazid (INH)
Isoniazid merupakan obat yang paling aktif dalam terapi tuberculosis yang disebabkan oleh galur yang rentan. Bentuknya kecil (BM 137) dan larut dengan bebas dalam air.
In vitro, isoniazid menghambat kebanyakan basil tuberkel pada konsentrasi sebesar 0,2 mcg/mL atau kurang dan bersifat bakterisidal untuk basil tuberkel yang aktif bertumbuh. Isoniazid kurang efektif terhadap spesies mikrobakterium atipik. Isoniazid dapat mempenetrasi makrofag sehingga aktif terhadap organism intrasel dan ekstrasel.
Isoniazid menghambat sintesis asam mikolat, yang merupakan komponen penting dalam dinding sel mikobakterium. Isoniazid merupakan precursor obat yang diaktifkan oleh KatG, suatu katalase peroksidase milim mikobakterium. Bentuk aktif Isoniazid merupakan kompleks kovalen dengan protein pembawa-asli (AcpM) dan KasA, suatu sintesis protein pembawa beta-ketoasil, yang menyekat sintesis asam mikolat dan pembunuh sel. Resistensi terhadap Isoniazid disebabkan mutasi yang mengakibatkan ekspresi berlebih inhA, yang mengkode reduktase untuk protein pembawa asli yang dependen-NADH; mutasi atau delesi gen katG; mutasi promoter yang menyebakan ekspresi berlebih ahpC, suatu gen virulens putative yang terlibat dalam perlindungan sel mikobakterium terhadap stress oksidatif; dan mutasi kasA. Produksi berlebihan inhA menimbulkan resistensi Isoniazid tingkat-rendah dan resistensi silang terhadap etonamida. Mutan katG menimbulkan resistensi Isoniazid tingkat-tinggi dan seringkali tidak menimbulkan resistensi-silang dengan etionamida.
Muatan yang resistenobat biasanya dijumpai dalam populasi mikobakterium yang rentan kira-kira sebanyak 1 basil dalam 106. Karena lesi tuberkulosa sering mengandung basil tuberkel lebih dari 108, muatan yang resisten dengan mudah akan terseklesi (bertahan hidup) ketika Isoniazid atau obat lain digunakan sebagai obat tunggal. Penggunaan dua obat yang bekerja secara independen dalam kombinasi akan jauh lebih efektif. Probabilitas satu basil yang resisten terhadap kedua obat adalah sebesar 1 dalam 106 x 106, atau 1 dalam 1012, beberapa tingkat lebih besar daripada jumlah organism penginfeksi. Jadi, setidaknya dua agen aktif (atau lebih pada beberapa kasus) harus digunakan dalam pengobatan tuberculosis aktif untuk mencegah timbulnya resistensi selama terapi.
Isoniazid cepat diserap dari saluran cerna. Dosis oralnya sebesar 300 mg (5 mg/kg pada anak) mencapai kadar puncak dalam plasma sebesar 3-5 mcg/mL dalam 1-2 jam. Isoniazid mudah berdifusi ke dalam semua cairan tubuh dan jaringan. Kadarnya dalam system saraf pusat dan cairan serebrospinal berkisar antara 20% dan 100% dari kadar serum yang diukur bersama.
Metabolism Isoniazid terutama asetilasi oleh N-ase-tiltransferase hati ditentukan secara genetic. Kadar Isoniazid plasma rerata pada asetilator cepat adalah sekitar sepertiga hingga separuh kadar tersebut pada asetilator lambat; waktu paruh rerata pada keduanya masing-masing sebesar kurang dari 1 jam dan 3 jam. Bersihan Isoniazid yang lebih cepat oleh asetilator cepat biasanya tidak berdampak pada terapi jika dosis yang sesuai diberikan setiap hari, tetapi kadanya bisa saja tidak mencukupi untuk terapi (subterapeutik) jika obat diberikan sekali seminngu atau jika terjadi malasorbsi.
Metabolit isoniazid dan jumlah kecil Isoniazid yang tidak mengalami perubahan diekskresi terutama melalui urin. Dosisnya tidak perlu disesuaikan pada gagal ginjal. Penentuan penyesuaian dosis ini tidak terlalu jelas pada pasien yang sebelumnya telah menderita insufisiensi hati berat (Isoniazid dikontraindikasikan jika merupakan penyebab hepatitis) dan harus dipandu oleh kadarnya dalam serum jika penurunan dosis obat harus dilakukan.
Dosis Isoniazid biasanya sebesar 5 mg/kg/hari; dosis dewasa umunya 300 mg yang diberikan sekali sehari. Pada keadaan infeksi berat atau malabsorbsi, dosis obat tersebut dapat diberikan hingga 10 mg/kg/hari. Dosis 15 mg/kg/hari, atau 900 mg, dapat digunakan pada regimen obat yang diberikan dua kali seminggu dalam kombinasi dengan agen antituberkulosis kedua (misalnya rifampin 600 mg) piridoksin, 25-50 mg/hari, dianjurkan bagi penderita dengan keadaan yang dapamenjadi predisposisi timbulnya neuropati , suatu efek samping Isoniazid. Isoniazid bisa diberikan peroral tapi juga akan diberikan secara parenteral dalam dosis yang sama. Berikut efek sampingnya:
a. Reaksi Imunologis
Demam dan ruam pada kulit sesekali dijumpai. b. Toksisitas Langsung
Hepatitis yang terinduksi Isoniazid merupakan efek toksik utama yang paling sering terjadi. Hepatitis klinis yang disertai hilangnya nafsu makan, mual, muntah, ikterus dan nyeri kuadran kanan atas terjadi pada 1%
resipien Isoniazid dan dapat mematikan, terutama jika obat tersebut tidak segera dihentikan.
2. Rifampin
Rifampin merupakan turunan semisintetik rifamisin, suatu antibiotic yang dihasilkan oleh Streptomyces mediterranei. Obat ini aktif secara in vitro terhadap kokus gram positif dan gram negatif, beberapa bakteri enteric, mikobakterium dan klamidia. Organism yang rentan dihambat pda konsentrasi kurang dari 1 mcg/mL. mutan yang resisten dijumpai di semua populasi mikroba pada frekuensi sekitar 1 dalam 106 dan cepat muncul jika rifampin digunakan sebagai obat tunggal, terutama jika terdapat infeksi aktif. Tidak terdapat resistensi silang dengan golongan obat antimikroba lainnya, tetapi terdapat obat resistensi silang dengan turunan rifamisin lainnya, yakni rifamudin dan rifapentin.
Rifampin, biasanya 600 mg/hari (10 mg/kg/hari) per oral, harus diberikan bersama isoniazid atau obat antituberkulosis lain pada penderita tuberculosis aktif untuk mencegah timbulnya mikobakterium yang resisten terhadap obat. Pada beberapa terapi jangka pendek, 600 mg rifampin diberikan dua kali seminggu. Rifampin sebanyak 600 mg tiap hari atau dua kali seminggu selama 6 bulan juga efektif dalam kombinasi dengan agen lain pada beberapa infeksi mikobakterium atipik dan lepra. Rifampin, sebanyak 600 mg tiap hari selama 4 bulan sebagai suatu obat tunggal, menjadi alternative profilaksis isoniazid pada penderita tuberculosis laten yang tidak dapat menggunakan isoniazid atau pernah terpajan suatu kasus tuberculosis aktif yang disebabkan oleh galur yang reisten isoniazid tetapi rentan rifampin.
Rifampin memunculkan warna jingga yang tidak berbahaya pada urine, keringat, air mata, dan lensa kontak (lensa yang lunak dapat terwarnai secara permanen). Efek samping yang sesekali muncul berupa ruam, trombositopenia dan nefritis. Rifampin dapat menimbulkan ikterus kolestika dan sesekali hepatitis. Jika diberikan kurang dari dua kali seminggu, rifampin menyebabkan sindrom seperti flu yang ditandai dengan demam, menggigil, mialgia, anemia, dan trombositopenia.
3. Etambutol
Etambutol merupakan suatu senyawa sintetik, larut dalam air, stabil terhadap panas. Etambutol diabsorbsi dengan baik dari usus. Setelah ingesti etambutol
sebanyak 25 mg/kg, tercapai kadar puncak obat dalam darah sebesar 2-5 mcg/mL dalam waktu 2-4 jam. Sekitar 20% obat ini dieksresikan di tinja dan 50% di urin dalam bentuk utuh. Etambutol menumpuk pada keadaan gagal ginjal sehingga dosisnya harus diturunkan hingga separuh hingga bersihan kreatinin berada di bawah 10 mL/menit. Etambutol melintasi sawar darah otak hanya jika meninges mengalami radang. Kadarnya dalam cairan serebrospinal sangat bervariasi, berkisar dari 4% hingga 64% kadarnya dalam serum pada keadaan inflamasi meninges. Etambutol selalu diberikan dalam bentuk kombinasi dengan obat antituberkulosis lain.
Etambutol hidroklorida, sebanyak 15-25 mg/kg, biasanya diberikan sebagai dosis tunggal harian dalam kombinasi dengan isoniazid atau rifampin. Dosisnya yang lebih tinggi dianjurkan untuk terapi meningitis tuberculosis. Jika dijadwalkan utuk diberikan dua kali seminggu, dosis etambutol yang digunakan adalah sebesar 50 mg/kg.
Efek samping yang paling sering terjadi adalah neuritis retrobulbar, yang menyebabkan penurunan ketajaman penglihatan dan buta warna merah-hijau. Etambutol relative dikontraindikasikan pada anak yang terlalu muda untuk dapat diperiksa ketajaman penglihatan dan diskriminasi merah-hijaunya.
4. Pirazinamid
Pirazinamid (PZA) merupakan kerabat nikotinamid, stabil, dan sedikit larut dalam air. Obat ini tidak aktif pada pH netral, tetapi pada pH 5,5 obat ini menghambat basil tuberkel dan beberapa mikobakterium lain pada kadar sekitar 20 mcg/mL. Pirazinamid diambil oleh makrofag dan memunculkan aktifitasnya terhadap mikobakterium yang tinggal dalam lingkungan lisosom yang bersifat asam.
Kadar serum sebesar 30-50 mcg/mL dalam waktu 1-2 jam setelah pemberian peroral dicapai dengan dosis sebesar 25 mg/kg/hari. Pirazinamid diabsorbsi dengan baik dari saluran cerna dan didistribusikan secara luas ke seluruh jaringan tubuh, termasuk meninges yang meradang. Waktu paruhnya 8-11 jam. Senyawa induknya dimetabolisme oleh hati , tetapi metabolitnya dibersihkan oleh ginjal; oleh sebab itu, Pirazinamid harus diberikan pada dosis 25-35 mg/kg tiga kali seminggu (tidak tiap hari) pada pasien hemodialis dan pada pasien yang memiliki bersihan kreatinin kurang dari 30 mL/menit. Pada pasien dengan fungsi ginjal
normal, dosis sebesar 40-50 mg/kg digunakan dalam regimen tetapi tiga kali atau dua kali seminggu.
Efek sampik Pirazinamid meliputi hepatotoksisitas, mual, muntah, demam karena obat, dan hiperurisemia.
5. Streptomisin
Dosis dewasa normal adalah 1 g/hari(15 mg/kg/hari). Jika bersihan kreatinin kurang dari 30 mL/menit atau pasien menjalani hemodialisis, dosisnya menjadi 15 mg/kg dua atau tiga kali seminggu. Kebanyakan basil tuberkel dihambat oleh streptomisin dengan kadar sebesar 1-10 mcg/mL in vitro.
Streptomisin sulfat digunakan jika obat perlu diberikan dalam bentuk injeksi, khususnya pada penderita tuberculosis berat yang mengancam jiwa, seperti meningitis dan penyakit desiminata, dan terapi infeksi yang resisten terhadap obat lain. Dosis biasanya sebesar 15 mg/kg/hari intramuscular atau intravena harian untuk orang dewasa (20-40 mg/kg/hari, dan jangan melebihi 1-1,5 g untuk anak) selama beberapa minggu, diikuti dengan dosis sebesar 1-1,5 g sebanyak dua atau tiga kali seminggu selama beberapa bulan. Kadarnya dalam serum sekitar 40 mcg/mL dicapai dalam waktu 30-60 menit setelah suntikan 15 mg/kg intramuscular.
Streptomisin bersifat ototoksik dan nefrotoksik. Vertigo dan tuli merupakan efek samping yang paling sering terjadi dan bersifat permanen.
6. Etionamid
Etionamid secara kimiawi terkait dengan isoniazid dan juga menyekat sintesis asam mikoloat. Etionamid sulit larut dalam air dan hanya tersedia dalam bentuk oral.
Etionamid diberikan pada dosis awal sebesar 250 mg sekali sehari, yang tiap kali ditingkatkan sebesar 250 mg hingga dosis yang dihancurkan sebesar 1g/hari (atau 15 mg/kg/hari), jika memungkinkan. Meskipun secara teoritis bermanfaat, dosis sebesar 1 g/hari ditoleransi dengan buruk karena sering menimbulkan iritasi lambung yang hebat dan gajala neurologis sehingga kita harus menetapkan dosis harian total sebesar 500-700 mg. Etionamid juga bersifat hepatotoksik. Gejala neurologis diperingan dengan pirodoksin.
7. Kapreomisin
Kapreomisin adalah suatu antibiotika penghambat sisntesis protein peptide yang didapat ari Streptomyes capreolus. Injeksi Kapreomisin 1 g/hari intramuscular menghasilkan kadar obat dalam darah sebesar 10 mcg/mL atau lebih. Kadar tersebut secara in vitro menghambat banyak mikobakterium, termasuk galur M tuberculosis yang resisten terhadap berbagai obat.
Dosis Kapreomisin sama dengan dosis streptomisin. Toksisitasnya berkurang jika diberikan dosis sebesar 1 g dua atau tiga kali seminggu.
8. Sikloserin
Sikloserin merupakan penghambat sintesis dinding sel. Kadarnya sebesar 15-20 mcg/mL menghambat banyak galur M tuberculosis. Dosis sikloserin pada tuberculosis adalah sebesar 0.5-1 g/hari dalam dua dosis terbagi. Sikloserin dibersihkan melalui ginjal , dan dosisnya harus diturunkan sebesar separuh jika bersihan kreatininnya kurang dari 50 mL/menit.
9. Asam Aminosalisilat (PAS)
Basil tuberkel biasanya dihambat in vitro oleh asam aminosalisilat pada kadar 1-5 mcg/mL. asam aminosalisilat cepat diserap dari saluran cerna. Kadar serumnya 50 mcg/mL atau lebih setelah pemberian dosis oral sebesar 4 g. dosisnya 8-12 g per oral untuk dewasa dan 300 mg/kg/hari untuk anak. Obat ini didistribusikan secara luas dalam berbagai jaringan dan cairan tubuh kecuali cairan serebrospinal. asam aminosalisilat cepat dieksresikan dalam urin, sebagian dalam bentuk asam aminosalisilat aktif dan sebagian lagi dalam bentuk senyawa terasetilasi dan produk metabolic lainnya.
10. Fluorokuinolon
Fluorokuinolon merupakan tambahan penting bagi obat-obatan tuberculosis yang tersedia, terutama untuk galur yang resisten terhadap agen lini-pertama. Resistensi, yang dapat disebabkan oleh satu dari beberapa mutasi titik tunggal pada beberapa subunit girase A, cepat timbul jika Fluorokuinolon digunakan sebagai agen tunggal; jadi, obat ini harus dikombinasikan dengan dua agen aktif atau lebih. Dosis standar Fluorokuinolon adalah 750 mg per oral atau dua kali
sehari. Dosis levofloksasin standar adalah 500-750 mg sekali sehari. Dosis miksifloksasin adalah 400 mg sekali sehari.
11. Rifabutin (Ansamisin)
Dosis rifabutin biasanya sebesar 300 mg/hari kecuali jika pasien mendpat penghambat protease; pada keadaan ini, dosis harus diturunkan hingga 150 mg/hari. Jika efavirenz digunakan, dosis rifabutin yang dianjurkan menjadi 450 mg/hari.
12. Rifapentin
Rifapentin merupakan suatu analog rifampin. Obat ini aktif terhadap M tuberculosis dan M avium. Seperti semua rifamisin, Rifapentin merupakan suatu penghambat RNA polymerase bacterial, dan resistensi silang antara rifampin dan Rifapentin terjadi secara lengkap. Seperti rifampin, Rifapentin merupakan enzim penginduksi sitokrom P450 yang kuat, dan obat ini memiliki profil interaksi obat yang serupa. Toksisitasnya serupa dengan toksisitas rifampin. Rifapentin dan metabolitnya yang aktif secara mikrobiologis, yakni 25-desasetilrifapentin, memiliki waktu paruh eliminasi selama 13 jam. Rifapentin sebanyak 600 mg (10 mg/kg) sekali seminggi diindikasikan pada terapi tuberculosis yang disebabkan oleh galur yang rentan terhadap rifampin hanya pada fase lanjutan (setelah terapi 2 bulan pertama dan idealnya setelah konversi biakan sputum menjadi negatif).
Tabel 5. Antimikroba yang digunakan dalam terapi tuberkulosis
Sumber: Katzung, Bertram G.. Farmakologi Dasar dan Klinik Ed. 10: EGC, 2010
Tabel 6. Durasi terapi yang dianjurkan untuk tuberculosis
Sumber: Katzung, Bertram G.. Farmakologi Dasar dan Klinik Ed. 10: EGC, 2010
B. Terapi operatif
Biopsi mungkin diperlukan pada pasien dengan immunocompromised, atau pasien yang gagal dalam terapi konservatif. Drainase mungkin diperlukan untuk pasien yang gagal untuk merespon manajemen medis saja. Biasanya diperoleh melalui pendekatan anterior untuk memungkinkan visualisasi yang memadai, debridement, dan keselamatan. Bedah rekonstruksi ruas tulang belakang dapat diindikasikan untuk orang dewasa dengan kerusakan diskus intervertebrasi atau vertebral endplate.(2)
BAB III
KESIMPULAN
Spondylodiscitis adalah infeksi diskus dan dua vertebra yang berdekatan. Untuk mendiagnosa penyakit ini disarankan menggunakan radiografi meskipun lebih mudah divisualisasikan dengan MRI. Kultur darah harus dilakukan dan jika hasilnya negatif kita harus melakukan aspirasi discovertebral dan biopsy atau aspirasi jarum halus pada diskus. Dalam hal melakukan diagnosis berdasarkan mikrobiologi, cara mengintervensi, kriteria kualitas, proses pengambilan spesimen, dan cara pemakaiannya harus dioptimalkan. Pada akhirnya, pencitraan yang digunakan untuk memantau spondylodiscitis hanya dilakukan ketika kemajuan klinis buruk atau hasil laboratorium tidak memuaskan.