• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Penelitian

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Penelitian"

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keadaan Umum Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian berada di sekitar Tor Sanduduk yang secara administratif termasuk wilayah Desa Aek Nangali, Kecamatan Batang Natal, Kabupaten Mandailing Natal. Jarak dari Desa Aek Nangali ke lokasi penelitian sekitar 10 km dan untuk mencapainya ditempuh dengan berjalan kaki sekitar 3 jam melalui jalan Desa Aek Nangali-Aek Nabara/Aek Guo. Kondisi topografi lokasi penelitian berbukit-bukit dengan ketinggian berkisar 600-1.238 m dpl dan Tor Sanduduk adalah puncak tertinggi.

Kawasan hutan di Desa Aek Nangali termasuk hutan hujan tropis dataran rendah yang didominasi vegetasi dari famili Euphorbiaceae, Myrtaceae, Lauraceae dan Dipterocarpaceae (Bangun 2007). Kawasan ini merupakan daerah vulkanis dengan jenis tanah yang rawan erosi dan longsor, serta termasuk kawasan dengan curah hujan bertipe A yang menandakan bahwa kawasan ini memiliki intensitas hujan per tahunnya adalah tinggi (Departemen Kehutanan 2004).

Lokasi yang menjadi fokus penelitian meliputi hutan bekas ladang (HBL), hutan bekas tebangan (HBT) dan hutan primer (HP). Hutan bekas ladang (post-cultivated forest) adalah hutan sekunder yang terbentuk akibat kegiatan perladangan berpindah yang dilakukan oleh manusia di masa lalu. Lokasi penelitian hutan bekas ladang berada disekitar jalan Desa Aek Nabara/Guo-Aek Nangali pada koordinat 00037’56,6’’ lintang utara dan 99026’36,9’’ bujur timur. Ketinggian lokasi penelitian ini berkisar 612-955 m dpl. Masyarakat sekitar mengenal kawasan ini dengan sebutan Bapen, yang merupakan sebuah persatuan penduduk lokal yang membuka ladang di masa lalu (Bitra Konsorsium Indonesia 2005).

Masyarakat Aek Nangali telah melakukan perladangan sejak jaman pemerintah kolonial Belanda (Bitra Konsorsium Indonesia 2005) dan pada survei pendahuluan tahun 2005, aktifitas ladang berpindah masih dijumpai. Terdapat empat puluh kepala keluarga (40 KK) yang membuka ladang ke arah Desa Aek Nabara (Bitra Konsorsium Indonesia 2005). Namun, saat ini sebagian kawasan tersebut telah ditanami tanaman kebun dan sebagian lagi dibiarkan tidak dirawat ditumbuhi vegetasi tingkat semai hingga tingkat tiang. Bitra Konsorsium Indonesia (2005)

(2)

menyebutkan bahwa masyarakat setempat akan beralih dari tanaman ladang ke perkebunan, apabila ladangnya tidak memberikan hasil yang bagus.

Hutan bekas ladang (logged-over forest) adalah hutan sekunder yang terbentuk karena sebab-sebab antropogenik (kegiatan manusia), berupa pembalakan (Soerianegara 1996). Lokasi penelitian hutan bekas tebangan berada pada koordinat 00037’30’’ lintang utara dan 99026’23’’ bujur timur. Ketinggian lokasi penelitian ini berkisar 710-903 m dpl. Masyarakat lokal mengenal lokasi ini dengan sebutan camp

rangkuti atau rangkuti, yaitu nama pemondokan kayu yang dibangun oleh marga

rangkuti sebagai tempat istirahat bagi penebang kayu.

Berdasarkan informasi dari masyarakat bahwa pembalakan kayu ilegal dilakukan oleh masyarakat Aek Nangali dan perusahaan perkayuan. Pembalakan kayu ilegal dalam skala besar marak sebelum Agustus 2004 dan kegiatan pembalakan kayu ilegal ini dipermudah dengan dibukanya jalan dari Desa Aek Nangali ke Aek Nabara. Adapun, jenis kayu yang paling diincar oleh penduduk adalah jenis bania (Hopea ssp.) yang memiliki nilai ekonomis tinggi (Bitra Konsorsium Indonesia 2005).

Secara umum, hutan alam yang terdapat di lokasi penelitian dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu blok yang ada di sebelah barat dan blok yang ada di sebelah timur jalan Aek Nangali-Aek Guo/Aek Nabara. Blok hutan di sebelah barat jalan, berukuran relatif kecil dan telah sedikit terisolasi dibanding blok hutan di sebelah timur jalan yang masih cukup luas dan bersambung dengan kawasan hutan di Gunung Sorik Marapi. Blok hutan di sebelah barat jalan sebagian besar merupakan kawasan bekas HPH PT. GRUTI. Antara hutan alam di kedua blok dan perkampungan di sekitarnya terdapat hutan sekunder, semak belukar, kebun campuran dan persawahan. Sisa-sisa aktifitas penebangan kayu masih dapat ditemukan di sisi jalan Aek Nangali-Aek Nabara/Aek Guo, seperti batang utuh (gelondongan). Berdasarkan hasil survei pendahuluan, sedikitnya terdapat enam titik lokasi pengolahan batang utuh menjadi balok-balok persegi disekitar daerah ini (Gambar 12).

Hutan primer dapat didefinisikan sebagai hutan yang minim sekali atau belum mengalami gangguan manusia. Hutan primer mudah dibedakan dengan tipe hutan lainnya melalui ukuran diameter batang yang besar dan tinggi, serta memiliki tajuk

(3)

yang rapat berasal dari bermacam-macam spesies pohon dan kelas umur vegetasi. Lokasi penelitian hutan primer berada di sekitar Batang Bangko pada koordinat 0037’23,7” lintang utara dan 99026’39,91’’ bujur timur. Ketinggian lokasi hutan primer antara 612-758 m dpl dan berbatasan langsung dengan Sungai Batang Bangko dan Aek Batang Manemek. Secara umum, kondisi topografi lokasi bervariasi mulai dari datar hingga bergelombang dengan derajat kemiringan antara 30 hingga lebih dari 450, dengan lembah yang dalam. Akibat kemiringan yang terjal dan tingginya intensitas hujan menyebabkan penelitian di hutan primer lebih sulit. Hutan penelitian disajikan pada Gambar 12.

B A

C

Gambar 12 Tipe hutan di lokasi penelitian: hutan primer (A), hutan bekas ladang (B) dan hutan bekas tebangan (C).

Ketinggian pohon di hutan primer dapat mencapai 45 m (Gambar 12). Berdasarkan penelitian gabungan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Conservation International Indonesia (CII) dan Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam Departemen Kehutanan, diperoleh di hutan dataran rendah (ketinggian 600-700 m dpl) di daerah Desa Aek Nangali, pada petak ukuran 200 m2 terdapat 222 jenis tumbuhan yang meliputi pohon, tumbuhan pemanjat, epifit semak dan herba, yaitu sekitar 90% terdiri atas hutan primer (Departemen Kehutanan 2004).

Pada petak satu hektar, jumlah pohon dengan diameter setinggi dada (≥10 cm) terdapat pohon dengan kerapatan 583 batang per hektar: 120 pohon (20,6%) adalah

(4)

famili Dipterocarpaceae (meranti-merantian), seperti Hopea spp (cengal),

Dipterocarpus spp dan Shorea platyclados (bania) yang ditemukan pada ketinggian

1.200 m dpl dengan diameter pohon dapat mencapai 1,6 m (Departemen Kehutanan 2004).

Habitat Ungko

Pada penelitian ini, analisis vegetasi lebih difokuskan pada vegetasi tingkat pohon (dbh ≥10 cm). Hal ini didasarkan bahwa ungko adalah satwa primata arboreal yang banyak menggunakan ruang geraknya di atas pepohonan. Beragam aktifitas harian, mulai dari bangun tidur, vokalisasi, mencari makan, menjelajah, istirahat hingga kembali ke pohon tidur dilakukan di atas pohon. Ungko jarang sekali turun ke dasar hutan. Perbedaan kondisi struktur dan komposisi dapat mempengaruhi ungko dalam pemanfaatan pohon sebagai tempat aktifitas harianya. Dengan demikian, keberadaan pohon memiliki peran penting dalam kehidupan satwa primata arboreal seperti ungko.

Kerapatan dan Keragaman Jenis

Berdasarkan hasil identifikasi dalam luas areal 0,24 ha, diperoleh jumlah pohon pada HBL, HBT dan HP secara berturut-turut adalah 40, 30 dan 21 jenis. Selanjutnya, kerapatan pohon di HBL sebanyak 470,8 pohon/ha, HBT sebanyak 337,5 pohon/ha dan HP sebanyak 483,3 pohon/ha. Kerapatan ini lebih tinggi dari hasil laporan Bangun (2007) yang menyebutkan bahwa kerapatan pohon di hutan primer sekitar 295 pohon/ha dengan jumlah pohon 31 jenis, sedangkan kerapatan pohon di hutan bekas tebangan diperoleh sekitar 220 pohon/ha dengan jumlah pohon adalah 24 jenis.

Tabel 2 Analisis vegetasi tingkat pohon pada habitat ungko

JJ K D F H’

Lokasi

Penelitian (indv) (pohon/ha) (JBD/ha) (jmlh plot /total plot) (indeks)

HBL 40,0 470,8 77,0 12,2 3,2 HBT 30,0 337,5 190,3 8,5 3,1

HP 21,0 483,3 59,3 8,7 2,7

JJ: jumlah jenis, K: kerapatan, D: dominansi, F: frekuensi, H’: indeks keragaman jenis Shannon-Wiener, indv: individu, ha: hektar, JBD: jumlah bidang dasar, Jmlh: jumlah.

(5)

Tabel 2 memperlihatkan bahwa kerapatan pohon tertinggi adalah di kawasan HP, diikuti HBL dan HBT. Penyebab utama perbedaan kerapatan pohon antara kawasan HP dengan HBT dan HBL adalah pembalakan pohon di hutan Aek Nangali yang terjadi dimasa lalu. Kerapatan pohon yang tinggi di kawasan HP, terutama karena pohon di kawasan ini sulit dijangkau oleh manusia. Kawasan ini berada jauh dari jalan Aek Nangali-Aek Nabara/Aek Guo, sekitar 2 km dan akses untuk mencapai lokasi ini lebih sulit dibandingkan lokasi lainnya sehingga gangguan manusia pada HP lebih rendah. Berbeda dengan kawasan HBL dan HBT yang mudah dijangkau manusia karena berada disekitar dengan jalan Aek Nangali-Aek Nabara/Aek Guo sehingga cenderung memiliki kerapatan pohon yang lebih rendah. HBL dan HBT adalah kawasan hutan yang telah terfragmentasi akibat penebangan pohon dan alihfungsi hutan menjadi lahan pertanian. Penebangan kayu ilegal yang terjadi di masa lampau turut menyebabkan kerapatan vegetasi di HBT dan HBL menjadi rendah.

Indeks keragaman jenis pada HBL, HBT dan HP berturut-turut adalah 3,2, 3,2 dan 2,7. Keragaman jenis ini dapat dikatakan cukup tinggi yang ditandai dengan jumlah pohon dalam petak berukuran 400 m2 berkisar 21-40 jenis. Keragaman jenis tinggi pada HBL dan HBT dimungkinkan terjadi karena penebangan kayu pada HBT bersifat tidak tebang habis dan hanya memilih jenis-jenis kayu bernilai ekonomi yang tinggi, seperti jenis bania (Hopea spp.) ataupun meranti (Shorea spp.). Dengan masih menyisakan pohon, pertumbuhan pohon pada titik-titik penebangan masih dapat ditutupi oleh pohon lama yang berada di sekitarnya dan perkembangan suksesi tumbuhan pada hutan bekas tebangan kelak akan seperti hutan primernya (Soerianegara 1996).

Selanjutnya, tingginya keanekaragaman jenis pohon di hutan terganggu juga disebabkan adanya pertumbuhan jenis baru yang mendominasi pada titik/lokasi penebangan dan perladangan. Jenis baru yang dimaksud adalah jenis pohon yang tumbuh setelah hutan primer dibuka. Jenis pohon ini membutuhkan paparan sinar matahari yang cukup untuk dapat tumbuh. Di hutan primer, jenis ini sulit tumbuh akibat rapatnya tajuk menghalangi sinar matahari masuk sampai ke lantai hutan. Umumnya, pertumbuhan jenis ini sifatnya cepat, batang utama kurus dan tinggi, dan percabangannya kecil rapat. Contoh beberapa jenis yang hanya ditemukan di lokasi

(6)

hutan terganggu adalah marambong (Geunsia farinosa Blume), andaurung (Grewia

acuminate Juss), dan gumbot (Ficus padana.).

Berdasarkan hasil pengamatan pada kedua hutan terganggu tersebut diperoleh bahwa HBL dan HBT memiliki jenis pohon yang tidak dijumpai di HP sekitar 60,3% (38 jenis) dari total 63 jenis yang ditemukan. Selanjutnya, persentase kesamaan pohon antara HBL dengan HP lebih kecil, yaitu sekitar 4,3% (8 jenis), sedangkan persentase kesamaan pohon antara HBT dengan HP, yaitu sekitar 19% (12 jenis). Angka persentase ini lebih rendah dibandingkan dengan hasil penelitian sebelumnya bahwa antara hutan bekas tebangan dan hutan primer memiliki kesamaan vegetasi tingkat pohon sekitar 40% (Bangun 2007). Beberapa pohon yang sama pada ketiga lokasi penelitian antara lain medang (Litsea sp) ndolok (Ixora sp), meranti (Shorea sp), oteng (Litsea elliptica (Blume) Boerl), darah-darah (Myristica iners Blume) dan kemenyan (Syrax benzoin Dryand).

Berdasarkan hasil pengamatan pada petak ukuran 20x40 m tiap lokasi ditemukan sebanyak 85 pohon dan secara horizontal, setiap lokasi memiliki perbedaan struktur pohon. Pada HBL, pohon stratum C dan B mendominasi kawasan ini, masing-masing sebesar 56 dan 28%. Pada HBT, pohon stratum B dan C mendominasi kawasan, masing-masing sebesar 38,6% (10 jenis) dan 57,6% (15 jenis), sedangkan stratum A hanya sebesar 3,8% (1 jenis). Hasil berbeda ditunjukkan pada HP bahwa kawasan ini memiliki pohon dengan beragam ukuran ketinggian yang lengkap: pohon stratum B mendominasi kawasan ini sebesar 62,8% (22 jenis), pohon stratum A sebesar 28,5% (10 jenis) dan stratum C sebesar 5,7% (2 jenis).

Apabila melihat besarnya dominasi pohon stratum B dan C tiap lokasi, maka dapat dikatakan bahwa pergerakan dan aktifitas ungko akan lebih banyak dilakukan di kedua stratum tersebut, meskipun di HP pohon stratum A juga digunakan sebagai ruang aktifitas bagi ungko. Di HP, famili paling tinggi berasal dari Dipterocarpaceae, yaitu meranti (Shorea sp.). Perbedaan struktur dan komposisi setiap lokasi penelitian disajikan pada Gambar 13 berikut ini (perbandingan 1:667).

(7)

HP

Gambar 13 Profil habitat ungko dalam petak 20x40 m

2 . HBL HBT Stratu m D Stratu m A Stratu m B Stratu m C

(8)

Indeks Nilai Penting (INP)

Bangun (2007) menyebutkan bahwa hutan primer di TN Batang Gadis didominasi jenis mollatus sp, Craton laevifolius Blume dan Geunsia farinosa Blume, dengan INP berturut-turut 49,5, 23,9, dan 19,9%. Selanjutnya, pada hutan terganggu didominasi Litsea elliptica Blume Boerl, Geunsia farinosa Blume dan Ixora sp, dengan INP berturut-turut 35,9, 26,7, dan 22,6%.

Indeks nilai penting pohon pada lokasi penelitian HBL, HBT dan HP disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Nilai INP tertinggi jenis vegetasi tingkat pohon yang mendominasi di kawasan hutan TN Batang Gadis

Krptn

Jenis Per ha DR FR KR INP Tinggi Pohon HBL

Mayang (Litsea oppositifolia (Blume) Korth 25,00 3,73 5,48 5,31 14,52 18,33

41,67 16,65

Medang (Litsea sp) 48,08 5,48 8,85 62,41

25,00 20,50

Meranti (Shorea sp) 3,47 6,85 5,31 15,63

37,50 19,00

Moyan (belum teridentifikasi) 5,35 5,48 7,96 18,79

37,50 14,30

Ndolok (Ixora sp) 2,11 5,48 7,96 15,55

29,17 21,28

Oteng (Litsea elliptica (Blume) Boerl 5,20 4,11 6,19 15,50

45,83 12,95

Torop (Artocarpus sp) 5,29 2,74 9,73 17,76

HBT

Marambong (Geunsia farinose Blume) 29,17 7,04 5,88 8,64 21,56 16,10

25,00 23,66 Medang (Litsea sp) 7,92 7,84 7,41 23,17 20,83 23,20 Meranti (Shorea sp) 6,56 7,84 6,17 20,58 79,17 Ndolok (Ixora sp) 22,56 9,80 23,46 55,82 24,21 20,83 25,28

Oteng (Litsea elliptica (Blume) Boerl 6,38 7,84 6,17 20,40

8,33 23,50

Ronggas (belum teridentifikasi) 2,72 3,92 2,47 9,11

8,33 35,50

Sengal (Shorea sp) 6,57 3,92 2,47 12,96

HP

Langsat hutan (Craton laevifolius Blume) 20,83 7,28 7,69 4,31 19,28 24,20

20,83 18,40

Mayang (Litsea oppositifolia (Blume) Korth) 2,95 7,69 4,31 14,96

66,67 21,69 Medang (Litsea sp) 9,74 11,54 13,79 35,07 45,83 19,63 Meranti (Shorea sp) 7,99 9,62 9,48 27,09 137,50 20,60 Ndolok (Ixora sp) 13,32 11,54 28,45 53,30 41,67 15,64

Oteng (Litsea elliptica (Blume) Boerl) 7,43 7,69 8,62 23,74

37,50 19,22

Sengal (Shorea sp) 12,48 3,85 7,76 24,09

DR: dominansi relatif, FR: frekuensi relatif, KR: kerapatan relatif, INP: indeks nilai penting, Krptn: kerapatan,

Berdasarkan Tabel 3, jenis pohon yang mendominasi pada ketiga lokasi berasal dari jenis pohon medang (Litsea sp.), sengal (Litsea sp.), meranti (Shorea sp.), Oteng (Litsea elliptica (Blume) Boerl), marambong (Geunsia farinosa Blume) dan ndolok (Ixora sp.). Besarnya dominasi dan kerapatan pohon tersebut dibandingkan dengan

(9)

jenis lainnya menunjukkan bahwa pohon-pohon tersebut merupakan jenis pohon yang mencirikan hutan di Desa Aek Nangali.

Pada Tabel 3 juga menunjukkan bahwa HBT memiliki rerata tinggi pohon 24,49±5,71 m dan lebih tinggi dibandingkan dengan HP (19,91±2,68 m) dan HBL (17,57±3,11 m). Di HP, jenis ndolok (Ixora sp), medang (Litsea sp.) dan langsat hutan (Craton laevifolius Blume) merupakan pohon tertinggi dengan ketinggian secara berturut-turut adalah 20,6, 21,7 dan 24,2 m. Di HBT, jenis sengal (Shorea sp.), oteng (Litsea elliptica (Blume) Boerl.) dan ndolok (Ixora sp.) merupakan pohon tertinggi berturut-turut adalah 35,5, 25,3 dan 24,1 m. Di HBL, jenis oteng (Litsea

elliptica (Blume) Boerl), moyan (belum diidentifikasi) dan meranti (Shorea sp.)

merupakan pohon tertinggi berturut-turut adalah 21,3, 19 dan 20,5 m. Keberadaan jenis-jenis ini pada lokasi penelitian memiliki nilai penting untuk ungko karena umumnya jenis-jenis ini memiliki percabangan yang tinggi besar dan bertajuk lebar.

Berdasarkan rerata ketinggian dari pohon yang mendominasi, maka pohon di ketiga lokasi tersebut termasuk stratum B yang mempunyai ketinggian 15-25 m. Pohon dari stratum B memiliki tajuk yang kontinyu, batang umumnya banyak bercabang dan batang bebas cabang tidak terlalu tinggi (Soerianegara dan Indrawan 1998). Ungko menyukai pohon ini, terutama untuk melakukan pergerakan dengan cepat sambil mengayunkan lengannya (brankiasi) dan berpindah dengan cara bergantungan dari satu pohon ke pohon lainnya dan kerapkali memanfaatkannya untuk beristirahat. Dalam penelitian Suyanti (2007) dilaporkan bahwa Hylobates

agilis TN Sebangau Kalimantan Tengah dominan juga memanfaatkan vegetasi

stratum B (15-25 m) sebesar 60% dan masih dapat memanfaatkan vegetasi stratum C (10-15 m) dalam frekuensi pemanfaatan yang rendah sebesar 40%.

Ekologi Populasi

Pohon Sumber Pakan Ungko

Keanekaragaman jenis tumbuhan yang juga sumber pakan bagi satwaliar merupakan habitat yang ideal untuk pertumbuhan dan perkembangan satwaliar (FWI/GFW 2000). Semakin besar keanekaragaman jenis yang termasuk sumber pakan akan menentukan tingkat kepadatan populasi ungko pada suatu kawasan. Pohon yang termasuk sumber pakan adalah pohon yang menghasilkan buah, daun

(10)

dan bunga yang menjadi sumber pakan bagi ungko. Menurut Kuester (2000)

Hylobates agilis merupakan satwa primata frugivorus yang proporsi konsumsi buah

dalam jumlah besar, sedangkan daun dan serangga dikonsumsi dalam jumlah sedikit. Berdasarkan hasil pengamatan dalam total areal 0,52 ha, ditemukan pohon sumber pakan sebanyak 20 jenis yang dikelompokkan ke dalam 10 famili. Dari 20 jenis tersebut, 14 jenis (70%) diantaranya merupakan sumber pakan potensial ungko. Sumber pakan potensial tersebut antara lain Cheiocarpus sp., Saurauia sp., Mollatus

paniculatus (Lam) Muell., Craton laevifolius Blume, Ficus variegata Blume, Ficus padana Burm. f., Artocapus dadah Miq., Artocarpus sp., Myristica iners Blume, Knema latericia Elmer, Syzygium polyanthum (Wight) Walp., Litsea sp., Anthocephalus cadamba Miq., Grewia acuminate Juss., Geunsia farinose Blume., Ficus spp. (Tabel 4).

Komposisi sumber pakan ungko di TN Batang Gadis meliputi buah 85%, daun 10% dan bunga 5%. Tingginya persentase konsumsi buah diduga berhubungan dengan kelimpahan sumber buah saat penelitian dilaksanakan. Kecilnya konsumsi bunga dikarenakan tidak banyak pohon yang berbunga yang ditemukan saat penelitian.

Palombit (1997) menjelaskan bahwa Hylobates lar akan mengkonsumsi bunga hanya kadangkala, yaitu saat bunga sedang berlimpah dan juga karena palatabilitas bunga terbilang rendah, maka Hylobates lar mengkonsumsi sejumlah kecil bunga dan beralih ke sumber pakan lainnya: Hylobates lar mengkonsumsi bunga hanya 1 % (Palombit 1997). Pada penelitian ini, ungko mengkonsumsi bunga hanya sebesar 5%. Bagian pohon sumber pakan yang dikonsumsi ungko disajikan pada Tabel 4.

Berdasarkan analisis vegetasi pohon sekitar sumber pakan pada petak 400 m2, diperoleh kerapatan pohon di HBL adalah 395,8 pohon/ha, HBT 330 pohon/ha dan HP 466,6 pohon/ha. Kerapatan ini menandakan bahwa kerapatan pohon disekitar sumber pakan mempengaruhi pemilihan pohon pakan karena kerapatan pohon yang baik dapat memudahkan ungko untuk menjangkau pohon-pohon yang merupakan sumber pakannya.

(11)

Tabel 4 Pohon sumber pakan ungko di areal penelitian dalam luasan 0,52 ha

Famili Nama Ilmiah HBL HP HBT Bagian

Cheiocarpus sp

Apycinaceae * Buah

Saurauia sp

Actinidiaceae * Buah/Daun

Mollatus paniculatus (Lam)

Muell.

Euphorbiaceae * Buah

Craton laevifolius Blume * * * Buah

Ficus variegate Blume

Moraceae * Buah

Ficus padana Burm.f. * Buah

Ficus sp1 * Buah

Ficus sp2 * * Buah

Ficus sp3 * * Buah

Ficus sp4 * Buah

Artocarpus dadah Miq * * Buah

Artocarpus sp * * Buah

Myristica iners Blume

Myristacaceae * * * Buah

Knema latericia Elmer * * * Buah

Syzygium polyanthum (Wight)

Walp.

Myrtaceae * * Buah

Litsea sp

Lauraceae * * * Buah

Litsea elliptica (Blume) Boerl. * * * Daun

Anthocephalus cadamba Miq

Rubiaceae * * Buah

Grewia acuminate Juss.

Tiliaceae * Buah/bunga

Geunsia farinose Blume * * Buah

* jenis pohon sumber pakan

Tabel 4 memperlihatkan jenis sumber pakan ungko di TN Batang Gadis. Dari pengamatan ditemukan tiga macam sumber pakan ungko, yaitu buah, daun dan bunga. Dalam areal penelitian seluas 0,52 ha, masing-masing HBL dan HBT ditemukan sebanyak 13 (190 jenis/ha) dan 17 jenis (175 jenis/ha), sedangkan di HP hanya ditemukan 7 jenis (175 jenis/ha) pohon sumber pakan. Ini menandakan bahwa kerapatan pohon sumber pakan ungko di TN Batang Gadis cukup tinggi, yaitu dengan rerata kepadatan sebesar 180 jenis/ha.

Pohon sumber pakan ungko yang diidentifikasi di HP banyak berasal dari famili Lauraceae, terutama dari jenis medang (Litsea sp.) (42%) dan oteng (Litsea

elliptica Blume.) (26%): bagian yang dikonsumsi dari medang (Litsea sp.) dan oteng

(Litsea elliptica Blume.) adalah daun dan kulit buah yang kaya akan serat. Selanjutnya, di HBL ungko dominan mengkonsumsi sumber pakan yang berasal dari famili Moraceae, yaitu torof 19,2% (Geunsia farinosa Blume.) dan famili Lauraceae, yaitu oteng 19,2% (Litsea elliptica Blume.). Pada HBT yang merupakan hutan bekas tebangan, ungko dominan mengkonsumsi sumber pakan yang berasal dari famili Lauraceae, yaitu medang 10,8% (Litsea sp.) dan oteng 13,5% (Litsea elliptica

(12)

Blume) dan famili Verbenaceae, yaitu marambong 18,9% (Geunsia farinosa Blume.).

Secara keseluruhan, dari 10 famili sumber pakan yang diidentifikasi pada lokasi penelitian, famili Moraceae merupakan sumber pakan tertinggi yang dikonsumsi ungko sebesar 40% (8 jenis), diikuti Lauraceae 10% (2 jenis), Euphorbiaceae 10% (2 jenis) dan Myristacaceae 10% (2 jenis). Dengan demikian, pohon sumber pakan yang berasal dari famili Moraceae adalah komponen utama penyusun sumber pakan buah di TN Batang Gadis karena proporsi konsumsi Moraceae mencapai 40%. Hasil yang sama juga ditemukan pada owa jawa, bahwa Moraceae merupakan sumber pakan utama (Iskandar 2007); TN Batang Gadis sumber pakan utamanya berasal dari famili Moraceae 33,3% (5 spesies) dan Myristaceae 20,0% (3 spesies) (Bangun 2007).

Besarnya konsumsi pohon sumber pakan yang berasal dari famili Moraceae karena Moraceae memiliki kandungan nutrisi yang penting yang dibutuhkan dalam level metabolisme energi dan protein untuk mendukung pemeliharaan kehidupan ungko dan ketersediaannya (Ficus sp.) pun sepanjang tahun (Iskandar 2007). Famili Euphorbiaceae juga dikonsumsi dalam jumlah besar karena famili ini termasuk famili yang menghasilkan gula yang disukai oleh genus Hylobates (Palombit 1997). Sumber pakan ungko di TN Batang Gadis disajikan pada Gambar 14.

Gambar 14 Buah yang dikonsumsi ungko di TN Batang Gadis (dari kiri ke kanan): langsat hutan, torop/cempedak, gumbot laut, gitan, asam kandis, dan gumbot besar.

(13)

Gambar 14 memperlihatkan sumber pakan buah yang terdapat di TN Batang Gadis. Sumber pakan Hylobates agilis albibarbis di Kalimantan berasal dari 55 jenis pohon sumber pakan (28 famili) dan jenis tumbuhan yang menghasilkan buah sebagai pakan utama H. a. albibarbis sebanyak 36 jenis. Famili Myrtaceae merupakan sumber pakan yang terbanyak, diikuti Cluciaceae, Euphorbiaceae, Moraceae, Sapotaceae, Annonaceae dan Dipterocarpaceae (Suyanti 2007). Menurut Primack et al., (1998) penebangan, pembukaan hutan untuk lahan pertanian dan perkebunan dan perambahan hutan akan menyebabkan penurunan keanekaragaman hayati. Dengan demikian, prioritas perlindungan populasi ungko secara in situ adalah dengan menjaga ataupun pengkayaan jenis pohon sumber di habitatnya.

Pohon Tempat Tidur Ungko

Pohon tempat tidur adalah pohon yang digunakan sebagai tempat tidur oleh

Hylobates sp. pada malam hari (Reichard 1998). Secara umum, Hylobates agilis albibarbis menghabiskan sebagian besar hidupnya dengan beristirahat yang

mencapai 32% (Duma 2007). Namun demikian, untuk mendapatkan lokasi beristirahat dan tidur dibutuhkan seleksi yang baik atas kenyamanan tempat dan lokasi. Untuk itu, kebiasaan istirahat satwa primata umumnya mengacu pada kondisi ekologi sekitarnya (Fruth dan McGrew 1998). Sebagai contoh, Hylobates lar memilih pohon dengan ketinggian sekitar 32 m di atas permukaan tanah dan sedikit memilih lokasi di daerah tumpang tindih (overlap) dengan kelompok tetangga (17%) dan lebih banyak memilih homerange (83%) dari total 178 pohon tempat tidur (Reichard 1998).

Pada areal sensus seluas 4,5 km2 atau 450 hektar ditemukan sekitar 17 pohon yang diidentifikasi sebagai pohon tempat tidur ungko, yang dimasukkan ke dalam 5 lima famili. Famili tersebut antara lain Dipterocarpaceae, Euphorbiaceae, Moraceae, Lauraceae, dan Bombacaceae.

Kerapatan pohon sekitar pohon tempat tidur dalam petak 400 m2, di HBL, HBT dan HP secara berturut-turut adalah 465,0 pohon/ha; 405,1 pohon/ha dan 483,3 pohon/ha. Dipilihnya lokasi dengan kerapatan pohon yang tinggi oleh ungko karena kerapatan pohon tinggi akan melindungi ungko dari pengaruh udara yang dingin saat malam hari. Disamping itu, kerapatan yang tinggi membuat pergerakan ungko lebih leluasa dalam melarikan diri dari predatornya atau berpindah ke pohon lainnya.

(14)

Pemilihan lokasi pohon tempat tidur menurut kerapatan pohon dapat dilihat pada peta sebaran pohon tempat tidur pada Gambar 17. Pohon yang dimanfaatkan sebagai tempat tidur ungko disajikan pada Tabel 5 berikut ini.

Tabel 5 Famili pohon yang dimanfaatkan sebagai pohon tempat tidur ungko

Famili Spesies Nama Lokal

Durio zibethinus Murr.

Bombacaceae Durian Shorea sp 1 Dipterocarpaceae Bania Shorea sp 2 Meranti Shorea sp Sengal Elaeocarpus sp Euphorbiaceae Si jingkal Mallotus sp tapa-tapa

Litsea elliptica (Blume) Boerl.

Lauraceae Oteng Litsea sp Medang Artocarpus sp Moraceae Torof Ficus sp Kayu Ara

Tabel 5 memperlihatkan bahwa pohon yang banyak dimanfaatkan sebagai tempat tidur oleh ungko berasal dari famili Dipterocarpaceae (41,2%: 7 jenis) dan Lauraceae (23,5%: 4 jenis). Dari famili Dipterocarpaceae, jenis meranti (Shorea sp.) (23,5%) dan sengal (Shorea sp.) (17,6%) adalah jenis yang banyak dimanfaatkan sebagai pohon tempat tidur. Hal ini dimungkinkan terjadi karena kawasan penelitian adalah hutan dataran rendah yang didominasi oleh famili Dipterocarpaceae dan Lauraceae, sehingga pemanfaatan atas jenis ini akan lebih banyak dibandingkan dengan jenis lainnya. Disamping itu, tingginya penggunaan kedua famili ini sebagai tempat tidur oleh kelompok ungko tidak terlepas dari karakteristik pohon tersebut yang ideal sebagai tempat tidur. Ketinggian minimal dari meranti dan sengal berturut-turut adalah 25,7 dan 24 m dan ada dari kedua jenis ini yang lebih dari 30 m di atas permukaan tanah sehingga ideal sebagai pohon tempat tidur ungko.

Selanjutnya, jenis lain yang juga banyak dimanfaatkan sebagai tempat tidur berasal dari famili Lauraceae adalah jenis medang (Litsea sp) (11,8%) dan Oteng (Litsea elliptica (Blume) Boerl) (11,8%). Kedua jenis ini juga merupakan pohon sumber pakan yang kerapkali dimanfaatkan sebagai pohon tempat tidur ungko. Dari hasil pengamatan pada ketiga lokasi, berhasil diidentifikasi sebanyak enam pohon yang dimanfaatkan sebagai pohon tempat tidur sekaligus pohon sumber pakan pada pagi harinya. Menurut Duma (2007) dan Iskandar (2007) tujuan pemanfaatan pohon tempat tidur sekaligus pohon sumber pakan oleh ungko adalah untuk memperoleh sumber energi dengan cepat di pagi hari guna memulihkan tenaganya sebelum

(15)

beraktifitas. Jenis kayu ara (Ficus sp), medang (Litsea sp), oteng (Litsea elliptica (Blume) Boerl.) dan torop (Artocarpus sp) merupakan contoh pohon yang digunakan sebagai pohon tempat tidur dan sumber pakan ungko.

Gambar 15 Kisaran diameter dan tinggi pohon tempat tidur ungko pada lokasi penelitian.

Berdasarkan Gambar 15 di atas, pohon yang dimanfaatkan sebagai tempat tidur ungko memiliki rerata ketinggian 26,9±4,8 m; diameter 56,4±23,4 cm; dan tinggi bebas cabang 17,4±3,9 m di atas permukaan tanah. Pada penelitian Duma (2007), pohon yang dimanfaatkan sebagai pohon tempat tidur oleh Hylobates agilis

albibarbis berkisaran antara 25-35 m dan berdiameter antara 21-69 cm. Laporan

penelitian Iskandar (2007) bahwa rerata tinggi pohon tempat tidur Hylobates moloch di TN Gunung Halimun Salak adalah 20,82±7,21 m. Selanjutnya, Hylobates lar di TN Khao Yai Thailand juga tidur pada pohon dewasa yang berketinggian antara 16-46 m (Reichard 1998).

Berdasarkan identifikasi terhadap 17 pohon tempat tidur, pohon tempat tidur ungko memiliki ciri-ciri, antara lain 1) merupakan pohon tertinggi atau setara ketinggiannya dengan pohon sekitarnya dan saling bertautan dengan pohon disekitarnya, 2) memiliki percabangan yang relatif banyak dan besar, 3) Daun tidak terlalu rimbun untuk memudahkan pengawasan sekitar, 4) batang utama pohon tidur berbentuk relatif tegak lurus, dan 5) memiliki tinggi bebas cabang (TBC) yang cukup tinggi (17,4±3,9 m). Untuk lebih jelas mengenai karakteristik pohon tempat tidur dapat dilihat pada Lampiran 8.

(16)

Gambar 16 Karakteristik pohon tempat tidur ungko dengan percabangan yang lebar. Dari pengamatan pohon tempat tidur, lokasi-lokasi pohon tempat tidur ungko antara lain 1) berada dekat sumber air, 2) berada dipunggungan dan sisi/tepi punggung bukit, dan 3) berada di sekitar atau merupakan sumber pakan. Pemilihan lokasi-lokasi tersebut diduga didasarkan atas: 1) pertimbangan rasa aman dari ancaman predator melalui pemilihan pohon tinggi dan besar, 2) agar vokalisasinya dapat didengar baik oleh kelompok lain untuk menunjukkan eksistensinya terhadap kelompok disekitarnya dan 3) agar cepat mendapatkan hangat sinar matahari melalui pemilihan pohon dipunggungan bukit, dan 4) kemudahan mengeksploitasi sumber pakan melalui pemilihan pohon tempat tidur berada dekat dengan sumber pakan.

Pada penelitian Bangun (2007), salah satu lokasi pohon tempat tidur yang dipilih oleh ungko (Hylobates agilis unko) adalah berada di lembah dekat sumber air. Menurutnya, pemilihan lokasi pohon tempat tidur dekat dengan sumber air bertujuan untuk menghilangkan bau (odor) fesesnya, dimana bau fesesnya dapat dideteksi oleh predatornya. Hylobates lar di Khao Yai National Park Thailand memilih lokasi untuk tidur di sepanjang sisi punggungan yang dekat dengan aliran air dan jurang. Terkadang, Hylobates juga memilih pohon tempat tidurnya sekaligus sebagai pohon pakannya di pagi hari, bertujuan mendapatkan sumber makanan yang cepat di pagi hari sehingga dapat memulihkan tenaga yang kosong dengan cepat. (Bangun 2007; Iskandar 2007; Chapman 1989; Reichard 1998).

(17)

Gambar 17 Peta sebaran pohon tempat tidur ungko di HBT, HBL dan HP.

Berdasarkan peta sebaran pohon tempat tidur di atas menunjukkan bahwa lokasi pohon tempat tidur ungko berada pada daerah dengan kerapatan pohon yang baik yang berwarna hijau tua/gelap. Kelompok ungko di hutan terganggu, seperti HBL dan HBT cenderung memilih lokasi pohon tempat tidur pada sisi/perbatasan antara hutan utuh dengan hutan terganggu 76,9% (10 pohon) dan kelompok yang memiliki lokasi di dalam hutan 23,1% (3 pohon). Hal ini menunjukkan bahwa kelompok ungko di hutan terganggu mempertimbangkan kerapatan pohon yang baik dalam mencari lokasi pohon tempat tidur.

(18)

Estimasi Populasi

Analisis Populasi Berdasarkan Suara

Laju vokalisasi. Laju vokalisasi adalah kelompok ungko yang bervokalisasi

sebanyak 1 kali per hari. Jenis suara ungko yang digunakan dalam penelitian ini adalah great call (suara panjang) yang dihasilkan dari kombinasi/paduan suara jantan dan betina dewasa di pagi hari antara 06.00-09.00 WIB. Selama penelitian di TN Batang Gadis, laju vokalisasi kelompok ungko bervariasi antara 0-7 kali per hari. Adapun total kesempatan mendengarkan great call adalah 232 kali dari 18 kelompok ungko.

Berdasarkan analisis diperoleh bahwa cuaca sangat mempengaruhi laju vokalisasi kelompok ungko (P≤0,05). Hal ini dapat dilihat dari laju vokalisasi ungko tinggi banyak terjadi saat cuaca cerah (66,7%) dan lebih kecil saat cuaca hujan (33,3%). Selanjutnya, laju vokalisasi nol (tidak ada vokalisasi) terjadi saat cuaca hujan, sedangkan laju vokalisasi 7 kali per hari terjadi saat cuaca cerah. Hasil ini didukung hasil penelitian Nijman (2001) yang menjelaskan bahwa perubahan iklim mikro (hujan, hembusan angin yang kencang dan perbedaan suhu siang dan malam yang ekstrim) di dalam hutan dapat mempengaruhi laju vokalisasi Hylobates.

Penyebab rendahnya frekuensi (jumlah) great call saat cuaca hujan karena pengaruh suhu lingkungan yang rendah: suhu minimal di kawasan penelitian dapat mencapai 180C dan suhu maksimal dapat mencapai 280C. Ungko merupakan satwa berdarah panas, yaitu pada saat suhu lingkungan menjadi rendah, maka tubuhnya me-metabolisme energi (membakar simpanan energi) untuk menjaga suhu tubuh tetap hangat. Saat turun hujan di pagi hari ataupun pada malam sebelumnya, ungko akan mengurangi laju ataupun frekuensi vokalisasi guna meminimalisir terjadinya kehilangan energi yang lebih besar yang dibutuhkan dalam menjaga tubuhnya tetap hangat. Menurut Chiver (2001) dan Duma (2007) vokalisasi membutuhkan energi yang cukup untuk kebugaran fisik agar menghasilkan vokal yang kuat. Oleh sebab itu, cuaca dapat mempengaruhi laju vokalisasi harian ungko.

Besarnya pengaruh cuaca terhadap laju vokalisasi kelompok ungko yang hidup di habitat terganggu, seperti HBL dan HBT diduga karena komposisi dan kerapatan pohon di hutan terganggu telah mengalami perubahan akibat penebangan pohon. Banyak pohon yang berfungsi sebagai tutupan sinar matahari dan pemecah

(19)

hembusan angin telah berkurang sehingga meningkatkan perbedaan suhu (siang dan malam) dan juga meningkatkan hembusan angin di dalam hutan (Nijman 2001). Sebagai akibat meningkatnya hembusan angin dan hujan, dapat menurunkan temperatur lingkungan (Nijman 2001). Pengaruh cuaca terhadap laju vokalisasi dari 18 kelompok di lokasi pengamatan HBL, HBT dan HP disajikan pada Gambar 18.

16.7 36.7 10.0 3.3 0.0 3.3 6.7 13.3 10.0 0.0 0.0 5.0 10.0 15.0 20.0 25.0 30.0 35.0 40.0 05.00-06.00 06.00-07.00 07.00-08.00 08.00-09.00 >09.00 SELANG WAKTU (JAM)

PE R S EN T A S E VO K A L ISA S I ( % ) cerah hujan

Gambar 18 persentase vokalisasi kelompok pada cuaca yang berbeda.

Gambar 18 memperlihatkan bahwa saat cuaca cerah, puncak great call terjadi antara 06.00-08.00 WIB (80%) dan sedikit terjadi di atas pukul 08.00 (20%). Selanjutnya, saat hujan frekuensi vokalisasi kelompok lebih kecil dan puncak great

call terjadi lebih lambat, yaitu pada pukul 07.00-08.00. Saat semakin siang (>09.00

WIB), vokalisasi kelompok hanya terjadi kadangkala saat ada gangguan dari kelompok lain atau penyusup.

Keadaan ini sama dengan Hylobates agilis di TN Bukit Barisan Selatan, bahwa vokalisasi tertinggi terjadi antara pukul 06.00-08.00 dan sedikit vokalisasi setelah jam 10.00 (O’Brien et al. 2004). Pada Hylobates agilis albibarbis, puncak great call terjadi pada pukul 05.00-06.00, kemudian menurun saat hari semakin siang (Duma 2007).

(20)

Tabel 6 Rerata jumlah kelompok yang diidentifikasi di setiap lokasi penelitian

Pohon Kerapatan persentase

Fixed point count Sensus Sumber Pakan Pohon Pohon Sumber Pakan (phn/ha) Kepadatan Jmlh Jmlh Kelompok Kepadatan Lokasi

(phn/ha) Kelompok Kelompok Individu

(%) (klp/km2) (klp) (klp) (indv/klp) HBL HBT HP 54,2 70,8 29,2 470,8 337,5 483,3 11,5 21,0 6,0 4,7 4,0 3,3 7,0a 2,4 3,0 6,0b 1,5 3,3 5,0c 1,1 3,3

klp: kelompok, indv: individu, jmlh: jumlah; angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama artinya tidak berbeda nyata pada taraf uji 1%

Tabel 6 memperlihatkan penelitian dengan menggunakan vokalisasi sebagai dasar penghitungan mempengaruhi jumlah kelompok yang dapat diidentifikasi dibandingkan dengan jumlah kelompok yang diidentifikasi melalui pengamatan sensus (P≤0,01). Namun dari hasil uji jarak Tukey tiap lokasi penelitian menunjukkan bahwa vokalisasi sangat mempengaruhi jumlah kelompok yang dapat diidentifikasi di HBL dan HP. Hal ini disebabkan kondisi topografi yang berbukit-bukit pada lokasi pengamatan mempengaruhi hasil pengamatan kelompok secara langsung. Selain itu, tingkahlaku ungko yang diam tidak bergerak (freezing) ataupun bersembunyi (hidding) di atas tajuk saat mendeteksi kehadiran pengamat, dan kondisi cuaca juga mempengaruhi pengamatan.

Penggunaan suara (vokalisasi) sebagai dasar penghitungan dapat meng-cover area pengamatan yang sulit dijangkau dengan pengamatan langsung. Dengan demikian, areal pengamatannya menjadi lebih luas karena suara great call ungko dapat terdengar hingga lebih 1 km (Supriatna dan Wahyono 2000), sehingga dapat menjangkau area yang menjadi batasan metode sensus.

Disamping itu, pengamatan kelompok menjadi lebih mudah karena tanpa masuk ke habitat mereka dan mengganggu kelompok dengan kehadiran pengamat. Dengan pengamatan tanpa masuk ke dalam habitat dan mengganggu tingkahlaku bersuara maka dapat meningkatkan akurasi estimasi kepadatan populasi karena ungko akan berhenti bersuara, bersembunyi dan pergi menjauh saat mendeteksi kehadiran pengamat.

Berdasarkan hasil analisis, ketersediaan sumber pakan memiliki korelasi positif terhadap kepadatan populasi ungko (r=0,682; P=0,522). Hal ini dapat dilihat dari jumlah pohon sumber pakan per hektar di HBL yang lebih besar dibandingkan

(21)

dengan lokasi lainnya: 65 pohon/ha diperoleh 7 kelompok, HBT 85 pohon/ha diperoleh 6 kelompok dan HP 50 pohon/ha diperoleh 5 kelompok. Menurut Gupta dan Chivers (1999) biomasa komunitas primata berhubungan atau seiring dengan peningkatan kerapatan pohon melalui ketersediaan pohon sumber pakan dan tajuk. Menurut O’Brien et al., (2004) dan Bangun (2007), kepadatan populasi Hylobates berhubungan dengan sumber pakan, struktur dan komposisi hutan serta demografi.

Dari hasil analisis korelasi juga menunjukkan bahwa antara tipe habitat dan kepadatan kelompok ungko memiliki hubungan yang positif (r=0,260). Kepadatan kelompok berbeda nyata untuk masing-masing tipe habitat. Semakin bagus potensi suatu habitat, semakin banyak kelompok yang mendiami habitat tersebut, maka semakin banyak frekuensi vokalisasi kelompok. Dari 18 kelompok ungko TN Batang Gadis, rerata kelompok bervokalisasi ≥ 1 kali per hari. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan produktifitas sumber pakan pada suatu kawasan dapat mendorong kelompok ungko mengunjungi kawasan tersebut.

Analisis Populasi Berdasarkan Pemetaan Kawasan

Sebaran Ungko. Penyebaran Hylobates bergantung pada keadaan habitatnya.

Semakin baik kualitas habitat, semakin banyak jumlah kelompok yang bisa didukung, sehingga jarak masing-masing yang terbentuk cenderung berdekatan. Sebaliknya, jika habitat kurang mendukung, maka jumlah kelompok yang terbentuk cenderung rendah dan jarak satu kelompok yang satu dengan kelompok lainnya berjauhan, karena kelompok tersebut harus lebih memperluas wilayah jelajah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (Iskandar 2007).

Dari identifikasi kawasan yang menjadi sebaran ungko ini, maka diperoleh ciri-ciri, antara lain 1) memiliki kerapatan tajuk yang baik yang memungkinkan ungko dapat bergerak secara brankiasi (mengayun) karena umumnya pohonnya tergolong stratum B, 2) secara umum, memiliki ketersediaan sumber pakan yang besar, yaitu rerata 180 pohon/ha, dan 3) kawasan yang minim interaksi antar ungko dengan manusia atau jauh dari pemukiman penduduk (>4 km dari batas desa).

(22)

23.8 57.1 14.3 4.8 0.0 0.0 10.0 20.0 30.0 40.0 50.0 60.0 600-700 701-800 801-900 901-1000 > 1000 Ketinggian (m dpl) Ju m lah ( % )

Gambar 19 Persentase sebaran populasi ungko per ketinggian di TN Batang Gadis. Gambar 19 memperlihatkan bahwa ungko ditemukan pada ketinggian 600-1.000 di lokasi penelitian. Ungko banyak ditemukan dari ketinggian 600-700 m dpl (23,8%), kemudian meningkat pada 701-800 m dpl (57,1%). Proporsi perjumpaan menurun pada ketinggian diatas 800 m dpl (14,3%). Perjumpaan ungko pada ketinggian lebih dari 900 m dpl hanya satu kali (4,8%), yaitu di HBL, sedangkan ketinggian di atas 1000 m dpl tidak ditemukan kelompok ungko. Sulitnya kondisi medan di ketinggian ini karena derajat kemiringan yang mencapai 650 diduga juga ikut membatasi pengamatan. Secara umum, kondisi topografi di lokasi penelitian adalah berbukit-bukit (Departemen Kehutanan 2004).

Berdasarkan survei pendahuluan 2005, ungko tersebar pada kisaran ketinggian antara 350-1.200 m dpl dan penyebaran utama ungko di TN Batang Gadis adalah kawasan hutan di Desa Aek Nangali, Sopotinjak, Simpang Banyak, Sibanggor Julu, Huta Nagodang, Ampung Julu, Batahan, Sihayo dan Aek Nabara/Guo. Di kawasan hutan Desa Aek Nangali yang merupakan kawasan penelitian, ungko ditemukan antara 607-955 m dpl: HBL berkisar 607-955 m dpl, di HBT berkisar 710-930 m dpl, dan di HP berkisar 612-758 m dpl.

Hasil penelitian ini sama dengan hasil penelitian Iskandar (2007) di TN Gunung Halimun-Salak, bahwa semakin tinggi kawasan, maka semakin sedikit kepadatan populasi Hylobates yang teridentifikasi. Dalam laporannya disebutkan

(23)

bahwa faktor yang menyebabkan Hylobates sedikit teridentifikasi adalah potensi pohon sumber pakan yang semakin sedikit, dan kerapatan dan tajuk yang menyulitkan untuk melakukan brankiasi. Dalam penelitian O’Brien et al. (2004) juga menunjukkan bahwa kepadatan populasi Hylobates agilis di TN Bukit Barisan Selatan tertinggi berada pada kisaran ketinggian 400-900 m dpl (2,8 individu/km2) dan sedikit di ketinggian di atas 900 m dpl (2,2 individu/km2).

Data kisaran ketinggian tiap habitat ungko diperoleh dengan menggunakan alat GPS (Global Positioning System). Kawasan yang menjadi sebaran kelompok ungko pada Taman Nasional Batang Gadis disajikan pada Gambar 20 berikut ini.

PETA SEBARAN KELOMPOK TN BATANG GADIS

Gambar 20 Peta sebaran kelompok ungko berdasarkan ketinggian lokasi penelitian. Gambar 20 memperlihatkan bahwa kawasan yang menjadi sebaran ungko berada jauh dari pemukiman penduduk. Kawasan dengan ketinggian 300-400 m dpl (hijau muda) umumnya berbatasan langsung dengan pemukiman dan lahan pertanian

(24)

serta perkebunan masyarakat. Kawasan ini tidak cocok untuk habitat ungko karena umumnya hutan ini telah terfragmentasi. Kawasan dengan ketinggian 600-1000 m dpl jauh dari pemukiman (hijau daun dan tua) dan cocok untuk habitat ungko karena persentase aktifitas masyarakat ke kawasan ini kecil.

Berdasarkan hasil analisis diperoleh bahwa besar kerusakan hutan yang berjarak 0-4 km dari pemukiman mencapai 59,5%. Pada kerusakan sebesar 59,5% diperoleh kepadatan populasi 1,3 individu/km2. Selanjutnya, kerusakan hutan yang berjarak 4-8 km dari pemukiman lebih kecil, yaitu hanya 29,5% dan kepadatan populasi pada hutan yang berjarak 4-8 km dari pemukiman sebesar 2 individu/km2. Kondisi ini menunjukkan bahwa semakin dekat hutan dengan pemukiman penduduk, semakin besar kerusakan, maka semakin kecil kepadatan ungko di hutan tersebut.

Hasil penelitian Geissmann et al. (2006) menjelaskan bahwa hutan yang terpisah satu dengan lainnya (patches), dan adanya penanaman karet secara monokultur, meski masih menyisakan pohon asli, dapat menyebabkan populasi

Hylobates agilis dan siamang semakin berkurang. Hanya jenis monyet pemakan daun

(leaf-eating monkey) yang sering dijumpai. Selanjutnya, kawasan dengan ketinggian diatas 900 m dpl sedikit perjumpaan dengan ungko. Menurut Iskandar (2007), sedikitnya perjumpaan Hylobates moloch disebabkan sedikitnya pohon sumber pakan dan kondisi pohon yang tidak cocok untuk melakukan brankiasi.

Komposisi Kelompok. Ungko merupakan satwa primata yang hidup dalam

kelompok monogami, yang terdiri atas sepasang jantan dan betina dewasa dengan 1-2 anak. Spesies Hylobates sp. hanya melahirkan satu anak per kelahiran dan akan melahirkan anak kedua setelah anak pertama di sapih, sekitar umur 2-3 tahun. Saat anak menjelang dewasa (subadult), mereka akan memisahkan diri dari kelompoknya dan membentuk kelompok baru (Kuester 2000).

Total kelompok yang teridentifikasi melalui sensus berjumlah 14 kelompok. Dari 14 kelompok tersebut, jumlah anggotanya bervariasi dari 2-5 individu/kelompok. Adanya kelompok berjumlah 5 individu disebabkan karena anak umur dewasa (>6 tahun) belum keluar dari kelompok asal untuk membentuk kelompok baru. Secara umum, pada sistem sosial yang disebut kelompok keluarga (family group), anak yang telah mencapai umur dewasa akan keluar membentuk

(25)

kelompok baru. Adapun, jumlah maksimal anggota dalam satu kelompok adalah 4 individu.

Tabel 7 Komposisi kelompok ungko di TN Batang Gadis Komposisi Keluarga Lokasi Kelompok

JD BD Rmj Ank Byi Jumlah

HBL 1 1,0 1,0 1,0 0,0 0,0 3,0 2 1,0 1,0 1,0 1,0 0,0 4,0 3 1,0 1,0 0,0 1,0 0,0 3,0 4 1,0 1,0 0,0 1,0 0,0 3,0 5 1,0 1,0 0,0 0,0 0,0 2,0 Jumlah 5,0 5,0 2,0 3,0 0,0 15,0 Rerata 1,0 1,0 0,4 0,6 0,0 3,0 HBT 6 1,0 1,0 1,0 1,0 0,0 4,0 7 1,0 1,0 1,0 1,0 0,0 4,0 8 1,0 1,0 1,0 0,0 0,0 3,0 9 1,0 1,0 0,0 1,0 0,0 3,0 10 1,0 1,0 0,0 0,0 0,0 2,0 11 1,0 1,0 1,0 0,0 1,0 4,0 Jumlah 6,0 6,0 4,0 3,0 1,0 20,0 Rerata 1,0 1,0 0,7 0,5 0,2 3,3 HP 12 1,0 1,0 0,0 0,0 0,0 2,0 13 1,0 1,0 0,0 1,0 0,0 3,0 14 1,0 1,0 1,0 1,0 1,0 5,0 Jumlah 3,0 3,0 1,0 2,0 1,0 10,0 Rerata 1,0 1,0 0,3 0,7 0,3 3,3 JD: jantan dewasa; BD: betina dewasa; Rmj: remaja; Ank: anak; Byi: bayi

Berdasarkan tabel di atas, setiap lokasi pengamatan mempunyai komposisi dewasa, remaja dan anak yang berbeda-beda. Kelompok ungko di HBL memiliki proporsi dewasa, remaja dan anak secara berturut-turut adalah 66,6; 13,3; dan 20,0%. Selanjutnya, proporsi pasangan yang memiliki satu anak sebesar 60,0% dan pasangan yang memiliki anak lebih dari satu (anak>1) sebesar 40%. Pada HBT, persentase dewasa, remaja dan anak secara berturut-turut adalah 60,0; 20,0; dan 20,0%. Proporsi pasangan yang memiliki satu anak sebesar 33,3%, pasangan yang memiliki anak lebih dari satu 50,0%, dan pasangan yang tidak memiliki anak sebesar 15,7%. Pada HP, perbandingan kelompok umur dewasa, remaja dan anak secara berturut-turut adalah 60,0; 10,0; dan 30,0%.

Hasil penelitian Bangun (2007) menunjukkan komposisi kelompok populasi jantan 29,27%, betina 29,27%, pra dewasa 4,88%, remaja/anak 26,83% dan bayi 9,75%, sedangkan pada penelitian ini, populasi jantan dan betina dewasa 31,7%, pradewasa 16,7%, anak 17,5% dan bayi 2,5%. Apabila dibandingkan proporsi setiap kelompok umur, diperoleh adanya peningkatan persentase untuk kelas pradewasa

(26)

hingga kelas dewasa dan penurunan persentase untuk kelas umur anak dan bayi. Hal ini diduga karena telah terjadi perubahan kelas umur dari umur muda (bayi dan anak) menjadi umur yang lebih tua (subadult dan dewasa) sehingga persentase kelas dewasa meningkat, sedangkan penurunan persentase kelas umur anak dan bayi, disebabkan karena tidak adanya kelahiran bayi dari induk betina dalam selang dua tahun terakhir.

Secara keseluruhan, keberhasilan kelahiran anak di ketiga lokasi termasuk tinggi. Ukuran keberhasilan ini dilihat dari tingginya persentase kelompok yang memiliki keturunan yang mencapai 76,7% dan sebaliknya, kelompok yang tidak memiliki keturunan hanya sebesar 23,3%. Selanjutnya, proporsi pasangan yang memiliki satu anak sebesar 42,3% dan pasangan yang memiliki lebih dari satu anak sebesar 34,4% (Tabel 7). Tingginya keberhasilan kelahiran anak karena kondisi habitat setiap lokasi penelitian masih dapat menunjang kebutuhan hidup kelompok ungko, terutama melalui ketersediaan pohon sumber pakan dan tajuk vegetasi yang baik.

Bangun (2007) menunjukkan kepadatan populasi yang tinggi juga ditandai dengan tingkat kelahiran yang tinggi dan laju kematian individu yang rendah. Disamping itu, kelimpahan sumber pakan, struktur dan komposisi hutan juga turut mempengaruhi keberhasilan kelahiran anak. Dalam lingkungan yang stabil, populasi cenderung meningkat hingga mencapai daya dukung habitat (carrying capacity) (Indrawan et al. 2007). Meskipun hutan di TN Batang Gadis telah mengalami degradasi, tetapi Hylobates agilis unko mampu bertoleransi terhadap gangguan oleh manusia. Keadaan ini sama dengan hasil penelitian Nijman (2001) dan O’Brien et

al. (2004), bahwa Hylobates spp dapat bertahan terhadap gangguan manusia seperti

penebangan.

Kepadatan Populasi. Kepadatan populasi adalah ukuran populasi yang

dinyatakan sebagai jumlah atau biomassa per satuan luas atau per satuan volume (Suin 2003). Penelitian populasi primata didasarkan pada jumlah individu atau kelompok yang tercatat pada luasan areal tertentu (Bismark 2006). Jumlah individu dalam kelompok diketahui melalui pengamatan langsung pada jalur pengamatan, sedangkan estimasi jumlah kelompok diketahui dengan menggunakan metode fixed

(27)

point count berdasarkan waktu vokalisasi Hylobates yang ditentukan (O’brien et al.

2004; Whittaker, 2005).

Hasil estimasi kepadatan kelompok dan individu ungko di TN Batang Gadis disajikan dalam Tabel 8. Kepadatan kelompok ungko berbeda-beda tiap lokasi penelitian dan kepadatan tertinggi terdapat di HBL sebesar 4,7 kelompok/km2,

diikuti HBT sebesar 4,0 kelompok/km2 dan terendah di HP sebesar 3,3

kelompok/km2. Demikian juga dengan kepadatan individu, tertinggi di HBL sebesar 15,5 individu/km2, diikuti HBT sebesar 13,2 individu/km2 dan terendah di HP sebesar 9,9 individu/km2. Adapun rerata kepadatan individu per kelompok secara keseluruhan sebesar 12,9 individu/km2.

Besarnya kepadatan individu pada HBL dan HBT karena kedua lokasi ini memiliki kerapatan pohon yang rendah sehingga menyebabkan ungko lebih mudah dideteksi pengamat dibandingkan di HP. Disamping itu, keanekaragaman dan keberadaan pakan ungko berupa buah di HBL dan HBT menarik minat kelompok ungko untuk mendatangi areal ini secara intensif.

(28)

Gambar 21 memperlihatkan tutupan lahan hutan primer mencapai 894 km2 (93,8%), HBT sekitar 77 km2 dan HBL sekitar 61 km2. Dalam perkiraan kasar, hingga penelitian ini dilaksanakan penurunan luas hutan primer TN Batang Gadis sebesar 17,2% yang diakibatkan alihfungsi hutan menjadi lahan pertanian atau perkebunan dan fragmentasi kawasan hutan akibat penebangan ilegal.

Adapun luas sebaran habitat ungko antara 350-1.200 m dpl adalah sekitar 823,25 km2. Perhitungan ini didasarkan pada pertimbangan ditemukan ungko pada selang ketinggian 350-1.200 m dpl dan faktor koreksi sebesar 20% yang merupakan kawasan yang tidak dapat ditinggali oleh ungko, seperti kawasan dengan ketinggian di atas 1.200 m dpl, semak belukar, perkebunan karet monokultur dan lahan terbuka (komunikasi pribadi).

Gambar 22 peta sebaran kelompok ungko menurut kelas ketinggian.

Jumlah populasi di kawasan taman nasional berdasarkan luas habitat ungko antara 350-1.200 m dpl adalah 10.620 individu, sedangkan jumlah kelompok di kawasan taman nasional adalah 3.292 kelompok. Selanjutnya kepadatan individu dan kelompok secara berturut-turut adalah 12,9 individu/km2 dan 4 kelompok/km2. Pada

(29)

metode hitungan yang berbeda, jumlah populasi di kawasan taman nasional berdasarkan luas tipe hutan adalah 10.813 individu. Jumlah kelompok di kawasan taman nasional adalah 3.545 kelompok. Hasil ini menunjukkan bahwa jumlah populasi yang dihitung berdasarkan luas habitat ungko 350-1.200 m dpl adalah lebih besar 1,8% (192,5 individu). Berikut ini adalah perhitungan populasi menurut tipe habitat yang menjadi habitat ungko.

Tabel 8 Ukuran populasi dan kelompok ungko berdasarkan tipe habitat

Tipe Luas Kepadatan Kepadatan Jumlah Jumlah

Hutan Total Individu Kelompok Kelompok Individu

(km2) (indv/km2) (klp/km2) (klp) (indv) HP 894,0 9,9 3,3 2.950,2 8.850,6 HBL 61,0 15,5 4,7 286,7 946,1 HBT 77,0 13,2 4,0 308,0 1.016,4 Jumlah 1.032,0 38,6 12,0 3.544,9 10.813,1 Rerata 344,0 12,9 4,0 1.181,6 3.604.4 Indv: individu; Klp: kelompok

Berdasarkan tabel di atas memperlihatkan bahwa jumlah kelompok tertinggi adalah di HP sebesar 2.950 kelompok, diikuti HBT sebesar 308 kelompok dan terendah di 287 kelompok. Jumlah individu, HP memiliki jumlah individu sebesar 8.851 individu, diikuti HBT 1.016 individu dan HBL sebesar 946 individu. Hasil penelitian Bangun (2007) pada lokasi yang sama menunjukkan bahwa kepadatan individu di hutan terganggu lebih kecil dibandingkan dengan hutan primer. Menurutnya, perubahan kualitas habitat akibat penebangan yang terjadi di TN Batang Gadis telah menurunkan populasi ungko sebesar 12%. Lebih lanjut dijelaskan bahwa akibat penebangan yang terjadi dimasa lalu menyebabkan kerapatan vegetasi berkurang termasuk jumlah pohon sumber pakan ungko menjadi lebih sedikit dibandingkan hutan primer.

Pada penelitian ini, tingginya kepadatan individu di hutan terganggu selain karena ketersediaan sumber pakan yang 4,4% atau lebih banyak 8 jenis/km2–nya dibandingkan hutan primer, keberadaan pohon yang dapat dimanfaatkan sebagai tempat tidur oleh ungko juga berperan dalam menarik minat kelompok ungko untuk mengunjungi kawasan ini. Pada penelitian yang dilakukan O’Brien et al. (2004) mengenai distribusi Hylobates agilis di hutan yang mengalami gangguan di Sumatera menemukan fakta bahwa Hylobates agilis mampu beradaptasi terhadap gangguan

(30)

manusia dibandingkan dengan beruk (pig-tailed macaque). Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa populasi beruk berkorelasi negatif dengan populasi manusia di tapal batas TN Bukit Barisan Selatan.

Dalam selang 2 tahun sejak penelitian populasi ungko tahun 2005, kemudian dilanjutkan tahun 2007 terjadi peningkatan populasi ungko sebesar 2.994 individu. Hal ini mengindikasikan adanya pertumbuhan populasi sebesar 28,2% per dua tahun. Besarnya persentase pertumbuhan populasi ini, selain karena teknik pengamatan kelompok yang berbeda, peningkatan populasi ini merupakan nilai kasar karena belum memasukan faktor pembatas pertumbuhan populasi seperti angka mortalitas. Untuk mendapatkan tingkat pertumbuhan populasi ungko lebih akurat dibutuhkan waktu penelitian yang berkala dan jangka waktu yang tidak singkat.

Untuk menjaga kelestarian ungko dalam jangka panjang di TN Batang gadis, diperlukan turut campur pemerintah untuk mengontrol penebangan liar di kawasan taman nasional. Sejak penebangan yang marak terjadi tahun 2004 (Bitra Konsorsium Indonesia 2005), diperkirakan luas penanaman pohon karet semakin meningkat karena banyak masyarakat yang memanfaatkan areal bekas tebangan untuk ditanami pohon karet.

Aspek Konservasi

Degradasi Habitat

Kehilangan habitat diterima secara luas sebagai ancaman terbesar terhadap populasi primata (Mittermeierr dan Cheney 1987). Beragam kegiatan manusia seperti kegiatan pertanian, penebangan hutan, transmigrasi, tambang minyak, memperbesar kehilangan hutan primer sampai pada angka yang menakjubkan (MacKinnon 1986; Whitten 1987). Bangsa Indonesia telah kehilangan sebagian dari hutan tropisnya dan diperkirakan laju deforestasi di Indonesia telah mengalami peningkatan sejak tahun 1997 yang dipicu oleh kebakaran hutan besar-besaran pada tahun 1997-1998, krisis ekonomi dan lemahnya penegakan hukum. Secara keseluruhan, Indonesia telah kehilangan tutupan hutan sebesar 2,2 juta ha per tahun pada kurun waktu antara tahun 1985 sampai dengan 1997. Pulau Kalimantan, Sulawesi dan Sumatera merupakan pulau dengan laju deforestasi yang terbesar di Indonesia (FWI/GFW 2001).

(31)

Salah satu akibat laju deforestasi adalah terdapat 31 jenis satwa primata Indonesia yang telah dimasukkan ke dalam daftar satwa primata yang dilindungi dan memerlukan upaya-upaya konservasi habitat, penangkaran untuk peningkatan populasi, termasuk pemanfaatan jasa dan penelitian (CITES 2003). Ungko dan spesies Hylobates lainnya termasuk satwa primata yang dilindungi negara berdasarkan SK MenHut 10 Juni 1991 No.301/Kpts-II/1991 (Colin dan Mucthar 2002). Peraturan ini diperkuat oleh Undang-Undang No. 5 tahun 1990 tentang konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya dan PP No. 7 tahun 1999 tentang Hylobatidae. Selain itu, ungko dilindungi melalui konvensi internasional, yaitu dengan ditetapkannya ungko sebagai satwa dengan status endangered species oleh IUCN tahun 2008 (Geissmann dan Nijman 2008).

Pembentukan hutan konservasi ataupun hutan lindung dapat menguntungkan bagi upaya-upaya konservasi ungko karena kawasan tersebut mampu menyediakan kebutuhan hidup ungko seperti air, sumber pakan yang melimpah, tempat berlindung dan pohon untuk tidur yang dibutuhkan oleh ungko. Namun, ancaman kerusakan hutan telah merambah ke kawasan-kawasan yang berstatus dilindungi. Batas-batas kawasan konservasi yang diperuntukan sebagai penyangga, masih lemah terhadap kegiatan pembalakan liar, perambahan untuk kegiatan pertanian dan pemukiman berlangsung dikawasan-kawasan lindung. Saat ini, kondisi populasi ungko yang baik hanya terdapat dikantung-kantung perlindungan di Sumatera (Supriatna dan Wahyono 2000), seperti TN Way Kambas (Lampung), Bukit Barisan Selatan (Lampung dan Selatan Bengkulu), Kerinci Seblat (Padang), Bukit Tiga Puluh (Riau dan Jambi), Cagar Alam Dolok Sibual-buali (Tapanuli Selatan) (Ditjen PHKA 2006b).

Saat penelitian dilakukan, kelestarian kawasan TN Batang Gadis menghadapi ancaman degradasi. Secara tidak langsung, ancaman degradasi tersebut disebabkan karena sebagian besar lahan pertanian atau perkebunan milik masyarakat masuk ke dalam batas kawasan taman nasional. Kondisi ini menciptakan kelangkaan luasan lahan pertanian atau perkebunan. Kelangkaan lahan yang terjadi pada akhirnya dapat meningkatkan ketergantungan penduduk terhadap sumberdaya hutan. Keadaan ini tidak menguntungkan bagi upaya-upaya konservasi karena ketergantungan

(32)

masyarakat terhadap sumberdaya hutan dalam jangka panjang dapat mengurangi keanekaragaman hayati TN Batang Gadis, termasuk penurunan populasi ungko.

Berdsaarkan hasil analisis informasi spasial, diperoleh bahwa besar kerusakan hutan yang berbatasan langsung dengan pemukiman penduduk atau lahan pertanian (jarak 0-4 km) mencapai 59%. Selanjutnya, besar kerusakan hutan yang jarak 4-8 km dari pemukiman penduduk mencapai 28% atau lebih kecil dibandingkan dengan tingkat kerusakan hutan yang berjarak 0-4 km. Kemudahan akses ke lokasi berupa jalan bekas truk merupakan faktor penyebab tingkat kerusakan hutan semakin besar. Saat penelitian, penebangan kayu ilegal sudah tidak dijumpai. Adapun lokasi utama penebangan yang terjadi di Desa Aek Nangali, yaitu Tor Ompu Sutan, Tor Sanduduk, Tor Pargadungan (Bitra Konsorsium Indonesia 2005).

Pemukiman dan lahan yang berbatasan langsung dengan kawasan taman nasional juga meningkatkan frekuensi warga desa masuk hutan. Peningkatan frekuensi masuk ke hutan ini berdampak pada peningkatan perjumpaan dengan kelompok ungko. Perjumpaan yang intens menyebabkan ungko mudah terhabituasi karena kehadiran manusia tidak lagi menjadi sebuah ancaman bagi kelompoknya. Oleh karena manusia bukan ancaman, maka ungko dapat mudah ditangkap. berdasarkan informasi, sebagian besar warga Desa Aek Nangali masuk hutan lebih dari 15 kali per bulan dan bertemu dengan ungko, baik di dalam hutan maupun dipinggir hutan.

Melihat besarnya pengaruh kerusakan habitat terhadap penurunan populasi ungko, maka upaya konservasi ungko secara in situ dapat diarahkan pada pelestarian habitatnya. Adapun upaya pelestarian habitat ungko, yaitu 1) perlu monitoring kawasan terutama pada lokasi yang memiliki resiko tinggi terjadinya perusakan kawasan, seperti pada kawasan-kawasan yang bersinggungan langsung dengan lahan pertanian warga desa, 2) kawasan-kawasan yang telah dibuka/dikelola sebelumnya perlu direhabilitasi dengan penanaman vegetasi yang sama dengan vegetasi awal. Hal ini bertujuan mengembalikan hutan ke kondisi awal habitat ungko, 3) batas dan fungsi zona pada hutan konservasi lebih dipertegas, sehingga masyarakat sekitar hutan konservasi mengetahui batas-batas kawasan yang diperuntukan bagi pemanfaatan dan konservasi, dan 4) pengembangan informasi akan areal potensial penebangan liar dan pembukaan hutan akan berarti bagi pengelolaan kawasan hutan

(33)

taman nasional. Namun, upaya pelestarian habitat ungko harus diikuti dengan pencegahan perdagangan dan pemeliharaan ungko oleh masyarakat sekitar.

Pola Pemanfaatan Lahan oleh Masyarakat

Kehidupan ekonomi warga Aek Nangali bertumpu pada sektor pertanian, baik pertanian tanaman pangan (sawah dan ladang palawija) dan tanaman perkebunan. Komoditas andalan tanaman perkebunan meliputi karet dan coklat, sedangkan tanaman pangannya adalah padi. Selain dari pertanian, warga Desa Aek Nangali juga memanfaatkan hasil dari hutan, seperti perburuan satwa, mengambil rotan manau dan damar. Persentase jenis pekerjaan masyarakat Desa Aek Nangali disajikan dalam Gambar 23. Bertani 54% Berkebun 27% PNS 9% Pelajar 5% Tidak Bekerja 5%

Gambar 23 Sumber pendapatan warga Desa Aek Nangali.

Berdasarkan gambar di atas menunjukkan bahwa roda ekonomi masyarakat Aek Nangali digerakan dari hasil pertanian dan perkebunan. Apabila melihat pertanian dan perkebunan sebagai penggerak roda perekonomian utama masyarakat, maka tolak ukur dalam menentukan besar penghasilan setiap keluarga di Desa Aek Nangali adalah luasan kepemilikan lahan. Semakin luas kepemilikan lahan, maka semakin besar pendapatan keluarga dan sebaliknya, semakin kecil lahan, maka semakin kecil pendapatan keluarga. Berdasarkan hasil wawancara, mayoritas warga desa hanya memiliki luas lahan kurang dari satu hektar dan umumnya berbatas langsung dengan kawasan taman nasional.

Saat penelitian ini dilakukan terdapat respon negatif dari warga desa berkaitan penguasaan lahan mereka yang masuk di dalam kawasan taman nasional. Respon negatif ini timbul karena rasa kekhawatiran atas lahan, bahwa mereka tidak diperbolehkan/diperkenankan mengolah lahan mereka atau terjadi kelangkaan luas

(34)

lahan karena lahan mereka masuk ke dalam kawasan taman nasional. Apabila kondisi ini dibiarkan, maka dalam jangka panjang dapat mengakibatkan peningkatkan ketergantungan masyarakat terhadap sumberdaya hutan. Oleh karena itu dibutuhkan sistem pemberdayaan masyarakat bidang melalui intensifikasi pertanian ataupun perkebunan guna meningkatkan produktifitas dalam luasan lahan yang terbatas.

Gambar 24 Mata pencaharian masyarakat Desa Aek Nangali.

Pencarian alternatif pengembangan ekonomi akan mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap sumberdaya hutan. Beberapa hal yang dapat dilakukan terkait pengembangan ekonomi alternatif. Pertama adalah pengembangan pertanian secara intensif. Sistem ini cocok untuk luas lahan yang sempit karena dapat meningkatkan produktifitas pada lahan terbatas. Misalnya melalui peremajaan pohon karet yang telah berumur tua dengan pohon karet yang bagus. Menurut warga desa, sebagian umur pohon karet mereka sudah tua, sudah tidak produktif dan belum ada pergantian dengan yang baru. Kedua adalah penggunaan pertanian sistem tumpang sari, pada disela-sela pohon karet ditanami beragam jenis buah-buah atau jenis lainnya yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Selain dari hasil tanaman pokok, buah yang dipanen nantinya dapat memberikan kontribusi yang baik untuk ekonomi keluarga.

(35)

Persepsi Masyarakat terhadap Konservasi Ungko

Terdapat dua persepsi mengenai status perlindungan ungko pada masyarakat Aek Nangali. Persepsi pertama adalah mereka yang tidak mengetahui bahwa ungko adalah satwa primata yang dilindungi, dilarang diburu, ditangkap dan diperjualbelikan. Mereka yang termasuk ke dalam kategori ini adalah mereka yang bekerja diluar sektor pertanian, seperti pedagang. Mereka yang dikategorikan tidak mengetahui status perlindungan ungko ini hanya sebesar 5% dari jumlah total 90 responden. Persepsi kedua adalah mereka yang mengetahui bahwa ungko satwa yang dilindungi oleh negara. Kelompok ini mayoritas menyadari akan pentingnya menjaga dan melestarikan keberadaan ungko di habitat aslinya. Menurut kelompok ini, meskipun mereka tidak tahu manfaat langsung dari ungko, tetapi mereka menyakini bahwa Allah SWT menciptakan setiap mahluk memiliki manfaat bagi kehidupan manusia.

Pengetahuan mereka akan status ungko yang langka dan dilindungi oleh negara diperoleh melalui media informasi yang berbeda-beda. Mayoritas atau sekitar 40% informasi tersebut mereka peroleh dari pemerintah melalui sosialisasi, 30% berasal teman, 10% dari televisi dan sisanya 5% berasal dari sekolah, universitas dan LSM. Persepsi masyarakat terhadap keberadaan ungko di Desa Aek Nangali disajikan dalam Gambar 25. Tahu 95% Tidak tahu 5%

Gambar 25 Persentase persepsi terhadap keberadaan ungko oleh Masyarakat Desa Aek Nangali

Apabila melihat besarnya warga Desa Aek Nangali yang mengetahui bahwa ungko adalah satwa primata yang dilindungi negara, maka dapat dikatakan bahwa keberadaan ungko di desa Aek Nangali dapat terjamin kelestariannya. Namun, dari

(36)

hasil pengamatan di masyarakat, yaitu di Pasar Tarlola dijumpai warga yang menjual anak ungko dengan harga sekitar Rp. 250.000. Di kota Kabupaten juga dijumpai siamang dipelihara oleh masyarakat. Meskipun tidak besar, tetapi keadaan ini kontradiktif dengan persepsi warga terhadap keberadaan ungko saat penelitian. Apabila ini dibiarkan, tidak menutup kemungkinkan jumlah ungko yang ditangkap oleh warga akan semakin meningkat karena harga jual yang cukup tinggi.

Berdasarkan kondisi di atas, upaya-upaya pelestarian ungko dilakukan melalui 1) melalui penyuluhan langsung mengenai pentingnya keberadaan ungko di hutan sekitar desa. Mayoritas responden menganjurkan Pemda setempat dan tokoh-tokoh yang berpengaruh dimasyarakat terlibat dalam proses penyuluhan tersebut, 2) pengawasan dilapangan dan penyitaan satwa yang terlanjur ditangkap, dan 3) pengembangan sumber ekonomi alternatif melalui peningkatan produktifitas pertanian. Hal ini bertujuan untuk mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap sumberdaya hutan, termasuk perburuan ungko.

Gambar

Gambar 12  Tipe hutan di lokasi penelitian: hutan primer (A), hutan bekas ladang (B)   dan hutan bekas tebangan (C)
Tabel 3 Nilai INP tertinggi jenis vegetasi tingkat pohon yang mendominasi di    kawasan hutan TN Batang Gadis
Tabel 4  Pohon sumber pakan ungko di areal penelitian dalam luasan 0,52 ha
Gambar 14  Buah yang dikonsumsi ungko di TN Batang Gadis (dari kiri ke kanan):
+7

Referensi

Dokumen terkait

Meskipun kelompok ini mengalami inflasi namun ada beberapa komoditas yang ikut andil menghambat laju inflasi, yaitu semen yang mengalami penurunan harga sebesar 1,1209 persen

Tikus yang diinduksi bising dengan intensitas 90-95 dB selama 8 jam sehari dalam jangka waktu 12 hari kemudian pada hari ke-13 sampai hari ke-19 tidak diberikan perlakuan

Kegiatan ini merupakan salah satu bentuk kepedulian terhadap lingkungan dan juga bentuk kepedulian terhadap masyarakat ekonomi bawah untuk meningkstkan pengetahuan,

Suatu RFID tags dapat berupa benda yang sangat kecil, sehingga dapat disatukan dengan menggunakan media kertas stiker misalnya, ketika kode-kode identitas yang

Dari Latar belakang dan permasalahan yang ada, maka dapat diasumsikan bahwa penerapan konsep city walk di area pusat perbelanjaan perkotaan dapat memenuhi

Universitas Muhammadiyah Pruworejo, Vol.. menyaksikan upacara tersebut, penulis baru bisa memberikan kesimpulan bahwa upacara tersebut adalah upacara adat pernikahan

Tujuan penelitian ini adalah: (1) Mengidentifikasi pola sebaran spasial dan pola pencampuran lahan yang ada di Kota Makassar, (2) Menganalisis pengaruh pola spasial

Beberapa upaya yang telah dilakukan untuk beradaptasi dengan kondisi lingkungan yang dipengaruhi banjir rob adalah dengan memilih bibit padi yang dapat beradaptasi