• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Penelitian tentang poligami pada masyarakat Desa Sukanalu yang pernah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Penelitian tentang poligami pada masyarakat Desa Sukanalu yang pernah"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Penelitian tentang poligami pada masyarakat Desa Sukanalu yang pernah dilakukan sebelumnya oleh Kira1 membuat penulis tertarik untuk mengangkat kembali topik yang sama di lokasi yang sama saat ini. Poligami bukanlah hal yang baru bagi masyarakat Desa Sukanalu, bahkan pada tahun 1970-an, poligami menjadi tren yang kerap dilakukan oleh masyarakat Desa Sukanalu, namun seiring berjalannya waktu, poligami surut dari masyarakat desa tersebut dan hal tersebut menjadi fokus dari penelitian Kira Sembiring.

Adapun maksud penulis dengan mengangkat kembali topik yang sama dan lokasi yang sama adalah untuk melihat dan memastikan apakah bentuk perubahan perkawinan poligami ke monogami yang terjadi pada masa lalu masih sama pada saat ini mengingat penelitian yang dilakukan 20 tahun yang lalu. Atau adakah hal-hal lain yang mungkin terlewatkan dan penulis bermaksud untuk meneliti kembali masalah ini. Selanjutnya pada Bab IV penulis akan menuliskan kasus-kasus poligami yang penulis dapatkan di lapangan, juga alasan-alasan dari key informan penulis melakukan poligami dan yang tidak melakukan perkawinan poligami pada dewasa ini. Selanjutnya untuk semakin mempermudah pembaca untuk membacanya peneliti juga akan memperbandingkan perubahan paradigma berfikir dari pelaku poligami dan pelaku monogami.

(2)

Apakah setelah puluhan tahun sejak maraknya poligami di desa itu, terjadi perubahan atas pola perkawinan yang dilaksanakan oleh masyarakatnya atau tetap tidak berubah sama sekali atau hanya terdapat modifikasi atas pola yang telah ada. Dalam penelitiannya, Kira telah memaparkan secara rinci bagaimana pola perkawinan yang kerap dilakukan oleh masyarakat Desa Sukanalu, apakah yang menjadi latar belakang masyarakat Desa Sukanalu kerap melaksanakan perkawinan dengan pola poligami, serta faktor-faktor yang menyebabkan kecenderungan berpoligami berkurang seiring berjalannya waktu. Penulis saat ini juga akan turut membahas hal-hal tersebut, hanya saja informan yang akan dijadikan sumber informasi adalah masyarakat yang saat ini tinggal di Desa Sukanalu yang memiliki pola pikir yang diduga telah berbeda dengan masyarakat masa lalu, karena adanya perkembangan zaman serta informan kunci yang memang pelaku poligami dari masa lalu.

Adanya perbedaan pola pikir tentunya akan memberikan penjelasan yang berbeda atas sikap terhadap fenomena poligami di Desa Sukanalu. Selain itu ada Beberapa hal yang membedakan antara penelitian yang dilakukan oleh Kira Sembiring dengan yang peneliti saat ini lakukan, antara lain penelitian yang dilakukan Kira Sembiring tidak menampilkan informan kunci yang merupakan pelaku poligami pada masa lalu dan informan lainnya sebagai sumber informasi, sedangkan peneliti saat ini menampilkan informan kunci yang merupakan pelaku poligami pada masa lalu dan pelaku poligami pada saat sekarang ini, serta pelaku monogami.

Penelitian yang dilakukan oleh Kira Sembiring secara langsung menampilkan faktor-faktor yang menjadi penyebab perkawinan poligami masyarakat Desa Sukanalu pada masa lalu, sedangkan peneliti saat ini lebih dulu menelusuri penyebab-penyebab

(3)

munculnya poligami yang kemudian dikelompokan menjadi faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya poligami

Kontroversial antara golongan yang pro dan kontra terhadap poligami kerap memenuhi media informasi baik cetak maupun elektronik. Bahkan tak jarang perseteruan terbuka terjadi untuk mendukung atau menolak poligami. Sekalipun orang yang mendukung tersebut adalah orang terpandang, namun mereka tidak segan untuk mengakui tindakan poligami yang telah dilakukannya dalam perkawinan. Saat ini topik poligami juga kerap disajikan kepada masyarakat lewat berbagai bentuk, seperti talk show, humor, seminar, bahkan film layar lebar. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat ketertarikan masyarakat akan hal tersebut.

Poligami sebenarnya bukan lah isu yang baru dalam kehidupan sosial masyarakat tertentu. Puluhan, ratusan bahkan ribuan tahun yang lalu, sejarah telah mencatat praktik poligami dalam kehidupan seseorang. Sebut saja raja-raja China yang memiliki isteri serta selir-selirnya. Hal tersebut juga merupakan praktek poligami di masa lampau meskipun cara dan tujuan berpoligami itu berbeda. Begitu juga hal nya dengan kasus poligami yang terjadi di Desa Sukanalu, Kecamatan Barus Jahe, Kabupaten Karo.

Desa ini memiliki imej poligami pada masa lampau. Begitu banyak nya kasus masa lalu tentang poligami membuat desa ini menjadi terkenal di Kabupaten Karo. Namun saat ini kasus-kasus serupa sudah semakin jarang ditemui, yang tinggal kasus lama dan sejumlah kecil kasus baru. Seiring waktu, imej poligami yang melekat pada masa lalu luntur. Berbicara mengenai poligami tentu erat kaitannya dengan perkawinan. Seperti yang dikemukakan oleh (Koentjaraningrat, 1982:75) yaitu saat peralihan yang

(4)

paling penting dalam lingkaran hidup semua manusia di dunia adalah peralihan dari tingkat hidup remaja ke tingkat hidup berkeluarga ialah perkawinan. Di pandang dari sudut kebudayaan tertentu, perkawinan merupakan pengatur kelakuan manusia yang bersangkut paut dengan kehidupan seksnya, yaitu kelakuan-kelakuan seks terutama dalam persetubuan sebagai kebutuhan biologis (Koentjaraningrat, 1997:90). Berkenaan dengan hal itu perkawinan dapat dilakukan antara satu orang laki-laki dengan satu orang perempuan (monogami), atau antara satu orang laki-laki dengan beberapa orang perempuan (poligini) ataupun sebaliknya antara satu orang perempuan dengan beberapa orang laki-laki (poliandri) yang sering dikenal dengan perkawinan poligami.

Perkawinan yang mencakup adat dan upacara merupakan unsur kebudayaan yang dihayati dari masa ke masa dan akan ada dalam masyarakat yang berbudaya, walau dalam batas ruang dan waktu akan mengalami perubahan-perubahan. Dalam adat dan upacara perkawinan ini juga terkandung nilai-nilai dan norma-norma yang sangat luas dan kuat, mengatur dan mengarahkan tingkah laku setiap individu dalam masyarakat dan juga mengatur dan mengukuhkan suatu bentuk hubungan yang sangat esensial antara manusia yang berlainan jenis.

Upacara perkawinan yang ada dalam kehidupan suatu masyarakat akan berlangsung pada waktu-waktu tertentu dalam kehidupannya. Tahap-tahap pertumbuhan sepanjang hidup induvidu akan mempengaruhi dan membawa perubahan-perubahan terhadap individu itu sendiri, baik biologi, sosial budaya maupun jiwanya. Oleh karena itu tiap tingkat pertumbuhan yang membawa setiap individu memasuki tingkat dan lingkungan sosial yang baru yang lebih merupakan saat-saat yang penuh bahagia dan dianggap suatu masa krisis.

(5)

Meskipun perkawinan merupakan suatu ikatan suci yang tidak dapat dilepaskan dari ketentuan Tuhan, tiap individu mempunyai tujuan dan alasan yang berbeda-beda untuk melaksanakan suatu perkawinan yaitu sebagai pengatur hubungan seks, memberi status sosial dalam kehidupan kerabat, memberi hak milik akan anak-anak, gengsi, dan memelihara hubungan baik antara kelompok-kelompok kerabat (Keesing, 1981:152).

Sehubungan dengan hal itu Pasurdi suparlan (1981:171) juga mengemukakan bahwa perkawinan adalah hubungan permanen antara laki-laki dan perempuan yang diakui sah oleh masyarakat yang bersangkutan, dan tentu saja berdasarkan atas peraturan perkawinan yang berlaku. Suatu perkawinan bukan hanya mewujudkan adanya keluarga dan memberikan keabsahan atas status kelahiran anak-anak mereka saja, tetapi yang melibatkan hubungan di antara kerabat-kerabat masing-masing pasangan tersebut.

Sebenarnya praktik poligami bukanlah persoalan teks, ataupun berkah, melainkan persoalan budaya. Dalam pemahaman budaya, praktik poligami dapat dilihat dari tingkatan sosial yang berbeda. Bagi kalangan miskin atau petani dalam tradisi agraris, poligami dianggap sebagai strategi pertahanan hidup untuk penghematan pengelolaan sumber daya. Tanpa susah payah lewat poligami akan diperoleh tenaga kerja ganda tanpa upah. Kultur ini dibawa migrasi ke kota meskipun struktur masyarakat telah berubah. Sementara untuk kalangan priyayi, poligami tak lain dari bentuk pembenda matian perempuan. Ia disepadankan dengan harta dan takhta yang berguna untuk mendukung penyempurnaan derajat sosial laki-laki.

Masalah poligami dipandang cukup krusial dalam pandangan feminis. Menurut kelompok feminisme ini, betapa tidak, bagaimana sakit hatinya perempuan yang

(6)

dikhianati cintanya oleh orang yang disayangi. Belum lagi bila suami bersikap tidak adil dan lebih cenderung kepada isteri lainnya, menyebabkan perempuan (isteri pertamanya) ditelantarkan begitu pun anak-anaknya. Alasan inilah yang digunakan untuk menolak hukum kebolehan poligami. Kaum feminis mengingkari kebolehan poligami dan mencoba mengharamkannya. Keputusan haram lahir dari fakta yang menunjukkan bahwa pelaku poligami umumnya berlaku tidak adil dan menyebabkan perempuan teraniaya. Dengan demikian poligami harus dilarang karena ekses yang ditimbulkannya berupa ketidakadilan bagi isteri dan anak-anak.

Selanjutnya ketidakadilan poligami dinilai dari tidak etisnya alasan ketidakmampuan isteri untuk bisa memperoleh keturunan yang sering dijadikan alasan mengajukan poligami. Keadaan isteri yang mandul harus dibuktikan secara medis bukan hanya klaim suami saja. Kalaupun isteri terbukti mandul, bukankah akan sangat menyakitkan hatinya jika kekurangan fisik yang telah diberikan oleh sang Pencipta itu dijadikan dalih agar suami bisa kawin lagi.

Dalam fakta lain menunjukkan tidak sedikit isteri yang mendorong suaminya kawin lagi agar ia mempunyai keturunan. Fakta menunjukkan ada banyak keluarga yang melakukan poligami, mereka hidup rukun dan damai, harmonis dan saling membantu.

Jadi, masalah yang seringkali muncul sebenarnya bukan karena poligami itu sendiri, melainkan karena pelaku poligami dalam hal ini seorang suami tidak menjalankan konsekuensi dari tindakan yang ia ambil. Saat ia memutuskan untuk berpoligami, seharusnya ia memahami dan menjalankan konsekuensinya. Ia harus mampu menghidupi lebih dari satu keluarga. Orang-orang yang berada di bawah tanggung jawabnya telah bertambah dan ia harus siap untuk itu. Ketika ia tidak

(7)

memenuhi konsekuensi dari berpoligami dan berbuat tidak adil seperti menelantarkan isteri pertama dan anak-anaknya, yang disalahkan bukan hukum kebolehan poligami. Melainkan pelaku poligami itu sendiri.

Hal yang mencolok dari dampak poligami itu sendiri di Desa Sukanalu adalah persaingan antara isteri tua dengan isteri muda dalam mencari perhatian suami, yang sering berujung pada pertengkaran dalam rumah tangga. Isteri yang lebih muda biasanya akan memenangkan pertikaian dan memperoleh perhatian lebih dari suami. Kebanyakkan isteri yang lebih muda menganggap dirinya lebih unggul tentang segala hal yang dapat menimbulkan rasa bangga serta tidak mau perduli dengan pandangan keluarga serta penduduk disekitarnya. Walaupun pandangan masyarakat terhadap isteri kedua atau ketiga adalah suatu perbuatan yang memalukan terutama bagi orang tua serta sering dipergunjingkan masyarakat. Sementara isteri pertama merasa sebagai manusia lemah, penuh kekurangan dan tidak mampu dalam mengurus rumah tangga

Perkawinan poligami di desa ini biasanya tidak mendapat restu dari orang tua khususnya orang tua pihak perempuan. Sering terjadi orang tua pihak perempuan secara terpaksa harus menerima uang jujur dengan jumlah ala kadarnya saja (sesuai dengan keinginan pihak laki-laki) yang tanpa lebih dulu dimusyawarahkan. Perkawinan seperti ini jarang dilaksanakan dengan meriah, cukup dengan makan bersama dalam rumah saja.

Perkawinan dalam masyarakat tidak selalu sama akan tetapi dapat dijumpai perbedaan-perbedaan dalam tata cara pelaksanaan, namun demikian makna dan tujuannya sama. Pada masyarakat Karo (Darwan Prinst 2004 :7), proses perkawinan ada dua cara yaitu:

(8)

1. Arah Adat (menurut adat), yaitu suatu proses perkawinan dimana peranan orang tua lebih dominan, artinya pihak orang tualah yang lebih mengusahakan agar pekawinan itu dapat dilaksanakan. Peranan orang tua di sini mulai dari petandaken atau perkenalan calon mempelai, mbaba belo selambar atau pertunangan/ peminangan dan sampai upacara perkawinan.

2. Arah Ture (dengan persetujuan kedua mempelai saja), yaitu perkawinan yang dilangsungkan berdasarkan kehendak kedua belah pihak calon mempelai dan orang tua tidak mempunyai peran dari awal tetapi orangtua selalu mengikuti pembicaraan mereka sehingga pada akhirnya orangtua menyelenggarakan perkawinan mereka.

Menurut Darwan Prinst (2004), fungsi perkawinan pada masyarakat Karo adalah Melanjutkan hubungan kekeluargaan, menjalin hubungan kekeluargaan apabila sebelumnya belum ada hubungan kekeluargaan, melanjutkan keturunan dengan lahirnya anak laki – laki dan perempuan, menjaga kemurnian dari suatu keturunan, menghindari berpindahnya harta kekayaan pada keluarga lain, mempertahankan dan memperluas hubungan kekeluargaan.

1.2. Perumusan Masalah

Seperti telah diuraikan di atas bahwa tujuan utama dari perkawinan bagi masyarakat Karo adalah mendapatkan keturunan. Hal ini sangatlah penting dalam mempertahankan garis keturunan berupa merga. Oleh karena itu, bagi suku bangsa Karo yang menganut sisitem patrilineal, anak laki-laki sangatlah penting. Yang menjadi pertanyaan, bagaimana bila dalam sebuah rumah tangga tidak dikaruniai anak laki-laki

(9)

yang notabene sebagai penerus merga? Apakah hal ini layak menjadi sebuah dalih untuk melangsungkan perkawinan poligami? Pertanyaan lain, mengapa seorang perempuan bersedia di jadikan isteri muda dalam sebuah rumah tangga? Dan secara global masalah penelitian ini akan mengkaji sebab-sebab terjadinya perubahan perkawinan dari poligami ke perkawinan monogami.

1.3 Ruang Lingkup Masalah dan Lokasi Penelitian

Adapun yang menjadi ruang lingkup dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Latar belakang tingginya jumlah perkawinan poligami di Desa Sukanalu pada masa lalu. Apakah ada hal-hal yang istimewa yang memicu tingginya tingkat perkawinan poligami dalam kehidupan bermasyarakat di desa itu?

2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi perkawinan poligami tersebut? Apakah ada faktor yang berasal dari dalam desa atau dari luar desa?

3. Bagaimana pandangan masyarakat tentang perkawinan poligami dan pelaku perkawinan poligami? Mungkin akan timbul pro dan kontra namun bagaimana pandangan masyarakat secara umum?

4. Bagaimana perkawinan poligami itu di langsungkan, apakah akan dilangsungkan seperti perkawinan pertama?

5. Apa yang menjadi motivasi perempuan sehingga mau dipoligami atau dijadikan isteri kedua atau isteri muda?

(10)

7. Faktor-faktor yang memicu pergeseran bentuk perkawinan poligami ke perkawinan monogami di desa tersebut pada masa sekarang?

Lokasi penelitin ini dilakukan di Desa Sukanalu, Kecamatan Barus Jahe, Kabupaten Karo. Desa ini dipilih sebagai lokasi penelitian karena desa ini mempunyai tingkat poligami yang lebih tinggi dibandingkan dengan desa-desa tetangganya. Di Desa Sukanalu sendiri kurang lebih 75% dari rumah tangga melakukan poligami khususnya poligini, sedangkan di desa-desa tetangganya hanya sekitar 10%. Hal inilah yang menjadi salah satu keunikkan tersendiri desa tersebut bila di bandingkan dengan desa-desa lainnya. Namun seiring dengan perkembangan zaman serta perubahan pandangan perempuan-perempuan di desa tersebut akan makna perkawinan, perilaku ini mengalami pergeseran ke perkawinan monogami. Karena itulah peneliti tertarik dan memutuskan Desa Sukanalu sebagai lokasi penelitian.

1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan terjadinya suatu perubahan dalam kehidupan suatu masyarakat, khususnya untuk mencari dan mendeskripsikan sebab-sebab terjadinya kecenderungan berpoligami yang telah mengalami perubahan pada masyarakat Desa Sukanalu, Kecamatan Barus Jahe.

Secara umum penelitian ini dapat memberikan manfaat dalam memperkaya literatur dan khasanah pengetahuan tentang konsep perkawinan yang berlaku dalam sistem adat masyarakat Karo.

(11)

1.5 Tinjauan Pustaka

Suku bangsa Karo sebagaimana suku bangsa lain mempunyai tata cara perkawinan yang khas. Namun pada prinsipnya adalah sama saja yaitu diawali dengan pengenalan, pacaran, pertunangan, meminang, pengesahan (Perkawinan) dan upacara pensakralan.

Ada beberapa sarjana hukum adat berpendapat bahwa suku Karo digolongkan pada masyarakat yang menganut sistem kekerabatan patrilineal. Namun bila memperhatikan hal tersebut dengan merujuk pada perkembangan hukum sekarang khususnya pada bidang perkawinan, maka suku Karo tidak hanya memperhatikan garis keturunan dari bapak saja, tetapi juga garis keturunan dari ibu, sebagaimana telah disebutkan Sempa Sitepu bahwa “Suku Karo sudah merupakan berkerabatan parental dan bilateral, artinya tidak hanya menghitung dari garis keturunan ayah saja tetapi juga garis keturunan sang ibu sehingga diberi gelar bebere. Dalam hubungan kekeluargaan pada masyarakat Karo, Hilam Hadikusuma mengatakan bahwa “ …yang selalu dituakan dan dihormati adalah merga pemberi anak dara, karena dianggap sebagai dibata idah ( dewa yang nampak )”

Pengaruh sistem kekerabatan terhadap keluarga dan anak-anak ( Soerjono Soekanto, 2003 ) adalah :

Perkawinan dalam sistem ini akan mengakibatkan si isteri tersebut akan menjadi warga masyarakat dari pihak suaminya. Sebagaimana konsekuensinya dan keadaan itu maka anak – anak yang akan lahir dalam suatu perkawinan akan menarik garis keturunan pihak ayahnya dan akan menjadi anggota masyarakat hukum adat dimana ayahnya juga menjadi anggotanya.

(12)

Mengenai sistem kekerabatan ini, Harahap (1995: 154-155) mengatakan bahwa “Sistem kekeluargaan sekarang sudah mengarah kepada sistem kekeluargaan parental, meskipun dalam kehidupan sehari hari stelsel kekeluargaan patrilineal atau matrilineal masih diakui eksistensinya, namun sepanjang masalah warisan telah terjadi pergeseran dan stelsel patrilineal kearah parental “masyarakat Karo menganut sistem kemasyarakatan patriarchat yaitu masyarakat yang diperintah secara kekeluargaan”. Hal mana terlihat dari kedudukan atau jabatan adat dalam masyarakat yang memiliki keunikkan tersendiri bila dibandingkan dengan kedudukan atau jabatan pada masyarakat adat lainnya yang ada di Indonesia.

Kedudukan atau jabatan dalam masyarakat Karo terdiri dari kalimbubu, senina, atau sembuyak dan anak beru yang biasanya disebut dengan sangkep sitelu. Kedudukan atau jabatan ini memilii fungsi yang berbeda antara satu dengan yang lainnya yaitu kalimbubu adalah pihak yang menyerahkan anak dara untuk dinikahkan dan sebagai pihak yang mengesahkan utusan dalam pertemuan–pertemuan (runggun) keluarga atau kerabat. Jadi, kalimbubu ini dapat dibagi atas beberapa golongan yaitu: kalimbubu banana/kalimbubu tanah (ketururunan dari orang yang dianggap sebagi pembuka kampung atau manteki kuta) puang kalimbubu (Kalimbubu dari kalimbubu). Sementara senina atau sada ninina adalah orang yang satu keturunan yang timbul dari merga atau bebere yang sama. Senina ini terdiri dari siperemen dan sipengalon serta sendalanen.

Anak beru adalah pihak yang bertindak sebagai penerima anak dara yang berfungsi sebagai perantara pembicaraan dalam pertemuan–pertemuan adat yang bertugas untuk meneyelesaikan pekerjaan dalam kerja–kerja adat. Anak beru ini terdiri

(13)

dari anak beru tua, anak beru menteri (anak beru dari anak beru), anak beru singerana, anak beru ncekuh baka tutup, anak beru iangkip, dan anak beru taneh.

Jabatan atau kedudukan adat sebagaimana tersebut diatas dapat melekat secara seluruhnya maupun sebagian saja pada satu orang. Sebagaimana disebutkan Sempa Sitepu bahwa “sebab pada orat tutur pada masyarakat Karo sering ada pergantian”, misal pada suatu ketika si A menjadi kalimbubu, tetapi pada pesta adat yang lain si A dapat menjadi anak beru. Disinilah terlihat keunikkan kedudukan atau jabatan yang dimiliki oleh masyarakat adat Karo tersebut.

Kedudukan atau jabatan bagaimana orang bersikap dan bertindak terhadap orang lain dan juga menentukan dimana seseorang itu mengambil tempat dalam melaksanakan upacara adat maupun runggun. Artinya kedudukan atau jabatan adat tersebut tidak menunjukan hubungan kekerabatan diantara anggota masyarakat. Dengan demikian maka pada masyrakat Karo tidak ada yang memiliki kedudukan yang lebih tinggi, karena masing masing pribadi duduk pada kelompoknya masing masing seperti kalimbubu, senina, anak beru semuanya duduk ditengah tengah kelompok masing masing.

Berpijak dari uraian yang telah dikemukakan sebelumnya dapat dibayangkan begitu pentingnya struktur merga dalam kehidupan masyarakat Karo dan setiap anggota keluarga atau keturunan dari suatu marga selalu memakai marga sebagai identitas yang dibubuhkan setelah nama kecil anggota keluarga tersebut dan yang diperhitungkan melalui garis bapak. Hal ini menandakan bahwa kelompok orang orang tersebut merupakan keturunan dari seorang kakek bersama yang bersifat patrilineal.

(14)

Sehubungan dengan itu Sitepu mengatakan bahwa “marga itu merupakan suatu pertanda bahwa orang-orang yang menggunakannnya masih mempunyai kakek bersama”. Mungkin secara nyata tidak dapat lagi dirinci rentetan bersama akan tetapi ada suatu keyakinan bahwa orang-orang yang menggunakan nama marga yang sama sudah terjalin hubungan darah sehingga dimuat menjadi suatu persyaratan kawin bagi masyarakat Karo yaitu dengan adanya larangan kawin bagi laki laki dan perempuan.

Menurut pergaulan hidup masyarakat Karo memperlihatkan bahwa setiap orang Karo dianggap sebagai kerabat karena laki-laki dan perempuan menempatkan seseorang ke dalam satu diantara kategori yang selalu dijunjung tinggi oleh masyarakat Karo, yaitu Kalimbubu, anak beru, senina. Ketiga kategori ini merupakan satu kesatuan yang selalu diwujudkan sebagai ketiga yang lengkap dengan istilah sangkep sitelu atau rakut sitelu. Menurut hukum adat pada masyarakat Karo, kesatuan sangkep sitelu atau rakut sitelu inilah yang merupakan syarat bagi kehidupan bersama manusia, karena ikatan kekerabatan ini tidak bersifat perorangan tetapi mencakup golongan yang berkerabat secara luas sehingga masyarakat Karo dapat menghubungkan dirinya satu sama lainya dalam sistem kekerabatan.

1.6 Perkawinan menurut hukum adat Karo

Menurut adat Karo perkawinan yang ideal ialah perkawinan yang eksogami, tetapi masyarakat Karo di sana masih banyak menginginkan perkawinan impal, yaitu antara mereka yang mempunyai hubungan keluarga saling silang baik impal kandung maupun impal semerga, dan perkawinan masyarakat Karo dilangsungkan dengan tukur (jujur).

(15)

Seiring dengan itu, Sitepu mengatakan bahwa perkawinan jujur adalah suatu bentuk perkawinan yang dilakukan dengan penyerahan sejumlah barang–barang magis atau sejumlah uang dari keluarga laki-laki kepada pihak perempuan, dimana hal ini menurut beliau adalah berfungsi untuk pengganti atau sebagai pembeli (tukur) atas berpindahnya si perempuan ke dalam klen si laki-laki dan untuk mempetahankan susunan kekeluargaan berhukum kebapakan (patrilineal). Lebih jauh dikatakan bahwa apabila dalam suatu perkawinan, jujurnya tidak dibayar, maka perkawinan itu dianggap tidak sah secara adat.

Sitepu mengatakan bahwa proses pelaksanaan perkawinan pada masyarakat Karo berlangsung dalam beberapa tahap yaitu,:

1. Mbaba belo selambar, mulai dilaksanakan musyawarah adat (runggun) atau sangkep sitelu pihak calon pengantin perempuan (sinereh) dan pada acara ini disampaikan lamaran yang dilanjutkan dengan pembicaraan yang disebut dengan ringgit-ringgit gantang tumba atau ersinget–ersinget. Setelah itu menurut Sitepu akan dilanjutkan dengan melakukan pemberian penindih puduh atau pemeberian tanda pengikat oleh keluarga laki-laki kepada keluarga perempuan. Sehingga dengan demikian, apabila pihak perempuan yang ingkar maka akibat hukumnya adalah pihak perempuan harus membayar dua kali lipat uang penindih puduh tersebut kepada pihak laki laki. Pada acara ini juga perlu dilakukan sijalapen, yaitu pengumuman dari anak beru kedua belah pihak tentang nama kedua calon mempelai, nama kedua orang tua, nama anak beru tertua, termasuk tanggal dan waktu pelaksanaan nganting manuk.

2. Ngembah manuk atau nganting manuk, yaitu untuk mematangkan hasil musyawarah yang dilakukan pada acara mbaba belo selambar yang dilanjutkan dengan mufakat

(16)

tentang cara pelaksanaan peresmian perkawinan. Disini para sangkep sitelu dari kedua pihak bermusyawarah tentang kewajiban-kewajiban adat (hutang adat) yang menyangkut besarnya uang jujur. Besarnya acara pesta, tempat diadakannya pesta, menentukan orang–orang yang bertindak sebagai pengundang dan lain-lain. Setelah itu disepakati maka dibuatlah janji untuk menentukan hari dan tanggal pelaksanaan pesta.

3. Pesta atau erdemu bayu, yaitu pelaksanaan pesta perkawinan. Dalam pesta perkawinan tersebut diadakan adat pembayaran jujur (unjuken) yang diberikan pihak laki-laki kepada pihak perempuan sebagai kelompok penerima jujur dengan dihadiri oleh seluruh kaum kerabat yang kedudukanya masing masing dikelompokan dalam kategori senina, anak beru dan kalimbubu

4. Mukul, setelah selesai pesta perkawinan maka pengantin perempuan dibawa oleh kerabat laki–laki atau kesuatu rumah yang dihunjuk pengantin laki-laki, maka pada malam hari diadakan acara mukul atau memecahkan tinaro (memecahkan telur) atau pengrebun, yaitu menetapkan kelompok yang dilarang berbicara langsung. Dalam beberapa hari kemudian, setelah pengantin perempuan tinggal dirumah pengantin laki–laki, maka kedua pengantin di antar oleh orang tua pengantin perempuan, dengan tujuan untuk mengambil pakaian atau barang-barang pengantin yang masih tinggal di rumah orang tuanya.

. Pelamaran atau peminangan pada masyarakat patrilineal, pihak yang mengajukan adalah pihak keluarga laki-laki yang dijalankan oleh seseorang atau beberapa orang sebagai utusan. Seseorang atau beberapa orang yang menjadi utusan

(17)

adalah orang- orang yang sekerabat dengan pihak keluarga laki-laki dan bahkan yang sering terjadi untuk melakukan pelamaran adalah orangtuanya sendiri.

Bertalian dengan hal tersebut diatas, maka pada prinsipnya tujuan perkawinan menurut adat, sebagaimana dikemukakan oleh Wila Chandrawila Supriadi (2002), adalah “memperoleh keturunan dan dengan demikian tiba pada pembentukan keluarga”. Oleh karena itu dapat di ketahui bahwa prinsip-prinsip perkawinan menurut hukum adat adalah sebagai berikut:

• Perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga atau rumah tangga hubungan kekerabatan yang rukun dan damai serta bahagia dan kekal

• Perkawinan tidak saja harus dilaksanakan menurut hukum agama dan atau kepercayaannya, tetapi harus mendapat pengakuan dari anggota kerabat menurut hukum adat.

• Perkawinan dapat dilakukan oleh seorang laki-laki dengan beberapa perempuan sebagai isteri yang kedudukannya msing-masing ditentukan menurut hukum adat, dalam arti menganut azas poligami.

• Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan orang tua dan kerabat, karena masyarakat adat dapat menolak kedudukan suami atau isteri yang tidak diakui masyarkat adat.

• Perkawinan dapat dilakukan oleh laki-laki dan perempuan yang belum cukup umur atau yang masih dengan usia anak, tetapi perkawinan itu harus mendapat izin dari orang tua dan keluarga.

• Keseimbangan antara suami dan isteri berdasarkan ketentuan adat yang hidup dan berkembang ditengah-tengah masyarakat yang bersangkutan

(18)

1.6 Metodologi Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang bersifat dskriptif yang menggambarkan kecenderungan perubahan bentuk perkawinan dari poligami ke monogami pada masyarakat desa Sukanalu. Sebagaimana yang dikemukakan Koentjaraningrat (1983:29) penelitian yang bersifat deskriptif bertujuan menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala dan adanya hubungan tertentu antara gejala yang satu dengan yang lain.

Metode penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif dipergunakan untuk mendapatkan gambaran yang mendalam tentang bagaimana kecenderungan perubahan bemtuk perkawinan itu terjadi pada suku bangsa Karo di Desa Sukanalu. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode wawancara.

Metode wawancara atau interview method, mencangkup cara yang dipergunakan kalau seseorang untuk suatu tujuan atau tugas tertentu mencoba mendapatkan keterangan atau pendirian secara lisan dari seorang informan atau responden, dengan bercakap-cakap berhadapan muka dengan orang itu (Koentjaraningrat, 1990).

Wawancara dalam penelitian ini dilakukan bertujuan untuk mengumpulkan keterangan tentang segala hal yang berkaitan dengan realitas poligami di Desa Sukanalu serta untuk memperoleh sebanyak mungkin data-data tentang budaya serta perilaku suku bangsa Karo di Desa Sukanalu.

Wawancara ini dilakukan terhadap informan pangkal, informan kunci, dan informan biasa. Dalam penelitian ini peneliti memilih kepala Desa Sukanalu yakni Bapak I. Sitepu (46 tahun) dan ketua adat Bapak T. Bangun (67 tahun) sebagai informan pangkal. Informan pangkal ini membantu peneliti dalam menemukan orang-orang yang

(19)

sangat mengerti tentang permasalahan yang ingin diteliti. Oleh sebab itu, informan pangkal hendaklah memenuhi kriteria tertentu, seperti memiliki wawasan yang luas mengenai keadaan Desa Sukanalu, di kenal baik oleh warga penduduk, mampu mengintroduksikan peneliti dngan informan-informan lainnya dan yang juga cukup penting adalah bahwa informan pangkal bukan merupakan orang yang dibenci oleh sebagian besar masyarakat Desa Sukanalu.

Sementara itu, informan kunci merupakan orang-orang yang paham sehingga diharapkan dapat memberikan informasi tentang permasalahan yang diteliti, yakni perilaku poligami di Desa Sukanalu. Informan kunci adalah orang-orang/keluarga yang melakukan perkawinan poligami atau orang-orang yang mengetahui tentang seluk beluk terjadinya poligami di Desa Sukanalu. Dalam hal ini peneliti telah mendapat data-data dari: Bapak J. Tarigan (67 tahun), Bapak M. Sembiring (72 tahun), Bapak S. Sembiring (74 tahun), T. Ginting (69 ahun), P. Karo-karo (64 tahun), sebagai suami yang melakukan poligami. Serta Ibu S. br. Ginting (60 tahun), Ibu M. br. Pinem (66tahun), Ibu J. br. Manalu (68 tahun), Ibu R. br. Barus (64 tahun), Ibu M. br. Sitepu (59 tahun) yang merupakan isteri tua dari pelaku poligami yang telah disebutkan sebelumnya. Terhadap mereka dikumpulkan data dengan menggunakan teknik wawancara mendalam dan metode life history method.

Sedangkan informan biasa adalah orang-orang yang diwawancarai untuk melengkapi keterangan dari informan kunci. Dalam penelitian ini, informan biasa yang diwawancarai adalah orang-orang yang mengetahui tentang poligami yang terjadi di desa ini. Dalam hal ini peneliti memperoleh data-data dari: T. Perangin-angin (38 tahun), W. br. Karo-karo (32 tahun) yang keduanya merupakan warga Sukanalu sendiri.

(20)

Sementara K. Br. Pinem (34 tahun), dan M. Br. Kaban (30 tahun) berasal dari desa tetangga yaitu Desa Tiga Panah. Dipilih sebagai informan biasa karena masing-masing mereka merupakan anak dari isteri kedua dan terhadap mereka peneliti mengumpulkan data dengan menggunakan wawancara biasa.

Life history method merupakan salah satu metode yang digunakan dalam penelitian di bidang Antropologi Budaya, yang memiliki keunikkan tersendiri dalam memperdalam pengertian terhadap masyarakat tertentu. Metode ini dapat dilakukan dengan observasi, dan wawancara yang dilakukan terhadap individu yang menjadi informan ataupun menjadi objek dari suatu penelitian. Tentu saja hal ini bersifat subjektif dan belum tentu sesuai dengan keadaan masyarakat yang menjadi topik penelitian. Namun sesuai dengan keunikkan metode ini, yang memang bukan untuk memberikan keterangan detail mengenai suatu realitas yang terjadi dalam masyarakat yang diteliti. Tetapi justru memberikan keterangan atas bagian dari realitas itu sendiri (Koentjaraningrat. 1990).

Pokok-pokok pertanyaan yang diajukan peneliti kepada informan pangkal adalah seputar latar belakang berdirinya desa serta awal terjadinya poligami di desa tersebut. Sedangkan kepada informan kunci, pokok pertanyaan yang diajukan adalah tentang bagaimana pengalaman informan sebagai pelaku poligami, atau sebagai isteri yang di poligami, apa yang menjadi motivasi pelaku poligami dalam memutuskan untuk poligami di dalam rumah tangganya, motivasi isteri sehingga mau menerima diri mereka untuk dipoligami serta dampaknya terhadap diri mereka sendiri. Sedangkan untuk informan biasa diajukan pertanyaan tentang alasan mereka tidak mau melakukan

(21)

poligami dalam rumah tangganya dan pengetahuan tentang poligami yang mereka ketahui di Desa Sukanalu ini.

1.8 Kendala-kendala di Lapangan

Hal pertama dan utama yang menjadi kendala penulis di lapangan yaitu bahasa. Penulis tidak tahu bahasa Karo, sementara penduduk di sana lebih menyukai bahasa Karo sebagai bahasa sehari-harinya, sementara penggunaan bahasa Indonesia mereka tidak selancar bahasa Karo, karena itu penggunaan bahasa Indonesia untuk komunikasi sehari-hari sesama mereka tidak pernah dilakukan. Untuk mengantisipasi hal tersebut maka penulis selalu membawa guide yaitu teman penulis sendiri yang sangat mengerti bahasa Karo sebagai perantaraan penulis dengan orang-orang yang ingin penulis jumpai. Dari keadaan yang seperti itu tampak bahwa orang-orang yang penulis jumpai lebih merespon teman penulis dari pada penulis sendiri. Hal ini membuat penulis sedih. Tapi hal itu merupakan awal dimana penulis harus bisa mengatasi kesulitan itu dengan cara tetap melakukan komunikasi walaupun harus menggunakan bahasa Indonesia agar penulis tidak kelihatan canggung di hadapan mereka.

Selanjutnya yang menjadi kendala yaitu para informan kunci yang usianya diatas 80-an yang juga merupakan pelaku poligami sudah sangat jarang ditemukan, karena mereka sudah meninggal. Dan keluarganya sangat tertutup sekali dengan kehadiran orang asing seperti penulis yang hendak melakukan penelitian. Untuk itu penulis mencari laki-laki yang berpoligami yang usianya sekitar 50-an keatas yang ditunjukkan oleh kepala desa dan dari informasi teman penulis sendiri.

(22)

Hal lain yang bisa membuat penulis tersenyum sendiri yaitu tentang Kepala Desa sebagai pemimpin formal dan informal dimana beliau sama sekali tidak mengetahui asal usul terjadinya desa, dan masalah poligami yang dulunya marak dilakukan, sampai keadaan penduduk di desa ini sangat sedikit yang beliau ketahui. Informasi mengenai desa ini banyak penulis dapatkan dari penduduk yang telah berusia lanjut, sampai penduduk yang berada di luar lokasi penelitian. Namun penulis harus tetap bisa menghargai dan memandangnya sebagai kepala desa yang dipercayai oleh warganya. Karena bagaimanapun peran kepala desa cukup mempunyai andil sebagai akses penulis untuk bisa bertemu dengan calon-calon informan yang sesuai dengan kriteria yang penulis tetapkan.

Dalam melakukan penelitian tak jarang penulis mengalami kesulitan-kesulitan, yaitu berupa sikap diacuhkan, pengusiran secara halus, sampai pembatalan janji wawancara yang dilakukan sepihak oleh informan yang telah penulis hubungi terlebih dahulu. Biasanya penulis melakukan penelitian ke Desa Sukanalu yaitu pada waktu sore sampai malam hari. Karena pada waktu-waktu itulah, rata-rata penduduk desa yang bekerja sebagai petani sudah ada di rumahnya setelah dari pagi hingga siang hari bekerja ke sawah atau ladang.

Penulis sama sekali tidak pernah tinggal dirumah sekretaris desa, walaupun telah mendapat ijin sebelumnya dari pihak yang bersangkutan. Karena penulis merasa takut akan cerita-cerita mistik yang ada di desa tersebut. Yaitu bahwa warga laki-lakinya mau mengguna-gunai orang asing yang datang ketempat itu. Setiap kali selesai melakukan penelitian penulis langsung pergi untuk menginap ke rumah keluarganya teman penulis di Desa Tiga Panah. Lalu esoknya kembali lagi ke lokasi penelitian begitu seterusnya.

(23)

Selama berada di Desa Sukanalu penulis selalu berusaha sesopan mungkin dan seramah mungkin agar tidak ada pihak-pihak merasa kecawa atas kehadirann penulis. Walaupun kadang-kadang penulis merasa bahwa banyak sekali mata-mata yang memandang sinis dan tajam kepada penulis, khususnya laki-laki yang masih berusia muda atau sebaya dengan penulis. karena menurut informasi yang penulis dengar bahwa di desa itu masih banyak penduduk yang memiliki ilmu-ilmu yang berbau mistik

Referensi

Dokumen terkait

FAKULTAS TEKNIK MESIN DAN DIRGANTARA ITB PERGURUAN TINGGI PUSAT PENGEMBANGAN TEKNOLOGI DAN INDUSTRI INDUSTRI MANUFAKTUR INDUSTRI MESIN PERKAKAS INDUSTRI ALKES PELATIHAN

Dalam konteks ekonomi syariah, sengketa yang tidak dapat diselesaikan baik melalui sulh} (perdamaian) maupun secara tah}ki<m (arbitrase) dapat diselesaikan

pertumbuhan bakteri dengan spektrum yang luas, yaitu dapat menghambat pertumbuhan bakteri Gram positif dan Gram negatif yang telah diwakilkan oleh kedua bakteri uji

Bertitik tolak dari pentingnya menciptakan persepsi merek yang baik tentang suatu produk dibenak konsumen dalam upaya menciptakan keputusan pembelian hingga

Sarana yang dibutuhkan untuk menunjang pelayanan kepada wisatawan antara lain seperti fasilitas umum (toilet), restaurant, ruang informasi, sarana transportasi di dalam

Mengkaji banyaknya perpindahan penumpang Terminal 1 Bandar Udara Soekarno-Hatta yang menggunakan moda transportasi jalan berpindah ke moda transportasi kereta api

Teknik dokumentasi salah satu cara penggalian data yang dikumpulkan untuk data yang diperlukan dalam data sekunder, berupa dokumen resmi seperti putusan dan

Membangun model ekonomi rumahtangga petani yang mengintegrasikan harga bayangan tenaga kerja dalam keluarga dan harga bayangan lahan dalam bentuk persamaan simultan...