• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengembangan Simulator FES-Induced Paraplegic Standing dengan Kontrol PID

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Pengembangan Simulator FES-Induced Paraplegic Standing dengan Kontrol PID"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

Pengembangan Simulator FES-Induced Paraplegic Standing dengan

Kontrol PID

Kevin Nyoman Putra - 2207100066

Jurusan Teknik Elektro – FTI, Institut Teknologi Sepuluh Nopember Kampus ITS, Surabaya – 60111

Abstrak - Penderita Paraplegia, kelumpuhan pada tubuh bagian bawah karena kerusakan tulang belakang (SCI, Spinal Cord Injury), selalu membutuhkan alat bantu seperti kursi roda untuk kemudahan melakukan aktivitas. Sehingga, produktivitas kegiatan yang dilakukan sehari-hari tidak dapat ditingkatkan. Dengan teknologi sekarang, memungkinkan penderita Paraplegia untuk dapat melakukan aktivitas paling dasar, berdiri, dengan alat bantu bernama FES (Functional Electrical Stimulation). Melalui stimulus arus listrik bertegangan rendah ke saraf otot, FES dapat mengembalikan kemampuan motorik otot yang lumpuh. Sistem FES terdiri dari sensor (elektroda invasive maupun non-invasive, atau implant), kontrol feedback (kontrol PID atau Hybird yang menggunakan metode Artificial Neural Network) untuk mengatur kadar stimulus listrik, dan stimulator sebagai pembangkit pulsa listrik. Karena output kontrol feedback FES yang akurat sulit untuk dihasilkan, maka dari itu perlu studi simulasi untuk mencarikan metode kontrol feedback yang optimal. Studi ini berupa simulasi tubuh manusia yang melakukan paraplegic standing, terdiri dari tiga fase, yaitu fase berdiri (standing phase), fase berdiri-duduk (stand-sit phase) dan fase duduk-berdiri (sit-stand phase). Dari ketiga fase simulasi dan input parameter model tubuh, melalui proses sistem kontrol didapatkan sebuah pembelajaran. Hasil studi ini dapat diaplikasikan ke suatu alat FES, dengan mengetahui metode kontrol secara efektif dalam semua kondisi yang mungkin, yang telah dipelajari dalam studi ini. Simulasi fase berdiri-duduk terdapat keterbatasan set point kontrol untuk menghasilkan postur duduk, dengan set point panggul 60° dan lutut 75°. Simulasi fase berdiri dan duduk-berdiri menunjukkan kontrol dapat bekerja secara baik dengan osilasi eror feedback berkisar 1°, yang sudah teruji dengan posisi tubuh tampak diam.

Kata kunci : functional electrical stimulation (FES), paraplegic standing, simulasi, standing.

1. PENDAHULUAN

FES (Functional Electrical Stimulation) pada umumnya dipakai untuk alat rehabilitasi bagi penderita SCI (Spinal Cord Injury). Dengan teknologi sekarang, FES dapat difungsikan untuk melakukan aktivitas paling dasar, berdiri, menggunakan metode kontrol PID. Untuk menghasilkan output kontrol FES yang akurat, pada tugas akhir ini akan dilakukan studi pengembangan simulator untuk mencarikan metode kontrol feedback yang optimal.

Tujuan dari penelitian ini diharapkan akan menghasilkan simulasi paraplegic standing dan mengaplikasikannya ke FES (Functional Electrical Stimulation) untuk mendapatkan kontrol feedback yang optimal.

Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah bagaimana mementukan batasan minimal parameter-parameter

aktif dan mengontrol segmen tubuh bagian bawah sesuai dengan set point yang diberikan.

Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan, batasan masalah dalam penelitian ini adalah model tubuh bagian atas yang dimasukkan kedalam simulasi hanya trunk, gaya dari luar tubuh (ground reaction force), gerakan tangan (external disturbance) dan muscle fatigue ditiadakan.

2. TEORI PENUNJANG 2.1 Unit Motor

Unit motor pada otot rangka terdiri dari sebuah motor neuron dan semua serat otot yang terhubung dengan neuron. Ketika neuron tereksitasi, serat-serat otot pada unit motor merespon sebagai satu bagian. Serat-serat untuk setiap unit motor letaknya tidak berdekatan melainkan berpencar bahkan ke otot yang terhubung dengan serat dari unit motor lain. Maka dari itu, bila sebuah unit motor terstimulus, sebagian besar otot tampak berkontraksi. Bila ada unit motor lain ikut teraktivasi, otot tersebut akan berkontrasi dengan gaya lebih besar. Istilah unit-unit motor yang memberikan respon untuk menghasilkan stimulus yang besar disebut recruitment. Semakin lama waktu kontraksi, semakin banyak recruitment motor unit lainnya.

Gambar 1 Recruitment motor unit[1] 2.2 Unit Musculotendinous

Tendon dan jaringan ikat merupakan struktur viscoelastic yang menentukan karakteristik mekanik otot saat berkontraksi dan passive extension. Hill (1970) menunjukkan bahwa tendon mewakili komponen elastic pegas (SEE) terhubung seri dengan komponen contractile (aktin dan myosin, CE) dan terhubung paralel dengan komponen elastic yang kedua.

Ketika komponen elastis paralel dan seri meregang saat otot berkontraksi aktif maupun pasif, dihasilkannya ketegangan dan energi tersimpan; saat otot berelaksasi, pentalan balik terjadi saat energi yang tersimpan dilepaskan.

Total gaya yang dapat dihasilkan oleh otot, dipengaruhi oleh kualitas mekanis, yaitu length-tension (panjang dan ketegangan), load-velocity (beban dan kecepatan), dan force-time (gaya dan waktu) relationships dan struktur otot rangka. Faktor lainnya yang

(2)

Gambar 2 Musculotendinous unit tipe Hill[1]

Elastisitas dan distensibilitas dari komponen elastis sangat berperan penting bagi otot dalam beberapa cara:

1. Otot cenderung siap untuk berkontraksi dan memastikan ketegangan otot dihasilkan dan ditransmisikan tanpa gangguan selama kontraksi terjadi.

2. Dapat dipastikan elemen kontraktil (CE) kembali ke posisi istirahat ketika proses kontraksi berhenti.

3. Dapat mencegah proses regang pasif secara berlebihan pada elemen kontraktil (CE) ketika elemen ini dalam kondisi relaksasi, dengan kata lain mengurangi bahaya terlukanya otot.

2.3 FES, Penerapan FES pada kaki

FES merupakan suatu rangkaian elektronika yang dapat menghasilkan kontraksi otot yang stabil. Hal ini dikarenakan FES menghasilkan suatu pulsa stabil, yang prinsip kerjanya mirip dengan prinsip kerja syaraf. Rangkaian pulsa yang dilewatkan ke jaringan otot menyebabkan kontraksi pada otot. Dengan berkontraksinya otot maka tulang-tulang yang diikat oleh otot tersebut dapat berubah posisinya sehingga tubuh kita dapat bergerak. Untuk melewatkan rangkaian pulsa dari FES ke otot diperlukan suatu elektroda yang ditempelkan di permukaan kulit. Dengan adanya elektroda tersebut maka sinyal-sinyal elektrik dapat dilewatkan ke otot dan menyebabkan otot berkontraksi.

Penerapan dari FES sendiri sangatlah luas, salah satunya untuk melatih otot kaki pada penderita lemah otot atau stroke sehingga si penderita dapat menjaga bahkan memperbaiki kemampuan motoriknya. Perlu ditekankan disini bahwa untuk menggerakkan otot motoriknya, seseorang tidak dapat hanya menggunakan FES tanpa ada sistem yang mendukungnya. FES tidak dapat bekerja sesuai dengan yang kita inginkan tanpa adanya kontrol dari luar. Oleh karena itu diperlukan suatu metode kontrol untuk mengatur kerja dari FES itu sendiri.

Gambar 3 Recruitment motor unit[2]

3. DISAIN SIMULASI

Perancangan model tubuh manusia terdiri dari beberapa tahapan, yaitu tahap perancangan skeletal dynamic, tahap perancangan model otot dan tahap animasi. Software yang digunakan untuk membuat simulasi adalah Borland Delphi 7. Untuk tampilan model, menggunakan library yang terdapat di Borland Delphi 7, yaitu Open GL.

Pada tahap perancangan skeletal dynamic, tubuh bagian atas (kepala, tangan, badan) akan diwakilkan sebagai segmen trunk. Model tubuh manusia dipresentasikan dalam bidang sagital dan karena strategi pengkontrolan sisi kanan dan kiri tubuh sama, hanya sisi bagian kanan tubuh yang akan dipakai untuk pembelajaran. Seperti pada gambar 4, hasil output yang dibutuhkan adalah percepatan sudut. Elastic torque dan damp torque adalah faktor joint stiffness dari model tubuh manusia yang menghasilkan torsi pasif.

Model otot yang dibuat terdiri dari dua jenis otot, yaitu berfungsi sebagai penghasil torsi flexion dan torsi extensión. Karena pada simulasi hanya diwakilkan oleh satu otot, untuk mengkompensasi menjadi kumpulan otot, maka nilai gaya maksimum dari setiap jenis otot akan ditingkatkan. Hasil output yang didapat, berupa torsi aktif, akan dimasukkan pada bagian torsi pada persamaan Lagrange.

Faktor lainnya yang mempengaruhi kerja model adalah gaya gravitasi. Sedangkan faktor yang tidak akan dimasukkan untuk mengurangi kerumitan dalam pembuatan kontroler yaitu efek muscle fatigue, dan gangguan yang dihasilkan dari gerakan tangan.

Gambar 4 Blok Diagram model skeletal dynamic dan penghasil torsi pasif.

3.1 Model Skeletal Dynamic

Model sederhana tubuh manusia digambarkan sesuai inverted pendulum dengan rantai tiga sendi pada bidang sagital. Ankle, knee, dan hip diwakilkan sebagai pivot joints. Trunk, thigh, dan shank sebagai segmen kaku, penghubung antar joints. leher juga dapat dipertimbangkan sebagai joint. Namun, tambahan joint leher akan meningkatkan kerumitan dalam perhitungan, sehingga diabaikan pada simulasi.

Keseluruhan gerakan dinamika tubuh pada bidang sagital dapat diperoleh melalui metode Lagrangian. Untuk mengatur hubungan antar segmen, sudut sendi θ dipakai, yang dapat dilihat pada gambar 5. Setiap nomor menentukan sendi (1:pergelangan kaki, 2:lutut, 3:panggul). dan menyatakan panjang segmen kaki bagian bawah dan kaki bagian atas. , , dan menyatakan jarak dari sendi distal ke center of mass dari segmen. dan mewakili massa dan momen inersia dari setiap segmen.

(3)

Gambar 5 Tiga sendi model tubuh manusia bidang sagital [4]

(1) Melalui rumus (1) diatas, dimana adalah energi kinetik dan adalah energi potensial, didapatkan fungsi Lagrange. Berikut persamaan Energi kinetik dan Energi potensial:

(2a) (2b) Dimana, m = massa (kg) v = kecepatan (m/s) I = momen inersia (kg.m2)

ω = kecepatan sudut (rad/s)

(3) Persamaan (3) melalukan turunan terhadap fungsi Lagrange untuk masing-masing segmen. Kemudian, setiap segmen dikelompokkan menurut motion equation berikut:

(4) Sehingga nilai masing-masing komponen didapatkan sebagai berikut: (5a) (5b) (5c) (5d) (5e) (5f) (5g) (5h) (5i) (5j) (5k) (5l) (5m) (5n) (5o) (5p) (5q) (5r) (5s) (5t) (5u) Kecepatan dan posisi sudut didapatkan melalui metode runge-kutta. Permasalahan awal untuk mendapatkan kecepatan sudut dari percepatan sudut seperti berikut:

(6)

(4)

Perubahan percepatan sudut (y’) dipengaruhi oleh fungsi kecepatan y dan waktu t. Pada awal sistem, waktu adalah t0 dan

kecepeatan adalah y0. Metode RK (Runge-Kutta) untuk

menyelesaikan permasalahan (6) adalah sebagai berikut:

(7a)

(7b) dimana yn + 1 sama dengan y(tn + 1), dan

(8a)

(8b)

(8c)

(8d

)

Komponen terakhir pada persamaan (4), merupakan hasil penjumlahan dari torsi pasif ditambah dengan torsi aktif. Torsi pasif didapatkan dari persamaan berikut:

(9) di persamaan (9) adalah faktor damping torque, yang dipengaruhi oleh kecepatan sudut; dan sisa persamaan lainnya adalah faktor elastic torque, dipengaruhi oleh posisi sudut. Komponen selain kecepatan dan posisi sudut merupakan komponen dari joint stiffness untuk setiap sendi.

3.2 Model Otot

Model otot pada gambar 6, berfungsi untuk menghasilkan torsi aktif. Berikut komponen-komponen yang mempengaruhi hasil output gaya adalah activation dynamics¸ Fmax, force-velocity relationship, force-length relationship dan konversi dari gaya ke torsi.

u atau u(t) adalah fungsi eksitasi terhadap satuan waktu yang dihasilkan dari saraf motorik otot (neural excitation). Melalui activation dynamics, dihasilkan fungsi sinyal aktivasi otot terhadap waktu a(t). Berikut fungsi activation :

(10)

Gambar 6 Diagram blok model otot[1]

Fmax adalah gaya maksimum yang dapat dihasilkan sebuah otot. Model otot menggunakan tendon, sehingga membutuhkan jumlah lebih dari satu untuk dapat menggerakkan atau menahan segmen tubuh. Maka dari itu, nilai Fmax akan dikalikan dengan jumlah otot segmen tertentu pada tubuh manusia.

Force-length relationship berhubungan dengan posisi sudut sendi, yang berfungsi menentukan panjang suatu otot dapat berkontraksi. Berikut fungsi force-length relationship:

(11) dimana, merupakan fungsi panjang otot terhadap posisi sudut dan adalah panjang maksimum otot.

Force-velocity relationship memiliki hubungan terhadap kecepatan sudut sendi, menentukan cepat lambatnya otot berkontraksi. Fungsi force-velocity relationship adalah sebagai berikut:

(12) Dengan demikian, dihasilkannya gaya otot melalui persamaan:

(13) Menggunakan model Hill, otot memiliki elemen damping dan elastic melalui fungsi:

(14) (15) dimana adalah konstanta damping dan adalah konstanta elastic. Untuk mengubah gaya menjadi torsi otot, digunakan fungsi:

(5)

Pada (16), r adalah jarak vektor antara titik gaya yang dihasilkan dengan titik terjadinya perbedaan sudut (sendi). Setiap sendi memiliki dua jenis fungsi otot yang kerjanya berlawanan, yaitu otot yang bekerja sebagai flexor, menghasilkan gerakan flexion dan extensor, menghasilkan gerakan extension. Sehingga, torsi aktif yang dimasukkan ke torsi total, dalam persamaan (4), setidaknya membutuhkan 2 torsi aktif, yaitu torsi aktif flexor dan extensor.

Berdasarkan model musculoskeletal (gambar 7), berikut tabel pembagian nama-nama otot yang bekerja terhadap fungsinya:

Gambar 7 Model Musculoskeletal[7]

Tabel 1 Komposisi Otot Berdasarkan Fungsi Kerja Otot[7]

Sendi Flexor Extensor

Hip iliopsoas, biceps femoris long gluteus maximus, biceps femoris long

Knee biceps femoris (short, long),

gastrocnemius vastus, rectus femoris Ankle tibialis anterior soleous, gastrocnemius

Pada gambar 7 bagian B, otot terbagi menjadi dua jenis, yaitu otot uniarticular (sering disebut monoarticular), berwarna merah dan otot biarticular, berwarna oranye. Otot monoarticular adalah otot yang menempel pada satu sendi, sedangkan biarticular merupakan otot yang membentang pada dua sendi atau lebih.

Model otot pada simulasi hanya menggunakan monoarticular. Otot monoarticular bekerja hanya pada sebuah sendi. Sedangkan, otot biarticular bertugas menyalurkan energi dari satu sendi ke sendi lainnya, yang membutuhkan pola aktivasi otot tersendiri. Maka dari itu, fungsi otot biarticular dapat dikompensasi dengan menambahkan nilai gaya maksimum otot. Parameter model untuk torsi otot dapat dilihat di lampiran.

3.3 Disain Animasi

Fitur animasi pada program Borland Delphi 7 dapat dibuat menggunakan library GLScene. GLScene adalah Open Graphic Library (OpenGL) yang berbasis 3D untuk pemrograman bahasa Delphi 7. Karena GLScene open source, file dapat di-download melalui internet[8].

Gambar 8 Template library GLScene pada Delphi[8]

Komponen minimum yang dibutuhkan untuk menampilkan gambar pada Delphi adalah:

- TGLScene component; Komponen master untuk menampung semua komponen GLScene (Scene Editor)

- TGLSceneViewer; kanvas untuk menampilkan animasi pada form

- TGLCamera; Komponen untuk menentukan sudut pandang animasi yang terlihat pada TGLSceneViewer

- TGLLight; Komponen pencahayaan yang diberikan kepada objek animasi

Berikut tampilan simulasi menggunakan OpenGL:

Gambar 9 Tampilan simulasi menggunakan OpenGL

4. PENGUJIAN ALAT

Pengujian kontroler yang didisain akan dilakukan secara bertahap. Kemudian, setiap hasil uji tahapan dianalisa untuk mendapatkan penyelesaian terhadap permasalahan diatas. Melalui hasil uji coba dan analisa simulasi untuk FES-induced paraplegic standing, diharapkan mendapat kontrol feedback yang optimal.

Untuk perancangan kontroler, dibuat menggunakan metode kontrol PID. Input kontroler adalah eror posisi dan kecepatan sudut. Eror setiap feedback didapat dari selisih antara nilai setting dan output sistem. Langkah pembuatan dimulai dari kontroler sebagai penghasil torsi aktif, menggantikan model otot. Berikutnya, dibuat menjadi dua jenis kontroler, untuk mengontrol torsi flexor dan torsi extensor. Terakhir, kontroler sebagai penghasil aktivasi otot dan model otot dimasukkan ke persamaan untuk menghasilkan torsi aktif.

4.1 Pengujian skeletal dynamic model

Melalui program referensi dari pembuat sebelumnya (Yosef, 2202100123), diuji persamaan lagrange (4) untuk menentukan kestabilan sekeletal dynamic model, dengan menggunakan komponen segmen thigh, shank, foot dan joint stiffness yang sudah tersedia (model Ogihara, 2000).

Gambar 10 adalah program simulasi kaki (thigh, shank, foot) bidang sagital, yang diposisikan sebagai pendulum, dimana titik gantung terletak di hip (sendi panggul); untuk menguji kestabilan model, sudut awal hip diberi nilai 22 derajat positif. Grafik simulasi menggambarkan posisi sudut setiap sendi, merah = hip, hijau = knee, dan kuning = ankle.

(6)

Gambar 10 Pengujian skeletal dynamic model

Dapat dilihat pada grafik (gambar 10), semua posisi sudut menuju ke steady state sehingga skeletal dynamic model yang diberi parameter Ogihara telah teruji stabil. Posisi stabil setiap sendi berbeda, dikarenakan adanya komponen joint stiffness, yang berfungsi menghasilkan torsi pasif pada model.

4.2 Pengujian kontroler sebagai penghasil torsi aktif

Tujuan pada pengujian ini adalah menentukan input kontrol feedback yang dibutuhkan untuk mengendalikan model tubuh manusia sesuai nilai set point. Setiap sendi membutuhkan masing-masing satu kontroler. Jadi, untuk mengontrol kaki bagian bawah, minimal terdapat tiga kontrol PID. Masing-masing set point untuk hip, knee, ankle adalah sama, 0.1°.

Bila dilihat pada persamaan torsi pasif (9), terdapat dua komponen, elastic dan damping dimana secara berurutan setiap faktor dipengaruhi oleh posisi dan kecepatan sudut. Untuk mengkompensasi setiap komponen yang berubah terhadap fungsi waktu, input terhadap kontroler tidak hanya cukup eror dari posisi sudut.

Pertama kali, gain diatur sebagai berikut: KP[1] = 55.5 KP_v[1] = 55.5 KP[2] = 55.5 KP_v[2] = 55.5 KP[3] = 55.5 KP_v[3] = 55.5 (17) Array 1, 2, 3 merupakan segmen untuk ankle, knee,hip. KP adalah gain untuk posisi sudut dan KP_v gain untuk kecepatan sudut.

Pada gambar 11, Grafik kiri atas (eror kontrol PID) dan kiri bawah (posisi sudut) menunjukkan sistem divergensi, dimana garis hitam, hijau, ungu secara berurutan adalah hip, knee, ankle. Torsi hip semakin lama semakin membesar (grafik paling atas kanan) dan kedua torsi lainnya (knee, ankle) bernilai sangat besar.

Kontroler belum stabil, menyebabkan sistem bersifat divergensi,. Setelah mencoba beberapa kombinasi untuk mengatur kestabilan sistem, gain kecepatan sudut dinaikkan. Hasilnya, osilasi sudut lebih kecil dan sistem dapat menuju ke steady state. Untuk gain posisi sudut, semakin besar maka waktu menuju ke steady state semakin cepat.

Nilai gain diatur sebagai berikut: KP[1] = 105.5

KP_v[1] = 255.5 KP[2] = 105.5

Gambar 11 Kontrol PID dengan input eror posisi sudut dan kecepatan

sudut

Gambar 12 Kontrol PID dengan penyesuaian gain posisi dan kecepetan

sudut KP_v[2] = 255.5 KP[3] = 105.5 KP_v[3] = 255.5 (18) Dua komponen torsi pasif sudah terkontrol dengan baik. Posisi tubuh bagian bawah dapat tahan berdiri, dengan mengkontrol torsi aktif yang ditentukan oleh input eror posisi dan kecepatan sudut. Komposisi gain diatas merupakan nilai maksimum untuk menghasilkan simulasi sistem yang optimal. Bila gain posisi sudut dinaikkan untuk mempercepat kestabilan sistem, gain kecepatan sudut juga harus diganti sesuai komposisi untuk meminimalkan osilasi, tetapi sistem menjadi tidak stabil.

Untuk pengujian trajectory dari posisi berdiri menuju ke posisi duduk, nilai set point hip dan knee diganti sebesar 80°. Gambar 13 menunjukkan simulasi trajectory berjalan tanpa gangguan. Dengan set point bernilai 80°, animasi sudah mewakilkan posisi duduk dan merupakan batas maksimum untuk mempercepat waktu steady state.

Bila set point dinaikkan diatas 80°, sudut hip dan knee saat steady state terdapat offset kurang lebih 5°, yang butuh waktu sangat lama untuk menuju set point. Periode transisi dari berdiri menuju duduk sekitar 1000 milisekon.

(7)

Gambar 12 Simulasi trajectory dari posisi berdiri menuju duduk

Gambar 13 Simulasi trajectory dari posisi duduk menuju berdiri. Untuk

simulasi dari duduk menuju berdiri, set point hip dan knee diberi nilai 89°. Perubahan posisi duduk ke berdiri dimulai dari iterasi ke – 3500 dan periode transisi sekitar 800 milisekon

4.3 Pengujian kontroler sebagai penghasil torsi aktif fleksor dan ekstensor

Tugas kontroler terbagi menjadi dua, untuk menggerakan flexion, dimana gerakan mengangkat (posisi sudut lebih besar dari keadaan sebelumnya) dan extension, gerakan menurun (posisi sudut lebih kecil dari keadaan sebelumnya). Setelah dirancang, nilai gain disesuaikan dengan keadaan sistem:

KP[1] := 285.5; KP1[1] := 285.5 KP_v[1] := 255.5; KP_v1[1] := 255.5; KP[2] := 155.5; KP1[2] := 155.5; KP_v[2] := 255.5; KP_v1[2] := 255.5; KP[3] := 25.5; KP1[3] := 5.5; KP_v[3] := 255.5; KP_v1[3] := 255.5; (19)

KP1 dan KP_v1 adalah gain posisi dan kecepatan sudut untuk torsi ekstensor; sedangkan KP dan KP_v untuk torsi fleksor. Sistem yang didapat lebih ‘kasar’, karena rancangan kontroler lebih kompleks, sehingga dibutuhkan penyesuaian komposisi gain untuk torsi fleksor maupun torsi ekstensor sesuai dengan karakteristik dari torsi pasif sistem.

4.4 Pengujian kontroler sebagai penghasil aktivasi motorik otot

Gambar 14 Diagram blok kontroler sebagai penghasil aktivasi motorik otot

Pengujian berikut ini adalah langkah terakhir untuk mendapatkan sinyal output yang disesuaikan dengan karakteristik FES, pulsa listrik dengan amplitudo sama, periode dan durasi pulsa yang berbeda terhadap waktu. Pada gambar 14, untuk setiap segmen terdapat 4 kontrol PID, yang berfungsi untuk mengatur:

- Posisi sudut fleksor - Kecepatan sudut fleksor - Posisi sudut ekstensor - Kecepatan sudut ekstensor

Keempat kontrol PID akan dijumlahkan untuk menghasilkan keluaran sinyal aktivasi otot. Sehingga, total kontrol PID berjumlah 12 buah yang harus ditentukan komposisi gain-nya.

Pada pengujian sebelumnya, gain untuk kontrol Integral dan Derivative ditentukan melalui trial & error. Karena semakin banyak jumlah kontrol PID pada pengujian ini, guna mengurangi kerumitan dan butuh waktu untuk penyesuaian gain satu per-satu, maka digunakan metode tuning Ziegler-Nichols. Berikut tabel jenis kontrol yang dipakai dengan gain yang ditentukan:

Tabel 2 Metode Ziegler-Nichols[9] Jenis

Kontrol Kp Ki Kd

P Kc / 2 - -

PI Kc / 2.2 1.2KcdT/ Pc -

PID 0.60Kc 2KcdT/ Pc KpPc / (8dT)

Untuk men-tuning kontrol PID, dibawah merupakan langkah-langkahnya:

1. Nilai Ki dan Kddiubah ke 0, sehingga sementara kontroler

berubah menjadi jenis kontrol P. Nilai Kp disesuaikan

dengan tabel 2.

2. Nilai Kc diubah sampai eror kontrol terdapat pola osilasi

dan sistem stabil (konvergen).

3. Nilai Pc diubah sesuai periode terjadinya osilasi satu kali.

4. Nilai Ki dan Kd diubah sesuai dengan tabel 2, menggunakan

(8)

Bagian pertama kali yang perlu dikontrol pada kaki adalah ankle. Posisi ankle pada kaki terletak di paling bawah, sehingga berpengaruh terhadap posisi knee dan hip. Demikian sebaliknya, posisi knee dan hip mempengaruhi kestabilan ankle. Maka dari itu, bagian yang menentukan posisi knee dan hip dimatikan dahulu.

Bagian pertama kali yang perlu dikontrol pada kaki adalah ankle. Posisi ankle pada kaki terletak di paling bawah, sehingga berpengaruh terhadap posisi knee dan hip. Demikian sebaliknya, posisi knee dan hip mempengaruhi kestabilan ankle. Maka dari itu, bagian yang menentukan posisi knee dan hip dimatikan dahulu.

Set point masing-masing segmen diberi nilai 1.1°. Menggunakan langkah pada tabel 2, didapatkan gain sebagai berikut: Kc[1] = 60.5 Kc1[1] = 150.5 Kc_v[1] = 65.5 Kc_v1[1] = 150.5 Pc[1] = 0.01 Pc1[1] = 0.008 Pc_v[1] = 0.011 Pc_v1[1 = 0.009 (20) Kc adalah critical gain, yang menyebabkan sistem stabil. Komposisi gain sistem berubah lagi karena dipengaruhi adanya model otot pada simulasi. Pc, Pc1 adalah Periode critical gain untuk posisi sudut fleksor dan ekstensor, sedangkan Pc_v, Pc_v1 adalah periode critical gain untuk kecepatan sudut fleksor dan ekstensor.

Gambar 15 Simulasi tuning ankle dengan kontroler PID. ankle pada iterasi

sekitar 560 mencapai steady state. Sistem menjadi lebih stabil dimana osilasi terminimalisir

Selanjutnya, melakukan tuning knee dan bagian yang menentukan posisi hip serta ankle dimatikan. Hasil gain didapat:

Kc[2] = 30.5 Kc1[2] = 95.5 Kc_v[2] = 45.5 Kc_v1[2] = 65.5 Pc[2] = 0.007 Pc1[2] = 0.008 Pc_v[2] = 0.01 Pc_v1[2] = 0.008 (21)

Gambar 16 Simulasi tuning knee dengan kontroler PID. Tampak pada

grafik bagian kiri, eror masih berosilasi tetapi bernilai kecil, disebabkan pengaruh dari posisi ankle

Langkah berikutnya men-tuning hip,didapatkan gain bernilai: Kc[3] = 55.5 Kc1[3] = 60.5 Kc_v[3] = 60.5 Kc_v1[3] = 100.5 Pc[3] = 0.01 Pc1[3] = 0.011 Pc_v[3] = 0.011 Pc_v1[3] = 0.007 (22)

Gambar 17 Simulasi tuning ankle dengan kontroler PID. Sama

seperti knee, pada grafik bagian kiri, eror masih berosilasi, disebabkan pengaruh dari posisi ankle dan knee

Untuk simulasi trajectory, kontroler butuh penyesuaian lebih lanjut. Pada posisi berdiri, kerja otot tidak seberat saat keadaan bergerak, yaitu perubahan ke posisi duduk dan kembali ke posisi berdiri. Sehingga, gaya otot maksimum (Fmax, gambar 14) perlu dikalikan sesuai jumlah otot yang teraktivasi dan perubahan gain untuk mengendalikan perubahan gaya otot maksimum.

(9)

fmax[3] (Iliopsoas/hip flexor) = 1100

fmax2[3] (Gluteus Maximus/hip extensor) = 1100 fmax[2] (Vastus/knee flexor) = 7300

fmax2[2] (Biceps Femoris Short/knee extensor) = 1000*7 fmax[1] (Tibia/ankle flexor) = 1650

fmax2[1] (soleus/ankle extensor) = 2150

(30) Untuk transisi posisi berdiri ke posisi duduk, nilai gaya otot maksimum adalah sebagai berikut:

fmax[3] (Iliopsoas/hip flexor) =1100*6

fmax2[3] (Gluteus Maximus/hip extensor) =1100*5 fmax[2] (Vastus/knee flexor) =7300*4

fmax2[2] (Biceps Femoris Short/knee extensor) =1000*30 fmax[1] (Tibia/ankle flexor) =1650*70

fmax2[1] (soleus/ankle extensor) =2150*20

(31) dan perubahan gain yang terjadi adalah:

Kc[2] = 1.5 Kc_v1[2] = 150.5 Kc[3] = 15.5 Kc1[3] = 40.5 Kc_v[3] = 10.5 Kc_v1[3] = 150.5 (32) Kc_v1[2] dinaikkan untuk memperlambat proses transisi dan Kc[2] diturunkan untuk mempertahankan posisi knee sesuai nilai set point. Begitu juga, Kc_v1[3] dinaikkan untuk memperlambat proses transisi dan Kc[3], Kc1[3] Kc_v[3] disesuaikan untuk kestabilan posisi ankle.

Nilai set point hip dan knee diubah menjadi 60° dan 75°, yang merupakan batas maksimum dan sudah mewakilkan posisi duduk. Bila set point dinaikkan, hip dan knee akan menghasilkan offset. Posisi setiap sendi yang menghubungkan antar segmen sangat berperan dalam kestabilan sistem. Hal tersebut adalah faktor yang menyebabkan adanya batasan maksimum pada set point.

Pada gambar 18, terlihat sistem dapat mempertahankan posisi duduk. Range osilasi posisi sudut untuk menahan posisi duduk pada hip, knee, ankle berkisar kurang lebih 6°, 1°, 2°. Transisi dimulai saat iterasi ke 380 dan periode transisi sebesar 500 milisekon.

Gambar 18 Simulasi trajectory berdiri menuju duduk

Untuk transisi posisi duduk ke posisi berdiri, nilai gaya otot maksimum adalah sebagai berikut:

fmax[3] (Iliopsoas/hip flexor) =1100

fmax2[3] (Gluteus Maximus/hip extensor) =1100*4 fmax[2] (Vastus/knee flexor) =7300*3.5

fmax2[2](Biceps Femoris Short/knee extensor) =1000*23 fmax[1] (Tibia/ankle flexor) =1650*70

fmax2[1] (soleus/ankle extensor) =2150*40

(33) Nilai fmax2[3] dan fmax2[1] berubah saat knee berada pada posisi 40° Sesaat sebelum posisi berdiri, ketika hip mencapai posisi 4°, nilai gaya otot maksimum dikembalikan semula, yaitu saat posisi berdiri. Perubahan gain juga dikembalikan saat posisi berdiri.

Pada gambar 19, transisi duduk menuju berdiri dimulai saat iterasi ke 2004 dan periode transisi kurang lebih sebesar 900 milisekon. Periode transisi duduk menuju berdiri membutuhkan durasi waktu lebih lama dibandingkan periode transisi berdiri menuju duduk. Hal tersebut disebabkan pemberian nilai set point knee dan hip tidak secara bersamaan. Pada grafik eror kontrol atau posisi sudut (gambar 19), hip mengalami perubahan drastis setelah knee mencapai posisi 40°. Tujuan pemisahan pemberian set point yaitu untuk menghasilkan kontrol feedback yang optimal.

Gambar 19 Simulasi trajectory duduk menuju berdiri

5. PENUTUP 5.1 Kesimpulan

Kesimpulan yang didapatkan penulis dari hasil perencanaan, pembuatan serta pengujian alat Tugas Akhir ini adalah sebagai berikut :

1. Metode kontrol closed loop PID dapat diterapkan pada FES untuk sistem aktivasi motorik otot.

2. Untuk mendapatkan output yang optimal, kontrol PID membutuhkan dua input, yaitu posisi dan kecepatan sudut.

(10)

Kecepatan sudut mengatur osilasi output, dan posisi sudut dikendalikan untuk menentukan jalur output.

3. Pengujian simulasi kontrol torsi aktif menghasilkan output sempurna dibandingkan pengujian simulasi kontrol aktivasi motorik otot, karena adanya penambahan model otot.

4. Model otot yang digunakan hanya monoarticular. Gaya yang dihasilkan otot biarticular dapat terkompensasi dengan mengatur nilai gaya maksimum otot.

5. Set point maksimum hip dan knee untuk transisi posisi berdiri menuju duduk adalah 60° dan 75°, dimana set point sudah mewakilkan posisi duduk.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Prasetyo, Eka Adi, “Disain Pengendali Adaptive Neuro Fuzzy Inference System pada Sistem Restorasi Motorik dengan Functional Electrical Stimulation”, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Bab 2, 2011.

[2] Arifin, Achmad, ”Handout Kuliah Pemrosesan Sinyal Instrumentasi dan Biomedik”, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, 2011.

[3] Nordin, M. and Victor H. F., “Basic Biomechanics of the Musculoskeletal - Third Edition”, Lippincott Williams & Wilkins, Ch. 6, 2001..

[4] Jo, Sungho, “Application of a model of cerebellar function to the maintenance of human upright posture”, Massachusetts Institute of Technology, 2001.

[5] Ozkaya, Nihat and Margareta Nordin, “Fundamentals of Biomechanics: Equilibrium, Motion, and Deformation – Second Edition”, Springer, 1999.

[6] Press, W.H. et al, “Numerical Recipes: The Art of Scientific Computing – Third Edition”, Cambridge University Press,

New York, Ch. 17, 2007.

[7] Aoi et al, “Evaluating functional roles of phase resetting in generation of adaptive human bipedal walking with a physiologically-based model of the spinal pattern generator”, Kyoto Universtiy, Kyoto, 2008.

[8] Paul Van Dinther, “GLScene Training”

http://sourceforge.net/projects/glscene/>, September, 2010. [9]

[10]

Co, Tomas, "Ziegler-Nichols Closed Loop Tuning", Michigan Technological University, February, 2004.

Ogihara, N. and Nobutoshi Y., ”Generation of human bipedal locomotion by a bio-mimetic neuro-musculo-skeletal model”, Keio University, Juni, 2000.

BIODATA PENULIS

Kevin Nyoman Putra, lahir pada 20 Oktober 1989 di Surabaya. Pendidikannya diawali di SDKMaria Fatima Jember sampai kelas dua dan di SDK Notre Dame Jakarta, kemudian melanjutkan di SLTP Angelus Custos Surabaya, SMAK Frateran Surabaya dan lulus tahun 2007.

Kemudian melanjutkan pendidikan di Teknik Elektro ITS bidang studi Elektronika. Selama masa perkuliahan, penulis aktif di berbagai kepanitiaan di ITS dan aktif di dalam lab. Elektronika. Selain itu penulis juga aktif dalam program kreatifitas mahasiswa dan mendapatkan juara tiga Lomba Cipta Elektronik Nasional 2010.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) pemberian bokashi di lahan persawahan Desa Montong Are dapat meningkatkan produksi terong ungu, (2) kadar optimum bokashi

kadar asam askorbat (vitamin C) yang relatif naik selama penyimpanan. Perubahan ini menunjukkan metabolisme pematangan melon mempengaruhi nilai pH buah. Penurunan nilai

Dalam Skripsi “ Pengaruh Modal Sendiri Dan Penyaluran KUR Terhadap Tingkat Pendapatan Usaha Mikro, Kecil Dan Menengah (UMKM) Di Kota Surakarta (Studi Kasus

BUDIONO TITIK SETIA BUKTI NINGSIH RANDUPITU, RT:002, RW:002 MOCH. BUDIONO TITIK SETIA BUKTI NINGSIH RANDUPITU, RT:002,

Pada form ini menunjukkan pilihan menu utama dengan login user Admin , terdapat Menu strip master sertifikasi, master pangkat, master Jabatan SKPD, Master Jabatan

Yang pertama adalah dengan menjadikan satu sebuah method JavaBean untuk bertindak sebagai action handler, dan yang kedua adalah dengan membuat sebuah class instans

Perlindungan khusus bagi Anak yang menjadi korban stigmatisasi dari pelabelan terkait dengan kondisi Orang Tuanya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (2) huruf o

Berdasarkan hasil pengolahan dapat disimpulkan adakah pengaruh positif dan signifikan variabel sikap dan norma subjektif, pengaruh sikap dan norma subjektif secara