BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Manajamen Aset
Manajemen aset merupakan suatu teori baru dalam ilmu properti yang muncul akibat adanya kenyataan bahwa suatu wilayah khususnya Indonesia yang memiliki kekayaan sumber daya, baik sumber daya alam, manusia maupun infrastruktur. Berikut ini akan dijelaskan mengenai pengertian manajemen dan aset.
Manajemen merupakan serangkaian proses yang terdiri atas perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), pelaksanaan (actuating), pengawasan (controlling) dan penganggaran (budgeting), (Nawawi, 2003). Sedangkan menurut Robbins (2004), definisi manajemen adalah “the process getting things done, effectively and efficiently, through and with other people”. Berdasarkan pengertian tersebut maka dapat dikatakan bahwa manajemen adalah proses yang dimulai dari perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, hingga pengontrolan secara efektif dan efisien.
Menurut Siregar (2004:175) pengertian aset adalah barang (thing) atau sesuatu barang (anything) yang mempunyai nilai ekonomi (economic value), nilai komersial (commercial value) atau nilai tukar (exchange value) yang dimiliki oleh badan usaha, instansi atau individu. Ada dua jenis aset yaitu aset berwujud (tangible) dan aset tidak berwujud (intangible). Berdasarkan modul Prinsip-Prinsip Manajemen Aset/Barang Milik Daerah, aset adalah barang, yang dalam pengertian hukum disebut benda, yang terdiri dari benda tidak bergerak dan benda bergerak, baik yang berwujud (tangible) maupun yang tidak berwujud (intangible), yang tercakup dalam aktiva/kekayaan atau harta kekayaan dari suatu instansi, organisasi, badan usaha ataupun individu perorangan.
Aset negara menurut Siregar (2004) adalah bagian dari kekayaan negara atau Harta Kekayaan Negara (HKN) yang terdiri dari barang bergerak atau barang
tidak bergerak yang dimiliki, dikuasai oleh Instansi Pemerintah, yang sebagian atau seluruhnya dibeli atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta dari perolehan yang sah, tidak termasuk kekayaan negara yang dipisahkan (dikelola BUMN) dan kekayaan Pemerintah Daerah. Sedangkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003, pengertian aset negara adalah sangat luas yang meliputi semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang serta segala sesuatu baik yang berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan milik negara.
Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa aset merupakan barang atau benda yang mempunyai nilai ekonomis dan nilai tukar yang dapat memberikan manfaat ekonomi dan/atau sosial yang dimiliki oleh suatu badan usaha atau individu yang berpotensi untuk meningkatkan kinerja dan mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
2.1.1 Pengertian Manajemen Aset
Pemerintah South Australia dalam Hariyono (2007:3) mendefinisikan manajemen aset sebagai “…a process to manage demand and guide acquisition, use and disposal of assets to make the most of their service delivery potential, and manage risks and costs over their entire life”, yang artinya proses untuk mengelola permintaan dan akuisisi panduan, penggunaan dan penjualan aset untuk memanfaatkan potensi layanan, dan mengelola risiko dan biaya seumur hidup aset.
Menurut Danylo dan Lemer dalam Hariyono, (2007:4) adalah “…a methodology to efficiently and equitably allocate resources amongst valid and competing goals and objectives.”, yang artinya sebuah metodologi efisien dan mengalokasikan sumber daya secara adil untuk mencapai tujuan dan sasaran.
Definisi lain dari manajemen aset berdasarkan Diktat Teknis Manajemen Aset Daerah (2007), menjelaskan pengertian manajemen aset yaitu
“siklus pengelolaan barang yang dimulai dari perencanaan (planning); meliputi penentuan kebutuhan (requirement) dan penganggarannya (budgeting), pengadaan (procurement); meliputi cara pelaksanaannya, standard barang dan harga atau penyusunan spesifikasi dan sebagainya, penyimpanan dan penyaluran (storage and distribution), pengendalian (controlling), pemeliharaan (maintainance), pengamanan (safety), pemanfaatan penggunaan (utilities), penghapusan (disposal), dan inventarisasi (inventarization).”
Dari beberapa definisi dapat disimpulkan bahwa manajemen aset mencakup proses mulai dari proses perencanaan (planning) sampai dengan penghapusan (disposal) dan perlu adanya pengawasan terhadap aset-aset tersebut selama umur penggunaannya oleh suatu organisasi.
2.1.2 Bentuk Aset
Menurut Sutrisno (2004), Aset berdasarkan bentuknya dibagi menjadi 2 jenis yaitu aset berwujud (tangible) dan aset tidak berwujud (intangible). Bentuk aset berwujud adalah bangunan, infrastruktur, mesin/peralatan dan fasilitas. Sedangkan untuk bentuk aset dari aset yang tidak berwujud adalah Sistem Organisasi (Tujuan, Visi, dan Misi), Patent (Hak Cipta), Quality (Kualitas), Goodwill (Nama Baik/Citra), Culture (Budaya), Capacity (Sikap, Hukum, Pengetahuan, Keahlian), Contract (Perjanjian) dan Motivation (Motivasi).
Aset intangible (tidak berwujud), adalah aset non keuangan yang dapat diidentifikasikan dan tidak mempunyai wujud fisik serta dimiliki untuk digunakan
dalam menghasilkan barang atau jasa atau digunakan untuk tujuan lainnya termasuk hak atas kekayaan intelektual. Sedangkan aset tetap adalah aset berwujud yang mempunyai masa manfaat lebih baik dari dua belas bulan untuk digunakan dalam kegiatan pemerintah atau dimanfaatkan oleh masyarakat umum. Aset tetap meliputi tanah, peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, jalan, irigasi dan jaringan, (Siregar: 2002). Untuk lebih jelasnya, pengelompokkan bentuk aset dapat dilihat pada tabel 2.1.
Tabel 2.1 Bentuk Aset
No Bentuk Aset Aset
1 Berwujud (Tangible)
Bangunan Infrastruktur Mesin/Peralatan Fasilitas
2 Tidak Berwujud (Intangible)
Sistem Organisasi (Tujuan, Visi, dan Misi) Patent (Hak Cipta)
Quality (Kualitas)
Goodwill (Nama Baik/Citra) Culture (Budaya)
Capacity (Sikap, Hukum, Pengetahuan, Keahlian) Contract (Perjanjian)
Motivation (Motivasi) Sumber: Bentuk Aset (Sutrisno, 2004).
2.1.3 Kategori Aset
Menurut Hariyono (2007), kategori aset publik dalam kaidah internasional mencakup aset operasional, aset non operasional, aset infrastruktur, dan community aset. Kategori aset publik ditunjukkan pada tabel 2.2.
Tabel 2.2 Kategori Aset Publik
Kategori Aset Keterangan
Aset Operasional Tanah yang termasuk special property Rumah Tinggal Dinas
Perumahan Lainnya Bangunan Kantor Sekolah Perpustakaan Gedung Olahraga Golf Mess
Museum dan Galery Bengkel
Tempat Parkir Kendaraan Mesin Kuburan
Aset Non Operasional Tanah yang akan dibangun Komersial property
Aset berlebih (Surplus Aset) Aset Infrastruktur Jalan Raya
Pelabuhan/ Dermaga Jembatan
Saluran Air Dan lain-lain
Community Aset Halaman dan Taman
Bangunan Bersejarah Bangunan Kesenian Museum
Sarana Ibadah Sumber: Hariyono (2007)
Berdasarkan tabel 2.2, kategori aset publik dalam kaidah internasional, sebagai adalah berikut:
1. Aset Operasional
Aset yang dipergunakan dalam operasional pemerintah/perusahaan yang dipakai secara berkelanjutan dan/atau dipakai pada masa yang akan datang.
a. Dimiliki dan dikuasai/diduduki untuk digunakan/dipakai operasional pemerintah/ perusahaan.
b. Bukan aset khusus, artinya jika aset khusus berupa prasarana dan aset peninggalan sejarah (yang harus dikontrol oleh pemerintah), tetapi secara fisik tidak harus ditempati untuk tujuan operasional.
2. Aset Non Operasional
Aset Non Operasional adalah aset yang tidak merupakan bagian integral dari operasional perusahaan/pemerintah dan diklasifikasikan sebagai aset berlebih yang tidak dipakai untuk penggunaan secara berkelanjutan atau mempunyaimpotensi untuk digunakan dimasa yang akan datang.
3. Aset Infrastruktur
Aset infrastruktur adalah aset yang melayani kepentingan publik yang tidak terkait, biaya pengeluaran dari aset infrastruktur ditentukan oleh kontinuitas penggunaan aset bersangkutan, seperti jalan raya, jembatan dan sebagainya.
4. Community Aset
Community aset adalah aset milik pemerintah yang digunakan secara terus menerus, namun umur ekonomis atau umur gunanya tidak ditetapkan dan terkait kepada pengalihan yang terbatas (tidak dapat dialihkan).
Dari penjelasan kategori aset publik diatas, dapat disimpulkan bahwa aset yang bersifat pelayanan terhadap publik disesuaikan dengan berbagai macam aktivitasnya. Aset tersebut memiliki banyak fungsi yang diperuntukkan bagi pelayanan publik.
2.1.4 Pandangan Aset dari Konsep Hukum
Menurut Siregar (2004:182), Aset yang dipandang dari konsep hukum adalah properti. Properti dapat diartikan sebagai real estate atau personamlity. Dalam perkembangannya properti dikelompokkan menjadi empat jenis meliputi real property, personal property, business dan financial interest. Berikut adalah penjelasan lebih lanjut mengenai pandangan aset dari konsep hukum.
1. Real Property (Penguasaan dan Pemilikan Tanah dan Bangunan) Real Property meliputi semua hak, hubungan-hubungan hukum dan manfaat yang berkaitan dengan kepemilikan real estate. Sebaliknya, real estate meliputi tanah dan bangunan itu sendiri, segala benda yang keberadaannya secara alami di atas tanah yang bersangkutan, dan semua benda yang melekat dengan tanah itu, misalnya bangunan dan pengembangan tapak.
2. Personal property (Benda Bergerak)
Personal Property merujuk pada hak kepemilikan atas suatu benda bergerak di dalam bagian-bagian benda selain dari real estate (tanah atau bangunan secara fisik). Benda-benda tersebut dapat berwujud (tangible) atau tidak berwujud (intangible), misalnya utang-piutang, goodwill dan hak paten. Benda bergerak yang berwujud mewakili
kepemilikan dari benda-benda yang tidak melekat secara permanen pada tanah dan bangunan atau yang ada pada umumnya bersifat dapat di pindah tangankan ke tempat lain (move ability).
3. Business (Kegiatan Usaha)
Business adalah setiap kegiatan di bidang komersial, industri, jasa atau investigasi yang menyelenggarakan aktivitas ekonomi. Bisnis pada umumnya dijalankan oleh badan usaha yang mencari untung yang kegiatan usahanya untuk memberikan produk barang atau jasa kepada konsumen. Sedangkan badan usaha adalah badan yang didirikan berdasarkan hukum yang berlaku. Suatu kegiatan usaha mungkin saja dalam bentuk badan hukum atau bukan. Badan usaha meliputi seluruh rentang kegiatan usaha yang berkaitan dengan kegiatan ekonomi, yang mencakup baik sektor swasta maupun sektor umum (Badan Usaha milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah). Badan usaha yang memberikan jasa infrastruktur kepada masyarakat, yakni sebagai perusahaan (korporasi) yang dikendalikan, namun tidak dimiliki oleh pemerintah.
4. Financial Interest (Hak Kepemilikan Secara Finansial)
Hak kepemilikan secara finansial di dalam property berasal dari pembagian hukum atas hak kepemilikan saham dalam kegiatan bisnis dan hak atas penguasaan tanah dan bangunan (real property) dari perjanjian. Dalam perjanjian diberikan suatu hak pilihan untuk membeli atau menjual property (misalnya hak tanah dan bangunan, saham atau instrumen finansial lainnya) dengan harga yang disebutkan di dalam jangka waktu yang telah di tentukan, atau dari penciptaan instrumen investasi yang dijamin oleh sekelompok aset-aset real estate. Hak kepemilikan secara finansial yang berupa aktiva tak berwujud dapat mencakup hak yang melekat pada kepemilikan suatu kegiatan bisnis, hak yang memberikan suatu pilihan dan hak atas suatu penerbitan surat berharga.
2.1.5 Siklus Hidup Aset
Menurut Hariyono (2007:18), siklus hidup dari suatu aset memiliki tiga fase, meliputi: pengadaan (acquisition), operasi (operation), dan penghapusan (disposal). Kemudian dilakukan proses lanjutan yaitu fase perencanaan, yang merupakan suatu proses lanjutan, dimana output dari setiap fase digunakan sebagai input untuk perencanaan. Suatu aset memiliki siklus hidup agar dapat membedakan tanggung jawab dari setiap fase penanganannya. Secara khusus, tanggung jawab untuk keputusan pengadaan suatu aset dalam suatu organisasi berbeda dengan tanggung jawab untuk operasi dan pemeliharaan aset maupun dengan tanggung jawab untuk penghapusan suatu aset. Gambar 2.1 di bawah ini menunjukkan Siklus Hidup Aset menurut Hariyono (2007).
Sumber: Asset Management Handbook (dalam Hariyono, 2007) Gambar 2.1
Siklus Hidup Aset
Dalam gambar 2.1, fase-fase yang dilalui suatu aset selama hidupnya antara lain:
1. Fase perencanaan, yaitu ketika adanya kebutuhan permintaan terhadap suatu aset untuk direncanakan dan dibuat,
2. Fase pengadaan, yaitu ketika suatu aset dibeli, dibangun, atau dibuat, 3. Fase pengoperasian dan pemeliharaan, yaitu ketika suatu aset digunakan
untuk tujuan yang telah ditetapkan. Fase ini mungkin diselingi dengan
Perencanaan (Planning) Penghapusan (Disposal) Pangadaan (Acquisition) Operasi (Operation)
pembaharuan atau perbaikan besar-besaran secara periodik, penggantian atas aset yang rusak dalam periode penggunaannya, dan
4. Fase penghapusan, yaitu ketika umur ekonomis suatu aset telah habis atau ketika kebutuhan atas pelayanan yang disediakan oleh aset bersangkutan telah hilang.
2.1.6 Sasaran dan Tujuan Manajemen Aset
Sasaran manajemen aset menurut Hariyono (2007:4) adalah untuk mencapai kecocokan atau kesesuaian sebaik mungkin antara aset dengan strategi penyediaan pelayanan. Hal ini diprediksikan pada saat pemeriksaan atau pengujian kritikal dari alternatif-alternatif penggunaan aset. Sedangkan tujuan manajemen aset adalah membantu suatu entitas (organisasi) dalam memenuhi tujuan penyediaan pelayanan secara efektif dan efisien. Hal ini mencakup panduan pengadaan, penggunaan, dan penghapusan aset, dan pengaturan risiko dan biaya yang terkait selama siklus hidup aset (Hariyono, 2007:7).
Agar efektif, tujuan manajemen aset perlu dikaitkan dengan beberapa faktor terkait berikut ini, (Hariyono, 2007:7).
1. Kebutuhan dari para pengguna aset. 2. Kebijakan dan peraturan perundangan.
3. Kerangka manajemen dan perencanaan organisasi. 4. Kelayakan teknis dan kelangsungan komersial.
5. Pengaruh eksternal (seperti komersial, teknologi, lingkungan, dan industri).
6. Persaingan permintaan dari para stakeholder dan kebutuhan merasionalisasikan operasi untuk memperbaiki pemberian pelayanan atau untuk meningkatkan keefektifan biaya.
2.1.7 Tahapan Kerja Manajemen Aset
Tahapan kerja Manajemen Aset dapat diartikan sebagai rangkaian kegiatan yang sistematis dan berkesinambungan dalam pengelolaan aset.
Tahapan-tahapan dalam siklus Manajemen Aset terdiri dari inventarisasi aset, legal audit, penilaian aset, optimalisasi aset, pengawasan dan pengendalian (Siregar, 2004). Kelima tahapan kerja ini saling berhubungan dan terintegrasi, sebagai yang dapat dilihat pada gambar 2.2.
Sumber: Siregar (2004)
Gambar 2.2 Tahapan Kerja Aset 1. Inventarisasi Aset
Inventarisasi aset terdiri atas dua aspek yaitu inventarisasi fisik dan yuridis/legal. Aspek fisik terdiri atas bentuk, luas, lokasi, volume/jumlah, jenis, alamat dan lain-lain. Sedangkan aspek yuridis adalah status penguasaan, masalah legal yang dimiliki, batas akhir penguasaan dan lain-lain. Proses kerja yang dilakukan adalah pendataan, kodifikasi/labeling, pengelompokkan dan pembukuan/administrasi sesuai dengan tujuan manajemen aset.
2. Legal Audit
Legal audit merupakan suatu lingkup kerja manajemen aset yang berupa inventarisasi status penguasaan aset, sistem dan prosedur penguasaan atau pengalihan aset, identifikasi dan mencari solusi atas permasalahan legal yang terkait dengan penguasaan ataupun
4. Optimalisasi Aset 3. Penilaian Aset 2. Legal Audit 1. Inventarisasi Aset Sistem Informasi Manajemen Aset
pengalihan aset. Permasalahan legal yang sering ditemui antara lain status hak penguasaan lemah, aset dikuasai pihak lain, pemindahtanganan aset yang tidak terminator, dan lain-lain.
3. Penilaian Aset
Penilaian aset merupakan satu proses kerja untuk melakukan penilaian atas aset yang dikuasai. Biasanya ini dikerjakan oleh konsultan penilaian yang independen. Hasil dari nilai tersebut akan dapat dimanfaatkan untuk mengetahui nilai kekayaan maupun informasi untuk penetapan harga bagi aset yang ingin dijual.
4. Optimasi Aset
Dalam kamus besar bahasa Indonesia Departeman Pendidikan dan Kebudayaan (2000) Optimasi berasal dari kata Optimizing. Optimasi aset merupakan proses kerja dalam manajemen aset yang bertujuan untuk mengoptimalkan nilai-nilai yang terkandung dalam aset tersebut. Dalam tahap ini aset-aset yang dikuasai pemerintah pusat/daerah diidentifikasi dan dikelompokkan atas aset yang memiliki potensi dan tidak memiliki potensi. Aset yang memiliki potensi dapat dikelompokkan berdasarkan sektor-sektor unggulan yang menjadi tumpuan dalam strategi pengembangan ekonomi nasional baik dalam jangka pendek, menengah maupun jangka panjang. Tentunya kriteria untuk menentukan hal tersebut harus terukur dan transparan.
Sedangkan lingkup manajemen aset yang berdasarkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang pengelolaan Barang Milik Negara (BMN)/ Barang Milik Daerah (BMD) meliputi: perencanaan kebutuhan dan penganggaran, pengadaan, penggunaan, pemanfaatan, pengamanan dan pemeliharaan, penilaian, penghapusan, pemindahtanganan, penatausahaan dan pembinaan, pengawasan, dan pengendalian. Untuk lebih jelasnya lingkup pengelolaan aset dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006, dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Perencanaan Kebutuhan dan Penganggaran
Perencanaan kebutuhan merupakan awal dari proses pengelolaan aset. Tujuan dan fungsi dari suatu perusahaan merupakan hal yang mendasari kegiatan perencanaan. Dalam kegiatan ini dirumuskan rincian kebutuhan barang untuk menghubungkan pengadaan barang yang telah lalu dengan keadaan yang sedang berjalan sebagai dasar dalam melakukan tindakan yang akan datang.
2. Pengadaan
Pengadaan barang milik negara/daerah dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip efisien, efektif, transparan dan terbuka, bersaing, adil/tidak diskriminatif dan akuntabel. Pengaturan mengenai pengadaan tanah dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
3. Penggunaan
Penggunaan adalah kegiatan yang dilakukan oleh pengguna barang dalam mengelola dan menatausahakan barang milik daerah yang sesuai dengan tugas pokok dan fungsi instansi yang bersangkutan.
4. Pemanfaatan
Pemanfaatan adalah pendayagunaan barang milik negara/daerah yang tidak dipergunakan sesuai dengan TUPOKSI dalam bentuk sewa, pinjam pakai, kerjasama pemanfaatan, dan bangun serah guna/bangun guna serah dengan tidak mengubah status kepemilikan.
5. Pengamanan dan Pemeliharaan
Pengamanan dimaksudkan agar pengelola barang, pengguna barang dan/atau kuasa pengguna barang wajib melakukan pengamanan barang milik negara/daerah yang berada dalam penguasaannya. Pengamanan barang milik negara/daerah meliputi pengamanan administrasi, pengamanan fisik, dan pengamanan hukum. Sedangkan melalui pemeliharaan, diharapkan agar pengguna barang dan/atau kuasa
negara/daerah yang ada di bawah penguasaannya. Pemeliharaan harus berpedoman pada Daftar Kebutuhan Pemeliharaan Barang (DKPB), serta biaya pemeliharaan barang milik daerah dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)/Daerah (APBD). 6. Penilaian
Penilaian adalah suatu proses kegiatan penelitian yang selektif didasarkan pada data/fakta yang objektif dan relevan dengan menggunakan metode/teknik tertentu untuk memperoleh nilai barang milik negara/daerah. Dalam kegiatan penilaian aset ini, metode penilaian yang digunakan harus sesuai dengan pedoman dan peraturan perundang-undangan yang terkait.
7. Penghapusan
Penghapusan adalah tindakan menghapus barang milik negara/daerah dari daftar barang dengan menerbitkan surat keputusan dari pejabat yang berwenang untuk membebaskan pengguna dan/atau kuasa pengguna barang dan/atau pengelola barang dari tanggung jawab administrasi dan fisik atas barang yang berada dalam penguasaannya. 8. Pemindahtanganan
Pemindah tanganan adalah pengalihan kepemilikan barang milik negara/daerah sebagai tindak lanjut dari penghapusan dengan cara dijual, dipertukarkan, dihibahkan atau disertakan sebagai modal pemerintah.
9. Penatausahaan
Penatausahaan adalah rangkaian kegiatan yang meliputi pembukuan, inventarisasi, dan pelaporan barang milik negara/daerah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
10. Pembinaan, Pengawasan dan Pengendalian
Dalam melakukan pembinaan, menteri keuangan menetapkan kebijakan umum pengelolaan barang milik negara/daerah mencakup kebijakan teknis dan melakukan pembinaan pengelolaan barang milik
negara. Dalam melaksanakan pengawasan dan pengedalian, pengguna barang melakukan pemantauan dan penertiban terhadap penggunaan, pemanfaatan, pemindahtanganan, penatausahaan, pemeliharaan, dan pengamanan barang milik daerah yang berada di bawah penguasaannya. Pelaksanaan pemantauan dan penertiban sebagaimana untuk kantor/satuan kerja dilaksanakan oleh kuasa pengguna barang. Kuasa pengguna barang dan pengguna barang dapat meminta aparat pengawas fungsional untuk melakukan audit tindak lanjut hasil pemantauan dan penertiban sesuai ketentuan perundang-undangan.
2.2 Optimasi Aset
Optimasi berasal dari kata optimizing (Kamus Besar Bahasa Indonesia Departeman Pendidikan Dan Kebudayaan, 2000). Pengertian optimasi aset adalah proses kerja dari manajemen aset yang tujuannya mengoptimalkan potensi-potensi yang ada dalam aset tersebut. Menurut Siregar (2004), optimasi aset merupakan proses kerja dalam manajemen aset yang bertujuan untuk mengoptimalkan potensi fisik, lokasi, nilai, jumlah/volume, legal dan ekonomi yang dimiliki aset tersebut. Dalam tahap optimasi ini, aset-aset yang dimiliki negara diidentifikasi dan dikelompokkan berdasarkan potensi dari aset tersebut. Aset yang memiliki potensi yang dapat dikelompokkan berdasarkan sektor-sektor unggulan yang menjadi tumpuan dalam strategi pengembangan ekonomi nasional, baik jangka pendek, menengah maupun jangka panjang.
Tentunya kriteria untuk menentukan hal tersebut harus terukur dan transparan. Sedangkan aset yang tidak dapat dioptimalkan, harus dicari
penyebabnya mengapa aset tersebut menjadi idle capacity. Menurut Siregar (2004), bahwa optimasi pengelolaan aset itu harus
memaksimalkan ketersediaan aset (maximize asset availability), memaksimalkan penggunaan aset (maximize asset utilization) dan meminimalkan biaya kepemilikan (minimize cost of ownership).
2.2.1 Tujuan Optimasi Aset
Siregar (2004:776), menjelaskan bahwa tujuan optimasi aset secara umum adalah sebagai berikut :
1. Mengidentifikasi dan inventarisasi semua aset meliputi bentuk, ukuran, fisik, legal, sekaligus mengetahui nilai pasar atas masing-masing aset tersebut yang mencerminkan manfaat ekonomisnya.
2. Memanfaatan aset, apakah aset tersebut telah sesuai dengan peruntukkannya atau tidak.
3. Terciptanya suatu sitem informasi dan administrasi sehingga tercapainya efisiensi dan efektifitas dalam pengelolaan aset.
Optimasi aset mempunyai tujuan untuk mengidentifikasi aset sehingga aset tersebut akan diketahui aset mana yang perlu dioptimasi dan cara mengoptimasi aset tersebut yang akan didapatkan hasil akhir yaitu sebuah rekomendasi yang berupa sasaran, strategi, dan program untuk mengoptimalkan aset tersebut.
2.2.2 Prosedur Optimasi Aset
Untuk mencapai tujuan optimasi aset, ada beberapa langkah yang harus dilakukan antara lain, (Djumara, 2007):
1. Identifikasi aset, inventarisasi fisik dan legal
Melakukan pendataan terhadap semuan aset yang dimiliki yang mencakup ukuran. fisik. legal status dan kondisi aset, melakukan identifikasi atas kelengkapan dokumen-dokumen legalnya dan analisis yuridis atas aset bermasalah yang pada akhirnya dapat memberikan legal opinion.
2. Penilaian aset tetap
Melakukan kegiatan penilaian untuk mengetahui nilai pasar
(market value) atas objek properti dengan menggunakan pendekatan-pendekatan dan metode penilaian yang lazim digunakan
dalam pekerjaan penilaian. Djumara (2007) menjelaskan pendekatan dan metode penelitian yaitu :
a. Pendekatan data pasar (market data approach) dengan metode perbandingan langsung (direct comparison),
b. Pendekatan biaya (cost approach) dengan metode biaya pengganti baru yang disusutkan (depreciated replacement cost),
c. Pendekatan pendapatan (income approach) dengan metode arus kas terdiskonto (discounted cash flow),
d. Pendekatan pengembangan tanah (land development approach) dengan land residual method.
3. Analisis optimasi pemanfaatan fixed assets
Analisis optimasi pemanfaatan adalah untuk mengidentifikasi dan memilah aset yang masuk dalam aset operasional atau aset non operasional. Untuk aset operasional kemudian dilakukan kajian yang lebih mendalam untuk mengetahui apakah aset operasional tersebut sudah optimal pemanfaatannya atau belum. Apabila belum optimal dilakukan studi optimasi. Studi optimasi ini dilakukan berdasar tolak ukur kebutuhan akan aset tersebut dikaitkan dengan kegiatan usahanya. Untuk aset non operasional, analisis dilakukan terhadap kondisi aset saat ini. untuk mengetahui apakah pemanfaatan aset ini sudah optimal atau belum dilihat dari penggunaan tanah dalam bangunan dan fungsional bangunannya dari aspek ekonomis. Analisis ini akan mencakup regulasi. peruntukkan dan pengembangan kawasan sekitar. 4. Sistem Informasi Manajemen Aset (SIMA)
Objek pengembangan sistem informasi manajemen aset (SIMA). sebagai alat untuk optimasi dan efisiensi pengelolaan aset. Sedangkan SIMA adalah suatu konsep yang memadukan beberapa disiplin keahlian. Dengan memadukan berbagai disiplin keahlian akan dapat menunjang pemanfaatan terbaik dari aset yang dimiliki.
Dari penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa ada 5 tahapan atau langkah-langkah yang harus dilewati dalam melakukan optimasi aset. Langkah-langkah tersebut yaitu identifikasi aset, inventarisasi fisik dan legal, penilaian aset tetap, analisis optimasi pemanfaatan fixed asset dan sistem informasi manajemen aset (SIMA).
2.2.3 Manfaat Optimasi Aset
Suatu organisasi pemerintahan biasanya memiliki banyak aset bagi aset yang belum optimal dalam penggunaannya, perlu dioptimalkan pemanfaatannya dalam rangka meningkatkan pendapatan untuk pembangunan suatu organisasi yang berkelanjutan.
Djumara (2007) menyebutkan bahwa optimasi aset mempunyai manfaat dalam rangka:
1. Mengoptimalkan daya guna dan hasil guna barang. 2. Meningkatkan penerimaan/pendapatan.
3. Menambah peluang penyerapan tenaga kerja.
Mengoptimalkan daya guna dan hasil guna barang untuk meningkatkan penerimaan/pendapatan dapat secara langsung dapat mengurangi anggaran yang dikeluarkan organisasi untuk pemeliharaan aset tersebut, dapat mencegah kemungkinan adanya penyerobotan aset oleh pihak lain, dan yang terakhir dapat menambah peluang penyerapan tenaga kerja sehingga akan menciptakan sumber pendapatan masyarakat.
2.2.4 Mekanisme Optimasi Aset
Untuk mengoptimalkan aset, pengelola barang perlu membentuk tim optimalisasi aset guna memberikan saran, usulan dan rancangan program dalam penggunaan aset secara optimal, dalam rangka menggali sumber-sumber pendapatan yang berkelanjutan. Mekanisme dalam pelaksanaan optimasi aset, dapat dilakukan melalui proses sebagai berikut:
1. Pendataan aset/barang milik negara/daerah.
2. Mengidentifikasi aset/barang milik negara/daerah (legal audit, potensinya dan sebagainya).
3. Menganalisa potensi peluang untuk dioptimalisasikan. 4. Menyusun Rancangan Program Optimalisasi Aset.
2.2.5 Rencana Optimasi Aset
Menurut Djumara (2007), dalam menyusun rancangan optimasi aset harus dilakukan analisa dan penyusunan rencana pemanfaatan. Oleh karena itu, masing-masing unit dari aset harus diidentifikasi terlebih dahulu, dengan melakukan serangkaian kegiatan meliputi:
1. Menyusun data aset tentang; teknis, lokasi, legal, ekonomis, dan data sosial. 2. Meneliti potensi peluang yang dimiliki aset untuk dioptimalkan dari segi:
potensi teknis yang dimiliki dari aset, potensi lingkungan tempat aset berada, potensi legal dari aset, potensi peluang ekonomis dari aset, dan potensi sosial. 3. Menganalisa potensi/kemampuan dari aset-aset yang memungkinkan untuk
dioptimalisasikan dari segi:
a. Kemampuan dari aset tersebut untuk dipasarkan (marketability).
b. Kemampuan dari aset tersebut untuk menghasilkan uang atau keuntungan (profitability) jika dioptimalisasikan.
c. Sejauh mana kemampuan teknis dari aset itu sendiri (technical viability). d. Bagaimana dukungan lingkungan guna optimalisasi aset itu sendiri.
e. Landasan legal untuk optimalisasi aset yang memungkinkan apakah cukup kuat dan menunjang.
4. Menyusun rancangan program optimalisasi aset yang meliputi:
1. Menyusun rancangan program optimasi untuk masing-masing aset yang mungkin untuk dioptimalisasikan,
2. Menyusun rancangan pengelolaannya/pelaksanaannya apakah akan dilaksanakan oleh pihak ketiga/swakelola, dan
Menyusun prakiraan/estimasi pemasukan penerimaan (jumlah dan lama masanya) bagi aset yang mempunyai kemungkinan untuk dioptimalisasikan tersebut.
2.3 Penggunaan Tertinggi dan Terbaik (Highest and Best Use Analysis) Analisis Penggunaan Tertinggi dan Terbaik (Highest and Best Use Analysis) digunakan untuk mengetahui pengembangan yang paling tepat untuk aset yang belum optimal akan tetapi aset itu berpotensi untuk dikembangkan. Analisis HBU dilakukan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan antara lain pertimbangan aspek hukum, aspek fisik, aspek finansial dan aspek produktivitas maksimal. Berikut ini adalah penjelasan lebih rinci mengenai analisis HBU.
2.3.1 Pengertian Analisis HBU
Menurut Siregar (2004:779), Highest and Best Use Analysis (HBU Analysis) adalah suatu analisis yang bertujuan untuk mengembangkan aset yang mempunyai potensi untuk dikembangkan atau aset yang dirasakan belum optimal pemanfaatannya (idle capacity). KSPI tahun 2007 dalam Satiti (2011:3) menjelaskan bahwa analisis HBU didefinisikan sebagai penggunaan yang paling mungkin dan optimal dari suatu properti, yang secara fisik dimungkinkan, telah dipertimbangkan secara memadai, secara hukum diijinkan, secara finansial layak,
dan menghasilkan nilai tertinggi bagi dari properti tersebut. Menurut The Appraisal Institute 2011 dalam Negara (2010:2) menjelaskan bahwa definisi
penggunaan tertinggi dan terbaik adalah penggunaan yang paling mungkin dan legal dari suatu tanah kosong atau peningkatan suatu properti, yang mana secara fisik memungkinkan, layak secara finansial, dan memiliki produktifitas maksimal (menghasilkan nilai tertinggi). Berdasarkan pendapat di atas, penggunaan tertinggi dan terbaik adalah suatu analisis yang bertujuan untuk mengembangkan aset dari suatu tanah kosong atau peningkatan properti yang mana secara aspek fisik memungkinkan, aspek legal memungkinkan, secara hukum diijinkan, dan memiliki produktivitas maksimal.
2.3.2 Tujuan Analisis HBU
Menurut Siregar (2004), Highest and Best Use Analysis (HBU Analysis) memiliki tujuan untuk mengetahui produk pengembangan terbaik dan optimal di atas tanah atau tanah dan bangunan yang di anggap memiliki potensi untuk dikembangkan atau yang dirasakan belum optimal pemanfaatannya.
Menurut Robert, dkk (dalam Prijatno, 2010), tujuan dari Highest and Best Use Analysis (HBU Analysis) ini adalah untuk menetapkan pemanfaatan yang paling optimal dari aset-aset yang belum optimal, akan tetapi mempunyai potensi untuk di kembangkan, sehingga dapat memberikan hasil yang maksimal bagi pemilik aset tersebut.
Berdasarkan definisi dari beberapa ahli diatas dapat disimpulkan bahwa tujuan dari HBU antara lain adalah untuk mengetahui pengembangan terbaik dan optimal dari aset tanah atau lahan dan bangunan yang belum optimal akan tetapi mempunyai potensi untuk di kembangkan, sehingga dapat memberikan hasil yang maksimal bagi pemilik aset tersebut.
2.3.3 Syarat Highest and Best Use (HBU)
Menurut Supriyanto (2011), Properti dikatakan memiliki HBU yang tepat jika telah memenuhi empat kriteria yaitu
1. Hukum (Peraturan)
Penggunaan lahan untuk properti hendanya sesuai dengan tata guna lahan/tanah (zoning) seperti yang telah ditetapkan oleh pemerintah kabupaten kota setempat, bangunan (gedung) harus memenuhi koefisien dasar bangunan, koefisien lantai bangunan, dan peraturan lain.
2. Fisik
Penggunaan properti tersebut harus didukung oleh sifat fisik tapak. 3. Finansial
Analisis finansial dilakukan setelah tapak tersebut memenuhi kriteria hukum dan fisik. Variabel dan alat analisis yang dapat digunakan misalnya
4. Produktifitas
Berdasarkan analisis finansial, diperoleh tingkat pengembalian (rate of return), net present value, internal rate of return (IRR), rate of return, rate on equity, payback period, dan lain-lain.
2.3.4 Pengujian HBU
The Appraisal Institute (2001) memberikan beberapa kriteria dalam melakukan pengujian analisis HBU antara lain :
1. Penggunaan Tertinggi dan Terbaik tanah kosong
Dalam arti, memang tanah kosong atau menganggap tidak ada bangunan
diatas tanah tersebut. Dengan asumsi semacam itu, maka penggunaan-penggunaan yang dapat menghasilkan nilai dapat
diidentifikasi dan penilai dapat mulai memilih membandingkan berbagai jenis properti dan membuat estimasi nilainya.
2. Penggunaan Tertinggi dan Terbaik properti yang dikembangkan
Analisis dengan membandingkan properti yang sudah ada dengan properti yang diharapkan lain apakah bisa memberikan nilai lebih tinggi pada pemilik aset.
2.3.5 Konsep Dasar Analisis HBU
Berdasarkan Konsep dan Prinsip Umum Penilaian 6.0 SPI 2007 dalam Prijatno (2010), konsep dasar dari analisis HBU adalah sebagai berikut:
1. Penggunaan Tertinggi dan Terbaik (HBU) didefinisikan sebagai penggunaan yang paling mungkin dan optimal dari suatu properti, yang secara fisik dimungkinkan, telah dipertimbangkan secara memadai, secara hukum diijinkan, secara finansial layak dan menghasilkan nilai tertinggi dari properti tersebut.
2. Penilai akan mempertimbangkan penggunaan yang paling memungkinkan dan menghasilkan nilai tertinggi dari properti tersebut.
3. Apabila penggunaan tanah dan peruntukan berada dalam tahap perubahan, Penggunaan Tertinggi dan Terbaik saat ini dapat bersifat sementara.
2.3.6 Proses Analisis HBU
Siregar (2004) menjelaskan terdapat enam tahapan dalam melakukan analisis HBU yaitu:
1. Analisis Lokasi
Menganalisis lokasi dari aset yang akan dijadikan kajian dengan melakukan metode highest and best use analysis, sehingga diketahui tempat aset yang akan dijadikan sebagai objek untuk dioptimalkan.
2. Analisis Kondisi Eksisting
Melihat kondisi aset pada saat ini, dilihat dari keadaan aset, kepemilikan aset, penggunaan dan pemanfaatan yang telah dilakukan saat ini sehingga dapat diketahui aset yang sudah optimal dan yang belum optimal atau masih berstatus idle capacity.
3. Analisis Pasar
Menganalisis keadaan pasar untuk dijadikan pertimbangan dalam optimasi pemetaan aset ini. Dalam hal ini dilihat pasar yang akan memanfaatkan aset yang akan dipetakan. Sehingga estimasi terhadap bentuk pengoptimalan aset bisa dilakukan.
4. Analisis Finansial
Menganalisis keuangan dari penggunaan dan pemanfaatan aset yang akan dioptimalkan. Berapa biaya yang akan dikeluarkan dan berapa pendapatan yang mungkin bisa didapatkan.
5. Potensi Aset
Potensi aset dilihat dan dihitung, apakah aset yang ada dapat berpotensi untuk dioptimalkan atau tidak. Jika mempunyai potensi untuk dikembangkan, maka akan diketahui metode pengembangan paling tepat
6. Performa Investasi dari masing-masing pengembangan
Dihitung estimasi terhadap investasi yang akan didapatkan dalam mengembangkan aset yang kurang optimal ini. Apakah aset yang dikembangkan akan memberikan keuntungan atau tidak baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
Sedangkan menurut Prijatno (2010), proses dari studi HBU yaitu dengan melakukan beberapa studi kelayakan, diantaranya sebagai berikut:
1. Kelayakan Secara Peraturan dan Hukum a. Private Restriction/Contract
b. Zoning
c. Building Code d. Ketinggian Bangunan
e. Kontrol terhadap benda sejarah f. Aturan Keselamatan Lingkungan
g. Aturan Kesehatan dan Keamanan Hunian 2. Kelayakan Secara Fisik
a. Ukuran Tanah
b. Bentuk Tanah & Bangunan c. Luas
d. Lebar depan (Frontage)
e. Panjang/Kedalaman tanah (Depth) f. Ketinggian dari paras jalan
g. Ketinggian dari permukaan laut h. Kontur/Topografi
i. Kondisi Tanah & Bangunan j. Daya Dukung Tanah k. Lokasi Tanah l. Letak Tanah m. Aksesibilitas
n. Improvement o. Kesuburan tanah p. Ketersediaan air q. Flora dan Fauna
3. Kelayakan Secara Keuangan a. Net Operating Income (NOI) b. Pay back Priod (PP)
Menurut Syamsuddin (2004:444), pay back period merupakan perhitungan atau penentuan jangka waktu yang dibutuhkan untuk menutup initial investment dari suatu proyek dengan menggunakan cash inflow yang dihasilkan oleh proyek tersebut.
Rumus:
c. Net Present Value (NPV)
Menurut Syamsuddin (2004:444), Net Present Value (NPV) adalah salah satu dari teknik capital budgeting yang mempertimbangkan nilai waktu/uang yang paling banyak digunakan, dan merupakan selisih antara cash inflow yang didiskonto pada tingkat bunga minimum atau cost of capital perusahaan, dikurangi dengan nilai investasi.
Rumus:
Atau bisa menggunakan rumus, NPV = – I0
d. Internal rate of return
Menurut Syamsuddin (2004:444), IRR didefinisikan sebagai tingkat discount atau bunga yang akan menyamakan Present value cash inflow dengan jumlah initial investment dari proyek yang sedang dinilai.
Usulan proyek investasi akan diterima apabila, IRR π cost of capital.
Dan akan ditolak apabila, IRR < cost of capital.
e. Return on invesment atau Return on Equity
Menurut Santosa (2009), Return on Investment (ROI) adalah rata-rata profit tahunan dibandingkan dengan jumlah yang diinvestasikan. Rumus:
ROI =
Sedangkan menurut Mardiyanto (2009), Return on Equity (ROE) merupakan ukuran terakhir dari rasio probabilitas. Rasio itu mengukur keberhasilan perusahaan dalam menghasilkan laba bagi para pemegang saham. Oleh karena itu, ROE dianggap sebagai representasi dari kekayaan pemegang saham atau nilai perusahaan.
ROE =
4. Produktivitas yang Maksimal a. NPV positif dan terbesar b. IRR positif dan terbesar c. Pay back period paling cepat d. ROI atau ROE terbesar dan >1
e. Sesuai dengan kelayakan fisik dan peraturan
2.4 Barang Milik Negara (BMN)
Menurut Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 96 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Penggunaan, Pemanfaatan, Penghapusan, dan Pemindahtanganan Barang Milik Negara, Barang Milik Negara (BMN) adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBN atau berasal dari perolehan lainnya yang sah. Dalam PMK No. 96 Tahun 2007 tersebut, telah diatur
mengenai penggunaan dan pemanfaatan Barang Milik Negara (BMN). Adapun penjelasan mengenai penggunaan dan pemanfaatan Barang Milik Negara (BMN) yang diatur dalam PMK No. 96 Tahun 2007 sebagai berikut.
2.4.1 Penggunaan Barang Milik Negara
Menurut Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 96 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Penggunaan, Pemanfaatan, Penghapusan, dan Pemindahtanganan Barang Milik Negara penggunaan adalah kegiatan yang dilakukan oleh pengguna barang dalam mengelola dan menatausahakan Barang Milik Negara/Daerah yang sesuai dengan tugas pokok dan fungsi suatu instansi bersangkutan. Status penggunaan barang ditetapkan dengan ketentuan sebagai berikut.
1. Barang Milik Negara oleh pengelola barang,
2. Barang Milik Daerah oleh gubernur/bupati/walikota
Barang Milik Negara (BMN) dapat ditetapkan status penggunaannya untuk penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi kementerian negara/lembaga/satuan kerja perangkat daerah, untuk dioperasikan oleh pihak lain dalam rangka menjalankan pelayanan umum sesuai tugas pokok dan fungsi kementerian negara/lembaga/satuan kerja perangkat daerah yang bersangkutan. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2006 pasal 16 menyebutkan bahwa penetapan status penggunaan tanah dan/atau bangunan dilakukan dengan ketentuan bahwa tanah dan/atau bangunan tersebut diperlukan untuk kepentingan penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi pengguna barang dan/atau kuasa pengguna barang yang bersangkutan.
2.4.2 Pemanfaatan Barang Milik Negara
Menurut PP No 6 tahun 2006 pemanfaatan adalah pendayagunaan barang milik Negara/daerah yang tidak dipergunakan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi kementrian/lembaga/satuan kerja perangkat daerah, dalam bentuk sewa,
dengan tidak mengubah status kepemilikan. Sedangkan menurut Hariyono (2007) pemanfaatan aset merupakan ukuran seberapa intensif suatu aset digunakan untuk memenuhi tujuan pemberian pelayanan, sehubungan dengan potensi kapasitas aset. Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa pemanfaatan aset adalah pendayagunaan dan ukuran seberapa intensif suatu aset digunakan diluar Tupoksi Perusahaan.
Aset yang belum dimanfaatkan dapat didayagunakan secara optimal dengan tujuan :
1. Agar tidak membebani Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) khususnya biaya dikaitkan dengan segi pemeliharaan dan pengamanannya terutama untuk mencegah kemungkinan adanya penyerobotan dari pihak ketiga yang tidak bertanggung jawab.
2. Jika barang daerah tersebut dimanfaatkan secara optimal akan dapat meningkatkan atau menciptakan sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Selanjutnya dalam Permenkeu No 96/PMK.06/2007 juga mengatur tentang pemanfaatan lebih lanjut yaitu :
1. Pemanfaatan Barang Milik Negara dilakukan terhadap barang Milik Negara yang tidak digunakan untuk melaksanakan tugas pokok dan fungsi kementrian Negara/lembaga.
2. Pemanfaatan Barang Milik Negara dapat pula dilakukan terhadap sebagian Barang Milik Negara yang tidak digunakan oleh pengguna barang sepanjang penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi kementrian/lembaga tersebut.
3. Pemanfaatan sebagaimana dimaksud diatas tidak mengubah status kepemilikan Barang Milik Negara.
4. Pemanfaatan Barang Milik Negara sebagaimana dimaksud dilakukan dalam bentuk sewa, pinjam pakai, kerjasama pemanfaaatan dan bangun guna serah serta bangun serah guna/
Berdasarkan PP No 6 tahun 2006 dan juga Peraturan Menteri Keuangan No 97/PMK.06/2007, pemanfaatan bisa dilakukan dalam bentuk sewa, pinjam pakai, kerjasama pemanfaatan dan bangun serah guna atau bangun guna serah dengan tidak mengubah status kepemilikan. Berikut ini akan dijelaskan mengenai bentuk pemanfaatan aset.
a. Sewa
Sewa adalah pemanfaatan Barang Milik Negara oleh pihak lain dalam jangka waktu tertentu dan menerima imbalan berupa uang tunai. Penyewaan Barang Milik Negara dilakukan untuk mengoptimalkan pemanfaatan Barang Milik Negara yang belum/tidak dipergunakan dalam pelaksanaan tugas pokok dan fungsi penyelenggaraan pemerintahan. Jenis Barang Milik Negara yang dapat disewakan antara lain adalah:
1. Tanah 2. Bangunan
Ketentuan dalam penyewaan Barang Milik Negara:
1. Barang Negara yang dalam kondisi belum atau tidak digunakan oleh Pengguna Barang atau Pengelola Barang
2. Jangka waktu sewa barang milik negara paling lama 5 (lima) tahun sejak ditandatanganinya perjanjian, dan dapat diperpanjang dengan ketentuan sebagai berikut :
a. Untuk sewa yang dilakukan oleh Pengelola Barang, perpanjangan dilakukan setelah dilakukan evaluasi oleh Pengelola Barang;
b. untuk sewa yang dilakukan oleh Pengguna Barang, perpanjangan dilakukan setelah dievaluasi oleh Pengguna Barang dan disetujui oleh Pengelola Barang.
3. Penghitungan besaran sewa minimum didasarkan pada Peraturan Menteri Keuangan
4. Penghitungan nilai Barang Milik Negara dalam rangka penentuan besaran sewa minimum dilakukan sebagai berikut :
a. Penghitungan nilai Barang Milik Negara berupa tanah dan/atau bangunan yang berada pada Pengelola Barang dilakukan oleh penilai yang ditugaskan oleh Pengelola Barang;
b. Penghitungan nilai Barang Milik Negara untuk sebagian tanah dan/atau bangunan yang berada pada Pengguna Barang dilakukan oleh tim yang ditetapkan oleh Pengguna Barang dan dapat melibatkan instansi teknis terkait dan/atau penilai;
c. Penghitungan nilai Barang Milik Negara selain tanah dan atau bangunan, dilakukan oleh tim yang ditetapkan oleh Pengguna Barang dan dapat melibatkan instansi teknis terkait dan/atau penilai.
d. Penetapan besaran sewa Besaran sewa atas Barang Milik Negara berupa tanah dan/atau bangunan yang berada pada Pengelola Barang ditetapkan oleh Pengelola Barang berdasarkan hasil perhitungan nilai;
e. Besaran sewa atas Barang Milik Negara sebagian tanah dan/atau bangunan yang berada pada Pengguna Barang dan barang milik negara selain tanah dan/atau bangunan, ditetapkan oleh Pengguna Barang setelah mendapat persetujuan Pengelola Barang.
5. Pembayaran uang sewa dilakukan secara sekaligus paling lambat pada saat penandatanganan kontrak.
6. Selama masa sewa, pihak penyewa atas persetujuan Pengelola Barang hanya dapat mengubah bentuk Barang Milik Negara tanpa mengubah konstruksi dasar bangunan, dengan ketentuan bagian yang ditambahkan pada bangunan tersebut menjadi Barang Milik Negara.
b. Pinjam Pakai
Pinjam pakai Barang Milik Negara adalah penyerahan penggunaan Barang Milik Negara antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dalam jangka waktu tertentu tanpa menerima imbalan dan setelah jangka waktu berakhir, Barang Milik Negara tersebut diserahkan kembali kepada pemerintah pusat. Barang Milik Negara yang dapat dipinjam pakaikan adalah tanah dan/atau bangunan, serta Barang Milik Negara selain tanah dan/atau bangunan.
c. Kerjasama Pemanfaatan
Kerjasama pemanfaatan adalah pendayagunaan Barang Milik Negara oleh pihak lain dalam jangka waktu tertentu dalam rangka peningkatan pendapatan dan sumber pembiayaan lainnya. Barang Milik Negara yang dapat dijadikan objek kerja sama pemanfaatan adalah tanah dan/atau bangunan, baik yang ada pada Pengelola Barang maupun yang status penggunaannya ada pada Pengguna Barang, serta Barang Milik Negara selain tanah dan/atau bangunan.
d. Bangun Guna Serah dan Bangun Serah Guna
Bangun Guna Serah (BGS) adalah pemanfaatan tanah milik pemerintah pusat oleh pihak lain dengan mendirikan bangunan dan/atau sarana, berikut fasilitasnya, kemudian di dayagunakan oleh pihak lain tersebut dalam jangka waktu tertentu yang telah disepakati. Selanjutnya tanah beserta bangunan dan/atau sarana, berikut fasilitasnya, diserahkan kembali kepada Pengelola Barang setelah berakhirnya jangka waktu yang telah disepakati. Bangun Serah Guna (BSG) pemanfaatan tanah milik pemerintah pusat oleh pihak lain dengan mendirikan bangunan dan/atau sarana, berikut fasilitasnya, dan setelah selesai pembangunannya diserahkan kepada Pengelola Barang untuk kemudian didayagunakan oleh pihak lain tersebut selama jangka waktu tertentu yang disepakati.
Sumber: Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2006 Gambar 2.3
Bentuk Pemanfaatan Aset
2.5 Lahan/Tanah
Dalam ekonomi dan pertanian, lahan mencakup semua sumber daya alam yang dapat dimanfaatkan di bawah, pada, maupun di atas permukaan suatu bidang geografis (www.wikipedia.com). Lahan/tanah adalah sebuah sumber daya alam yang merupakan hasil tambang, penghasil sumber daya hutan, dan tempat dimana semua makhluk hidup melaksanakan kehidupan (Yulir, 2004). Lahan juga merupakan tempat mendirikan sebuah aset (bangunan, jalan, dan jembatan). Berikut ini akan dijelaskan pengertian dari lahan/tanah dan karakteristik lahan.
2.5.1 Pengertian Lahan/Tanah
Menurut Jayadinata dalam Negara (2010:1), pengertian lahan adalah tanah yang sudah ada peruntukannya dan umumnya ada pemiliknya, perorangan atau lembaga. Sadyohutomo dalam Negara (2010:1) juga menjelaskan bahwa kata lahan hanya terbatas untuk bentang-bentang tanah yang sudah jelas penggunaannya atau peruntukannya. Menurut Hanafie (2010:52), tanah adalah tubuh alam yang tersusun dalam bentuk profil. Tanah terdiri dari berbagai campuran mineral pecah lapuk dan organik pengurai, sebagai lapisan tipis penutup permukaan bumi, serta menjamin tumbuhnya tumbuhan, hewan, dan manusia. Dalam substansi tanah, terdapat empat komponen utama yang mendukung
Bentuk Pemanfaatan Sewa BGS DAN BSG Kerjasama Pemanfaatan Pinjam Pakai
kemungkinan hidupnya tumbuhan, yaitu bahan mineral, bahan organik, air dan udara.
2.5.2 Klasifikasi Tanah
Hanafie (2010:53) menjelaskan bahwa menurut topografinya, lahan dibedakan kemiringannya menjadi empat, antara lain:
1. Lahan dengan lereng 0-3 % : datar, termasuk rawa-rawa, untuk tanaman padi atau perkebunan kelapa.
2. Lahan dengan lereng 3-8% : baik untuk tanaman setahun tertentu apabila dibuat teras atau kontur
3. Lahan dengan lereng 8-15% : baik untuk tanaman rumput sehingga cocok untuk area peternakan.
4. Lahan dengan lereng >15% : baik untuk tanaman kayu sehingga cocok dijadikan area perkebunan atau kehutanan.
2.6 Bangunan Gedung
Bangunan gedung merupakan salah satu aset negara sebagai tempat manusia melakukan kegiatannya, mempunyai peranan yang sangat strategis dalam pembentukan watak, perwujudan produktifitas dan jati diri manusia. Dalam melaksanakan penyelenggaraan bangunan gedung perlu diatur dan dibina demi kelangsungan dan peningkatan kehidupan masyarakat, sekaligus untuk mewujudkan bangunan gedung yang fungsional, andal, berjati diri, seimbang, serasi dan selaras dengan lingkungannya.
2.6.1 Pengertian Bangunan Gedung
Berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 45/PRT/M/2007 tentang Pedoman Teknis Pembangunan Bangunan Gedung Negara, bangunan gedung adalah wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi yang menyatu dengan tempat dan kedudukannya sebagian atau seluruhnya berada di atas dan/atau di dalam tanah dan/atau air yang berfungsi sebagai tempat manusia melakukan
kegiatannya. Sedangkan bangunan gedung negara adalah bangunan gedung untuk keperluan dinas yang menjadi/akan menjadi kekayaan milik negara dan diadakan dengan sumber pembiayaan yang berasal dari dana APBN dan/atau perolehan lainnya yang sah.
Menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 45/PRT/M/2007 tentang Pedoman Teknis Pembangunan Bangunan Gedung Negara, pembangunan adalah
“kegiatan mendirikan bangunan gedung yang diselenggarakan melalui tahap persiapan perencanaan teknis, pelaksanaan konstruksi dan pengawasan konstruksi/manajemen konstruksi (MK) baik merupakan pembangunan baru, perbaikan sebagian atau seluruhnya maupun perluasan bangunan gedung yang sudah ada, dan/atau lanjutan pembangunan bangunan gedung yang belum selesai, dan/atau perawatan (rehabilitasi renovasi restorasi)”
2.6.2 Asas dan Tujuan Bangunan Gedung
Bangunan gedung diadakan berdasarkan asas kemanfaatan, keselamatan, keseimbangan, serta keserasian bangunan gedung dengan lingkungannya. Pengaturan bangunan gedung bertujuan untuk mewujudkan bangunan gedung yang fungsional dan sesuai dengan tata bangunan gedung yang sesuai dan selaras dengan lingkungannya, mewujudkan tertib penyelenggaraan bangunan gedung yang menjamin keandalan teknis bangunan gedung dari segi keselamatan, kesehatan, kenyamanan dan kemudahan, serta mewujudkan kepastian hukum dalam penyelenggaraan bangunan gedung.
Penyelenggaraan bangunan gedung merupakan kegiatan pembangunan yang meliputi proses perencanaan teknis dan pelaksanaan konstruksi, serta kegiatan pemanfaatan, pelestarian dan pembongkaran.
2.6.3 Persyaratan Keandalan Teknis Bangunan Gedung
Berdasarkan Undang-undang Nomor 28 tahun 2002, salah satu tujuan dari pengaturan bangunan gedung yaitu untuk mewujudkan tertib penyelenggaraan
bangunan gedung yang menjamin keandalan teknis bangunan gedung. Maka persyaratan dari keandalan teknis bangunan gedung tersebut, diantaranya:
1. Keselamatan
Persyaratan keselamatan bangunan gedung meliputi kemampuan bangunan gedung untuk mendukung beban muatan, serta kemampuan bangunan gedung dalam mencegah dan menanggulangi bahaya kebakaran dan bahaya petir.
a. Kemampuan bangunan gedung untuk mendukung beban muatannya. Hal tersebut dimaksudkan sebagai kemampuan struktur bangunan gedung yang stabil dan kukuh dalam mendukung beban muatan, baik beban muatan hidup ataupun mati, serta untuk mendukung beban muatan yang timbul akibat perilaku alam.
b. Kemampuan bangunan gedung dalam mencegah dan menanggulangi bahaya kebakaran. Hal tersebut dimaksudkan sebagai kemampuan bangunan gedung untuk melakukan pengamanan terhadap bahaya kebakaran melalui sistem proteksi pasif, yang meliputi kemampuan stabilitas struktur dan elemennya, konstruksi tahan api, kompartemenisasi dan pemisahan serta proteksi pada bukuab yang ada untuk menahan dan membatasi kecepatan menjalarnya api dan asap kebakaran dan sistem proteksi aktif, yang meliputi kemampuan peralatan dalam mendeteksi dan memadamkan kebakaran, pengendalian asap dan sarana penyelamatan kebakaran.
c. Kemampuan bangunan gedung dalam mencegah dan menanggulangi bahaya petir. Hal tersebut dimaksudkan sebagai kemampuan bangunan gedung untuk melakukan pengamanan terhadap bahaya petir melalui sistem penangkal petir untuk melindungi semua bagian bangunan gedung termasuk manusia di
penangkal petir yang harus dipasang pada setiap bangunan gedung yang letak, sifat geografis, bentuk dan penggunaannya mempunyai resiko terkena sambaran petir.
2. Kesehatan
Persyaratan kesehatan bangunan gedung meliputi persyaratan sistem penghawaan, pencahayaan, sanitasi dan penggunaan bahan bangunan gedung.
a. Sistem penghawaan
Kebutuhan sirkulasi dan pertukaran udara yang harus disediakan pada bangunan gedung melalui bukaan dan/atau ventilasi buatan. b. Sistem pencahayaan
Kebutuhan pencahayaan yang harus disediakan pada bangunan gedung melalui pencahayan alami dan/atau pencahayaan buatan, termasuk pencahayaan darurat.
c. Sistem Sanitasi
Kebutuhan sanitasi yang harus disediakan di dalam dan di luar bangunan gedung untuk memenuhi kebutuhan air bersih, pembuangan air kotor dan/atau air limbah, kotoran dan sampah, serta penyaluran air hujan.
d. Penggunaan bahan bangunan gedung
Penggunaan bahan bangunan harus aman bagi kesehatan pengguna bangunan gedung dan tidak menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan.
3. Kenyamanan
Persyaratan kenyamanan bangunan gedung meliputi kenyamanan ruang gerak dan hubungan antar ruang, kondisi udara dalam ruang, pandangan, serta tingkat getaran dan tingkat kebisingan.
a. Kenyamanan ruang gerak
Tingkat kenyamanan yang diperoleh dari dimensi ruang dan tata letak ruang yang memberikan kenyamanan bergerak dalam ruangan.
b. Kenyamanan hubungan antar ruang
Tingkat kenyamanan yang diperoleh dari tata letak ruang dan sirkulasi antar ruang dalam bangunan gedung untuk terselenggaranya fungsi bangunan gedung.
c. Kenyamanan kondisi udara
Tingkat kenyamanan yang diperoleh dari temperature dan kelembaban di dalam ruang untuk terselenggaranya fungsi bangunan gedung.
d. Kenyamanan pandangan
Kondisi dimana hak pribadi orang dalam melaksanakan kegiatan di dalam bangunan gedungnya tidak terganggu dari bangunan gedung yang ada di sekitarnya.
e. Kenyamanan tingkat getaran dan kebisingan
Tingkat kenyamanan yang ditentukan oleh suatu keadaan yang tidak mengakibatkan pengguna dan fungsi bangunan gedung terganggu oleh getaran dan/atau kebisingan yang timbul baik dari dalam bangunan gedung maupun lingkungannya.
4. Kemudahan
Persyaratan kemudahan meliputi kemudahan hubungan ke, dari dan di dalam bangunan gedung, serta kelengkapan prasarana dan sarana dalam pemanfaatan bangunan gedung.
a. Kemudahan hubungan ke, dari dan di dalam bangunan gedung Tersedianya fasilitas dan aksesibilitas yang mudah, aman dan nyaman termasuk bagi penyandang cacat dan lanjut usia. Kemudahan hubungan horizontal antar ruang dalam bangunan
menyediakan pintu dan/atau koridor antar ruang. Penyediaan mengenai jumlah, ukuran dan konstruksi teknis pintu dan koridor disesuaikan dengan fungsi ruang bangunan gedung. Kemudahan hubungan vertikal dalam bangunan gedung, termasuk sarana transportasi vertikal berupa penyediaan tangga, ram dan sejenisnya dalam bangunan gedung dengan mempertimbangkan kemudahan, keamanan, keselamatan dan kesehatan pengguna sesuai dengan standar teknis yang berlaku.
b. Kelengkapan prasarana dan sarana
Kelengkapan prasarana dan sarana merupakan keharusan bagi semua bangunan gedung untuk kepentingan umum.
2.6.4 Klasifikasi Bangunan Gedung
Menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 45/PRT/M/2007 tentang Pedoman Teknis Pembangunan Gedung Negara dan Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah Nomor 332/KPTS/M/2002 Tentang Pedoman Teknis Pembangunan Gedung Negara, persyaratan teknis bangunan gedung negara meliputi ketentuan klasifikasi bangunan gedung negara, persyaratan administratif dan persyaratan teknis bangunan gedung negara. Penjelasannya dapat dilihat sebagai berikut :
1. Bangunan sederhana
Bangunan sederhana adalah bangunan gedung negara dengan karakter sederhana serta memiliki kompleksitas dan teknologi sederhana, atau bangunan gedung negara yang sudah ada disain prototipenya. Masa penjaminan kegagalan bangunannya adalah selama 10 (sepuluh) tahun. Contohnya Gedung kantor yang sudah ada desain prototipenya, atau bangunan gedung kantor dengan jumlah lantai maksimal 2 lantai dengan luas maksimal 500 m2, Puskesmas, dan lain-lain.
2. Bangunan tidak sederhana
Bangunan tidak sederhana adalah bangunan gedung negara dengan karakter tidak sederhana serta memiliki kompleksitas dan atau teknologi tidak sederhana. Masa penjaminan kegagalan bangunannya adalah selama 10 (sepuluh) tahun Contohnya Gedung kantor yang belum ada disain prototipenya, atau bangunan gedung kantor dengan luas lebih dari 500 m2 atau gedung kantor bertingkat lebih dari 2 lantai, gedung rumah sakit kelas A, B, C dan D, dan lain-lain.
3. Bangunan khusus
Bangunan khusus adalah bangunan gedung negara yang memiliki penggunaan dan persyaratan khusus, yang dalam perencanaan dan pelaksanaanya memerlukan penyelesaian / teknologi khusus. Masa penjaminan kegagalan bangunan minimum adalah 10 (sepuluh) tahun. Yang termasuk klasifikasi bangunan khusus, antara lain : Istana negara dan rumah jabatan presiden & wakil presiden, wisma negara, Gedung istana nuklir, dan lain-lain.
2.6 Prasarana dan Sarana
Menurut Yuwono (2008), prasarana adalah perangkat penunjang utama suatu kegiatan atau usaha agar dapat mencapai suatu tujuan, mencakup lahan dan bangunan gedung baik ruangan-ruangan yang ada di dalamnya. Sedangkan sarana adalah segala sesuatu yang dapat dipakai sebagai alat atau media untuk mencapai maksud atau tujuan, mencakup perabotan dan peralatan yang diperlukan sebagai kelengkapan setiap gedung atau ruangan dalam menjalankan fungsinya untuk meningkatkan mutu dan relevansi hasil produk dan layanannya. Pada bagian ini akan diuraikan lebih jelas mengenai prasarana dan sarana berupa gedung olahraga.
2.6.1 Prasarana dan Sarana Olahraga
Prasarana dan Sarana Olahraga merupakan sumber daya pendukung dalam kegiatan berolahraga yang yang terdiri dari segala bentuk jenis
kegiatan olahraga. Prasarana dan sarana berolahraga sangat diperlukan untuk kelancaran dan keamanan dalam berolahraga. Seperti yang sudah dijelaskan oleh Soepartono (2000), prasarana adalah segala sesuatu yang merupakan penunjang terselenggaranya suatu proses (usaha atau pembangunan). Dalam olahraga prasarana didefinisikan sebagai sesuatu yang mempermudah atau memperlancar tugas dan memiliki sifat yang relatif permanen. Salah satu sifat tersebut adalah susah dipindahkan. Berdasarkan definisi tersebut dapat disebutkan beberapa contoh prasarana olahraga yaitu: lapangan bola basket, lapangan tenis, lapangan voli, gedung olahraga (hall), stadion sepakbola, stadion atletik, track lari, track sepatu roda, dan lain-lain.
2.6.2 Sarana Olahraga
Istilah sarana olahraga menurut Soepartono (2000), adalah terjemahan dari “facilities”, yaitu sesuatu yang dapat digunakan dan dimanfaatkan dalam pelaksanaan kegiatan olahraga atau pendidikan jasmani. Sarana olahraga dapat dibedakan menjadi dua kelompok yaitu:
a. Peralatan (apparatus), ialah sesuatu yang digunakan, contoh: peti loncat, palang tunggal, palang sejajar, gelang-gelang, kuda-kuda, dan lain-lain.
b. Perlengkapan (device), yaitu :
1) Sesuatu yang melengkapi kebutuhan prasarana, misalnya: net, gawang, bendera untuk tanda, garis batas dan lain-lain.
2) Sesuatu yang dapat dimainkan atau dimanipulasi dengan tangan atau kaki, misalnya; bola, raket, pemukul dan lain-lain.
Seperti halnya prasarana olahraga, sarana yang dipakai dalam kegiatan olahraga pada masing-masing cabang olahraga memiliki ukuran standar.
2.6.3 Fasilitas Olahraga
Fasilitas olahraga menurut Soepartono (2000), adalah semua prasarana olahraga yang meliputi semua lapangan dan bangunan olahraga beserta
perlengkapannya untuk melaksanakan program kegiatan olahraga. Berdasarkan batasan diatas, istilah fasilitas olahraga sudah mencakup pengertian prasarana dan sarana perlengkapan.
Untuk fasilitas semua olahraga prestasi yang dipertandingkan/dilombakan mulai tingkat internasional, tingkat nasional dan tingkat daerah menggunakan fasilitas alat dan lapangan dengan ukuran yang sama untuk masing-masing cabang olahraga. Ukuran yang sama di semua tingkat dan di semua tempat inilah yang dinamakan istilah standar. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 2.3 sebagai berikut ini:
Tabel 2.3
Ukuran Standar Olahraga Prestasi
No Cabang
Olahraga
Ukuran Lapangan Minimal tanah yang harus disediakan 1. Atletik 95 x 176 18.000 m2 2. Gedung Olahraga 25 x 40 1.500 m2 3. Bola Voli 18 x 9 1.000 m2 4. Bola Basket 28 x15 1.000 m2 5. Bulu Tangkis 6.10 x 13.40 800 m2 Sumber: Soepartono (2000). 2.7 Studio Musik
Menurut Nurcahyo (2011:1), studio musik adalah ruangan yang digunakan sebagai tempat untuk berlatih musik. Biasanya studio musik memiliki alat-alat musik lengkap untuk band, seperti drum, gitar, bass dan microphone dengan sound system-nya. Menurut Mediastika (2005:104), studio musik adalah tempat berlatih ataupun rekaman bagi group band. Studio musik didesain dengan teliti dan tepat dengan mengacu pada prinsip-prinsip akustik bangunan atau ruang tersebut. Hal tersebut penting untuk dilakukan agar studio musik sesuai dengan standar yang berlaku. Menurut Mediastika (2005:104), pengendalian kebisingan adalah kunci utama keberhasilan sebuah ruang studio. Pengendalian kebisingan
ditinjau dari dua hal, yaitu (1) menahan masuknya kebisingan dari luar dan (2) menahan keluarnya kebisingan dari dalam, terutama pada studio-studio yang
menghasilkan kebisingan tinggi seperti studio untuk musik. Pengendalian agar kebisingan dari luar tidak masuk ke dalam ruang studio sangat penting untuk menjaga konsentrasi pelaku aktivitas dan agar kelangsungan aktivitas berjalan dengan baik.
2.7.1 Pembuatan Studio Musik
Menurut Fauzi (2011:1), ada beberapa hal yang diperlukan untuk membuat studio musik yaitu:
1. Lokasi
Untuk menghemat biaya, kita dapat memanfaatkan sebagian ruangan di tempat tinggal kita untuk dijadikan studio musik. Namun untuk memperbesar peluang, lokasi pada dasarnya harus strategis. Artinya dekat dengan konsumen sasaran (dekat kampus atau sekolah) dan menyediakan tempat parkir. Untuk promosi, kita perlu menyebar pamplet atau dengan brosur-brosur.
2. Spesifikasi alat
Spesifikasi studio rental musik dan rekaman dibagi menjadi 3 kategori,
alat musik lokal, berlisensi, atau build up (original). Untuk spesifikasi
alat-alat buatan dalam negeri, kisaran budget yang dibutuhkan antara Rp 25.000.000,00 sampai Rp 35.000.000,00. Ada yang bilang kualitasnya
tidak sebagus alat musik berlisensi. Namun jika dana kita terbatas, alat musik lokal memang sebuah solusi tepat. Untuk alat musik berlisensi, membutuhkan biaya sekitar Rp 40.000.000,00 sampai Rp75.000.000,00. Kualitasnya bagus, tapi kita perlu cermat memilih. Sedangkan alat musik build up/original biayanya bisa sampai Rp75.000.000,00 lebih, namun kualitasnya tidak perlu diragukan lagi.
3. Ruangan
Luas ruangan studio musik minimal 4 x 4 meter dengan dengan tinggi 3 meter. Ukuran ini ditentukan berdasarkan kemampuan panjang gelombang alat musik bass yang bisa mencapai jarak 3sampai 4 meter per satu