• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. Sumatera Utara, letak wilayah desa ini dikelilingi dan dibatasi oleh beberapa desa serta. Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Sigenderang.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II. Sumatera Utara, letak wilayah desa ini dikelilingi dan dibatasi oleh beberapa desa serta. Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Sigenderang."

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

GAMBARAN

UMUM

DESA

JUHAR

2.1. Letak Geografis

Desa juhar berjarak 46 km dari kota Kabanjahe yang merupakan ibukota daerah Kabupaten Karo dan berjarak sekitar 130 km dari kota Medan sebagai ibu kota Provinsi Sumatera Utara, letak wilayah desa ini dikelilingi dan dibatasi oleh beberapa desa serta pegunungan. Dengan batas-batas wilayah:

 Sebelah Utara berbatasan dengan Gunung Juhar, Desa Pasar Baru, Desa Mbetung.  Sebelah selatan berbatasan dengan Desa Ketawaren, Desa Buluh Pancar, Desa Lau

Kidupen.

 Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Sigenderang.

 Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Jandi dan Desa Kidupen8 .

Desa juhar berada 710-800 M / DPL dari permukaan laut. Suhu udara di desa juhar berkisar antara 22º s/d 29º derejat celcius dengan kelembapan udaranya rata-rata 28º. Ada dua musim yang terdapat di desa Juhar yaitu musim Hujan dan Kemarau. Musim hujan pertama terjadi antara bulan Agustus sampai bulan Januari, dan musim kemarau terjadi pada bulan Maret sampai bulan Oktober. Hal ini disebabkan karena arah angin yang berhembus di desa Juhar terbagi atas dua yaitu: pada musim hujan, angin berhembus dari arah barat sedangkan pada musim kemarau angin Timur Tenggara berhembus dari arah Timur. Sebelum luas wilayah ini di paparkan lebih lanjut, ada baiknya dibahas sekilas tentang pemerintah desa Juhar ini. Desa juhar terbagi atas tiga

(2)

wilayah hukum adat hal ini terjadi karena berkaitan dengan perkembangan desa juhar yang tidak lepas dari para pemuka desa Juhar tersebut. adapun ke-tiga wilayah hukum adat tersebut adalah desa Juhar Ginting, Juhar Peranginangin, Juhar Tarigan dan memiliki pemerintah sebelum kemerdekaan Republik Indonesia di namakan dengan Urung dan setelah Indonesia Merdeka Pada tahun 1945 maka urung digantikan dengan kepala Kampung dan kemudian diganti menjadi Kepala desa. Mengenai perincian lebih jelas akan dipaparkan lebih lanjut dalam latar belakang historis desa Juhar nantinya.

Mengenai luas wilayah desa Juhar secara kesluruhan 3.266,0 Kilo meter persegi yang masing-masing dapat diperinci sebagai berikut:

No.  Desa Juhar  Tanah Sawah  Tanah kering  Bangunan/ pekarangan  Lainnya  Jumlah  1.  Juhar Tarigan  80,0  555,0  7,0  320,0  962,0  2.  Juhar  Perangin‐  angin  80,0  637,0  10,0  225,0  952,0  3.  Juhar Ginting  110,0  977,5  11,5  253,0  1352,0  JUMLAH  270,0  2169,5  28,5  798,0  3266,0 

Sumber: Kepala desa Juhar tahun 1945

Berdasarkan tabel diatas perkembangan masyarakat memanfaatkan tanah pada awalnya, para warga desa Juhar memanfaatkan tanah sebagai lahan pertanian untuk memenuhi kebutuhan kehidupan sehari-hari. Tanaman pangan seperti halnya padi dan tanaman lainnya untuk mencukupi ekonomi keluarga selain itu, tanah bagi warga berfungsi juga sebagai kebutuhan awal untuk bertempat tinggal dan bermukim.

Dalam penggarapan tanah yang di lakukan masyarakat desa Juhar masih mengunakan teknologi tradisional yang telah dikenal secara turun temurun oleh warga

(3)

desa Juhar. Akan tetapi kebutuhan masyarakat desa Juhar semakin meningkat terutama dalam hal untuk mencapai kesejahteraan hidup. tanah-tanah yang dijadikan sebagai lahan pertanian oleh masyarakat desa Juhar tersebut tergolong produktif karena kandungan humusnya cukup tinggi hal ini tidak terlepas dari keberadaan desa Juhar di kelilingi oleh bukit-bukit serta bekas pelapukan tumbuh-tumbuhan yang dirambah ketika penduduk generasi pertama menetap di desa Juhar, selain itu bukit-bukit tersebut memiliki cadangan air sehingga membuat desa Juhar di aliri oleh sungai-sungai meski tergolong kecil akan tetapi sungai-sungai tersebut cukup memenuhi irigasi pertanian dan kebutuhan akan air minum masyarakat desa Juhar.

2.2. Keadaan Demografis

Di dataran tinggi Karo, Kuta sebagai kesatuan teritorial yang luas dihuni oleh keluarga-keluarga yang berasal dari satu klen disebut kesain. jadi kesain merupakan bagian-bagian dari suatu kuta, sebab kuta biasanya terdiri dari penduduk yang berasal dari klen yang berbeda-beda.

keluarga sada nini adalah suatu kelompok kekerabatan di dalamnya termasuk semua kaum kerabat patrilinial yang masih diingat atau dikenal kekerabatannya. suatu kelompok kekerabatan yang besar dalam masyarakat karo adalah merga, tetapi istilah

merga sendiri mempunyai beberapa pengertian. merga bisa berarti klen besar yang

patrilineal, misalnya merga Ginting, Sembiring, Tarigan, Perangin-angin, Karo-karo. selain itu merga pada orang Karo bisa juga berarti bagian dari klen besar patrilineal, misalnya Barus, Suka, Pandia, Singarimbun, Tambun dan sebagainya.

(4)

nama marga menunjukkan nama dan nenek moyang asalnya. jika misalnya seorang Karo bernama Perangin-angin Bangun, maka hal itu tiduk berarti bahwa dulu nenek moyangnya bernama Bangun, anak dari si Perangin-angin.

Penduduk asli desa Juhar adalah marga Tarigan yang berasal dari daerah desa Lingga, tidak ada bukti yang pasti mengenai Tahun kedatangan marga Tarigan ke daerah Juhar akan tetapi dari penuturannya dan informasi dapat di prediksi bahwa marga Tarigan sudah mulai bermukim di daerah tersebut dan Desa Juhar mulai dikenal orang-orang di sekitar daerah tersebut pada Tahun 1700 akan tetapi masyarakatnya terdiri hanya beberapa keluarga saja dan kemudian di susul oleh marga Peranginangin dan marga Ginting9.

Ketiga klan klompok marga masyarakat tersebut kemudian menetap bersama dan membangun desa Juhar baik dari sistem mata pencaharian hingga pemerintahan desa Juhar tersebut. Sistem adat karo adalah pola pemerintahan tradisional yang dibawa oleh pemuka kampung di desa Juhar, kebiasaan-kebiasaan adat yang turun-temurun membentuk pola kehidupan masyarakat desa Juhar. Sehingga dalam kesehariannya masyarakat desa Juhar memakai bahasa karo dalam komunikasi sehari-hari.

setiap kuta dikelilingi oleh satu parit, suatu dinding tanah yang tinggi dan rumpun-rumpun bambu yang tumbuh rapat. Hal itu dimaksudkan sebagai pertahanan terhadap serangan-serangan musuh dari kuta lain. memang dahulu secara tradisional kampung-kampung dibangun dengan mengutamakan segi keamanan. biasanya didirikan dengan batas-batas yang jelas, seperti batas-batas alam, misalnya dengan menanam pohon bambu

(5)

yang rapat sekali sehingga tidak bisa dimasuki oleh musuh. untuk pendirian kampung atau kuta juga demikian halnya.

Pada sebuah kampung terdapat dua atau lebih deretan rumah-rumah, diantara rumah-rumah itu terdepat pekarangan yang cukup luas, biasanya dijadikan tempat tempat berbagai kegiatan, misalnya tempat upacara pesta perkawinan, upacara kematian dan sebagainya.

Di pekarangan halaman kuta sering ada dibangun lumbung-lumbung untuk

menyimpan padi ( yang dalam bahasa Karo disebut sapo page) dan lesung. Di daerah Karo, lumbung padi juga berfungsi sebagai tempat berkumpul atau tempat untuk tidur bagi para pemuda.

Dari hasil wawancara dengan penduduk setempat maupun petugas kecamatan tak diperoleh keterangan tentang adanya rumah-rumah biasa yang didirikan oleh sebuah keluarga dalam arti kata rumah untuk keluarga batih, Pada umumnya sumber-sumbur menyebutkan pendirian rumah adat, yaitu rumah besar sebagai perwujudan ketentuan adat. Sebagian kampung didirikan dengan gotong-royong, demikian pula rumah-rumah adat di dalam kampung didirikan sesuai dengan prinisip adat. jadi yang disebut rumah adat oleh karena merupakan lambang perwujudan adat masyarakat gotong-royong dilihat dari cara pendiriannya, fungsinya, semuanya bersendikan kepada adat istiadat.

Di atas disebutkan secara tradisional kampung-kampung orang Batak didirikan di tempat yang dipilih strategis, yakni dengan memperhatikan segi keamananan, tidak hanya terhadap serangan sesama manusia, tetapi juga serangan atau gangguan binatang-binatang buas seperti harimau, Gajah, Beruang, dan sebagainya, maka diperkirakan rumah yang

(6)

pertama kali didirikan oleh manusia adalah berupa adat yang oleh orang karo disebut dengan Siwaluh jabu.

Pertimbangan keselamatan adalah sangat penting dalam pendirian rumah adat harus dibangun kokoh, bahkan dengan dindingnya yang miring juga adalah erat berkaitan dengan faktor keamanan dan keselamatan pada waktu itu. Populasi yang semakin besar jumlahnya menyebabkan semakin bertambah banyak didirikan dan perlahan-lahan diikuti oleh pendirian rumah-rumah biasa untuk masing-masing keluarga. jadi disamping rumah adat, lambat-laun barulah berdiri rumah-rumah pribadi milik keluarga.

Seperti desa-desa pertanian lainnya, bentuk pemukiman penduduk desa Juhar memanjang dengan rumah-rumah yang menghadap jalan. akan tetapi bentuk ini berubah setelah penduduk yang menetap di desa Juhar sudah semakin ramai. Awalnya rumah-rumah di desa Juhar masih berbentuk rumah-rumah adat Karo yang biasa dikenal dengan

siwaluh jabu.

Masyarakat karo mempunyai rumah adat yang disebut “Siwaluh jabu”, yaitu rumah adat yang terdiri dari delapan jabu. berarti bahwa rumah adat siwaluh jabu di huni oleh delapan keluarga. kehidupan kedelapan keluarga ini diatur menurut ketentuan adat. oleh karena pembagian rumah atas kedelapan ruangan dan dihuni delapan keluarga itulah sebabnya rumah adat Karo disebut “Siwaluh Jabu”. Dengan demikian diantara rumah-rumah adat sub-sub suku bangsa Batak bahwa rumah-rumah adat karo yang disebut “Siwaluh Jabu” adalah yang terbesar dibandingkan dengan rumah adat sub-sub suku Batak lainnya. bahkan pernah ada rumah adat yang lebih besar lagi, yakni dihuni oleh 16 keluarga, yang disebut “empat ture” atau rumah adat dengan empat sisi pintu muka seperti yang dijumpai di kampung Batu Karang.

(7)

Selain rumah adat Karo yang jauh lebih besar dari pada rumah-rumah adat kelima sub suku bangsa Batak lainnya, rumah adat Orang Karo masih mempunyai keistimewaan khusus yang lain. Yaitu rumah adat Karo mempunyai “ture”, ialah semacam teras, satu berada di pintu belakang. oleh sebab rumah adat Batak adalah rumah panggung (bertiang), maka letak teras adalah setelah kita menaiki tangga, jadi sebelum masuk kedalam rumah adat. Sesuai dengan kedudukan rumah adat, dari mana terpencar adat-istiadat yang kuat dan kokoh, maka ture juga adalah pelambang adat adat-istiadat. Fungsinya adalah sebagai tempat pertemuan dan bercengkrama antara pemuda dengan gadis-gadis penghuni rumah adat tersebut di malam hari. Pada malam hari biasanya anak-anak gadis dari rumah adat itu duduk berkumpul di ture dengan diterangi lampu teplok atau terkadang tanpa lampu jika terang bulan. Anak-anak gadis duduk-duduk sambil menganyam tikar atau sumpit.

Dalam keadaan demikian, oleh para pemuda yang kebetulan melintas atau mungkin juga sengaja lewat, setelah menyapa terlebih dahulu dan diperkenankan untuk singgah, maka selanjutnya mereka pun bergabung dan di ture itulah mereka bercengkrama. Dengan demikian ture pada rumah adat siwaluh jabu berfungsi sebagai sarana tempat bertemu dan berkenalan antara pemuda dan pemudi berdasarkan adat di daerah Karo. Dari sinilah selanjutnya terjalin hubungan perkenalan lebih serius untuk jenjang memadu kasih. Sebagaimana diketahui bahwa jaman dahulu segala sesuatu tindakan individu-individu diatur oleh adat. Dalam arti kata misalnya tidak ada pertemuan sepasang muda-mudi secara sembunyi-sembunyi di tempat sunyi maupun secara terang-terangan, berdua-duan, tetapi ture lah adat memperbolehkannya.

(8)

Rumah Siwaluh jabu adalah rumah adat masyarakat Karo yang berarti rumah

yang dihuni oleh delapan keluarga, dimana kehidupan di dalamnya diatur berdasarkan adat. Pada proses pembangunannya, banyak upacara yang harus dilalui untuk membangun sebuah rumah si waluh jabu, seperti upacara persada arih atau rembuk antara Bena kayu atau penghulu rumah dengan istrinya, lalu bena Kayu menanyakan pihak kalimbubu 1, kemudian Bena Kayu menanyakan pihak Kalimbubu 1, kemudian Bena kayu memberitahukan pihak Anak Beru 2 dan terakhir memanggil Biak Senina 3, sehingga terkumpul delapan keluarga.

Dengan praktek kehidupan yang berlangsung dalam rumah tersebut bahwa kesemua keluarga mempunyai fungsi dan kedudukannya masing-masing. kedelapan keluarga mempunyai fungsi dan kedudukannya masing-masing. kedelapan keluarga berfungsi dan bertugas sebagai berikut:

Rumah tangga nomor 1 disebut jabu bena kayu atau jabu Raja, yaitu kamar yang ditempati oleh orang yang tertinggi kedudukannya dalam rumah adat. Keluarga ini adalah yang mengepalai semua jabu atau ketujuh keluarga lainnya. keluarga di jabu Raja ini adalah “penghulu taneh” atau juga disebut “merga taneh”, di desa juhar adalah merga Tarigan, Ginting dan Peranginangin.

 Rumah tangga nomor 2 disebut jabu ujung kayu, yaitu merupakan anak beru dari

jabu Raja ( rumah tangga nomor 1 ). kepala keluarga rumah tangga nomor 2 ini

berfungsi atau berkedudukan sebagai pembicara atau mewakili penghulu taneh. atau juga disebut jabu ujung kayu karena jabu yang ditempati keluarga anak beru berada paling ujung Siwaluh Jabu.

(9)

 Rumah tangga nomor 3 terletak beseberangan dengan Jabu bena Kayu, yang disebut Jabu bena lepar bena kay, yaitu jabu yang didiami oleh anak dari

penghulu taneh ( Rumah tangga nomor 1 ). Kepala keluarga pada jabu lepar bena kayu disebut jabu sungkun berita yaitu bertugas untuk menyampaikan berita.

Maksudnya bahwa dengan fungsi Sungkun berita, maka tugas utamanya adalah untuk mendapatkan berita apa yang terjadi maupun isu di luar rumah untuk kemudian berita apa yang terjadi maupun isu diluar rumah untuk kemudian berita apa yang terjadi maupun isu di luar rumah untuk kemudian berita yang diperoleh ditengah-tengah masyarakat disampaikan kepada jabu raja atau penghulu taneh.  Rumah tangga nomor 4 disebut lepar ujung kayu atau dinamakan juga jabu

simanganminem, yang letaknya berseberangan dengan rumah anak beru ( jabu

nomor 2 ). Rumah ini dihuni oleh piihak saudara dari orang tua isteri rumah tangga nomor 1, yaitu Kalimbubu. Misalnya menyelenggarakan upacara pesta, maka keluarga lepar ujung kayu yaitu kalimbubu akan diundang dan sangat dihormati yang diberi tempat duduk istimewa dimana kalimbubu hanya duduk-duduk saja serta makan dan minum.

 Rumah tangga nomor 5 disebut Sedapuren bena kayu, yang letaknya bersebelahan dan satu dapur dengan rumah tangga nomor 1. penghuni jabu ini biasanya di tempati oleh mereka yang bertugas dengan fungsi sebagai saksi dan pendengar apabila diselenggarakan musyawaran atau pembicara penting dalam rumah

siwaluh jabu. Rumah tangga nomor 5 ini juga disebut anak beru menteri dari merga taneh.

(10)

 Rumah tangga nomor 6 disebut jabu arinteneng, yaitu jabu yang ditempati oleh anak-anak dari rumah tangga nomor 4 (lepar ujung kayu). Fungsi keluarga ini sebagai penjaga keamanan bagi seluruh penghuni rumah adat, sehingga mereka semua yang mendiami rumah merasa tentram dan aman.

 Rumah tangga nomor 7 disebut jabu bicara guru yang mendiami oleh guru (dukun). letak jabu ini bersebelahan dengan rumah tangga lepar ujung kayu ( rumah tangga nomor 4). Tugas bicara guru ini adalah untuk membuat obat-obatan, menetapkan hari baik atau bulan baik dalam melakukan sesuatu pekerjaan misalnya kapan mulai menanam padi, memasuki rumah baru, upacara pesta perkawinan, meramal hari kelahiran seorang anak, untuk mengusir roh-roh yang berhubungan dengan kepercayaan dan sebagainya.

 Rumah tangga no 8 disebut jabu sedapuren lepar bena kayu, letaknya bersebelahan dengan rumah tangga nomor 3 (jabu lepar bena kayu). rumah tangga nomor 8 ini punya kewajiban khusus, apabila jabu bena kaya kedatangan tamu jauh terutama berasal dari kampung lain yang jauh letaknya, maka dalam hal ini isteri dan rumah tangga nomor 8 berkewajiban menyodorkan sekapur sirih sebagai penghormatan kepada tamu. Setelah itu barulah dinyatakan apa maksud kedatangan tamu itu. maksud kedatangan tamu tersebut kemudian disampaikan kepada bena kayu ( rumah tangga nomor 1) dan sesudah itu barulah pembicaraan dilanjutkan oleh keluarga jabu

bena kayu dengan tamunya.

Demikian keadaan susunan jabu-jabu yang dihuni oleh keluarga-keluarga dalam rumah siwaluh jabu yang kesemuannya berjumlah delapan keluarga itu. Setiap keluarga mempunyai fungsi dan tugas masing-masing, sesuai dengan ketentuan adat rumah

(11)

siwaluh jabu. Fungsi dan tugas masing-masing, keluarga pada satu rumah adat demikian

juga berlaku pada rumah-rumah siwaluh jabu lainnya. Dengan demikian adat rumah siwaluh jabu, bahwa di dalamnya setiap jabu atau keluarga mempunyai fungsi dan tugas khusus masing-masing, sehingga kehidupan dalam rumah siwaluh jabu menjadi tentram.

Dalam rumah siwaluh jabu kedudukan bena kayu sebagai pendiri kuta dipandang sangat tinggi. ada keluarga di dalam rumah itu yang tugasnya khusus untuk menerima atau menyambut tamu terutama bena kayu, yaitu maksud dan tujuan tamu tersbut, dan setelah itu barulah menyampaikannya kepada jabu bena kayu. Dengan demikian jabu yang berhak menghadapi dan bertanggung jawab urusan luar bagi siwaluh jabu adalah jabu bena kayu, yaitu sebagai merga taneh. Dalam menerima tamu, terutama tamu dari jauh dalam arti dari luar kampung yang berkewajiban menerimanya adalah Bena kayu. Rumah Siwaluh Jabu mempunyai arti dan simbol tersendiri yaitu:

 Bentuk Rumah menyimbolkan Perempuan yang sedang bersila dan dua tangan yang menangkup, menyembah Tuhannya.

 Pintu Rumah melambangkan rahim perempuan sesuai dengan bentuk tubuh perempuan. Pintu menyimpan makna daur hidup, selain makna Rahim, dahulu pintu adalah tempat perempuan melahirkan sambil memegang pegangan pintu bagian luar rumah.

 Warna-warna yang menghiasi Rumah si waluh jabu memiliki makna, Warna hitam mempunyai makna dunia di luar manusia dengan kekuatan tersembunyi. Warna Putih bermakna kesucian leluhur. Warna biru bermakna matahari. Warna merah bermakna keberanian.

(12)

Sedangkan simbol yang sangat sering ditemukan dalam Rumah adat Siwaluh jabu adalah:

 Ijuk pada Pondasi, mempunyai makna pengusir roh jahat yang berwujud ular.

 Ornamen Tutup Dadu, pada hiasan melmelen mempunyai makna sindiran terhadap orang karo yang suka berjudi.

 Ornamen Cuping, mempunyai makna bahwa orang Karo mempunyai pendengaran yang tajam, dapat memilih berita mana yang baik dan harus didengar dan juga berita nama yang tidak baik dan tidak perlu di besar-besarkan.

 Pengeret-ret, Ornamen berbentuk cicak atau biawak kadal ini mempunyai fungsi menolak bala dan melambangkan kewaspadaan karena dipercaya tidak pernah tidur.  Kain Putih pada pertemuan kolom dan balok kayu. Makna yang terkandung adalah

adanya kehidupan dan jenis kelamin disetiap makhluk hidup termasuk kayu-kayu yang digunakan untuk mendirikan rumah. Kain putih sebagai alas atau batas agar kayu-kayu yang saling berhubungan tidak langsung berhubungan karena ditakutkan mereka berasal dari marga yang sama. Perkawinan sumbang sangat dihindari orang karo.

 Kite-kite kucing mempunyai makna kasih sayang keluarga terutama antara ibu dan anaknya. Kite-kite kucing merupakan balok tempat para-para bergantung, biasanya kegiatan ibu atau perempuan mengambil tempat di wilayah ini.

 Atap rumah yang berbahan ijuk mempunyai makna pengorbanan seorang perempuan dalan menjaga nama baik keluarga.

 Tanduk kerbau pada bahagian puncak bermakna memberi kekuatan dan semangat seorang perempuan dalam menjaga nama baik keluarga.

(13)

 Tanduk kerbau pada bahagian puncak bermakna memberi kekuatan dan semangat orang karo untuk bekerja keras. Fungsinya untuk menolak bala.

 Tiga Bagian dari bentuk dasar dari rumah adat dan 3 lubang pada gagang pintu dan angka 5 pada tangga bagian depan. Melambangkan keberadaan 3 tuhan atau 3 kekuatan serta angka 5 melambangkan 5 merga10.

Pada umunya masyarakat Desa Juhar (Juhar Tarigan, Juhar Ginting dan Peranginangin) menggunakan rumah Siwaluh jabu sebagai tempat tinggal dan biasanya rumah siwaluh jabu yang digunakan tersebut diwariskan secara turun temurun. rumah siwaluh jabu tersebut berdiri berderetan menghadap jambur yang ada di desa Juhar. adapun jumlah keberadaan Rumah Siwaluh jabu tersebut dapat di lihat jumlahnya berdasarkan tabel dibawah ini.

Tabel Jumlah Rumah Adat Siwalu Jabu

No  Desa  Jumlah 

1.  Juhar Tarigan  16 

2.  Juhar Peranginangin  9 

3.  Juhar Ginting  27 

  JUMLAH  52 

Sumber: kantor Balai Desa Juhar (Tahun 1984)

Seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk desa Juhar, lama-kelamaan keberadaan Rumah Siwaluh Jabu tersebut sudah mulai berkurang jumlahnya hal ini disebabkan berbagai faktor, antara lain adalah: faktor usia rumah siwaluh jabu tersebut, kepadatan penduduk dan lain sebagainya. perlahan namun pasti Rumah-Siwaluh Jabu

(14)

tersebut semakin berkurang dan langka sehingga di tahun 1970-an di desa Juhar sudah mulai langka ditemukan masyarakat yang masih menetap di rumah siwaluh jabu tersebut. Meningkatnya Jumlah penduduk tersebut bukanlah karena disebabkan tingginya angka kelahiran di Desa Juhar akan tetapi adalah akibat meningkatnya jumlah pendatang untuk menetap dan mencari nafkah yang kemudian menjadi penduduk desa Juhar.

Pada umumnya masyarakat Desa Juhar memiliki sifat yang terbuka dan tidak bersifat sukisme dan itulah sebabnya para pendatang betah tinggal di desa ini. sifat keterbukaan yang dimiliki masyarakat desa ini sifat keterbukaan yang dimiliki masyarakat desa ini membentuk sifat heterogen. di luar suku Karo yang ada di desa Juhar tersebut ada juga suku lainnya yaitu suku Toba yang datang pada Tahun 1940-an dan suku Jawa yang datang Tahun 1960-an. populasi masyarakat suku Toba dan Jawa di desa Juhar memang masih minoritas dibandingkan suku karo yang merupakan penduduk awal desa Juhar dan pada umumnya mereka bermukim di daerah-daerah perladangan karena tujuan awal kedatangan mereka adalah sebagai pekerja diladang-ladang masyarakat desa Juhar.

Seperti halnya dengan desa-desa lain di tanah Karo, para pendiri desa secara otomatis jabatan penghulu atau kepala Desa di pegang oleh kelompok marga tersebut secara turun-temurun. Demikian juga halnya dengan pemilikan tanah dimana sebagian besar dikuasai oleh kelompok marga tersebut akan tetapi untuk desa Juhar kepemilikan tanah tebagi tanah berdasarkan kelompok marga yang menetap di desa Juhar yakni marga Tarigan, Peranginangin, dan Ginting.

(15)

2.3. Mata Pencaharian Penduduk

Berdasarkan produktif atau tidaknya, penduduk desa Juhar dapat dibagi menjadi dua, yaitu penduduk yang tidak produktif berdasarkan usia muda yaitu dibawah 25 tahun. kelompok ini dianggap masih dalam taraf pendidikan. Dengan demikian tidak dapat dibatalkan dalam peningkatan sosial ekonomi. kelompok yang lainnya adalah yang produktif berdasarkan usia 25 tahun ke atas dan tidak bersekolah lagi. Dalam usia 25 Tahun sudah dianggap memiliki penghasilan.

Sebelum kemerdekaan Republik Indonesia penduduk Desa Juhar memiliki mata pencaharian sebagai peetani. Adapun tanaman yang ditanami oleh masyrakat Juhar adalah Padi, Aren, Jagung, Ubi kayu. Akan tetapi pada masa penjajahan Kolonial Belanda, seluruh hasil panen tersebut di serahkan kepada Belanda sebagai imbalan yang di terima penduduk adalah hanya kebutuhan untuk makan. sehingga masyarakat tidak bisa menikmati hasil dari pertanian mereka, dengan kondisi tersebut hanya beberapa pihak yang mampu menikmati hasil tersebut hanyalah para kaki tangan Belanda yang merupakan raja Urung desa Juhar, penindasan tersebut melalui pajak yang dikenakan terhadap pemilik ladang dan seluruh warga desa Juhar.

Pajak yang dikenakan untuk masyarakat Juhar berupa tanah untuk raja Urung beserta hasil Panen dari setiap lahan yang menghasilkan panen. Tanah yang di peroleh oleh raja urung tersebut biasanya di tetapkan ketika ada pembukaan lahan, juga setiap 10% dari hasil panen warga desa Juhar akan tetapi hasil panen tersebut terkadang di rampas seluruhnya oleh Kolonial Belanda ketika sedang mengalami situasi sulit ataupun dalam situasi perang.

(16)

Walaupun alamnya cukup subur dan menghasilkan berbagai tanaman yang laku di pasaran eksport, akan tetapi keuntungan itu hanyalah untuk Belanda saja karena hal tersebut merupakan tujuan utama kolonial Belanda untuk menjajah di seluruh wilayah Nusantara. Akan tetapi sebahagian masyrakat desa Juhar juga memiliki cara untuk menjual hasil-hasil pertanian mereka yaitu dengan melalui Hutan yang bisa tembus kedaerah Dairi maupun kedaerah Tiga Binanga.

Demikian juga halnya ketika masa penjajahan Jepang, keadaan mata pencaharian masyarakat Desa Juhar semakin memprihatinkan, hal ini disebabkan keadaan masyarakat desa Juhar semakin tertekan dengan kejamnya sistem penjajahan Jepang yang lebih kejam dari pemerintahan Kolonial Belanda. Dengan masuknya Jepang kedaerah desa Juhar pada tahun 1943, banyak lahan-lahan pertanian ditinggalkan oleh penduduk desa Juhar karena melarikan diri sehingga lahan tersebut tidak terurus. Lahan-lahan yang masih produktif pun secara keseluruhan hasil panennya di serahkan oleh raja urung untuk tentara Jepang.

Pada masa kemerdekaan tahun 1945, masyarakat Desa Juhar sudah mulai kembali membangun Desa Juhar. setelah terbunuhnya Raja Urung untuk desa Juhar, membuat masyarakat desa Juhar kembali mengolah lahan-lahan pertanian mereka yang sudah sempat ditinggalkan akibat adanya penjajahan. Tanaman yang biasanya dipanen seperti Padi darat dan Sawah, Jagung, Aren dan juga Ubi Kayu. secara perlahan ekonomi masyarakat Desa Juhar mulai bangkit. Disamping itu juga masyarkat desa Juhar sudah mulai bebas untuk melakukan perdagangan tanpa adanya pajak. Dengan kondisi

(17)

demikian pada tahun 1946 di Desa Juhar sudah memiliki Pasar tradisional yang diadakan sekali dalam seminggu11.

Pasar tradisional di desa Juhar diadakan setiap hari selasa, dengan adanya pasar tradisional tersebut secara tidak langsung membuka peluang bagi masyarakat desa Juhar untuk membuka usaha-usaha dalam bentuk dagang terutama penduduk yang rumahnya berdekatan dengan pajak tradisional tersebut. Selain berdagang untuk desa Juhar, pedagang-pedagang tersebut juga berdagang kedaerah lain misalnya desa Tiga binanga, desa Munthe, bahkan juga kedaerah Dairi.

Pada akhir tahun 1960-an jumlah pedagang yang membuka usaha dagang di desa Juhar masih sedikit jumlahnya, adapun barang-barang yang di dagangkan pada umumnya antara lain, kebutuhan pokok seperti Beras, Lauk, Minyak goreng, minyak tanah. Selain itu, barang-barang dagangan lainnya berupa alat-alat pertanian. Secara ekonomis para pedagang ini memiliki perkembangan karena disebabkan masyarakat desa Juhar lebih memilih berbelanja di desa Juhar dari pada daerah lain, karena selain faktor transportasi yang belum memadai masyarakat desa Juhar juga lebih banyak menghabiskan waktunya untuk berladang sehingga keinginan ataupun waktu untuk bepergian sangat sedikit.

Pembagian kerja bagi masyarakat desa Juhar dilakukan berdasarkan kedudukan sosial antara wanita dan pria ada perbedaan aktivitas. pada masa senggang ataupun sehabis dari ladang para ibu-ibu rumah tangga juga anak-anak biasanya menganyam tikar yang terbuat dari pandan. Tikar pandan anyaman tersebut banyak dihasilkan masyarakat desa Juhar, karena tumbuhan pandan sebagai bahan bakunya banyak ditemukan di desa Juhar, selain itu juga tikar pandan tersebut digemari banyak orang sehingga harga tikar

(18)

tersebut lumayan menguntungkan. Kerajinan tangan tersebut mulai di gemari sejak tahun 1921.

Selain itu masyarkat desa Juhar juga mengandalkan hasil-hasil dari tanaman palawija yang ditanami masyarakat dari awal dimulainya pertanian di desa Juhar tersebut. Tanaman palawija tersebut antara lain jagung, Ubi kayu, kacang tanah, kacang hijau, dan juga kacang kedelai. Akan tetapi rata-rata masyarakat desa Juhar lebih memilih menanam Jagung yang sangat memungkin untuk di tanami dan juga memiliki harga yang lebih stabil.

Pada tahun 1960-an adalah masa kebangkitan perekonomian masyarakat desa Juhar, karena lahan-lahan pertanian sudah mulai di kelola masyarakat. Akan tetapi pada tahun 1970 ada perubahan yang menonjol bagi pertanian masyarakat desa Juhar, semula masyarakat desa Juhar masih bisa menanam jeruk akan tetapi karena perubahan iklim yang terjadi membuat tanaman jeruk tidak cocok lagi di tanami oleh masyarakat desa Juhar di lahan pertaniannya.

Sebagai pengganti tanaman jeruk yang tak bisa tumbuh lagi, masyarakat desa Juhar kemudian mulai menanami tanaman cengkeh di lahan pertanian mereka. Masyarakat Juhar juga beternak dalam melengkapi usaha-usaha mata pencaharian mereka. Hewan berkaki empat pun kemudian mulai diternakkan guna untuk menyokong ekonomi rumah tangga masyarakat desa Juhar.

Awalnya Sapi/Lembu dan Kerbau merupakan hewan dimanfaatkan untuk membajak sawah masyarakat, karena populusinya cocok berkembang di daerah desa Juhar maka hewan tersebut salah satu hewan yang kemudian diternakkan. Selain itu, hewan peliharaan lainnya yang diternakkan oleh masyarakat desa Juhar adalah

(19)

Kambing/Domba, dan Babi. Hewan-hewan ini sangat mambantu perekonomian masyarakat desa Juhar termasuk juga untuk mencukupi kebutuhan disaat dilaksanakan pesta adat tanpa harus mendatangkan dari daerah lain.

2.4. Sistem Kepercayaan Masyarakat Desa Juhar.

Masyarakat Karo secara umum meyakini selain dihuni oleh manusia alam juga merupakan tempat bagi roh-roh gaib atau makhluk-makhluk lain yang hidup bebas tanpa terikat pada suatu tempat tertentu, untuk itu diperlukan beberapa aktivitas-aktivitas yang dapat menjaga keseimbangan alam. Segala kegiataan yang berhubungan dengan roh-roh gaib dan upacara ritual, suatu kompleks penyembuhan, guna-guna dan ilmu gaib, merupakan sebagai aspek penting dalam kepercayaan tradisional masyarakat Karo.

Alam semesta merupakan suatu kesatuan yang menyeluruh, yang dapat dibagi secara vertikal (tegak lurus) dan secara horizontal (mendatar). Secara Vertikal, alam dapat dibagi dalam tiga ke dalam tiga bagian yang disebut benua, yaitu: benua atas, benua tengah dan benua teruh yang masing-masing dikuasai oleh Dibata datas, Dibata tengah dan Dibata teruh yang merupakan suatu kesatuan yang disebut Dibata si telu (Tuhan yang tiga) atau dianggap sebagai tunggal yang disebut juga Dibata kaci-kaci ( Kaci-kaci artinya Tuhan Perempuan) sebagai penguasa tunggal12.

Salah satu hal yang menjadi perhatian dalam penulisan ini adalah bagaimana upacara yang bercampur dengan kebudayaan suatu suku bangsa karena merupakan salah satu hal yang sangat lahiriah. selain itu juga, upacara keagamaan itu sendiri berhubungan dengan kepercayaan tradisional Karo yang disebut dengan pemena. demikian lah yang

(20)

terjadi di masyarakat desa Juhar yang masih memiliki keterikatan kuat dengan upacara-upacara tradisional yang sangat kental dengan kehidupan sehari-hari.

Secara umum masyarkat Karo meyakini alam semesta ini di bagi dalam delapan penjuru mata angin yaitu:

 Purba (Timur)  Aguni (Tenggara)  Daksini (Selatan)  Nariti (Barat Daya)  Pustima (Barat)  Mangabia (Barat Laut)  Butara (Utara)

 Irisen (Timur Laut)

Penjuru mata angin ini disebut desa si waluh (delapan arah), berasal dari kata desa yang berarti arah dan si waluh yang berarti delapan. Penjuru mata angin ini dapat dibedakan atas dua sifat yang berbeda, yaitu desa ngeluh (arah hidup) dan desa mate (arah mate). Desa-desa yang digolongkan sebagai arah hidup adalah: Timur, Selatan, Barat, dan Utara. Selain itu digolongkan sebagai arah mati. Penggolongan kepada arah hidup dan arah mati didasarkan kepada pemikiran bahwa desa-desa timur, selatan, barat dan utara dikuasai oleh roh penolong yang memberikan kebahagian kepada manusia.

Sebaliknya pada arah mati terdapat mahluk-mahluk gaib yang jahat dan suka mencelakakan manusia. Sesuai dengan pemikiran ini maka posisi arah rumah dan areal pemakaman penduduk suatu desa mengikuti arah hidup (termasuk desa Juhar). Posisi rumah pribadi mayoritas menghadap ke arah utara dan selatan. Sedangkan posisi

(21)

rumah-rumah adat mayoritas menghadap ke arah timur dan barat. Dalam kehidupan sehari pembagian yang diikuti dengan pembagian Dibata ternyata tidak begitu penting.

Bagi masyarakat Karo, pada umumnya yang dianggap penting adalah Dibata kaci-kai sebagai kesatuan kesuluruhan dari Dibata. Menurut mereka Dibata adalah tendi (jiwa) yang dapat hadir dimana saja, kekuasannya meliputi segalanya dan dianggap sebagai sumber segalanya. Hal ini sesuai dengan keyakinan orang-orang Karo yang sangat dengan suatu bentuk kepercayaan atau keyakinan terhadap tendi, yaitu suatu kehidupan jiwa yang kebaradaannya dibayangkan sama dengan roh-roh gaib.

Orang karo meyakini bahwa alam semesta di isi oleh sekumpulan tendi. Kesatuan dari seluruh tendi yang mencakup segalanya ini disebut Dibata. Setiap manusia dianggap sebagai kesatuan bersama dari Kula (tubuh), tendi (Jiwa), pusuh peraten (perasaan), Kesah (nafas), dan ukur (fikiran). Setiap bagian berhubungan satu sama yang lainnya, kesatuan ini disebut sebagai keseimbangan dalam manusia. Hubungan yang kacau atau tidak beres antara satu sama lain dapat menyebabkan berbagai bentuk kerugian seperti sakit, malapetaka, dan akhirnya kematian.

Daya pikiran manusia dianggap bertanggung jawab ke luar guna menjaga keseimbangan dalam dengan keseimbangan luar yang meliputi dunia gaib, kesatuan sosial dan lingkungan alam sekitar. Tercapainya suatu keseimbangan dalam manusia akan memperlihatkan berbagai keadaan menyenangkan, seperti, malem (sejuk/tenang), Ukur malem (pikiran tenang), malam ate (hati sejuk/tenang), malem pusuh (perasaan sejuk/tenang). oleh karena itu kata malem digunakan juga sebagai arti sehat atau kesembuhan dalam bahasa karo.

(22)

Masyarakat yang menetap di desa Juhar pada awalnya menganut sistem kepercayaan nenek moyang yang di bawa dari daerah asal mereka. Tradisi kepercayaan nenek moyang tersebut masih sama pada masyarakat Karo di daerah dataran tinggi Karo secara keseluruhan. Di samping pertumbuhan agama Kristen yang sedang masuk kedaerah kabupaten Karo, sistem kepercayaan terhadap nenek moyang tersebut belum bisa dihilangkan dan masih ada yang di pertahankan meskipun sudah memeluk agama pada saat itu.

Masyarakat desa Juhar menganggap kepercayaan identik dengan adat istiadat yang mereka warisi dari nenek moyang mereka, sehingga meskipun mereka sudah menganut kepercayaan Agama Kristen mereka masih melaksanakan upacara tradisional antara lain, “ Erpangir Kulau13. memberi sesajen di tempat-tempat yang dianggap keramat agar roh nenek moyang memberi rejeki.

Kemudian ada lagi yang disebut Guru, guru ini adalah orang yang mempunyai indra keenam, fungsinya selaian sebagai “dokter” juga peramal. Tidak hanya bagi masyarakat Juhar akan tetapi mayoritas masyarakat Karo untuk mensinonimkan Guru dengan kata Dukun. Guru ini sangat berperan dalam ritual-ritual keagamaan atau upacara tradisional dapat didefenisikan sebagai upacara yang diselenggarakan oleh warga masyarakat sejak dahulu sampai sekarang dalam bentuk tata cara yang relatif tetap. Pendukungan terhadap upacara itu dilakukan masyarakat karena dirasakan dapat memenuhi suatu kebutuhan, baik secara individual maupun kelompok bagi kehidupan mereka.

13 Erpangir Kulau adalah upacara mandi untuk mengusir roh jahat atau menyucikan diri dari pengaruh roh jahat, memberi sesajian kepada yang maha kuasa supaya diberi rejeki. Sering juga dilakukan dalam upacara perkawinan, membuat nama anak dan menolak penyakit yang dibuat oleh roh- roh jahat.

(23)

Konsep guru ini berhubungan erat dengan kepercayaan tradisional Karo yang disebut Pemena atau Perbegu. Penyebutan Pemena ini disepakati sejak tahun 1946 oleh para pengetua adat dan guru-guru mbelin (dukun/tabib terkenal). Perubahan kata dari perbegu menjadi pemena ini dimaksudkan untuk menghilangkan kesalah pahaman orang-orang di luar orang-orang Karo atas pengertian kata perbegu. Kata Perbegu bagi orang-orang di luar orang Karo seolah-olah menunjuk ke arah penyembahan kepada setan, hantu dan roh jahat lainnya.

Menurut para guru, terganggunya hubungan-hubungan dalam diri seseorang berarti adanya keadaan tidak seimbang didalam tubuhnya, yaitu ketidakseimbangan antara tubuh, jiwa, perasaan, nafas dan pikiran. Dengan menggunakan jeruk purut pada upacara berlangir (erpangir), seorang guru akan menyiramkannya ke kepala pasiennya. Air jeruk diyakini menimbulkan rasa sejuk. Sementara itu kepala si pasien di pilih dengan pertimbangan bahwa kepala adalah tempat dari pikiran dan sebagai pusat dan pimpinan dari jiwa tersebut. oleh karena itu, seorang dalam beberapa ritusnya yang bertujuan untuk mencapai keseimbangan pada diri manusia akan menggunakan air jeruk yang malem.

Air jeruk dianggap sebagai lambang dari alam semesta yang mewakili keseimbangan luar tersebut akan dimasukkan ke dalam diri manusia yang mewakili keseimbangan dalam itu sendiri. Tindakan ini diyakini akan menyempurnakan keseimbangan dalam diri seseorang. Orang Karo meyakini bahwa alam sekitar diri manusia itu sendiri.

Alam sekitar ini di digolongkan ke dalam beberapa inti kehidupan yang masing-masing dikuasai oleh nini beraspati (nini = nenek), yaitu; beras pati taneh (inti kehidupan

(24)

hutan), beraspati kabang (inti kehidupan udara). Dalam ornamen karo, nini beraspati ini dilambangkan dengan gambar cecak putih yang dianggap sebagai pelindung manusia. Beraspati, oleh penganut pemena atau guru khususnya dibagi lagi kedalam beberapa jenis lingkungan alam atau tempat dan keadaan.

Beraspati lau (inti kehidupan) misalnya, dibedakan lagi atas sempuren (air terjun), lau sirang (sungai yang bercabang), tapin ( tempat mandi di sungai) dan lain-lain. Beraspatih rumah (inti kehidupan rumah), dibagi lagi atas bubungen (bubungan), pintun (pintu), redan (tangga), palas (palas), dialaken (tungku dapur), para (tempat menyimpan alat-alat masak di atas tungku dapur) dan embang (jurang), lingling (tebing), mbal-mbal (padang rumput). Ini yang menjadi dasar setiap guru di Karo selalu mengadakan persentabin (mohon ijin) kepada nini beraspati sebelum melakukan ritual, tergantung dalam konteks mana upacara akan dilakukan, apakah kepada beraspati taneh, beras pati air, beraspati kerangen atau beraspati kabang dan kadang-kadang para guru menggabungkan beberapa beraspati yang dianggap penting dapat membantu kesuksesan suatu upacara ritual yang mereka adakan, seperti dalam upacara perumah begu seorang guru si baso mengadakan persentabin kepada beraspati taneh dan beraspati rumah agar mereka masing-masing sebagai inti kehidupan tersebut tidak mengganggu atau menghambat jalannya upacara.

Dalam melaksanakan sebuah ritual, biasanya dilakukan dengan meletakkan sebuah sirih yang biasa disebut belo cawir (sirih, kapur, pinang dan gambir). Belo cawir ini merupakan lambang diri manusia14. Adanya kehidupan pada manusia disebabkan bekerjanya ketiga unsur tersebut sebagai metabolisme tubuh manusia yang saling mengatur peradaran darah dalam tubuh.

(25)

Masyarakat Karo juga mempunyai pandangan mempunyai perbedaan yang sifatnya umum antara alam gaib dan alam biasa. Alam gaib ditunjukkan dengan pemakaian kata ijah (di sana) dan alam manusia biasa dengan kata ijenda (di sini). Dalam peristiwa pemanggilan roh-roh orang mati tersebut/datang dari negri seberang, sedangkan alam biasa tempat kehidupan manusia, tidak ada seorangpun yang tahu pasti dimana, hal ini kata seberang yang dalam pengertian para guru dianggap melewati suatu batas yang ditandai oleh lau (air), sehingga disebut negri sebrang, harus menyebrangi sesuatu untuk sampai ketempat tersebut yang disebut sebagai i jah (di sana).

Dalam hal ini diungkapkan bahwa lau (air) merupakan penghubung antara manusia dan roh-roh yang telah mati. Hal ini pula yang menyebabkan banyak guru memakai air yang ditempatkan dalam suatu mangkuk putih, terutama jika guru merasa bahwa penyebab dari kedaan yang tidak seimbang pada diri manusia tersebut disebabkan karena ada hubungannya dengan roh-roh orang mati yang mengganggu. sebutan i jah dan i jenda tidak berarti adanya suatu wujud pasti tertentu sebagai alam gaib. Kata tersebut hanya untuk membedakan alam gaib dengan alam biasa.

Alam gaib sendiri berada bersama-sama di sekitar manusia. semua tempat sektiar manusia adalah juga alam gaib, namun alam gaib tersebut digambarkan sebagai suatu alam yang tidak terlihat. Dalam tempat tinggal kita ini pun banyak sekali orang halus yang tidak terlihat oleh mereka yang tidak dua lapis matanya, demikian juga dengan keramat, sangat banyak juga tempat-tempat yang di keramatkan terutama di hutan-hutan juga.

(26)

melalui jiwa yang dimiliki oleh manusia itu sendiri. itulah sebabnya dalam melakukan hubungan dengan orang-orang yang telah meninggal, seorang guru (guru si baso) menggunakan tendinya dengan bantuan tendi-tendi yang lain disebut jenujung (junjungan). junjungan itu adalah sebagai kekuatan dari luar diri seorang guru yang dapat membantunya sebagai roh gaib pelindung dirinya. Bagi orang Karo guru harus memiliki kemampuan meramal, membuat upacara ritual, berhubung dengan roh atau mahluk gaib, perawatan serta penyembuhan kesehatan dan juga memiliki pengetahuan yang mendetail mengenai berbagai hal yang berhubungan dengan kehidupan.

Beberapa dari upacara-upacara ritual ini masih di temukan di masyarakat desa Juhar terutama untuk penyembuhan beberapa penyakit demi mencapai keseimbangan dalam individu, upacara-upacara tersebut ada yang bersifat individual dan ada juga yang bersifat komunal yang meliputi kepentingan masyarakat desa Juhar. untuk tujaan komunal, ritual ini cenderung dimaksudkan untuk mencegah malapetaka dalam tingkat desa, atau untuk keselamtan penduduk desa dari suatu ancaman keselamatan ataupun bencana alam.

Perkembangan agama kristen di tanah Karo mulai masuk kedaerah Juhar, setelah berdirinya Gereja Batak Karo Protestan GBKP, agama Kristen mulai menyebar luas di tengah-tengah masyarakat desa Juhar. Di bukanya sekolah penginjilan di daerah Brastagi memudahkan para penginjil untuk masuk keseluruh daerah-daerah yang ada di dataran tinggi karo, sehingga sangat banyak desa-desa di daerah Karo mayoritas masyarkatnya menerima agama Kristen, selain itu faktor lainnya adalah para penginjil di daerah Karo merupakan pribumi asli sehingga tidak susah untuk beradaptasi hal ini lah yang menyebabkan agama kristen masuk ke daerah Juhar.

(27)

Sebelum berkembang masyarakat Juhar sudah mulai mengenal agama Kristen karena telah sering mendengar dari keluarga maupun melihat langsung ketika bepergian kedaerah-daerah yang telah mengenal ajaran Kristen. Sebelum masa kemerdekaan, sistem kepercayaan masyarakat desa Juhar masih menganut tradisi-tradisi lama meskipun beberapa rumah tangga telah mengenal dan mengaku sebagai pemeluk agama Kristen Protestan.

Pada tahun 1966 mulailah berdiri gedung gereja di desa Juhar, berdirinya gedung gereja tersebut tidak terlepas dari berkembangnya penyebaran ajaran kristen di desa Juhar. Gereja yang pertama berdiri di desa Juhar adalah Gereja Batak Karo Protestan. Dengan berdirinya GBKP di daerah Juhar, mayoritas masyarakat Juhar mulai mengikuti tata cara ibadah agama Kristen dalam menjalankan dan meyakini kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

Dengan adanya doktrinisasi agama Kristen bagi masyarakat Juhar, secara perlahan-lahan tradisi lama yang sudah lama dijalankan mulai tersaring dan harus di sesuaikan dengan ajaran Kristen tersebut, banyak upacara-upacara maupun ritual-ritual yang bertentangan dengan ajaran kristen kemudian di tinggalkan masyarakat demi kesucian hidup sesuai dengan ajaran agama Kristen itu sendiri. Akan tetapi, beberapa tradisi yang tidak bertentangan masih dijalankan. Hingga tahun 1970-an agama yang berkembang di desa Juhar hanyalah agama Kristen Protestan dengan di bawah naungan GBKP.

Gambar

Tabel Jumlah Rumah Adat Siwalu Jabu

Referensi

Dokumen terkait

Beberapa parameter uji yang diteliti pada analisis limbah cair industri rumah tangga perikanan dan penentuan bobot adsorben optimum adalah parameter warna secara

Lima desa yang berbatasan dengan laut yaitu, Desa Bawalipu, Desa Lampenai, Desa Balo-Balo, Desa Bahari, dan Desa Tabaroge.. Kelima desa ini berada di sebelah

Dalam proses pengadaan barang dan jasa pemerintah khususnya di Kantor Komunikasi dan Informasi Kabupaten Maros bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi

engan perkataan lainnya pasar itu adalah keseluruhan permintaan dan penaaran akan sesuatu barang atau jasa. )ehingga kemampuan hidup perusahaan itu bukan

Akan tetapi, ada juga yang hanya memiliki tempat yang terbuat dari bambu dan khusus untuk mandi dan cuci kaki saja.. Kalau mau buang air besar pergi ke sungai yang ada didekat

Desa yang ditetapkan sebagai daerah titik pengamatan, satu desa di masing- masing wilayah kecamatan, yaitu Desa Nageri di wilayah Kecamatan Juhar, Desa Kinangkong di wilayah

Adanya kesulitan pada para pemilik usaha penjualan pakaian(Butik) dalam menentukan lokasi yang tepat untuk mendirikan Butik yang sesuan dengan keinginan pemilik usaha dalam

Menurut Kotter dan Heskett dalam bukunya “Corporate Culture and Performance” bahwa perusahaan dengan budaya yang kuat mampu menghasilkan revenue 4x lebih tinggi, memiliki tenaga