• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. baik sintetis (hasil olahan) maupun semisintetis (mengalami sebagian pegolahan),

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. baik sintetis (hasil olahan) maupun semisintetis (mengalami sebagian pegolahan),"

Copied!
41
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Narkotika

2.1.1. Pengertian Narkotika

Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis (hasil olahan) maupun semisintetis (mengalami sebagian pegolahan), yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan (UU RI Nomor 35 Tahun 2009).

2.1.2. Jenis Narkotika

Jenis-jenis narkotika berdasarkan UU RI Nomor 35 Tahun 2009, adalah:

a. Narkotika golongan I adalah narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan.

Jenisnya antara lain:

1. Tanaman Papaver Somniferum L dan semua bagian-bagiannya termasuk buah dan jeraminya, kecuali bijinya.

2. Opium mentah, yaitu getah yang membeku sendiri, diperoleh dari buah tanaman Papaver Somniferum L yang hanya mengalami pengolahan sekedar untuk pembungkus dan pengangkutan tanpa memperhatikan kadar morfinnya.

(2)

3. Opium masak terdiri dari; candu yaitu hasil yang diperoleh dari opium mentah melalui suatu rentetan pengolahan khususnya dengan pelarutan, pemanasan dan peragian dengan atau tanpa penambahan bahan-bahan lain, dengan maksud mengubahnya menjadi suatu ekstrak yang cocok untuk pemadatan; jicing yaitu sisa-sisa dari candu setelah dihisap, tanpa memperhatikan apakah candu itu dicampur dengan daun atau bahan lain; jicingko yaitu hasil yang diperoleh dari pengolahan jicing.

4. Tanaman koka, tanaman dari semua genus Erythroxylon dari keluarga

Erythroxylaceae termasuk buah dan bijinya.

5. Daun koka, daun yang belum atau sudah dikeringkan atau dalam bentuk serbuk dari semua tanaman genus Erythroxylon dari keluarga Erythroxylaceae yang menghasilkan kokain secara langsung atau melalui perubahan kimia. 6. Kokain mentah, semua hasil-hasil yang diperoleh dari daun koka yang dapat

diolah secara langsung untuk mendapatkan kokaina.

7. Kokaina, metil ester-1-bensoil ekgonina.

8. Tanaman ganja, semua tanaman genus genus cannabis dan semua bagian dari tanaman termasuk biji, buah, jerami, hasil olahan tanaman ganja atau bagian tanaman ganja termasuk damar ganja dan hasis.

9. Dan lainnya.

b. Narkotika golongan II adalah narkotika berkhasiat pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan

(3)

pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan.

Jenisnya antara lain:

1. Alfasetilmetadol : Alfa-3-asetoksi-6-dimetil amino-4,4-difenilheptana

2. Morfin metobromida dan turunan morfina nitrogen pentafalent lainnya termasuk bagian turunan morfina-N-oksida, salah satunya kodeina-Noksida 3. Morfina

4. Nikomorfina : 3,6-dinikotinilmorfina 5. Norasimetadol

6. Dan lainnya.

c. Narkotika golongan III adalah narkotika berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan.

Jenisnya antara:

1. Asetildihidrokodeina 2. Dekstropropoksifena 3. Dihidrokodeina

4. Campuran atau sediaan difenoksin dengan bahan lain bukan narkotika 5. Campuran atau sediaan difenoksilat dengan bahan lain bukan narkotika 6. Dan lainnya.

(4)

Klasifikasi zat atau obat yang sering disalahgunakan (Soetjiningsih, 2007) adalah sebagai berikut:

1. Cannabinoids. Obat yang termasuk dalam kelompok ini adalah marijuana dan hashish.

2. Depresan. Obat yang termasuk kategori ini adalah sedatif dan tranquilizers mayor dan minor.

a. Sedatif adalah obat yang dapat mengurangi rasa cemas dan membuat tertidur, dapat menyebabkan ketergantungan secara fisik maupun psikologis. Obat yang termasuk kategori sedatif adalah alkohol, barbiturat (amytal, nembutal, seconal, phenobarbital), methaqualone (qualude), gluthemide (doriden), flunitrazepam (rohypnol), gamma-hydroxybutyrate (GHB).

b. Tranquilizer minor adalah obat yang mengurangi rasa cemas, meliputi diazepam (valium), alprazolam (vanax), chlordiazepoxide ( librium), triazolam (halcion) dan lorazepam (ativan). Kelompok ini menyebabkan ketergantungan fisik maupun psikologis.

c. Tranquilizer mayor. Obat yang termasuk kelompok ini adalah fenotiazin seperti tioridazin (mellaril), trifluoferazin (stelazine) dan klorpromazin (thorazine).

3. Stimulan. Stimulan dapat menyrbabkan ketergantungan psikologis yang sangat kuat.

Obat stimulan Susunan Saraf Pusat (SSP) yang dapat meningkatkan kewaspadaan dan aktifitas adalah:

(5)

a. Amfetamin: obat yang termasuk kelompok ini meliputi clandestine methamphetamin, pharmaccutical methamphetamin (desoxyn) dan amfetamin (biphetamin, adderall, dexwdrine).

b. Nikotin c. Kafein d. Kokain

e. MDMA (methylenedioxymethamphetamine ecstasy) f. Methylphenidate (ritalin)

g. Betel nut

4. Halusinogen. Obat ini mempengaruhi sensasi, emosi dan kewaspadaan, dan menyebabkan distorsi persepsi realitas. Obat ini menyebabkan ketergantungan psikologis namun tidak menyebabkan ketergantungan fisik. Obat yang termasuk halusinogen adalah:

a. LSD (D-lysergic acid diethylamide) b. Mescaline c. DMT (dimethyltryptamine) d. DOM (2,5-dimethoxy-4-methylamphetamine) e. PCP (phencyclidyne hydrochloride) f. Pcilocybin/ psilocin g. MDA (methylenedioxyamphethamine) h. MDMA (methylenedioxymphethamphethamine)

(6)

5. Derivat opium dan morfin. Opium bermanfaat untuk menghilangkan rasa nyeri dan dapat menyebabkan ketergantungan secara fisik dan psikologis. Obat-obatan yang termasuk dalam kelompok ini adalah:

a. Morfin b. Heroin c. Kodein

d. Meferidin (demerol) e. Methadon

f. Fentanil (actiq, duragesic, sublimaze) g. Opium

6. Anastesi. Obat yang tergolong kelompok ini adalah ketamin (ketalar SV) dan phencyclidine (PCP) dan analognya.

2.1.3. Penyalahgunaan Narkotika

Penyalahgunaan zat adalah suatu kelainan yang menunjukkan jiwa tidak lagi berfungsi secara wajar sehingga terjadi perilaku meladatif dan negatif dalam masyarakat. Ketidakmampuan untuk mengendalikan atau menghentikan pemakaian zat menimbulkan gangguan fisik yang hebat jika dihentikan. Penyalahgunaan zat tidak saja berbahaya dan merugikan keluarga dan menimbulkan dampak sosial yang luas (Hawari, 2002).

Penyalahguna adalah orang yang menggunakan Narkotika tanpa hak atau melawan hukum (UU RI Nomor 35 Tahun 2009).

(7)

2.1.4. Remaja dan Narkotika

Pada remaja, sikap dan keyakinan mereka akan narkoba, termasuk risiko yang diakibatkannya cenderung berubah dengan cepat. Sering laju proses perkembangan keremajaan, tingkat toleransi mereka terhadap narkoba umumnya meningkat. Pemuda, dibandingkan dengan kelompok usia dewasa cenderung mengecilkan makna risiko narkoba, kecendrungan ini lebih kentara pada pemuda berjenis kelamin laki-laki daripada perempuan, karena lazimnya orang-orang muda menaruh perhatian kecil pada risiko jangka panjang, termasuk diakibatkan oleh pemakaian narkoba (Surbakti, 2008).

Berikut ini adalah sejumlah alasan (dalih) yang lazim dikemukakan oleh para pengguna narkoba (Surbakti, 2008):

1. Individu menggunakan narkoba karena ingin masuk ke tengah kelompok 2. Individu menggunakan narkoba karena ingin bereksperimen

3. Individu menggunakan narkoba karena ingin melarikan diri dari kompleksitas hidup sekaligus menjalani hidup secara lebih tenang.

4. Individu menggunakan narkoba karena memasukkan dirinya ke dalam kategori ‘dewasa’

5. Individu menggunakan narkoba karena bosan

6. Individu menggunakan narkoba sebagaai wujud pemberontakan

7. Individu menggunakan narkoba karena lingkungan mengasosiasikan narkoba dengan nilai-nilai positif

(8)

2.1.5. Epidemiologi Penyalahgunaan Narkotika

2.1.5.1. Distribusi dan Frekuensi Penyalahgunaan Narkotika

Prevalensi pengguna narkotika semakin meningkat dari tahun ke tahun dan menunjukkan fenomena gunung es (ice berg fenomena), dimana kasus yang tampak pada permukaan lebih sedikit dibandingkan kasus yang tidak tampak (Badan Narkotika Nasional, 2006).

Alkohol merupakan zat yang sering disalahgunakan disemua negara di dunia.

Point prevalence penyalahgunaan alkohol pada orang dewasa berkisar 1,7 % di dunia

berdasarkan analisis GBD (Global Burden of Disease) pada tahun 2000. Prevalensi penyalahgunaan alkohol sangat bervariasi di seluruh dunia, mulai dari sangat rendah di beberapa negara di Asia tengah sampai lebih dari 5 % di Amerika Utara dan beberapa negara Eropa Timur. Periode prevalensi dari penyalahgunaan dan ketergantungan zat berkisar antara 0,4% hingga 4% tetapi cara penyalahgunaan zat sangat bervariasi. Diperkirakan 5 juta manusia di dunia menggunakan jarum suntik dalam menyalahgunakan narkotika (World Health Organization, 2001).

Jumlah pengguna narkotika tahun 2003 di Indonesia mencapai 1,99% dari populasi penduduk atau 3,2 juta hingga 3,6 juta orang. Jumlah tersebut terdiri dari 26% coba pakai, 27% teratur pakai, 40% pecandu bukan suntik, dan tujuh persen pecandu suntik, sedangkan jumlah kasus narkotika di Indonesia tahun 2003 tercatat sebanyak 7.140 kasus dan tahun 2008 meningkat menjadi 29.359 kasus, atau terjadi kenaikan kasus sebanyak 23,2 % per tahun. Dari kasus-kasus tersebut, tercatat bahwa

(9)

jumlah pengguna narkotika meningkat dari 9.717 orang pada tahun 2003 menjadi 44.694 orang pada tahun 2008 (Badan Narkotika Nasional, 2010).

Berdasarkan data yang dikumpulkan oleh Pusdatin (Pusat Data dan Informasi) melalui SIP2NAPZA (Sistem Informasi Penanggulangan Penyalahgunaan NAPZA), dari 5321 responden pada tahun 2001, 51,1 % adalah penyalahguna yang berumur 20- 24 tahun, 25,7 % adalah penyalahguna yang berumur 25-29 tahun, dan selebihnya secara berurutan adalah penyalahguna yang berumur 15-19 tajun (14,7 %), 30-34 tahun (5,4 %), >35 tahun (2,5 %), dan 10-14 tahun (0,6 %), sedangkan pada tahun 2002 dari 3860 orang, jumlah penyalahguna narkotika, 48,2 5 adalah kelompok umur 2-0-24 tahun, diikuti dengan 24 % dari kelompok umur 25-29 tahun, 17, 8 % dari kelompok umur 15-19 tahun, 5, 9 % dari umur 30-34 tahun, 3,3 % dari umur > 34 tahun, dan 0,7 % dari umur 10-14 tahun (Badan Narkotika Nasional, 2006).

Pada tahun 2003 dari 3583 orang jumlah penyalahguna narkotika, 40 % adalah kelompok umur 20-24 tahun, diikuti dengan 28, 3 % dari kelompok umur 25-29 tahun, 10,9 % dari kelompok umur 15-19 tahun, 10,2 % kelompok umur 30-34 tahun, 9,4 kelompok umur > 34 tahun, dan 1,3 % kelompok umur 10-14 tahun. Tahun 2004, dari 6218 orang penyalahguna narkotika, 34, 2 % berumur 20-24 tahun, diikuti 28, 9 % yang berumur 25-29 tahun, 13,3 % kelompok umur 30=-34 tahun, 12,5 % kelompokumur > 34 tahun, 8,7 % berumur 15-19 tahun, dan 0,5 % kelompok umur 10-14 tahun (Badan Narkotika Nasional, 2006).

Berdasarkan data yang dikumpulkan Badan Narkotika Nasional dari 641 responden tahun 2001 sebagian besar adalah penyalahguna yang menggunakan

(10)

narkotika dengan cara hisap (26, 7 %) dan suntik (22,2 %). Pada tahun 2002, dari 1936 penyalahguna narkotika yang mengkonsumsi narkotika dengan cara hisap adalah 42,3% kemudian pengguna narkotika dengan cara suntik 24, 4 %, sisanya adalah dengan cara oral (Badan Narkotika Nasional, 2006).

2.1.5.2. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Penyalahgunaan Narkotika

Pada dasarnya, terjadinya peenyalahgunaan narkotika sebagai hasil interaksi dari tiga faktor, yaitu faktor zat, individu dan lingkungan.

1. Faktor Zat

Tidak semua zat dapat menimbulkan gangguan penggunaan zat, hanya zat dengan khasiat farmakologik tertentu dapat menimbulkan ketergantungan. Apabila disuatu tempat zat yang dapat menimbulkan ketergantungan dapat dngan mudah diperoleh, maka di tempat itu akan banyak terdapat kasus penyalahgunaan zat. Oleh karena itu, zat yang dapat menimbulkan ketergantungan harus diatur dengan aturan-aturan yangg efektif tentang penanamannya, pengolahannya, impor dan distribusinya, serta pemakaiannya (Badan Narkotika Nasional, 2003). 2. Faktor Individu

Resiko untuk menyalahgunakan zat berbeda-beda pada setiap orang. Faktor kepribadian dan faktor konstitusi seseorang merupakan dua faktor yang ikut menentukan seseorang teergolong kelompok berisiko tinggi atau tidak. Kenyataan menunjukkan bahwa sebagian besar gangguan penggunaan zat dimulai pada usia remaja. Ada beberapa ciri perkembangan remaja yang dapat

(11)

menjerumuskan seseorang kepada penyalahgunaan zat (Badan Narkotika Nasional, 2003).

Hasil survei BNN pada pelajar dan mahasiswa pada tahun 2002 menunjukkan bahwa 40% penyalahguna mulai mamakai narkotika pada usia 11 tahun atau lebih muda, selain itu penelitian Fransisca di Rumah Sakit Jiwa Medan pada Juni 2001-Juli 2002, menyatakan bahwa 50 orang (51 %) penyalahguna yang dirawat jalan merupakan anak tengah di dalam keluarga diikuti anak bungsu ssebanyak 24 orang (24,7%) dan anak sulung sebanyak 19 orang (19,6%) (Fransisca, S, 2003).

Berdasarkan penelitian Widianingsih tahun 2009 tentang penyesuaian diri mantan pengguna narkotika berdasarkan jenis kelamin dengan menngunakan skor Z diperoleh (-0,023 pada pria < 0,185 pada wanita), angka ini menunjukkan bahwa penyesuaian diri wanita lebih baik dibandingkan pria. Hal ini dikarenakan wanita lebih dapat memecah konflik yang dihadapi dan dapat menghadapi masalah hidup serta frustasi dengan cara yang efektif dibandingkan pria. Jika berdasarkan rentang umur, penyesuaian diri remaja usia 201-21 tahun lebih tinggi dibandingkan penyesuaian pada usia 18-19 tahun (29,86 > 27,18). Hal ini dikarenakan usia 20-21 tahun lebih matang dalam berfikir, sehingga mampu mengendalikan keterbatasan yang ada pada dirinya, belajar bereaksi terhadap dirinya dan lingkungannya dengan cara yang matang, bermanfaat, efisien, dan memuaskan, serta menyelesaikan konfliik frustasi maupun kesulitan pribadi dan sosial tanpa mengalami gangguan tingkah laku.

(12)

3. Faktor Lingkungan

Berdasarkan penelitian Badan Narkotika Nasional pada tahun 2004 pada siswa SMU diketahui bahwa sebagian besar responden (89,9 %) berada dalam keluarga yang komunikasinya buruk dan sebanyak 49 % responden mempunyai teman yang menggunakan narkotika (Raharni, 2005).

Faktor lingkungan (Badan Narkotika Nasional, 2003), meliputi: a. Lingkungan Keluarga

Hubungan ayah dan ibu yang tidak harmonis, komunikasi kurang efektif antara orang tua dan anak, dan kurangnya rasa hormat antar anggota keluarga merupakan faktor yang ikut mendorong seseorang pada penyalahgunaan zat. b. Lingkungan Sekolah

Sekolah yang kurang disiplin, terletak dekat dengan tempat hiburan, kurang memberi kesempatan pada siswa untuk mengembangkan diri secara kreatif dan positif, dan adanya murid pengguna narkotika merupakan faktor kontributif terjadinya penyalahgunaan narkotika.

c. Lingkungan Teman Sebaya

Adanya kebutuhan akan pergaulan teman sebaya mendorong remaja untuk dapat diterima sepenuhnya dalam kelompoknya. Ada kalanya menggunakan narkotika merupakan kebiasaan penting bagi remaja agar dapat diterima kelompoknya dan dianggap sebagai orang dewasa.

(13)

d. Lingkungan Masyarakat/ Sosial

Gangguan penggunaan zat dapat juga timbul sebagai suatu protes terhadap sistem atau norma-norma. Lemahnya penegak hukum, situasi politik, sosial dan ekonomi yang kurang mendukung mendorong remaja untuk mencari kesenangan dengan menyalahgunakan narkotika.

2.1.5.3. Faktor Risiko

Semua remaja mempunyai risiko untuk menyalahgunakan obat-obatan. Namun ada beberapa faktor risiko yang menyebabkan penyalahgunaan obat di kalangan para remaja meningkat seperti faktor genetik, lingkungan keluarga, pergaulan dan karekteristik individu (Soetjiningsih, 2007).

Resiko faktor genetik didukung oleh hasil penelitian bahwa remaja dari orang tua kandung alkoholik mempunyai risiko 3-4 kali sebagai peminum alkohol dibandingkan remaja dari orang tua angkat alkoholik. Penelitian lain membuktikan remaja kembar monozigot mempunyai risiko alkoholik lebih besar dibandingkan remaja kembar dizigot. Pola asuh dalam keluarga sangat besar pengaruhnya terhadap penyalahgunaan obat pada remaja. Pola asuh orang tua yang demokratis dan terbuka mempunyai risiko penyalahgunaan obat pada remaja lebih rendah dibandingkan dengan pola asuh orang tua dengan disiplin yang ketat, disamping itu keluarga yang antisosial dan kriminal mempunyai risiko penyalahgunaan obat pada remaja lebih besar pula.

Dalam pergaulan sehari-hari, pengaruh oleh teman dekat untuk menyalahgunakan obat lebih besar dibandingkan dengan orang yang tidak dikenal.

(14)

Remaja-remaja yang mempunyai riwayat kejahatan, bolos sekolah, gagal di sekolah, atau perilaku seks bebas mempunyai risikp menyalahgunakan obat lebih besar.

Penyalahgunaan obat oleh remaja pada usia dini (dibawah 15 tahun) atau lebih lanjut (diatas 24 tahun), cenderung didasari oleh gangguan psikiatri seperti depresi atau gangguan kecemasan dan mempunyai risiko penyalahgunaan obat dua kali lebih besar dibandingkan dengan remaja yang tidak mempunyai riwayat depresi.

2.1.6. Pengobatan dan Rehabilitasi Narkotika

Untuk kepentingan pengobatan dan berdasarkan indikasi medis, dokter dapat memberikan narkotika golongan II atau golongan III dalam jumlah terbatas dan sediaan tertentu kepada pasien sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasien dapat memiliki, menyimpan, dan/atau membawa narkotika untuk dirinya sendiri. Pasien harus mempunyai bukti yang sah bahwa narkotika yang dimiliki, disimpan, dan/atau dibawa untuk digunakan diperoleh secara sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan (Pasal 53, ayat 1-3 UU RI Nomor 35 Tahun 2009).

Pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial (Pasal 54 UU RI Nomor 35 Tahun 2009). Orang tua atau wali dari pecandu narkotika yang belum cukup umur wajib melaporkan kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Pecandu narkotika yang sudah cukup umur wajib melaporkan diri

(15)

atau dilaporkan oleh keluarganya kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Ketentuan mengenai pelaksanaan wajib lapor diatur dengan peraturan pemerintah (Pasal 55, ayat 1-3 UU RI Nomor 35 Tahun 2009).

Rehabilitasi medis pecandu narkotika dilakukan di rumah sakit yang ditunjuk oleh menteri. Lembaga rehabilitasi tertentu yang diselenggarakan oleh instansi pemerintah atau masyarakat dapat melakukan rehabilitasi medis pecandu narkotika setelah mendapat persetujuan menteri. Selain melalui pengobatan dan/atau rehabilitasi medis, penyembuhan pecandu narkotika dapat diselenggarakan oleh instansi pemerintah atau masyarakat melalui pendekatan keagamaan dan tradisional. Rehabilitasi sosial mantan pecandu narkotika diselenggarakan baik oleh instansi pemerintah maupun oleh masyarakat (Pasal 56-58 UU RI Nomor 35 Tahun 2009).

Rehabilitasi adalah segala tindakan fisik, penyesuaian psikososial dan latihan vokasional sebagai upaya untuk memulihkan fungsi penyesuaian secara optimal dan mempersiapkan pasien/ pengguna kembali pada peran sosialnya dimasyarakat (Konsensus FKUI, 2002).

Rehabilitasi adalah pemondokan yang dilakukan agar pengguna obat terlarang dapat kembali sehat, yang meliputi sehat jasmani atau fisik (biologik), jiwa (psikologik), sosial (adaptasi), dan rohani atau keimanan (spiritual) (Hawari, 2000).

Rehabilitasi bukan sekedar memulihkan kesehatan semula pengguna, melainkan memulihkan serta menyehatkan seseorang secara utuh dan menyeluruh. Rehabilitasi

(16)

korban narkotika adalah suatu proses yang berkelanjutan dan menyeluruh. Rehabilitasi korban narkotika harus meliputi usaha-usaha yang mendukung para korban, hari demi hari, dalam membuat pengembangan dan pengisian hidup secara bermakna serta berkualitas di bidang fisik, mental, spiritual dan sosial (Somar, 2002).

Upaya rehabilitasi juga melibatkan keluarga dan lingkungan yang terdekat lainnya. Konseling dan psikoterapi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dan merupakan kesinambungan dari program kuratif (Konsensus FKUI, 2002).

Menurut Konsensus FKUI (2002), secara umum rehabilitasi terdiri atas : 1. Rehabilitasi di rumah, terdiri atas 2 jenis, yaitu :

a. Pasien benar-benar hanya tinggal di rumah, petugas kesehatan (dokter, perawat) dan pekerja sosial yang melakukan kunjungan rumah.

b. Pasien berobat jalan, misalnya mengikuti program rehabilitasi tertentu yang dilakukan oleh bagian rehabilitasi seperti day care program (pasien mengikuti program paruh waktu misalnya hanya siang atau pagi).

2. Pasien tinggal di layanan rehabilitasi

Jenis ini pun terdiri dari berbagai pendekatan, misalnya medik-holistik, pendekatan agama, tradisional, dan lain-lain. Apabila pasien memiliki motivasi yang tinggi dan adanya dukungan yang besar dari keluarga, ia dapat menjalani terapi di rumah, tetapi bila faktor motivasi dan dukungan keluarga meragukan perlu diciptakan suatu lingkungan yang terstruktur, terisolasi dari masyarakatnya dengan mengandalkan kekuatan peer group (kelompok teman sebaya), misalnya dipusat rehabilitasi.

(17)

2.1.6.1. Indikator dan Tujuan Penanganan

United Nation Office on Drugs and Crime (UNODC) tahun 2002 dalam Reza

(2008) menetapkan, keberhasilan penanganan terhadap kasus penyalahgunaan narkoba ditentukan oleh tiga pencapaian, yaitu:

1. Berhenti atau berkurangnya penyalahgunaan obat-obatan alkohol. 2. Meningkatnya kesehatan dan keberfungsian individu

3. Menurunnya ancaman terhadap kesehatan dan keselamatan masyarakat, termasuk dari ancaman mewabahnya penyakit-penyakit yang juga disebabkan oleh gaya hidup pecandu yang identik dengan penyalahgunaan narkoba.

United Nation Office Drugs and Crime (UNODC) (2002) juga menyatakan

segala bentuk penanganan berorientasi rehabilitasi memiliki empat tujuan, yaitu: 1. Mempertahankan kemajuan fisiologis dan psikologis sebagai tindak lanjut tahap

detoksifikasi

2. Mempertajam dan meneruskan berhentinya perilaku adiktif

3. Mendidik serta mendorong individu (mantan) pengguna agar dapat memodifikasikan perilaku dan gaya hidup yang lebih konstruktif sebagai daya tangkal terhadap godaan narkoba.

4. Mendidik dan mendukung perilaku yang mengarah pada terbentuknya kesehatan pribadi, keberfungsian sosial, serta menekan resiko mewabahnya penyakit yang mengancam kesehatan dan keselamatan publik.

Rehabilitasi bertujuan agar pasien/ pengguna dapat melanjutkan pendidikan sesuai dengan kemampuannya atau bekerja kembali sesuai dengan bakat dan

(18)

minatnya, dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan keluarga maupun masyarakat umumnya. Rehabilitasi juga bertujuan agar pasien dapat menghayati agamanya dan hidup sesuai ajaran agama yang dianutnya (Konsensus FKUI, 2002).

2.1.6.2. Perkembangan Proses Rehabilitasi Narkotika

Menurut Kementrian Sosial Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial PSPP “Insyaf” Sumatera Utara (2010), perkembangan klien dalam menjalani proses rehabilitasi dipantau oleh psikiater, dan konselor secara berkala (mingguan), secara insidental bila ada perubahan dengan menjaga kerahasiaan data klien, perkembangan klien yang dipantau meliputi:

1. Kondisi fisik, meliputi aspek; kondisi kesehatan, berat badan (kg), selera makan, kebersihan, penampilan/ kerapihan, stamina, kelincahan, dan kelainan fisik.

2. Kondisi mental dan keagamaan, meliputi aspek; kemandirian, kedisiplinan terhadap ketentuan panti, tanggung jawab, disiplin melaksanakan agama, kemampuan berfikir, dan stabilitas emosi.

3. Sosiabilitas, meliputi aspek; kemampuan penyesuaian diri, kerjasama, keakraban dengan teman, hubungan dengan pembimbing dan instruktur, sopan santun, relasi dengan keluarga, dan relasi dengan teman.

4. Ketrampilan dan semangat kerja, meliputi aspek; penguasaan ketrampilan, motivasi mengikuti pelatihan, disiplin waktu selama pelatihan, tanggung jawab kerja, dan kerapihan kerja.

Para pengguna narkotika mengalami gangguan kondisi fisik dan mental karena zat yang digunakan, sangat mendasar mereka kehilangan pegangan agama yang

(19)

menjadikan mereka bimbang, menjauhkan diri dari lingkungan sosial karena khawatir tidak diterima dengan baik dan tidak berguna, sehingga perlu adanya ketrampilan yang dapat bermanfaat bagi kehidupan setelah rehabilitasi (Soetjiningsih, 2007). 2.1.6.3. Pemulihan/ Kesembuhan dari Penyalahgunaan Narkotika

Pemulihan/ kesembuhan merupakan suatu proses berkelanjutan dari keadaan sakit menuju keadaan pulihnya kesehatan dengan bantuan terapi-terapi yang sesuai. Proses kesembuhan dimulai dari pembuatan keputusan pribadi untuk sembuh. Kemudian masuk pada proses re-orientasi diri (memutar haluan hidup) menuju sasaran yang semestinya yaitu sehat jiwa, raga, roh dan sosial. Dilanjutkan dengan proses hidup yang berkualitas dan bahagia tanpa harus tergantung pada narkotika (Somar, 2001).

Menurut Somar (2001), proses kesembuhan pada diri pecandu narkotika untuk menjadi mantan pecandu ataupun pengguna narkotika dilalui melalui beberapa tahapan ataupun jenjang kesembuhan, yaitu:

1. Tahap transisi, pada saat ini pecandu mulai kecewa tentang keadaan dirinya, merasa bahwa ia terlilit masalah. Mulai terjadi kesadaran awal bahwa ia kehilangan sesuatu yang berharga dalam hidupnya, yaitu kewarasan dan hidupnya yang normal akibat memakai narkoba.

2. Tahap stabilitasi diri, pecandu mulai berfikir untuk membenahi dirinya dari akibat-akibat ketergantungan narkotika. Awalnya ia melakukannya sendiri dan tidak berhasil, sampai akhirnya ia memutuskan untuk meminta bantuan orang lain seperti jasa pendampingan dalam rehabilitasi.

(20)

3. Tahap kesembuhan awal. Pecandu mengubah seluruh sistem keyakinan hidupnya. Misalnya mengaku bahwa narkotika itu berbahaya dan membawa banyak masalah dalam kehidupan, bersedia menerima bantuan, tanggapan dan saran dari orang lain.

4. Tahap kesembuhan menengah. Pecandu membenahi pola dan gaya hidupnya yang tidak baik, misalnya memperbaiki hubungan-hubungan sosial yang tidak baik, mengisi waktu luang secara bermanfaat dan sehat sehingga seluruh hidupnya semakin bermakna dan bermutu.

5. Tahap akhir kesembuhan. Pecandu mulai menentukan sasaran-sasaran hidup dengan jelas dan tepat serta mengembangkan rencana kerja yang masuk akal. 6. Tahap pemantauan. Pecandu memelihara terus pola hidupnya yang sudah baik dan

sehat. Ia mencari dan mengembangkan makna, mutu, dan tujuan hidup yang lebih baik dan lebih tinggi lagi.

2.2. Remaja

2.2.1. Pengertian Remaja

Menurut Asrori (2009) yang mengutip pendapat Hurlock, remaja (adolescence) berasal dari bahasa latin yang artinya tumbuh atau tumbuh untuk mencapai kematangan. Perkembangan lebih lanjut, istilah adolescence sesunggguhnya memiliki arti yang luas, mencakup kematangan mental, emosional, sosial, dan fisik. Pandangan ini didukung oleh Piaget yang menyatakan bahwa secara psikologis, remaja adalah suatu usia dimana individu menjadi terintegrasi kedalam masyarakat dewasa, suatu

(21)

usia dimana anak tidak merasa bahwa dirinya berada dibawah tingkat orang yang lebih tua melainkan sama, atau paling tidak sejajar.

Remaja adalah kelompok umur 10-19 tahun. Mereka berada pada periode transisi dari masa anak-anak ke masa dewasa. Mereka tidak hanya mengalami perubahan fisik akan tetap juga mengalami peningkatan emosi yang menyeluruh dengan manifestasi sebagai perilaku agresif, perasaan cinta yang berlebihan, perasaan iri hati, takut, khawatir, frustasi, ingin tahu afeksi, sedih dan senang, emosi yang berubah-ubah dan meningkat memengaruhi lingkungan keluarga masyarakat sehingga mereka ikut merasakan akibatnya (World Health Organization, 1986).

2.2.2. Batasan Usia Remaja

Menurut Asrori (2009) yang mengutip pendapat Mappiare, masa remaja berlangsung antara umur 12 tahun sampai dengan 21 tahun bagi wanita dan 13 tahun sampai dengan 22 tahun bagi pria. Rentang usia ini dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu usia 12/13 tahun sampai 17/18 tahun adalah remaja awal, dan usia 17/18 tahun sampai dengan 21/22 tahun adalah remaja akhir.

Dalam kategori pemuda, mempertimbangkan dinamika kesehatan, psikologis, dan sosiologis yang bervariasi, perlu dibedakan antara remaja atau teenagers (13-19 tahun) dan dewasa muda atau young adults (20-24 tahun) (Amriel, 2008).

2.2.3. Perkembangan Remaja

Tahap perkembangan remaja begitu menentukan, mengingat remaja berhadapan dengan beraneka tuntutan sosial dan perubahan-perubahan peran yang fundamental. Untuk menangani tekanan-tekanan eksternal tersebut, individu harus mengonsolidasi

(22)

pengetahuan-pengetahuan yang mereka dapatkan tentang diri mereka, seperti pengetahuan dirinya sebagai anak, umat, murid, anggota klub, dan lain-lain. Selanjutnya, berdasarkan seperangkat pengetahuan tentang citra diri tersebut, individu dituntut untuk mengintegrasikan satu sama lain kedalam sebuah identitas pribadi yang merefleksikan kesadaran akan masa silam yang telah dijalani individu serta masa mendatang yang akan dilaluinya. Disinilah terbuka celah bagi kemungkinan berlangsungnya konflik antara individu (ego) dengan lingkungan sosial, terutama teman-teman sebayanya (Amriel, 2008).

Apabila konflik teratasi, maka terbentuklah identitas diri (ego identity) yang sehat. Identitas ego yang berkembang dengan baik ini merupakan kepercayaan diri yang terbentuk sebagai hasil kemampuan remaja dalam memelihara harmonisasi (kesamaan dan kesinambungan) antara dirinya dengan orang-orang lain (Amriel, 2008).

Menurut Amriel (2008) yang mengutip pendapat Havighurst , remaja yang tidak mampu melaksanakan tugas-tugas perkembangan tersebut akan semakin mempertebal tembok pembatas antara individu dengan orang-orang disekitarnya. Ia terkurung ditengah kebebasan, kesepian ditengah keramaian, sunyi dipusaran hiruk pikuk, lumpuh ditengah impitan manusia-manusia produktif, bahkan yang paling tragis adalah terperosok ke jati diri yang sesat san negatif. Melarikan diri dari realitas, sebagai kompensasi atas kegagalan diri, akhirnya dijadikan sebagai ‘solusi’. Salah satunya adalah dengan mengonsumsi narkoba. Efek menurunnya kesadaran yang ada pada narkoba seperti membuka lorong bagi individu untuk melarikan diri dari

(23)

kewajiban-kewajibannya. Pada saat yang sama, efek halusinogen membuat individu pengguna narkoba terlena, seakan-akan tidak ada problem yang menyangkut dipundaknya.

Menurut Asrori (2009) yang mengutip pendapat Shaw dan Costanzo, remaja juga sedang mengalami perkembangan pesat dalam aspek intelektual. Transformasi intelektual dari cara berpikir remaja ini memungkinkan mereka tidak hanya mampu mengintegrasikan dirinya ke dalam masyarakat dewasa, tapi juga merupakan karakteristik yang paling menonjol dari semua periode perkembangan.

Dua aspek yang selalu berkaitan dengan remaja adalah kemerdekaan (independence) dan identitas diri (self-identity). Seiring berjalannya waktu, mereka terus menerus melepaskan keterikatan emosional dari orang tua. Secara universal, kedua hal inilah yang menjadi ciri utama kelompok remaja. Hal yang turut memengaruhi pola perubahan identitas remaja maupun kebebasannya adalah situasi dan kondisi masyarakat tempat remaja bertumbuh, misalnya budaya, pendidikan atau teknologi (Amriel, 2008).

2.2.4. Karakteristik Umum Perkembangan Remaja

Menurut Asrori (2009) yang mengutip pendapat Bischof, masa remaja seringkali dikenal dengan masa mencari jati diri, oleh Erickson disebut dengan identitas ego (ego identity).

Salah satu tugas perkembangan yang paling sulit pada masa remaja adalah penyesuaian sosial. Penyesuaian ini harus dilakukan terhadap jenis kelamin yang berlainan dalam suatu relasi yang sebelumnya tidak pernah ada dan

(24)

terhadap orang dewasa diluar keluarga dan lingkungan sekolah. Pada masa ini remaja paling banyak menghabiskan waktu mereka di luar rumah bersama dengan teman sebaya mereka sehingga bisa dipahami apabila teman sebaya sangat berpengaruh terhadap sikap, cara bicara, minat, penampilan, dan perilaku remaja (Palang Merah Indonesia, 2010).

Menurut Asrori (2009) sikap yang sering ditunjukkan oleh remaja, yaitu: a. Kegelisahan

Remaja belum memiliki banyak kemampuan yang memadai untuk mewujudkan idealisme, angan-angan, atau keinginan yang hendak diwujudkan di masa depan, dan ingin mendapat pengalaman sebanyak-banyaknya untuk menambah pengetahuan, sehingga mengakibatkan mereka diliputi oleh perasaan gelisah.

b. Pertentangan

Pada umumnya remaja sering mengalami kebingungan karena sering terjadi pertentangan pendapat antara mereka dengan orang tua, sehingga menimbulkan keinginan remaja untuk melepaskan diri dari orang tua kemudian ditentangnya sendiri karena dalam diri remaja ada keinginan untuk memperoleh rasa aman. c. Mangkhayal

Keinginan untuk menjelajah dan bertualang tidak semuanya tersalurkan. Biasanya hambatannya dari segi keuangan atau biaya, akibatnya mereka lalu mengkhayal (positif dan negatif), mencari kepuasan, bahkan menyalurkan khayalannya melalui dunia fantasi. Khayalan remaja putra biasanya berkisar pada

(25)

soal prestasi dan jenjang karier, sedang remaja putri lebih mengkhayalkan romantika hidup.

d. Aktivitas kelompok

Berbagai macam keinginan para remaja seringkali tidak dapat terpenuhi karena bermacam-macam kendala (misalnya kurangnya biaya, larangan dari orang tua). Kebanyakan remaja menemukan jalan keluar dari kesulitannya setelah mereka berkumpul dengan rekan sebaya untuk melakukan kegiatan bersama.

e. Keinginan mencoba segala sesuatu

Pada umumnya, remaja memiliki rasa ingin tahu yang tinggi (high curiosity) karena didorong oleh rasa ingin tahu yang tinggi, remaja cenderung ingin bertualang, menjelajah segala sesuatu da mencoba segala sesuatu yang belum pernah dialami. Selain itu, didorong juga oleh keinginan seperti orang dewasa menyebabkan remaja ingin mencoba melakukan apa yang sering dilakukan oleh orang dewasa. Akibatnya, tidak jarang secara sembunyi-sembunyi, remaja pria mencoba merokok karena sering melihat orang dewasa melakukannya. Remaja putri seringkali mencoba memakai kosmetik baru, meskipun sekolah melarangnya.

2.2.5. Remaja dan Orang Tua

Pola komunikasi yang berbeda antara orang tua dan remaja menyebabkan proses komunikasi menjadi distorsi, padahal komunikasi adalah inti dari relasi dan interaksi antar orang tua dengan anak remajanya. Jika para remaja menemukan

(26)

keamanan dan kenyamanan berdiskusi dengan orang tuanya, tentu saja jauh lebih baik daripada mereka mencari informasi diluar rumah, apakah di sekolah, teman-teman, para pakar, atau lembaga-lembaga konsultasi yang keamanannya belum terjamin dan tingkat kompetensinya belum terbukti (Sahrani, dkk, 2008).

Beberapa titik kritis komunikasi remaja dan orang tua adalah saling curiga, tidak menghargai, terlambat memberi tanggapan, terlalu cepat memotong, monopoli, orang tua menghakimi, saling memaksakan keinginan, anak remaja merasa orangtua terlalu lamban, metode penyampaian. Untuk menjalin komunikasi yang intim mesra dan bersahabat anatara orang tua dan remaja adalah: ciptakan saling pengertian, ciptakan atmosfer bersahabat, mendengarkan keluhan anak, berikan jalan keluar bukan cela, jangan menjadi hakim, alat pendidikan, sabar mandengarkan, singkirkan hierarki, pola komunikasi yang baik, dan menjaga kesantunan (Sahrani, dkk, 2008).

Ada tiga fungsi utama komunikasi antara orang tua dan anak remajanya (Sahrani, dkk, 2008), yaitu :

1. Menyampaikan pesan

Metode paling efektif untuk menyampaikan pesan antara kedua belah pihak adalah melalui komunikasi lisan ketika orang tua berhadapan langsung atau bertatap muka dengan anak remajanya.

2. Menerima pesan

Syarat utama menjadi penerima pesan adalah kesediaan untuk mendengarkan. Minimnya kesediaan untuk mendengarkan pesan menyebabkan pesan tidak mencapai sasaran yang diinginkan.

(27)

3. Isi

Berupa gagasan, perasaan, opini, cita-cita, tuntutan, harapan, suara hati, nasihat, pesan perdamaian dan lainnya.

Menurut Asrori (2009) yang mengutip pendapat Soekanto, sangat penting bagi remaja adalah mendapatkan bimbingan agar rasa ingin tahu yang tinggi dapat terarah kepada kegiatan-kegiatan positif, kreatif, dan produktif, misalnya ingin menjelajah alam sekitar untuk kepentingan penyelidikan atau ekspedisi. Jika keinginan semacam itu mendapat bimbingan dan penyaluran yang baik, akan menghasilkan kreatifitas remaja yang sangat bermanfaat, seperti kemampuan membuat alat-alat elektronika, menghasilkan temuan ilmiah yang berbobot, menghasilkan kolaborasi musik dengan rekan sebaya. Jika tidak, dikhawatirkan dapat menjurus kepada kegiatan atau perilaku negatif, misalnya mencoba narkoba, minum-minuman keras, perilaku seks pranikah yang berakibat terjadinya kehamilan.

2.2.6. Remaja dan Teman Sebaya

Teman sebaya adalah anggota kelompok yang memiliki kesamaan karakteristik. Misalnya orang-orang yang sama usianya, latar belakangnya, pekerjaannya, gaya hidupnya, atau pun pengalamannya. Semakin banyak kesamaan yang ada, semakin besar kemungkinan orang tersebut menerima pesan-pesan yang disampaikan sesamanya (Palang Merah Indonesia, 2010).

Remaja cenderung lebih dekat dan lebih sering berbicara mengenai aspek-aspek kepribadian tertentu dengan remaja lain yang sebaya daripada dengan orangtua atau gurunya. Teman sebaya adalah teman yang sangat akrab, karena jenis kelamin yang

(28)

sama atau usia yang berdekatan, atau rumah berdekatan, atau belajar di tempat yang sama, atau memiliki minat yang sama dan seterusnya. Biasanya sesama teman sebaya hampir tidak ada rahasia. Oleh karena itu, kedekatan sesama teman yang sebaya dapat saling mempengaruhi untuk sesuatu menuju kebaikan (Palang Merah Indonesia, 2010).

2.3. Dukungan Sosial

2.3.1. Pengertian Dukungan Sosial

Menurut Ristianti, A. (2009) yang mengutip pendapat Sarafino, dalam menggambarkan dukungan sosial sebagai suatu kenyamanan, perhatian, penghargaan ataupun bantuan yang diterima individu dari orang lain maupun kelompok.

Menurut Ristianti, A. (2009) yang mengutip pendapat Taylor, S.E. (1999) mengemukakan bahwa dukungan sosial sebagai informasi dari orang lain yang menunjukan bahwa ia dicintai dan diperhatikan, memiliki harga diri dan dihargai serta merupakan bagian dari jaringan komunikasi dan kewajiban bersama.

2.3.2. Bentuk-bentuk Dukungan Sosial

Menurut Orford (1992) yang mengutip pendapat para ahli (Tolsdorf; Leavy), dapat disimpulkan bahwa bentuk-bentuk dukungan sosial, yaitu:

a. Dukungan emosional (emotional support)

Dinyatakan dalam bentuk bantuan yang memberikan dorongan untuk memberikan kehangatan dan kasih sayang, memberikan perhatian, percaya terhadap individu serta pengungkapan simpati.

(29)

b. Dukungan penghargaan (esteem support)

Dukungan penghargaan dapat diberikan melalui penghargaan atau penilaian yang positif kepada individu, dorongan maju dan semangat atau persetujuan mengenai ide atau pendapat individu serta melakukan perbandingan secara positif terhadap orang lain.

c. Dukungan instrumental (instrumental support)

Mencakup bantuan langsung, seperti memberikan pinjaman uang atau menolong dengan melakukan suatu pekerjaan guna menyelesaikan tugas-tugas individu.

d. Dukungan informasi (informational support)

Memberikan informasi, nasehat, sugesti ataupun umpan balik mengenai apa yang sebaiknya dilakukan oleh orang lain yang membutuhkan.

e. Dukungan jaringan sosial (companionship support)

Jenis dukungan ini diberikan dengan cara membuat kondisi agar seseorang menjadi bagian dari suatu kelompok yang memiliki persamaan minat dan aktivitas sosial. Dukungan jaringan sosial juga disebut sebagai dukungan persahabatan yang merupakan suatu interaksi sosial yang positif dengan orang lain, yang memungkinkan individu dapat menghabiskan waktu dengan individu lain dalam suatu aktivitas sosial maupun hiburan.

(30)

2.3.3. Sumber Dukungan Sosial

Menurut Ristianti, A. (2009) yang mengutip pendapat Goetlieb, B. H. (1983) ada dua macam hubungan dukungan sosial, yaitu hubungan professional yakni bersumber dari orangorang yang ahli di bidangnya, seperti konselor, psikiater, psikolog, dokter maupun pengacara, serta hubungan non professional, yakni bersumber dari orang-orang terdekat seperti teman, keluarga maupun relasi.

Menurut Ristianti, A. (2009) yang mengutip pendapat Goetlieb, B. H. (1983) dapat disimpulkan bahwa beberapa sumber yang dapat memberikan dukungan sosial antara lain : keluarga, teman dan tetangga serta guru di sekolah.

2.3.4. Faktor-faktor Terbentuknya Dukungan Sosial

Menurut Ristianti, A. (2009) yang mengutip pendapat Hobfoll, S. E. (1986) dapat disimpulkan bahwa sedikitnya ada tiga faktor penting yang mendorong seseorang untuk memberikan dukungan yang positif, diantaranya:

a. Empati, yaitu turut merasakan kesusahan orang lain dengan tujuan mengantisipasi emosi dan memotivasi tingkah laku untuk mengurangi kesusahan dan meningkatkan kesejahteraan orang lain.

b. Norma dan nilai sosial, yang berguna untuk membimbing individu untuk menjalankan kewajiban dalam kehidupan.

b. Pertukaran sosial, yaitu hubungan timbal balik perilaku sosial antara cinta, pelayanan, informasi. Keseimbangan dalam pertukaran akan menghasilkan hubungan interpersonal yang memuaskan. Pengalaman akan pertukaran secara

(31)

timbal balik ini membuat individu lebih percaya bahwa orang lain akan menyediakan bantuan.

2.3.5. Manfaat Dukungan Sosial

Menurut Oktarina, H. (2002) yang mengutip pendapat Johnson dan Johnson, dukungan sosial dapat memberikan individu dukungan emosi, instrumental, penilaian positif dan informasi yang bermanfaat bagi individu dalam :

a. Meningkatkan produktifitas bila dihubungkan dengan pekerjaan.

b. Meningkatkan kesejahteraan psikologis dan penyesuaian diri dengan menyediakan rasa memiliki, memperjelas identitas diri, menambah harga diri, serta mengurangi stres.

c. Meningkatkan dan memelihara kesehatan fisik.

d. Pengelolaan terhadap stress dengan menyediakan pelayanan, perawatan, sumber-sumber informasi dan umpan balik yang dibutuhkan untuk menghadapi stres dan tekanan.

2.3.6. Dukungan Sosial dari Orang Tua

Menurut Oktarina, H. (2002) yang mengutip pendapat Setiyanto, bahwa dalam mendidik dan membina, orang tua hendaknya bertindak bijaksana, menyediakan hati dan pikiran untuk anak-anaknya, namun terkadang kurang memperhatikan aspirasi remaja, kecendrungan orang tua memaksakan kehendaknya, cenderung memerintah anak-anak untuk memenuhi keinginan orangtua. Remaja umumnya mendambakan orangtua sebagai figur yang mampu mendengarkan aspirasi mereka, keluhan-keluhan,

(32)

dan perasaan-perasaan mereka, sehingga terkadang terdapat pembatas antara remaja dan orangtua dalam berkomunikasi, bahkan bisa menjadi konflik pada diri remaja.

Dalam proses rehabilitasi, orang tua menjadi pihak yang pertama memberi dukungan, dengan menunjukkan perhatian, ikut mendengar keluhan yang dirasakan anak, mengikuti perkembangan proses rehabilitasi, menyediakan dana sesuai dengan kebutuhan anak, menghargai usaha anak, memuji, memberi nasehat, dan lainnya (Amriel, 2008).

2.3.7. Dukungan Sosial dari Teman Sebaya

Perkembangan kemampuan intelektual mendorong para remaja berani membangun diskusi tentang ide atau gagasan bersama kelompoknya. Kemampuan berdiskusi merupakan penuntun para remaja untuk mengidentifikasi perbedaan pendapat, menguji argumentasi, dan menegaskan alasan sebuah tindakan. Mereka mengembangkan kemampuan untuk membentuk kelompok teman sebaya (peer

group) atau kelompok-kelompok kecil yang sifatnya lebih tertutup (cligue) (Surbakti,

2008).

Menurut Ristianti, A., (2009) yang mengutip pendapat Cairns, R. B. (1988), dapat disimpulkan bahwa remaja menerima dukungan sosial dari kelompok teman sebaya. Oleh karena itu, remaja berusaha menggabungkan diri dengan teman-teman sebayanya. Hal ini dilakukan remaja dengan tujuan untuk mendapatkan pengakuan dan dukungan dari kelompok teman sebayanya. Melalui berkumpul dengan teman sebaya yang memiliki kesamaan dalam berbagai hal tertentu, remaja dapat mengubah

(33)

kebiasan-kebiasan hidupnya dan dapat mencoba berbagai hal yang baru serta saling mendukung satu sama lain.

Pada upaya rehabilitasi, metode Long-term residential treatment, dalam praktiknya, pengguna narkoba yang mengikuti program akan dimasukkan kedalam serangkaian aktivitas selama enam hingga dua belas bulan, program ini difokuskan pada mensosialisasikan kembali si pecandu (resosialisasi), serta melibatkan seluruh anggota komunitas yang ada sebagai unsur aktif dalam proses penyembuhan (Hawari, 2002).

Dalam proses rehabilitasi, peran teman sebaya selalu ada dalam setiap kegiatan, contoh, saat orientasi dan pengenalan program, outbond, bimbingan fisik (olah raga, pemeriksaan kesehatan), bimbingan mental psikologi, agama dan kecerdasan, bimbingan sosial, terapi kelompok, kesenian, karya wisata, dan lainnya (Kementrian Sosial RI, 2010).

2.4. Panti Sosial Pamardi Putra (PSPP) Insyaf Sumatera Utara

Panti Sosial Pamardi Putra (PSPP) Insyaf merupakan unit pelaksana teknis di lingkungan Kementrian Sosial Republik Indonesia yang berada di Sumatera Utara, memberikan pelayanan rehabilitasi sosial bagi korban penyalahgunaan narkotika.

Rehabilitasi sosial merupakan serangkaian kegiatan profesional yang meliputi aspek fisik, mental, spritual, sosial, dan vokasional untuk mengembangkan kemampuan dan memulihkan korban penyalahgunaan narkotika agar dapat menjalankan fungsi sosialnya secara wajar dalam kehidupan masyarakat.

(34)

Panti Sosial Pamardi Putra (PSPP) Insyaf sebagai pusat rehabilitasi sosial rujukan regional dengan jangkauan pelayanan daerah kabupaten/ kota pada wilayah Sumatera dan Kalimantan Barat. PSPP Insyaf mempunyai visi yaitu pelayanan rehabilitasi sosial korban penyalahgunaan narkotika yang berkualitas dan profesional, dan misi yaitu menetapkan standarisasi pelayanan dan rehabilitasi sosial korban penyalahgunaan narkotika, legislasi pelayanan dan rehabilitasi sosial korban penyalahgunaan narkotika, mengembangkan alternatif-alternatif inteervensi di bidang pelayanan dan rehabilitasi sosial penyalahgunaan narkotika, meningkatkan kemampuan dan kompetensi pekerja sosial, dan membangun jaringan dengan dunia usaha. Tujuan dari PSPP Insyaf adalah korban penyalahgunaan narkotika dapat melaksanakan keberfungsian sosialnya meliputi kemampuan dalam melaksanakan peran, memenuhi kebutuhan, memecahkan masalah yang dihadapi, dan aktualisasi diri. PSPP Insyaf di dirikan pada luas tanah 46.962 m2, luas bangunan 8.103 m2, memiliki kapasitas isi 300 orang, dan kapasitas tampung 100 orang, yang terdiri dari kantor, aula, ruang pendidikan, ruang ketrampilan, ruang assesment, ruang data dan informasi, ruang perpustakaan, ruang konseling, asrama poliklinik, show room, rumah dinas, guest house, gedung khusus rehabilitasi terpadu, koperasi, mushala, kendaraan dinas, akses internet, lapangan voli, lapangan bulu tangkis dan tenis, lapangan sepak takraw.

Selama berada di PSPP Insyaf, korban penyalahgunaan narkotika mendapat fasilitas transportasi kedatangan dan pemulangan, akomodasi dan konsumsi, pakaian olah raga, sepatu, dan pakaian praktek ketrampilan, perlengkapan belajar,

(35)

perlengkapan mandi, mendapat bantuan toolkit (peralatan kunci-kunci), dan bantuan usaha ekonomi produktif (kompresor, alat doorsmer, mesin gerinda, mesin bor tangan, kunci sok, mesin bor tangan, kunci sok, kunci ring-pas, dan sebagainya) bagi eks klien yang telah membuka usaha perbengkelan (Kementrian Sosial RI, 2010).

Sasaran pelayanan di PSPP Insyaf adalah penyalahguna narkotika yang tidak ketergantungan (klien konvensional), dan penyalaguna narkotika yang masih ketergantungan (klien terpadu), dengan prosedur penerimaan klien yaitu penerimaan klien yang tidak ketergantungan narkotika dilaksanakan pada bulan januari sampai dengan februari, penerimaan klien yang masih ketergantungan narkotika dilaksanakan setiap saat. Proses pendaftaran calon klien dengan cara orang tua/ wali langsung menghubungi PSPP Insyaf Sumatera Utara atau menghubungi kantor dinas sosial setempat (Kementrian Sosial RI, 2010).

Pelayanan dan bimbingan rehabilitasi secara menyeluruh dan terpadu, terdiri dari registrasi dan penerimaan, orientasi dan pengenalan program, out bond, bimbingan fisik (senam, olahraga, pemeriksaan urine/darah, pengobatan ringan, pengobatan ke puskesmas/ rumah sakit), bimbingan (mental, psikologi, agama dan kecerdasan), bimbingan sosial dengan menggunakan metode therapeutic community bagi klien terpadu dan semi therapeutic community bagi klien konvensional, konseling dan terapi kelompok, pendampingan dan rujukan advokasi sosial, pelayanan perpustakaan, kesenian, karya wisata dan bimbingan ketrampilan kerja (ketrampilan sepeda motor, mobil dan elektro; praktek belajar kerja (pbk); bimbingan

(36)

kewirausahaan, penyaluran di usaha perbengkelan, peningkatan kompetensi di bengkel kerja/ sheltered workshop) (Kementrian Sosial RI, 2010).

Kegiatan pelayanan rehabilitasi sosial bagi korban penyalahgunaan narkotika sesuai dengan standar minimal dan pedoman pelayanan dan rehabilitasi sosial penyalahgunaan narkotika yang disusun oleh Badan Narkotika Nasional (2003), meliputi:

1. Pendekatan awal

Pendekatan awal adalah kegitan yang mengawali keseluruhan proses pelayanan dan rehabilitasi sosial yang dilaksanakan dengan penyampaian informasi program kepada masyarakat, instansi terkait, dan organisasi sosial lain guna memperoleh dukungan dan data awal calon klien dengan persyaratan yang telah ditentukan.

2. Penerimaan

Pada tahap ini dilakukan kegiatan administrasi untuk menentukan apakah calon klien diterima atau tidak, dengan mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:

a. Pengurusan administrasi surat menyurat yang diperlukan untuk persyaratan masuk panti seperti surat keterangan medical check up, surat keterangan cek urine negatif, dan lainnya.

b. Pengisian formulir, wawancara, dan penentuan syarat menjadi residen c. Pencatatan residen dalam buku registrasi.

(37)

3. Assesment

Assesment merupakan kegiatan penelaahan dan pengungkapan masalah untuk

mengetahui seluruh permasalahan residen, menetapkan rencana dan pelaksanaan intrevensi. Kegiatan assesment meliputi:

a. Menelusuri dan mengungkapkan latar belakang keadaan residen b. Melaksanakan diagnosa permasalahan

c. Menentukan langkah-langkah rehabilitasi

d. Menentukan dukungan pelatihan yang diperlukan e. Menetapkan residen dalam proses rehabilitasi 4. Bimbingan Fisik

Kegiatan ini untuk memulihkan kondisi fisik residen, meliputi: pelayanan kesehatan, peningkatan gizi, baris berbaris, dan olah raga.

5. Bimbingan Mental dan Sosial

Bimbingan mental dan sosial meliputi bidang keagamaan, budi pekerti individual dan sosial/ kelompok, dan motivasi residen (psikologi).

6. Bimbingan Orang Tua dan Keluarga

Bimbingan orang tua dan keluarga dimaksudkan agar orang tua dan keluarga dapat menerima keadaan residen, memberi dukungan, dan akan menerima kembali residen setelah menyelesaikan rehabilitasi.

7. Bimbingan Ketrampilan

Kegian ini berupa vokalisasi, ketrampilan usaha (survival skill), dan hal lain yang dibutuhkan residen.

(38)

8. Resosialisasi/ reintegrasi

Kegiatan ini merupakan komponen pelayanan dan rehabilitasi yang diarahkan untuk menyiapkan kondisi residen yang akan kembali kepada keluarga dan masyarakat. Kegiatan ini meliputi:

a. Pendekatan ke residen untuk persiapan kembali ke lingkungan keluarga dan masyarakat tempat tinggalnya.

b. Menghubungi dan memotivasi keluarga residen serta lingkungan masyarakat untuk menerima kembali residen.

c. Menghubungi lembaga pendidikan bagi klien yang akan melanjutkan pendidikan.

9. Penyaluran dan bimbingan lanjut (after care)

Dilakukan pemulangan residen kepada orang tua/ wali, disalurkan kepada lembaga pendidikan dan instansi dan rangka melanjutkan pendidikan atau penempatan kerja. Bimbingan lanjut dilakukan secara berkala dalam rangka pencegahan kambuh dengan kegiatan konseling, kelompok, dan sebagainya. 10. Terminasi

Kegiatan ini berupa pengakhiran atau pemutusan program pelayanan dan rehabilitasi bagi residen yang telah mencapai target program.

2.5. Landasan Teori

Menurut Widianingsih (2009) yang mengutip pendapat Sadarjoen, masalah pokok remaja berpangkal pada pencarian identitas diri. Di masa transisi ini kebutuhan

(39)

butuh kebebasan. Kebutuhan ini sering kali mendorong mereka untuk mencoba sesuatu yang baru termasuk juga mencoba berkenalan dengan alkohol dan narkotika.

Menurut Widianingsih (2009) yang mengutip pendapat Santrock, penyimpangan perilaku yang terjadi pada remaja seperti penggunaan alkohol dan narkotika merupakan salah satu efek dari tidak harmonisnya hubungan dalam keluarga. Kedekatan remaja dengan orangtua dapat menunjang pembentukan kompetensi sosial dan keberadaan remaja secara umum, serta mempengaruhi harga diri, kematangan emosional dan kesehatan secara fisik, sehingga kenyamanan hubungan dengan orangtua menimbulkan kepuasan bagi remaja yang akhirnya berpengaruh terhadap terbentuknya harga diri.

Penyesuaian diri dan peningkatan harga diri remaja pengguna narkotika sangat dipengaruhi oleh peran orangtua dalam memberi dukungan terhadap penyesuaian diri mereka di dalam masyarakat, sehingga pendapat orang bahwa pengguna narkoba adalah orang yang tidak bermanfaat dan produktivitasnya rendah tidak berlaku (Widianingsih, 2009).

Menurut Widianingsih (2009) yang mengutip pendapat Papalia dan Olds, pemberian social support dari orang-orang yang berarti disekitar kehidupan akan memberikan kontribusi yang terbesar dalam proses penyembuhan penderita ketergantungan narkoba.

Teman sebaya selain merupakan sumber referensi bagi remaja mengenai berbagai macam hal, juga dapat memberikan kesempatan bagi remaja untuk mengambil peran dan tanggung jawab yang baru melalui pemberian dorongan

(40)

(dukungan sosial). Dukungan yang dirasakan remaja yang diperoleh dari teman sebaya, remaja dapat merasa lebih tenang apabila dihadapkan pada suatu masalah. Hal tersebut dapat menimbulkan keyakinan pada diri remaja bahwa apapun yang dilakukan oleh remaja akan mendapatkan dukungan dari teman sebayanya (Tarakanita, I., 2001).

Menurut Yurliani (2007) yang mengutip pendapat Orford (1992), dukungan sosial memiliki beberapa komponen, yaitu dukungan emosional (emotional support), dukungan penghargaan (esteem support), dukungan instrumental (instrumental

support), dukungan informasi (informational support), dukungan jaringan sosial

(companionship support).

Pemberian dukungan bagi pemulihan penyalahgunaan narkotika dipengaruhi oleh faktor-faktor pembentuk perilaku kesehatan, menurut Green dalam Notoatmodjo (2005). Teori Green menyatakan bahwa perilaku ditentukan dari 3 faktor yaitu : (1) faktor predisposisi yaitu pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai dan sebagainya; (2) faktor pemungkin yaitu, tersedianya fasilitas-fasilitas dan sarana, dan (3) faktor penguat yaitu, sikap dan perilaku tokoh masyarakat, tokoh agama, sikap dan perilaku petugas serta dukungan keluarga.

Menurut Wortman, individu yang sedang mengalami proses penyembuhan dari suatu penyakit juga memerlukan social support yang seringkali sulit mereka dapatkan. Individu yang mengalami ketergantungan terhadap narkotika juga merupakan salah satu kelompok yang memerlukan dukungan khusus karena adanya

(41)

penolakan terhadap diri mereka, rasa malu, proses penyembuhan yang relatif lama ataupun rasa frustasi (Yurliani, 2007).

2.6. Kerangka Konsep Penelitian

Gambar 2. 1 Kerangka Konsep Penelitian

Berdasarkan kerangka konsep diatas, maka dapat dijelaskan bahwa defenisi konsep dalam penelitian ini adalah variabel independen (variabel bebas) yang terdiri dari dukungan orang tua dan teman sebaya diasumsikan dapat memengaruhi perkembangan pemulihan penyalahgunaan narkotika di PSPP Insyaf Sumatera Utara yang merupakan variabel dependen (variabel terikat).

Dukungan Orang Tua − dukungan emosional − dukungan penghargaan − dukungan instrumental − dukungan informasi − dukungan jaringan sosial

Perkembangan Pemulihan Penyalahgunaan Narkotika

pada Remaja Dukungan Teman Sebaya

− dukungan emosional − dukungan penghargaan − dukungan instrumental − dukungan informasi − dukungan jaringan sosial

Gambar

Gambar 2. 1 Kerangka Konsep Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Tulisan ini menyimpulkan bahwa pengaturan mengenai penolakan surat kepercayaan diatur dalam Pasal 4 Vienna Convention on Diplomatic Relations 1961 yang menyebutkan

Berisi tentang data-data teoritik, data empirik serta gagasan awal berkaitan dengan perancangan sarana pembersih kemoceng, diantaranya data teoritik didapatkan dari berbagai

Hasil penelitian menunjukkan Untuk dapat berkompetensi dalam berkomunikasi lintas budaya di kalangan generasi muda sebagai bentuk kesiapan menghadapi Pemberlakuan

Pengaduan terhadap Ahli Pialang Asuransi dan Reasuransi sebagai Teradu yang dianggap melanggar Kode Etik harus disampaikan secara tertulis disertai dengan

Tentu, pada tataran realita tidak mungkin akan kita dapati praksis yang sesuai dengan teori yang berasas tersebut. Jika setiap orang tetap akan memaksakan pengaplikasian di

Departemen Agama Repub lik Indonesia , selanjutnya di sebut sebagai DEPAG, Dan Yayasan Makkah Almukarramah yang didi rikan dengan keputusan Menteri Dalam Negeri

menghasilkan laporan keuangan yang berkualitas karena terdapat control yang baik dari dalam sehingga laporan keuangan yang disajikan benar sesuai kejadian yang sebenarnya.

Puji syukur senantiasa penulis ucapkan kehadirat Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang tiada hentinya mencurahkan rahmat dan hidayah- Nya, sehingga dengan segala