Implementasi Kebijakan Pengendalian Demam Berdarah Dengue
di Kota Banjarmasin
Jurnal Vektor Penyakit, Vol. 8 No. 1, 2014 : 7 - 14
M. Rasyid Ridha, Hijaz Nuhung*
Balai Litbang P2B2 Tanah Bumbu, Badan Litbang Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI Jl. Loka Litbang Kawasan Perkantoran Pemda Kab. Tanah Bumbu, Gunung Tinggi - Batulicin, Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan
South Kalimantan is one of the provinces that still have problems with DHF, the prevalence of 0.26% per year. Out of the 13 regencies / cities in South Kalimantan Province, City Banjarmasin is the most frequent outbreaks. In order to determine the transmission of dengue fever prevention strategies in South Kalimantan, there should be efforts by utilizing a comprehensive and intensive case prevalence data, measures of health care, presence and program implementation, and evaluation of the success of the program, so it can be determined the type and pattern of effective interventions and efficient.
Qualitative descriptive and retrospective Characteristically, which qualitatively describes policies and programs that have been done at an earlier time (2010) through depth interview.
The avaibility of basic regulations, Standard Operational Prosedure, Dengue control mannual, infrastructure, and budget are sufficient. Control activities are still largely focused on curative. The implementation of preventive programs are still lacking, particularly, in program manager level. The regulation and financing of the dengue disease control is good enough, the surveillance system has been quite active, still qualitatively less human resources, and community participation in dengue control efforts are lacking. Improved behavior in a healthy life and independence of the community against dengue fever, cooperation and increase community participation/ empowerment of society, increased professionalism DBD program managers.
A B S T R A C T / A B S T R A K INFO ARTIKEL
Kalimantan Selatan merupakan salah satu provinsi yang masih bermasalah DBD dengan angka prevalensi kasus pertahun sebesar 0,26%. Dari 13 Kabupaten/Kota yang ada di Provinsi Kalimantan Selatan, Kota Banjarmasin merupakan wilayah yang paling sering terjadi KLB. Guna menemukan strategi pencegahan penularan DBD yang tepat di Kalimantan Selatan, maka perlu dilakukan upaya-upaya yang komprehensif dan intensif dengan memanfaatkan data prevalensi kasus, tindakan pelayanan kesehatan, keberadaan dan pelaksanaan program. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang dilakukan di Kota Banjarmasin pada tahun 2010.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dasar-dasar regulasi, SOP, pedoman pelaksanaan pengendalian DBD, sarana, pembiayaan masuk dalam kategori cukup. Kegiatan pengendalian umumnya masih berfokus kuratif, tetapi upaya preventif dan pelaksanaan kegiatan-kegiatan pokok program secara kualitatif masih sangat kurang khususnya di tingkat pelaksana program. Regulasi pengendalian penyakit DBD sudah cukup baik, sistem surveilans sudah cukup aktif, SDM secara kualitatif masih kurang, dan perilaku masyarakat dalam pengendalian DBD masih kurang. Peningkatan perilaku dalam hidup sehat dan kemandirian masyarakat terhadap penyakit DBD, kerjasama dan peningkatan peran serta masyarakat/pemberdayaan mayarakat, peningkatan profesionalisme pengelola program DBD.
© 2014 Jurnal Vektor Penyakit. All rights reserved Kata kunci: pengendalian DBD, kebijakan, surveilans. Article History: Received : 13 Feb. 2014 Revised : 19 Mar. 2014 Accepted : 23 Jun. 2014
*Alamat Korespondensi : email : hijaznuhung@ymail.com
Implementation of dengue hemorhagic fever control policies
in Banjarmasin
Keywords: control of DHF, policies, surveillance.
PENDAHULUAN
Penyakit bersumber vektor seperti Demam Berdarah Dengue (DBD) masih merupakan masalah kesehatan di Indonesia. Kecenderungan untuk terjadi wabah semakin meningkat dan meluas di berbagai daerah di Indonesia, seperti halnya di wilayah Provinsi Kalimantan Selatan.
Kalimantan Selatan merupakan salah satu provinsi yang masih bermasalah dengan DBD, dimana angka prevalensi kasus pertahun sebesar 0,26%. Dari 13 Kabupaten/Kota yang ada di Provinsi Kalimantan Selatan, Kota Banjarmasin merupakan wilayah yang paling
1
sering terjadi Kejadian Luar Biasa (KLB). Peningkatan kasus DBD dan timbulnya KLB, salah satunya diakibatkan oleh adanya resistensi dari nyamuk vektor. Penggunaan insektisida dalam waktu lama untuk sasaran yang sama memberikan tekanan seleksi yang mendorong berkembangnya populasi Aedes
2 aegypti resisten lebih cepat.
Langkah awal pengendalian Aedes
aegypti adalah dengan cara memetakan serta
mempelajari bioekologi dan status resistensi nya m u k . Pe m e t a a n b e r f u n g s i u n t u k mempermudah petugas dalam mengenali area penyebaran nyamuk. Mempelajari bioekologi nyamuk merupakan dasar dari pengendalian nyamuk, mengingat sifatnya yang lokal spesifik bisa berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya. Diketahuinya status resistensi nyamuk akan memberikan pilihan insektisida yang efektif dan efisien. Pa d a i l m u e p i d e m i o l o g i , ko m p o n e n pemahaman bermula dari pengamatan populasi dan masalah kesehatan masyarakat. Komponen aksi bermula dari penggunaan ev i d e n s e p i d e m i o l o g i d a l a m p ro s e s pembuatan kebijakan dan berakhir pada evaluasi dampak kebijakan pada kesehatan
3
masyarakat.
Prinsip pengendalian DBD sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh teori terjadinya penyakit oleh Gordon, bahwa penyakit timbul karena interaksi yang tidak seimbang antara pejamu, penyebab penyakit, dan lingkungan. Dalam hal ini faktor manusia berperan penting dalam melakukan pengendalian.
Untuk itu, manusia perlu mengenal faktor-faktor risiko yang potensial menimbulkan
4
kasus DBD di masyarakat.
Kebijakan penanggulangan wabah penyakit menular telah diatur dalam peraturan perundangan-undangan, tetapi implementasi di lapangan masih menghadapi berbagai permasalahan. Untuk mendapatkan konsep kebijakan pengendalian DBD di Kalimantan Selatan, dilakukan studi tentang kebijakan upaya pengendalian penyakit DBD. Studi kebijakan pengendalian DBD di daerah tersebut mencakup penelusuran data dan gambaran kebijakan pengendalian DBD k a b u p a t e n / ko t a s e r t a f a k t o r - f a k t o r p e n g h a m b a t m a u p u n p e n d u k u n g terlaksananya program termasuk gambaran pengetahuan sikap dan perilaku (PSP) masyarakat.
Studi tentang kebijakan DBD dalam upaya mendapatkan data dan gambaran kebijakan di daerah kabupaten/kota. Guna menentukan strategi pencegahan penularan DBD di Kalimantan Selatan, maka perlu dilakukan upaya-upaya yang komprehensif dan intensif dengan memanfaatkan data prevalensi kasus, tindakan pelayanan kesehatan, keberadaan dan pelaksanaan program, serta evaluasi keberhasilan program, sehingga dapat ditentukan jenis dan pola intervensi yang efektif dan efisien.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi implementasi kebijakan pelaksanaan pengendalian DBD di Kota Banjarmasin, Provinsi Kalimantan Selatan. BAHAN DAN METODE
Penelitian ini adalah jenis penelitian deksriptif. Populasi dan sampel adalah masyarakat di kabupaten/kota endemis di Provinsi Kalimantan Selatan dengan menggunakan sampel adalah para pembuat dan pelaksana kebijakan pengendalian DBD ( t i n g k a t K a b u p a t e n / k o t a , Kecamatan/Puskesmas ) yaitu DPR, Bappeda, Dinas Kesehatan tingkat Kabupaten/kota, Puskesmas, dan tokoh masyarakat/Kepala desa. Variabel adalah regulasi, dana, SDM, dan
sarana/fasilitas .
Pe n e l i t i a n i n i d i l a ku ka n d e n ga n mengidentifikasi kebijakan yang ada ( p e l a k s a n a a n r e g u l a s i , d a n a , S D M ) sehubungan dengan pengendalian DBD di daerah kabupaten/kota.
Cara pengambilan data dilakukan dengan wawancara mendalam (Indepth interview) kepada pembuat kebijakan dan pelaksana program pengendalian DBD (DPRD, Bapedda K a b u p a t e n , D i n a s K e s e h a t a n kabupaten/kota) dan tingkat pelaksana (puskesmas) serta tokoh masyarakat. Identifikasi kebijakan program pengendalian DBD di tingkat Kabupaten/kota (data sekunder). Penilaian atas jawaban dari hasil
indepth interview dibuat berdasarkan
tingkat/kelas dengan kategori: Sangat baik apabila mempunyai nilai 8 atau lebih, Baik apabila mempunyai nilai dari (6)-<8, Cukup/sedang apabila mempunyai nilai 4-<6, Kurang apabila mempunyai nilai 2–<4, Sangat kurang apabila mempunyai nilai <2.5
HASIL
Secara geografis Kota Banjarmasin terletak, antara 3° 16' 46” sampai dengan 3°
22' 54” LS serta 114° 31' 40” sampai dengan 114° 39' 55” BT, dengan ketinggian rata-rata 0,16 m diatas permukaan laut. Suhu udara rata antara 25-38°C, curah hujan rata-rata 297,4 mm perbulan dengan rata-rata-rata-rata hari hujan 18 hari.
Kasus DBD di Kota Banjarmasin dari tahun 2005 sampai tahun 2008 mengalami peningkatan sampai 147 kasus, dan sejak tahun 2009 terjadi penurunan kasus yaitu 77 kasus dan 63 kasus pada tahun 2010. Hasil
indepth interview, yang dilakukan pada tingkat
p e m b u a t k e b i j a k a n , t i n g k a t pelaksanan/operasional kebijakan dan pada tingkat TOMA. Hasil indepth interview dengan inventarisasi data seperti pada tabel 1, 2 dan 3. a. Tingkat pembuat kebijakan (DPR, Bappeda,
Dinkes)
H a s i l i nve n t a r i s a s i d a t a m e l a l u i pelaksanaan indepth interview di tingkat pembuat kebijakan (tingkat kabupaten), yaitu pada anggota DPR(komisi bidang kesehatan), Bappeda dan Kepala Dinas Kesehatan Kota Banjarmasin. Dari hasil pelaksanaan tersebut, diperoleh rerata nilai (tabel 1).
b. Tingkat pengelola/pelaksana program di Puskesmas
Tabel 1 Hasil Indepth Interview tingkat pembuat kebijakan di Kota Banjarmasin
No SUBSTANSI PERTANYAAN NILAI
1 REGULASI
- Bentuk kebijakan/ regulasi pengendalian DBD yang ada
- Realisasi pelaksanaannya
- Tanggapan terhadap kebijakan/regulasi yang ada
- Bagaimana realisasi kebijakan yang berkaitan dengan
pengendalian
- Hambatan di dalam pelaksanaan regulasi/SOP tersebut dan
peran serta masyarakat
5,13
2 SARANA
- Sistem pelaporan yang ada dari puskesmas, surveilans dan
penanggulangan wabah/KLB ( Tim penanggulangan KLB)
- sarana-sarana untuk pelaksanaan pengendalian DBD
- Mekanisme/ metode pelaksanaan yg diterapkan
- perbedaann tanggung jawab (pembagian kerja) antara tim
surveilans dan tim penanggulangan wabah
- Sarana-sarana bantuan dan kerja sama dengan masyarakat
- Bentuk penyediaan atau peningkatan sarana prasarana.
- Koordinasi antara puskesmas dan RSU dalam menangani
penderita DBD
- Sistem warning yang diterapkan dalam pengendalian
penyakit DBD
4,53
3 DANA - Sumber dana - Terobosan - Kecukupan anggaran 4,33 4 SDM
- Penyediaan atau peningkatan SDM
- Kesesuaian dan Kompetensi SDM yang ada di lapangan - Bentuk pembinaan dan peningkatan kompetensi dan
kapabilitas
- Hambatan dalam pelaksanaan pengendalian DBD
3,67
Tabel 2 Hasil Indepth Interview tingkat pelaksana kebijakan di Kota Banjarmasin
SUBSTANSI PERTANYAAN NILAI
REGULASI
- Bentuk kebijakan/regulasi pengendalian DBD yang ada, Misalnya: Renstra, pedoman (juklak, juknis dari pusat), SOP/Tatalaksana pengendalian DBD,
- Kelancaran/realisasi pelaksanaan aturan/regulasi/kebijakan? - Hambatan dalam pelaksanaan kebijakan/regulasi /SOP
4,11
SARANA
- Sarana-sarana yang ada untuk pelaksanaan pengendalian DBD - Surveilans dan penanggulangan wabah (DBD)
- Sistem pelaporan kasus DBD dari puskesmas? - Mekanisme/metode pelaksanaan yg diterapkan
- Sarana-sarana bantuan dan kerja sama dengan masyarakat
- Koordinasi antara puskesmas dan RSU dalam menangani penderita DBD - Sistem warning/kewaspadaan dini yang diterapkan
3,61
DANA
- Alokasi dana
- Penganggaran untuk pengendalian DBD - Kecukupan anggaran
5
SDM
- Situasi/distribusi SDM di Puskesmas? - Kompetensi SDM yang ada di lapangan,
- pembinaan dan peningkatan kompetensi dan kapabilitas
- Hambatan dalam pelaksanaan pengendalian DBD karena faktor SDM
3,3
KEGIATAN POKOK PROGRAM
a. Kewaspadaan dini penyakit DBD 1. Penemuan dan pelaporan penderita
2. Penanggulangan (PE, Penyuluhan 3M, abatisasi, fogging focus) 3. Pemberantasan vektor intensif (di desa endemis):
4. Bulan kewaspadaan”gerakan 3 M”
5. Pemantauan jentik berkala di desa endemis (setiap 3 bulan sekali) 6. Promosi kesehatan penyakit DBD
b. Pemberantasan vektor nyamuk penular (nyamuk dewasa, jentik dengan PSN , larvasida, IKANISASI
c. Penanggulangan KLB
Data pada tabel 1 untuk tingkat pembuat kebijakan menunjukkan bahwa taraf pengadaan regulasi di Kota Banjarmasin dianggap cukup/sedang, sedangkan faktor SDM masih taraf kurang.
Data pada tabel menunjukkan bahwa, pada tingkat operasional di lapangan, ke t e r s e d i a a n r e g u l a s i / S O P m a u p u n pendanaan cukup, sedang faktor sarana dan SDM kurang.
Data pada tabel 3 menunjukkan bahwa,
Tabel 3 Hasil Indepth Interview pada Tokoh Masyarakat di Banjarmasin
NO URAIAN S a n g a t k u r a n g / T d k p e r n a h % K u ra n g % C u k u p % B a ik % S a n g a t B a ik % 1 Kegiatan pemberantasan DBD di wilayahnya 0 0 2 0,25 4 0,5 2 0,25 0 0
2 Tanggapan terhadap kegiatan
pemberantasan DBD 0 0 2 0,25 6 0,75 0 0 0 0
3 Masalah dalam kegiatan DBD/
Hambatan 0 0 7 0,88 1 0,13 0 0 0 0
4 Hubungan kerjasama dengan
puskesmas 0 0 0 0 7 0,88 1 0,13 0 0
5 Sikap dalam kegiatan DBD 0 0 7 0,88 1 0,13 0 0 0 0 6 Tanggapan pendanaan pengendalian
DBD 0 0 8 1 0 0 0 0 0 0
7 Bentuk dan pelaksanaan penyuluhan
dari Dinkes/ Puskesmas 0 0 4 0,5 3 0,38 1 0,13 0 0
secara umum tanggapan tokoh masyarakat di Banjarmasin atas pelaksanaan pengendalian DBD cukup/sedang, sedangkan sikap kurang.
Dari gambar 1, menggambarkan pola sebaran kasus DBD di wilayah Banjarmasin tahun 2010. Kejadian kasus secara umum sangat tinggi di lima wilayah kecamatan dengan kejadian tertinggi di Kecamatan Banjarmasin Timur, yakni terjadi 18 kasus, sedang jumlah kasus terendah di Kecamatan Banjarmasin Barat yakni 8 kasus.
PEMBAHASAN
Penentuan kebijakan pada dasarnya adalah proses membangun kesepakatan dengan menggunakan eviden epidemiologi u n t u k m e n g u r a n g i k e t i d a k p a s t i a n . Epidemiologi secara khusus menyediakan metode prediksi potensi dampak upaya intervensi terhadap masalah kesehatan. Perbandingan konstribusi berbagai metoda intervensi terhadap perbaikan masalah kesehatan masyarakat, dapat menjadi dasar
3
penentuan intervensi yang efektif.
Selama bertahun-tahun, kebijakan pemberantasan penyakit DBD di Indonesia mengabaikan siklus kebijakan dan evidens epidemiologi. Program intervensi yang dilakukan secara reaktif dan terfokus pada Gambar 1. Peta Sebaran Kasus DBD
di Kota Banjarmasin Tahun 2010 Jurnal Vektor Penyakit, Vol. 8 No. 1, 2014 : 7 - 14
nyamuk dewasa terbukti tidak efektif dan tidak mampu menggerakan partisipasi masyarakat secara berkesinambungan. Ketika terjadi wabah, masyarakat merasa tidak terbebani akibat biaya perawatan yang gratis. Bahkan, mereka cenderung menyalahkan pemerintah yang terlambat melakukan
3,4
foging. Kebijakan pengendalian penyakit DBD dapat dikembangkan dengan dasar pemikiran bahwa tinggi rendahnya kejadian DBD ditentukan oleh keadaan faktor kesehatan lingkungan, kependudukan, layanan kesehatan, dan vektor DBD.
Hal-hal yang positif dari faktor-faktor regulasi untuk pelaksanaan kebijakan ditandai dengan adanya regulasi setingkat perda tentang KLB (Perda no. 22 tahun 2007) serta pencanangan gebrak DBD oleh walikota Banjarmasin (sudah 3 thn berjalan), sudah ada konsep keterpaduan sistem pelaporan kasus antara puskesmas, dinas kesehatan dan rumah sakit sudah terjalin dengan baik. Namun beberapa hal yang perlu menjadi perhatian yaitu bahwa Kota Bajarmasin sebagai ibukota provinsi, pusat kegiatan, tentunya beban pelaksana jauh lebih besar dibandingkan di daerah, sehingga manajemen pengelolaan di dalam pengendalian DBD harus lebih komprehensif, lebih profesional, terutama di dalam pemanfaatan dan penggunaan sarana. Dari upaya-upaya yang harus lebihmenjadi kendala seperti SDM yang masih kurang menurut kapabilitasnya hal ini d i h u b u n g k a n d e n g a n w i l a y a h K o t a Banjarmasin sebagai pusat kegiatan dan jumlah penduduk yang sangat padat, peran serta masyarakat yang masih kurang meskipun telah dilakukan kerjasama setingkat RT, sarana-sarana pendukung di Puskesmas, kerjasama lintas sektor yang belum terlihat dengan baik, kegiatan promosi kesehatan masih kurang. Kapabilitas pendidikan yang cukup dapat mebantu
5
melakukan anisis kebijakan yang baik.
Persepsi masyarakat bahwa kegiatan pemberantasan DBD masih mengharapkan peran petugas kesehatan, upaya mandiri dan bantuan kerjasama dari masyarakat sangat
6
kurang. Peran lintas sektor sangat penting
dalam upaya koordinasi dalam mengurangi
5
risiko penyakit menular di masyarakat.
KLB DBD dapat dihindari bila Sistem Kewaspadaan Dini (SKD) dan pengendalian vektor dilakukan dengan baik, terpadu dan berkesinambungan. Pengendalian vektor melalui surveilans vektor diatur dalam Kepmenkes No. 581 tahun 1992, bahwa kegiatan pemberantasan sarang nyamuk (PSN) dilakukan secara periodik oleh masyarakat yang dikoordinir oleh RT/RW dalam bentuk PSN dengan pesan inti 3M plus. Keberhasilan kegiatan PSN antara lain dapat diukur dengan Angka Bebas Jentik (ABJ). Apabila ABJ lebih atau sama dengan 95% diharapkan penularan DBD dapat dicegah
7
atau dikurangi.
Sejak tahun 2004 telah diperkenalkan suatu metode komunikasi/penyampaian informasi/pesan yang berdampak pada perubahan perilaku dalam pelaksanaan PSN melalui pendekatan sosial budaya setempat yaitu Metode Communication for Behavioral I m p a c t ( C O M B I ) . Pa d a t a h u n 2 0 0 7 pelaksanaan PSN dengan metode COMBI telah dilaksanakan di beberapa kota antara lain Jakarta Selatan, Jakarta Timur, Padang, dan Yogyakarta; sedangkan pada tahun 2008 dilaksanakan di 5 kota, yaitu Jakarta Selatan, Bandung, Tangerang, Semarang, dan Surabaya. Kegiatan PSN dengan metode pendekatan COMBI tersebut menjadi salah satu prioritas kegiatan dalam program P2DBD di masa yang akan datang. Data ABJ ini didapatkan dari Survei COMBI. Pada tahun 2009 survei COMBI ABJ dilaksanakan di Kota Bogor, Kota Bekasi, Kota Depok, Kota Batam
8
dan Kota Mataram.
Manajemen DBD berbasis wilayah adalah upaya paripurna terintegrasi antara manajemen kasus Demam Dengue sebagai sumber penularan, serta pengendalian faktor risiko penularan DBD pada satu wilayah RT, RW a t a u p u n k e l u r a h a n . Ko m p o n e n Manajemen DD berbasis wilayah atau Getas DBD, terdiri dari 3 kegiatan yang dilaksanakan secara simultan dan paripurna antara lain (1) Pencarian dan pengobatan kasus secara pro aktif; (2). Gerakan Lingkungan Bersih
(Pembersihan perindukan nyamuk); dan (3). Penggalangan masyarakat untuk melakukan
9,10,11
Getas DBD.
Manajemen DBD berbasis wilayah, merupakan konsep yang mengutamakan, menggarap atau berfokus pada pengendalian sumber penyakit (yaitu penderita DBD dengan atau tanpa gejala) dilakukan secara dini untuk mencegah eskalasi atau terjadinya KLB secara bersamaan dilakukan pencarian dan pembasmian tempat perindukan
12
nyamuk. Deteksi dini dilakukan oleh petugas surveilans atau kader dengan mencari kasus DBD secara pro aktif disekitar penderita pertama yang diketahui alamatnya, atau menggunakan petugas yang siaga, dengan mendirikan pos-pos DBD di setiap RW, atau kelurahan.
KESIMPULAN
Implementasi kebijakan pengendalian DBD di Kota Banjarmasin, Provinsi Kalimantan Selatan secara umum masih taraf kurang, khususnya pada faktor sarana dan SDM, dan hal tersebut akan berdampak dengan kurangnnya kualitas surveilans di daerah tersebut, dan semakin diperberat dengan faktor perilaku masyarakat yang masih kurang terhadap pelaksanaan pengendalian DBD di daerah.
SARAN
Perlu adanya penyamaan persepsi tentang pencegahan dan pengendalian DBD diantara para penentu kebijakan. Peningkatan peran tenaga surveilans dan jumantik didukung regulasi yang tepat.
UCAPAN TERIMA KASIH
Terimakasih diucapkan kepada Kepala Balai Litbang P2B2 Tanah Bumbu dalam memberikan dukungan penelitian, pihak dinas kesehatan (Kepala Dinas Kesehatan, Pengelola Program DBD) dalam membantu proses penelitian dan pada akhirnya penelitian ini dapat dengan baik terselesaikan berkat bantuan teman sejawat peneliti dan litkayasa. Harapan kami semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi Kota Banjarmasin dalam program kebijakan DBD.
DAFTAR PUSTAKA
1. Dinas Kesehatan Kota banjarmasin. Profil Kesehatan Kota Banjarmasin. 2010.
2. Matsumura, fumio. Toxicology of Insectiside second Ed. New york : Plenium Publication Corporated. 1985.
3. Rahman, arwah dan Ridwan Amiruddin. Mencegah Dan Mengendalikan Petaka Kesehatan Masyarakat Dengan Siklus K e b i j a k a n B e r b a s i s E v i d e n s Epidemiologi(Siklus Kebijakan Berbasis Evidens Epidemiologi). Makalah : Universitas Hasannudin. Makassar. 2007.
4. Shinta, Supratman sukowati dan Asri fauziah. Kerentanan Nyamuk Aedes aegypti di Daerah Khusus Ibukota Jakarta dan Bogor Terhadap I n s e k t i s i d a M a l a t h i o n d a n Lambdachyalothrin. Jurnal Ekologi Kesehatan Vol 7 No.1, April 2008 : 722 – 731.
5. Armstrong, Rebecca, Doyle J, Lamb C, Waters E. Multi-sectoral health promotion and public health: the role of evidence. Journal of Public Health [serial on the internet]. 2006; 28, 2: 168-172.
6. Departemen Kesehatan. Pencegahan dan Pemberantasan Demam Berdarah Dengue Di Indonesia, Dirjen P2PL, Depkes RI, Jakarta. 2008.
7. Pusat data dan Surveilans Kementerian Kesehatan. Buletin Jendela Epidemiologi. Volume 2, Agustus 2010.
8. Nainggolan, F. Epidemiology and Clinical Pathogenesis of Dengue in Indonesia; presented at Seminar on Management of Dengue Outbreaks; University of Indonesia; Jakarta; November 22. 2007
9. Achmadi U.F. Manajemen Penyakit Berbasis Wilayah; penerbit Kompas, Jakarta. 2005. 10. Achmadi U.F. Manajemen Penyakit Berbasis
Wilayah: Penerbit UI Press, Jakarta. 2008. 11. Achmadi U.F. Community Based Dengue
Control Program; presented at Seminar on Management of Dengue Outbreaks; University of Indonesia; Jakarta; November 22. 2007. 12. Wuryadi, S. Modifikasi Cara Pemberantasan
Penyakit Demam Berdarah Dengue di Daerah Endemis, JKPKBPPK, Badan Litbang Kesehatan RI, Jakarta. 2003.