• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengembangan Instrumen Kelelahan Kerja Fisik dan Psikologis pada Dosen

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Pengembangan Instrumen Kelelahan Kerja Fisik dan Psikologis pada Dosen"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

683

Pengembangan Instrumen Kelelahan Kerja Fisik dan Psikologis pada Dosen Gurdani Yogisutanti1

1Program Studi S1 Ilmu Kesehatan Masyarakat, Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Immanuel

Bandung

E-mail: gurdani@yahoo.com

Abstract

University teacher of Indonesia differs from industrial fatigue. They suffer more psycological fatigue than physical fatigue as industrial worker has. As a prevention from work accident, it needs a simple instrument to measure the level of fatigue since the current instruments using reaction timer was not simple because it needed two persons to operate. The study aimed to develop an instrument, a self administered questionnaired to measure the level of university teacher’s fatigue. The method used in this study was exploratory survey to develop the new instrument. The respondents in this study were as many as 185 university teachers over 8 private institutes of health sciences located at Coordinaton Office for Private Higher Education Institution Region (Kopertis) IV. The result of this study, the new instrument that contains 20 items namely G-Fatigue was positively corelated with the gold standard for measuring fatigue, such as CIS (Checklist Individual Stength), Visual Analogue Scale Fatigue and reaction timer. Statistical analysis using Pearson Product Moment Correlation test to indicate the correlatoin and the vvalue of reliability test using cronbach alpha is 0.883. It can be stated that the new instrument created is valid and reliable for measuring fatigue university teachers of Indonesia.

(2)

Pendahuluan

Profesi dosen berisiko tinggi untuk terjadinya stres akibat kerja dan kelelahan akibat kerja, terutama kelelahan psikologis. Masalah kelelahan kerja dosen masih jarang dibahas dalam literatur yang ada sampai saat ini (Shernoff, 2011). Hubungan kelelahan kerja dan akibat

burnout berhubungan dengan

minimalnya respon koping yang dilakukan. Dosen mempersiapkan bahan ajar dalam waktu yang kurang memadai, merasa kurang bertanggung jawab terhadap proses pembelajaran dan menggunakan sedikit energi dan waktunya untuk mengajar (Hughes, 2001). Penelitian pada dosen perawat klinik atau clinical nurse educators

(CNEs) di Kamerun, sebanyak 58,9%

dosen menyatakan bahwa mereka mendapatkan tantangan dalam kegiatan pembelajaran klinik dan pada saat melakukan aktivitas supervisi5. Tantangan utama yang dirasakan adalah kurangnya kesempatan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan dalam pembelajaran klinik, kurangnya insentif yang diterima dan buruknya kebijakan jaminan kesehatan.

Studi pendahuluan dengan melakukan focus group discussion tanggal 27 April 2011 yang berlangsung kurang lebih 2 jam terhadap 10 orang dosen yang berasal dari perguruan tinggi swasta dan pemerintah mendapatkan informasi bahwa seluruh peserta mengalami kelelahan kerja, baik fisik maupun psikologis. Penyebab kelelahan kerja

disebabkan waktu istirahat dan waktu tidur yang tidak adekuat, banyaknya beban kerja yang harus dikerjakan sehingga harus dikerjakan di rumah, tetapi tidak ada tambahan insentif dan hubungan dengan rekan dosen dan atasan yang tidak harmonis. Tuntutan dan target yang telah ditentukan oleh atasan menjadi faktor penyebab kelelahan kerja yang mereka alami. Ketidakteraturan jam kerja, waktu istirahat yang kurang, kesempatan dan sarana berolahraga yang tidak ada, dan ketidaktahuan serta minimnya pengetahuan tentang keselamatan dan kesehatan kerja menyebabkan dosen tersebut melakukan aktivitasnya tanpa berpikir akan terjadi penyakit akibat kerja. Selain itu, dilaporkan bahwa belum ada penjelasan tentang keselamatan dan kesehatan kerja di institusi masing-masing, pada saat pertama kali mereka menjadi dosen sampai dengan saat dilakukan wawancara. Beberapa hal tersebut dinyatakan menyebabkan kelelahan kerja pada dosen7 (Yogisutanti, 2011).

Focus group discussion pada

7 orang dosen dari sekolah tinggi ilmu kesehatan swasta di wilayah Kopertis IV yang dilaksanakan pada tanggal 8 Februari 2012 mengungkapkan, bahwa dosen mengalami kelelahan fisik dan psikologis (Yogisutanti et al. 2013). Beberapa alasan yang dikemukakan diantaranya adalah kurangnya pengetahuan tentang keselamatan dan kesehatan kerja berkaitan dengan pekerjaan dosen karena tidak ada penjelasan sebelum mereka mulai

(3)

685 bekerja, tidak pernah mendapatkan pelatihan keselamatan dan kesehatan kerja, kurang tidur dan waktu tidur yang tidak teratur, tidak teratur makan pagi sebelum bekerja, waktu istirahat yang tidak menentu, beban kerja yang berlebih sehingga harus dikerjakan di rumah, dan komunikasi yang kurang baik dengan teman kerja maupun atasan.

Kurangnya pengetahuan dan perhatian dosen tentang aspek keselamatan dan kesehatan kerjanya ditandai dengan gaya hidup (life style) yang tidak sehat. Gaya hidup tersebut diantaranya adalah kebiasaan makan pagi, lamanya waktu tidur dan kualitas tidur. Hasil pengukuran kelelahan kerja pada awal waktu kerja di suatu sekolah tinggi ilmu kesehatan swasta di Bandung didapatkan bahwa rata-rata waktu tidur dosen berkisar antara 6,7 jam per hari, sebanyak 28,6% tidak makan pagi sebelum bekerja dan pengukuran tingkat kelelahan kerja menggunakan waktu reaksi didapatkan rata-rata 278,8 milidetik, termasuk dalam kategori kelelahan ringan. Seharusnya dosen datang di waktu pagi dalam kondisi kelelahan normal untuk memulai aktivitasnya (Yogisutanti, 2011)

Berdasarkan data keluhan dosen, ternyata hasil pengukuran menggunakan reaction timer tidak berkorelasi positif dengan keluhan kelelahan kerja pada dosen. Sebagian besar dosen mengeluh merasa lemah dan lelah. Selain itu ada 2 orang dosen yang menderita sakit karena kelelahan dalam bekerja dan diharuskan dirawat di rumah sakit

dalam 1 bulan terakhir. Ada beberapa dosen yang mengeluh pusing dan merasa sakit punggung dan tangan, kelelahan mata, walaupun hasil pengukuran dengan menggunakan

reaction timer tidak menunjukkan

kelelahan atau dalam kondisi normal (Yogisutanti, 2013).

Berdasarkan hal tersebut di atas, maka permasalahan dalam penelitian ini adalah: Belum adanya instrumen yang valid dan reliable untuk mengukur kelelahan kerja pada dosen, baik kelelahan fisik maupun kelelahan psikologis. Oleh karena itu, dalam penelitian ini dibuat instrumen yang valid dan reliabel untuk mengukur kelelahan kerja fisik dan psikologis pada dosen.

Tujuan penelitian ini adalah menghasilkan instrumen untuk mengukur kelelahan kerja fisik dan psikologis pada dosen yang mempunyai nilai validitas dan reliabilitas yang memadai dan dapat diisi dan evaluasi sendiri oleh dosen

(self administered). Dengan

menggunakan instrumen tersebut dosen dapat melakukan evaluasi terhadap keadaan kesehatan dirinya sendiri, terutama terhadap kelelahan kerja yang dirasakannya, tanpa membutuhkan peralatan yang mahal dan tidak membutuhkan bantuan dari orang lain dalam melakukan pengukuran kelelahan kerja yang dirasakannya.

Metode Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian survei eksplanatori dengan

(4)

cross sectional untuk mendapatkan

data instrumen yang valid dan reliabel untuk mengukur kelelahan kerja pada dosen. Instrumen yang dibuat dikorelasikan dengan ukurana-ukuran standar untuk kelelahan kerja, yaitu CIS (Checklist Individual Strength), VFAS (visual fatigue analogue

scale), dan Self-Diagnosis Checklist

for Assessment of Worker’s

Accumulated Fatigue dan reaction timer yang selama ini digunakan

sebagai alat untuk mengukur kelelahan kerja di berbagai bidang pekerjaan dan industri.

Kelelahan kerja pada umumnya dikeluhkan sebagai pelemahan sikap, orientasi, dan penyesuaian di tempat kerja yang dialami pekerja. Gejala kelelahan kerja ditandai dengan penurunan kesiagaan dan perhatian, hambatan persepsi, cara berpikir dan perbuatan anti sosial yang tidak sesuai dengan lingkungan, depresi, kurang tenaga, dan kehilangan inisiatif. Gejala umum kelelahan kerja sering disertai sakit kepala, vertigo, gangguan fungsi paru dan jantung, kehilangan nafsu makan serta gangguan pencernaan, sedangkan gejala lain yang tidak spesifik berupa kecemasan, perubahan tingkah laku, kegelisahan dan sulit tidur (Cameron, 1973).

Kelelahan kerja terjadi tidak hanya di sore hari setelah bekerja, tetapi juga terasa sebelum mulai bekerja. Kelelahan ini disebut clinical

fatigue, dan umumnya diderita oleh

pekerja yang mengalami kesulitan-kesulitan psikososial. Faktor penyebab kelelahan sulit dibedakan

antara faktor luar dan dalam, akan tetapi gejala umumnya adalah: kehilangan inisiatif, depresi, kecemasan, peningkatan sifat mudah tersinggung, penurunan toleransi, kadang-kadang berperilaku asosial (Grandjean, 1985; Setyawati, 2010).

Kelelahan kerja yang terjadi sering ditandai dengan perasaan kelelahan, somnolensi, tidak bergairah bekerja, sulit berpikir, penurunan kesiagaan, penurunan persepsi dan kecepatan reaksi dalam bekerja juga menurun. Selain itu, juga diikuti penurunan kinerja fisik dan mental (Setyawati, 2010). Selain dikelompokkan menjadi kelelahan kerja subjektif dan objektif, kelelahan kerja juga dikelompokkan berdasarkan perubahan fungsi tubuh, perubahan performa atau kinerja, ataupun perubahan persepsi. Ada 3 aspek kelelahan, yaitu: kelelahan fisiologis (physiological fatigue)

berupa penurunan kapasitas fisik; kelelahan objektif (objective fatigue) yang ditandai dengan penurunan kinerja; dan kelelahan subjektif

(subjective fatigue) berupa perasaan

letih. Setiap respon dari tingkatan kelelahan mempunyai metode evaluasi tersendiri (Åhsberg, 1998).

Parameter fisiologis diukur dengan melihat aktivitas otot dengan pengukuran EMG (electromyogram), tekanan darah dan detak jantung (Åhsberg, 1998), konsumsi oksigen (Gamberale, 1990), aktivitas serebral level melatonin, kadar kortisol dalam urin dan perubahan pada frekuensi

flicker fusion (Åkerstedt, 1982).

(5)

687 pengukuran kelelahan yang telah dilakukan oleh peneliti sebelumnya. Metode tersebut adalah dengan pengukuran fisiologis, metode pengukuran kinerja dan sensorik, dan metode pengukuran psikologis. Pengukuran fisiologis dilakukan dengan melakukan pengukuran kelelahan otot lokal diukur dengan melihat perubahan biokimia dan ion, perubahan dalam electromyography (EMG), perubahan tekanan darah dan detak jantung, yang diinterpretasikan sebagai pengukuran kelelahan fisik (tinggi (Åhsberg, 1998). Sleepiness atau perasaan mengantuk sebagai konsekuensi dari bekerja di malam hari diukur menggunakan

electroencephalography (EEG),

electrooculography (EOG) dan kadar

melatonin dalam urin. Selain itu, EEG juga digunakan dalam pengukuran kelelahan mental setelah bekerja. Ekskresi hormon juga diukur, yaitu adanya hormon kortisol dalam urin yang berkorelasi dengan persepsi kelelahan pada pekerja di industri yang terpapar kebisingan tingkat tinggi(Åhsberg, 1998).

Metode pengukuran kinerja dan kemampuan sensorik dengan menggunakan variabel kinerja, waktu reaksi, dan kemampuan sensorik juga digunakan sebagai indikator untuk mengukur kelelahan. Perubahan kinerja terjadi pada pegawai yang menderita kurang tidur. Pada tes menggunakan komputer terjadi kesalahan dalam memasukkan data. Semakin panjangnya waktu reaksi juga merupakan indikator kelelahan, contohnya pada petugas mekanik

pesawat terbang setelah terpapar bising. Perubahan pada Critical

Flicker Fusion Frequency (CFF)

digunakan untuk mengukur kelelahan kerja pada petugas operator VDT

(Visual Display Terminal) (Åhsberg, 1998).

Kelelahan psikologis menggunakan skala uni-dimensi, yaitu satu pertanyaan tentang kelelahan yang dirasakan oleh seseorang. Metode psikologis yang digunakan untuk mengukur kelelahan adalah metode estimasi dan metode produksi. Metode estimasi dilakukan dengan cara memperkirakan besarnya persepsi relatif, sedangkan metode produksi menunjukkan reflek berkaitan dengan persepsi yang diberikan(Åhsberg, 1998). Salah satu contoh dari metode pengukuran kelelahan ini adalah penggunaan skala Perceived of exertion. Skala yang dikembangkan oleh Borg ini berkorelasi dengan respon psikologis dan beban fisik. Rating of perceived

exertion dan Category ratio 10

(CR10) adalah skala yang banyak digunakan dalam penelitian (Borg, 1998).

Kelelahan merupakan variabel utama yang berkorelasi dengan variabel lain dalam sejumlah penelitian yang telah dilakukan. Kelelahan kerja diukur menggunakan metode fisiologis atau psikologis atau dilihat dari perubahan kinerja dan kemampuan sensorik serta berdasarkan instrumen penelitian. Sebuah instrumen kelelahan yang disusun berdasarkan aspek yang berhubungan dengan pekerjaan yang

(6)

diteliti berguna untuk mengukur kelelahan kerja. Beberapa penelitian juga merekomendasikan untuk dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai kelelahan agar dapat digunakan untuk mengembangkan metode pengukuran kelelahan.

Sampai saat ini belum terdapat cara pengukuran fisiologis ataupun psikologis yang dapat digunakan secara sempurna dalam setiap jenis industri. Belum terdapat alat khusus untuk mengukur kelelahan kerja (Phoon, 1998). Adapun beberapa parameter yang pernah digunakan untuk mengukur kelelahan kerja diantaranya menggunakan waktu reaksi, uji finger-tapping (uji ketuk jari), uji Flicker-Fusion, uji Critical

Flicker-Fusion, uji Bourdon

Wiersma, Skala kelelahan Industrial Fatigue Research Committee (IFRC),

Skala Kashiwagi, pemeriksaan tremor pada tangan, metode blink, ekskresi katekolamin, Stroop test, Spanish

version of the Swedish Occupational

Fatigue Inventory (SOFI) dan

Kuesioner Alat Ukur Perasaan Kelelahan Kerja (KAUPK2) (Setyawati, 2010).

Waktu reaksi adalah waktu yang terjadi antara pemberian rangsang tunggal sampai timbulnya respon terhadap rangsang tersebut. Waktu reaksi ini merupakan reaksi sederhana atas rangsang tunggal atau reaksi yang memerlukan koordinasi (Suma’mur, 1984). Pada keadaan kelelahan terjadi perubahan waktu reaksi (Burke and Hutchins, 2004). Waktu reaksi menjadi lebih lama atau memanjang. Uji Finger-tapping (uji

ketuk jari) ini dilakukan dengan cara mengukur kecepatan maksimal mengetukkan jari tangan dalam suatu periode tertentu. Uji ini sangat lemah karena banyak faktor yang berpengaruh dalam proses mengetukkan jari tangan, sehingga uji ini tidak dapat digunakan untuk menguji kelelahan dari berbagai macam pekerjaan. Uji Flicker-Fusion adalah pengukuran terhadap kecepatan berkelipnya cahaya (lampu) yang secara bertahap ditingkatkan sampai kecepatan tertentu, sehingga cahaya tampak berbaur sebagai cahaya yang kontinyu (Grandjean, 1984) Uji ini sesuai untuk menilai kelelahan mata pada pekerja dan uji Critical

Flicker-Fusion adalah modifikasi dari uji

Flicker-Fusion. Critical

Flicker-Fusion dipergunakan untuk pengujian

kelelahan mata yang berat, dengan menggunakan flicker tester. Uji

Bourdon Wiersma merupakan

pengujian terhadap kecepatan bereaksi dan ketelitian. Uji ini digunakan untuk menguji kelelahan pada pengemudi (Manuaba dan Nala, 1971). Instrumen Kuesioner Alat Ukur Perasaan Kelelahan Kerja (KAUPK2) merupakan suatu alat yang digunakan untuk mengukur indikator perasaan kelelahan kerja yang khusus bagi pekerja Indonesia.

Kelelahan kerja adalah suatu keadan yang dirasakan oleh seseorang dengan ditandai adanay keluhan yang tidak menyangkut kelalahan yang bersifat fisik saja tetapi juga kelelahan yang bersifat psikologis. Berdasarkan studi literatur, dimensi kelelahan kerja

(7)

689

yang diusulkan dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1

Dimensi Kelelahan Kerja yang akan Dikembangkan

Dimensi kelelahan kerja Item yang akan dikembangkan

Kurang energi Beban kerja berlebih, keletihan, kehabisan tenaga, tidak punya tenaga

Ketegangan fisik Berkeringan, susah bernafas, kehabisan nafas, suhu tubuh panas Ketidaknyamanan fisik Kelelahan otot, palpitasi, sendi kaku, mati rasa, merasa sakit, sakit Kurang motivasi Tidak tertarik bekerja, pasif, lesu, acuh tak acuh, tidak mau terlibat Mengantuk Mengantuk, ketiduran, menguap, malas, bosan

Kelelahan psikologis Menguap, berbaring, sakit kepala, mata lelah, skit pada pundak, sakit pada pinggang, kehilangan kemampuan berpikir, konsentrasi, kehilangan kesabaran, merasa kehausan, merasa pusing, mood tidak baik, kedutan di atas mata

Akumulasi kelelahan Mudah marah, cemas, depresi, merasa sakit, tidak bisa tidur, kurang konsentrasi, sering membuat kesalahan, merasa sangat mengantuk saat bekerja, merasa lelah pada saat bangun di pagi hari, lebih mudah lelah dibanding biasanya

Sumber: Mao, et al. (1990); Hung, et al. (2009); Gutiѐrrez, et al. (2005);Otsuka, et al.(2008)

Kelelahan kerja dosen berbeda dengan kelelahan yang dialami pekerja di industri. Berdasarkan karakteristik pekerjaan dan bentuk organisasi sudah jelas berbeda, contohnya: beban kerja, shift kerja, jam kerja, manajemen perusahaan atau institusi, pengalaman kerja, motivasi kerja, disiplin, tanggung jawab dan semangat kerja, komunikasi serta kualifikasinya. Untuk membuat instrumen tersebut perlu dilakukan eksplorasi atau menggali secara mendalam kelelahan yang dialami dosen, serta faktor-faktor penyebabnya. Cara yang

digunakan adalah wawancara mendalam (in-depth interview) dan diskusi kelompok terpusat (focus

group discussion). Kerangka konsep

dapat dilihat pada gambar 1.

Hipotesis dalam penelitian ini adalah: instrumen pengukuran kelelahan kerja pada dosen hasil penelitian ini berkorelasi positif dengan pengukuran kelelahan kerja menggunakan CIS20 dan Visual

Fatigue Analogue Scale,

Self-Diagnosis Checklist for Assessment of Worker’s Accumulated Fatigue dan reaction timer. Item Instrumen Kelelahan Kerja Dosen Instrumen Penelitian: Valid Instrumen Penelitian: Reliable Instrumen Kelelahan Kerja Dosen

(8)

Gambar 1. Kerangka Konsep Penyusunan Instrumen Kelelahan Kerja Dosen Hasil dan Pembahasan

Data jumlah dosen yang ada di EPSBED tahun 2012 yang menjadi acuan untuk menentukan responden penelitian ternyata jumlahnya kurang sesuai dengan data yang ada di lapangan, sehingga jumlah dosen yang telah ditentukan sebelumnya tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan. Pengumpulan data pada dosen ternyata memerlukan waktu yang panjang karena dosen di sekolah tinggi mempunyai karakteristik yang hampir sama, yaitu mempunyai tugas di luar kampus untuk mendampingi praktik mahasiswa. Kelengkapan data penelitian yang seharusnya didapatkan dari 10 sekolah tinggi hanya dapat dikumpulkan dari 8 sekolah tinggi, dan sisanya menunggu perijinan untuk pengambilan data yang tidak mungkin dilakukan pada tahun 2013.

Hasil pengumpulan data terhadap 185 orang dosen sekolah tinggi ilmu kesehatan yang berada di wilayah Kopertis IV yaitu Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Immanuel Bandung sebanyak 31 orang (16,8%), Stikes Achmad Yani Cimahi sebanyak 42 orang dosen (22,7%), Stikes Indramayu sebanyak 38 orang (20,5%), Stikes Bakti Tunas Husada Tasikmalaya sebanyak 13 orang (7,0%) dan Stikes Banten sebanyak

21 orang (11,4%), adalah sebagai berikut:

Sebagian besar responden adalah perempuan (65,4%), tingkat pendidikan rata-rata adalah S1 dan S2 dengan proporsi yang hampir sama mendekati setengah dari keseluruhan. Masih banyak dosen yang berpendidikan D4 dan S1, sementara menurut Undang-undang dosen no 14 tahun 2005, tingkat pendidikan dosen minimal adalah S2 dan mempunyai jabatan fungsional asisten ahli. Dosen yang belum menikah proporsinya hampir seperempat dari jumlah dosen yang sudah menikah. Rerata usia berkisar antara 21 – 68 tahun, dengan rata-rata 34,8 tahun dan standar deviasi 9,4 tahun. Jumlah anak paling banyak yang dimiliki responden adalah 5 orang. Masa kerja bervariasi mulai dari yang belum mencapai 1 tahun sampai dengan 40 tahun. Rerata masa kerja adalah 6,4 tahun dan standar deviasi 5,6 tahun.

1. Instrumen pengukuran

kelelahan kerja dosen G-Fatigue

Jumlah instrumen yang dihasilkan dari pengembangan beberapa skala dan kuesioner yang selama ini digunakan untuk mengukur kelelahan kerja di sektor industri. Dimensi kelelahan kerja pada dosen

(9)

691 dibagi menjadi 4 dimensiMao, et al. (1990); Hung, et al. (2009); Gutiѐrrez, et al. (2005);Otsuka, et

al.(2008), sebagai berikut:

a. Dimensi Motivasi

Dimensi motivasi

dikembangkan dalam 3 item pertanyaan yang meliputi: saya tidak ingin terlibat dalam aktivitas tridharma perguruan tinggi; saya merasa tidak mempunyai motivasi untuk beraktivitas sesuai tugas dosen; dan saya merasa sulit untuk konsentrasi.

b. Dimensi Mengantuk

Dimensi mengantuk ini terdiri dari 4 item pertanyaan yang meliputi: sering menguap pada saat menjalankan aktivitas dosen; saya mengantuk pada saat mengajar di kelas, saya tertidur pada saat menghadiri rapat; saya merasa mengantuk pada saat mengajar dan saya merasa mengantuk pada saat bekerja.

c. Dimensi Kelelahan/Fatigue 1) Kelelahan fisik

Dimensi kelelahan fisik terdiri dari beberapa item pertanyaan yang jumlahnya

paling banyak

dibandingkan dengan item pertanyaan dari dimensi kelelahan kerja pada dosen. Dimensi kelelahan fisik ini meliputi beberapa pertanyaan sebagai berikut: saya merasa lelah; saya merasa sakit di seluruh badan; saya malasdi

seluruh badan; saya malas berdiri pada saat mengajar di kelas; saya merasa haus; saya membuat kesalahan dalam bekerja; saya menghasilkan karya yang tidak memenuhi target; saya masih merasa lelah pada saat bangun di pagi hari; dan saya merasa ingin berbaring. 2) Kelelahan psikologis Dimensi kelelahan psikologis meliputi beberapa pernyataansebagai berikut: saya tiba-tiba lupa dengan urut-urutan sesuatu yang biasanya sudah saya hafal; merasa haus; saya merasa menjadi mudah marah; saya merasa lebih cepat lelah dari biasanya; sulit tidur dan saya merasa kurang beristirahat.

2. Reliabilitas Instrumen

Pengukuran Kelelahan Kerja Dosen

a. Reliabilitas

Hasil penelitian tentang reliabilitas CIS, didapatkan kesimpulan bahwa CIS mempunyai reliabilitas internal sebesar 0,91 yang telah diujikan pada sebanyak 35 subyek penelitian dengan cara test-retest26. Instrumen

yang dikembangkan ini dan diberi nama G-Fatigue

mempunyai nilai Cronbach’s

(10)

Berdasarkan nilai reliabilitas tersebut, maka dapat dikatakan bahwa instrumen tersebut reliabel dalam mengukur kelelahan kerja pada dosen. b. Hasil uji validitas

Uji validitas instrumen

G-Fatigue yang dikembangkan

dilakukan dengan

mengkorelasikan antara skala yang dikembangkan dengan instrumen yang diasumsikan sebagai gold standard, yaitu CIS 20 dan visual analogue

fatigue scale. Hasil nya dapat

dilihat pada tabel 2. c. Analisis diskriminan

Analisis statistik untuk mengetahui discriminant

validity dilakukan uji

ANOVA pada kelompok dosen dengan beban kerja kurang dari 12 sks, antara 12-16 sks dan lebih dari 12-16 sks. Hasil analisis menunjukkan bahwa ada perbedaan kelelahan kerja pada dosen dengan beban kerja lebih dari 16 sks dibandingkan dengan dosen yang mempunyai beban kerja kurang dari 12 sks maupun antara 12-16 sks. Berdasarkan hasil uji tersebut, didapatkan hasil bahwa

G-Fatigue dapat membedakan

kelelahan kerja pada dosen yang mempunyai beban kerja berlebih dan yang mempunyai

beban kerja kurang dari 16 sks sesuai dengan ketentuan dari Direktorat pendidikan tinggi (Dikti).

Tabel 2. menunjukkan bahwa instrumen yang baru mempunyai korelasi positif terhadap CIS20 dan VAFS, accumulated fatigue scale dan

reaction timer masing-masing

mempunyai nilai probabilitas kurang dari 0,05, sehingga dapat disimpulkan bahwa instrumen yang baru dapat digunakan untuk mengukur kelelahan kerja pada dosen.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor penyebab kelelahan kerja yang dialami dosen dibagi menjadi 2 kategori, yaitu faktor penyebab institusional dan non-institusional. Faktor penyebab institusional di antaranya adalah kurangnya informasi dan pengetahuan tentang keselamatan dan kesehatan kerja (K3) di tempat kerja, tidak adanya induction training pada saat awal kerja, beban kerja dosen yang berlebih, waktu istirahat yang kurang dan tidak jelas, hubungan dengan atasan dan rekan kerja yang kurang baik, dan tidak tersedianya sarana olah raga atau rekreasi yang memadai di tempat kerja. Faktor noninstitusional meliputi: tidak sempat makan pagi, lama tidur kurang dari 7 jam per hari, mengerjakan tugas atau pekerjaan di rumah, kurangnya aktivitas olah raga dan rekreasi (Beurskens, 2000).

Tabel 2

Validitas Instrumen Kelelahan Kerja Dosen

(11)

693 G vs RT CIS selfD G Pearson Correlation 1 .449** .211* .466** .946** Sig. (2-tailed) .000 .029 .000 .000 N 185 182 107 185 185 vs Pearson Correlation .449** 1 .429** .176* .408** Sig. (2-tailed) .000 .000 .018 .000 N 182 182 107 182 182 RT Pearson Correlation .211* .429** 1 .145 .155 Sig. (2-tailed) .029 .000 .137 .111 N 107 107 107 107 107 G vs RT CIS selfD

CIS Pearson Correlation .466** .176* .145 1 .380**

Sig. (2-tailed) .000 .018 .137 .000

N 185 182 107 185 185

selfD Pearson Correlation .946** .408** .155 .380** 1

Sig. (2-tailed) .000 .000 .111 .000

N 185 182 107 185 185

Waktu tidur berkurang karena

harus mengerjakan dan

menyelesaikan pekerjaan yang seharusnya dilakukan di tempat kerja dibawa ke rumah, bahkan kadang melakukan aktivitas bimbingan kepada mahasiswa pada jam 12 malam sampai dengan pagi, yaitu pada saat membimbing mahasiswa D3 Kebidanan untuk pertolongan persalinan. Waktu tidur menjadi tidak teratur karena bekerja di rumah. Makan pagi tidak teratur dilakukan sebelum bekerja karena ada perkuliahan pagi sehingga aktivitas sarapan pagi ditinggalkan.

Waktu istirahat dosen berbeda dengan waktu istirahat staf yang telah diatur antara pukul 12.00-13.00 setiap hari. Waktu istirahat dosen tidak menentu dan tidak diatur secara khusus. Beban kerja yang berlebih banyak dialami dosen, sehingga harus dikerjakan di rumah karena waktu di

kampus habis untuk melayani kegiatan pembimbingan dengan mahasiswa dan mengerjakan kegiatan administrasif.

Hubungan yang kurang baik dengan teman kerja maupun atasan menyebabkan seorang dosen tidak bisa berkomunikasi secara efektif dengan atasan maupun dengan rekan kerjanya. Konflik yang terjadi dengan atasan dan rekan kerja menyebabkan dosen tidak termotivasi untuk bekerja dengan baik dan ada kecenderungan untuk menghindari bertemu baik dengan atasan maupun dengan rekan sekerja tersebut.

Tidak adanya seseorang yang berperan sebagai mentor atau panutan bagi seorang dosen (setara dengan

supervisor yang ada di perusahaan)

yang berperan membimbing dan memberikan informasi menyebabkan dosen menjadi terhambat dalam melaksanakan tridharma perguruan

(12)

tinggi terutama untuk penelitian dan pengabdian kepada masyarakat serta kecemasan pada saat harus mendapatkan jabatan fungsional dan mengikuti sertifikasi dosen yang menjadi hak bagi dosen (Yogisutanti

et al., 2013).

Instrumen kelelahan kerja yang ada saat ini, sebagian besar digunakan untuk mengukur kelelahan kerja pada pekerja di sektor industri. Belum ada instrumen yang dapat mengukur kelelahan untuk segala jenis pekerjaan, mengingat masing-masing jenis pekerjaan mempunyai karakteristik yang berbeda-beda. Pekerjaan dosen dengan pekerjaan buruh di perusahaan sangat berbeda. Pekerja di perusahaan lebih banyak mengalami kelelahan fisik ketimbang kelelahan psikologis, sedangkan dosen mengalami kelelahan yang sebaliknya, kelelahan psikologis lebih dominan dibandingkan dengan kelelahan kerja fisik.

Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan instrumen yang dapat digunakan untuk mengukur kelelahan kerja pada dosen secara mandiri agar dosen dapat memperhatikan kesehatannnya sehingga dapat terjada produktivitasnya. Salah satu alat yang dapat digunakan untuk mengukur kelelahan kerja pada dosen adalah

reaction timer yang digunakan untuk

mengukur kecepatan waktu reaksi seseorang terhadap rangsangan, yaitu rangsang cahaya maupun rangsang suara. Reaction timer tidak dapat dipergunakan secara mandiri oleh dosen atau pekerja untuk mengukur

tingkat kelelahan yang terjadi. Berdasarkan hal tersebut, perlu dikembangkan suatu instrumen atau skala yang dapat digunakan oleh dosen untuk mengukur tingkat kelelahan dirinya sendiri, dan tidak memerlukan peralatan yang relatif mahal untuk mengetahui tingkat kelelahan yang dirasakannya.

G-Fatigue adalah salah satu

skala pengukuran kelelahan yang dikembangkan berdasarkan karakteristik tugas dan pekerjaan dosen. Item pernyataan yang ada dalam skala G-Fatigue dibuat berdasarkan focus group discussion (FGD) yang dilakukan sebelumnya terhadap dosen di sekolah tinggi ilmu kesehatan di wilayah kopertis IV. Hasil FGD mengungkapkan gejala-gejala yang dirasakan dosen pada saat merasakan mengalami kelelahan kerja.

Berdasarkan hasil analisis statistik dapat disimpulkan bahwa instrumen baru yang dikembangkan yang diberi nama G-Fatigue

berkorelasi positif dengan CIS20, VAFS, Self-Diagnosis Checklist for

Assessment of Worker’s Accumulated Fatigue dan reaction timer. Selain itu, G-Fatigue dapat juga membedakan

kelelahan kerja pada dosen dengan beban kerja yang berlebih dan yang tidak berlebih seesuai dengan ketentuan yang berlaku di Indonesia.

Sebenarnya tidak ada gold

standard yang dapat digunakan untuk

mengukur kelelahan kerja, sehingga sebenarnya kita tidak akan pernah dapat membuktikan validitas dari instrumen yang kita gunakan untuk

(13)

695 mengukur kelelahan kerja. Karena tidak adanya gold standard untuk mengukur kelelahan kerja, maka untuk mengetahui validitas suatu instrumen harus dilakukan dengan cara membandingkan secara langsung hasil pengukuran kelelahan yang berkorelasi dengan pengukuran kelelahan yang telah ada dan digunakan saat ini. Dalam penelitian ini, analisis diskriminan dari instrumen G-Fatigue dibandingkan dengan pengukuran yang berkaitan dengan pengukuran kelelahan, yaitu menggunakan CIS20, VAFS,

Self-Diagnosis Checklist for Assessment of Worker’s Accumulated Fatigue dan reaction timer.

Beberapa alasan kuesioner dipilih sebagai alternatif dalam pengukuran kelelahan kerja (Beurskens, 2000), bahwa kuesioner dapat digunakan untuk 3 keperluan, yaitu: 1) dapat digunakan untuk

membedakan antar subjek; 2) memperkirakan prognosis; 3)

melakukan evaluasi yang terjadi pada setiap waktu. Kuesioner dengan tujuan penggunaan yang berbeda, membutuhkan kelengkapan yang berbeda pula.

Beberapa keterbatasan dalam penelitian ini diantaranya adalah: masih perlu dilakukan convergent

validity, yaitu dengan

membandingkan pengukuran instrumen kelelahan kerja pada kelompok yang mengalami kelelahan signifikan, dan melakukan analisis korelasi pada hasil pengukuran tersebut.

Simpulan

Hasil penelitian ini menghasilkan instrumen yang akan digunakan untuk mengukur kelelahan kerja khususnya pada dosen yang mempunyai karakteristik berbeda dengan tenaga kerja di sektor industri. Instrumen yang dikembangkan terdiri dari 20 item pertanyaan yang terbagi menjadi 4 dimensi kelelahan kerja dosen, yaitu dimensi motivasi sebanyak 3 item, dimensi mengantuk sebanyak 6 item, dimensi kelelahan fisik sebanyak 4 item dan ada 7 item pertanyaan untuk dimensi kelelahan psikologis.

Hasil pengujian validitas dengan mengkorelasikan instrumen tersebut dengan yaitu CIS20 (checklist individual strength), VFAS (visual fatigue analogue scale),

Self-Diagnosis Checklist for Assessment of Worker’s Accumulated Fatigue dan reaction timer didapatkan hasil bahwa

instrumen yang dikembangkan

(G-Fatigue) berkorelasi positif dengan

keempat instrumen tersebut. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa instrumen yang dikembangkan untuk mengukur kelelahan kerja terbukti valid dan reliabel, sehingga dapat digunakan untuk mengukur kelelahan kerja pada dosen. Semakin tinggi skor yang didapatkan dari pengukuran menggunakan instrumen tersebut, semakin tinggi pula tingkat kelelahan kerja yang dirasakan oleh dosen tersebut.

Saran yang dapat

(14)

penelitian, bahwa instrumen pengukuran kelelahan kerja pada dosen dapat digunakan untuk skrining tingkat kelelahan dosen, sehingga dapat digunakan untuk menentukan tindakan bagi dosen yang mengalami kelelahan dan tindakan pencegahan bagi dosen yang tidak mengalami kelelahan, selain itu, dosen dapat melakukan pengukuran kelelahan kerja secara mandiri menggunakan instrumen G-Fatigue, untuk mengetahui tingkat kelelahan kerja yang dirasakan secara mandiri (self

administrered), sehingga dapat

mencegah dan mengendalikan kelelahan kerja yang dapat terjadi pada profesi dosen;

DAFTAR PUSTAKA

Åhsberg, Elizabeth. 1998. Perceived

Fatigue Related to Work.

Departement of Psychology, ISBN 91-7045-485-x, Sweden. Åkerstedt, T., Gillberg, M.,

Wetterberg, L. 1982. The Circadian Covariation of Fatigue and Urinary Melatonin.

Biol Psychiat. 17: 547-554.

Beurskens, Anna JHM., Bȕltmann, Ute., Kant IJmert., Vercoulen, Jan HMM., Bleijenberg, Gijs, Swaen, Gerard MH. 2000. Fatigue among Working People: Validity of a Questionnaire Measure.

Occupational Environmental

Medicine 57: 353-357.

Borg, G. 1998. Borg’s Perceived of

Exertion and pain Scales.

Champaign: Human

Kinetics.San Diego.

Burke, L. and Hutchins, H. 2007. Training Transfer: An Integrataive Literature Review,

Human Resources Development Review. 6 (3): 263-296.

Cameron, C. 1973. A Theory of Fatigue. Ergonomics. 16 (5): 633-648.

Eta, V.E.A., Atanga, M.B.S., Atashili, J., D’Cruz, G. Nurses Challenges Faced as Clinical Educators: a survey of Group of Nurses in Cameroon, Pan African Medical Journal. 2011; [cited in 20 Jan 2012]: 8 (28). The Pan African journal, Uganda,

[URL:http://www.panafrican-med-journal.com] diakses tanggal 9 Februari 2013.

Gamberale, F. 1990. Perceiption of effort in manual material handling, Scan J. Work Environment Health. 16: 59-66.

Grandjean, E. 1985. Fitting the Task

to The Man. A Text Book of

Occupational Ergonomic 4th

Edition. Taylor & Francis,

London, New York.

Gutiérrez, J.,L., González, Jiménez Bernardo, Moreno., Hernández, Eva Rosa., & López, Almuna López. 2005. Spanish Version of The Swedish Occupational

(15)

697 Fatigue Inventory (SOFI): Factorial Replication, Reliability and Validity,

International Journal of

Industrial Ergonomics. 35:

737-746.

Hughes, R. E. 2001. Deciding to Leave but Staying: Teacher Burnout, Precusors and Turnover. International Journal

of Human Resource

Management. 12: 288-298.

Manuaba, A., dan Nala, N. 1971. Masalah Kelelahan Pekerja di Bagian Laundry Hotel. Proc.

Seminar Fisiologi Nasional ke II, Surabaya.

Mao, I. F., Huang, J. W., Chem, C. J., Tsay, M. H., Cheng, S. F. Chow, C. K., Chen, M. L. 1998. Subjective fatigue in visual display terminal workers.

Journal Occupational Safety and Health. 6 (2): 71-85.

Otsuka, Y., Sasaki T., Iwasaki, K., Mori, I. 2008. Working hours, coping skills, and psychological health in Japanese daytime workers. Industrial Health.2009. 47: 22-32.

Phoon, W. O. 1988. Practical

Occupational Health. JBW.

Printers & Binders Pte Ltd. Singapore.

Setyawati, L. 1994. Kelelahan Kerja Kronis, Kajian terhadap Kelelahan Kerja, Penyusunan Alat Ukur serta Hubungan dengan Waktu Reaksi dan Produktivitas Kerja, Disertasi,

Program Pascasarjana, UGM, Yogyakarta.

Setyawati, L. 2010. Selintas tentang

Kelelahan Kerja. Manajemen

Kelelahan Kerja adalah

Jawabannya. Amara Books,

Yogyakarta.

Shernoff, Elisa, S., Mehta, Tara, G., Atkins, Marc, S., Torf, Raechel., Spencere, Jordan. 2011. A Qualitative Study of The Sources and Impact of Stress Among Urban Teachers,

School Mental Health. 3: 59-69.

Suma’mur, P. K. 1984. Higiene

Perusahaan dan Kesehatan Kerja, Cetakank ke-2, PT

Gunung Agung, Jakarta.

Yogisutanti G. 2011. Had accreditation system covered safety and health for lecturer? Paper presented at: 2nd HPEQ Health Professional Education Quality. Promoting Health Through Interprofessionalship Education; 2011 Dec. 3-5; Bali. Indonesia.

Yogisutanti, G., Kusnanto, Hari., Setyawati, L 2013. Faktor Penyebab Kelelahan Kerja pada Dosen (Studi Kualitatif pada Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Swasta Di Jawa Barat). Konas Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia ke-12: 2013 5-7 September; Kupang, Indonesia.

(16)

Yogisutanti, G., Kusnanto, Hari., Setyawati, L., Otsuka, Yasumasa. 2013. Hubungan antara kebiasaan makan pagi, lama tidur dan kelelahan kerja (fatigue) pada dosen. Prosiding

Seminar Nasional Keselamatan Kerja. Program Studi S-2 Ilmu

Kesehatan Kerja Program Pasca Sarjana, 12 Januari 2013.

Referensi

Dokumen terkait

Tidak dipungkiri bahwa penggunaan printer dalam suatu pekerjaan tidak selalu efektif. Hal ini dapat dilihat dari penggunaan printer dalam sebuah perusahaan, seperti

Risiko ini dipengaruhi oleh turunnya harga dari Efek (saham, obligasi, dan surat berharga lainnya) yang masuk dalam portfolio Reksa Dana tersebut. •

anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya serta ikut membangun tatanan perekonomian nasional dalam rangka mewujudkan masyarakat yang maju, adil dan makmur

Pada pelaksanaan siklus I nilai-nilai yang diperoleh peserta didik kelas XI TPM B SMK Negeri 2 Surakarta pada pembelajaran mata diklat CNC Dasar TU-3A

Merakit (pemasangan setiap komponen, handle, poros pemutar, dudukan handle alas atas bawah, dan saringan).. Mengelas (wadah dengan alas atas, saringan, handle, dan

[r]

Dengan produk-produk seperti pinjaman pribadi tanpa jaminan atau kredit pemilikan rumah, kreditur akan mengenakan suku bunga yang tinggi terhadap konsumen yang berisiko

Berdasarkan pada analisa pasar dapat disimpulkan bahwa proyek ini layak untuk dijalankan, mengingat belum adanya pesaing langsung dalam bisnis ini walaupun pesaing