• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDAHULUAN Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENDAHULUAN Latar Belakang"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Bakteri asam laktat (BAL) merupakan kelompok bakteri non patogenik yang berperan penting dalam proses fermentasi, preservasi, dan produksi pangan lainnya serta dapat memiliki sifat probiotik. Lactobacillus plantarum SK(5) merupakan salah satu jenis BAL yang diisolasi dari bekasam ikan seluang (Rasbora sp.) dari Kayu Agung, Kabupaten Ogan Komiring Ilir, Sumatera Selatan (Desniar et al. 2013). Bakteri ini dapat menghasilkan senyawa antibakteri (Desniar et al. 2011), enzim proteolitik (Angghraini 2016), enzim lipolitik (Nadhilah 2017), dan bersifat probiotik (Syafiqoh 2014). Beberapa penelitian sebelumnya telah menggunakan L. plantarum SK (5) sebagai starter dalam pembuatan produk fermentasi bekasam (Qolivasari 2019), rusip (Sastra 2008), peda (Iswayudi 2019), hidrolisat protein (Balada 2018), dan yoghurt (Ramadhany 2019).

Spirulina platensis termasuk kelompok alga hijau biru (Cyanobacteria) sehingga mengandung pigmen klorofil, karotenoid, dan fikosianin (Hoseini et al. 2013). Spirulina merupakan mikroalga yang banyak digunakan sebagai bahan pangan fungsional karena mengandung protein, asam lemak, dan komponen bioaktif yang tinggi. Mikroalga S. platensis mengandung protein sebesar 60-70% serta karbohidrat sebesar 15-20% dari bobot keringnya (Mishra et al. 2014; Seghiri et al. 2019). Spirulina juga memiliki kandungan senyawa bioaktif yang berfungsi sebagai antioksidan dan antiinflamasi (Barkallah et al. 2017). Beberapa penelitian sebelumnya telah menggunakan spirulina hasil kultivasi dalam pembuatan produk pangan fungsional seperti jelly drink (Trilaksani et al. 2015), biskuit (Sari 2013), marshmallow (Kinandari 2013), dan tablet hisap (Wulandari 2013).

Yoghurt merupakan produk pangan fungsional probiotik yang banyak diminati karena tekstur dan flavornya yang dapat diterima oleh konsumen (Pradipta dan Paramita 2017). Yoghurt pada umumnya memiliki karakteristik fisik berupa gel kental lembut dengan rasa asam dan aroma khas yang dihasilkan oleh aktivitas mikroorganisme starter selama fermentasi (Chen et al. 2017). Yoghurt yang mengandung kultur bakteri aktif dapat disebut produk probiotik. Yoghurt probiotik merupakan produk pangan yang mengandung organisme hidup yang dapat memberikan efek kesehatan tertentu apabila dikonsumsi pada jumlah tertentu. Yoghurt yang mengandung BAL dapat berfungsi sebagai antitumor dan antiinflamasi (Perdigon et al. 2002).

Bakteri asam laktat dalam proses fermentasi yoghurt berperan penting sebagai mikroorganisme starter yang menciptakan tekstur, cita rasa, dan aroma khas yoghurt (Fernandez et al. 2019). Jenis mikroorganisme yang biasa digunakan dalam industri pembuatan yoghurt yaitu Streptococcus, Lactococcus, dan Lactobacillus (Rahmawati dan Suntornsuk 2016). Lactobacillus plantarum SK (5) dapat dimanfaatkan sebagai starter yoghurt karena mampu menghasilkan enzim proteolitik dan senyawa asam laktat. Spirulina platensis memiliki kandungan nutrisi yang berfungsi sebagai prebiotik dalam proses fermentasi yoghurt (Beheshtipour et al. 2012). Penambahan biomassa S. platensis dapat meningkatkan pertumbuhan starter bakteri asam laktat selama proses fermentasi (Mocanu et al. 2013). Biomassa spirulina juga dapat meningkatkan aktivitas antioksidan yoghurt.

(2)

2 Yoghurt yang difermentasikan tanpa dan dengan spirulina 1.6% memiliki persen inhibisi antioksidan masing-masing sebesar 3.7% dan 6.8% (Yamaguchi et al. 2019).

Yoghurt probiotik cair dengan starter L. plantarum SK (5) dan penambahan S. platensis telah berhasil dikembangkan. Formulasi yoghurt terbaik diperoleh dengan menambahkan 15% starter L. plantarum SK (5) dan 0.5% biomassa S. platensis kering yang difermentasi selama 8 jam (Ramadhany 2019). Penambahan S. platensis pada proses fermentasi yoghurt dapat menstimulasi pertumbuhan BAL sehingga asam laktat yang dihasilkan semakin banyak dan nilai pH semakin rendah. Penelitian mengenai pembuatan yoghurt dengan starter L. plantarum SK (5) dan biomassa S. platensis basah telah dilakukan dengan perlakuan terbaik adalah penggunaan 1.5% biomassa spirulina basah (Adhani 2021). Biomassa S. platensis basah memiliki komponen bioaktif yang lebih baik dibandingkan biomassa keringnya. Biomassa spirulina basah dan kering memiliki total fenolik masing-masing sebesar 469.96 dan 119.43 quercetin/g, serta kandungan flavonoid sebesar 38.64 dan 7.5 GAE/g (Agustini et al. 2015).

Yoghurt cair memiliki masa simpan yang singkat, yaitu 2-3 hari pada suhu ruang (25 oC) dan 8-11 hari pada suhu refrigerasi (5 oC) (Al-Kadamany et al. 2002). Peningkatan masa simpan yoghurt dapat dilakuan melalui pengeringan yoghurt cair menjadi bubuk. Yoghurt bubuk memiliki kelebihan karena sifat produk yang dihasilkan lebih stabil, daya simpan produk lebih panjang, serta volume produk yang lebih kecil sehingga dapat mengurangi biaya transportasi dan penyimpanan produk (Miskiyah et al. 2019). Yoghurt bubuk juga memiliki kadar air yang lebih rendah sehingga tidak mudah terkontaminasi oleh mikroba pencemar lainnya. Yoghurt bubuk dapat dibuat melalui pengeringan menggunakan metode freeze drying, metode spray drying, metode microwave vacuum, metode cabinet drying, dan metode foam mat drying (Kumar dan Mishra 2004; Sengupta dan Bhowal 2017).

Metode spray drying dapat menjadi alternatif dalam proses pembuatan yoghurt spirulina bubuk. Spray drying merupakan metode pengeringan dengan penyemprotan bahan melalui alat yang terhubung dengan udara panas untuk menghasilkan produk bubuk berukuran 10-50 µm (Assadpour dan Jafari 2019). Spray drying memiliki kelebihan karena prosesnya yang cepat, memerlukan biaya yang rendah, dan dapat mengurangi kadar air produk secara efektif (Koc et al. 2010b). Penggunaan suhu dan tekanan yang tinggi dalam proses spray drying dapat menyebabkan penurunan populasi BAL dalam produk (Santos et al. 2018), sehingga diperlukan bahan enkapsulasi yang dapat melindungi viabilitas bakteri selama penyimpanan.

Enkapsulasi merupakan proses memerangkap bahan aktif dalam substansi yang stabil dan dapat melindungi produk, untuk menghasilkan enkapsulat dengan ukuran dan sifat fungsional yang beragam. Anandharamakrishnan dan Padma (2015) menyatakan bahwa enkapsulasi dapat dilakukan melalui proses kimia seperti koaservasi, inclusion complexation, dan liposome entrapment serta proses fisik atau mekanik seperti emulsifikasi, ekstrusi, freeze drying, dan spray drying. Proses fisik dalam pembuatan produk pangan lebih sederhana dan aman untuk dilakukan karena tidak menggunakan bahan kimia sebagai pereaksi. Lee et al. (2018) melaporkan bahwa bahan enkapsulasi yang dapat digunakan yaitu k-karagenan, alginat, maltodekstrin, kitosan, xanthan gum, dan susu skim. Maltodekstrin merupakan produk hidrolisat pati yang umum digunakan sebagai bahan enkapsulasi karena

(3)

3 mudah diperoleh dengan harga terjangkau. Anekalla (2011) menyatakan bahwa maltodekstrin memiliki gugus hidrat yang dapat mengikat senyawa-senyawa hidrofobik dan hidrofilik sehingga dapat membentuk lapisan film yang kuat.

Masa simpan yoghurt spirulina dapat diperpanjang dengan melakukan pembuatan yoghurt bubuk dengan metode spray drying, namun karakteristik dan perubahannya selama penyimpanan belum diketahui. Penelitian Medeiros et al. (2014) menunjukkan yoghurt bubuk hasil spray drying pada suhu outlet 130 oC dengan 10% maltodekstrin memiliki viabilitas probiotik diatas 106 cfu/g setelah 90

hari penyimpanan. Oleh karena itu, diperlukan adanya penelitian lebih lanjut mengenai karakteristik yoghurt spirulina bubuk dengan penambahan starter bakteri L. plantarum SK (5) hasil spray drying selama penyimpanan.

Perumusan Masalah

Minuman probiotik merupakan produk pangan fungsional yang disukai masyarakat karena memiliki efek yang baik terhadap kesehatan. Yoghurt yang dibuat menggunakan isolat BAL probiotik L. plantarum SK (5) asal bekasam dengan penambahan prebiotik S. platensis telah berhasil dikembangkan. Yoghurt spirulina dalam bentuk cair memiliki daya simpan yang lebih rendah. Oleh karena itu, diperlukan adanya pengolahan lebih lanjut untuk menghasilkan produk yoghurt spirulina dalam bentuk bubuk. Pengolahan produk bubuk menggunakan spray drying melibatkan suhu dan tekanan tinggi, sehingga menyebabkan perubahan karakteristik produk dan ketahanan BAL dalam yoghurt spirulina. Penelitian mengenai karakteristik yoghurt spirulina bubuk selama penyimpanan di suhu ruang perlu dilakukan.

Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan:

1 membandingkan karakteristik yoghurt spirulina cair dan bubuk

2 menentukan pengaruh penyimpanan terhadap nilai 𝑎w, viabilitas bakteri asam

laktat, dan aktivitas antioksidan yoghurt spirulina bubuk selama 28 hari di suhu ruang

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan acuan proses pembuatan produk yoghurt spirulina bubuk yang efisien dan ekonomis. Manfaat lainnya yaitu mendapatkan informasi mengenai karakteristik produk yoghurt spirulina bubuk selama penyimpanan. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai teknik untuk memperpanjang daya simpan dan mempermudah transportasi produk yoghurt spirulina melalui pembuatan yoghurt spirulina bubuk.

(4)

4 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini meliputi tahap kultivasi S. platensis, penyiapan starter L. plantarum SK (5), pembuatan yoghurt spirulina cair, pembuatan yoghurt spirulina bubuk, dan penyimpanan yoghurt spirulina bubuk sebagai penelitian utama.

METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli hingga September 2020. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Mikrobiologi Hasil Perairan, Departemen Teknologi Hasil Perairan, FPIK IPB, Laboratorium Seafast, FATETA IPB, Laboratorium Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi FATETA IPB, Laboratorium Kimia dan Biokimia Hasil Ternak, FAPET IPB, dan Laboratorium Analisa Bahan, FMIPA IPB.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan pada pembuatan yoghurt bubuk adalah susu sapi pasteurisasi komersial, isolat L .plantarum SK(5) (koleksi Desniar 2012), biomassa basah S. platensis hasil kultivasi, dan maltodekstrin komersial food grade. Bahan yang digunakan dalam proses analisis yoghurt bubuk yaitu media Mann Rogosa Sharpe Agar (MRSA) (Oxoid. England), media Mann Rogosa Sharpe Broth (MRSB) (Oxoid, England), larutan Butterfield’s Phosphate Bufferred (BPB), larutan NaOH 0.1 N (Merck, Germany), indikator penolpthalein (PP) 1%, dan larutan uji DPPH. Bahan lain yang digunakan yaitu media untuk kultivasi spirulina meliputi media Walne, pupuk GA, plan catalyst (URC), urea, air tawar, dan air laut.

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian yaitu autoklaf (Yamato SM52, Japan), inkubator (Thermolyne type 4200 incubator), homogenizer (Nissel AMS), mini spray-dryer Buchi 190 (Buchi, Switzerland), lampu UV-vis, pH meter (WalkLab, Singapore), Spektrofotometer UV (Reylegh), 𝑎w meter (novasina ms1), Particle Size Analyzer (Vasco), mikropipet, cawan petri, buret, dan alat gelas lainnya. Proses kultivasi spirulina menggunakan botol kaca, aerator, selang udara, lampu, dan penutup botol. Yoghurt spirulina bubuk yang dihasilkan dikemas menggunakan kemasan alumunium foil dan sealer.

Prosedur Penelitian

Penelitian ini terdiri dari 5 tahap yaitu kultivasi S. platensis, penyiapan kultur starter L. plantarum SK (5), pembuatan yoghurt spirulina, pembuatan yoghurt spirulina bubuk, dan penyimpanan yoghurt spirulina bubuk. Karakteristik yoghurt spirulina bubuk selama penyimpanan ditentukan dengan perlakuan waktu penyimpanan 0, 7, 14, 21, dan 28 hari. Diagram alir penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.

(5)

5

Gambar 1 Diagram alir penelitian

S. platensis basah 1.5% S. platensis Kultivasi Penyegaran Pemanenan L. plantarum SK(5) Inokulasi 10% (v/v) ke susu sapi Fermentasi (27-28 ℃, 24 jam) Main starter 15% (v/v) Kultivasi dalam MRSA (37 ℃, 48 jam) Kultivasi dalam MRSB 10 mL (37 ℃, 24 jam) Kultur cair L. plantarum SK(5) Pemanasan 45 ℃ Pemasukkan dalam botol jar Pencampuran Fermentasi (37 ℃, 24 jam) Enkapsulasi dengan maltodekstrin 10% (b/v) Homogenisasi (13000 rpm, 3 menit)

Spray drying (suhu inlet 130 ℃, outlet 85 ℃, laju alir umpan 30 mL.min-1)

Penyimpanan suhu ruang (27-28 ℃) selama 28 hari (pengujian pada hari ke-0,

7, 14, 21, dan 28)

Pengukuran pH, TAT, total BAL,

aktivitas antioksidan, kadar air, kadar

protein, kadar lemak Perhitungan rendemen, kadar protein, kadar lemak, nilai 𝑎w, uji kelarutan Yoghurt spirulina bubuk Analisis nilai 𝑎w, total BAL, dan

aktivitas antioksidan

(DPPH) Susu sapi pasteurisasi

dalam jar

Yoghurt spirulina

Yoghurt spirulina bubuk setelah penyimpanan Susu sapi pasteurisasi

(6)

6 Kultivasi S. platensis (Notonegoro et al. 2018)

Penyegaran bibit spirulina dilakukan menggunakan media air payau yang diperoleh melalui pencampuran air laut dan air tawar 1:1 (v/v) hingga bersalinitas 15 ppt. Media dan wadah yang akan digunakan selanjutnya disterilisasi menggunakan lampu UV-Vis selama 45 menit pada suhu ruang (28-30 oC). Air yang telah disterilkan selanjutnya ditambahkan dengan pupuk walne sebanyak 1% (v/v) dan bibit spirulina sebanyak 20% (v/v). Penyegaran spirulina dilakukan dengan kondisi suhu 20-25 oC, intensitas cahaya 3000 lux, dan aerasi secara terus-menerus selama 7 hari. Proses kultivasi S. platensis selanjutnya dilakukan dengan metode dan perbandingan media yang sama. Kultivasi S. platensis dilakukan pada wadah berukuran 10 L dengan penambahan urea, pupuk GA, dan plan catalyst (URC) masing-masing sebanyak 1% (v/v). Spirulina hasil kultivasi selanjutnya dipanen melalui proses penyaringan menggunakan nylon mesh berukuran 400 kemudian dibilas menggunakan akuades. Biomassa basah S. platensis hasil kultivasi selanjutnya digunakan untuk pembuatan yoghurt spirulina.

Penyiapan Kultur Starter L. plantarum SK (5) (Ramadhany 2019)

Isolat L. plantarum SK (5) dikultivasi terlebih dahulu guna memperbanyak biomassa bakteri. Kultivasi dilakukan melalui proses penyegaran isolat BAL L. plantarum SK (5) koleksi Desniar (2012). Penyegaran dilakukan dengan mengambil satu ose isolat bakteri dari kultur stok gliserol yang kemudian digoreskan ke media MRSA. Media agar miring berisi isolat tersebut selanjutnya diinkubasi dalam keadaan semi anaerob pada suhu 37℃ selama 48 jam. Bakteri yang tumbuh pada agar miring selanjutnya diambil satu ose dan diinokulasi ke dalam media MRSB 10 mL. Media tersebut kemudian diinkubasi dalam keadaan semi anaerob pada suhu 37 ℃ selama 24 jam sehingga diperoleh kultur cair L. plantarum SK (5). Pembuatan mother starter yoghurt selanjutnya dilakukan menggunakan kultur cair isolat L. plantarum SK (5). Kultur cair MRSB bakteri diinokulasi sebesar 10% (v/v) ke dalam susu sapi pasteurisasi komersial. Campuran tersebut kemudian diinkubasi pada suhu ruang (±30 ℃) selama 24 jam sehingga diperoleh kultur starter selanjutnya digunakan untuk pembuatan yoghurt spirulina. Pembuatan Yoghurt Spirulina dengan Starter Lactobacillus plantarum SK (5) (Adhani 2021)

Yoghurt spirulina dibuat menggunakan susu sapi pasteurisasi komersial. Susu mula-mula dihangatkan di atas kompor hingga mencapai suhu 45 ℃. Susu yang sudah dihangatkan kemudian dimasukkan ke dalam botol kaca steril lalu ditambahkan dengan biomassa basah S. platensis hasil kultivasi sebanyak 1.5%. Susu tersebut selanjutnya diinokulasi dengan kultur starter L. plantarum SK (5) sebanyak 15% (v/v). Campuran yang terbentuk selanjutnya diinkubasi pada suhu 37 ℃ selama 24 jam. Pengujian yang dilakukan terhadap yoghurt spirulina cair meliputi pengukuran nilai pH, total asam tertitrasi (TAT), total bakteri asam laktat (BAL), aktivitas antioksidan (DPPH), kadar air, kadar protein, dan kadar lemak. Pembuatan Yoghurt Spirulina Bubuk (Medeiros et al. 2014 dengan modifikasi)

Yoghurt spirulina cair dihomogenisasi dengan bahan penyalut berupa maltodekstrin 10% (b/v), lalu dikeringkan menggunakan alat spray dryer. Yoghurt

(7)

7 spirulina yang telah dicampurkan dengan bahan enkapsulasi selanjutnya dikeringkan dengan suhu inlet 130 ℃, suhu outlet 85 ℃, dan laju alir umpan 30 mL/menit. Karakteristik yoghurt bubuk yang dihasilkan selanjutnya diamati, meliputi perhitungan rendemen, uji kelarutan, pengukuran nilai pH, nilai 𝑎w, dan

ukuran partikel, analisis TAT, kadar air, kadar protein, dan kadar lemak. Penyimpanan Yoghurt Spirulina Bubuk

Yoghurt spirulina bubuk yang dihasilkan selanjutnya disimpan dalam kemasan alumunium foil sachet selama 28 hari pada suhu ruang (27-29 ℃) dan kelembapan 70-80 %RH. Kemasan yang digunakan terbuat dari bahan PET/ALU/LLDPE berukuran 11 x 14 cm dengan tebal 50 mikron dan ditutup menggunakan sealer listrik. Pengukuran nilai 𝑎w, total BAL, dan aktivitas

antioksidan (DPPH) yoghurt spirulina bubuk dilakukan pada penyimpanan hari ke 0, 7, 14, 21, dan 28.

Prosedur Analisis Pengukuran pH

Pengukuran nilai pH yoghurt spirulina cair dan bubuk dilakukan menggunakan pH meter elektronik. Yogurt bubuk dilarutkan dalam akuades dengan perbandingan 1:5 (b/v) hingga terlarut sempurna sebelum pengukuran pH dilakukan. Ujung katoda pH meter dicuci terlebih dahulu dengan aquades dan dibersihkan dengan tisu sebelum digunakan. pH meter kemudian dikalibrasi dengan mencelupkan ujung katoda ke dalam larutan buffer dengan nilai pH 4 dan 7. Ujung katoda pH meter selanjutnya dicelupkan ke dalam 10 mL sampel sehingga diperoleh nilai pH sampel.

Perhitungan Rendemen (Koc et al. 2010b)

Rendemen yoghurt spirulina bubuk dihitung melalui penimbangan bubuk yoghurt yang dihasilkan setelah proses spray drying. Bobot yoghurt spirulina bubuk selanjutnya dibandingkan dengan bobot yoghurt spirulina sebelum dikeringkan. Rendemen yoghurt spirulina bubuk dihitung dengan rumus:

Rendemen (%)

=

𝑏𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑦𝑜𝑔ℎ𝑢𝑟𝑡 𝑠𝑒𝑏𝑒𝑙𝑢𝑚 𝑑𝑖𝑘𝑒𝑟𝑖𝑛𝑔𝑘𝑎𝑛𝑏𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑦𝑜𝑔ℎ𝑢𝑟𝑡 𝑠𝑒𝑡𝑒𝑙𝑎ℎ 𝑑𝑖𝑘𝑒𝑟𝑖𝑛𝑔𝑘𝑎𝑛 x 100% Pengukuran Nilai 𝒂w (Barbosa-Canovas et al. 2007)

Analisis aktivitas air atau nilai 𝑎w (water activity) dilakukan untuk

mengetahui jumlah air bebas yang terdapat dalam produk. Aktivitas air (𝑎w)

yoghurt spirulina bubuk diukur menggunakan alat 𝑎w meter Novasina ms1. Alat

tersebut dikalibrasi menggunakan garam jenuh MgCl2, Mg(NO3)2, NaCl, LiCl, dan

Ba(Cl)2 sebelum digunakan. Sampel yang akan diuji sebanyak 2 gram diletakkan

dalam cawan yang kemudian dimasukkan ke dalam wadah pengukur lalu ditutup. Alat 𝑎w meter dioperasikan hingga selesai dan nilai 𝑎w terdeteksi. Nilai yang

ditunjukkan oleh alat selanjutnya dikurangi faktor koreksi untuk menentukan nilai 𝑎w produk.

(8)

8 Analisis Total Asam Tertitrasi (TAT) (BSN 2009 dengan modifikasi)

Tingkat keasaman yoghurt spirulina cair dan bubuk diukur melalui perhitungan kadar asam yang setara dengan asam laktat melalui metode titrasi. Yoghurt bubuk dilarutkan dalam akuades dengan perbandingan 1:5 (b/v) hingga terlarut sempurna. Sampel uji selanjutnya diambil sebanyak 10 mL untuk dititrasi, kemudian ditetesi indikator penolpthalein (PP) 1% sebanyak 2 tetes. Sampel tersebut selanjutnya dititrasi dengan larutan NaOH 0,1 N hingga timbul warna merah muda stabil. Total asam tertitrasi yoghurt spirulina segar dan bubuk selanjutnya dihitung dengan rumus:

Kadar Asam = 𝑉1 𝑥 𝑁 𝑥 𝐵

𝑉2 𝑋 1000 x 100%

Keterangan :

V1 : Volume NaOH yang terpakai (mL) V2 : Volume sampel (mL)

N : Normaltas NaOH (0.1 N)

B : Berat molekul asam laktat (90.08) Kadar Air (AOAC 2005)

Kadar air pada sampel yoghurt spirulina bubuk dilakukan dengan cara pengeringan menggunakan metode oven. Sampel yoghurt spirulina bubuk sebanyak 1 gram ditimbang dan dimasukkan ke dalam cawan yang telah dikeringkan. Sampel selanjutnya dimasukkan ke dalam oven dengan suhu 105 ℃ selama 8 jam. Kadar air pada sampel dihitung dengan rumus:

Kadar air (%)

=

𝑏𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 𝑏𝑎𝑠𝑎ℎ−𝑏𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 𝑘𝑒𝑟𝑖𝑛𝑔

𝑏𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 𝑏𝑎𝑠𝑎ℎ x 100%

Kadar Lemak (AOAC 2005)

Analisis kadar lemak dilakukan dengan metode soxhlet. Sampel yoghurt spirulina bubuk sebanyak 2 gram (W1) dimasukkan ke dalam kertas saring dan dimasukkan ke dalam selongsong lemak, kemudian dimasukkan ke dalam labu lemak yang sudah ditimbang berat tetapnya (W2) dan disambungkan dengan tabung soxhlet. Selongsong lemak berisi sampel selanjutnya dimasukkan ke dalam ekstraktor tabung soxhlet. Pelarut heksan sebanyak 150 mL yang digunakan untuk melarutkan lemak kemudian dituangkan kedalam labu lemak, lalu dilakukan refluks selama 6 jam hingga pelarut turun kembali kedalam labu lemak. Pelarut lemak yang terdapat dalam labu lemak didestilasi hingga semua pelarut lemak menguap. Pelarut akan tertampung di ruang ekstraktor saat destilasi, lalu dikeluarkan dari ruang tersebut. Labu lemak selanjutnya dikeringkan menggunakan oven pada suhu 100 ℃ selama 1 jam, lalu didinginkan dalam desikator hingga mencapai berat yang konstan (W3). Kadar lemak pada sampel selanjutnya dihitung menggunakan rumus:

Kadar lemak (%)

=

𝑊3−𝑊2

𝑊1 x 100% Keterangan :

W1 = berat sampel (gram)

W2 = berat labu tanpa lemak (gram) W3 = berat labu dengan lemak (gram)

(9)

9 Kadar Protein (AOAC 2005)

Uji kadar protein dilakukan dengan metode mikro Kjeldahl yang terdiri dari tahap dekstruksi, destilasi, dan titrasi. Sampel yoghurt spirulina bubuk sebanyak 0.25 gram ditimbang ke dalam labu Kjeldahl lalu ditambahkan dengan 0.25 g selenium dan 3 mL H2SO4 pekat. Campuran tersebut selanjutnya dipanaskan hingga

mendidih dan berubah menjadi jernih. Larutan kemudian dibiarkan dingin dan diencerkan dengan 50 mL akuades, lalu ditambahkan dengan 20 mL larutan NaOH 40% dan didestilasi. Penampung destilat yang digunakan yaitu 10 mL larutan H3BO3 2% dan 2 tetes indicator Brom Cresol Dreen-Methyl Red berwarna merah

muda. Setelah volume destilat mencapai 10 mL dan berwarna hijau kebiruan, proses destilasi dihentikan. Larutan destilat selanjutnya dititrasi menggunakan larutan HCl 0.1 N hingga berwarna merah muda. Kadar protein dihitung menggunakan rumus:

Kadar protein (%)

=

(𝑉1−𝑉2) 𝑥 𝑁 𝑥 14 𝑥 6.38

𝑊 𝑥 1000 x 100% Keterangan :

V1 = volume HCl 0,1 N untuk titrasi sampel (mL) V2 = volume HCl 0,1 N untuk titrasi blangko (mL) N = normalitas larutan HCl

W = bobot sampel (mg) 14 = bobot atom nitrogen

6.38 = faktor perkalian protein susu

Perhitungan Total Bakteri Asam Laktat (BAL) (BSN 2009 dengan modifikasi) Metode hitung cawan (Total Plate Count) digunakan untuk menentukan total bakteri asam laktat yang terdapat pada yoghurt spirulina cair dan bubuk. Yoghurt bubuk sebelumnya dilarutkan dalam akuades dengan perbandingan 1:5 (b/v). Perhitungan total BAL dilakukan dengan menghitung total koloni bakteri yang tumbuh pada media Man Rogosa and Sharpe Agar (MRSA). Sampel sebanyak 1 mL ditambahkan ke dalam tabung berisi 9 mL Butterfield’s Phosphate Bufferred (BPB) steril sebagai pengenceran pertama (10-1).

Larutan sampel selanjutnya dipindahkan sebanyak 1 mL ke tabung reaksi yang berisi 9 mL BPB untuk pengenceran 10-2. Pengenceran dilakukan dengan cara

yang sama hingga 10-6. Pencawanan selanjutnya dilakukan secara simplo dari tabung pengenceran 10-4 - 10-6. Pencawanan dilakukan dengan memindahkan 1 mL sampel hasil pengenceran ke dalam cawan petri steril, yang selanjutnya ditambahkan media MRSA sebanyak 15 mL. Cawan petri selanjutnya digerak-gerakkan agar media dan cairan sampel tercampur homogen, lalu diinkubasi dengan posisi terbalik selama 48 jam pada suhu 37℃ . Cawan yang telah diinkubasi kemudian melalui perhitungan total BAL dengan rumus:

N = ∑ 𝐶

[(1𝑥𝑛𝑖)+(0,1𝑥𝑛𝑖𝑖)]𝑥(𝑑)

Keterangan :

N : jumlah koloni, dinyatakan dalam koloni per mL atau per gram ∑C : jumlah koloni pada semua cawan yang dapat dihitung

ni : jumlah cawan dari pengenceran pertama yang dihitung nii : jumlah cawan dari pengenceran kedua yang dihitung d : pengenceran pertama yang dihitung

(10)

10 Uji Aktivitas Antioksidan dengan Metode DPPH (Sharma dan Bhat 2009)

Uji antioksidan dilakukan melalui pengukuran aktivitas yoghurt spirulina dalam penangkapan radikal bebas DPPH (2,2-diphenyl-1picrylhidracyl). Sampel yogurt bubuk sebanyak 200 µg dilarutkan dalam 10 mL metanol dan disentrifugasi pada kecepatan 7000 rpm selama 15 menit. Supernatan sampel yang dihasilkan selanjutnya diambil dan diencerkan menggunakan metanol. Sampel sebanyak 0.4 mL selanjutnya dipipet dan direaksikan dengan 1.6 mL reagen DPPH (0.1 mM). Blanko yang digunakan adalah metanol, sedangkan kontrol positif yang digunakan adalah asam askorbat. Campuran tersebut selanjutnya diinkubasi pada suhu ruang dalam kondisi gelap selama 30 menit. Nilai absorbansi sampel kemudian diukur menggunakan spektrofotometer dengan panjang gelombang 517 nm. Antioksidan yoghurt spirulina cair dan bubuk ditentukan dengan nilai IC50 melalui pembuatan

kurva inhibisi DPPH. Persen inhibisi antioksidan atau nilai aktivitas penangkapan radikal bebas DPPH dihitung dengan rumus:

Aktivitas penangkapan radikal bebas (%) = (𝐴𝑏)−(𝐴𝑠)

(𝐴𝑏) x 100%

Keterangan: Ab = Absorbansi blanko As = Absorbansi sampel

Analisis Kelarutan Yoghurt Spirulina Bubuk (Comunian et al. 2013)

Kelarutan yoghurt spirulina bubuk dalam air dihitung menggunakan metode gravimetri. Sampel ditimbang sebanyak 1 gram (a) dan dilarutkan dalam 20 ml air destilata kemudian disaring dengan kertas saring Whatman no. 42. Sebelum digunakan, kertas saring dikeringkan dalam oven 105 ℃ selama 30 menit dan ditimbang (b). Setelah penyaringan, kertas saring dikeringkan kembali dalam oven selama 3 jam pada suhu 105 ℃. Setelah itu, kertas saring didinginkan didesikator kemudian ditimbang sampai tercapai bobot tetap (c). Kelarutan yoghurt spirulina bubuk dalam air dihitung dengan rumus:

Kelarutan dalam air= (1 − 𝑎 𝑥 (100−%𝐾𝐴)(𝑐−𝑏)

100

)

x 100%

Pengukuran Partikel Menggunakan Particle Size Analyzer (PSA)

Karakterisasi menggunakan Particle Size Analyzer (PSA) dilakukan dengan mencampurkan 0.2 gram yoghurt spirulina bubuk ke dalam 20 mL akuades. Campuran tersebut selanjutnya dihomogenisasi selama 3 menit menggunakan magnetic stirrer. Pengukuran partikel yoghurt spirulina bubuk dilakukan menggunakan alat PSA dengan skala pembacaan 0.5 nm-10 µm. Data ukuran partikel yang dihasilkan terdapat dalam bentuk distribusi volume.

Rancangan Penelitian dan Analisis Data

Data-data kuantitatif karakteristik yoghurt spirulina cair dan bubuk yang diperoleh diolah menggunakan Paired sample T test. Uji perbedaan rata-rata dilakukan untuk menentukan apakah terdapat berbedaan yang signifikan pada dua populasi data yang berpasangan. Analisis data Paired sample T test dilakukan

(11)

11 menggunakan software Microsoft Excel 2016 dengan selang kepercayaan 95%. Analisis data dilakukan dengan persamaan (Walpole 1995):

Thit = 𝑥𝑑 ̅̅̅̅− 𝜇𝑑 𝑠 √𝑛 Keterangan:

Thit = nilai distribusi t

𝑥𝑑

̅̅̅ = rata-rata selisih dua sampel 𝜇𝑑 = rata-rata selisih dua populasi S = standar deviasi selisih dua sampel n = jumlah data

Uji beda T (Paired sample T test) pada penelitian ini dilakukan untuk membandingkan rata-rata dua kelompok data karakteristik yoghurt spirulina cair dan bubuk. Hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

H0 : tidak terdapat perbedaan yang nyata antara karakteristik yoghurt spirulina cair dan bubuk (µd ≤ 0)

H1 : terdapat perbedaan yang nyata antara karakteristik yoghurt spirulina cair dan bubuk (µd > 0)

Karakteristik yoghurt spirulina bubuk selama penyimpanan diolah menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) satu faktor, yaitu faktor lama penyimpanan yang terdiri dari 5 taraf (0, 7, 14, 21, 28 hari) dengan masing-masing tiga kali pengulangan. Data perhitungan nilai 𝑎w, total BAL, dan aktivitas

antioksidan yoghurt spirulina bubuk selama penyimpanan diuji secara statistik melalui analisis ragam menggunakan aplikasi Statistical Product and Service Solutions (SPSS) versi 23. Uji Duncan Multiple Range Test pada taraf kepercayaan 95% dilakukan sebagai uji lanjut apabila hasil uji berbeda nyata (p<0.05). Data karakteristik yoghurt spirulina bubuk selama penyimpanan diolah dengan model matematika (Steel dan Torrie 1983):

Yij = μ + Ai + εij

Keterangan:

Yij = nilai pengamatan pada satuan percobaan ke-j pada perlakuan faktor A

taraf ke-i μ = rataan umum

Ai = pengaruh penyimpanan yoghurt spirulina bubuk pada taraf ke-i (i = 1, 2,

3, 4, 5) εij = faktor galat

Hipotesis analisis ragam pengaruh waktu penyimpanan terhadap karakteristik yoghurt spirulina bubuk:

H0 : perlakuan waktu penyimpanan tidak memberikan pengaruh nyata terhadap karakteristik yoghurt spirulina bubuk

H1 : perlakuan waktu penyimpanan memberikan pengaruh nyata terhadap karakteristik yoghurt spirulina bubuk

(12)

12

HASIL DAN PEMBAHASAN

Biomassa Spirulina platensis

Spirulina platensis merupakan mikroalga yang memiliki pigmen fikosianin, kandungan protein tinggi (55-70%), sumber mikronutrien, serta menghasilkan senyawa fungsional (Phang et al. 2000). Spirulina memiliki bentuk fisik berupa benang spiral dengan rangkaian sel berbentuk silindris dan dinding sel yang tipis (Mishra et al. 2014). Biomassa spirulina dapat dimanfaatkan sebagai bahan tambahan dalam pembuatan produk fungsional seperti yoghurt. Biomassa spirulina dapat diperoleh melalui kultivasi dengan menggunakan media organik. Proses kultivasi S. platensis yang digunakan pada pembuatan yoghurt spirulina bubuk dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2 Kultur S. platensis (a) hari ke-0, (b) hari ke-8

Pertumbuhan biomassa sel spirulina secara visual dapat ditandai dengan adanya perubahan warna kultur. Hasil penelitian menunjukkan kultivasi hari ke-0 memiliki warna hijau cerah dan terlihat lebih bening, sedangkan kultivasi hari ke-8 berwarna hijau pekat (Gambar 2). Spirulina pada penelitian ini dipanen pada hari ke-8 dengan jumlah kepadatan sel atau optical density (OD) sebesar 0.768 sel/mL. Caturwati dan Setyati (2020) melaporkan bahwa S. platensis yang dikultur dengan media Walne 0.06% mencapai OD sebesar 0.672 sel/mL dalam waktu 10 hari. Notonegoro et al. (2018) menyatakan bahwa spirulina dapat dipanen saat pertumbuhannya telah mencapai fase stasioner akhir. Hal ini dilakukan karena pada fase stationer terjadi peningkatan produksi metabolit sekunder pada sel spirulina. Muyassaroh et al. (2018) menyatakan bahwa pertumbuhan spirulina selama proses kultivasi dipengaruhi oleh ketersediaan nutrien dalam media pertumbuhan, suhu kultivasi, intensitas cahaya, serta pH dan salinitas air yang digunakan.

Kultur mikroalga dengan total volume 30 L yang digunakan pada penelitian ini menghasilkan biomassa basah S. platensis sebesar 79.95 g (2.63 g/L). Biomassa spirulina basah pada penelitian ini diperoleh melalui kultivasi dengan media Walne. Sirait et al. (2019) melaporkan bahwa spirulina yang dikultur menggunakan media Walne menghasilkan biomassa yang lebih banyak dibandingkan media organik, yaitu sebesar 0.33±0.02 g/L dan 0.17±0.01 g/L secara berurutan. Perbedaan rendemen spirulina yang dihasilkan dapat disebabkan oleh perbedaan konsentrasi pupuk Walne yang digunakan saat kultivasi. Spirulina memerlukan nitrogen sebagai sumber nutrisi dalam proses metabolisme asam amino dan pembentukan protein dalam sel. Sumber nitrogen tersebut dapat diperoleh dari media kultivasi

(13)

13 yang digunakan. Setyaningsih et al. (2013) menyatakan bahwa peningkatan sumber nitrogen pada media yang digunakan dapat meningkatkan kandungan antioksidan S. platensis karena meningkatnya jumlah sel kultur dan kandungan klorofil di dalamnya.

Biomassa basah spirulina hasil kultivasi digunakan dalam penelitian ini karena komposisinya lebih diketahui dibandingkan spirulina komersial. Trilaksani et al. (2015) melaporkan bahwa spirulina hasil kultivasi pada media Walne memiliki kadar air sebesar 93.15%, kadar protein 3.85%, dan kadar lemak 1.65% dalam basis basah. Biomassa S. platensis basah juga memiliki komponen bioaktif yang lebih baik dibandingkan biomassa keringnya karena belum melalui proses pengeringan. Agustini et al. (2015) melaporkan bahwa biomassa spirulina basah dan kering memiliki total fenolik masing-masing sebesar 469.96 dan 119.43 quercetin/g, serta kandungan flavonoid sebesar 38.64 dan 7.5 GAE/g.

Starter Lactobacillus plantarum SK (5)

Starter merupakan komponen penting yang digunakan dalam proses fermentasi yoghurt. Starter fermentasi yoghurt terdiri atas biakan bakteri asam laktat (BAL) yang ditumbuhkan dalam media susu. Bakteri tersebut berfungsi mempercepat dan mengendalikan proses fermentasi. Bakteri yang digunakan sebagai starter pada penelitian ini yaitu L. plantarum SK (5) asal bekasam. Morfologi bakteri diamati menggunakan mikroskop dan pewarnaan Gram untuk memastikan bahwa bakteri yang tumbuh adalah L. plantarum SK (5). Bentuk dan hasil pewarnaan Gram bakteri starter dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3 Hasil pewarnaan Gram L. plantarum SK (5) (perbesaran 10x100) Lactobacillus plantarum SK (5) memiliki bentuk batang dan termasuk bakteri Gram positif (Gambar 3). Bakteri Gram positif memiliki dinding sel dengan kandungan peptidoglikan yang tinggi sehingga akan mengalami dehidrasi sel dan menyerap warna kristal violet pada saat pewarnaan Gram (Campbell et al. 2000). Desniar et al. (2013) telah melaporkan bahwa L. plantarum SK (5) berbentuk batang dan termasuk bakteri Gram positif. Syafiqoh (2014) telah melaporkan bahwa L. plantarum SK (5) termasuk golongan BAL yang memiliki fungsi sebagai probiotik karena memiliki ketahanan terhadap pH lambung, pH usus, dan garam empedu. Probiotik merupakan mikroba hidup yang memiliki dampak positif bagi kesehatan apabila dikonsumsi. Naidu dan Clemens (2000) menyatakan bahwa probiotik memiliki pengaruh yang menguntungkan dengan meningkatkan keseimbangan mukosa dan mikroflora dalam usus.

(14)

14 Bakteri asam laktat jenis L. plantarum SK (5) telah dimanfaatkan sebagai starter dalam pembuatan yoghurt spirulina (Ramadhany 2019). Lactobacillus plantarum SK (5) mampu menghasilkan enzim proteolitik dan senyawa asam laktat sebagai pembentuk citarasa dan aroma khas yoghurt. Bakteri L. plantarum SK (5) dapat menghasilkan enzim proteolitik (protease) dengan aktivitas enzim sebesar 0.54 unit/mg (Anggrahini 2016). Bakteri tersebut juga dapat menghasilkan senyawa bakteriosin yang bersifat menghambat pertumbuhan mikroorganisme lain sehingga dapat diaplikasikan dalam pengawetan makanan (Desniar et al. 2011). Total BAL kultur starter L. plantarum SK(5) pada penelitian ini yaitu sebesar 9.31±0.05 log cfu/mL. Total BAL starter L. plantarum SK(5) telah memenuhi persyaratan SNI 29981:2009 tentang yoghurt (minimal 7 log cfu/mL).

Karakteristik Kimiawi dan Mikrobiologis Yoghurt Spirulina Cair dan Bubuk

Yoghurt spirulina pada penelitian ini dibuat dengan menggunakan starter bakteri L. plantarum SK (5) dan biomassa basah spirulina. Yoghurt cair spirulina kemudian dikeringkan menggunakan spray drying sehingga diperoleh yoghurt spirulina bubuk. Perbandingan antara kadar protein, kadar lemak, nilai pH, kadar TAT, dan total BAL yoghurt spirulina cair dan bubuk dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Perbandingan karakteristik kimiawi dan mikrobiologis yoghurt spirulina

Parameter Yoghurt spirulina cair Yoghurt spirulina bubuk

Kadar protein (%bk) 28.43±1.65a 13.42±1.35b

Kadar lemak (%bk) 29.69±2.84a 1.57±0.14b

pH 3.90±0.02a 4.02±0.01b

TAT (%) 1.19±0.11a 0.98±0.02b

Total BAL (log cfu/mL) 8.81±0.82 a 6.92±0.23b

aPerhitungan kadar protein dan kadar lemak berdasarkan basis kering. Angka pada kolom yang sama

yang diikuti huruf berbeda menunjukkan berbeda nyata (P< 0.05).

Karakteristik yoghurt spirulina bubuk yang dihasilkan memiliki kadar protein, kadar lemak, nilai pH, kadar TAT, dan total BAL yang berbeda nyata (P<0.05) dengan yoghurt spirulina cair (Lampiran 1). Karakteristik yoghurt spirulina bubuk memiliki nilai yang lebih rendah dibandingkan dengan yoghurt spirulina cair kecuali nilai pH lebih tinggi. Perbedaan ini disebabkan oleh adanya proses pengeringan menggunakan spray drying. Assadpour dan Jafari (2019) menyatakan bahwa proses spray drying terdiri atas tiga tahapan utama, yaitu tahap emulsifikasi, atomisasi, dan dehidrasi. Tahap emulsifikasi dilakukan untuk menghasilkan emulsi yang stabil antara bahan inti dan bahan penyalut. Emulsi yang telah terbentuk selanjutnya disemprotkan hingga membentuk droplet berukuran 1-100 μm pada tahap atomisasi, kemudian droplet tersebut dialirkan ke dalam tabung berisi udara panas sehingga komponen air dalam bahan akan menguap dengan cepat. Koc et al. (2010b) menyatakan bahwa karakteristik yoghurt bubuk hasil spray drying dipengaruhi oleh suhu pengeringan, kecepatan pengeringan, dan jenis bahan enkapsulasi yang digunakan.

Yoghurt spirulina mengalami penurunan kadar air yang signifikan setelah proses spray drying. Proses spray drying berhasil menurunkan kadar air produk dari 89.44±0.15% menjadi 2.51±0.35% dengan persen penurunan sebesar 97%. Yoghurt spirulina bubuk pada penelitian ini memiliki kadar air yang telah sesuai dengan

(15)

15 standar SNI 2970:2015 tentang susu bubuk, yaitu maksimal 5%. Kadar air yang tinggi pada produk bubuk dapat menyebabkan partikel bubuk mudah mengalami caking atau penggumpalan selama penyimpanan. Kadar air yoghurt bubuk dipengaruhi oleh suhu outlet yang digunakan dalam spray drying. Anandharamakrishnan dan Padma (2015) menyatakan bahwa suhu outlet merupakan suhu udara yang mengalami kontak dengan partikel padat sebelum memasuki tabung penampungan akhir produk hasil spray drying. Semakin tinggi suhu outlet yang digunakan maka semakin rendah kadar air produk bubuk yang dihasilkan. Koc et al. (2010b) melaporkan bahwa yoghurt bubuk hasil spray drying dengan suhu outlet 84 oC memiliki kadar air sebesar 4.67%, sementara yoghurt bubuk yang dikeringkan dengan suhu outlet di bawah 75 oC memiliki kadar air >6%.

Yoghurt spirulina cair dan bubuk memiliki kadar protein yang berbeda nyata (P<0.05). Perbedaan ini dapat disebabkan oleh terjadinya kerusakan komponen protein yoghurt spirulina bubuk akibat proses pengeringan pada suhu tinggi. Haque dan Adhikari (2015) menyatakan bahwa proses spray drying menyebabkan terjadinya dehidrasi sehingga ikatan hidrogen yang berperan penting dalam menjaga stabilitas struktur sekunder protein berkurang. Stabilitas protein suatu bahan dapat dipengaruhi oleh efek hidrofobik, ikatan hidrogen, dan susunan entropi di dalamnya. Proses atomisasi saat spray drying juga akan memperbesar luas permukaan partikel, sehingga gugus hidrofobik protein akan terekspos dan terjadi penguraian struktur α-helix dan β-sheets protein. Andharamakrishnan et al. (2007) melaporkan bahwa bubuk whey protein yang dibuat melalui spray drying pada suhu outlet 80 oC akan melalui proses dengan perubahan entalpi yang tinggi, sehingga produk mengalami denaturasi protein hingga mencapai 70%. Yoghurt spirulina bubuk yang dihasilkan pada penelitian ini memiliki kadar protein sebesar (13.42±1.35)% dan telah sesuai dengan standar SNI 29981:2009 tentang yoghurt, yaitu 2.7%.

Kadar lemak yoghurt spirulina bubuk juga memiliki nilai yang berbeda nyata dan lebih rendah dibandingkan yoghurt spirulina cair (Tabel 1). Hal ini diduga terjadi karena proses spray drying menyebabkan terjadinya oksidasi lemak dalam yoghurt sehingga terbentuk asam lemak bebas. Vignolles et al. (2007) menyatakan bahwa produk susu dapat mengalami oksidasi lemak dan perubahan komponen menjadi asam lemak bebas akibat proses kristalisasi matriks dan pemanasan selama proses spray drying. Kim et al. (2002) melaporkan bahwa komponen lemak dalam produk susu lebih mudah bermigrasi ke permukaan partikel dibandingkan komponen laktosa dan protein sehingga lebih rentan mengalami oksidasi. Kadar lemak yoghurt spirulina bubuk yang diperoleh penelitian ini sangat rendah dan belum sesuai dengan standar yoghurt (BSN 2009). Kadar lemak yoghurt menurut SNI 29981:2009 minimal 3.0%.

Nilai pH dan total asam tertitrasi (TAT) yoghurt spirulina cair dan bubuk memiliki perbedaan yang signifikan (P<0.05). Yoghurt spirulina bubuk memiliki nilai pH yang lebih tinggi dibandingkan yoghurt spirulina cair. Perubahan nilai pH dan TAT pada produk diduga disebabkan oleh proses evaporasi yang terjadi selama spray drying berlangsung. Mahendran (2010) melaporkan bahwa produk sari buah jambu bubuk mengalami kenaikan nilai pH dan penurunan kadar TAT setelah proses spray drying akibat menguapnya komponen asam pada produk. Yoghurt spirulina bubuk hasil penelitian ini memiliki nilai pH yang sesuai dengan standar yoghurt Australia New Zealand Food Standards (ANZFS), yaitu di bawah 4.5.

(16)

16 Yoghurt spirulina bubuk yang dihasilkan memiliki kadar TAT sebesar (0.975±0.02)% dan telah memenuhi standar yoghurt. Kadar TAT yoghurt menurut SNI 29981:2009 berada pada kisaran 0.5-2%.

Yoghurt spirulina cair dan bubuk memiliki total BAL yang berbeda nyata akibat proses spray drying pada suhu 130 oC (P<0.05). Yoghurt spirulina bubuk

mengalami perubahan total BAL menjadi 6.925±0.17 log cfu/mL setelah proses spray drying. Penurunan jumlah bakteri pada yoghurt bubuk hasil spray drying terjadi akibat penggunaan suhu inlet dan tekanan tinggi selama proses pengeringan. Andharamakrishnan dan Padma (2015) menyatakan bahwa suhu inlet merupakan suhu udara yang mengalami kontak langsung dengan produk pada awal proses pengeringan. Penggunaan suhu inlet yang lebih rendah akan menurunkan temperatur bola basah udara, sehingga mencegah kerusakan degradatif pada komponen aktif yang dikeringkan. Kumar dan Mishra (2004) juga menyatakan bahwa pengeringan pada suhu tinggi dapat menyebabkan perubahan struktur dinding sel dan dehidrasi cairan sitoplasma bakteri, sehingga terjadi denaturasi protein pada ribosom dan kerusakan DNA sel bakteri. El-Sayed et al. (2020) melakukan penelitian serupa yang menunjukkan bahwa yoghurt bubuk hasil spray drying dengan suhu inlet 120 oC mengalami penurunan jumlah bakteri L. helveticus menjadi 6.7 log cfu/g.

Total BAL yoghurt spirulina bubuk pada penelitian ini telah memenuhi jumlah minimum probiotik dalam yoghurt berdasarkan standar codex alimentarius, yaitu 6.0 log CFU/mL (FAO 2003). Total BAL yoghurt spirulina mengalami penurunan yang signifikan setelah proses pengeringan, namun penggunaan maltodekstrin sebagai bahan enkapsulasi dapat melindungi sebagian bakteri probiotik pada produk. Kothakota et al. (2014) melaporkan bahwa produk fermentasi dahi powder dengan maltodekstrin sebanyak 10% memiliki total BAL 0.5% lebih tinggi dibandingkan produk tanpa maltodekstrin. Indriani (2013) menyatakan bahwa maltodekstrin memiliki bobot molekul yang tinggi sehingga dapat melekat pada membran sel probiotik dan membentuk lapisan penyalut yang melindungi sel bakteri selama proses spray drying.

Yoghurt spirulina cair dan bubuk memiliki nilai aktivitas antioksidan (IC50)

sebesar 257.34 µL/mL dan 392.99 µg/mL secara berurutan. Penambahan biomassa S. platensis ke dalam produk yoghurt dapat meningkatkan aktivitas antioksidan produk, namun proses spray drying diduga menyebabkan penurunan aktivitas antioksidan yoghurt spirulina bubuk yang dihasilkan. Yamaguchi et al. (2019) melaporkan bahwa aktivitas antioksidan spirulina berasal dari komponen pigmen seperti karotenoid, klorofil, dan fikosianin. Spray drying dengan temperatur yang tinggi menyebabkan terjadinya oksidasi komponen antioksidan yoghurt spirulina bubuk. Mishra et al. (2014) menyatakan bahwa pemanasan pada suhu tinggi berpengaruh terhadap struktur komponen bioaktif yoghurt bubuk sehingga mengalami kerusakan atau sintesis menjadi bentuk yang berbeda. Nouri et al. (2018) melaporkan bahwa biomassa S. platensis yang dikeringkan melalui spray drying mengalami penurunan total karotenoid dan fikosianin sebesar 35.35% dan 19.66%. Komponen karotenoid yang terdapat pada spirulina memiliki struktur dengan jumlah ikatan rangkap yang cukup tinggi sehingga dapat mengalami isomerisasi struktur cis/trans dan perubahan oksidatif saat mengalami proses termal.

Yoghurt spirulina cair dan bubuk hasil penelitian ini memiliki nilai aktivitas antioksidan (IC50) yang tergolong sangat lemah. Nilai IC50 tersebut menunjukkan

(17)

17 konsentrasi sampel yang dibutuhkan untuk mereduksi 50% aktivitas radikal bebas DPPH. Aktivitas antioksidan dinyatakan sangat kuat apabila memiliki nilai IC50

kurang dari 50 µg/mL, kuat jika memiliki nilai IC50 50-100 µg/mL, sedang jika

memiliki kisaran nilai IC50 100-150 µg/mL, dan lemah jika memiliki nilai IC50 pada

kisaran 150-200 µg/mL (Molyneux 2004). Hasil aktivitas antioksidan yoghurt cair dan yoghurt spirulina bubuk berbeda dengan penelitian Dasilva et al. (2019) yang menyatakan bahwa yoghurt cair yang ditambahkan dengan bubuk spirulina memiliki nilai IC50 sebesar 13-15 mg/mL. Perbedaan tersebut dapat disebabkan oleh

penggunaan konsentrasi spirulina serta metode pengeringan yang berbeda dalam proses pembuatan yoghurt spirulina.

Karakteristik Fisik Yoghurt Spirulina Bubuk

Karakteristik fisik yoghurt spirulina bubuk diamati untuk mengetahui kualitas produk bubuk yang dihasilkan. Perhitungan rendemen, pengukuran nilai 𝑎w, uji kelarutan, dan pengukuran partikel produk bubuk selanjutnya diamati untuk

mengetahui karakteristik fisik yoghurt spirulina bubuk hasil spray drying. Hasil pengamatan karakteristik fisik yoghurt spirulina bubuk dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Karakteristik fisik yoghurt spirulina bubuk

Parameter Yoghurt Spirulina Bubuk

Rendemen (%) 6.42±0.455 Nilai Aw 0.32±0.001 Kelarutan (%) 72.75±0.634 Ukuran partikel (µm) 5.82±1.065

Rendemen yoghurt spirulina bubuk yang dihasilkan sangat rendah, yaitu sebesar 6.42±0.46%. Hal ini disebabkan oleh melekatnya sebagian suspensi yoghurt spirulina pada alat spray dryer selama proses pengeringan. Pelekatan suspensi yoghurt pada tabung spray dryer terjadi akibat rendahnya temperatur transisi gelas (Tg) bahan. Suspensi yoghurt memiliki kandungan asam dan kadar gula yang tinggi, sehingga memiliki bobot molekul dan Tg yang rendah serta bersifat higroskopis (Triboli dan Got 2016). Permasalahan tersebut dapat diatasi dengan menambahkan bahan enkapsulasi yang memiliki bobot molekul dan nilai Tg lebih tinggi seperti maltodekstrin (Lee et al. 2018).

Yoghurt spirulina bubuk pada penelitian ini memiliki nilai 𝑎w yang cukup

rendah, yaitu 0.32±0.001. Medeiros et al. (2014) melaporkan bahwa yoghurt bubuk yang dibuat dengan metode spray drying pada suhu 130 oC memiliki nilai 𝑎w

0.19±0.03. Perbedaan hasil ini diduga dipengaruhi oleh penggunaan biomassa basah spirulina dalam proses pembuatan yoghurt spirulina bubuk. Bchir et al. (2019) menyatakan bahwa yoghurt dengan penambahan biomassa spirulina basah memiliki kadar air yang lebih tinggi dibandingkan yoghurt tanpa spirulina. Koc et al. (2010a) menyatakan bahwa nilai 𝑎 w yoghurt bubuk hasil spray drying

dipengaruhi oleh suhu outlet yang digunakan dan kadar air produk kering yang dihasilkan.

Nilai 𝑎w (activity water) merupakan rasio antara tekanan uap air pada

produk dan tekanan uap air murni suatu bahan. Nilai 𝑎w menunjukkan kadar air

bebas yang berpengaruh terhadap reaksi kimia dan mikrobiologis produk selama penyimpanan. Yoghurt spirulina bubuk pada penelitian ini memiliki nilai 𝑎w <0.6

(18)

18 (Tabel 2). Produk pangan dengan nilai 𝑎w <0.6 cenderung stabil terhadap kerusakan

akibat pertumbuhan mikroba seperti bakteri, kapang, dan ragi (Quek et al. 2007). Rendahnya nilai 𝑎w akibat proses pengeringan pada suhu tinggi akan menyebabkan

bakteri probiotik mengalami inaktivasi (Kumar dan Mishra 2004), namun yoghurt spirulina bubuk yang dihasilkan melalui spray drying masih memiliki kandungan BAL sebesar 6.925±0.17 log cfu/mL (Tabel 1). Hal ini diduga karena proses mikroenkapsulasi yang terjadi dapat melindungi sebagian BAL dalam produk. Mikroenkapsulasi yoghurt spirulina bubuk dilakukan dengan metode spray drying dengan bahan penyalut berupa maltodekstrin. Maltodekstrin mampu membentuk lapisan biofilm yang memerangkap bakteri asam laktat di dalam mikroenkapsulat (Iravani et al. 2014).

Yoghurt spirulina bubuk hasil spray drying memiliki sebaran ukuran partikel sebesar 2.344-8.914 µm dengan nilai rata-rata ukuran partikel sebesar 5.818±1.065 µm. Hal ini menunjukkan bahwa yoghurt spirulina bubuk telah mengalami mikroenkapsulasi. Anandharamakrishnan dan Padma (2015) menyatakan bahwa proses yang menghasilkan produk bubuk berukuran >5000 µm disebut makroenkapsulasi, sementara 0.2-5000 µm dan 2000Å-0.2 µm adalah mikroenkapsulasi dan nanoenkapsulasi. Yoghurt spirulina bubuk yang dihasilkan pada penelitian ini memiliki ukuran partikel yang lebih kecil dibandingkan yoghurt bubuk pada penelitian serupa. Medeiros et al. (2014) melaporkan bahwa yoghurt bubuk yang dihasilkan melalui spray drying pada suhu inlet 130 oC memiliki

ukuran partikel rata-rata sebesar 15.0±4.0 µm. Bhandari et al. (2013) menyatakan bahwa ukuran partikel yoghurt bubuk juga dipengaruhi oleh ukuran dan tekanan atomizer pada alat spray dryer serta viskositas bahan yang digunakan. Ukuran partikel produk bubuk hasil spray drying juga beragam karena dipengaruhi oleh bahan dan metode enkapsulasi yang digunakan.

Kelarutan merupakan parameter penting yang menentukan kualitas produk bubuk. Yoghurt spirulina bubuk pada penelitian ini memiliki indeks kelarutan sebesar 72.25±0.63%. Hal ini menunjukkan bahwa yoghurt spirulina bubuk yang dihasilkan cukup mudah dilarutkan dalam air. Indeks kelarutan yang dihasilkan pada penelitian ini tidak berbeda jauh dengan hasil penelitian dengan metode serupa. Medeiros et al. (2014) melaporkan bahwa yoghurt bubuk dengan 10% maltodekstrin hasil spray drying pada suhu 130 oC memiliki kelarutan sebesar 69.3±0.47%. Lee et al. (2018) menyatakan bahwa kelarutan produk bubuk hasil spray drying dipengaruhi oleh karakteristik bahan yang dikeringkan, jenis bahan enkapsulasi yang digunakan, serta karakteristik produk bubuk seperti kadar air dan ukuran partikelnya. Yoghurt spirulina bubuk yang dihasilkan pada penelitian ini memiliki partikel berukuran mikro sehingga mudah larut dalam air. Koc et al. (2014) menyatakan bahwa ukuran partikel yang lebih kecil menyebabkan luas permukaan partikel lebih besar, sehingga partikel yoghurt bubuk memiliki afinitas yang lebih besar terhadap air dan lebih mudah larut dalam air.

Karakteristik Yoghurt Spirulina Bubuk Selama Penyimpanan

Yoghurt spirulina bubuk yang dihasilkan melalui spray drying disimpan dalam kemasan PET/ALU/LLDPE yang ditutup rapat menggunakan sealer listrik. Penyimpanan yoghurt spirulina bubuk dilakukan pada suhu ruang (27-29 oC) dan kelembapan 70-80 %RH selama 28 hari. Pengukuran nilai 𝑎w, total BAL, dan

(19)

19 aktivitas antioksidan yoghurt bubuk spirulina selanjutnya diamati setiap 7 hari selama penyimpanan. Yoghurt spirulina bubuk yang dihasilkan dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4 Yoghurt spirulina bubuk hasil spray drying

Pengukuran Nilai 𝒂w

Nilai 𝑎w (activity water) merupakan parameter penting yang menentukan

kualitas yoghurt bubuk spirulina. Nilai 𝑎w pada produk bubuk akan menentukan

stabilitas produk selama penyimpanan. Parameter ini menunjukkan kandungan air bebas pada produk yang akan mempengaruhi reaksi kimia dan biologis produk pangan selama penyimpanan (Quek et al. 2007). Pengukuran nilai 𝑎w yoghurt

spirulina bubuk selama penyimpanan dilakukan pada suhu 27-29 oC dan

kelembapan 70-80 %RH. Hasil pengukuran nilai 𝑎w yoghurt spirulina bubuk

selama penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5 Nilai 𝑎w yoghurt spirulina bubuk selama penyimpanan 28 hari. Angka

yang diikuti huruf superscript berbeda menunjukkan berbeda nyata (P< 0.05).

Hasil analisis ragam menunjukkan perlakuan lama penyimpanan memberikan pengaruh nyata (P<0.05) terhadap nilai 𝑎w yoghurt spirulina bubuk

(Lampiran 2). Hasil uji lanjut menunjukkan bahwa perlakuan lama penyimpanan 0 dan 7 hari tidak berbeda nyata akan tetapi berbeda nyata dengan perlakuan lainnya, sedangkan lama penyimpanan 14, 21, dan 28 hari tidak berbeda nyata. Perbedaan ini diduga disebabkan oleh terjadinya pertukaran partikel air antara produk dan lingkungan selama penyimpanan produk di suhu ruang (27-29 oC). Singh R dan Singh N (2005) menyatakan bahwa perubahan nilai 𝑎w produk pangan dalam

kemasan dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu suhu dan kelembapan relatif saat 0.315a 0.329 a 0.376 b 0.388b 0.390b 0 0.05 0.1 0.15 0.2 0.25 0.3 0.35 0.4 0 7 14 21 28 Nilai A w

(20)

20 penyimpanan, sifat penyerapan produk, serta permeabilitas uap air dari bahan kemasan yang digunakan.

Yoghurt spirulina bubuk hasil spray drying pada penelitian ini memiliki nilai 𝑎w sebesar 0.315±0.001 pada awal penyimpanan. Koc et al. (2010a)

melaporkan bahwa yoghurt bubuk hasil spray drying dengan suhu inlet 171 oC memiliki nilai 𝑎w sebesar 0.14 setelah penyimpanan dalam kemasan ALPE selama

90 hari pada suhu 25 oC. Perbedaan hasil penelitian dengan literatur diduga

disebabkan oleh adanya perbedaan suhu inlet dalam proses spray drying sehingga nilai 𝑎w produk pada awal penyimpanan lebih tinggi. Perbedaan tersebut juga

diduga disebabkan oleh suhu penyimpanan yoghurt spirulina bubuk yang lebih tinggi, yaitu 27-29 oC. Hardy dan Jideani (2019) menyatakan bahwa suhu udara dan kelembapan relatif yang lebih tinggi selama penyimpanan akan memudahkan terjadinya proses pengikatan antara matriks bahan dengan komponen air di lingkungan.

Yoghurt spirulina bubuk pada penelitian ini memiliki nilai 𝑎w sebesar

0.39±0.008 setelah 28 hari penyimpanan. Yoghurt spirulina bubuk juga memiliki total bakteri asam laktat yang stabil selama 28 hari penyimpanan (Gambar 5). Hal ini menunjukkan bahwa yoghurt spirulina bubuk memiliki nilai 𝑎w yang sesuai

standar dan tidak mengalami kontaminasi mikroba selama penyimpanan. Barbosa-Canovas et al. (2007) menyatakan bahwa nilai 𝑎w 0.6 dan 0.86 merupakan titik

kritis yang memiliki potensi untuk pertumbuhan mikroba pembusuk dan mikroorganisme patogen. Mikroba akan mengalami percepatan aktivitas enzimatis dan penyerapan nutrisi pada kondisi suhu dan nilai 𝑎w di atas 0.6 selama

penyimpanan. Analisis Total BAL

Bakteri asam laktat (BAL) merupakan kelompok bakteri non patogenik yang berperan penting dalam proses fermentasi produk yoghurt. Yoghurt spirulina bubuk pada penelitian ini dibuat dengan starter L. plantarum SK (5) asal bekasam. Perhitungan total BAL pada yoghurt spirulina bubuk penting dilakukan untuk mengetahui kualitas produk selama penyimpanan. Hasil analisis total BAL yoghurt spirulina bubuk selama penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6 Total BAL yoghurt spirulina bubuk selama penyimpanan 28 hari. Angka yang diikuti huruf superscript berbeda menunjukkan berbeda nyata (P< 0.05). 6.92a 6.59a 6.75a 7.07a 6.84a 0.00 2.00 4.00 6.00 8.00 0 7 14 21 28 T o tal B A L ( lo g cf u /m L )

(21)

21 Hasil analisis ragam menunjukkan perlakuan lama penyimpanan tidak memberikan pengaruh nyata terhadap total BAL yoghurt spirulina bubuk (P>0.05) (Lampiran 3). Yoghurt spirulina bubuk memiliki total BAL sebesar 6.92±0.17 log cfu/mL pada awal masa penyimpanan dan tidak mengalami perubahan yang signifikan setelah 28 hari penyimpanan. Hasil ini menunjukkan bahwa kandungan BAL pada produk memiliki viabilitas yang cukup stabil dalam matriks bubuk selama 28 hari penyimpanan di suhu ruang (27-29 oC). Miskiyah et al. (2019) menyatakan bahwa yoghurt dalam bentuk bubuk memiliki kadar air dan nilai 𝑎w

rendah, sehingga tidak mudah terkontaminasi oleh mikroba lainnya dan memiliki umur simpan yang lebih panjang. Chavez dan Ledebour (2007) menyatakan bahwa viabilitas bakteri probiotik dalam produk bubuk hasil spray drying dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu jenis stain bakteri, jumlah BAL produk sebelum pengeringan, bahan enkapsulasi yang digunakan, nilai 𝑎w produk, permeabilitas udara kemasan,

dan suhu penyimpanan.

Yoghurt spirulina bubuk hasil penelitian memiliki viabilitas BAL yang stabil dengan kisaran total BAL sebesar 6.92-7.07 log cfu/mL selama 28 hari penyimpanan. Hal ini diduga disebabkan oleh proses mikroenkapsulasi yang terjadi akibat proses spray drying. Kearney et al. (2009) melaporkan bahwa proses spray drying menyebabkan bakteri L. delbrueckii subsp. bulgaricus terenkapsulasi dengan baik dalam matriks yoghurt sehingga memiliki viabilitas probiotik sebesar 7.08 log cfu/g. Viabilitas BAL dalam matriks yoghurt dapat diperkuat dengan penggunaan maltodekstrin sebagai bahan enkapsulasi dalam proses spray drying. Anandharamakrishnan dan Padma (2015) menyatakan bahwa bahan polimer pelindung dengan bobot molekul tinggi seperti maltodekstrin akan membentuk lapisan matriks yang dapat menurunkan suhu fase transisi membran sel dan mencegah kerusakan intrasel bakteri. Medeiros et al. (2014) melaporkan bahwa yoghurt bubuk dengan 10% maltodekstrin memiliki jumlah total probiotik lebih tinggi dibandingkan yoghurt bubuk tanpa maltodekstrin, yaitu sebesar 106 cfu/g setelah 90 hari penyimpanan.

Bakteri asam laktat (BAL) merupakan kelompok bakteri non patogenik yang berperan penting dalam proses fermentasi, preservasi, dan produksi pangan lainnya serta dapat memiliki sifat probiotik. Probiotik merupakan mikroba hidup yang memiliki dampak positif bagi kesehatan apabila dikonsumsi. Probiotik memiliki pengaruh yang menguntungkan dengan meningkatkan keseimbangan mukosa dan mikroflora usus (Naidu dan Clemens 2000). Kelompok bakteri asam laktat terbesar terdapat pada genus Lactobacillus yang meliputi 50 jenis spesies berbeda (Tannock 2004). Lactobacillus plantarum SK (5) merupakan golongan BAL yang bersifat sebagai probiotik karena memiliki ketahanan yang cukup tinggi terhadap pH lambung, pH usus, dan garam empedu (Syafiqoh 2014; Saskia 2014). Yoghurt spirulina bubuk dengan starter L. plantarum SK (5) hasil penelitian memiliki total BAL sebesar 6.84 log cfu/mL setelah 28 hari penyimpanan dan telah sesuai standar. Produk pangan probiotik harus memiliki total bakteri probiotik minimal 6.0 log cfu/mL agar dapat berperan optimal di dalam tubuh manusia (FAO/WHO 2003).

Aktivitas Antioksidan

Yoghurt spirulina bubuk dapat mengalami perubahan aktivitas antioksidan selama penyimpanan. Perubahan aktivitas antioksidan yoghurt spirulina bubuk

(22)

22 dapat diketahui melalui uji inhibisi produk terhadap radikal bebas DPPH. Komponen bioaktif dalam yoghurt spirulina bubuk akan mendonorkan elektron kepada radikal bebas DPPH dan menyebabkan perubahan nilai absorbansi. Aktivitas antioksidan menunjukkan besarnya kemampuan senyawa antioksidan dalam mereduksi atau menstabilkan radikal bebas. Aktivitas antioksidan yoghurt spirulina bubuk yang dihasilkan ditunjukkan dalam bentuk nilai IC50. Aktivitas

antioksidan yoghurt spirulina bubuk selama penyimpanan 28 hari dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7 Aktivitas antioksidan yoghurt spirulina bubuk selama penyimpanan 28

hari. Angka yang diikuti huruf superscript berbeda menunjukkan berbeda nyata (P< 0.05).

Perlakuan lama penyimpanan memberikan pengaruh nyata (P<0.05) terhadap aktivitas antioksidan yoghurt spirulina bubuk (Lampiran 2). Hasil uji lanjut menunjukkan bahwa perlakuan lama penyimpanan 0 dan 7 hari tidak berbeda nyata akan tetapi berbeda nyata dengan perlakuan 28 hari. Perlakuan lama penyimpanan 21 hari tidak berbeda nyata dengan perlakuan 28 hari. Yoghurt spirulina bubuk memiliki nilai IC50 sebesar 392.99±72.21 ppm pada awal penyimpanan. Nilai IC50

menunjukkan konsentrasi sampel yang dibutuhkan untuk mereduksi 50% aktivitas radikal bebas DPPH. Semakin tinggi nilai IC50 sampel maka semakin lemah

aktivitas antioksidan produk. Yoghurt spirulina bubuk setelah penyimpanan 28 hari memiliki aktivitas antioksidan yang tergolong lemah, yaitu 614.43±10.54 ppm. Molyneux (2004) menyatakan bahwa aktivitas antioksidan suatu bahan tergolong sangat kuat apabila memiliki nilai IC50 kurang dari 50 ppm, kuat jika memiliki nilai

IC50 50-100 ppm, sedang jika memiliki kisaran nilai IC50 100-150 ppm, dan lemah

jika memiliki nilai IC50 lebih besar dari 150 ppm.

Penurunan aktivitas antioksidan yoghurt spirulina bubuk mulai terjadi pada hari ke-21 penyimpanan dalam kemasan berbahan PET/ALU/LLDPE pada suhu ruang (27-29 oC). Hal ini diduga disebabkan oleh terjadinya perubahan struktur komponen bioaktif dalam produk akibat proses spray drying dan degradasi komponen bioaktif produk selama penyimpanan. Antioksidan yoghurt spirulina bubuk berasal dari kasein susu dan biopigmen spirulina. Barkallah et al. (2017) menyatakan bahwa komponen bioaktif yoghurt spirulina berasal dari senyawa

392.99a 390.60a 411.96b 526.30bc 614.43c 0.0 100.0 200.0 300.0 400.0 500.0 600.0 700.0 0 7 14 21 28 Nilai IC 50 (p p m )

(23)

23 klorofil, karotenoid, dan fikosianin yang dapat menghambat radikal bebas DPPH. Nouri et al. (2018) melaporkan bahwa proses spray drying dengan suhu dan tekanan tinggi dapat menyebabkan terjadinya oksidasi dan isomerisasi komponen karotenoid serta denaturasi struktur fikobiliprotein pada spirulina. Perubahan struktur komponen bioaktif akibat spray drying dapat menyebabkan komponen bioaktif pada produk lebih rentan mengalami oksidasi dan kerusakan selama masa penyimpanan.

Stabilitas fikosianin spirulina selama penyimpanan dipengaruhi oleh pH, suhu, cahaya, oksigen, dan kelembapan lingkungan (Wu et al. 2016), sementara stabilitas karotenoid dipengaruhi oleh paparan cahaya, oksigen, pemanasan, radiasi elektromagnetik, dan nilai 𝑎w pada produk pangan (Richardson dan Finley 1985).

Yoghurt spirulina bubuk pada penelitian ini mengalami kenaikan nilai 𝑎w dengan

kisaran nilai 0.315-0.39 selama penyimpanan (Gambar 5). Komponen bioaktif dalam yoghurt spirulina diduga mengalami oksidasi akibat penetrasi oksigen dari lingkungan ke produk melalui lapisan kemasan yang digunakan. Barbosa-Canovas et al. (2007) menyatakan bahwa produk pangan dengan nilai 𝑎w 0.3-0.5 rentan

mengalami kerusakan berupa oksidasi. Tonon et al. (2010) menyatakan bahwa interaksi antara komponen air dan oksigen dengan produk menyebabkan terjadinya oksidasi komponen bioaktif sehingga terjadi penurunan aktivitas antioksidan. Difusi oksigen ke dalam bahan yang mengandung komponen bioaktif dapat menyebabkan degradasi komponen antioksidan pada produk bubuk hasil spray drying.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Proses spray drying dengan suhu dan tekanan tinggi menghasilkan yoghurt spirulina bubuk dengan karakteristik yang berbeda nyata dengan yoghurt spirulina cair. Perlakuan lama penyimpanan mempengaruhi karakteristik nilai 𝑎w dan

aktivitas antioksidan yoghurt spirulina bubuk. Total BAL yoghurt spirulina bubuk stabil selama penyimpanan 28 hari pada suhu 27-29 oC. Yoghurt spirulina bubuk memiliki nilai 𝑎w sebesar 0.39, total BAL sebesar 6.84 log cfu/mL, dan aktivitas

antioksidan (IC50) sebesar 614.43 ppm setelah 28 hari penyimpanan.

Saran

Berdasarkan hasil penelitian perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai optimasi metode spray drying dan bahan enkapsulasi yang lebih baik dalam melindungi aktivitas antioksidan yoghurt spirulina bubuk. Penggunaan kemasan yang berbeda juga dapat dilakukan untuk menghasilkan nilai 𝑎w dan aktivitas

antioksidan produk yoghurt spirulina bubuk yang lebih stabil selama penyimpanan. Uji organoleptik perlu dilakukan guna mengetahui tingkat kesukaan konsumen terhadap produk yoghurt spirulina bubuk.

(24)

24

DAFTAR PUSTAKA

Adhani SW. 2021. Karakteristik yoghurt spirulina dengan starter Lactobacillus plantarum SK (5) pada perbedaan konsentrasi biomassa dan waktu inkubasi [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Agustini TW, Suzery M, Sutrisnanto D, Ma'ruf WF, Hadiyanto. 2015. Comparative study of bioactive substances extracted from fresh and dried Spirulina sp. Procedia Environmental Sciences. 23 (1): 282-289.

Al-Kadamany E, Toufeili I, Khattar M, Abou-Jawdeh Y, Harakeh S, Haddad T. Determination of shelf life of concentrated yogurt (labneh) produced by in-bag straining of set yogurt using hazard analysis. Journal of Dairy Science. 85(1):1023-1030.

Anandharamakrishnan C, Padma IS. 2015. Spray Drying Techniques for Food Ingredient Encapsulation. Oxford (UK): John Wiley and Sons.

Anandharamakrishnan C, Rielly CD, Stapley AGF. 2007. Effects of process variables on the denaturation of whey proteins during spray drying. Drying Technology. 25: 799-807.

Anekella K. 2011. Microencapsulation of probiotics (Lactobacillus acidophilus and Lactobacillus rhamnosus) in raspberry powder by spray drying: optimization and storage stability studies [thesis]. Canada (US): McGill University.

[ANZFS]. Australia New Zealand Food Standards. 2015. Australia New Zealand Food Standards Code-Fermented Milk Products. Sydney (AU): Australia Gazette.

Anggrahini DND. 2016. Produksi, pemekatan, dan karakterisasi enzim protease dari Lactobacillus plantarum SK(5) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

[AOAC]. Association of Official Agricultural Chemists International. 2005. Official Methods of Analysis of AOAC International. Washington (US): AOAC Inc.

Assadpour E, Jafari SM. 2019. Advances in spray-drying encapsulation of food bioactive ingredients: from microcapsules to nanocapsules. Annual Review Food Science Technology. 10(8): 1-8.

Balada. 2018. Aktivitas antioksidan hidrolisat protein daging ikan kuniran hasil fermentasi Lactobacillus plantarum SK (5) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Barbosa-Canovas GV, Fontana AJ, Schmidt SJ, Labuza TP. 2007. Water Activity in Foods: Fundamental and Applications. Iowa (US): Blackwell Publishing and the Institute of Food Technologists.

Barkallah M, Dammak M, Louati I, Hentati F, Hadrich B, Mechichi T, Ayadi MA, Fendri I, Attia H, Abdelkafi S. 2017. Effect of Spirulina platensis fortification on physicochemical, textural, antioxidant and sensory properties of yogurt during fermentation and storage. Food Science and Technology. 84: 323-330.

Gambar

Gambar 1 Diagram alir penelitian
Gambar 4 Yoghurt spirulina bubuk hasil spray drying

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan Mengetahui hubungan pengetahuan dan perilaku diet untuk penurunan berat badan pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Dan Ilmu Kesehatan, Universitas Kristen

Apakah motivasi konsumen, persepsi kualitas, dan sikap konsumen memiliki pengaruh positif terhadap keputusan pembelian produk “Ayu Fatma” Collection di Kabupaten

Responden yang memiliki kategori sedang dalam minat berwirausaha sedang menunjukkan bahwa responden tersebut cukup dalam memulai dan mengerjakan usahanya sendiri tanpa

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat minat menonton film Drama Korea, mengetahui tingkat kecenderungan narsistik, dan Untuk menganalisis pengaruh dari

Hipotesis yang akan diuji pada penelitian ini adalah Variabel Kepribadian, Lingkungan, Demografis, Ketersediaan Informasi Kewirausahaan, Kepemilikan Jaringan Sosial,

• Perseroan telah menggunakan dana belanja modal (capital expenditure) sekitar Rp 3 triliun hingga Agustus 2015 atau dana yang sudah terealisasi baru sekitar 42,85% dari capex yang

pemasangan pompa pada pertemuan anak-anak sungai dengan Kali Madiun. Pemanfaatan sempadan sungai sebagai kawasan hijau. Penentuan lokasi dan jalur evakuasi dari permukiman penduduk. b)

Pola Ganda (Program Pelatihan Gamolan Anak daerah) sebagai upaya terwujudnya generasi berwawasan budaya di SD N 2 Sulusuban merupakan bentuk pengabdian masyarakat dalam