• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Pelacuran merupakan salah satu fenomena sosial dalam masyarakat yang sangat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Pelacuran merupakan salah satu fenomena sosial dalam masyarakat yang sangat"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Pelacuran merupakan salah satu fenomena sosial dalam masyarakat yang sangat kompleks, baik dari segi sebab-sebabnya, prosesnya maupun implikasi sosial yang ditimbulkannya. Pelacuran dengan berbagai versinya merupakan bisnis yang abadi sepanjang zaman. Karena disamping disebut sebagai profesi yang tertua, jasa pelacuran pada hakekatnya tetap dicari oleh anggota masyarakat yang tidak terpenuhi kebutuhan seksualnya.

Pelacuran tidak terlepas dari gaya hidup seseorang. Gaya hidup mampu menjelaskan pandangan seseorang akan suatu hal seperti status sosial, serta berbagai corak baik lama maupun yang baru dalam sebuah budaya modern. Gaya hidup merupakan ciri dari sebuah dunia modern, bisa dikembangkan melalui pola perilaku manusianya itu sendiri atau dengan melalui benda serta orang lain. Gaya hidup mampu memahami (menjelaskan sesuatu tapi bukan berarti membenarkan) apa yang orang lakukan, mengapa mereka melakukannya, dan apa yang mereka lakukan bermakna bagi dirinya ataupun orang lain (Chaney. 1996:40).

Masalah prostitusi adalah masalah struktural. Permasalahan mendasar yang terjadi dalam masyarakat adalah mereka masih memahami masalah prostitusi sebagai masalah moral. Mereka tidak menyadari persepsi moral ini akan mengakibatkan sikap "menyalahkan korban" yang ujungnya menjadikan korban semakin tertindas. Di antara alasan penting yang melatarbelakangi adalah kemiskinan yang sering bersifat struktural. Struktur kebijakan tidak memihak kepada kaum yang lemah sehingga yang miskin semakin miskin, sedangkan orang yang kaya semakin menumpuk harta kekayaannya.

(2)

Banyak budaya yang menyebabkan wanita akhirnya menjadi PPS (Perempuan Pekerja Seks). (Koentjoro 2004:45) menyebutkan bahwa dalam penelitiannya yang dilakukan di Indramayu, terdapat budaya yang menganggap bekerja sebagai PPS adalah baik dan justru mendapat dorongan orangtua dan keluarga. Bahkan, keluarga menyelenggarakan slametan agar anaknya mendapat banyak pelanggan dan dapat mengirimi uang untuk keluarga di rumah.

Pada masa kerajaan-kerajaan Jawa perdagangan perempuan pada saat itu merupakan bagian pelengkap dari sistem pemerintahan feodal. Dua kerajaan yang sangat lama berkuasa di Jawa berdiri tahun 1755 ketika kerajaan Mataram terbagi menjadi Kesunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta. Kekuasaan raja yang tidak terbatas ini juga tercermin dari banyaknya selir yang dimilikinya. Beberapa orang dari selir tersebut adalah putri bangsawan yang diserahkan kepada raja sebagai tanda kesetiaan. Sebagian lagi adalah persembahan dari kerajaan lain, dan ada juga selir yang berasal dari lingkungan masyarakat kelas bawah yang dijual atau diserahkan oleh keluarganya dengan maksud agar keluarga tersebut mempunyai keterkaitan dengan keluarga istana.

Bentuk industri seks yang lebih terorganisir berkembang pesat pada periode penjajahan Belanda. Kondisi tersebut terlihat dengan adanya sistem perbudakan tradisional dan perseliran yang dilaksanakan untuk memenuhi kebutuhan pemuasan seks masyarakat Eropa. Umumnya aktifitas ini berkembang di daerah-daerah sekitar pelabuhan di Nusantara ini. Pemuasan seks untuk para serdadu, pedagang, dan para utusan menjadi isu utama dalam pembentukan budaya asing yang masuk ke Nusantara.

Aktifitas pelacuran semakin meningkat secara drastis pada abad ke-19, terutama setelah diadakannya pembenahan hukum agraria pada tahun 1870, dimana pada masa saat itu perekonomian negara jajahan terbuka bagi para penanam modal swasta. Selama pembangunan

(3)

jalan kereta api yang menghubungkan kota-kota di Jawa seperti Batavia, Bogor, Cianjur, Bandung, Cilacap, Yogyakarta dan Surabaya pada tahun 1884, tak hanya aktivitas pelacuran saja yang timbul untuk melayani para pekerja bangunan di setiap kota yang dilalui kereta api, tetapi juga pembangunan tempat-tempat-tempat penginapan dan fasilitas lainnya meningkat bersamaan dengan meningkatnya aktifitas pembangunan konstruksi jalan kereta api.

Oleh sebab itu dapat dimengerti mengapa banyak kompleks pelacuran tumbuh di sekitar stasiun kereta api hampir di setiap kota. Pada masa pendudukan Jepang, banyak perempuan dewasa dan anak-anak sekolah yang tertipu atau dipaksa memasuki dunia pelacuran. Bangsa Jepang menawarkan pendidikan dan kehidupan yang lebih baik di Tokyo atau kota-kota besar di Indonesia lainya kepada sejumlah pelajar perempuan. Banyak calon yang berparas menarik dan cerdas yang berasal dari keluarga kalangan atas untuk mencoba tawaran pihak pihak Jepang ini.

Koentjoro (1989:3) mengidentifikasi 11 kabupaten di Jawa yang dalam sejarah terkenal sebagai pemasok perempuan untuk kerajaan; dan sampai sekarang daerah tersebut masih terkenal sebagai sumber wanita pelacur untuk daerah kota. Daerah-daerah tersebut adalah Kabupaten Indramayu, Karawang, dan Kuningan di Jawa Barat; Pati, Jepara, Grobogan dan Wonogiri di Jawa Tengah; serta Blitar, Malang, Banyuwangi dan Lamongan di Jawa Timur. Kecamatan Gabus Wetan di Indramayu terkenal sebagai sumber pelacur; dan menurut sejarah daerah ini merupakan salah satu sumber perempuan muda untuk dikirim ke istana Sultan Cirebon sebagai selir.

Beberapa wanita pekerja seks komersial menikmati perannya sebagai wanita pekerja seks komersial. Wanita pekerja seks komersial dianggap sebagai pekerjaan yang menjanjikan karena dengan menjadi wanita pekerja seks komersial, uang dapat dengan mudah diperoleh sehingga kebutuhan sehari-hari dapat terpenuhi meskipun mereka mengalami konflik dalam dirinya.

(4)

Keluarga memberikan peluang bagi wanita untuk memainkan berbagai peran. Wanita pekerja seks komersial yang berkeluarga berperan sebagai istri bagi suami, ibu bagi anak-anaknya, sebagai pengatur rumah tangga dalam keluarga, dan juga berperan sebagai wanita bekerja. Wanita pekerja seks komersial selalu mengalami konflik dalam dirinya, baik konflik kepentingan antara rasa membutuhkan uang dan perasaan berdosa, atau juga karena adanya perasaan tidak aman akan statusnya sosialnya sebagai pekerja seks komersial dalam masyarakat (Koentjoro 1996:50).

Banyaknya resiko yang harus dihadapi juga dapat memicu munculnya konflik dalam diri wanita pekerja seks komersial. Resiko yang dihadapi wanita pekerja seks komersial berasal dari resiko fisik dan resiko seksual, maupun resiko sosial. Resiko fisik dan resiko seksual yang dihadapi wanita pekerja seks komersial antara lain berhubungan dengan resiko penularan penyakit infeksi menular seksual (selanjutnya disebut IMS) dan resiko kehamilan.

Kehidupan seorang wanita pekerja seks komersial merupakan fenomena yang tidak dapat diterima sebagian kalangan masyarakat. Wanita pekerja seks komersial dipandang sebagai makhluk yang menyandang stereotip negatif dan dianggap tidak pantas menjadi bagian dari masyarakat. Masih sering ditemui bahwa bila suatu rumah tangga yang dalam keluarganya tersebut terdapat wanita pekerja seks komersial maka akan dijauhi dalam lingkungannya.

Bahkan seperti dalam suatu acara di televisi mengisahkan bahwa ada seseorang wanita yang dulunya dipaksa menjadi wanita penghibur bagi tentara Jepang pada jaman dahulu, sampai sekarang sering diejek dan dikucilkan oleh masyarakat karena dia dianggap sebagai pelacur. (Annaregina diakses pada tanggal 1 Juni pukul 21.00 Wib.)

Koentjoro (1996:50) mengemukakan bahwa wanita pekerja seks komersial merasa tidak aman pada statusnya sebagai wanita pekerja seks komersial dan merasa khawatir apabila

(5)

statusnya diketahui masyarakat. Hutabarat (2004:76) dalam penelitiannya menemukan bahwa adanya keinginan untuk tidak diasingkan dari lingkungan menyebabkan wanita pekerja seks komersial menutupi status sebagai wanita pekerja seks komersial dengan berpura-pura menjadi anggota masyarakat biasa sehingga interaksi dengan lingkungan sekitar tetap terjaga.

Fenomena prostitusi hingga kini masih menjadi masalah yang belum terselesaikan. Upaya-upaya yang telah dilakukan pemerintah, baik upaya preventif maupun upaya yang bersifat represif dan kuratif untuk menanggulangi masalah prostitusi belum menampakkan hasil maksimal hingga kini (Kartono, 2005:266).

Belum adanya satu program terpadu dari pemerintah untuk mengatasi masalah prostitusi menyebabkan fenomena wanita pekerja seks komersial terus tumbuh dengan subur, yang dibuktikan dengan semakin meningkatnya jumlah wanita pekerja seks komersial setiap tahunnya. Praktik prostitusi yang dilakukan secara terang-terangan hingga praktik prostitusi terselubung menambah jumlah wanita pekerja seks komersial di Indonesia. Salah satu contohnya ialah Dolly Dolly atau Gang Dolly adalah nama sebuah kawasan lokalisasipelacuran yang terletak di daerah Jarak, Pasar Kembang, Kota Surabaya, Jawa Timur, Indonesia., yaitu sebagai lokalisasi pelacuran yang terbesar di Asia Tenggara. Di kawasan lokalisasi ini, wanita penghibur "dipajang" di dalam ruangan berdinding kaca mirip etalase. Konon lokalisasi ini adalah yang terbesar di Asia Tenggara lebih besar dari Patpong di Bangkok, Thailand dan Geylang di Singapura. Bahkan pernah terjadi kontroversi untuk memasukkan Gang Dolly sebagai salah satu daerah tujuan wisata Surabaya bagi wisatawan mancanegara.

Di Medan salah satu Lembaga yang fokus menangani Perempuan Pekerja Seks seperti P3M (Perempuan Peduli Pedila Medan) sangat concern atau memerhatikan nasib kaum perempuan pekerja seks. Ini terbukti dengan berbagai langkah bijak atau program-program

(6)

terpadu seperti penyuluhan atau sosialisasi kondom (Outreach Kondom), memberikan pelayanan klinik kesehatan fisik bagi perempuan pekerja seks, memberikan bimbingan konseling dalam membantu perempuan pekerja seks mampu menjalani interaksi dengan lingkungannya, dan pelatihan keterampilan bagi perempuan pekerja seks yang bertujuan untuk membantu perempuan pekerja seks lebih menyadari masih banyak pekerjaan yang halal diluar sana.

Fokus saya dalam penelitian ini adalah Losmen Serasi Baru. Losmen ini merupakan salah satu losmen yang terdapat di Jalan Rupat, Medan yang menyediakan pelayanan pekerja seks perempuan sebanyak 26 pekerja seks perempuan kepada pekerja pasar terkhusunya, tukang becak. Hal ini yang membedakannya dengan losmen lainnya, Losmen Serasi Baru lebih melayani konsumen dari kelas menengah ke bawah, namun tidak menutup kemungkinan jikalau masyarakat kelas atas untuk memasuki Losmen Serasi Baru ini.

Tarif yang ditawarkan kepada konsumen berkisar Rp 50.000-Rp 250.000 berdasarkan rentang waktu lamanya melakukan hubungan seks baik itu shorttime atau pun longtime. Selain itu, indikator menetapkan tarif tergantung usia perempuan pekerja seks atau pendekatan yang dilakukan oleh konsumen kepada perempuan pekerja seks. Semakin tinggi tarif yang disepakati antara kedua belah pihak berarti menunjukkan perempuan pekerja seks mampu untuk memenuhi kebutuhannya sendiri dan keluarganya. Sebaliknya semakin rendah tarif yang disepakati, perempuan pekerja seks semakin menambah jam kerja untuk mencari pendapatan yang lebih, serta meningkatkan aktivitas pelayanan seksnya kepada konsumen lain.

Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan pada latar belakang masalah, maka penulis tertarik melihat kehidupan sosial ekonomi perempuan pekerja seks yang hasilnya akan dituangkan dalam penelitian berjudul “Tinjauan Kehidupan Sosial Ekonomi Perempuan Pekerja Seks (PPS) Dampingan Perempuan Peduli Pedila Medan (P3M).

(7)

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan oleh penulis pada latar belakang, maka dapat dirumuskan masalah bagaimana Tinjauan Kehidupan Sosial Ekonomi Perempuan Pekerja Seks (PPS) dampingan Perempuan Peduli Pedila Medan (P3M).

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kondisi kehidupan sosial ekonomi perempuan pekerja seks (PPS) dampingan Perempuan Peduli Pedila Medan (P3M) dilokalisasi Losmen Serasi Baru.

1.3.2 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah

1. Secara akademis, dapat memberikan kontribusi keilmuan dalam menambah referensi dan kajian serta studi komparasi bagi peneliti atau mahasiswa yang tertarik terhadap penelitian yang berkaitan dengan kehidupan sosial ekonomi pekerja seks komersial. 2. Hasil penelitian diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan masukan dalam rangka

membantu program-program yang dibuat pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat guna memberdayakan pekerja seks komersial agar berfungsi sosial kembali.

(8)

1.4 Sistematika Penulisan

Penelitian ini disajikan dalam enam bab dengan sistematika penulisan sebagai berikut: BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini berisikan latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian serta sistematika penulisan.

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini berisikan kajian penelitian terdahulu, menguraikan secara teoritis variabel-variabel yang diteliti, kerangka pemikiran, defenisi konsep, dan defenisi operasional.

BAB III : METODE PENELITIAN

Bab ini berisikan tipe penelitian, pendekatan dan kedudukan penelitian, lokasi penelitian, unit analisis dan informan, teknik pengumpulan data dan teknik analisa data.

BAB IV : DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

Bab ini berisikan tentang gambaran umum lokasi penelitian dimana penulis melakukan penelitian.

BAB V : ANALISA DATA

Bab ini berisikan tentang uraian data yang diperoleh dari hasil penelitian dan analisisnya.

BAB VI : PENUTUP

Bab ini berisikan kesimpulan dan saran dari hasil penelitian sehubungan dengan penelitian yang dilakukan.

Referensi

Dokumen terkait

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a perlu menetapkan Keputusan Kepala Dinas Pemuda dan Olahraga Kota Yogyakarta tentang Penetapan

[r]

Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan dalam Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 6 Tahun 2012 tentang Pelestarian Warisan Budaya dan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa hampir seluruh pohon dalam lokasi penelitian mengalami kerusakan dengan nilai prosentase kerusakan yang rendah.. Berbagai tipe kerusakan yang

Berdasarkan hasil analisis dapat diketahui bahwa ada Hubungan Inisiasi Menyusu Dini (IMD) Dengan Keberhasilan Pemberian ASI Eksklusif Pada Anak Usia 7-12 Bulan Di

Hal hal yang dilaksanakan pada saat pre dispatch adalah menentukan kombinasi sumber produksi tenaga listrik dan unit pembangkitnya yang akan memasok kebutuhan beban sistem

Selanjutnya dengan kondisi kelarutan KMK tertinggi yang diperoleh pada penggunaan konsentrasi larutan NaOH, 50% (b/v) dan rasio kitosan terhadap monokloro asetat optimum

Analisa hasil pengujian: Menentukan persentase berat butiran agregat yang lolos dari.. satu set saringan kemudian angka-angka persentase digambarkan