BAB V
PROSES KEBIJAKAN DAN HASIL IMPLEMENTASI PROGRAM PEMBERDAYAAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN
KOMUNITAS DESA
5.1. Kebijakan Ketahanan Pangan Nasional
Perangkat hukum tertinggi yang memayungi dan sekaligus mengamanahkan kepada penyelenggara negara untuk memberikan jaminan kepada warga negaranya agar dapat hidup sejahtera lahir dan batin. Amanat tersebut tersurat pada Pasal 28 A, ayat 1 UUD 1945 Amandemen II yang menyebutkan bahwa “ Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.” Disamping itu UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pada Pasal 9 ayat 1 menyebutkan bahwa “ Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya.” Kedua UU tersebut di atas, meskipun tidak secara eksplisit menyebutkan hak atas pangan, namun secara implisit memuat perintah kepada penyelenggara negara untuk menjamin kecukupan pangan kepada setiap warganya.
Pernyataan secara eksplisit yang mewajibkan pemerintah untuk mewujudkan ketahanan pangan tercantum dalam UU Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan. UU tersebut menjelaskan tentang konsep ketahanan pangan, komponen serta pihak yang harus berperan dalam mewujudkan ketahanan pangan. Secara umum, UU tersebut mengamanatkan bahwa pemerintah dan masyarakat wajib mewujudkan ketahanan pangan. UU tersebut juga telah dijabarkan ke dalam beberapa Peraturan Pemerintah (PP) antara lain : 1). PP Nomor 68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan yang mengatur tentang Ketahanan Pangan mencakup ketersediaan pangan, cadangan pangan, penganekaragaman pangan, pencegahan dan penanggulangan masalah pangan, peran pemerintah pusat, daerah dan masyarakat, pengembangan sumberdaya manusia dan kerjasama internasional, 2). PP Nomor 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan, dan 3). PP Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan yang bertujuan untuk menciptakan perdagangan pangan yang jujur dan bertanggungjawab.
Pola kerjasama antara Pemerintah Pusat, Pemerintah daerah dan masyarakat dalam pembangunan ketahanan pangan diatur pula melalui UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah. Dimana UU tersebut mengatur bahwa peran pemerintah lebih bersifat inisiator, fasilitator dan regulator, sedangkan peran masyarakat sebagai pelaku utama pembangunan ketahanan pangan. Kebijakan ketahanan pangan nasional dalam hal ini menjadi “payung kebijakan” bagi kebijakan ketahanan pangan daerah, sedangkan ketahanan pangan daerah menjadi komponen utama dalam kebijakan ketahanan pangan nasional. Kebijakan ketahanan pangan nasional harus menjamin sinergi kebijakan antar daerah, sehingga tidak ada kebijakan suatu daerah yang merugikan daerah lain. Terkait dengan ini, maka pemerintah pusat memberikan pedoman, norma, standar, dan kriteria yang harus ditaati pemerintah daerah, melakukan pemantauan dan pengendalian untuk menjaga sinergi pembangunan antar daerah dan mengarahkan proses pembangunan pada tujuan bersama, yaitu mewujudkan ketahanan pangan nasional.
Mengacu kepada pedoman Kebijakan Umum Ketahanan Pangan 2006 – 2009 yang merupakan strategi penjabaran pembangunan nasional Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2005-2009, nampak bahwa kebijakan ketahanan pangan tersebut telah memperhatikan aspek pemberdayaan masyarakat petani, terutama di fokuskan pada petani kecil (gurem) dan buruh tani. Hal yang mendasari lahirnya kebijakan ini adalah terutama karena data kemiskinan di Indonesia menunjukan bahwa setengah dari kelompok miskin di Indonesia adalah petani kecil, dan seperlima darinya adalah para buruh tani yang tidak mampu memproduksi bahan pangan untuk kebutuhan rumahtanggannya. Petani miskin ini tidak memiliki kemampuan (entitlement) dan kebebasan (freedom) untuk melakukan sesuatu bagi keluarga dan bangsanya. Petani miskin juga tidak memiliki penghasilan yang memadai, terutama disebabkan oleh terbatasnya akses terhadap sumberdaya lahan yang merupakan faktor produksi terpenting dalam budidaya pertanian.
Berdasarkan pertimbangan atas adanya beragam potensi, masalah, hambatan, serta tantangan yang dihadapi dalam upaya mewudkan ketahanan pangan nasional , baik itu di sub sistem produksi, distribusi dan konsumsi, maka pemerintah telah menyusun kegiatan 14 kebijakan pokok berikut dengan kegiatan operasional pembangunan ketahanan pangan 2005 – 2009. Sejauh mana kegiatan opeasional dari
kebijakan tersebut telah berorientasi pada pemberdayaan masyarakat miskin dan rawan pangan dianalisis pada Tabel 19.
Tabel 19. Analisis Prinsip-Prinsip Pemberdayaan pada Kebijakan dan Kegiatan Operasional Ketahanan Pangan 2005-2009
No Tujuan Kebijakan & Kegiatan Operasional Pemberdayaan Prinsip Pemberdayaan Tipologi 1. Menjamin Ketersediaan Pangan
a. Pengembangan lahan abadi 15 jt ha sawah
beririgasi & 15 jt lahan kering Prinsip ekologis Kelembagaan b. Pengembangan konservasi & rehabilitasi
lahan Prinsip ekologis Kelembagaan, bantuan teknis & penyuluhan c. Pelestarian sumberdaya air & pengelolaan
DAS Prinsip ekologis Kelembagaan, bantuan teknis & penyuluhan d. Pengembangan & penyediaan benih, bibit
unggul & alsintan lokal Prinsip menghargai Kelembagaan & bantuan teknis e. Pengaturan pasokan gas utk produksi pupuk Prinsip proses Kelembagaan f. Pengembangan skim permodalan bagi
petani/nelayan sosial Prinsip keadilan Kelembagaan g. Peningkatan produksi & produktivitas
(perbaikan genetik & teknologi budidaya) menghargai lokal Prinsip proses dan Kelembagaan & bantuan teknis h. Pencapaian swasembada 5 komoditas
strategis (Padi, Jagung, Kedelai, Tebu, Daging Sapi)
Prinsip proses Kelembagaan & bantuan teknis I. Penyediaan insentif investasi bid. Pangan
termasuk industri gula, peternakan & perikanan
Prinsip keadilan
sosial Kelembagaan
j. Penguatan penyuluhan, kelembagaan
petani/nelayan & kemitraan sosial & proses Prinsip keadilan Kelembagaan dan penyuluhan
2. Menata Pertanahan & Tata Ruang Wilayah
a. Pengembangan reforma agraria Prinsip keadilan
sosial & proses Kelembagaan b. Penyusunan tata ruang daerah & wilayah Prinsip ekologis &
proses Kelembagaan
c. Penyusunan administrasi pertanahan &
sertifikasi lahan sosial & proses Prinsip keadilan Kelembagaan d. Pengenaan sistem perpajakan progresif bagi
pelaku konversi lahan pertanian subur & yang menelantarkan lahan pertanian
Prinsip keadilan
sosial & proses Kelembagaan
3. Mengembangkan Cadangan Pangan
a. Pengembangan cadangan pangan
pemerintah (nasional, daerah & desa) Prinsip proses Kelembagaan b. Pengembangan lumbung pangan masyarakat Prinsip menghargai
No Tujuan Kebijakan & Kegiatan Operasional Pemberdayaan Prinsip Pemberdayaan Tipologi 4. Mengembangkan Sistim Distribusi Pangan yang Adil & Efisien
a. Pembangunan & rehabilitasi sarana prasarana
pertanian Prinsip proses Bantuan teknis & charity
b. Penghapusan retribusi produk pertanian &
perikanan Prinsip proses Kelembagaan
c. Pemberian subsidi transportasi bagi daerah
rawan pangan & daerah terpencil Prinsip proses Charity d. Pengawasan sistem persaingan perdagangan
yg tidak sehat Prinsip proses & keadilan Kelembagaan
5. Menjaga Stabilitas Harga Pangan
a. Pemantauan harga pangan pokok secara berkala utk mencegah jatuhnya harga gabah/beras di bawah HPP
Prinsip proses &
keadilan sosial Kelembagaan b. Pengelolaan pasokan pangan & cadangan
penyangga untuk stabilitas harga pangan Prinsip proses Kelembagaan
6 Peningkatan Aksesibilitas Rumah Tangga terhadap Pangan
a. Pemberdayaan masyarakat miskin & rawan
pangan Prinsip keadilan sosial & proses Kelembagaan & charity b. Peningkatkan efektivitas program raskin Prinsip keadilan
sosial & proses Charity
7. Melakukan Diversifikasi Pangan
a. Peningkatan diversifikasi konsumsi pangan
dgn gizi seimbang Prinsip proses & menghargai lokal Penyuluhan b. Pemberian makanan tambahan utk anak
sekolah (PMTAS) Prinsip proses Charity
c. Pengembangan teknologi pangan Prinsip menghargai
lokal Bantuan teknis
d. Diversifikasi usahatani & pengembangan
pangan lokal Prinsip ekologi dan menghargai lokal Kelembagaan dan bantuan teknis
8. Meningkatkan Mutu dan Keamanan Pangan
a. Pengembangan & penerapan sistem mutu pada proses produksi, olahan & perdagangan pangan
Prinsip proses Kelembagaan dan penyuluhan b. Peningkatan kesadaran mutu & keamanan
pangan konsumen Prinsip proses Penyuluhan
c. Pencegahan dini dan penekanan hukum terhadap pelanggaran aturan mutu dan keamanan pangan
Prinsip proses dan
No Tujuan Kebijakan & Kegiatan Operasional PemberdayaanPrinsip Pemberdayaan Tipologi 9. Mencegah & Menangani Keadaan Rawan Pangan & Gizi
a. Pengembangan isyarat dini & penanggulangan
keadaan rawan pangan Prinsip proses Kelembagaan dan penyuluhan b. Peningkatan keluarga sadar gizi melalui
penyuluhan & bimbingan sosial dgn menyempurnakan sistem komunikasi, informasi & edukasi (KIE)
Prinsip proses Penyuluhan
c. Pemanfaatan lahan pekarangan utk
peningkatan gizi keluarga Prinsip ekologi Penyuluhan
10. Memfasilitasi Penelitian dan Pengembangan
a. Alokasi anggaran negara yang memadai untuk
penelitian dan pengembangan Prinsip proses Kelembagaan b. Peningkatan kerjasama & kemitraan antara
lembaga penelitian Prinsip proses Penguatan jejaring
11. Meningkatkan Peran Serta Masyarakat
a. Pemberian penghargaan bagi masyarakat yang berjasa pada pembangunan ketahanan pangan & gizi
Prinsip proses Penguatan jejaring
12. Melaksanakan Kerjasama Internasional
a. Penggalangan kerjasama internasional dalam
melawan kelaparan dan kemiskinan Prinsip proses Penguatan jejaring b. Perbaikan kinerja diplomasi ekonomi, politik,
sosial, dan budaya untuk meningkatkan ketahanan pangan
Prinsip proses Penguatan jejaring
13. Mengembangkan Sumberdaya Manusia
a. Perbaikan program pendidikan, pelatihan &
penyuluhan pangan Prinsip proses Kelembagaan & penyuluhan b. Pemberian muatan pangan & gizi pada
pendidikan formal dan non-formal Prinsip proses Kelembagaan c. Pemberian jaminan pendidikan dasar &
menengah khususnya bagi perempuan & anak-anak di pedesaan
Prinsip keadilan
sosial Kelembagaan
14. Kebijakan Makro dan Perdagangan yang Kondusif
a. Kebijakan fiskal yang memberikan insentif dan keringanan pajak bagi usaha pertanian dan bisnis pangan
Prinsip proses Charity
b. Alokasi APBN dan APB yang memadai bagi
pengembangan sektor pertanian dan pangan Prinsip proses Kelembagaan c. Kebijakan perdagangan yang memberikan
proteksi dan promosi bagi produk pertanian strategis
Prinsip proses Kelembagaan
Berdasarkan hasil tabel analisis di atas, diketahui bahwa kebijakan dan kegiatan operasional ketahanan pangan 2006-2009 telah mempertimbangkan aspek pemberdayaan dengan prinsip ekologis, keadilan sosial, menghargai kearifan dan sumberdaya lokal, serta proses. Disamping itu, jika ditinjau dari aspek tipologi pemberdayaan, kebijakan tersebut tidak hanya telah melakukan pendekatan charity, bantuan teknis dan penyuluhan, melainkan juga telah melakukan pendekatan kelembagaan dan penguatan jejaring. Permasalahannya sejauh mana pada implementasinya kebijakan dan kegiatan tersebut benar-benar menerapkan pendekatan pemberdayaan tersebut, perlu ada kajian yang lebih mendalam di lapangan (Sumarti, dkk., 2007).
Rencana pembangunan ketahanan pangan tingkat nasional pada tahun 2006 diarahkan pada terwujudnya kemandirian ketahanan pangan masyarakat petani berbasis sumberdaya lokal. Ketahanan pangan yang dimaksud meliputi ketahanan pangan tingkat rumah tangga, daerah dan nasional secara berkelanjutan. Sedangkan yang menjadi sasaran dari pembangunan ketahanan pangan antara lain : (1) ketersediaan energi minimal 2.200 kkal/kapita/hari dan ketersediaan protein minimal 57 gram/kapita/hari, (2) menurunnya ketergantungan kepada salah satu jenis pangan tertentu, (3) meningkatnya kemampuan rumah tangga dalam mengatasi masalah ketahanan pangan, dan (4) menurunnya tingkat kerawanan pangan rumah tangga.
Prioritas program kerja pembangunan ketahanan pangan tahun 2006 difokuskan pada : (1) pengembangan Desa Mandiri Pangan, (2) pengembangan modal Lembaga Usaha Ekonomi Pedesaan (LUEP), (3) percepatan diversifikasi pangan dan peningkatan mutu serta keamanan pangan masyarakat, (4) pengembangan pembiayaan pangan dan pertanian, (5) revitalisasi Dewan Ketahanan Pangan Daerah, (6) pemantapan program Participatory Integrated Development in Rainfed Area (PIDRA) dan Spesial Programme for Food Security (SPFS) dan, (7) pemantauan analisis dan ketahanan pangan.
5.2. Program dan Kegiatan Ketahanan Pangan Daerah Kabupaten Garut Program dan kegiatan pembangunan ketahanan pangan di tingkat Kabupaten Garut pada dasarnya merupakan penjabaran dari kebijakan dan program pembangunan di tingkat nasional. Dimana untuk Kabupaten Garut program
tersebut dibagi ke dalam dua program utama yaitu: (1) Program Peningkatan Ketahanan Pangan dan (2) Program Peningkatan Kesejahteraan Petani.
Kedua program tersebut di atas kemudian dijabarkan ke dalam 9 kegiatan yaitu: (1) Perumusan kebijakan ketahanan pangan melalui analisis ketersediaan, cadangan pangan dan pemenuhan kebutuhan pangan, pola distribusi dan analisis harga pangan strategis dan analisis situasi konsumsi pangan, (2) Percepatan diversifikasi pangan yang beragam, bergizi dan berimbang melalui pengembangan pangan lokal dan makanan khas Indonesia, pemanfaatan pekarangan dan gerakan penganekaragaman konsumsi pangan pada berbagai media serta penyuluhan langsung kepada masyarakat, (3) Penanganan kerawanan pangan dilakukan dengan revitalisasi sistem kewaspadaan pangan dan gizi serta pemberdayaan masyarakat untuk mengatasi kerawanan pangan, (4) Pengembangan Desa Mandiri Pangan, (5) Peningkatan keamanan pangan, (6) Peningkatan kemampuan daerah dalam mendorong stabilitas harga gabah/beras melalui kegiatan Dana Penguatan Modal Lembaga Usaha Ekonomi Pedesaan (DPM/LUEP), (7) Meningkatkan motivasi dan kepedulian masyarakat dalam pemantapan ketahanan pangan, dilaksanakan melalui : pemberian penghargaan, promosi, kampanye dan pendampingan, (8) penyempurnaan peta kerawanan pangan (food map security) untuk tingkat kabupaten dan kecamatan dan, (9) Penyelenggaraan manajemen pembangunan ketahanan pangan melalui serangkaian agenda pertemuan, perencanaan, sinkronisasi pelaksanaan, pemantauan, monitoring dan evaluasi.
Sembilan kegiatan tersebut di atas pada umumnya sedang dijalankan oleh Kantor Pengembangan Sumberdaya Manusia dan Ketahanan Pangan (KPSDM-KP) dan Dinas Pertanian dan Perkebunan Kabupaten Garut. Sejauh mana tingkat keberhasilan dari kesembilan kegiatan tersebut tidak dapat dievaluasi, mengingat pada umumnya kegiatan tersebut masih dalam proses pelaksanaan. Namun berdasarkan hasil wawancara dengan salah seorang pejabat KPSDM-KP, diperoleh informasi bahwa salah satu dari sembilan kegiatan tersebut yaitu kegiatan DPM/LUEP tidak berjalan dengan baik. Hal ini dikarenakan adanya indikasi praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) dalam pelaksanaan kegiatan tersebut. Bahkan persoalan tersebut pada saat penelitian ini dilakukan sudah sampai ke tingkat pengadilan, dimana beberapa oknum pejabat dinas dan pelaksana kegiatan tersebut ikut terlibat.
Selain itu kinerja pelaksanaan kegiatan pembangunan ketahanan pangan di Kabupaten Garut sempat juga terhambat karena adanya kasus korupsi yang dilakukan oleh Kepala Bupati.
Berdasarkan uraian di atas, jelas bahwa keberhasilan pelaksanaan pembangunan ketahanan pangan di suatu wilayah, tidak hanya terkait dengan masalah-masalah keterbatasan sumberdaya alam dan finansial. Namun pada faktanya juga terkait dengan masalah pendekatan kebijakan dan proses atau dinamika implementasinya di lapangan. Seperti halnya kasus-kasus KKN yang terjadi dalam penyelenggaraan pemerintahan di Kabupaten Garut selama periode tahun 2006-2007, selain telah merugikan rakyat banyak, juga terbukti telah menghambat kinerja kelembagaan pelayanan yang ada di tingkat kabupaten, termasuk Kantor PSDM-KP. Fenomena ini semakin menguatkan dugaan bahwa salah satu masalah penting dalam implementasi pembangunan ketahanan pangan di tingkat daerah dan pedesaan adalah masalah kelembagaan. Dalam pengertian, keberhasilan dan keberlanjutan (sustainability) pembangunan ketahanan pangan di pedesaan mensyaratkan adanya kelembagaan pemerintah yang memiliki kapabilitas tinggi, adil, bersih (clean), transparan, serta dapat dipertanggungjawabkan (accountable).
5.3. Implementasi Program Pemberdayaan Masyarakat Terkait Ketahanan Pangan pada Komunitas Petani Pesisir
Beberapa program pemberdayaan masyarakat terkait dengan ketahanan pangan yang terdapat pada komunitas petani pesisir di Desa Cigadog diantaranya adalah : (1) Upaya komunitas petani menuntut distribusi lahan HGU Perkebunan Sawit PT. Condong, (2) Program Upaya Peningkatan Pendapatan Keluarga (UP2K), (3) Program Modal Usaha Bergulir Remaja (MUBR), (4) Program Pengembangan Koperasi Wanita di bidang usaha simpan pinjam, (5) Program Raksa Desa, (6) Program Ternak (Domba) Bergulir, dan (7) Program Desa Mandiri Pangan. 20
Berdasarkan hasil penelitian, ditemukan data dan fakta bahwa pada umumnya program-program dana bergulir yang diimplementasikan pada komunitas petani pesisir mengalami kemacetan atau tidak berkelanjutan. Program-program dana
20
Penjelasan tentang proses dan hasil dari upaya komunitas petani dalam menuntut redistribusi lahan HGU Perkebunan Sawit PT. Condong, sebagian sudah dibahas pada Bab IV dan akan dianalisis lebih lanjut pada Bab VII.
bergulir yang tidak berkelanjutan tersebut diantaranya program UP2K, MUBR, Simpan Pinjam Koperasi Wanita, Raksa Desa. Sedangkan implementasi program Ternak Domba Bergulir, meskipun tidak mengalami kemacetan total, namun mengalami keterlambatan dalam perguliran. Satu-satunya program yang dapat dikategorikan berhasil dalam pergulirannya adalah Program Desa Mapan (Tabel 20). Tabel 20. Program-Program Pemberdayaan Masyarakat di Desa Cigadog, Tahun 2008
No Pemberdayaan Program Kondisi Awal Program Perkembangan Program (2008)
1. Upaya menuntut redistribusi lahan HGU Perkebunan Sawit PT. Condong. - Dimulai Tahun 1999 - Para petani penggarap
mengorganisasikan diri & melakukan advokasi menuntut pendistribusian lahan HGU PT. Condong.
- Tercapai kesepakatan para petani penggarap (± 703 orang) diijinkan untuk menggarap lahan HGU seluas 247 hektar. 2. Upaya
Peningkatan Pendapatan Keluarga (UP2K)
- Dimulai tahun 2001 - Dana bantuan bergulir utk
modal usaha, terutama Ibu-Ibu rumahtangga sebesar Rp. 500.000.-
- Dana bergulir macet
3. Modal Usaha
Bergulir Remaja (MUBR)
- Dimulai tahun 2001 - Dana bantuan bergulir utk
modal usaha, terutama remaja sebesar Rp 150.000.-
- Dana bergulir macet
4. Koperasi Simpan
Pinjam - Dimulai tahun 2004 - Koperasi Wanita Bina Sejahtera - Dana bantuan simpan pinjam
sebesar Rp 10.000.000.-
- Dana simpan pinjam macet
5. Raksa Desa - Dimulai tahun 2005
- Dana bantuan Rp 100 juta Æ Rp 40 juta utk pemb.
infrastruktur & Rp 60 juta utk dana bergulir peningkatan ekonomi warga.
- Terbangunnya
infrastruktur jalan desa (aspal) sepanjang 1,3 Km.
- Dana bergulir macet 6. Ternak Bergulir - Dimulai pada akhir tahun
- Bantuan ternak domba 104 ekor - 1 ekor domba dibagikan untuk
2-3 keluarga
- Terlambat bergulir dan sebagian macet.
7. Desa Mandiri
Pangan - Dimulai tahun 2006 - Dana bergulir Rp 80 juta, dicairkan Juli 2007, anggota 99 orang
- Dana berkembang Rp. 105.600.000.-
- Anggota menjadi 196 orang
Faktor penyebab terjadinya kasus ketidakberlanjutan program dana bergulir dan simpan pinjam melalui lembaga PKK dan Koperasi Bina Sejahtera terutama disebabkan oleh rendahnya kapasitas kelembagaan tersebut dalam mengelola dan mengawal dana simpan pinjam. Rendahnya kapasitas kelembagaan koperasi tersebut pada akhirnya menyebabkan sebagian besar anggotanya tidak mengembalikan pinjamannya. Diakui sendiri oleh pengurus lembaga PKK dan Koperasi Wanita di Desa Girijaya bahwa salah satu faktor penyebab terjadinya kasus kemacetan dana bergulir dan simpan pinjam adalah dikarenakan pengurus kurang aktif dalam menagih dana pinjaman tersebut dari para anggotanya. Meskipun demikian para pengurus lembaga tersebut juga mengemukakan faktor penyebab lainnya, yaitu karena kurangnya kesadaran para anggota untuk mengembalikan dana simpan pinjam.
Kemacetan dana bergulir di Desa Cigadog tidak hanya terbatas pada dana bergulir yang disalurkan kepada lembaga PKK dan Koperasi Wanita, melainkan juga bantuan lain yang serupa seperti ternak “domba” bergulir, dan Dana Raksa Desa. Menurut penuturan Pak Sukarna (Kepala Desa Cigadog), Desa Cigadog memperoleh bantuan Ternak Domba Bergulir sebanyak 100 ekor pada Tahun 2007, sebagai konpensasi dari dimusnahkannya ternak unggas milik warga karena terserang virus flu burung. Mengingat jumlah penduduk Desa Cigadog yang miskin banyak, maka ternak tersebut kemudian dibagikan kepada warga dengan sistem 1 ekor domba dibagikan kepada 2 sampai 3 rumah tangga miskin. Pada saat penelitian ini dilakukan, proses perguliran ternak ini belum juga bisa berjalan dan pada umumnya ternak tersebut masih dipelihara oleh para penerima awal.
Sedangkan untuk kasus bantuan dana Raksadesa dari Permerintah Daerah, total dana bantuan yang diberikan sebesar Rp. 100 juta. Dimana Rp. 40 juta diperuntukan bagi pembangunan infrastruktur (fisik) dan sisanya Rp. 60 juta untuk pengembangan ekonomi bergulir. Dari dana sebesar Rp. 40 juta tersebut, pemerintah desa bersama-sama warga berhasil membangun jalan desa dengan bahan dasar aspal sepanjang 1 km. Sedangkan dana sisanya sebesar Rp. 60 juta dibagikan ke masyarakat untuk kegiatan dana bergulir, namun pada akhirnya mengalami kemacetan.
Berdasarkan hasil wawancara dengan aparat pemerintahan desa, ketua penggerak tim PKK, pengurus koperasi dan warga, maka diperoleh kesimpulan
bahwa terjadinya kasus kegagalan dalam implementasi program-program pemberdayaan pada komunitas petani pesisir, terutama disebabkan oleh faktor lemahnya kapasitas kelembagaan di tingkat komunitas desa yang tercermin dari : (1) lemahnya kemampuan lembaga pelayanan pemerintah di tingkat desa dalam merencanakan, mengelola, mengontrol dan mengevaluasi program dana-dana bergulir ; (2) rendahnya sumber daya manusia (SDM) yang tercermin dari rendahnya rasa tanggung jawab anggota untuk menjaga dan mengembalikan dana-dana bergulir ; (3) rendahnya dukungan teknis, pendampingan dan evaluasi dari pihak pemerintah atas desa; (4) lemahnya sinergy antar stakeholders dalam mendukung implementasi program- program pemberdayaan yang ada.
5.4. Implementasi Program Pemberdayaan Masyarakat Terkait Ketahanan Pangan pada Komunitas Petani Pegunungan
Beberapa program pemberdayaan masyarakat sedang dilaksanakan di Desa Girijaya yang terkait dengan program ketahanan pangan baik secara langsung maupun tidak langsung diantaranya adalah : (1) Program Upaya Peningkatan Pendapatan Keluarga (UP2K), ( 2). Program Modal Usaha Bergulir Remaja (MUBR), dan (3) Paket Lebaran, (4) Program Raksa Desa, (5) Program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM), (6) Program Desa Mandiri Pangan, (7) Program Pengembangan Koperasi Wanita di bidang usaha simpan pinjam, dan (8) Program Ternak Sapi Bergulir.
Keberhasilan Desa Girijaya dalam membangun sebuah lembaga keuangan mikro desa sebenarnya telah dirintis sejak masuknya program Upaya Peningkatan Pendapatan Keluarga (UP2K) pada tahun 2001. Dimana pada tahun tersebut Desa Girijaya melalui lembaga PKK mendapatkan bantuan dana bergulir sebesar Rp 500.000.-. Dana bergulir tersebut kemudian dimanfaatkan dan dikelola oleh kader-kader PKK untuk mendukung permodalan usaha kecil yang dijalankan oleh para ibu rumah tangga, mulai dari pengrajin pipiti, pedagang gula, usaha keripik dapros, dll. Hingga pada tahun 2007 dana bergulir tersebut berkembang menjadi sebesar Rp 40.000.000.- dan jumlah anggota penerima manfaat pun semakin banyak yaitu sebanyak 220 orang. Selain program UP2K sebenarnya ada juga program serupa bagi kelompok remaja yang dinamakan program Modal Usaha Bergulir Remaja (MUBR). Namun jika dibandingkan dengan program UP2K program ini
berkembang lebih lambat. Dimana pada tahun 2001 diberi bantuan modal awal sebesar Rp 150.000, dan pada tahun 2007 berkembang menjadi Rp. 1.000.000.-
Disamping kedua program di atas, kelembagaan PKK Desa Girijaya juga membangun program mandiri seperti “Program Paket Lebaran”. Melalui program Paket Lebaran ini, sebanyak 200 ibu rumah tangga yang tergabung diwajibkan menabung minimal sebesar Rp 1.000 setiap minggunya. Setiap tahunnya program ini dapat mengumpulkan dana kurang lebih hingga sebesar Rp 20 juta. Dana hasil tabungan ini kemudian dibelanjakan menjelang bulan Ramadhan, dimana barang yang dibeli disesuaikan kebutuhan masing-masing anggota. Melalui program-program di atas, maka secara tidak langsung lembaga PKK di Desa Girijaya telah berhasil merintis upaya pembangunan lembaga keuangan desa (LKD). Dimana melalui program-program tersebut mereka telah belajar membangun sistem pengelolaan keuangan, administrasi/pembukuan keuangan, tatacara penagihan dan penyetoran, serta bagaimana cara memanfaatkan dana tersebut bagi peningkatan kesejahteraan keluarga.
Model pengelolaan keuangan yang telah dikembangkan oleh lembaga ibu-ibu PKK tersebut kemudian juga “diadopsi” oleh Pemerintahan Desa untuk mengelola dana Program Raksa Desa dari Provinsi Jawa Barat yang turun pada tahun 2005. Dimana program tersebut memberikan bantuan sebesar Rp 100 juta, dengan peruntukan Rp 40 juta untuk pembangunan infrastruktur dan Rp 60 juta untuk dana bergulir perekonomian masyarakat. Hingga tahun 2007, dana Raksa Desa sebesar Rp 60 juta kini telah berkembang dua kali lipat menjadi Rp 120 juta. Program-program pemberdayaan yang masuk ke Desa Girijaya berikut dengan perkembangannya ditampilkan pada Tabel 21.
Tabel 21. Program-Program Pemberdayaan Masyarakat di Desa Girijaya Tahun 2008 No Pemberdayaan Program Kondisi Awal Program Program (2008) Perkembangan
1. Upaya Peningkatan Pendapatan Keluarga (UP2K)
- Dimulai tahun 2001 - Dana bantuan bergulir utk
modal usaha ibu-ibu rumah tangga sebesar Rp. 500.000.- - Dana bergulir berkembang menjadi Rp. 40.000.000.- - Anggota 220 orang. 2. Modal Usaha Bergulir Remaja (MUBR) - Dimulai tahun 2001 - Dana bantuan sebesar Rp
150.000.-
- Dana bergulir
berkembang menjadi Rp 1.000.000.-
No Pemberdayaan Program Kondisi Awal Program Program (2008) Perkembangan
3. Paket Lebaran - Program ini berupa tabungan ibu-ibu rumah tangga selama setahun, dan pada Hari Raya Lebaran dibelanjakan sesuai kebutuhan masing-masing anggota.
- Setiap minggu ibu-ibu diwajibkan menabung sebesar Rp. 1.000.- - Terkumpul dana
Rp. 20.000.000/tahun. 4. Raksa Desa - Dimulai tahun 2005
- Dana bantuan Rp 100 juta Æ Rp 40 juta utk pembangunan infrastruktur dan Rp 60 juta utk dana bergulir peningkatan ekonomi warga.
- Membangun
infrastruktur jalan desa (beton) sepanjang 1,2 Km dengan lebar jalan 3 meter.
- Dana bergulir program Raksa Desa dari Rp. 60 juta berkembang menjadi Rp. 120 juta. 5. Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM)
- Kerjasama dimulai tahun 2006 dengan Perum Perhutani Unit III Jawa Barat KPH Garut - Lahan seluas 30 hektar
- 10 hektar lahan sudah diusahakan
- Ditanami tanaman keras dan palawija 6. Desa Mandiri
Pangan - Dimulai tahun 2006 - Dana bergulir Rp 80 juta, dicairkan Juli 2007, anggota 99 orang - Dana berkembang menjadi Rp. 107.955.250.- - Jumlah anggota menjadi 375 orang 7. Koperasi Simpan
Pinjam - Dimulai Januari 2008 - Koperasi Wanita Serba Jaya - Bantuan dana Rp 7,5 juta - Bantuan mesin tik dan meja
- Akhir tahun 2008 dana berkembang menjadi Rp. 10 juta
8. Ternak Bergulir - Dimulai Juli 2008 - Bantuan Sapi sebanyak 18
ekor dan bantuan uang pembuatan kandang Rp 6 juta - 6 Kelompok dan jumlah
anggota 60 orang
- Sapi dan berikut dana pembuatan kandang sudah dicairkan - Program sedang
berjalan Sumber : Data primer dari berbagai sumber.
Dengan adanya sejumlah dana bergulir dari beberapa program di atas, maka sebagian dari masyarakat Desa Girijaya kini telah merasakan banyak manfaatnya. Sebagian warga masyarakat yang miskin di desa tersebut kini “tidak terlalu” kesulitan jika mereka membutuhkan dana untuk modal usaha, mereka tidak perlu mencari dana kemana-mana, cukup dengan mengajukan kepada lembaga keuangan desa.
Bahkan dengan masuknya Proksi Desa Mandiri Pangan pada tahun 2005/2006, maka kini untuk setiap minggu pertama, kedua dan ketiga di Desa Girijaya telah ada sejumlah dana yang dapat digulirkan secara rutin kepada warganya. Meskipun demikian, mengingat masih banyaknya rumahtangga miskin dan rawan pangan di Desa Girijaya, maka dana yang sudah terkumpul dan terkelola dengan baik tersebut belum sepenuhnya mampu melayani seluruh kebutuhan para peminjam. Dengan adanya tiga program dana bergulir utama tersebut (UP2K, Raksa Desa dan Desa Mapan), maka pada setiap minggu I, II dan III di LKD sudah tersedia dana pinjaman bergulir. Pihak aparat desa dan warga berharap desa mereka akan dapat bantuan satu program bergulir lagi, sehingga setiap minggunya selalu tersedia dana untuk digulirkan kepada masyarakat yang membutuhkan.
Salah satu kunci keberhasilan implementasi Program Dana Bergulir di Desa Girijaya adalah terbangunnya sebuah lembaga keuangan desa (LKD) beserta kader-kader Pokmas yang dapat mengelola/mengatur dana-dana bergulir tersebut. Para pengurus yang duduk di LKD tersebut bukan berasal dari aparat pemerintahan desa, melainkan terdiri dari para tokoh masyarakat dan warga penerima manfaat yang berasal dari golongan miskin. Sehingga dengan demikian, pihak aparat pemerintahan desa tidak terlalu disibukan oleh masalah keuangan dana bergulir dan sekaligus mengurangi timbulnya pandangan-pandangan negatif terhadap aparat pemerintahan desa. Selain itu dana bergulir tersebut tidak pernah “mengendap” di LKD, dimana ditetapkan tanggal tertentu untuk pembayaran dan sekaligus untuk peminjaman bagi anggota lain yang belum mendapatkan kesempatan untuk meminjam. Jadi setiap saat, dana tersebut selalu berada dan bergulir di tangan masyarakat, bukan berada di LKD.
Secara umum keberhasilan komunitas petani pegunungan dalam implementasi program-program pemberdayaan disebabkan oleh relatif kuatnya kapasitas kelembagaan komunitas tersebut yang tercermin dari : (1) terbangunnya kelembagaan pelayanan pemerintah di tingkat desa yang bersih (clean), transparan (tranparancy), dapat dipertanggungjawabkan (accountable) dan demokratis ; (2) terbangunnya kelembagaan keuangan desa (LKD) yang mampu mengumpulkan dan mengelola dana masyarakat sebesar ± Rp. 300.000.000.- ; (3) partipasi aktif kaum perempuan dalam kepengurusan dan menjadi kader-kader program dana bergulir ; (4) tingginya rasa tanggung jawab dan kejujuran semua pihak (pengurus dan anggota) dalam menjaga
dan mengelola dana bergulir ; (5) adanya dukungan dan kemauan yang kuat dari seluruh stakeholders di tingkat komunitas untuk mensukseskan program.
5.5. Pemberdayaan Masyarakat dalam Mewujudkan Ketahanan Pangan : Suatu Analisis
Berdasarkan pada keseluruhan uraian di atas mengenai proses kebijakan ketahanan pangan pemerintah pusat dan implementasinya di tingkat daerah dan komunitas pedesaan, secara konseptual telah mempertimbangkan prinsip-prinsip pemberdayaan. Dimana tujuan kebijakan dan kegiatan operasional ketahanan pangan telah memperhatikan prinsip proses, prinsip keadilan sosial, prinsip menghargai lokal, serta prinsip ekologis. Demikian pula halnya dengan rencana tipologi pemberdayaan ketahanan pangan yang akan diterapkan tidak hanya terbatas pada tipologi pemberdayaan yang bersifat charity, melainkan juga penyuluhan, bantuan teknis, pengembangan kelembagaan, dan penguatan jejaring.
Sedangkan pada tataran praktis atau implementasinya di lapangan (tingkat kabupaten dan desa), tampak dengan jelas bahwa implementasi program-program ketahanan pangan pada umumnya dihadapkan pada kendala relatif masih lemahnya kapasitas kelembagaan ketahanan pangan di tingkat kabupaten dan desa dalam mendukung dan mengelola program-program tersebut. Pada tingkat kabupaten kondisi lemahnya kapasitas kelembagaan ketahanan pangan tercermin dari relatif masih lemahnya kapasitas lembaga Dewan Ketahanan Pangan Daerah, Dinas Pertanian dan Kantor PSDM-KP Kab. Garut dalam mengelola program-program ketahanan pangan. Sebagai contoh kasus, implementasi Program DPM/LUEP tidak berjalan baik karena dalam pelaksanaannya ada indikasi kasus praktek KKN. Sementara untuk kasus implementasi Program Desa Mandiri Pangan, lemahnya kapasitas kelembagaan Dewan Ketahanan Pangan Daerah tercermin dari tidak berjalannya fungsi koordinasi dan sinkronisasi. Kondisi tersebut pada akhirnya menyebabkan implementasi Program Desa Mandiri Pangan seolah-olah berjalan sendiri di bawah pengawasan dan kendali KPSDM-KP dan tidak terintegrasi dengan program-program sejenis dari dinas/instansi lainnya.
Sementara itu pada tingkat komunitas desa, implementasi program-program pemberdayaan terkait ketahanan pangan dapat dianalisis dengan 5 komponen pengembangan masyarakat (Lubis, 2007). Kelima komponen tersebut terdiri dari ; (1)
advokasi, (2) pengorganisasian komunitas, (3) pengembangan jaringan, (4) pengembangan kapasitas, dan (5) komunikasi, informasi dan edukasi. Pada prinsipnya kelima komponen tersebut saling mempengaruhi dan tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Namun pada tataran praktis, kegiatan pengembangan masyarakat pada umumnya memilih salah satu dari kelima komponen tersebut.
Pada kasus pemberdayaan komunitas petani pesisir di Desa Cigadog, tampak bahwa implementasi program-program pemberdayaan (baik itu yang lahir dari dalam komunitas maupun yang datang dari intervensi pemerintah atas desa), masih
didominasi oleh tipe pengembangan masyarakat yang berupa ; (1) advokasi dan (2) pengorganisasian komunitas dan (3) pengembangan kapasitas. Tipe
pengembangan masyarakat berciri advokasi terutama tercermin dari upaya-upaya komunitas pesisir dalam menuntut pendistribusian lahan Hak Guna Usaha (HGU) dari pihak swasta (PT. Condong) dan pemerintah daerah Kabupaten Garut. Tipe pengorganisasian komunitas tercermin dari proses dan implementasi Program : UP2K, MUBR, Koperasi Simpan Pinjam, Raksa Desa, dan Desa Mandiri Pangan. Sedangkan tipe pengembangan kapasitas sebenarnya baru tercermin dari implementasi Program Desa Mapan, itu pun dengan catatan bahwa pada implementasinya upaya pengembangan kapasitas kelembagaan belum terlaksana secara optimal.
Sedangkan untuk kasus komunitas petani pegunungan di Desa Girijaya, implementasi program-program pemberdayaan secara relatif telah ditopang oleh kelima tipe pengembangan masyarakat yakni ; (1) advokasi, (2) pengorganisasian komunitas, (3) pengembangan jaringan, (4) pengembangan kapasitas, (5) komunikasi, informasi dan edukasi. Tipe pengembangan berciri advokasi tercermin dari proses dan implementasi Program PHBM. Tipe pengorganisasi komunitas tercermin dari proses dan implementasi program : UP2K, MUBR, Paket Lebaran, Koperasi Simpan Pinjam, Raksa Desa, Ternak Sapi Bergulir dan Desa Mandiri Pangan. Tipe pengembangan jaringan tercermin dari proses implementasi Program PHBM dan Desa Mandiri Pangan. Tipe pengembangan kapasitas dicerminkan melalui proses dan implementasi program UP2K, Raksa Desa dan Desa Mandiri Pangan. Sementara tipe pengembangan masyarakat berbasis pada pengembangan komunikasi, informasi dan
edukasi pada dasarnya telah dilakukan secara terbatas oleh komunitas petani pegunungan. Kondisi ini terutama tercermin dari telah dimanfaatkannya kelompok-kelompok pengajian agama dan kesenian tradisional sebagai wadah atau ruang untuk ; (1) pendidikan (edukasi) masyarakat, dan (2) penyebaran informasi tentang program-program pembangunan desa.
Tabel 22. 5 (Lima) Elemen Pengembangan Masyarakat dalam Program-Program Pemberdayaan Masyarakat Komunitas Petani Pesisir dan Pegunungan
Program-Program Pemberdayaan Masyarakat Terkait Ketahanan Pangan
5 Elemen Pengembangan
Masyarakat
Komunitas Petani Pesisir Komunitas Petani Pegunungan 1. Advokasi Upaya menuntut
pendistribusian lahan HGU dari pihak perkebunan sawit PT. Condong
Proses dan Implementasi Program PHBM
2. Pengorganisasian
Masyarakat UP2K, MUBR, Koperasi Simpan Pinjam, Raksa Desa, dan Desa Mandiri Pangan
UP2K, MUBR, Paket Lebaran, Koperasi Simpan Pinjam, Raksa Desa, Ternak Sapi Bergulir dan Desa Mandiri Pangan
3. Pengembangan
Jaringan - Program PHBM dan Desa Mandiri Pangan
4. Pengembangan
Kapasitas Desa Mandiri Pangan UP2K, Raksa Desa dan Desa Mandiri Pangan
5. Komunikasi, Informasi dan Edukasi
- Pemanfaatan kelompok-kelompok
pengajian agama dan kesenian tradisional untuk mendukung program-program pemberdaayan masyarakat
Sumber : Lubis (2007)
Berdasarkan pada uraian di atas, maka nampak bahwa implementasi program-program pemberdayaan pada kasus komunitas petani pegunungan relatif telah ditopang oleh kelima elemen pengembangan masyarakat. Sementara untuk kasus komunitas pegunungan implementasi program-program pemberdayaan masyarakat relatif hanya ditopang oleh tiga tipe pengembangan masyarakat (advokasi, pengorganisasian komunitas, dan pengembangan kapasitas). Tampak jelas pada Tabel 22 bahwa untuk kasus implementasi program-program pemberdayaan pada komunitas pesisir lemah dari aspek ; pengembangan jaringan, pengembangan
kapasitas dan komunikasi, informasi dan edukasi. Upaya pengembangan kapasitas pada komunitas petani pesisir baru dilakukan terutama pada implementasi Program Desa Mandiri Pangan. Perbedaan inilah yang juga menjadi faktor penyebab timbulnya fenomena dimana implementasi program-program pemberdayaan masyarakat pada komunitas petani pegunungan relatif menunjukan hasil yang lebih baik jika dibandingkan dengan komunitas petani pesisir.
Ditinjau dari paradigma partisipasi, proses dan implementasi pemberdayaan masyarakat pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari aspek partisipasi. Dimana pemberdayaan itu sendiri merupakan jalan bagi partisipasi (the empowerment is road to participation). Berdasarkan pada hasil-hasil penelitian, secara konseptual program-program pemberdayaan masyarakat terkait ketahanan pangan di kedua komunitas telah memperhatikan aspek partisipasi. Dimana partisipasi tidak lagi dipandang sebagai proses bertemunya aksi pemberdayaan yang diinisiasi dan direncanakan oleh pemerintah supra desa dengan reaksi masyarakat terhadap aksi pemberdayaan tersebut. Melainkan partisipasi lebih dipandang sebagai proses keterlibatan secara bersama-sama dari seluruh stakeholders dalam setiap tahapan aksi pemberdayaan (perencanaan, pelaksanaan, kontrol dan evaluasi). Berdasarkan hasil kajian, program pemberdayaan masyarakat di bidang ketahanan pangan yang secara relatif telah menerapkan pendekatan pemberdayaan partisipatif di kedua komunitas adalah Program Desa Mandiri Pangan.
Berdasarkan pada uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa dari sekian banyak program pemberdayaan terkait ketahanan pangan yang terdapat di kedua komunitas, maka Program Desa Mandiri Pangan secara konseptual telah memenuhi syarat-syarat dari sebuah model/bentuk pemberdayaan masyarakat yang partisipatif. Pertanyaannya kemudian, sejauh mana konsep-konsep pemberdayaan partisipatif yang terkandung dalam Program Desa Mandiri Pangan dapat dijalankan atau dilaksanakan secara baik dan tepat pada tataran praktis ? Jawaban atas pertanyaan tersebut, secara lebih mendetil akan dibahas pada Bab VI mengenai peran dan partisipasi kelembagaan lokal, pemerintah dan swasta dalam dinamika pemberdayaan Program Desa Mandiri Pangan.