1
LAPORAN AKHIR TAHUN
PENELITIAN DOSEN PEMULA
KARAKTERISTIK KOROSI LOGAM PADA BIODIESEL YANG
DISINTESIS DARI BAHAN BAKU MINYAK JELANTAH DAN
METANOL
Tahun Ke-1 dari rencana 1 tahun Ketua :
Adhi Setiawan, ST.,MT (NIDN: 0024028703) Anggota
Nora Amelia Novitrie , ST.,MT (NIDN : 0014058804)
POLITEKNIK PERKAPALAN NEGERI SURABAYA
Oktober 2017
i HALAMAN PENGESAHAN
Surabaya, 30 Oktober 2017
Judul Penelitian : KARAKTERISTIK KOROSI LOGAM TERHADAP BIODIESEL YANG DISINTESIS DARI BAHAN BAKU MINYAK JELANTAH DAN METANOL
Kode/Nama Rumpun Ilmu : 445/ Teknik Material (Ilmu Bahan) Ketua Peneliti
Nama Lengkap : Adhi Setiawan, ST., MT
NIDN : 0024028703
Jabatan Fungsional : Asisten Ahli
Program Studi : Teknik Pengolahan Limbah
Nomor HP : 085733892992
Alamat surel (e-mail) : adhistw23@gmail.com Anggota Peneliti I
Nama Lengkap : Nora Amelia Novitrie , ST., MT
NIDN : 0014058804
Jabatan Fungsional : Tenaga Pengajar
PerguruanTinggi : Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya Institusi Mitra (jika ada)
Nama Institusi Mitra : -
Alamat : -
Penanggung Jawab : -
Tahun Pelaksanaan : Tahun ke-1 dari rencana 1 tahun Biaya Tahun Berjalan : Rp 19.425.000,-
Biaya Keseluruhan : Rp 19.425.000,-
i
RINGKASAN
Kemajuan teknologi di bidang industri dan transportasi mendorong konsumsi bahan bakar fosil semakin meningkat sehingga persediannya akan semakin menipis. Hal ini disebabkan bahan bakar fosil merupakan bahan bakar yang tidak dapat diperbaharui sehingga sangat berpotensi menimbulkan krisis energi dimasa yang akan datang. Selain itu pembakaran bahan bakar fosil juga meningkatkan polusi udara. Upaya untuk menemukan energi alternatif terbarukan sebagai pengganti bahan bakar fosil di masa mendatang terus dilakukan. Salah satu bentuk energi terbarukan yang disintesis dari minyak nabati adalah biodiesel. Penggunaan minyak goreng oleh industri makanan maupun rumah tangga pasti menghasilkan limbah minyak goreng bekas karena minyak goreng yang digunakan secara berulang akan mengalami perubahan warna minyak dari kuning jernih hingga kecoklatan. Dalam kondisi demikian minyak harus dibuang karena menurunkan mutu penggorengan bahkan berpotensi membahayakan kesehatan manusia. Namun membuang limbah minyak goreng bekas dapat menimbulkan masalah pencemaran lingkungan. Memanfaatkan limbah minyak goreng bekas sebagai sumber bahan baku pembuatan bahan bakar alternatif biodiesel diharapkan juga dapat menyelesaikan masalah pencemaran lingkungan serta kesehatan.
Pada dasarnya biodiesel memiliki sifat yang hampir sama dengan bahan bakar diesel konvensional seperti viskositas, flash point dan cetane number serta lebih ramah terhadap lingkungan karena tingkat emisinya yang cukup rendah namun disisi lain kualitas dari biodiesel yang diproduksi dari limbah minyak goreng harus ditingkatkan karena biodiesel memiliki kandungan uap air, asam organic, aldehid, peroksida, keton, dan ester yang menyebabkan korosi pada sistem bahan bakar. Beberapa bagian dari mesin diesel dibuat dari baja karbon seperti tangki bahan bakar, saluran bahan bakar, sistem injeksi sehingga berpotensi terserang korosi apabila kandungan impurities dalam biodiesel tinggi sehingga pada penelitian ini selain membuat biodiesel dari minyak goreng bekas juga dipelajari pengaruh biodiesel yang disintesis dari limbah minyak goreng terhadap korosi pada baja karbon yang belum dipelajari oleh beberapa peneliti sebelumnya. Dengan mengetahui korosivitas biodiesel pada tembaga, aluminium, baja karbon, dan stainless steel diharapkan memberikan informasi bagi peneliti untuk meningkatkan kualitas produk biodiesel sehingga kandungan impurities penyebab terjadinya korosi dapat dihilangkan serta dapat dikembangkan metode pencegahan korosi yang ditimbulkan pada pemakaian biodiesel.
Pada penelitian ini disintesis biodiesel dengan bahan baku minyak goreng bekas dengan beberapa tahapan diantaranya meliputi tahap pretreatment bahan baku minyak goreng bekas, proses transesterifikasi minyak goreng bekas dengan methanol dan tahap pemurnian biodiesel. Biodiesel yang telah disintesis dari minyak goreng bekas dan telah mengalami transesterifikasi selanjutnya dianalisis beberapa karakteristiknya seperti densitas, viskositas, flash pointnya, angka asam, dan angka penyabunanya. Pengujian korosi dilakukan menggunakan metode uji celup berdasarkan ASTM G-31. Morfologi dari logam uji setelah mengalami korosi di uji dengan menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM) Zeiss Evo MA LS series, Cambridge, England. Sedangkan komposisinya diuji dengan Spektrofotometer dan XRD (X-ray Diffraction) Philips 30mA, X-ray 40 kV
ii
PRAKATA
Puji syukur saya panjatkan kehadiran Allah SWT. Yang telah melimpahkan rahmat dan hidyahNya kepada kita semua sehingga peneltian ini saya dapat menyelesaikan pada waktunya. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam penelitian ini secara umumnya dan kepada laboratorium Kimia PPNS yang telah menyediakan fasilitas dan peralatan yang membantu menunjang terlaksananya penelitian ini. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada Ristek Dikti yang telah memberikan dana penelitian melalui skema Penelitian Dosen Pemula Tahun Anggaran 2017. Kritik dan saran dari penelitian ini sangat penulis harapkan untuk perbaikan dan penyempurnaan penelitian kami berikutnya. Untuk itu penulis ucapkan terima kasih.
Surabaya, 30 Oktober 2017
iii DAFTAR ISI HALAMAN SAMPUL HALAMAN PENGESAHAN RINGKASAN i PRAKATA ii
DAFTAR ISI iii
DAFTAR TABEL iv
DAFTAR GAMBAR v
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang 1
1.2. Perumusan dan Pembatasan Masalah 3
1.3 Tujuan 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Biodiesel 4
2.2. Bahan Bakar Diesel 6
2.3. Karakteristik Umum Minyak Diesel 7
2.4. Korosi 10
2.5. Faktor-Faktor Korosi 13
2.6. Proteksi Korosi 14
BAB III TUJUAN DAN MANFAAT
3.1. Tujuan Penelitian 15
3.2. Manfaat Penelitian 15
BAB IV METODE PENELITIAN
4.1. Perancangan Penelitian 16
4.2. Bahan yang Digunakan 17
4.3. Variabel Penelitian 18
4.4. Susunan Peralatan 18
4.5. Analisa 20
BAB V HASIL DAN LUARAN YANG DICAPAI
5.1. Hasil Penelitian 21
5.2. Luaran Yang Dicapai 30
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN 31
DAFTAR PUSTAKA 32
iv
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Sifat Fisik dan Kimia Biodiesel dan petrodiesel 5
Tabel 5.1 Komponen FAME dalam biodiesel 21
Tabel 5.2 Karakteristik Biodiesel Hasil Sintesis 22
Tabel 5.3 Kadar air biodiesel setelah kontak dengan Fe 28
v
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Mekanisme korosi pada logam Besi 11
Gambar 3.1 Skema peralatan reaksi transeterifikasi minyak menjadi biodiesel 18
Gambar 5.1 Kromatogram biodiesel 21
Gambar 5.2 Laju korosi baja karbon pada biodiesel 23
Gambar 5.3 SEM morfologi permukaan baja karbon pada kondisi
(a) sebelum kontak (b) 30D-30C (c) 30D-70C (d) 40D-30C 24
Gambar 5.4 XRD plat baja setelah dikontakkan sampel biodiesel 25
Gambar 5.5 Warna sampel biodiesel (a) sebelum mengandung produk
korosi (b) setelah mengandung produk korosi 25
Gambar 5.6 FTIR sampel biodiesel yang telah terkontak dengan baja
yang telah terkorosi 26
Gambar 5.7 Laju korosi Al dan Cu pada biodiesel 27
Gambar 5.8 SEM logam Al pada biodiesel (a) sebelum uji
(b) setelah uji pada suhu 30 oC dan (C) setelah uji pada suhu 50 oC 29 Gambar 5.9 SEM logam tembaga pada biodiesel (a) sebelum uji
(b) setelah uji pada suhu 30 oC dan (C) setelah uji pada suhu 50 oC 29 Gambar 5.10 Warna biodiesel sebelum kontak (a) dan setelah kontak dengan logam
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kemajuan teknologi di bidang industri dan transportasi mendorong konsumsi bahan bakar fosil semakin meningkat dengan cukup pesat sehingga persediannya semakin lama akan semakin menipis. Hal ini disebabkan bahan bakar fosil merupakan bahan bakar yang tidak dapat diperbaharui sehingga sangat berpotensi menimbulkan krisis energy dimasa yang akan datang (Jin dkk, 2015). Selain itu pembakaran bahan bakar fosil menyebabkan masalah bagi lingkungan terutama meningkatkan polusi udara (Thangavelu dkk, 2016). Berbagai usaha telah dilakukan untuk menemukan energy alternative terbarukan sebagai pengganti bahan bakar fosil di masa mendatang sehingga dapat menurunkan angka konsumsi dari bahan bakar fosil. Salah satu bentuk energy terbarukan yang disintesis dari minyak nabati adalah biodiesel. Indonesia merupakan negara yang menghasilkan produksi minyak sawit yang melimpah sekitar 7 juta ton/tahun sehingga berpotensi mengembangkan produksi biodiesel dari minyak sawit (Sibuea dan Posman, 2003). Hasil produksi minyak sawit tersebut sebagian diekspor ke pasar internasional sedangkan sebagian lainnya digunakan sebagai bahan baku produksi minyak goreng.
Pemakaian minyak secara berulang-ulang secara langsung akan menurunkan kualitas dari minyak goreng yang ditandai perubahan warna minyak dari kuning jernih hingga kecoklatan. Dalam kondisi demikian minyak harus dibuang karena menurunkan mutu penggorengan bahkan berpotensi membahayakan kesehatan manusia. Namun membuang limbah minyak goreng bekas dapat menimbulkan masalah pencemaran lingkungan (Charpe dkk, 2011). Oleh karena itu, dengan memanfaatkan limbah minyak goreng bekas sebagai sumber energy alternative biodiesel diharapkan dapat menyelesaikan masalah pencemaran lingkungan serta kesehatan.
Pada dasarnya biodiesel merupakan fatty acid methyl esters (FAMEs). Biodiesel dapat disintesis melalui esterifikasi asam lemak bebas atau transesterifikasi trigliserida yang terkandung dalam minyak nabati (Leung dkk, 2010). Biodiesel memiliki sifat yang hampir sama seperti halnya bahan bakar diesel konvensional dalam berbagai hal diantaranya
2
viskositas, flash point, cetane number, dll (Noiroj dkk, 2009) serta dianggap sebagai bahan bakar alternative yang ramah terhadap lingkungan karena tingkat emisinya yang cukup rendah. Selain itu biodiesel memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan bahan bakar diesel sehingga telah banyak diaplikasikan dibeberapa negara seperti eropa, Australia, dan amerika (Mabus, 2010).
Produksi biodiesel dari minyak goreng bekas dapat menjadi solusi terhadap ketergantungan pemakaian bahan bakar fosil. Namun disisi lain kualitas dari biodiesel yang diproduksi dari limbah minyak goreng harus ditingkatkan. Biodiesel memiliki kandungan komponen saturated ester dan unsaturated ester yang cenderung bersifat tidak stabil, sensitive terhadap cahaya, suhu, dan ion logam (Jain dkk, 2011). Bila dibandingkan dengan diesel, biodiesel memiliki kandungan uap air, asam organic, aldehid, dan peroksida, keton, dan ester yang menyebabkan korosi pada sistem bahan bakar (Fazal dkk, 2014). Beberapa bagian dari mesin diesel dibuat dari baja karbon seperti tangki bahan bakar, saluran bahan bakar, sistem injeksi sehingga berpotensi terserang korosi apabila kandungan impurities dalam biodiesel tinggi (Haseeb dkk, 2011).
Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa penggunaan biodiesel bersifat lebih korosiv dibandingkan dengan bahan bakar diesel biasa namun memberikan lubrikasi pada mesin yang lebih baik dibandingkan dengan bahan bakar diesel (Haseeb dkk, 2011). Park dkk melaporkan bahwa penggunaan bioethanol yang dicampur dengan gasoline dapat meningkatkan ketahanan korosi pada paduan aluminium dengan metode analisis elektro impedance spectroskopi. Savita kaul mempelajari korosi pada mesin diesel dan menemukan bahwa kandungan belerang dalam biodiesel menjadi penyebab utama timbulnya serangan korosi. Kaul dkk telah mempelajari karakteristik korosi dari biodiesel yang disintesis dari biji tumbuhan yang mengandung minyak. Dari hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa biodiesel tersebut tidak menimbulkan efek korosi pada piston. Selain itu Fazal dkk dari hasil penelitiannya membandingkan karakteristik korosi biodiesel dan bahan bakar diesel potroleoum. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa biodiesel dapat berpotensi korosif terutama pada logam seperti tembaga dan aluminium. Namun mekanisme dari korosi tidak dijelaskan secara mendetail.
Mesikpun banyak peneliti banyak mempelajari cara sintesis dan karakterisasi biodiesel namun masih sangat sedikit informasi yang tersedia tentang korosi pada logam mesin diesel di
3
dalam biodiesel. Tembaga, baja karbon, aluminium, dan stainless steel merupakan empat logam penting penyusun dari mesin diesel. Oleh karena itu, studi tentang pengaruh korosi yang disebabkan oleh biodiesel serta mekanisme korosi tersebut sangat penting untuk diteliti. Pada penelitian ini difokuskan untuk mempelajari karakteristik dan mekanisme korosi dari logam tembaga, aluminium, baja karbon, dan stainless steel pada media biodiesel yang disintesis dari minyak goreng jelantah. Karakteristik korosi dari keempat logam terebut akan dianalisa dengan menggunakan uji immersi dan dibandingkan dengan karakteristik korosi pada minyak diesel konvensional yang di uji dengan metode yang sama. Dengan informasi tersebut dapat digunakan terutama dalam menentukan material yang sesuai untuk desain penyimpanan, transportasi, dan injector dari peralatan mesin diesel sehingga service life dari peraltan menjadi lebih baik serta dapat dikembangkan metode pencegahan korosi yang ditimbulkan pada pemakaian biodiesel dengan bahan baku minyak goreng bekas yang mengarah pada inhibitor korosi pada biodiesel.
1.2 Perumusan dan Pembatasan Masalah
Dari uraian latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan yang akan diselesaikan adalah bagaimanakah cara mensintesis biodiesel dengan bahan baku dari minyak goreng bekas, bagaimanakah pengaruh waktu dan suhu reaksi terhadap karakteristik biodiesel serta mengetahui karakteristik dan mekanisme korosi biodiesel yang telah diproduksi terhadap logam tembaga, aluminium, baja karbon, dan stainless steel. Bahan baku dalam pembuatan biodiesel dalam penelitian ini adalah minyak goreng bekas yang sebelumnya telah mengalami proses pretreatment dengan karbon aktiv. Proses transesterifikasi dilakukan dengan perbandingan mol methanol dan minyak goreng sebesar 6:1 pada suhu reaksi 60 oC.
1.3 Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mensintesis biodiesel dengan bahan baku dari minyak jelantah dengan menggunakan esterifikasi-transesterifikasi dengan larutan methanol dengan NaOH serta mengetahui pengaruh waktu sintesis terhadap karakteristik dan mekanisme korosi logam pada biodiesel yang telah disintesis dengan variasi waktu dan suhu reaksi terhadap pada baja karbon, tembaga, dan aluminium.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Biodiesel
Biodiesel merupakan bahan bakar yang terdiri dari campuran mono-alkyl ester dari rantai panjang asam lemak, yang dipakai sebagai alternatif bagi bahan bakar dari mesin diesel dan terbuat dari sumber terbaharui seperti minyak sayur atau lemak hewan. Biodiesel merupakan solusi yang paling tepat untuk menggantikan bahan bakar fosil sebagai sumber energi transportasi utama dunia, karena biodiesel merupakan bahan bakar terbaharui yang dapat menggantikan diesel petrol pada mesin dan dapat diangkut serta dijual dengan menggunakan infrastruktur sekarang ini. Biodiesel merupakan bahan bakar alternatif untuk mesin diesel yang diproduksi dengan reaksi transesterifikasi dan esterifikasi minyak tumbuhan atau lemak hewan dengan alkohol rantai pendek seperti metanol. Reaksinya membutuhkan katalis yang umumnya merupakan basa kuat, sehingga akan memproduksi senyawa kimia baru yang disebut metil ester (Van Gerpen, 2005).
Kelebihan biodiesel dibandingkan dengan petrodiesel antara lain: (1) Biodiesel berasal dari sumber daya alam yang dapat diperbaharui; (2) Biodiesel memiliki kandungan aromatik dan sulfur yang rendah (Ma & Hanna, 1999); (3) Biodiesel memiliki cetane number yang tinggi (Zhang et al., 2003). Beberapa sifat fisik dan kimia biodiesel dan petrodiesel disarikan dalam Tabel 2.1. Saat ini, penggunaan biodiesel masih sulit bersaing dengan petrodiesel karena memiliki harga yang relatif lebih mahal. Walaupun demikian, dengan semakin meningkatnya harga petroleum dan ketidakpastian ketersediaan petroleum pada masa yang akan datang, pengembangan biodiesel yang bersumber pada minyak tumbuhan menjadi salah satu alternatif utama karena memberikan keuntungan baik dari segi lingkungan maupun dari segi sumbernya yang merupakan sumber daya alam terbaharukan Minyak jelantah adalah minyak yang telah digunakan lebih dari dua atau tiga kali penggorengan, dan dikategorikan sebagai limbah karena dapat merusak lingkungan dan dapat menimbulkan sejumlah penyakit. Sebuah penelitian menyimpulkan bahwa orang-orang yang memasak dan mengonsumsi makanan yang digoreng dengan minyak jelantah lebih berisiko mengidap tekanan darah tinggi dibandingkan dengan mereka yang sering mengganti minyak gorengnya untuk memasak.
5
Penggunaan minyak goreng yang benar menurut ilmu kesehatan hanya dapat digunakan paling banyak empat kali penggorengan atau pemanasan karena setelah melampaui empat kali pemanasan telah mengandung radikal bebas yang dapat merugikan kesehatan karena bisa menumbuhkan sel kanker di tubuh manusia (Renaldi, 2009) Minyak jelantah merupakan minyak nabati turunan dari minyak kelapa sawit (palm oil). Minyak kelapa sawit dapat dihasilkan dari inti kelapa sawit yang dinamakan minyak inti kelapa sawit. Rata-rata komposisi asam lemak minyak inti kelapa sawit dapat dilihat pada Tabel 2.1 (Ketaren, 2005). Salah satu bentuk pemanfaatan minyak jelantah agar dapat bermanfaat ialah dengan mengubahnya secara proses kimia menjadi biodiesel. Pembuatan biodiesel dari minyak jelantah ini dapat dilakukan melalui reaksi transesterifikasi untuk mengubah minyak (trigliserida) menjadi asam lemak metil ester. Kandungan asam lemak bebas (FFA) pada bahan baku (minyak jelantah) merupakan salah satu faktor penentu metode pembuatan biodiesel. Penggunaan minyak goreng yang sering digunakan secara berulang – ulang menjadikan minyak dari berwarna kuning menjadi berwarna gelap. Proses oksidasi juga menyebabkan warna minyak minyak menjadi gelap, tetapi mekanisme terjadinya komponen yang menyebabkan warna gelap ini masih belum sepenuhnya diketahui
6
(Moreira, 1999). Perubahan warna dapat disebabkan oleh perubahan zat warna alami atau tokoferol yang terkandung dalam minyak, produk degradasi minyak, reaksi maillard karena minyak yang panas akan mengekstraksi zat warna yang terdapat dalam bahan pangan, adanya logam seperti Fe, Cu, Mn atau adanya oksidasi (Ketaren, 2008). Untuk itu, sebelum dilakukan proses transesterifikasi terlebih dahulu dilakukan proses pemurnian terhadap minyak jelantah
2.2. Bahan Bakar Diesel
Bahan bakar mesin diesel sebagian besar terdiri dari senyawa hidrokarbon dan senyawa non hidrokarbon. Senyawa hidrokarbon yang dapat ditemukan dalam bahan bakar diesel antara lain parafinik, naftenik, olefin dan aromatik. Sedangkan untuk senyawa non hidrokarbon terdiri dari senyawa yang mengandung unsur non logam, yaitu S, N, O dan unsur logam seperti vanadium, nikel dan besi. ASTM mengklasifikasikan bahan bakar diesel menjadi tiga tingkatan, yaitu :
1. Tingkat 1-D
Merupakan bahan bakar yang volatile untuk mesin dengan perubahan kecepatan dan loading yang berfrekuensi, misalnya untuk kendaraan bermotor.
2. Tingkat 2-D
Merupakan bahan bakar dengan volatilitas lebih rendah untuk mesin industri, mesin kapal laut dan lokomotif.
3. Tingkat 4-D
Bahan bakar dengan volatilitas lebih rendah untuk mesin berkecepatan rendah dan sedang.
Penggolongan bahan bakar mesin diesel berdasarkan jenis putaran mesinnya, dapat dibagi menjadi dua golongan yaitu:
1. Automotive Diesel Oil ( ADO ), yaitu bahan bakar yang digunakan untuk mesin dengan kecepatan putaran mesin di atas 1000 rpm (rotation per minute). Bahan bakar jenis ini yang biasa disebut sebagai bahan bakar diesel. Biasanya digunakan untuk kendaraan bermotor. 2. Industrial Diesel Oil, yaitu bahan bakar yang digunakan untuk mesin-mesin yang mempunyai putaran mesin kurang atau sama dengan 1000 rpm, biasanya digunakan untuk mesin-mesin industri. Bahan bakar jenis ini disebut minyak diesel.
7
Mesin-mesin dengan putaran mesin yang cepat (>1000 rpm) membutuhkan bahan dengan karakteristik tertentu yang berbeda dengan minyak diesel. Karakteristik yang diperlukan berhubungan dengan auto ignition (kemampuan menyala sendiri), kemudaham mengalir dalam saluran bahan bakar, kemampuan untuk teratomisasi, kemampuan lubrikasi, nilai kalor dan karakteristik lain.
2.3. Karateristik Umum Minyak Diesel
Karakteristik yang umum perlu diketahui untuk menilai kinerja bahan bakar diesel antara lain viskositas, angka setana, berat jenis, titik tuang, nilai kalor pembakaran, volatilitas, kadar residu karbon, kadar air dan sedimen, indeks diesel, titik embun, kadar sulfur, dan titik nyala.
Viskositas
Viskositas adalah tahanan yang dimiliki fluida yang dialirkan dalam pipa kapiler terhadap gaya gravitasi, biasanya dinyatakan dalam waktu yang diperlukan untuk mengalir pada jarak tertentu. Jika viskositas semakin tinggi, maka tahanan untuk mengalir akan semakin tinggi. Karakteristik ini sangat penting karena mempengaruhi kinerja injektor pada mesin diesel. Atomisasi bahan bakar sangat bergantung pada viskositas, tekanan injeksi serta ukuran lubang injektor. Viskositas yang lebih tingi akan membuat bahan bakar teratomisasi menjadi tetesan yang lebih besar dengan momentum tinggi dan memiliki kecenderungan untuk bertumbukan dengan dinding silinder yang relatif lebih dingin. Hal ini menyebabkan pemadaman flame dan peningkatan deposit dan emisi mesin.
Bahan bakar dengan viskositas lebih rendah memproduksi spray yang terlalu halus dan tidak dapat masuk lebih jauh ke dalam silinder pembakaran, sehingga terbentuk daerah fuel rich zone yang menyebabkan pembentukan jelaga. Viskositas juga menunjukkan sifat pelumasan atau lubrikasi dari bahan bakar. Viskositas yang relatif tinggi mempunyai sifat pelumasan yang lebih baik. Pada umumnya, bahan bakar harus mempunyai viskositas yang relatif rendah agar dapat mudah mengalir dan teratomisasi. Hal ini dikarenakan putaran mesin yang cepat membutuhkan injeksi bahan bakar yang cepat pula. Namun tetap ada batas minimal karena diperlukan sifat pelumasan yang cukup baik untuk mencegah terjadinya keausan akibat gerakan piston yang cepat.
8
Angka Setana
Angka setana menunjukkan kemampuan bahan bakar untuk menyala sendiri (autoignition). Skala untuk angka setana biasanya menggunakan referensi berupa campuran antara normal setana (C16H34) dengan alpha methyl naphthalene (C10H7CH3) atau dengan
heptamethylnonane (C16H34). Normal setana memiliki angka setana 100, alpha methyl
naphtalene memiliki angka setana 0, dan heptamethylnonane memiliki angka setana 15. Angka setana suatu bahan bakar
biasanya didefinisikan sebagai persentase volume dari normal setana dengan campurannya tersebut. Angka setana yang tinggi menunjukkan bahwa bahan bakar dapat menyala pada temperatur yang relatif rendah, dan sebaliknya angka setana rendah menunjukkan bahan bakar baru dapat menyala pada temperatur yang relatif tinggi.
Penggunaan bahan bakar mesin diesel yang mempunyai angka setana yang tinggi dapat mencegah terjadinya knocking karena begitu bahan bakar diinjeksikan kedalam silinder pembakaran maka bahan bakar akan langsung terbakar dan tidak terakumulasi.
Berat Jenis
Berat jenis menunjukkan perbandingan berat per satuan volume, karakteristik ini berkaitan dengan nilai kalor dan daya yang dihasilkan oleh mesin diesel per satuan volume bahan bakar. Berat jenis bahan bakar diesel diukur dengan menggunakan metode ASTM D287 atau ASTM D1298 dan mempunyai satuan kilogram per meter kubik (kg/m3).
Titik Tuang
Titik tuang adalah titik temperatur terendah dimana mulai terbentuk Kristal Kristal parafin yang dapat menyumbat saluran bahan bakar. Titik tuang ini dipengaruhi oleh derajat ketidakjenuhan (angka iodium), semakin tinggi ketidakjenuhan maka titik tuang semakin rendah. Titik tuang juga dipengaruhi oleh panjang rantai karbon, semakin panjang rantai karbon maka semakin tinggi titik tuang. Karakteristik ini ditentukan dengan menggunakan metoda ASTM D97.
Nilai Kalor Pembakaran
Nilai kalor pembakaran menunjukkan energi kalor yang dikandung dalam tiap satuan massa bahan bakar. Nilai kalor dapat diukur dengan bomb calorimeter. Nilai kalor H, C, dan
9
O dinyatakan dalam persentase berat setiap unsur yang terkandung dalam satu kilogram bahan bakar.
Volatilitas
Volatilitas adalah sifat kecenderungan bahan bakar untuk berubah fasa menjadi fasa uap. Tekanan uap yang tinggi dan titik didih yang rendah menandakan tingginya volatilitas.
Kadar Residu Karbon
Kadar residu karbon menunjukkan kadar fraksi hidrokarbon yang mempunyai titik didih lebih tinggi dari range bahan bakar . Adanya fraksi hidrokarbon ini menyebabkan menumpuknya residu karbon dalam ruang pembakaran yang dapat mengurangi kinerja mesin. Pada temperatur tinggi deposit karbon ini dapat membara, sehingga menaikkan temperatur silinder pembakaran.
Kadar Air dan Sedimen
Pada negara yang mepunyai musim dingin kandungan air yang terkandung dalam bahan bakar dapat membentuk kristal yang dapat menyumbat aliran bahan bakar. Selain itu, keberadaan air dapat menyebabkan korosi dan pertumbuhan mikroorganisme yang juga dapat menyumbat aliran bahan bakar. Sedimen dapat menyebabkan penyumbatan juga dan kerusakan mesin.
Indeks Diesel
Indeks diesel adalah suatu parameter mutu penyalaan pada bahan bakar mesin diesel selain angka setana. Mutu penyalaan dari bahan bakar diesel dapat diartikan sebagai waktu yang diperlukan untuk bahan bakar agar dapat menyala di ruang pembakaran dan diukur setelah penyalaan terjadi. Nilai indeks diesel dipengaruhi oleh
titik anilin dan berat jenisnya. Titik Embun
Titik embun adalah suhu dimana mulai terlihatnya cahaya yang berwarna suram relatif terhadap cahaya sekitarnya pada permukaan minyak diesel dalam proses pendinginan. Karakteristik ini ditentukan dengan menggunakan metoda ASTM D97.
Kadar Sulfur
Kadar sulfur dalam bahan bakar diesel dari hasil penyulingan pertama (straight-run) sangat bergantung pada asal minyak mentah yang akan diolah. Pada umumnya, kadar sulfur
10
dalam bahan bakar diesel adalah 50-60% dari kandungankandungan dalam minyak mentahnya.
Kandungan sulfur yang berlebihan dalam bahan bakar diesel dapat menyebabkan terjadinya keausan pada bagian-bagian mesin. Hal ini terjadi karena adanya partikel-partikel padat yang terbentuk ketika terjadi pembakaran dan dapat juga disebabkan karena keberadaan oksida belerang seperti SO2 dan SO3. Karakteristik ini ditentukan dengan menggunakan metode
ASTM D1551.
Titik nyala ( flash point)
Titik nyala adalah titik temperatur terendah dimana bahan bakar dapat menyala. Hal ini berkaitan dengan keamanan dalam penyimpanan dan penanganan bahan bakar.
2.4. Korosi
Korosi adalah proses perusakan logam, dimana logam akan mengalami penurunan mutu (degradation) karena dengan lingkungan baik itu secara kimia atau elekrokimia pada waktu pemakaiannya. Terkorosinya suatu logam dalam lingkungan elektrolit (air) adalah proses elektrokimia. Proses ini terjadi bila ada reaksi setengah sel yang melepaskan elektron dan reaksi setengah yang menerima elektron tersebut. Kedua reaksi ini akan terus berlangsung sampai terjadi kesetimbangan dinamis dimana jumlah elektron yang dilepas sama dengan jumlah olektron yang diterima. Adapun syarat-syarat dimana proses dapat terjadi:
a. Anoda, tempat terjadinya reaksi oksida dimana ion negatif berkumpul. b. Katoda, tempat terjadi reaksi reduksi dimana ion positif berkumpul. c. Media elektrolit, sebagai penghantar elektron anatara katoda dan anoda. d. Adanya arus akibat pengerakan elektron.
11
Gambar 2.1 Mekanisme korosi pada logam Besi
Berdasarkan bentuk dan tempat terjadinya, korosi terbagi dalam beberapa jenis antara lain; korosi atmosfer, korosi galvanis, korosi regangan, korosi celah, korosi arus alir dan korosi bakteri dan masih banyak lainnya. Berikut ini merupakan uraiannya
1. Korosi Atmosfer
Korosi ini terjadi akibat proses elektrokimia antara dua bagian benda padat khususnya metal besi yang berbeda potensial dan langsung berhubungan dengan udara terbuka.
2. Korosi Galvanis
Korosi ini terjadi karena proses elektro kimiawi dua macam metal yg berbeda potensial dihubungkan langsung didalam elektrolit sama. Dimana electron mengalir dari metal kurang mulia (anodic) menuju metal yang lebih mulia (katodic), akibatnya metal yang kurang mulia berubah menjadi ion-ion positif karena kehilangan elektron. Ion-ion positif metal bereaksi dengan ion negative yang berada di dalam elektrolit menjadi garam metal. Karena peristiwa tersebut, permukaan anoda kehilangan metal sehingga terbentuklah sumur-sumur karat (surface attack) atau serangan karat permukaan.
12
Korosi ini terjadi karena pemberian tarikan atau kompresi yang melebihi batas ketentuannya. Kegagalan ini sering disebut Retak Karat Regangan (RKR). Sifat retak jenis ini sangat spontan (tiba-tiba terjadinya), regangan biasanya bersifat internal atau merupakan sisa hasil perngerjaan (residual) seperti pengeringan, pengepresan dan lain-lain.
4. Korosi Celah
Korosi celah ialah sel korosi yang diakibatkan oleh perbedaan konsentrasi zat asam. Karat ini terjadi, karena celah sempit terisi dengan elektrolit (air yang phnya rendah) maka terjadilah suatu sel korosi dengan katodanya permukaan sebelah luar
5. Korosi Pelarutan Selektif
Korosi pelarutan selektif ini meyangkut larutnya suatu komponen dari zat paduan yang biasa disebut pelarutan selektif. Zat komponen yang larut selalu bersifat anodic terhadap komponen yang lain. Walaupun secara visual tampak perubahan warna pada permukaan paduan namun tidak tampak adanya kehilangan materi berupa takik, Perubahan dimensi, retak atau alur.
Mekanisme korosi tidak terlepas dari reaksi elektrokimia. Reaksi elektrokimia melibatkan perpindahan elektron-elektron. Perpindahan elektron merupakan hasil reaksi redoks (reduksi-oksidasi). Mekanisme korosi melalui reaksi elektrokimia melibatkan reaksi anodic di daerak anodic. Reaksi anodic (oksidasi) diindikasikan melalui peningkatan valensi atau produk elektron-elektron. Reaksi anodik yang terjadi pada proses korosi logam yaitu:
M → Mn+
+ ne
Proses korosi dari logam M adalah proses oksidasi logam menjadi satu ion (n+) dalam pelepasan elektron. Harga dari n bergantung dari sifat logam sebagai contoh besi:
Fe → Fe2 +
+ 2e E0 = 0.44 V
13
O2 + H2O + 4e → 4OH- E0 = 0.40 V
Kedua reaksi menghasilkan potensial reaksi yang positif (E = 0.84 V) menunjukan bahwa reaksi ini dapat terjadi. Jika proses ini dalam suasana asam maka, proses oksidasinya adalah:
O2 + 4H+ + 4e → 2H2O E0 = 1.23 V
dan potensial reaksinya semakin besar yaitu:
E = (0.44 + 1.23) = 1.63 Volt.
Dengan kata lain proses korosi besi akan lebih mudah terjadi dalam suasana asam. Pada logam yang sama, salah satu bagian permukaannya dapat menjadi anoda dan bagian permukaan lainnya menjadi katoda. Hal ini bisa saja terjadi karena kemungkinan logam terdiri dari phase yang berbeda, karena permukaan logam dilapisi dengan kondisi coating yang berbeda, atau karena di permukaan logam terdapat lebih dari satu macam elektrolit
2.5. Faktor-Faktor Korosi
Korosi dapat disebabkan oleh banyak faktor, antara lain: a. Kelembaban udara
b. Elektrolit
c. Zat terlarut pembentuk asam d. Adanya O2
e. Lapisan pada permukaan logam
f. Letak logam dalam deret potensial reduksi
Laju korosi dinyatakan dalam mpy (milli inch per year). Laju korosi dapat dihitung dengan persamaan. Korosi sangat dipengaruhi oleh lingkungan misalnya temperatur pH, oksigen, kecepatan fluida, dan zat-zat oksidator. Laju korosi juga bergantung pada, konsentrasi reaktan, jumlah mula-mula partikel (massa) logam, dan faktor mekanik seperti tegangan. Untuk menghitung laju korosi, terdapat dua metode yang dapat digunakan antara lain metode kehilangan berat atau weight gain loss (WGL) dan metode elektrokimia
14
2.6. Proteksi Korosi
Di negara-negara industri yang sudah maju, masalah korosi ini telah mendapat perhatian yang serius sehingga banyak lembaga-lembaga yang dibentuk baik oleh pemerintah maupun swasta yang berupaya dengan sungguh-sungguh menangani permasalahan ini. Data terakhirmenyebutkan bahwa di Amerika Serikat saja kerugian akiat korosi diperkirakan mencapai $276 miliar. Mengingat besarnya kerugian yang ditimbulkan oleh korosi, maka dilakukan upaya-upaya untuk menghambat proses korosi tersebut. Upaya untuk menghambat proses korosi ada beberapa macam, diantaranya dengan pengecatan, proteksi katodik dan menggunaan inhibitor korosi. Mekanisme inhibisi korosi pada umumnya adalah proses adsorpsi inhibitor pada permukaan logam sehingga inhibitor memproteksi permukaan logam dengan cara membentuk film (lapisan tipis). Inhibitor biasanya didistribusikan ke permukaan logam dari larutan. Proses lambat dari inhibitor adalah sebagai berikut (Bundjali, 2005):
1. Meningkatkan polarisasi anodik dan katodik (Tafel slope) 2. Reduksi pergerakan atau difusi ion ke permukaan logam; dan 3. Meningkatkan resistansi listrik dari permukaan logam.
Senyawa-senyawa yang berpotensi untuk berperan sebagai inhibitor korosi biasanya mempunyai dua bagian yaitu bagian yang bersifat hidrofil dan bagian yang bersifat hidrofob. Bagian hidrofil biasanya mempunyai pasangan elektron bebas yang dapat berikatan koordinasi dengan permukaan logam yang bermuatan positif, sedangkan bagian hidrofobnya berperan untuk menghambat interaksi antara senyawa yang korosif dengan permukan logam. Dengan demikian diharapkan terjadinya pengurangan terhadap laju korosi logam
15
BAB III
TUJUAN DAN MANFAAT
3.1 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mensintesis biodiesel dengan bahan baku dari minyak jelantah menggunakan transesterifikasi dengan larutan methanol disertai penambahan katalis NaOH, menganalisis komposisi FAME dan karakteristik biodiesel yang disintesis dengan bahan baku minyak jelantah, serta mengetahui pengaruh suhu penyimpanan biodiesel terhadap karakteristik dan mekanisme korosi logam baja karbon, tembaga dan aluminium pada media biodiesel.
3.2 Manfaat Penelitian
Manfaat yang diperoleh dalam penelitian ini antara lain berupa mekanisme dan laju korosi yang terjadi pada logam baja karbon, tembaga dan aluminium di dalam biodiesel. Dengan informasi tersebut dapat digunakan terutama dalam desain untuk menentukan material yang cocok pada penyimpanan, transportasi, dan pembuatan material injector dari peralatan mesin diesel sehingga service life dari peralatan menjadi lebih baik serta dapat dikembangkan metode pencegahan korosi yang ditimbulkan pada pemakaian biodiesel dengan bahan baku minyak goreng bekas yang mengarah pada pengembangan antioksidan yang berperan sebagai inhibitor korosi pada biodiesel
16
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 Perancangan Penelitian
Pada penelitian ini disintesis biodiesel dengan baku minyak goreng bekas dengan beberapa tahapan diantaranya meliputi tahap pretreatment bahan baku minyak goreng, proses transesterifikasi minyak goreng dengan methanol, tahap pemurnian biodiesel.
a. Tahap pretreatmen bahan baku:
Bahan baku yang digunakan pada pembuatan biodiesel berasal dari minyak goreng bekas yang dijual pada pasar tradisional. Perlakuan awal dilakukan pada minyak goreng tersebut dilakukan dengan metode filtrasi dengan kertas saring untuk memisahkan pengotor yang tersuspensi serta dilanjutkan dengan dehidrasi pada suhu 100 oC agar diperoleh minyak goreng yang jernih dan transparan..
kandungan asam lemak bebas sebelum dan sesudah ditreatmen dengan karbon aktiv di dalam bahan baku minyak dapat dianalisa dengan menggunakan titrasi basa. sampel minyak dapat ditambahkan dengan isopropil alkohol 96% dan indikator fenolftalein, kemudian dititrasi dengan larutan NaOH hingga berubah warna menjadi merah jambu. Volume NaOH yang dibutuhkan dicatat untuk kemudian dipakai dalam menentukan kandungan asam lemak bebas pada sampel minyak dengan menggunakan persamaan berikut
Kandungan asam lemak bebas sering kali dinyatakan dalam bilangan asam berikut ini
(3.1)
17
b. Tahap sintesis biodiesel
Proses transesterifikasi dilakukan pada reaktor dengan volume 1 L. Reaktor dilengkapi dengan termostat sebagai pengatur suhu reaktor dan pengaduk magnetik untuk membantu proses pencampuran reaktan dan suhu di dalam reaktor sehingga lebih homogen. Sebanyak 500 gr dari minyak goreng bekas yang telah ditreatment dipanaskan hingga suhunya mencapai 60 oC dengan menggunakan pemanas elektrik sebelum reaksi dimulai.
Minyak goreng tersebut selanjutnya direaksikan dengan larutan metanol dengan perbandingan molar minyak:metanol sebesar 1:6. Katalis yang digunakan pada pembuatan biodisel tersebut berupa NaOH sebanyak 0,5% yang dilarutkan pada metanol sebelum reaksi dimulai. proses reaksi tersebut dilakukan pada suhu 60
o
C dengan kecepatan pengadukan sebesar 200 rpm serta waktu reaksi selama 3 jam. Setelah waktu reaksi tercapai, campuran reaksi tersebut didinginkan sehingga terbentuk dua lapisan yaitu lapisan atas dan lapisan bawah. Lapisan atas berupa biodiesel sedangkan lapisan bawah berupa campuran gliserol, metanol sisa, dan katalis yang terbentuk bersama dengan sabun selama reaksi. Biodiesel yang terbentuk selanjutnya dipisahkan dan dicuci dengan aquadest untuk menghilangkan sisa katalis. Proses pencucian dilakukan sebanyak tiga kali dengan menggunakan 100 ml aquadest pada setiap pencucian. Pemisahan air dan biodisel dilakukan dengan menggunakan corong pisah. Setelah dilakukan pencucian pada biodiesel selanjutnya dilakukan pemanasan biodisel pada suhu 105 oC selama 30 menit untuk menghilangkan kandungan air pada biodiesel.
3.2 Bahan dan Alat yang Digunakan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: 1. Minyak goreng bekas.
2. Larutan methanol absolut Merck KGaA 64271 Darmstadt, Germany. 3. Kristal NaOH Merck KGaA 64271 Darmstadt, Germany 98%.
4. Asam sulfat 98% 5. Kertas saring
18
6. Aquadest 7. Plat Tembaga 8. Plat Aluminium 9. Plat Baja karbon
Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: 1. Piknometer
2. Hot plate stirrer 3. Magnetic stirrer 4. Thermometer 5. Spatula 6. Pipet volume 5 ml 7. Viscometer 4.3 Variabel Penelitian
Variabel penelitian yang digunakan sebagai berikut: 1. Suhu Penyimpanan: 30 oC dan 70oC
2. Jenis Logam : Baja karbon, tembaga dan aluminium.
4.4 Susunan Peralatan
Susunan peralatan yang digunakan dalam eksperimen ini dapat dilihat dalam gambar berikut:
beaker glass larutan
bedmagnet stirrer
19
Larutan minyak dan methanol dengan katalis NaOH diaduk dengan peralatan magnetic stirrer dalam sebuah beaker glass disertai dengan pemanasan. Untuk mengontrol temperature dilakukan dengan temperature control dan thermometer yang terpasang pada bagian hot plate stirrer
4.5 Analisa
Biodiesel yang telah disintesis dari minyak goreng bekas dan telah mengalami trasnesterifikasi selanjutnya dianalisis beberapa karakteristiknya seperti densitas, viskositas, flash pointnya, angka asam. kandungan FAME dianalisis dengan menggunakan perangkat GC-MS (Gas Chromatograpy-Mass Spectrofotometry) TQ8030 Shimadzu. Suhu kolom diprogram dengan suhu 65oC (ditahan 8 menit) kemudian dinaikkan dengan laju 4oC/menit hingga suhunya mencapai 250 oC (ditahan 20 menit). injektor dan detektor diatur pada suhu masing-masing sebesar 250 oC dan 200 oC
Pengujian korosi dilakukan menggunakan metode uji celup berdasarkan ASTM G-31. Dalam pengujian ini plat baja dipotong dengan dimensi 25 x 50 x 2mm. Sebelum dilakukan uji pencelupan potongan logam tersebut diabrasi dengan menggunakan kertas gosok berukuran 400-1200 grit untuk membersihkan kotoran dan kerak korosi pada permukaan logam uji tersebut. Selanjutnya setelah diabrasi logam uji dibersihkan dengan aquadest dan dibilas dengan aceton. Setelah dicuci logam uji dikeringkan di dalam oven untuk menghilangkan sisa pelarut dengan suhu pengeringan 60 oC selama 3 jam dilanjutkan dengan penimbangan. Setelah logam uji ditimbang dilanjutkan dengan pencelupan logam uji pada biodiesel dalam wadah beaker glass 600 ml selama waktu yang telah ditentukan. Setelah uji pencelupan dilakukan pembersihan dan penimbangan untuk mengetahui besarnya massa yang hilang akibat korosi. Besarnya laju korosi dihitung dengan persamaan:
Dimana CR dinyatakan dalam mpy, W adalah berat yang hilang (mg), D adalah densitas (g/cc), T adalah waktu celup (h) dan A adalah luas area logam uji (cm2).
Morfologi logam uji setelah mengalami korosi di uji dengan menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM) Zeiss Evo MA LS series, Cambridge, England. Spektrum luminisens direkam dengan spektrofotometer. Produk korosi di uji dengan menggunakan XRD
20
(X-ray Diffraction) Philips 30mA, X-ray 40 kV dan FTIR. Analisa FTIR (Fourier Transform
21
BAB V
HASIL DAN LUARAN YANG DICAPAI
5.1 Hasil yang Dicapai
Gambar 5.1 menunjukkan bahwa biodiesel mengandung komponen Fatty Acid Metil Ester (FAME) yang ditandai dengan munculnya peak pada waktu retensi 39,78 menit, 43,41 menit, 43,8 menit, dan 44,32 menit..
Gambar 5.1 Kromatogram biodiesel
Selain itu, hasil analisa dengan Mass Spectrofotometry menunjukkan bahwa komponen biodiesel tersusun dari FAME yang terdiri dari metil palmitat,metil linoleat, metil oleat, dan metil stearat dengan komposisi pada tabel 5.1. Kandungan total FAME pada biodiesel yang disintesis dengan menggunakan waktu reaksi 3 jam sebesar 98,41% dengan komponen penyusun terbesar berupa metil oleat
Tabel 5.1 Komponen FAME dalam biodiesel Komponen FAME Kandungan (%) Metil palmitat 31,31 Metil linoleat 14,3 Metil oleat 45,54 Metil stearate 7,2
22
Tabel 5.2 Karakteristik Biodiesel Hasil Sintesis
Parameter Satuan Hasil Analisa Metode Analisa
Densitas g/ml 0,865 Piknometer
Viskositas Cps 3,5 ASTM D-445
Moisture content % 0,03 ASTM D-6304
TAN MgKOH/gr 0,06 ASTM D-664
Sulfur % 0,12 ASTM D-4298
Nilai kalori Kcal/Kgl 62,33 ASTM D-240
Karakteristik Korosi Baja Karbon
Gambar 5.2 menunjukkan laju korosi baja karbon pada biodiesel dengan variasi waktu immersi dan suhu kontak dengan biodiesel. Hasil pengujian menunjukkan bahwa semakin tinggi suhu biodiesel maka laju korosi dari baja karbon akan semakin meningkat. Pada waktu immersi selama 30 hari dengan suhu biodiesel 30oC diperoleh laju korosi sebesar 0,018 mmy sedangkan pada waktu immersi 30 hari dengan suhu biodiesel 70oC diperoleh laju korosi maksimal sebesar 0,033 mmy. Pada waktu immersi 40 hari laju korosi maksimal terjadi pada suhu 70 oC yaitu sebesar 0,079 mmy. Hasil pengujian menunjukkan bahwa semakin tinggi suhu biodiesel maka laju korosi dari baja karbon akan semakin meningkat. Hal ini disebabkan pada suhu tinggi proses oksidasi komponen FAME pada biodiesel semakin cepat sehingga dapat mengarah menuju terbentuknya oksida metal (Li dan Fang, 2009). Biodiesel memiliki kandungan asam lemak tak jenuh dengan lebih banyak ikatan rangkap karbon dan lebih sedikit hidrogen sehingga lebih rentan terhadap oksidasi. Oksidasi biodiesel dapat menurunkan kualitas bahan bakar akibat terbentuknya produk oksidasi seperti aldehid, alcohol, asam karboksilat rantai pendek, dan sedimen (Jin dkk, 2015). Hasil oksidasi tersebut bersifat korosiv terhadap mesin.
23
Gambar 5.2. Laju korosi baja karbon pada biodiesel
Gambar 5.2 menunjukkan bahwa meningkatnya waktu kontak dari 30 hari hingga 50 hari pada suhu yang sama dari biodiesel terhadap baja karbon cenderung untuk meningkatkan laju korosi. Laju korosi terbesar terjadi waktu kontak selama 50 hari dengan suhu biodiesel 70oC. Hal ini disebabkan bahwa biodiesel cenderung teroksidasi seiring dengan meningkatnya waktu penyimpanan serta bersifat higroskopis. Gambar 5.3 SEM. merupakan hasil analisis SEM dari permukaaan baja karbon yang terserang korosi akibat kontak dengan biodiesel. Serangan korosi pada baja karbon tersebut tersebar pada permukaan baja ditandai dengan terbentuknya lubang (pit) yang berwarna gelap akibat proses korosi. Permukaan baja karbon yang terkontak dengan biodiesel menunjukkan kerusakan akibat korosi. Tingkat kerusakan permukaan logam akibat korosi terjadi signifikan terutama pada lama kontak sebesar 40 hari dan 50 hari dengan suhu biodiesel 70 oC. Peningkatan suhu biodiesel akan mengarah pada meningkatnya ukuran lubang (pit) pada baja karbon. Hal ini disebabkan laju korosi baja karbon semakin meningkat apabila suhu ditingkatkan. Korosifitas yang tinggi dari biodiesel dapat juga dikaitkan dengan konsentrasi asam tak jenuh yang tinggi (Kaul dkk, 2007). Sebagian produk oksidasi berupa ion Fe dapat larut ke dalam biodiesel atau terdeposit pada permukaan logam sehingga akan bereaksi dengan asam lemak bebas membentuk garam asam lemak pada permukaan logam baja dengan reaksi sebagai berikut:
Fe + 3O2 → 2Fe2O3 30D-30C 30D-70C 40D-30C 40D-70C 50D-70C 0.00 0.02 0.04 0.06 0.08 0.10 0.12 0.14 0,083 0,0790 0,020 0,033 0,018 L a ju K o ro s i [m p y ] Kode Biodiesel
24
Fe2O3 + 6R’COOH → 2Fe(R’COO)3 + 3H2O
2R’COOH + Fe → Fe(R’COO)2 + H2
Oleh karena itu, berdasarkan reaksi di atas memungkinkan berat logam akan berkurang setelah uji immersi.
Gambar 5.3 SEM morfologi permukaan baja karbon pada kondisi (a) sebelum kontak (b) 30D-30C (c) 30D-70C (d) 40D-30C (e) 40D-70C (f) 50D-70C
Adanya senyawa oksida yang terbentuk dari korosi dapat ditunjukkan dari grafik XRD pada gambar 5.4 yang menunjukkan adanya senyawa Fe2O3, Fe(OH)3 dan
Fe2O2CO3 sebagai akibat dari korosi. Adanya produk korosi berupa Fe2O2CO3 yang
25
oksigen, dan CO2 yang diabsorpsi dari udara. Fe2O2CO3 merupakan produk reaksi dari
H2CO3 dan FeO(OH) dengan mekanisme reaksi sebagai berikut (Marco dkk, 2007):
2FeO(OH) + H2CO3 → Fe2O2CO3 + 2H2O
Gambar 5.4 XRD plat baja setelah dikontakkan sampel biodiesel
Pembentukan FeO(OH) sebagai akibat dari reaksi penguraian Fe(OH)3 menghasilkan
melekul H2O dan FeO(OH) serta H2CO3 dihasilkan dari reaksi air dan CO2 yang
diabsorpsi dari udara.
Gambar 5.5. Warna sampel biodiesel (a) sebelum mengandung produk korosi (b) setelah mengandung produk korosi
26
Gambar 5.6 FTIR sampel biodiesel yang telah terkontak dengan baja yang telah terkorosi Gambar 5.6 menunjukkan FTIR dari biodiesel yang telah terkontak dengan baja karbon dan telah mengandung produk korosi. Adanya peak yang terdeteksi pada daerah 583 cm-1 mengindikasikan terbentuknya Fe2O3. Pada daerah 1020 cm-1 dan 1327 cm-1
mengindikasikan produk korosi berupa γ-FeO(OH), α-FeO(OH). Pada daerah 1710 cm-1
mengindikasikan terbentuknya Fe2O2CO3. Gugus hidroksil bebas (OH) juga terdeteksi pada
daerah antara 3601 cm-1 hingga 3788 cm-1 yang mengindikasikan adanya Fe(OH)3 (Kumar
dkk, 2002; Thangavelu dkk, 2016).
Karakteristik Korosi Aluminium dan Tembaga
Gambar 5.7 menunjukkan bahwa laju korosi pada logam aluminium dan tembaga yang tercelup pada biodiesel dipengaruhi oleh suhu. Pengujian laju korosi dari kedua logam tersebut dilakukan pada dua variasi suhu yaitu pada suhu 30 oC dan suhu 70 oC. Hasil uji immersi menunjukkan bahwa menunjukkan bahwa dengan meningkatkan suhu biodiesel akan cenderung menurunkan laju korosi pada logam aluminium dan tembaga. Hal ini kontrakdiksi dengan yang diperkirakan bahwa meningkatkan suhu pada umumnya akan meningkatkan laju korosi. Meningkatkan suhu biodiesel akan menurunkan jumlah oksigen yang terabsorpsi. Laju oksidasi dalam uji kestabilan komponen l lemak dan minyak dipengaruhi oleh konsentrasi oksigen yang terlarut. Pada suhu tinggi konsentrasi oksigen
4000 3500 3000 2500 2000 1500 1000 500 1710 1710 1710 1020 1020 1020 58 3, 64 -58 3, 64 -58 3, 64 -13 72 ,2 7-13 72 ,2 7-13 72 ,2 7-(c) 40D-70C (b) 30D-70C T ra n s mit a n c e Wave Number [cm-1] (a) 30D-30C
27
yang terlarut semakin rendah sehingga menurunkan laju korosi pada biodiesel. Hasil uji korosi sebagaimana yang disajikan pada gambar 1 menunjukkan bahwa laju korosi terjadi pada aluminium yang tecelup pada suhu 30 oC selama 40 hari yaitu sebesar 0,1217 mmy.
Biodiesel memiliki kandungan asam lemak tak jenuh dengan lebih banyak ikatan rangkap karbon dan lebih sedikit hidrogen sehingga lebih rentan terhadap oksidasi. Oksidasi biodiesel dapat menurunkan kualitas bahan bakar akibat terbentuknya produk oksidasi seperti aldehid, alkohol, asam karboksilat rantai pendek, dan sedimen. Hasil oksidasi tersebut bersifat korosif terhadap mesin.
Gambar 5.7 Laju korosi Al dan Cu pada biodiesel
Tabel 5.3 menunjukkan perubahan kadar air biodiesel setelah uji immersi pada suhu 30
o
C dan 70 oC. Kadar air pada biodiesel cenderung meningkat dengan meningkatnya waktu simpan dari biodiesel. Densitas biodiesel sebelum mengalami uji immersi berdasarkan data tabel 2 memiliki densitas awal sebesar 0,865 kg/m3 serta memilki kadar air sebesar 0,03%. Peningkatan densitas biodiesel baik yang diimmersi dengan logam Al maupun Cu pada kedua variasi suhu 30 oC dan 70 oC disebabkan meningkatnya kadar air air pada biodiesel. Peningkatan kadar air pada pada biodiesel terjadi pada biodiesel yang telah di uji immersi dengan logam Cu pada suhu 30 oC yaitu sebesar 2,466 %wt. Densitas biodiesel setelah uji immersi dengan logam Al dan Cu pada suhu 30oC disajikan pada tabel 5.4. Data pada tabel 5.4 menunjukkan bahwa pada biodiesel yang diimersi dengan logam Cu diperkirakan mengalami proses degradasi yang paling cepat yang mengarah pada pembentukan air sehingga menyebabkan meningkatnya kadar air yang tinggi pada biodiesel. Selain itu
Al-30 Al-70 Cu-30 Cu-70
0.00 0.02 0.04 0.06 0.08 0.10 0.12 0.14 0.16 0,0160 0,0430 0,0437 0,1217 La ju koros i (mm y) Sampel
28
biodiesel memiliki karakteristik yang bersifat higroskopi sehingga mudah menyerap air di udara.
Tabel 5.3 Kadar air biodiesel
Logam uji Kadar air setelah pengujian (% wt)
30 oC 70 oC
Al 1,827 1,818
Cu 2,466 1,370
Tabel 5.4 Densitas Biodiesel setelah immersi pada 30 oC
Logam uji Densitas (kg/m3)
Al-30 0,865
Cu-30 0,873
Gambar 5.8 dan gambar 5.9 menunjukkan hasil SEM dari material aluminium dan tembaga sebelum dan setelah mengalami pengujian immersi di dalam biodiesel. Serangan korosi pada baja karbon tersebut tersebar pada permukaan baja ditandai dengan terbentuknya lubang (pit) yang berwarna gelap akibat proses korosi. Permukaan logam yang terkontak dengan biodiesel menunjukkan kerusakan akibat korosi. Pembentukan pit atau daerah yang berwarna gelap terutama pada logam Cu merupakan karakteristik dari pembentukan produk oksida berupa CuO dan Cu2O. kedua logam tersebut sangat reaktif dengan asam organik
yang terbentuk akibat proses degradasi dari biodiesel. Mekanisme korosi pada tembaga dapt dijelaskan sebagai berikut:
2Cu + O2 → CuO
4Cu + O2 → 2Cu2O
2R’COOH + Cu2O → 2Cu (R’COO) + H2O
4R’COOH + 2CuO → 2Cu(R’COO)2 + H2O
Oleh karena itu berat logam setelah uji immersi. Perubahan warna biodiesel dapat diamati pada gambar 5.10 Perubahan warna tersebut menunjukkan adanya ion logam yang terlarut pada biodiesel akibat proses korosi.
29
Adanya logam yang terlarut pada biodiesel baik aluminium maupun tembaga dapat memperccepat reaksi katalitik proses degrdadasi biodiesel. Logam dapat secara langsung bereaksi dengan asam lemak menghasilkan radikal alkil asam lemak. Selama proses oksidasi biodiesel oleh oksigen di udara, metil ester dari biodiesel membentuk radikal bebas di samping ikatan rangkap. Pembentukan radikal bebas tersebut mengarah pada reaksi yang membentuk produk baru yang seperti aldehid, keton, lakton, asam formiat, asam asetat, dan asam propionat.
Gambar 5.8. SEM logam aluminium pada biodiesel (a) sebelum uji (b) setelah uji pada suhu 30 oC dan (C) setelah uji pada suhu 50 oC
Gambar 5.9. SEM logam tembaga pada biodiesel (a) sebelum uji (b) setelah uji pada suhu 30 oC dan (C) setelah uji pada suhu 50 oC
30
Gambar 5.10. Warna biodiesel sebelum kontak (a) dan setelah kontak dengan logam (b) Al dan (c) Cu
Produk reaksi yang terbentuk tersebut bersifat korosif pada logam. Korosifitas biodiesel dipengaruhi oleh kestabilan dari biodiesel. kestabilan biodiesel terhadap oksidasi oleh oleh oksigen di udara dipengaruhi oleh kandungan biodiesel. biodiesel yang diproduksi dari minyak goreng bekas memiliki kandungan metil oleat dan linoleat yang mudah teroksidasi oleh suhu dan udara membentuk asam organik sehingga berpotensi menyebakan korosi pada logam. Hal ini didukung oleh penelitian Park dkk (2008) yang mempelajari pengaruh komposisi asam lemak pada tingkat kestabilan oksidasi dari dari biodiesel. senyawa asam organik yang berpotensi korosi.
Dalam penelitian tersebut dilaporkan bahwa tingkat kestabilan dari biodiesel akan menurun ketika kandungan asam linoleat dalam biodiesel meningkat. selain itu biodiesel yang memiliki kandungan TAN yang berpotensi menyebabkan korosi pada logam. Kandungan yang tinggi dari asam lemak tidak jenuh (metil oleat dan metil linoleat) cenderung menyebabkan biodiesel mudah teroksidasi oleh udara membentuk radikal bebas yang pada akhirnya mengarah pada pembentukan.
5.2 Luaran yang Dicapai
Luaran yang dicapai dalam penelian ini yaitu berupa jurnal nasional terakreditasi, seminar nasional, dan modul ajar korosi. Pada saat ini sebagian hasil penelitian telah kami submit pada Jurnal Reaktor (Terakreditasi) Teknik Kimia Universitas Diponegoro yang telah mencapai status In Review: Revision Required. Hasil penelitian sudah didaftarkan pada seminar nasional Master di PPNS yang akan dilaksanakan pada 21 November 2017.
31
KESIMPULAN DAN SARAN
Hasil penelitian dapat diperoleh beberapa kesimpulan antara lain:
1. Tingkat korosivitas dari baja karbon di dalam biodiesel terutama sangat dipengaruhi oleh faktor suhu dan waktu kontak dari biodiesel dengan baja karbon. Dengan meningkatnya suhu dan waktu kontak biodiesel menyebabkan laju korosi pada baja karbon akan semakin tinggi
2. Hasil pengujian korosi menunjukkan bahwa laju korosi minimum terjadi pada baja karbon yang tercelup pada biodiesel selama 30 hari dengan suhu kontak sebesar 30 oC yaitu sebesar 0,018 mmy. Sedangkan laju korosi maksimum terjadi pada baja karbon yang tercelup pada biodiesel selama 50 hari dengan suhu kontak 70 oC yaitu sebesar 0,083 mmy
3. Hasil XRD/FTIR menunjukkan bahwa produk korosi baja karbon oleh biodiesel berupa Fe2O3, FeO(OH) dan Fe2O2CO3.
4. Hasil pengujian korosi menunjukkan bahwa meningkatkan suhu biodiesel menyebabkan laju korosi menurun untuk kedua logam baik Al dan Cu.
5. Laju korosi minimum terjadi pada suhu 70 oC dengan waktu immersi 40 hari yaitu sebesar 0,0437 mmy pada logam Al dan 0,0160 mmy pada logam Cu. Seiring dengan waktu uji immersi selama 40 hari menyebabkan kadar air biodiesel meningkat serta perubahan warna biodiesel yang disebabkan oleh adanya kandungan ion logam yang terlarut. Produk korosi Cu oleh biodiesel berupa CuO dan Cu2O
32
DAFTAR PUSTAKA
Charpe, T.W., Rathod, V.K., (2011). Biodiesel production using waste frying oil, Waste Management ,31, pp. 85–90
Demirbas, A., (2009), Progress and Recent Trends in Biodiesel Fuels, J. Energy Conversion and Management, 50, pp. 14-34
Fazal MA, Jaceria MR, Haseeb ASMA, (2014), Effect of copper and mild steel on the stability of palm biodiesel properties: a comparative study, J. Ind Crops Prod, 58, pp. 8-14
Gerpen, J. Van, et al., (2005), Biodiesel Analytical Method, National Renewable Energy Laboratory, Colorado, USA
Haseeb ASMA, Fazal MA, (2011), Jahirul MI, Masjuki HH. Compatibility of auto-motive materials in biodiesel: a review. J. Fuel, 90, pp. 922-931
Jain S, Sharma MP, (2011), Correlation development for effect of metal contaminantson the stability of Jatropha curcas biodiesel, J. Fuel, 90, pp. 2045-2050
Jin, Dingfeng., Zhou, Xuehua., Wu, Panpan., Jiang, Li., Ge, Hongliang., (2015), Corrosion behavior of ASTM 1045 mild steel in palm biodiesel, J. Renewable Energy,81, pp. 457-463
Ketaren, S., (2005), Minyak dan Lemak Pangan, UI Press. Jakarta
Ketaren, S., (2008), Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan, UI Press.Jakarta Kaul S, Saxena RC, Kumar A (2007), Corrosion behavior of biodiesel from seed oils of Indian
origin on diesel engine parts. J. Fuel Process Technology, 88, pp.303-307
Leung, Y.C.D., Xuan Wu, Leung, M.K.H., (2010) A review on biodiesel production using catalyzed transesterification, J. Applied Energy, 87, pp. 1083–1095
Liu, J., dan Fang,Y., (2009), The dissolved oxygen on the corrosion of 20R steel by biodiesel, J. of Corrosion Protection, 30, pp. 711-713
Ma, F. & Hanna, M.A., (1999), Biodiesel Production: a Review, J. Bioresource Technology,1, pp. 1-15
Mabus,R., (2010), Department of the Navy's energy program for security and independence. ,Darby, PA
33
Marco, R.D., Jiang, Z.T., John, D., Sercombe, M., and Kinsella, B., (2007), An in situ Electrochemical Impedance Spectroscopy/Synchrotron Radiation Grazing Incidence X-Ray Diffraction Study of the Influence of Acetate on the Carbon Dioxide Corrosion of Mild Steel, J. of Electrochimica Acta, 52, pp. 3746-3750
Moreira, R.G, 1999, “Deep-Fat Frying Fundamentals and Application”, pp .46. 37-41. Aspen Publishers Inc. Weat Port. Connecticut
Noiroj, K., Intarapong, P., Luengnaruemitchai, A., and Jai-In, S., (2009), A comparative study of KOH/Al2O3 and KOH/NaY catalysts for biodiesel production via transesterification from palm oil, , J. Renewable Energy, 34, pp. 1145-1150
Park, In-Jun., Nam, Tae-Heum., Kim, Jin-Ho., Kim, Jung-Gu., (2014), Evaluation of corrosion characteristics of aluminum alloys in the bio-ethanol gasoline blended fuel by 2-electrode electrochemical impedance spectroscopy, J. Fuel, 126, pp. 26-31
Renaldi, A.A, (2009), Kajian Stabilitas Oksidasi Campuran Biodiesel Minyak Jelantah-Solar dan Kinerja Mesin Diesel, Skripsi. Universitas Indonesia
Sibuea dan Posman, (2003), Pengembangan Industri Biodisel Sawit, www.kcm.com, 10 Oktober 2007
Thangavelu S.K., Ahmed, A.S., Ani, F. N., (2016), Impact of metals on corrosive behavior of biodiesel-diesel-ethanol (BDE) alternative fuel, J. Renewable Energy, 94 , pp.1-9
Zhang, Y., Dubé, M.A., McLean, D.D., & Kates, M., (2003), Biodiesel Production from Waste Cooking Oil: 1. Process Design and Technological Assessment, Bioresource Technology,89,pp.1-16
1
LAMPIRAN I
PERSONALIA TENAGA PENELITI
No. Nama/NIDN Instansi Bidang
Ilmu Kualifikasi Uraian Tugas
1. Adhi Setiawan, ST., MT. / 0024028703 PPNS Teknologi Proses S2 Teknik Kimia - Membuat schedule dan pembagian tugas, dan mengawasi pelaksanaannya - Mengawasi dan melaksanakan publikasi ilmiah 2. Nora Amelia Novitrie, ST., MT. / 0014058804 PPNS Teknologi Proses S2 Teknik Kimia - Melakukan penelusuran-penelusuran literatur yang up to date - Melaksanakan penelitian, analisa-analisa dan pengujian-pengujian yang menjadi tanggung jawabnya - Membuat laporan dan
artikel ilmiah - Melaksanakan
publikasi ilmiah
3 Nur Hidayati PPNS Teknik
Pengolahan limbah Mahasiswa PPNS - Melaksanakan ekperimen - Melakukan pembelian bahan baku
- Uji sample dan analisa data 4 Rizal Hardiansyah PPNS Teknik Pengolahan limbah Mahasiswa PPNS - Melaksanakan ekperimen - Melakukan pembelian bahan baku
- Uji sample dan analisa data
2
LAMPIRAN III Nama Jurnal : Reaktor
3
Nama Seminar : Master 2017 Status Submission : Abstrak accepted