• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. utama berupa kekuasaan kehakiman yang bebas, hal ini diatur dalam pasal. 24 ayat (1) Undang-undang Dasar 1945 yang berbunyi,

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. utama berupa kekuasaan kehakiman yang bebas, hal ini diatur dalam pasal. 24 ayat (1) Undang-undang Dasar 1945 yang berbunyi,"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

13

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kewenangan Hakim

2.1.1 Memeriksa dan Memutus

Hakim dalam memeriksa dan memutus perkara memiliki landasan utama berupa kekuasaan kehakiman yang bebas, hal ini diatur dalam pasal 24 ayat (1) Undang-undang Dasar 1945 yang berbunyi,

“kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan” Oleh karenanya, sesuai dengan pasal tersebut, hakim adalah termasuk orang yang merdeka dalam memberi memeriksa dan memutus suatu perkara, tidak boleh ada intervensi dari pihak manapun. Hal ini ditujukan agar hakim dalam memutus dan memeriksa sebuah perkara lebih mendasarkan kepentingan keadilan.

Hakim berwenang untuk memutus serta memeriksa perkara yang diajukan kepada Mahkamah Agung dan peradilan dibawahnya seperti lingkungan peradilan umum, agama, militer dan tata usaha negara hingga peradilan khusus. Hakim wajib untuk menggali, mengikuti, serta memahami nilai keadilan yang terkandung dan tumbuh dalam kehidupan bermasyarakat.1 Hal ini seperti yang disebutkan dalam pasal 5 ayat (1)

1 Liwe, Immanuel Christophel. "Kewenangan Hakim Dalam Memeriksa Dan Memutus Perkara

(2)

14

Undang-undang N. 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman yang berbunyi,

“hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti dan meemahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”

Dengan adanya peraturan tersebut yang menyatakan sebagai “ketentuan”, maka banyak harapannya agar hakim untuk memutus sebuah perkara dengan memperhatikan nilai-nilai keadilan yang tumbuh dalam kehidupan masyarakat. Dengan adanya ketentuan tersebut juga, kewajiban hakim untuk menggali, mengikuti, serta memahami nilai-nilai keadilan yang tumbuh dalam kehidupan masyarakat menjadi mutlak untuk dilakukan. Kemudian semua komponen “ketentuan” tersebut harus tertuang dalam setiap putusannya.2

2.1.2 Hakim Membentuk Hukum (judge made law)

Seperti yang telah diketahui, bahwa masyarakat selalu menggali dan mencari nilai-nilai keadilan, tujuannya dilaksanakan ketentuan tersebut adalah untuk mencapai impian tersebut, serta ketentuan itu merupakan maksud dari eksistensi hakim dan kekuasaan kehakiman. Dasar dari kewenangan hakim dalam sistem hukum formal disebutkan dalam

(3)

15

Dengan adanya pasal tersebut membuat hakim tidak harus terpaku dengan adanya hukum positif, sebab apabila belum ada hukum yang mengatur sebuah perkara, maka hakim harus tetap menerima dan memeriksa serta mengadili perkara tersebut. Tidak dapat dihindari apabila undang-undang merupakan bentuk hasil dari kebutuhan norma yang tumbuh dalam masyarakat. Memang ada beberapa undang-undang yang siap untuk diamandemen, namun tidak sedikit juga yang sulit untuk diamandemen, sehingga untuk merevisi sebuah undang-undang bukanlah membutuhkan sedikit waktu. Sebab dengan direvisinya sebuah undang-undang akan merubah filosofi undang-undang secara keseluruhan, atau boleh jadi akan mengganggu filosofi undang-undang lainnya.3

Hakim tidak dapat dipungkiri bahwa mereka bukanlah seorang legislator yang berwenang untuk menetapkan sebuah undang-undang4. Namun hakim juga dimungkinkan untuk membentuk sebuah hukum atau yang biasanya dikenal dengan judge made law yang diatur dalam kandungan pasal 10 ayat (1) undang-undang No. 48 tahun 2009 diatas. Untuk membentuk sebuah hukum, hakim akan melakukan sebuah konstruksi hukum dan interpretasi.5

Konstruksi hukum, merupakan upaya hakim untuk memenuhi kewajiban hakim dalam mengisi kekosongan hukum atau ketidakjelasan suatu peraturan perundang-undangan dengan asas-asas maupun sendi-sendi

3 Ibid. Hal 136

4 Website resmi DPR RI. http://www.dpr.go.id/tentang/tugas -wewenang 5 Op.cit. Liwe. Hal 136

(4)

16

hukum. Dalam konstruksi hukum, dibagi menjadi 3 (tiga) bagian yakni sebagai berikut :

1. Analogi

Analogi merupakan penerapan sebuah hukum yang dilakukan hakim dengan menganalogikan undang-undang yang memiliki perlakuan sama namun berdasarkan peristiwa yang berbeda; 2. Determinasi

Istilah ini juga dikenal dengan pengahalusan hukum, yaitu hakim tidak menerapkan atau akan menerapkan hukum yang ada atau memperlakukan hukum dengan tersebut dengan cara yang halus, sehingga seolah tidak ada yang salah maupun benar, misalnya dalam peristiwa kecelakaan yang melibatkan dua mobil tabrakan, mobil A menabrak mobil B. Mobil B belok mendadak tanpa menyalakan lampu sein, sehingga Mobil A menabrak mobil B. Mobil A menabrak mobil B karena pengemudi mobil A sedang mengantuk sehingga tidak fokus dengan jalan. Dalam mobil A menuntut ganti rugi kepada mobil B, maka mobil B juga menuntut ganti rugi kepada Mobil A. Oleh karena keduanya salah dalam menjalankan kendaraannya, maka hakim memutus untuk mereka saling mengganti rugi sesuai dengan jumlah kerugian yang dialami;

(5)

17

Merupakan tafsiran hakim mengenai undang-undang yang didasarkan pada perlawanan antara kenyataan peristiwa perkara dengan peristiwa yang diatur dalam undang-undang atau yang disebut juga dengan argumentum a contrario. penafsiran undang-undang dengan menggunakan argumentum a contrario ini akan mempersempit perumusan undang-undang. Hal ini memiliki tujuan untuk mempertegas kepastian hukum sehingga tidak ada celah keraguan dalam undang-undang tersebut.6

Cara yang kedua yaitu interpretasi hukum atau disebut sebagai penafsiran hukum oleh hakim, penafsiran merupakan metode/cara hakim untuk memahami arti/makna dari sebuah teks peraturan perundang-undangan kemudian digunakan untuk menyelesaikan perkara-perkara yang bersifat konkrit. Hal itu juga dapat digunakan hakim untuk mengubah konstitusi dalam artian memperbaiki, mengurangi, atau menambahi mkana yang terkandung dalam suatu teks peraturan perundang-undangan.7

Cara untuk mencari makna dalam suatu peraturan perundang-undangan yang dikemukakan oleh para pakar hukum. Hal tersebut dapat dilakukan dengan 6 (enam) cara yaitu :8

1. Penafsiran Bahasa

6 Juanda, Enju. "Konstruksi Hukum Dan Metode Interpretasi Hukum." Jurnal Ilmiah Galuh

Justisi 4.2 (2017). Hal 172-173.

7Khalid, Afif. "Penafsiran Hukum oleh Hakim dalam Sistem Peradilan di Indonesia." Al-Adl:

Jurnal Huk um 6.11 (2014). Hal 11

(6)

18

Dalam penafsiran dari bahasa, hakim menggunakan ketentuan atau kaidah hukum tertulis, dimana hakim akan mengartikan sebuah undang-undang menurut arti kalimat atau bahasa sehari-hari yang biasa digunakan masyarakat biasa. Seperti “alat angkutan” dan “peralatan rumah tangga” yang harus diartikan sesuai dengan perkara yang tengah ditangani pengadilan. Hal tersebut tidak mengahalangi ada kemungkinan digunakannya istilah yang lebih teknis apabila hal tersebut diperlukan

Contoh : Kendaraan (air) :

Segala alat angkutan orang atau barang, yang bergerak dari suatu tempat lain di atas atau dibawah permukaan air.;

2. Penafsiran historis

Penafsiran historis adalah dengan meneliti sejarah dari undang-undang yang bersangkutan. Dalam penelitian historis dibagi menjadi 2 (dua) macam. yaitu:

a. Sejarah pembuatan undang-undang (wetshistorische Interpretatie);

Dalam penafsiran sejarah pembuatan hukum ini, adalah cara penafsiran yang bisa dibilang cukup sempit, sebab hanya meneliti tentang apa maksud undang-undang ini dibuat, siapa yang membuat, apa dasar-dasarnya, dan

(7)

19

apa saja yang diperdebatkan anggota DPR sehingga undang-undang ini dapat terbentuk;

b. Sejarah hukum (Rechtshistorische Interpretatie)

Berbeda dengan diatas, penafsiran hukum dengan cara ini cukup luas, sebab hakim akan meneliti asal usul dibuatnya undang-undang ini dari sistem hukum yang terdahulu yang pernah berlaku maupun hukum yang hingga sekarang masih berlaku, juga tidak menutup kemungkinan akan meneliti sistem hukum negara lain yang masih berlaku.

3. Penafsiran sistematis

Mengenai penafsiran sistematis, yang dimaksud adalah melakukan penafsiran dengan menghubungkan pasal satu dengan pasal yang lain dalam sebuah perundang-undangan hukum lain. Atau dengan cara membaca penjelasan dari sebuah perundang-undangan sehingga mengerti apa yang dimaksud oleh undang-undang tersebut;

Contoh :

- Pasal 1330 KUHPerdata mengatakan bahwa tidak cakap untuk membuat perjanjian antara lain orang-orang yang belum dewasa.

Agar mengetahui bagaimana tolak ukur orang dewasa dapat dilihat dalam ketentuan yang diatur oleh pasal 330

(8)

20

KUHPerdata yang memberikan batasan umur 21 tahun, namun apabila orang tersebut belum berumur 21 tahun tetapi telah menikah, maka orang tersebut telah termasuk dalam kualifikasi orang dewasa.

Kemudian dalam hal ini, ketentuan yang terdapat pada pasal 1330 KUHPerdata, dapat ditafsirkan secara sistematis dengan melihat ketentuan yang diatur dalam pasal 330 KUHPerdata;

4. Penafsiran sosiologis

Yang dimaksud dengan penafsiran sosiologis ialah penafsiran yang disesuaikan dengan apa yang terjadi di kehidupan masyarakat. Hasil dari penafsiran sosiologis adalah, penerapan hukum yang sesuai dengan keadaan sosial masyarakat, sehingga tercipta kepastian hukum yang berdasarkan asas keadilan masyarakat. Seperti Pasal 362 KUHPidana yang mengatur tentang larangan untuk mencuri barang kepunyaan orang lain. Disini dapat diketahui barang yang dimaksud adalah sesuatu yang dapat diraba, dilihat, dan dirasakan secara riil. Dalam hal ini dapat diketahui bahwa listrik tidak termasuk dalam kualifikasi barang ang dapat dicuri berdasarkan pasal 362 KUHPidana. Namun apabila dilakukan penafsiran dengan metode sosiologis, maka listrik dapat termasuk didalamnya, sebab listrik dianggap mempunyai nilai, sehingga siapa yang mengkaitkan kabel listrik PLN di jalan secara ilegal, maka

(9)

21

dapat dimasukkan dalam perbuatan pencurian dan pasal 362 KUHPidana dapat diberlakukan kepadanya;

5. Penafsiran otentik

Penafsiran otentik atau yang biasa disebut dengan penafsiran resmi (Authentieke Interpretatie Atau Officieele Interpretatie), yaitu dengan melihat penjelasan dari pembuat undang-undang sendiri yang biasanya terlampir dalam lampiran atau tambahan lembaran negara dari undang-undang yang bersangkutan; 6. Penafsiran perbandingan

Dalam penafsiran perbandingan, adalah cara penafsiran dengan membandingkan hukum lama dengan hukum positif yang saat ini masih berlaku, seperti ada beberapa hukum lama yang mungkin lebih cocok diterapkan pada masa sekarang, atau antara hukum yang bersifat nasional dengan hukum asing atau kolonial, seperti mengambil hukum negara lain apabila hukum tersebut cocok untuk diterapkan di hukum nasional demi kepentingan nasional.

Sebagaimana yang telah diuraikan, hakim harus tetap memberikan putusan meski tidak ada hukum yang mengaturnya, sebab hal itu telah tertuang jelas dalam pasal 10 ayat (1) Undang-undang no. 48 tahun 2009. Hakim harus wajib dapat melakukan konstruksi hukum dan interpretasi hukum.

(10)

22

2.2 Putusan Sela

Putusan sela adalah putusan yang belum menyinggung mengenai pokok perkara yang ada dalam dakwaan. Hal ini terjadi apabila penasehat hukum atau terdakwa sendiri mengajukan sebuah keberatan berupa eksepsi seperti pengadilan tidak berhak mengadili perkaranya hingga meminta untuk digugurkannya sebuah dakwaan. Eksepsi sendiri adalah sebuah keberatan mengenai ketidaksesuain format surat dakwaan dengan apa yang sudah diatur dalam KUHAP. 9 Mengenai hal ini Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menjelaskannya dalam pasal 156 perihal putusan sela. Berikut adalah uraian mengenai pasal tersebut.

a. Pengadilan tidak berwenang memeriksa perkaranya. Eksepsi tersebut dapat berupa ketidakwenangan pengadilan untuk mengadili, yakni ada 2 (dua) unsur yang di muat dalam hal ini yaitu :

1. Kompetensi Absolut, dimana pengadilan tersebut tidak berwenang untuk mengadili perkara tersebut sebab tidak sesuai dengan kewenangan pengadilan yang di rujuk, misalnya ada seorang tentara yang melakukan pidana namun dirujuknya di peradilan umum, sedangkan yang seharusnya berwenang dalam menangani perkara tersebut adalah peradilan militer. Contoh yang kedua, pada pasal 89 KUHAP menyebutkan bahwa “tindak pidana yang

9 Rahim, Abdul. Perbandingan Putusan Sela Menurut Huk um Acara Perdata Dan Huk um Acara

Pidana (Studi Pengadilan Agama Dan Pengadilan Negeri Curup) . Diss. IAIN Curup, 2017. Hal

(11)

23

dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk lingkungan peradilan umum dan lingkungan peradilan militer , diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum kecuali jika menurut keputusan Menteri Pertahanan dan Keamanan dengan persetujuan Menteri Kehakiman perkara itu harus diperiksa dan diadili oleh pengadilan dala lingkungan peradilan militer”.

2. Kompetensi Relatif, dimana pengadilan yang menangani tidak sesuai dengan lokasi terjadinya tindak pidana, hal tersebut dijelaskan dalam pasal 84 KUHAP yang menyebutkan bahwa “pengadilan negeri berwenang mengadili segala perkara mengenai tindak pidana yang dilakukan dalam daerah hukumnya”.

b. Dakwaan tidak dapat diterima, adapun bebeapa alasan yang dapat membuat dakwaan dari penuntut umum tidak dapat diterima yaitu : 1. Jika dakwaan yang di dakwakan oleh penuntut umum telah kadaluwarsa, seperti yang disebutkan dalam pasal 78 KUHP yaitu :

1) Kewenangan menuntut pidana hapus karena kadaluwarsa: mengenai semua pelanggaran dan kejahatan yang dilakukan dengan percetakan

(12)

24

sesudah satu tahun; mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana denda, pidana kurungan, atau pidana penjara paling lama tiga tahun, sesudah enam tahun; mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana penjara lebih dari tiga tahun, sesudah dua belas tahun; mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana matu atau pidana penjara seumur hidup, sesudah delapan belas tahun;

2) Bagi orang yang pada saat melakukan perbuatan umurnta belum delapan belas tahun masing-masing tenggang daluwarsa di atas dikurangi menjadi sepertiga.10

2. Asas Nebis in idem. Dimana pasal ini dijelaskan dalam pasal 76 ayat (1) KUHP bahwa “kecuali dalam hal putusan hakim masih mungkin diulangi, orang tidak boleh dituntut uda kali karena perbuatan yang oleh hakim Indonesia terhadap dirinya telah diadili dengan putusan yang menjadi tetap”;

3. Tidak ditemukan adanya unsur dari pengaduan, hal ini diatur dalam pasal 74 ayat (1), yang berbunyi “pengaduan hanya boleh diajukan dalam waktu enam bulan sejak orang yang berhak mengadu mengetahui adanya kejahatan, jika

10 Raifaldy, Jefier. "Eksepsi Atas Kewenangan Mengadili Perkara Pidana Menurut Kitab Undang

(13)

25

bertempat tinggal di Indonesia, atau dlam waktu sembilan bulan jika bertempat tinggal di luar Indonesia”;

4. Ketika yang didakwakan kepada terdakwa tidak termasuk atau bukan merupakan tindak pelanggara maupun kejahatan yang diatur dalam KUHP;

5. Apabila yang dakwaan yang didakwakan kepada terdakwa tidak ada korelasinya atau tidak sesuai dengan tindak pidana yang dilakukan;

6. Apablia yang didakwakan kepada terdakwa bukan merupakan perkara pidana melainkan perkara perdata;

c. Pembatalan Dakwaan, Surat dakwaan yang dibuat oleh penuntut umum ini dapat dibatalkan apabila tidak memenuhi syarat materiil dimana hal tersebut diatur dalam pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP, dimana pada dakwaannya penuntut umum tidak menguraikan dengan cermat, jelas, dan lenhkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan.11

Berdasarkan pasal 1 butir 32 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), seseorang dapat dikatakan sebagai terpidana ketika orang itu telah mendapatkan putusan pengadilan yang berkuatan hukum tetap. Namun pada putusan sela, seorang terdakwa adalah tersangka yang dituntut,

(14)

26

diperiksa, dan diadili dalam sidang pengadilan (pasal 1 butir 14 KUHAP). Dengan demikian seseorang yang menerima putusan sela, bukanlah berstatus terpidana melainkan masih menjadi seorang terdakwa. Sebab apabila seorang telah menjadi terpidana, maka yang bisa dilakukannya adalah untuk menempuh upaya-upaya hukum yang telah diatur KUHAP, seperti banding, kasasi, atau peninjauan kembali (PK).12

Dalam putusan sela dapat berbentuk putusan yang berisi pernyataan tidak berwenangnya pengadilan untuk mengadili sebuah perkara. Dengan begitu sesuai dengan pasal 148 ayat (1) dan (2) KUHAP, perkara tersebut dapat kembalikan kepada penuntut umum untuk dilimpahkannya kepada pengadilan yang berwenang untuk mengadilinya. Kemudian putusan sela juga dapat berupa hal yang menyatakan surat dakwan daeri penuntut umum untuk batal demi hukum karna tidak sesuainya surat dakwaan dengan ketentuan yang ada di KUHAP.13

Apabila hakim mengabulkan keberatan dari penasehat hukum atau terdakwa sendiri di putusan sela, maka dakwaan yang telah dibuat oleh penuntut tidak bisa diperiksa lebih lanjut/gugur. Namun sebaliknya apabila hakim tidak mengabulkan keberatan dari penasehat hukum atau terdakwa sendiri, maka surat dakwaan tersebut akan tetap dilanjutkan dalam proses pemeriksaan.

12 Rahim, Abdul. Op.cit Hal 18 13 Ibid. Hal 18

(15)

27

2.3 Hukum Progresif

2.3.1 Pengertian Dan Karakteristik Hukum Progresif

Hukum progresif tidak bisa disebut sebagai sebuah suatu tipe hukum yang khas dan selesai, melainkan sebuah hukum yang mengalir dan tidak terjebak dalam status quo, sehingga hukum tersebut tidak ‘mandek’ atau buntu. Hukum progresif selalu setia pada asas bahwa hukum dibuat untuk manusia. Sebab pada dasarnya hukum progresif merupakan hukum yang terus merobohkan hukum-hukum yang buntu, sehingga hukum yang berada di lingkungan tersebut akan terus-menerus berevolusi seiring berkembangnya zaman. Sehingga hukum akan mengikuti zaman, bukan zaman yang mengikuti hukum.14

Asumsi besar yang dibawa hukum progresif adalah hukum untuk manusia, bukan manusia untuk hukum, oleh sebab itu tujuan dari terciptanya hukum adalah untuk menyenangkan/membahagiakan manusia/masyarakat, bukan menyengsarakannya. Atas dasar inilah dalam berhukum harus melibatkan hati nurani sebagai dasar utama. Kemudian asumsi selanjutnya adalah bahwa hukum merupakan institusi yang terus berproses. Hukum bukanlah sebuah teks yang mati dan bersifat final, perlu kreatifitas manusia untuk mengadaptasikan kedalam kondisi-kondisi sosial yang ada dalam masyarakat saat ini. dan yang paling penting adalah mengutamakan nilai moral keadilan pada masyarakat.15

14 Soetandyo. 2011. Satjipto Rahardjo dan Hukum Progresif Urgensi dan Kritik. Jakarta. Epistema

Institue. Hal 54

(16)

28

Menurut Sidharta, hukum progresif mengandung banyak ide seperti hukum itu harus pro-rakyat dan pro-keadilan yang bertujuan untuk mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan, berdasarkan pada kehidupan yang baik, bersifat responsif, mendukung keberadaan negara hukum yang berhatinurani, dijalankan dengan kecerdasan spiritual serta bersifat membebaskan.16

Mahfud MD juga berpandangan bahwa penting untu meninggalkan watak yang konservatif dalam berhukum, yang dapat diketahui dengan pembentukan hukum yang sentralistik, sehiingga miskin partisipasi rakyat dan bersamainya penafsiran-penafsiran hukum secara tekstual sehingga menjadikan hakim sebagai tawanan undang-undang. Sehingga hukum progresif akan menjadi solusi dalam kondisi seperti ini.17

Berkaitan dengan hukum progresif, tentu tidak akan asing dengan nama Satjipto Rahardjo. Menurut beliau semua aspek yang berhubungan dengan hukum progresif dapat dikaitkan dengan konsep progresivisme.18

Hukum progresif menurut Satjipto Raharjo, adalah hukum untuk manusia, bukan manusia untuk hukum. Yang mana pada haikatnya setiap manusia itu memiliki nurani. Sehingga hal tersebut dapat dijadikan modal besar untuk membangun kehidupan berhukum. Hukum adalah sebuah alat yang digunakan manusia untuk memberi rahmat kepada dunia dan kemanusiaan. Hukum hidup tuidak untuk dirinya sendiri, mealainkan untuk sesuatu yang lebih daripada itu. Maka apabila ada masalah dengan hukum,

16 Loc.cit 17 Ibid. Hal 8 18 Ibid. Hal 55

(17)

29

hukumlah yang harus diperbaiki, bukan manusia yang paksa untuk masuk dalam skema hukum.19

Kemudian hukum progresif itu harus pro keapda rakyat juga pro-keadilan, dimana hukum harus berpihak pada rakyat. Hukum harus ditempatkan diatas peraturan. Seorang penegak hukum harus berani menerobos kekakuan teks peraturan yang biasa disitilahkan sebagai ‘mobilisasi hukum’. Terlebih apabila sebuah peraturan mencederai rasa keadilan rakyat. Prinsip seperti ini yang mencegah sebuah hukum mengalami kemerosotan, penyelewengan, penyalahgunaan, dan hal-hal negatif yang berpotensi mengotori sebuah keadilan. Hukum progresif juga memiliki tujuan untuk mengantar manusia untuk mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan.20

Hukum progresif juga selalu dalam proses menjadi (law as a process, law in making). Hukum bukanlah sesuatu yang telah final, melainkan sebuah alat yang diuji kekuatannya dengan mengabdi kepada manusia, dengan begitu hukum akan terus membangun dan mengubah dirinya hingga menuju tingkat kesempurnaan yang lebih baik. Dalam setiap tahap perjalanannya, akan tercipta putusan-putusan yang dibuat guna mencapai hukum yang paling ideal. Hukum tak pernah dapat mengesampingkan sebuah otonom masyarakat untuk mengatur ketertibannya sendiri. Oleh karenanya hukum dibiarkan mengalir mengikuti perubahan zaman.21 Hukum progresif akan menekankan kehidupan baik sebagai dasar hukum

19 Loc.cit 20 Ibid. Hal 56 21 Ibid. Hal 56

(18)

30

yang indah. Untuk membuat hukum yang indah fundamen hukumnya tidak terletak dari bahan hukum yang dipakai, sistem hukum apalagi berfikir hukum, melainkan kepada perilaku manusia. Apabila hukum jatuh ke tangan manusia yang berperilaku buruk, maka yang akan terjadi hukum tersebut akan menjadi rusak. Hal ini tidak akan terjadi apabila hukum jatuh kepada manusia yang memiliki nurani besar.22

Hukum progresif memiliki tipe yang responsif, yang dimaksud responsif disini adalah hukum yang selalu dikaitkan dengan tujuan-tujuan di luar narasi tekstual hukum itu sendiri. Selain itu hukum progresif akan mendorong peran publik (masyarakat). Hal ini dikarenakan kemampuan hukum itu sendiri yang sangat terbatas, maka dari itu sikap yang selalu bergantung kepada hukum adalah sikap yang tidak benar.23

Hukum progresif mempunyai impian untuk membangun sebuah negara hukum yang penuh akan nurani manusia. Dan menjadikan hal itu sebagai kultur, kultur yang dimaksud disini adalah kultur kebahagiaan masyarakat. Sehingga hukum tidak hanya berkutat pada the legal of the state melainkan harus lebih mengutamakan a state with conscience. Dalam sistem progresif ini juga dijalankan dengan kecerdasan spiritual, hal tersebut tidak ingin dibatasi dan tidak bersifat konstesktual, namun selalu ingin berevolusi mencari makna kebenaran atau nilai yang lebih ideal.24

Pada akhirnya, hukum progresif akan merobohkan, mengganti, dan membebaskan, hukum progresif akan menolak keras adanya suatu sikap

22 Ibid. Hal 57 23 Loc.cit 24 Ibid. Hal 57-58

(19)

31

status quo dan submisif. Sebab sikap tersebut akan menghambat perubahan dan menganggap doktrinn sebagai sesuatu yang harus dilakukan, apabila sikap ini diterapkan, maka akan tercipta sebuah pernyataan ‘rakyat untuk hukum.25

Sebagaimana yang telah dijelaskan diatas, untuk dapat berpikir secara progresif, harus berani bebas keluar dari pemikiran absolutisme hukum, kemudian menempatkan hukum pada kepentingan kemanusiaan. Dengan berpikir menggunakan pola pikir progresif akan melihat faktor utama dalam hukum itu ialah manusia, sedangkan dalam paradigma hukum positivis, meyakini bahwa kebenaran hukum atas manusia. Manusia boleh dimarjinalkan di dalam hukum positivis asal hukum tetap tegak. Berbeda dengan hukum progresif, yang berpikir bahwa hukum yang boleh memarjinalkan untuk mendukung elektabilitas kemanusiaan, kebenaran, kebahagiaan, kesejahteraan, dan kemuliaan manusia.26

Di dalam paradigma hukum positif, posisi manusia adalah untuk hukum dan logika hukum, dengan begitu manusia dipaksa untuk masuk dalam hukum. Berbeda dengan hukum progresif yang memposisikan hukum untuk manusia. Di dalam hukum progresif juga terkandung moralitas kemanusiaan yang sangat kuat. Apabila nurani manusia mulai menipis maka hukum akan sulit tegak di tengah masyarakat, kemudian kesejahteraan dan kebahagiaan akan sulit di capai.27

25 Loc.cit

26 Rifai, Ahmad. 2010. Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Prespektif Hukum Progresif. Jakarta.

Sinar Grafika. Hal 44-45

(20)

32

Dengan demikian, karakteristik dari sebuah hukum progresif dapat dirumuskan sebagai berikut:

a. Hukum adalah untuk manusia, dan bukan untuk diriya sendiri; b. Hukum selalu berstatus sebagai hukum yang berproses (law in the

making);

c. Hukum merupakan institusi moral manusia dan bukan robot yang tak mempunyai hati nurani;28

d. Hukum mendorong peran masyarakat untuk ikut turut berperan dalam perubahan hukum;

e. Harus diharuskan untuk pro kepada rakyat dan keadilan

2.3.2 Penemuan Hukum

Sebagaimana yang kita ketahui, kehidupan dan perilaku manusia sangatlah dinamis, oleh sebab itu untuk menjaga ketertiban dunia dibutuhkan adanya hukum, namun dalam hal ini hukum tidak boleh berjalan sendirian, karena tidak mungkin sebuah hukum dapat mencakup semua perilaku manusia yang dinamis. Dalam hal ini dibutuhkan adanya penemuan hukum. Salah satu orang yang bisa membentuk hukum adalah hakim.29

Sebagaimana yang disebutkan pasal 10 ayat (1) undang-undang No. 48 tahun 2009, pengadilan dilarang menolak perkara dengan dalih tidak hukum yang mengatur, oleh sebab itu hakim berwenang untuk membentuk atau menemukan hukum dari perkara yang diterimanya. Dalam

28 Ibid. Hal 46 29 Ibid. Hal 21

(21)

33

pembentukan hukum terdapat proses konkretisasi dan individualisasi peraturan hukum (das sollen) yang bersifat umum dengan mengingat akan peristiwa konkret (das sein) tertentu.30

Menurut Utrecht, apabila ada peraturan yang tidak jelas atau bahkan belum diatur, maka seorang hakim wajib untuk bertindak berdasarkan inisiatifnya untuk menyelesaikan perkara tersebut. Harus turut serta untuk menentukan apa hukum yang akan diterapkan, meski peraturan undangan tidak dapat membantunya (belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur). Tindakan hakim inilah yang dinamakan penemuan hukum.31

Adapun cara hakim untuk memenuhi kekosongan hukum (recht vacuum) atau kekosongan undang-undang (wet vacuum), hakim harus berpegangan dengan asas ius curia novit, dimana hakim dianggap tahu hukumnya. Untuk itu, hakim harus menggali nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Dalam konteks mengisi kekosongan hukum, hakim tidak memprioritaskan kepada salah satu metode interpretasi atau konstruksi tertentu. Hakim bebas menggunakan metode interpretasi atau konstruksi yang paling dianggap tepat.32

Hakim dalam menghubungakan antara perundang-undangan dengan peristiwa konkret yang diadilinya, wajib menggunakan pikiran dan nalarnya untuk memilih metode mana yang paling relevan/sesuai dengan peristiwa konkret tersebut. Seorang hakim harus mampu menafsirkan dengan benar

30 Ibid. Hal 21-22 31 Ibid. Hal 22 32 Ibid. Hal 91

(22)

34

apa yang ia baca dan menghubungkan dengan untuk apa bacaan itu dibaca. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Pitlo “membaca suatu teks bukanlah merupakan kegiatan mekanis, karena seorang yuris dalam tugasnya sebagai penafsir hanya dapat berkembang sepenuhnya jika ia memiliki rasa memiliki sifat-sifat yang khas seperti menguasai kenyataan dan memiliki rasa keseimbangan, menyadari hal-hal yang esensial dalam suatu masalah, kesediaan untuk menkonkretkan dan memberi nuansa dalam hubungan teks dengan peristiwa konkret”33

Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam konsep hukum progresif, sebuah hukum adalah untuk manusia, didalamnya terdapat nilai-nilai akan kebenaran serta keadilan yang menjadi titik pembahasan hukum. dengan begitu faktor etika dan moralitas tak akan terlepas. Untuk itu setiap hakim harus berpedoman kepada hukum dan perundang-undangan yang berlaku, akan, tetapi tidak lupa untuk tetap menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, kebenaran, dan keadilan.34

Dengan begitu, dapat dirumuskan bahwa, untuk melakukan penemuan hukum yang berkarakteristik hukum progresif dapat dilakuakan dengan metode sebagai berikut:

1) Metode penemuan hukum yang bersifat visioner, adalah dengan melihat permasalahan hukum tersebut untuk jangka panjang;

2) Metode penemuan hukum yang berani untuk melakukan inovasi hukum dengan melihat dinamika yang terjadi dalam masyarakat,

33 Ibid. Hal 92 34 Ibid. Hal 92-93

(23)

35

namun tetap berpegangan pada hukum, kebenaran, dan kadilan serta lebih memihak kepada kepentingan rakyat;

3) Metoode penemuan hukum yang bisa membawa kesejahteraan serta kemakmuran bagi masyarakat luas. Sehingga membawa negara untuk keluar dari keterpurukan dan ketidakstabilan sosial.35

Dengan dilakukannya metode hukum seperti diatas, harapannya adalah hukum akan semakin berkembang dan dapat menyesuaikan dengan dinamika kehidupan sosial masyarakat yang terjadi. Sehingga cita-cita untuk menjadikan negara yang gandrung akan keadilan dan kemakmuran dapat segera tercapai.

Referensi

Dokumen terkait

Dalarm urusan efektiftas da’wah, sudahkah kita rmenghidup-kan jarma'ah di rmasjid-rmasjid karmpus pendidikan Islarm: IAIN (Institut Agarma Islarm Negeri) ataupun

Hydrogenated dimer reaction product from 1-decene and 1-dodecene Tidak

Dimensi-dimensi teknis pada kapal ikan tipe pole and line yang dibuat di galangan kapal tradisional kelurahan Tandurusa Kota Bitung terdiri dari lunas, linggi

Pada prinsipnya sebuah pedoman keamanan hayati yang efektif memiliki empat unsur kunci, yaitu : (i) pedoman yang transparan, ilmiah, dan fleksibel; (ii) pengambilan keputusan

Oleli yang demikian, kualiti peta ininda yang disediakan oleh setiap kuinpulan pakar topik harus diseinak dan diselia oleh tenaga pengajar dari segi liputan isi kandungan,

With this approach, this study was divided into three activities, namely (1) the preparation and analysis of spatial data for the determination of the parameters and estimation